Aktualisasi Pancasila sebagai Ideologi T

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia memiliki kekhasan tersendiri ketika coba
dikomparasikan dengan ideologi-ideologi lain yang ada di dunia. Salah satunya, terlihat dari
karakteristik Pancasila sebagai ideologi terbuka. Pandangan hidup bangsa Indonesia (ideologi
Pancasila) mempunyai nilai dasar yang tetap, serta nilai instrumental yang dinamis. 1 Artinya
Pancasila dapat berinteraksi dengan perkembangan zaman yang ditandai oleh adanya proses
dinamisasi internal. Ketika diuraikan, dalam Pancasila terkandung tiga unsur sebagai ideologi
terbuka. Pertama, nilai dasar yang bersifat ajek, tidak berubah sepanjang zaman. Kedua, nilai
instrumental yang bersifat dinamis, yakni bisa berubah secara mobile dengan perkembangan
zaman. Ketiga, nilai praksis, disebut realisasi dari nilai instrumental dalam pengalaman yang
bersifat nyata.
Karakteristik Pancasila sebagai ideologi terbuka, tentu sangat cocok bagi masyarakat
Indonesia yang notabene memiliki kemajemukan. Di samping, sudah menjadi sebuah hakikat
bahwa masyarakat akan senantiasa berubah2 dan berkembang. Menurut argumentasi Nasikun
struktur masyarakat Indonesia ditandai oleh dua ciri yang bersifat unik, yaitu:
(1) Secara horisontal, mereka ditandai kenyataan (realitas) adanya kesatuan-kesatuan
sosial berdasarkan perbedaan-perbedaan kedaerahan. Selanjutnya, (2) secara vertikal
masyarakat Indonesia ditandai oleh perbedaan vertikal antara lapisan atas dan lapisan

bawah yang cukup tajam.3
Struktur masyarakat Indonesia yang demikian beranekaragam, membawa akibat pada
kerentanan meletusnya fenomena konflik atau friksi. Namun, berkat Pancasila yang fleksibel
harusnya benih-benih konflik atau friksi tersebut dapat dicegah. Sehingga, integrasi nasional
murni dan berkelanjutan akan langgeng terpelihara.
Konsep integrasi nasional murni adalah persatuan yang tercipta di antara masyarakat
Indonesia, baik dari segi vertikal maupun horisontal. Persoalan disintegrasi, tidak dipungkiri
1 Lihat C. S. T. Kansil, Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, Bagian Kesatu: Pancasila dan PSPB, PT. Pradnaya
Paramita, 2000.
2 Perubahan masyarakat seperti halnya perubahan sosial, tidak selalu mengalir menuju muara yang positif. Namun
terkadang juga negatif.
3 Baca Nasikun, Sistem Sosial Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, 1993, hlm. 28.

1

hingga sekarang masih menjadi masalah klasik yang dihadapi oleh bangsa Indonesia. Hal itu
berimplikasi erat dengan konstelasi masyarakat Indonesia yang begitu heterogen. Sedangkan
konsepsi integrasi nasional berkelanjutan sendiri, adalah integrasi masyarakat Indonesia yang
selalu terjaga di tengah-tengah perkembangan zaman.
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, perubahan di dalam masyarakat pasti akan

terjadi. Di sinilah, letak urgenitas aktualisasi Pancasila sebagai ideologi terbuka. Aktualisasi
Pancasila yang dimaksud, bermakna menjabarkan nilai-nilai Pancasila dalam bentuk normanorma, serta merealisasikannya juga dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. 4 Masyarakat
Indonesia yang bersifat majemuk dan selalu berubah, akan terjaga integrasinya saat Pancasila
sebagai ideologi terbuka telah diaktualisasikan.
Namun dalam sisi faktualnya, kini bangsa Indonesia justru makin banyak menghadapi
gejala-gejala disintegrasi. Misalnya, secara vertikal ditandai oleh eksistensi gerakan-gerakan
separatisme bawah tanah (RMS, Gerakan Organisasi Papua Merdeka, dan Separatisme Aceh)
serta secara horisontal oleh konflik-konflik antar kelompok maupun etnis. Konflik horisontal
indikasinya mudah sekali dilihat di berbagai tempat seperti kerusuhan Ambon, Aceh, Sampit,
Poso, hingga kerusuhan insidental menjelang atau pasca Pemilu.5 Belum lagi, ketika melihat
chaos antara masyarakat mayoritas dan minoritas yang juga mendistorsi benih-benih menuju
integrasi nasional. Semisal contoh yang dilontarkan oleh Peter Carey bahwa hubungan antara
etnis Jawa sebagai (mayoritas) dan China (minoritas) telah diwarnai sikap pertentangan sejak
era pemerintahan Inggris di Pulau Jawa6. Jika kondisi tersebut terus dibiarkan, bukan muskil
otoritarian mayoritas atau tirani minoritas akan muncul.
Sebenarnya, tidak sulit untuk mencari akar permasalahan disintegrasi yang sekarang
tengah dihadapi bangsa Indonesia. Aktualisasi Pancasila sebagai ideologi terbuka merupakan
suatu “keniscayaan” untuk menciptakan integrasi nasional murni dan berkelanjutan. Namun
yang menjadi masalah, hal itu sampai kini belum diimplementasikan secara holistik. Kaelan
mengungkapkan:

Sifat pancasila sebagai ideologi terbuka, tidak lain adalah dimaksudkan agar ideologi
Pancasila senantiasa aktual, dinamis, antisipatif dan senantiasa mampu menyesuaikan

4 Baca Iqbal Hasan, Pokok-pokok Materi Pendidikan Pancasila, PT. Raja Grafindo Persada, 2002, hlm. 231.
5 Lebih lanjut, lihat Eko Handoyo, dkk, Pancasila dalam Perspektif Kefilsafatan dan Praksis, Ar-Ruzz Media, 2010,
hlm. 283.
6 Ibid.

2

diri terhadap perkembangan zaman, ilmu pengetahuan, dan teknologi, serta dinamika
perkembangan aspirasi masyarakat.7
Poin yang paling terakhir (dinamika perkembangan aspirasi masyarakat) perlu digaris
bawahi. Revelansinya dengan bagaiamana cara integrasi nasional berhasil diwujudkan adalah
ketika dinamika perkembangan aspirasi masyarakat dapat terakomodasi oleh Pancasila, maka
integrasi nasional juga akan bisa diwujudkan. Sebaliknya sesuai dengan yang dominan terjadi
saat ini, integrasi nasional justru dikerdilkan masyarakat Indonesia sendiri yang mulai enggan
mengaktualisasikan Pancasila sebagai ideologi terbuka. Jadi tidak mengherankan, jika Bung
Karno jauh-jauh hari pernah berujar, “perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah,
tetapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri”.

Berdasarkan beberapa persoalan fundamen di atas. Melalui karya tulis, yang berjudul
“Aktualisasi Pancasila sebagai Ideologi Terbuka dalam Meretas Integrasi Nasional Murni
dan Berkelanjutan di Tengah Kemajemukan Masyarakat Indonesia”, penulis ingin berbagi
kepada masyarakat secara luas8, bahwa aktualisasi Pancasila sebagai ideologi terbuka berarti
penting terhadap resolusi problematika disintegrasi nasional yang tidak kunjung usai. Dengan
demikian, harapannya, masyarakat Indonesia akan mau dan juga mampu mengaktualisasikan
Pancasila sebagai ideologi terbuka demi meretas integrasi nasional murni serta berkelanjutan
bagi bangsa.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah korelasi integrasi nasional murni dan berkelanjutan dengan kemajemukan
struktur masyarakat Indonesia?
2. Bagaimanakah aktualisasi dari Pancasila sebagai ideologi terbuka guna meretas integrasi
nasional murni dan berkelanjutan?
C. Tujuan
1. Mengetahui hubungan komplementer integrasi nasional murni dan berkelanjutan dengan
kemajemukan struktur masyarakat Indonesia.

