Pegadaian dalam kajian Islam doc
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Adanya pembangunan ekonomi yang berkesinambungan, para pelaku
ekonomi baik pemerintah maupun masyarakat, baik perseorangan maupun
badan hukum memerlukan dana yang besar. Seiring dengan kegiatan ekonomi
tersebut, kebutuhan akan pendanaan pun akan semakin meningkat. Kebutuhan
pendanaan tersebut sebagian besar dapat dipenuhi melalui kegiatan pinjam
meminjam.
Kegiatan pinjam meminjam ini dilakukan oleh perseorangan atau badan
hukum dengan suatu lembaga, baik lembaga formal maupun informal.
Indonesia yang sebagian masyarakatnya masih berada di garis kemiskinan
cenderung memilih melakukan kegiatan pinjam meminjam kepada lembaga
informal seperti misalnya rentenir. Kecenderungan ini dilakukan karena
mudahnya persyaratan yang harus dipenuhi, mudah diakses dan dapat
dilakukan dengan waktu yang relatif singkat. Namun di balik kemudahan
tersebut, rentenir atau sejenisnya menekan masyarakat dengan tingginya
bunga.
Jika masyarakat mau melihat keadaan lembaga formal yang dapat
dipergunakan untuk melakukan pinjam meminjam, mungkin masyarakat akan
cenderung memilih lembaga formal tersebut untuk memenuhi kebutuhan
dananya. Lembaga formal tersebut dibagi menjadi dua yaitu lembaga bank dan
1
lembaga nonbank. Saat ini, masih terdapat kesan pada masyarakat bahwa
meminjam ke bank adalah suatu hal yang lebih membanggakan dibandingkan
dengan lembaga formal lain, padahal dalam prosesnya memerlukan waktu
yang relatif lama dengan persyaratan yang cukup rumit. Padahal, pemerintah
telah memfasilitasi masyarakat dengan suatu perusahaan umum (perum) yang
melakukan kegiatan pegadaian yaitu Perum Pegadaian yang menawarkan
akses yang lebih mudah, proses yang jauh lebih singkat dan persyaratan yang
relatif sederhana dan mempermudah masyarakat dalam memenuhi kebutuhan
dana.
Namun ternyata tidak hanya sampai di situ fasilitas yang diberikan oleh
pemerintah. Karena sebagian besar masyarakat Indonesia adalah penganut agama Islam,
maka Perum Pegadaian meluncurkan sebuah produk gadai yang berbasiskan prinsip-prinsip
syariah, sehingga masyarakat mendapat beberapa keuntungan, yaitu Cepat, Praktis, dan
Menentramkan. Cepat, karena hanya membutuhkan waktu 15 menit untuk prosesnya, praktis,
karena persyaratannya mudah, jangka waktu fleksibel dan terdapat kemudahan lain, serta
menentramkan karena sumber dana berasal dari sumber yang sesuai dengan prinsip syariah,
begitu pun dengan proses gadai yang diberlakukan. Produk yang dimaksud adalah produk
Gadai Syariah. (www.scribd.com / doc / 25043098 / pegadaian syariah)
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Pegadaian dalam kajian Islam?
2. Bagaimana sejarah perkembangan pegadaian di Indonesia?
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian dan Dasar Hukum Pegadaian
Menurut bahasa, gadai (al-Rahn) berarti al-Tsubut dan al-Habs, yaitu
penetapan dan penahanan. Di dalam kitab Kifayah al-Akhyar (261), telah
dijelaskan bahwa rahn adalah terkurang atau terjerat. (Hendi, 2005:105)
Sedangkan menurut istilah syara’, menurut Hasbi Ash-Shiddiqy (1984, 8687), rahn ialah akad yang objeknya menahan harga terhadap sesuatu hak yang
mungkin diperoleh bayaran sempurna darinya. Jadi, rahn dapat diartikan
meminjam uang dengan syarat memberikan jaminan terhadap orang yang
meminjami.
Menurut UU Perdata pasal 1150, gadai adalah suatu hak yang diperoleh seseorang yang
mempunyai piutang atas suatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh seorang yang
berhutang atau oleh seorang lain atas dirinya, dan yang memberikan kekuasaan kepada orang
yang berpiutang itu untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan dari
pada orang yang berpiutang lainnya, dengan pengecualian biaya yang telah dikeluarkan, untuk
menyelamatkan setelah barang itu digadaikan, dan biaya-biaya yang mana harus didahulukan.