7 Lihat Kaelan, Pendidikan Pancasila, Paradigma, 2004, hlm. 119.
8 Yang dimaksud masyarakat luas dalam konteks ini adalah seluruh masyarakat Indonesia. Tidak terbatas pada halhal tertentu, bahkan dari perspektif primordialisme sekalipun.


3

2. Mengetahui aktualisasi Pancasila sebagai ideologi terbuka dalam upaya meretas integrasi
nasional murni dan berkelanjutan.
D. Manfaat
1. Manfaat Teoritis
a. Memperkaya perbendaharaan teoritis mengenai aktualisasi Pancasila sebagai ideologi
terbuka dalam meretas integrasi nasional murni dan berkelanjutan, di samping tentang
kemajemukan masyarakat Indonesia serta langkah-langkah strategis pengelolaannya.
b. Menambah wacana dan kebijakan ilmiah di seluruh jenjang pendidikan terkait tentang
aktualisasi Pancasila sebagai ideologi terbuka dalam menciptakan integrasi nasional
murni dan berkelanjutan.
c. Memberikan masukan berupa objek analisis baru kepada seluruh jenjang pendidikan
yang terkait, tentang bagaimana urgenitas nilai dan sikap saling toleransi dalam suatu
masyarakat yang majemuk.
2. Manfaat Praktis
a. Memberikan penjelasan kepada seluruh masyarakat Indonesia, jika integrasi nasional
murni dan berkelanjutan yang diidam-idamkan sebenarnya dapat diwujudkan melalui
aktualisasi Pancasila sebagai ideologi terbuka.
b. Memberikan sumbangan atau row input berupa solusi yang tepat untuk menciptakan

integrasi nasional murni dan berkelanjutan terhadap seluruh masyarakat Indonesia di
tengah kemajemukan masyarakat Indonesia itu sendiri.
c. Memberikan pemahaman kepada seluruh masyarakat Indonesia, tentang arti penting
dari aktualisasi Pancasila sebagai ideologi terbuka dalam upaya menciptakan integrasi
nasional murni dan berkelanjutan.
d. Menjadi gambaran seluruh segmentasi masyarakat Indonesia, tentang kemajemukan
masyarakat Indonesia dengan masalah-masalah integrasi nasional yang mengikutinya
agar masyarakat lebih antisipatif terhadap benih-benih disintegrasi bangsa.
BAB II
TELAAH PUSTAKA
4

A. Karakteristik Dasar Pancasila (Pengertian, Kedudukan, dan Sifat)
1. Pengertian
Kata “Pancasila” mempunyai ruang lingkup pengertian yang sangat komprehensif
dan mendalam. Meskipun demikian, setidaknya ada dua pendekatan yang bisa digunakan
untuk memahami Pancasila, yaitu secara etimologis dan terminologis. Secara etimologis
perkataan Pancasila berasal dari bahasa Sansekerta di Negara India.9 Perkataan Pancasila
itu menurut Muhammad Yamin, memiliki makna (a) Panca berarti lima; (b) Syila, dengan
huruf i biasa (pendek) yang berarti batu sendi, alas atau dasar; dan (c) Syiila dengan huruf

i (panjang) berarti pengaturan tingkah laku yang penting atau baik atau senonoh. Jadi, arti
Pancasila yang pertama (dengan huruf i biasa) adalah lima dasar, sedangkan artinya yang
kedua (dengan huruf i panjang) ialah lima aturan tingkah laku yang penting atau baik atau
senonoh.
Proklamasi kemerdekaan Indonesia di tanggal 17 Agustus 1945 telah melahirkan
negara Republik Indonesia. Untuk melengkapi alat-alat kelengkapan negara sebagaimana
lazimnya bangsa yang telah merdeka, maka dilegitimasilah UUD 1945 menjadi konstitusi
negara oleh PPKI. Di dalam UUD 1945 tersebut, secara eksplisit 10 juga memuat rumusan
Pancasila sebagai dasar falsafah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal itu, yang pada
akhirnya dimaksud dengan konsepsi Pancasila secara terminologis. Pancasila merupakan
istilah yang digunakan untuk memberikan nama kepada dasar falsafah Negara Kesatuan
Republik Indonesia.11
2. Kedudukan
Pancasila sebagai objek dari kajian ilmiah memiliki beberapa kedudukan di dalam
hubungannya dengan negara Republik Indonesia. Setiap kedudukan tersebut mempunyai
makna dan dimensi yang konsekuensi aktualisasinya berbeda-beda, meskipun sumbernya

9 Ibid, hlm. 7.
10 Dalam pembukaan UUD 1945 yang terdiri atas empat alinea, rumusan esensial Pancasila bisa dilihat pada alenia
keempat.

11 Ibid, hlm. 7.

5

sama. Lebih lanjut, dari berbagai kedudukan Pancasila ada tiga titik sentral yang menjadi
penekanan.
a. Pancasila sebagai Pandangan Hidup Indonesia
Pancasila sebagai pandangan hidup Indonesia, kerap juga disebut sebagai way
of life bangsa. Secara substansial, yang dimaksud Pancasila sebagai pandangan hidup
Indonesia adalah bahwa Pancasila melatarbelakangi dan menjadi petunjuk dari segala
aktivitas seluruh elemen Indonesia. Ketika diuraikan, pandangan hidup itu terdiri atas
pandangan hidup negara, pandangan hidup bangsa, serta pandangan hidup masyarakat
yang ketiganya bersifat saling interaktif. Khusus untuk pandangan hidup masyarakat,
Darmodiharjo berpendapat:
Dalam negara Pancasila, pandangan hidup masyarakat tercermin di kehidupan
negara yaitu pemerintah terikat oleh kewajiban konstitusional yaitu kewajiban
pemerintah dan lain-lain penyelenggara negara untuk memilihara budi pekerti
kemanusiaan yang luhur dan memegang teguh cita-cita dari moral rakyat yang
luhur.12


Gambar 1. Hubungan antara Pandangan Hidup Masyarakat, Pandangan Hidup
Bangsa, dan Pandangan Hidup Negara.13
b. Pancasila sebagai Dasar Negara Republik Indonesia
Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia, disebut pula dasar falsafah
negara (philosofiche gronslag) dan juga ideologi negara (staatseide).14 Jadi, Pancasila
merupakan dasar yang mendasari seluruh penyelenggaraan negara, contoh: Pancasila
12 Baca Darmodiharjo, Pokok-pokok Filsafat Hukum, Gramedia Pustaka Utama, 1996, hlm. 35.
13 Ibid, hlm. 108.
14 Ibid, hlm. 110.

6

menjadi sumber dari segala tertib hukum15. Di sisi lain jika melihat tataran yang lebih
luas, Pancasila juga digunakan sebagai landasan aspek politik pemerintahan termasuk
pembangunan secara umum.
Pijakan formal kedudukan Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia
konkretnya ada dalam Pembukaan UUD 1945, alenia keempat, yang berbunyi sebagai
berikut:
....maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu (ke) dalam suatu
Undang-Undang Dasar Negara (UUD) Indonesia yang terbentuk dalam

suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat, (dan)
dengan (1) berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, (2) kemanusiaan
yang adil dan beradab, (3) persatuan (bangsa) Indonesia, (4) kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan atau
perwakilan (5) serta dengan mewujudkan keadailan bagi seluruh rakyat
Indonesia.16
c. Pancasila sebagai Ideologi Negara Indonesia
Sebelum menelaah lebih jauh mengenai kedudukan Pancasila sebagai ideologi
negara Indonesia, perlu diketahui bahwa sub-bahasan ini sebenarnya inheren, bahkan
bisa saja masuk telaah seputar kedudukan Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa
Indonesia. Namun karena cakupan kajian yang terbilang luas, maka disendirikan dari
“induknya”. Pertama-tama, wajib dipahami dulu apa yang dimaksud dengan ideologi
itu. Istilah ideologi berasal dari dua kata, yaitu idea dan logos. Idea, berarti cita-cita,
ide-ide, serta gagasan. Kata tersebut, berasal dari bahasa Yunani (eidos) yang berarti
bentuk. Sedangkan logos sendiri, berarti ilmu. Jadi secara harfiah dapat artikan bahwa
ideologi adalah ilmu pengetahuan tentang ide-ide, ataupun ajaran tentang pengertianpengertian dasar.17
Ditelusuri dari sudut historis, istilah ideologi, pertama kali dikemukakan oleh
seorang filsuf Perancis (Antoine Dessut de Tracy) pada tahun 1976 sewaktu Revolusi

15 Secara umum pembagian sumber tertib hukum di Indonesia dibagi menjadi dua, yakni sumber hukum dalam arti

material (perasaan atau keyakinan hukum individu dan pendapat umum yang menentukan isi hukum) dan sumber
hukum dalam arti formal (bentuk atau kenyataan di mana hukum berlaku). Letak Pancasila adalah sebagai sumber
hukum material yang juga mendasari sumber hukum formal karena kedudukannya yang paling tinggi.
16 Lihat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kata-kata dalam kurung adalah
interpretasi penulis yang semata-mata ditujukan hanya untuk memperjelas dan mempertegas esensi.
17 Perhatikan A. T. Soegito, dkk, Pendidikan Pancasila, Unnes Press, 2010, hlm. 101.

7

Prancis tengah menggelora.18 Tracy menggunakan istilah ideologi, untuk menjelaskan
suatu pengetahuan mengenai hakikat dan perkembangan ide-ide manusia.
Kembali ke substansi bahasan, setelah mengetahui apa yang dimaksud dengan
ideologi, dapat disimpulkan, Pancasila sebagai ideologi negara Indonesia merupakan
cita-cita negara Indonesia yang ingin dicapai dan diwujudkan. Berbeda halnya dengan
ideologi-ideologi lain, kausa materialis ideologi Pancasila ialah masyarakat Indonesia
sendiri. Jadi, bukan hasil dari kontemplasi atau pemikiran individu maupun kelompok
tertentu. Pancasila digali19 bersumber pada nilai-nilai luhur bangsa, yang di dalamnya
memuat pandangan hidup, budaya, dan cita-cita bangsa Indonesia. Karenanya, meski
secara de jure, Pancasila baru menjadi dasar negara Republik Indonesia pada tanggal
18 Agustus 1945. Namun secara de facto, sesungguhnya unsur-unsur Pancasila sudah
eksis di kehidupan masyarakat Indonesia jauh sebelum itu. Seperti yang diungkapkan
Sunoto, secara kultural unsur-unsur Pancasila melekat dalam bidang kebahasaan, adat
istiadat, agama, kesenian, kepercayaan, dan kebudayaan pada umumnya.20
3. Sifat
Menurut Hasan, Pancasila memiliki dua sifat, yaitu sifat lahiriah dan sifat batiniah
21

. Berikut penjabarannya:

a. Sifat Lahiriah
Sifat lahiriah Pancasila, memuat asas-asas konkret tentang masyarakat dalam
integrasi negara dengan keutamaan pada kehidupan sosial, ekonomi, dan politik. Ada
tiga hal yang menjadi kata kunci. Pertama persatuan, maknanya adalah menghendaki
suatu negara yang berbentuk kesatuan, didukung oleh persamaan solidaritas dan citacita. Kedua kerakyatan, maknanya adalah menghendaki kedaulatan rakyat 22 sehingga
tercipta pemerintahan yang demokratis. Ketiga keadilan, maknanya adalah mencipta

18 Baca Christensen R. M, et.al, Ideologies and Modern Politics, Dodd Mean and Companies, 1997, hlm. 3.
19 Pancasila memang dirumuskan oleh Founding Fathers. Namun, Pancasila tetap tidak dapat dikatakan berasal
dari kontemplasi atau pemikiran. Hal itu dikarenakan, para Bapak Pendiri Bangsa dalam merumuskan Pancasila
dengan cara menggali nilai-nilai luhur (pandangan hidup, budaya, dan cita-cita) masyarakat Indonesia.
20 Lihat Sunoto, Mengenal Filsafat Pancasila, Fakultas Ekonomi Universitas Islam Indonesia, 1981, hlm. 1.
21 Ibid, hlm. 17.
22 Kekuasaan tertinggi ada di tangan rakyat, dan penyelenggaraan pemerintahan dilaksanakan sesuai dengan asas
dari, oleh, dan untuk rakyat. Dikatakan juga, suara rakyat adalah suara Tuhan (vox populi, vox dei).

8

keadilan yang ditujukan kepada seluruh rakyat Indonesia, tanpa pandang bulu karena
setiap orang memilki kedudukan yang sama sebagai warga negara.
b. Sifat Batiniah
Sifat batiniah Pancasila mengandung prinsip yang bersifat abstrak. Walaupun
pada akhirnya nanti, sifat abstrak itu pula yang mendasari aturan-aturan konkrit dan
operasional di bawahnya. Berbeda dengan sifat lahiriah Pancasila yang memiliki tiga
kata kunci, dalam sifat batiniah Pancasila hanya ada dua kata kunci. Keduanya adalah
Ketuhanan dan kemanusiaan. Pertama Ketuhanan, artinya menghendaki setiap warga
negara Indonesia yang ber-Ketuhanan. Dengan kata lain, masyarakat Indonesia tidak
diperbolehkan untuk Atheis23. Hal tersebut berangkat dari bukti adanya rumah ibadat
maupun upacara keagamaan, yang sejak dulu menyatu dengan kehidupan masyarakat
Indonesia. Kedua kemanusiaan, maknanya adalah menghendaki nilai-nilai manusiawi
yang harus dijunjung tinggi. Setiap orang berhak mendapatkan perlakuan yang tidak
melebihi batas kemampuannya sebagai manusia. Sehingga, pertalian antar masyarakat
akan penuh dengan nilai-nilai keharmonisan dan kedamaian.
B. Pancasila sebagai Ideologi Terbuka
Ideologi terbuka adalah ideologi yang sanggup beradaptasi dengan perubahan zaman
karena memuat prinsip-prinsip yang dinamis, aktual, dan fleksibel. Sebagai ideologi terbuka
Pancasila tidak bersifat kaku (rigid). Di dalamnya, terdapat nilai-nilai yang bersifat tetap dan
luwes sesuai perkembangan zaman. Oleh karena itu setiap kali Pancasila wajib dieksplisitkan
dengan menghadapkannya kepada bermacam masalah sehingga terungkap makna operasional
sebenarnya. Artinya, penjabaran ideologi Pancasila haruslah dilaksanakan dengan interpretasi
yang kritis dan rasional.
Jika dibedah, sebagai ideologi terbuka Pancasila memiliki tiga unsur nilai, yakni: nilai
dasar, nilai instrumental, dan nilai praksis. Pertama nilai dasar, yaitu yang mendasari segala
aktivitas kehidupan bermasyarakat, berbangsa, serta bernegara. Sifatnya sangat fundamental
sehingga tetap dan tidak bisa berubah sepanjang zaman. Berikutnya, adalah nilai instrumental
yang merupakan manifestasi dari nilai dasar. Contoh di antarnya berupa perundang-undangan
23 Seluruh masyarakat Indonesia diwajibkan untuk Bertuhan, namun diberi kebebasan untuk memeluk dan
memilih agama sesuai dengan keyakinannya. Saat ini, tidak hanya 5 agama+1 kepercayaan saja yang diakui, tetapi
berbagai aliran-aliran kepercayaan juga telah diakui oleh pemerintah.

9

dan peraturan-peraturan lain. Sifatnya fleksibel, yang berarti bisa berkembang secara dinamis
mengikuti perkembangan zaman. Terakhir nilai praksis, adalah penjabaran nilai instrumental
yang senantiasa bersifat berkembang dan selalu dapat dilakukan perbaikan.24
Menurut Alfian, ideologi yang baik perlu mengandung tiga dimensi agar memelihara
relevansi yang kuat terhadap perkembangan aspirasi masyarakat dan tuntutan arus perubahan
zaman. Ketiga dimensi tersebut saling mengisi (komplementer), yang terdiri atas (1) dimensi
realita; (2) dimensi idealisme; (3) dimensi fleksibilitas atau pengembangan.25
Sebagai ideologi terbuka, Pancasila telah mengandung ketiga dimensi yang dimaksud
untuk menjadi ideologi yang baik. Dikaji dari dimensi realita, Pancasila adalah ideologi yang
bersumber dari nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat Indonesia dan dijunjung tinggi pada
waktu ideologi itu lahir. Ditinjau dari dimensi idealisme, Pancasila mengandung tujuan yang
ingin dicapai masyarakat Indonesia. Peran Pancasila di sini, adalah pedoman bagi masyarakat
Indonesia untuk mengetahui arah pembangunan bangsa dan negaranya. Ditelaah dari dimensi
fleksibilitas atau pengembangan Pancasila memungkinkan adanya gagasan progresif tentang
Pancasila yang sesuai perkembangan zaman tanpa mengganti konstruksi nilai dasar Pancasila
itu sendiri. Sifat luwes akan perubahan dan perkembangan zaman itu hanya mungkin dimiliki
oleh ideologi sehat (Pancasila sebagai ideologi terbuka sekaligus ideologi demokratis).26
Implikasi karakteristik Pancasila sebagai ideologi terbuka, perlu mendapat penegasan
karena fleksibilitas nilai-nilai Pancasila, tidak lantas berkonotasi dengan ideologi liberalisme
(kebebasan). Nilai dasar dari Pancasila tidak boleh dirubah dan berkarakter tetap. Hanya nilai
instrumental dan praksis yang dinamis menyesuaikan perkembangan zaman. Selain itu, agar
ada filterisasi ide maupun pemikiran dalam penjabaran nilai-nilai Pancasila sebagai ideologi
terbuka, maka dibuat pula batasan-batasan yang tidak boleh dilanggar. Batasan-batasan yang
dimaksud, menurut Kansil adalah:
1.
2.
3.
4.
5.

Stabilitas nasional yang dinamis.
Larangan terhadap ideologi marxisme, leninisme, komunisme.
Mencegah berkembangnya paham liberalisme.
Larangan atas pandangan ekstrim yang menggelisahkan kehidupan masyarakat.
Penciptaan norma baru harus melalui konsensus.27

24 Ibid, hlm. 121.
25 Simak Alfian, dkk, Pancasila sebagai Ideologi, Karya Anda, 1993, hlm. 192.
26 Ibid, hlm. 124.
27 Ibid, hlm. 223.

10

C. Konsepsi Integrasi Nasional Murni dan Berkelanjutan
Glosa integrasi berasal dari kata Latin, integrate, yang artinya memberi tempat dalam
suatu keseluruhan. Dari kata tersebut dibentuk sebuah kata sifat, integer, yang bermakna utuh
atau bulat. Jadi, integrasi bisa diartikan membuat unsur-unsur tertentu menjadi satu kesatuan
yang bulat.28 Jika diletakan dalam konteks nasional (integrasi nasional), maka berarti kondisi
persatuan individu maupun kelompok dengan keharmonisan sistem-sistem internalnya untuk
mencapai tujuan kolektif negara. Dalam sub-bab ini, integrasi nasional akan ditinjau dari dua
sudut pandang, yaitu integrasi nasional murni dan integrasi nasional berkelanjutan.
1. Integrasi Nasional Murni
Integrasi nasional murni, merupakan istilah baru yang dikemukakan oleh penulis
untuk menyebut persatuan Indonesia, baik itu dari segi vertikal maupun horisontal. Setiap
masyarakat pasti mengidamkan integrasi vertikal dan horisontal. Begitu juga, masyarakat
Indonesia. Kenapa istilah integrasi nasional murni muncul? Kadang kala, istilah integrasi
nasional hanya berorientasi kepada corak integrasi tertentu, entah corak vertikal maupun
horisontal. Hal tersebut tentu mempersempit istilah integrasi nasional yang sesungguhnya
tidak bersifat parsial, melainkan integral. Maka muncullah istilah integrasi nasional murni
yang bersifat bulat dan utuh, yaitu mengakomodasi dua segi atau corak integrasi (vertikal
dan horisontal) yang sering dipisahkan.
Secara horisontal, masyarakat Indonesia ditandai oleh kenyataan adanya kesatuan
–kesatuan sosial oleh deferensisasi suku, agama, adat, dan kedaerahan. Sedangkan, secara
vertikal masyarakat Indonesia ditandai oleh adanya perbedaan vertikal antara lapisan atas
dan bawah yang cukup tajam. Indonesia sebagai negara yang penuh dengan keberagaman
memiliki potensi konflik yang sangat besar, apakah itu konflik dari segi vertikal maupun

28 Eko Handoyo, Studi Masyarakat Indonesia, Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negari Semarang, 2007, hlm. 87.

11

dari segi horisontal.29 Oleh karenanya, ikatan-ikatan kebangsaan antar masyarakat harus
selalu diperkuat dengan menjadikan ideologi bangsa sebagai landasan berpijak.
2. Integrasi Nasional Berkelanjutan
Indonesia mempunyai semboyan “Bhineka Tunggal Ika” (walaupun berbeda-beda
tetapi tetap satu jua). Meski terkesan sederhana, semboyan tersebut memiliki makna yang
sangat luas dan mendalam. Implementasinya pas dengan konstelasi masyarakat Indonesia
yang multikultural. Selain itu nilai-nilai persatuan bangsa yang secara implisit terkandung
di dalamnya dengan tidak langsung juga memberikan “pesan” kepada seluruh masyarakat
Indonesia, agar saling kooperatif dan bergotong-royong guna mewujudkan tujuan-tujuan
nasional. Intinya, semboyan tersebut ingin mengajak masyarakat Indonesia untuk bersatu
padu meskipun plural (majemuk).
Integrasi nasional berkelanjutan adalah kondisi terciptanya sistem-sistem integrasi
masyarakat Indonesia yang sinergis dan berlangsung secara continue di tengah perubahan
zaman. Perlu diperhatikan, konflik bukan menjadi “objek” yang dinafikkan dalam konsep
integrasi nasional berkelanjutan ini. Konflik merupakan realita yang tidak bisa dipisahkan
dari suatu masyarakat. Seperti yang pendapat Robert Lee, masyarakat tanpa konflik ialah
masyarakat mati, dan disukai atau tidak konflik merupakan fenomena kehidupan manusia
(human existence), melalui itu perilaku sosial dapat dipahami.30 Namun demikian, dalam
konsep integrasi nasional berkelanjutan, konflik yang dimaksud yaitu konflik yang dapat
dikendalikan sehingga justru bertendensi membawa integrasi. Hal tersebut, sebagaimana
yang diungkapkan Park, bahwa pada kadar tertentu konflik akan cenderung menciptakan
integrasi.31
29 Contoh dari konflik vertikal di Indonesia adalah konflik Aceh dan Papua. Konflik vertikal Aceh mempunyai sejarah
panjang. Akar konflik berkaitan erat dengan hubungan kekuasaan antara pemerintah pusat dengan rakyat dan elit
sosial Aceh. Sedangkan konflik Papua, akar konfliknya relatif mirip dengan konflik Aceh terutama pada karakter
diametralnya dengan pemerintah pusat. Namun, diperparah pula oleh pengabaikan kebutuhan sosial-ekonomi dan
aspirasi masyarakat asli Papua. Berikutnya, untuk contoh dari konflik horisontal di Indonesia adalah konflik Maluku
dan Poso. Konflik Maluku dipicu oleh perkelahian antar etnis dan agama, yaitu supir bus beretnis Ambon beragama
Kristen, dan penumpang beretnis Bugis beragama Islam. Konflik yang berawal dari masalah sepele tersebut bahkan
sempat pula bermetamorfosis menjadi konflik bersenjata berkat keterlibatan “oknum-oknum” yang menggunakan
alat amatir (bom dan senjata rakitan). Sedangkan konflik Poso secara alamiah memang bisa dikatakan berawal dari
konflik agama. Tetapi ketika ditelusuri lebih jauh sebenarnya karakteristik konflik Poso bersifat multiakar atau lebih
rumit, karena ikut dipicu oleh provokasi pihak-pihak tertentu serta lingkungan yang plural, sehingga meningkatkan
intensitas konflik (Ikhtisar dari Seta Basri, Konflik-konflik Vertikal dan Horisontal di Indonesia, Http://www.setabasr
i01.blogspot.com//, 2009, diakses pada tanggal 28 Juli 2012).
30 Lebih lengkap, lihat Mitchell, CR, The Structural of Internasional Conflict, The Macmilan Press Ltd, 1994, hlm. 8.
31 Coba baca Coser Lewis, A, The Functions of Social Confilct, The Free Press of Glencoe, 1964, hlm. 20.

12

D. Kemajemukan Masyarakat Indonesia dan Masalah Integrasi Nasional
Kusumohamidjodjo, melihat masyarakat Indonesia dan kompleksitas kebudayaannya
masing-masing berkarakter plural (jamak) sekaligus juga heterogen (aneka ragam). 32 Artinya
masyarakat Indonesia terdiri dari berbagai sub-kelompok yang tidak bisa disatu kelompokkan
antara satu dengan yang lainnya. Sebenarnya, bukan hanya sub-kelompok saja yang berbeda
karena di atas itu juga masih ada kelompok-kelompok masyarakat yang memiliki keragaman
kebudayaan sehingga sulit untuk disatukan. Karakter masyarakat yang demikian adalah salah
satu ciri dari masyarakat majemuk, yaitu memiliki keanekaan dari sudut kebudayaan. Seperti
yang dinyatakan oleh Berghe, ciri-ciri masyarakat majemuk secara general adalah:
1.
2.
3.
4.
5.

Ketiadaan konsensus nilai-nilai.
Beranekaragam kebudayaan.
Terjadi konflik diantara kelompok yang berlainan.
Otonomi atau kebebasan diantara bagian-bagian dalam sistem sosial.
Diperlukan paksaan dan saling ketergantungan dalam segi ekonomi sebagai dasar
integrasi sosial.
6. Terjadi dominasi kelompok oleh golongan-golongan tertentu.
7. Relasi antar kelompok merupakan secondary segmental dan ulitarian, sedangkan
relasi dalam kelompoknya lebih merupakan primary.33
Lebih spesifik, terdapat disparitas cara pandang yang mewarnai ukuran dalam melihat
ciri-ciri suatu masyarakat majemuk. Bagi pandangan pertama, ciri-ciri masyarakat majemuk
indikatornya lewat aspek horisontal. Sedangkan untuk pandangan kedua, ciri-ciri masyarakat
majemuk dilihat dari aspek vertikal.
Pandangan pertama, dianut oleh Nasikun yang mengungkapkan perbedaan-perbedaan
suku bangsa, agama, adat istiadat, dan kedaerahan dalam struktur horisontal kerapkali disebut
sebagai ciri masyarakat majemuk.34 Perbedaan-perbedaan tersebut adalah suatu realitas yang
tidak terbantahkan. Heterogenitas suku bangsa, agama, adat istiadat, dan kedaerahan nantinya
membagi masyarakat dalam berbagai sub sistem, yang terikat erat oleh ikatan-ikatan bersifat
primordial. Hal itu sesuai dengan pengertian masyarakat majemuk yang telah dijelaskan oleh
Clifford Geertz, bahwa masyarakat majemuk adalah masyarakat yang terbagi dalam sub-sub

32 Lebih lanjut, perhatikan Budiono Kusumohamidjodjo, Kebhinekaan Masyarakat di Indonesia Suatu Problematika
Filsafat Kebudayaan, PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, 2000, hlm. 45.
33 Baca Judistira Garna, Ilmu-ilmu Sosial Dasar Konsep Posisi, PPS Universitas Padjadjaran, 1996, hlm. 166.
34 Ibid, hlm. 7.

13

sistem yang kurang lebih berdiri sendiri, di mana masing-masing sub sistem terikat ke dalam
oleh ikatan-ikatan yang bersifat primordial.35
Sedangkan menurut pandangan kedua yang dianut oleh Svalastoga, menyatakan jika
masyarakat majemuk memiliki ciri-ciri tiga jenis diferensiasi sosial (aspek vertikal), yaitu:
1. Diferensiasi tingkatan, muncul karena ketimpangan distrbusi barang sesuatu yang
dibutuhkan yang terbatas persediaannya.
2. Diferensiasi fungsional (pembagian kerja), muncul karena seseorang mejalankan
pekerjaan yang berlainan.
3. Diferensiasi lapisan, timbul oleh peraturan berprilaku yang tepat berbeda menurut
sistem tertentu.36
Ketiga diferensiasi sosial tersebut, membentuk beberapa tingakatan sosial yang turut
mendorong terciptanya kemajemukan masyarakat. Webber, mengklasifikasi tingkatan sosial
yang dimaksud, meliputi:
1.
2.
3.
4.

Tingkatan kekayaan yang menimbulkan kelas-kelas kekayaan.
Tingkatan menurut kekuatan ekonomi yang menimbulkan kelas-kelas pendapatan.
Tingkatan yang tercermin menurut kekayaan dan pendidikan.
Tingkatan status sosial.37

Antara kedua teori di atas sesungguhnya tidak perlu juga ditarik benang merah karena
perbedaan keduanya hanya masalah sudut pandang saja. Namun demikian, ketika kedua teori
tersebut digunakan sebagai instrumen untuk melihat masyarakat Indonesia, maka sudah dapat
disimpulkan bahwa masayarakat Indonesia termasuk ke dalam kategori masyarakat majemuk
berdasarkan semua karakteristiknya. Hanya perlu perlu diperjelas kembali, antara dua entitas
yaitu kemajemukan dan permasalahan disintegrasi memiliki suatu keterkaitan erat. Sehingga
persoalan disintegrasi harus mendapatkan perhatian serius dari bangsa Indonesia. Hal itu tak
mengherankan karena dalam studi etnis, Indonesia dikatakan memiliki keragaman etnis yang
sangat luas. Suryadinata menemukan bahwa masyarakat Indonesia memiliki lebih dari 1000
etnis atau sub-etnis,38 begitu rawan memicu perpecahan dan disintegrasi.
Sesudah memahami kemajemukan masyarakat Indonesia, fokus tinjauan selanjutnya
adalah masalah integrasi nasional. Karakter majemuk masyarakat Indonesia, tidak dipungkiri
menimbulkan persoalan bagi integrasi bangsa secara vertikal maupun horisontal. Dalam arti
35 Ibid, hlm. 33.
36 Simak Kaare Svalastoga, Diferensiasi Sosial, Terjemahan Alimandan, Bina Aksara, 1989, hlm. 1.
37 Ibid, hlm. 12.
38 Lihat Leo Suryadinata, dkk, Penduduk Indonesia Etnis dan Agama dalam Era Perubahan Politik, LP3ES, 2003,
hlm. 6.

14

sederhana, integrasi bangsa Indonesia akan diserang oleh berbagai macam konflik sehingga
muncul permasalahan bagaimana menciptakan dan mempertahankan integrasi nasional.
Di samping karena kemajemukan masyarakat, ada banyak sekali faktor yang memicu
disintegrasi nasional, misalnya faktor ideologi, politik, dan keamanan. Fenomena yang terjadi
di lapangan juga mendukung pernyataan tersebut.
Pemicu
Demonstrasi

Kejadian
Jumlah
%
12
2

Meninggal
Jumlah
%
1.225
13

(politik)
Perusakan kebun
Bentrokan pemuda/

Banyak terjadi pada
insiden kerusuhan Mei

73
147

12
25

518
3.856

5
40

kelompok atau
orang mabuk
Lain-lain

Keterangan

1998 di Jakarta
Terjadi di Maluku
Umumnya terjadi di
semua provinsi

120

20

155

2

Tabel 1. Pemicu Penting Terjadinya Konflik Etno-Komunal di Indonesia (1990-2003).39
Agar semakin jelas, masalah integrasi nasional di sini akan dibagi menjadi dua, yaitu
secara vertikal dan horisontal, sekaligus mengangkat sebuah contoh kasus di dalamnya. Dari
segi vertikal, integrasi nasional terganggu oleh konfik-konflik antar tingkatan dalam lapisan
masyarakat. Ukuran tingkatan-tingkatan tersebut yakni tinggi, sedang, dan rendah. Ketiganya
saling memperebutkan sumber daya yang potensial dan terbatas, sehingga timbullah konflik
yang mengganggu integrasi nasional. Seperti pada kasus konflik Aceh 40, yang salah satunya
dipicu oleh faktor “kecemburuan” masyarakat asli Aceh (lapisan rendah, memiliki kekusaan
yang lemah) terhadap pemerintah pusat (lapisan atas, memiliki kekuasaan yang besar) dalam
pembagian profit pabrik LNG. Di tahun 1993, LNG Aceh menyumbang 6.664 trilyun rupiah
pada pemerintah pusat, sementara yang kembali ke Aceh hanya 453,9 milyar rupiah. 41 Sikap
masyarakat asli Aceh bukan tanpa alasan, karena Survei BPS 1993 menemukan fakta bahwa

39 Sumber: Litbang Kompas, diolah dari UNSFIR. Lebih spesifik coba lihat Proses Pelapukan, Penerbit Buku Kompas,
2006, hlm. 45.
40 Konflik Aceh, lebih bersifat kolektif dan luas ketimbang konflik Poso, yaitu bukan hanya terjadi antar masyarakat
secara internal (kaum pendatang dan warga asli). Melainkan, juga antara masyarakat Aceh (khususnya warga asli)
dengan Indonesia atau pemerintah pusat.
41 Lebih lanjut, coba baca Seta Basri, Konflik-konflik Vertikal di Indonesia, Http://www.setabasri01.blogspot.com//,
2009, diakses pada tanggal 28 Juli 2012.

15

Aceh memiliki desa miskin terbesar di Indonesia, yaitu 2275 desa. 42 Hal itu, diperparah pula
oleh meningkatnya kaum pendatang ke Aceh yang mengakibatkan “ketimpangan” rekrutmen
pekerjaan. Pada akhirnya konflik Aceh menjadi sesuatu yang tidak bisa lagi dihindari, meski
sekarang situasi telah berangsur-angsur kondusif, namun penembakan-penembakan misterius
sampai saat ini masih kerap terjadi.43
Secara horisontal, jauh sebelum konflik Poso yang terjadi tahun 1998, Nasikun telah
mencatat dalam bukunya (Sistem Sosial Indonesia, 1993) selama jangka waktu 20 tahun pada
1948-1967 Indonesia mengalami peristiwa armed attack44 oleh satu golongan yang diarahkan
kepada golongan lain (mencapai 7.900 kali).
No.
1.
2.
3.

Tahun
1955
1958
1966

Jumlah (Kali)
7.000 kali
189 kali
75 kali

Tabel 2. Intensitas Armed Attack (3 Terbanyak) di Indonesia.45
Hal tersebut, menunjukkan tingginya intensitas konflik antar golongan yang terjadi di
Indonesia. Meskipun data intensitas armed attack terkesan kurang aktual, bukan berarti saat
ini intensitasnya boleh dikatakan lebih sedikit. Masih banyak konflik-konflik horisontal yang
terjadi, terutama di Indonesia bagian timur. Apa yang terjadi di Poso, hanya merupakan salah
satu. Konflik Poso mulai meletus pada tahun 1998 dan berlangsung kurang lebih selama tiga
tahun46. Awaludin menulis, konflik Poso yang awalnya berwujud konflik sosial-politik lokal
dan konflik anak muda berubah menjadi konflik agama yang sangat melebar.47 Ketika dilihat
secara implisit, hal itu menunjukkan tingginya rasa sensitifisme agama dalam kemajemukan
horisontal. Mereka seolah tidak peduli, dengan berapa jumlah korban yang akan ditimbulkan
jika bertikai. Konflik Poso baru usai, tepat saat ditandatanganinya Deklarasi Malino 1 antara
pihak-pihak yang terkait pada tanggal 20 Desember 2001.
BAB III
42 Lihat Syamsul Hadi, dkk, Disintegrasi Pasca Orde Baru: Negara, Konflik Lokal, dan Dinamika Internasional, 2007,
Yayasan Obor Indonesia.
43 Untuk contoh-contohnya, lihat Andri Haryanto, Polisi Kesulitan Selidiki Rentetan Penembakan Misterius di Aceh,
Http://detiknews.com//, 2012, diakses pada tanggal 3 April 2013.
44 Serangan bersenjata, yakni suatu tindakan kekerasan yang dilakukan oleh kelompok tertentu untuk melemahkan
kelompok lain.
45 Ibid, hlm. 93.
46 Sejak 1998 hingga 2001-2002.
47 Lihat Hamid Awaludin, Perdamaian ala JK: (Poso Tenang, Ambon Damai), Grasindo, 2010, hlm. 6.

16

METODE PENULISAN

A. Sumber dan Jenis Data
Data-data yang dipergunakan dalam penyusunan karya tulis ini, berasal dari berbagai
literatur kepustakaan yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas. Hal tersebut, sesuai
teknik pengumpulan data, yaitu library research (studi kepustakaan). Beberapa jenis literatur
utama yang digunakan terdiri atas buku tentang Pancasila, sosial, masyarakat Indonesia, juga
didukung oleh perundang-undangan, artikel ilmiah, makalah, disertasi, dan artikel lepas yang
bersumber dari internet. Jenis data yang diperoleh bersifat variatif, maksudnya kualitatif serta
kuantitatif.
B. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dilakukan dengan library research, yakni mengidentifikasi
berbagai referensi yang terkait dengan judul karya tulis. Data atau informasi yang didapatkan
dari literatur, selanjutnya disusun berdasarkan hasil studi, sehingga terkait satu sama lain dan
sesuai dengan topik yang dibahas.
C. Analisis Data
Analisis data dilakukan secara induktif, yang di dalamnya terdiri dari dua komponen
yaitu reduksi dan penyajian data. Reduksi data bertujuan agar penulisan terfokus, sedangkan
penyajian data agar dimungkinkan penarikan simpulan.
1. Reduksi Data
Reduksi data yaitu memilih hal-hal pokok sesuai dengan fokus penulisan. Reduksi
data adalah sebuah bentuk analisis yang menggolongkan, mengarahkan, membuang tidak
perlu, dan mengorganisasikan data-data yang direduksi sehingga memberikan gambaran
yang lebih tajam tetang studi kepustakaan serta mempermudah penulis saat mencari data
yang sewaktu-waktu diperlukan. Kegiatan reduksi ini, dilakukan penulis setelah kegiatan
pengumpulan dan pengecekan data yang valid.

17

Selanjutnya, data yang didapatkan akan digolongkan lebih sistematis. Sedangkan
data yang tidak perlu, akan dibuang ke bank data karena sewaktu-waktu data ini mungkin
dapat digunakan lagi. Reduksi yang dilakukan penulis, mencakup banyak data yang telah
diperolehnya dari studi kepustakaan. Data yang masih umum, kemudian disederhanakan
dan difokuskan lagi ke dalam permasalahan utama penulisan.
2. Penyajian Data
Penyajian data adalah kumpulan informasi tersusun, yang memberi kemungkinan
adanya penarikan simpulan, maupun pengambilan suatu tindakan tertentu. Penyajian data
merupakan analisis dalam bentuk matrik, network, dan chart atau grafis sehingga penulis
dapat menguasai data dengan baik.
D. Penarikan Simpulan
Penarikan simpulan didapatkan sesudah merujuk rumusan masalah, tujuan penulisan,
analisis dan sintesis. Selain hal itu, dalam penarikan simpulan juga memperhatikan penyajian
data. Simpulan yang ditarik merepresentasikan pokok-pokok bahasan dalam karya kulis serta
didukung oleh saran praktis sebagai rekomendasi selanjutnya.

18

BAB IV
ANALISIS DAN SINTESIS

A. Korelasi Integrasi Nasional Murni dan Berkelanjutan dengan Kemajemukan Struktur
Masyarakat Indonesia
Indonesia adalah negara yang majemuk. Antara kemajemukan masyarakat Indonesia
dengan persoalan terciptanya integrasi nasional memiliki hubungan yang begitu erat. Bahkan
hubungan tersebut bersifat “korelatif”, atau tidak hanya satu arah saja. Pengelolaan yang baik
terhadap kemajemukan struktur masyarakat Indonesia akan mendukung terciptanya integrasi
nasional, sedangkan pengelolaan yang buruk dipastikan akan mengganggu proses terciptanya
Integrasi nasional. Sebaliknya, ketika integrasi nasional dapat diciptakan, maka pengelolaan
kemajemukan struktur masyarakat Indonesia akan berhasil, tetapi jika integrasi nasional tidak
dapat diciptakan, berarti pengelolaan kemajemukan struktur masyarakat Indonesia juga tidak
akan berhasil. Apabila digambarkan, hubungan korelatif yang terjadi antara kedunya sebagai
berikut:

Kemajemukan Struktur
Masyarakat Indonesia

Integrasi Nasional

Gambar 2. Hubungan antara Kemajemukan Struktur Masyarakat Indonesia dengan
Integrasi Nasional.
1. Kemajemukan Struktur Masyarakat (Potensi dan Tantangan Integrasi Nasional)
Oleh beberapa kalangan “positivis”, kemajemukan struktur masyarakat Indonesia
bukan dipandang sebagai suatu hal yang merugikan terhadap proses terciptanya integrasi
nasional. Menurut mereka, kemajemukan struktur masyarakat adalah potensi yang sangat
besar untuk menciptakan integrasi nasional. Mengapa begitu? Karena konflik yang sering

19

terjadi pada masyarakat majemuk juga dipercaya akan menstimulus faktor-faktor penguat
persatuan dan solidaritas kebangsaan untuk muncul.
Salah satu faktor penguat persatuan nasional adalah kesadaran akan integrasi dan
partisipasi. Bagi masyarakat majemuk, konflik yang dihasilkan dalam kadar tertentu, bisa
membuat orang-orang yang ada di dalamnya menjadi semakin sadar terhadap pentingnya
integrasi dan kesatuan. Konflik yang kerapkali dianggap sebagai sesuatu hal yang negatif
(buruk), sebenarnya juga akan mendorong pihak-pihak yang terlibat untuk mencari serta
menemukan solusi pemecahan dari sebuah persoalan. Bahkan oleh para manager, konflik
diyakini mampu meningkatkan prestasi organisasi.48
Cara pikir negatif tentang konflik, harus segera dibuang jauh-jauh dari masyarakat
Indonesia. Konflik di sini selayaknya diposisikan sebagai suatu hal yang lazim di dalam
masyarakat. Apakah konflik akan berdampak buruk kepada integrasi nasional atau tidak,
hal itu sepenuhnya tergantung pada masyarakat sendiri saat menyikapinya. Kemajemukan
struktur masyarakat Indonesia jika disadari, merupakan sebuah anugerah yang luar biasa
bagi bangsa Indonesia terhadap proses terciptanya integrasi nasional.
Selain itu ketika dicermati lagi, kemajemukan struktur masyarakat Indonesia juga
membawa potensi kedewasaan dan kematangan antar masyarakat baik dari aspek vertikal
maupun horisontal. Segmentasi-segmentasi yang ada di dalam masyarakat majemuk akan
membuat masyarakat sadar mengenai perlunya sifat kedewasaan dan kematangan dalam
menghadapi pluralitas. Sifat tersebut, nantinya berperan menumbuhkembangan nilai-nilai
toleransi antar kalangan masyarakat dan mendukung integrasi nasional. Sikap intoleransi
serta eksklusifitas kelompok bisa pula dihindari karena kohesivitas kemajemukan struktur
masyarakat Indonesia yang terjaga.
Namun tidak bisa dipungkiri juga, di balik semua potensi itu masih ada tantangan
kemajemukan masyarakat terhadap integrasi nasional. Contoh saja, ancaman disintegrasi
nasional, yaitu keadaan di mana hilangnya keserasian dan keselarasan dari bagian-bagian
suatu kesatuan masyarakat.49 Misalnya, konflik antar kelompok yang sering mengganggu
integrasi nasional. Dalam catatan Prasodjo, konflik antar kelompok merupakan salah satu

48 Ibid, hlm. 93.
49 Coba lihat Agustina, Materi: Masyarakat Majemuk dan Multiultural, Http://luwesagustina.blogspot.com//,
2010, diakses pada tanggal 30 Juli 2012

20

dari sekian banyak persoalan yang dihadapi bangsa Indonesia. 50 Belum lagi, gejala-gejala
konflik yang tumbuh subur sebagai salah satu konsekuensi dari kemajemukan masyarakat
Indonesia. Di antaranya (1) tindakan para anggota masyarakat sudah tidak sesuai dengan
norma-norma masyarakat; (2) terjadinya proses sosial disasosiatif, yaitu perpecahan antar
asosiasi; (3) memudarnya persamaan pandangan (perception) antar kelompok masyarakat
perihal tujuan atau patokan masing-masing kelompok.
Tantangan integrasi berikutunya, berwujud struktur masyarakat yang terbagi-bagi
ke dalam lembaga-lembaga yang kurang berkembang konsensus nilai-nilai dasarnya, dan
munculnya dominasi tertentu kelompok terhadap kelompok lain. Semua itu sesuai dengan
apa yang disimpulkan oleh Farida, Indonesia dengan struktur masyarakat pluralistiknya
memang tengah menghadapi berbagai cobaan integrasi nasional yang telah dibina pra dan
pasca kemerdekaan.51 “Ketidakberdayaan” masyarakat Indonesia dalam mempreventisasi
benih konflik ditambah belum kokohnya nilai-nilai konsensus, 52 menyebabkan Indonesia
sulit untuk menciptakan integrasi nasional.
Meskipun demikian, tantangan integrasi tetap dapat diatasi dengan kesadaran dan
pemahaman bahwa berbagai perbedaan masyarakat adalah sesuatu yang alami. Sehingga
gagasan yang ingin membangun kemajemukan masyarakat, harus selalau dikembangkan
bersama secara dewasa. Kemudian, pemberian ruang gerak yang luwes kepada komponen
masyarakat untuk terlibat secara artikulatif dalam membangun kehidupan yang majemuk
juga perlu didukung timbul harmoni. Tantangan integrasi yang telah mampu dikendalikan
tersebut, dengan sendirinya akan mendorong Indonesia menuju integrasi nasional.
2. Kemajemukan Masyarakat dengan Integrasi Nasional Murni dan Berkelanjutan
Masyarakat Indonesia pasti ingin suatu integrasi nasional yang murni, yaitu secara
vertikal maupun horisontal, dan berkelanjutan atau berlangsung secara “kontinu”. Tetapi
hal itu tidak mungkin tercapai ketika kemajemukan masyarakat Indonesia belum berhasil
dikelola dengan benar. Artinya, kemajemukan masyarakat Indonesia saling berpengaruh

50 Baca Imam B. Prasodjo, Inikah Negeri Darurat Kompleks, 2004, Jurnal Aksi Sosial, Edisi Bulan Oktober-Desember,
hlm. 8.
51 Cermati Ida Farida, Pluralistik Masyarakat Indonesia dalam Realita Dinamika Kehidupan Sosial, 2009, Jurnal
Sains dan Inovasi, Edisi Bulan Februari, hlm. 24.
52 Adanya nilai-nilai konsensus diyakini merupakan indikasi kuat timbulnya integrasi nasional.

21

erat dengan integrasi nasional murni dan berkelanjutan. Atau dengan kata lain, hubungan
antara keduanya bersifat interaktif.
Integrasi Nasional Murni

Secara Vertikal

Integrasi Nasional
Berkelanjutan

Secara
Horisontal

Secara
Horisontal
Kemajemukan Struktur
Masyarakat Indonesia

Secara
Vertikal

Gambar 3. Keinteraktifan antara Kemajemukan Struktur Masyarakat Indonesia dengan
Integrasi Nasional Murni dan Berkelanjutan.
Jika dilihat hubungan antara kemajemukan struktur masyarakat Indonesia dengan
integrasi nasional murni, ada dua persamaan aspek yang ada di dalamnya, masing-masing
adalah aspek vertikal dan horisontal. Kedua aspek yang ada dalam kemajemukan struktur
masyarakat Indonesia tersebut perlu terus terjaga kesinergisannya, agar tercipta integrasi
nasional murni. Hal itu mengandung maksud bahwa demi menciptakan integrasi nasional
murni, integrasi parsial masyarakat majemuk secara vertikal maupun horisontal saja tidak
cukup, melainkan harus menyeluruh. Integrasi dari aspek vertikal bertujuan
mengagregasi persepsi dan perilaku elite dan masa dengan cara menghilangkan,
mengurangi perbedaan jurang pemisah antara kelompok yang berpengaruh dengan yang
dipengaruhi. Sedangkan integrasi dari aspek horisontal, bertujuan untuk mengagregasi
berbagai kelompok dalam masyarakat, dengan metode menjembatani perbedaan yang
ditimbulkan oleh faktor-faktor teritorial atau kultur dengan mengurangi kesenjangan yang
ditimbulkan oleh faktor-faktor tersebut.53 Kemajemukan dalam konteks ini, sudah
semestinya mendapatkan tempat yang layak di benak masyarakat Indonesia. Integrasi
nasional murni hanya dapat dicapai ketika kemajemukan masyarakat telah mampu diatur
dengan benar dan menyeluruh.
53 Mari Hanafiah, Teori Integrasi, Http://subpokbarab.wordpress.com//, 2008, diakses pada tanggal 28 Juli 2012.

22

Beralih fokus telaah selanjutnya, yaitu keinteraktifan antara masyarakat Indonesia
dengan integrasi nasional berkelanjutan. Konsep integrasi nasional berkelanjutan merujuk
pada integrasi nasional yang memiliki sistem-sistem integrasi masyarakat Indonesia yang
sinergis. Hal tersebut, bertalian erat dengan kemajemukan struktur masyarakat Indonesia
sebagai tempat berpijak di mana berdiri atau tidaknya integrasi nasional berkelanjutan itu
sangat tergantung oleh pengelolaan kemajemukan struktur masyarakat sendiri. Misalnya
muncul konflik perebutan hak ulayat54 antara masyarakat asli dan pendatang. Jika konflik
vertikal tersebut tidak sanggup dikelola hingga melebar, integrasi nasional berkelanjutan
dipastikan akan “gagal” tercipta. Apalagi, yang dimaksud integrasi nasional berkelanjutan
tidak sebatas pencegahan atau penyelesaian konflik, namun melingkupi pula pengelolaan
konflik agar konflik yang sedang maupun sudah terjadi bisa lekas dikendalikan dan justru
menguatkan ikatan-ikatan solidaritas nasional. Integrasi berkelanjutan, bukan merupakan
integrasi yang hanya bertahan atau tercipta pada beberapa periode saja, melainkan secara
berkesinambungan. Selama ini Indonesia belum bisa mewujudkan hal itu karena
terbentur masalah sifat penciptaan integrasi nasional yang terkesan kurang antisipatif.
Upaya-upaya preventif, seperti pendidikan multikultural55 belum masif terimplementasi.
Padahal fungsi pendidikan multikultural penting, untuk membentuk kedewasaan mental
masyarakat guna menghadapi konflik-konflik yang dapat menyebabkan disintegrasi
nasional.56
B. Aktualisasi Pancasila sebagai Ideologi Terbuka guna Meretas Integrasi Nasional Murni
dan Berkelanjutan
Panca

Dokumen yang terkait

AN ALIS IS YU RID IS PUT USAN BE B AS DAL AM P E RKAR A TIND AK P IDA NA P E NY E RTA AN M E L AK U K A N P R AK T IK K E DO K T E RA N YA NG M E N G A K IB ATK AN M ATINYA P AS IE N ( PUT USA N N O MOR: 9 0/PID.B /2011/ PN.MD O)

0 82 16

Anal isi s L e ve l Pe r tanyaan p ad a S oal Ce r ita d alam B u k u T e k s M at e m at ik a Pe n u n jang S MK Pr ogr a m Keahl ian T e k n ologi , Kese h at an , d an Pe r tani an Kelas X T e r b itan E r lan gga B e r d asarkan T ak s on om i S OL O

2 99 16

Keanekaragaman Makrofauna Tanah Daerah Pertanian Apel Semi Organik dan Pertanian Apel Non Organik Kecamatan Bumiaji Kota Batu sebagai Bahan Ajar Biologi SMA

26 317 36

Aktualisasi Nilai Sholat

0 40 2

Analisis tentang saksi sebagai pertimbangan hakim dalam penjatuhan putusan dan tindak pidana pembunuhan berencana (Studi kasus Perkara No. 40/Pid/B/1988/PN.SAMPANG)

8 102 57

Perancangan media katalog sebagai sarana meningkatkan penjualan Bananpaper : laporan kerja praktek

8 71 19

Pembangunan aplikasi e-learning sebagai sarana penunjang proses belajar mengajar di SMA Negeri 3 Karawang

8 89 291

Peranan bunga kredit sebagai sumber dana bagi PT.Bank Jabar Cabang Soreang Bandung : laporan kerja praktek

2 62 68

PENGGUNAAN BAHAN AJAR LEAFLET DENGAN MODEL PEMBELAJARAN THINK PAIR SHARE (TPS) TERHADAP AKTIVITAS DAN HASIL BELAJAR SISWA PADA MATERI POKOK SISTEM GERAK MANUSIA (Studi Quasi Eksperimen pada Siswa Kelas XI IPA1 SMA Negeri 1 Bukit Kemuning Semester Ganjil T

47 275 59

Uji Efektivitas Ekstrak Buah Mahkota Dewa (Phaleria macrocarpa (Scheff.) Boerl) sebagai Larvasida terhadap Larva Aedes aegypti Instar III

17 90 58