(www.scribd.com / doc / 25043098 / pegadaian syariah)
Sebagai pedoman dasar hukum gadai adalah firman Allah SWT dalam
surat al-Baqarah 283:
عنلى نسنفرر نول ننم تنمجبدوا نكامتببا نفمرنهاةن نمنقببونضةة نفمإنن أ نممنن
نومإنن ك بن نتبنم ن
بننعبضك بنم
بننعبضا نفل ني بنؤمشد ال شنمذي انؤتبممنن أ ننمان نتنبه نول ني نتشنمق الل شننه نربشنبه نونلا تنك نتببموا ال شنشنهاندنة نونمنن
ي نك نتبنمنها نفمإن ش نبه آمثمة نقل نبببه
3
Artinya: “Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai)
sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang
tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian
kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu
menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah
Tuhannya, dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian.
Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah
orang yang berdosa hatinya”.
Dan dalam Hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad, Bukhari, Nasai dan Ibn
Majjah dari Anas r.a. ia berkata: “Rasulullah SAW merungguhkan baju besi
kepada seorang Yahudi di Madinah ketika beliau mengutangkan gandum dari
seorang Yahudi”.
Dari hadits di atas dapat dipahami bahwa agama Islam tidak membedabedakan antara orang muslim dan bukan muslim dalam bidang Muamalah.
Maka, seorang muslim wajib membayar hutangnya sekalipun kepada orang
yang bukan muslim.
B. Ringkasan Sejarah Perkembangan Pegadaian di Indonesia
Lembaga gadai pertama kali didirikan di Sukabumi, Jawa Barat, 1 April
1901. Nama perusahaannya adalah Pegadaian, dengan Wolf von Weterode
sebagai kepala Pegadaian Negeri pertama. (Hermawan, 2008:204) Pada masa
itu, Pegadaian didirikan untuk membantu masyarakat dari jeratan para lintah
4
darat melalui pemberian uang pinjaman dengan hukum gadai. Nama
Pegadaian ini, kemudian dijadikan sebagai nama dari lembaga keuangan ini.
Pada tahun 1901, Pegadaian diubah status menjadi Perusahaan Jawatan (Perjan).
Kemudian, pada tahun 1928 diubah menjadi Perusahaan Negara dan pada tahun 1969 diubah
kembali menjadi Perusahaan Jawatan (Perjan). Dan pada tahun 1990 statusnya menjadi
Perusahaan Umum (Perum), ditandai dengan lahirnya PP 10/1990 pada tanggal 10 April 1990
dan PP 103 tahun 2000. Pada waktu itu Perum Pegadaian merupakan salah satu Badan Usaha
Milik Negara (BUMN) dalam lingkungan Departemen Keuangan Republik Indonesia. (Ary
Agung)
Pada tahun 2003 didirikan lembaga keuangan yang menurut konsep Islam,
yakni Pegadaian Syari’ah dengan nama Unit Layanan Gadai Syari’ah.
Pegadaian Syari’ah ini sebenarnya lahir berawal dari hadirnya fatwa MUI
tanggal 16 Desember 2003 mengenai bunga Bank bahwa, ”Untuk wilayah
yang sudah ada kantor/jaringan lembaga keuangan Syari’ah dan mudah di
jangkau, tidak dibolehkan melakukan transaksi yang di dasarkan kepada
perhitungan bunga. Fatwa ini memperkuat terbitnya Peraturan Pemerintah No.
10 tahun 1990 yang menerangkan bahwa misi yang diemban oleh Pegadaian
adalah untuk mencegah praktik riba, dan misi itu tidak berubah hingga
diterbitkannya Peraturan Pemerintah No. 103 tahun 2000 yang dijadikan
sebagai landasan kegiatan usaha Perum Pegadaian hingga sekarang.
Secara Operasional, konsep Pegadaian Syari’ah mengacu pada penggunaan
cara-cara baru, yaitu rasionalitas, efisiensi dan efektivitas yakni menurut
pemikiran dan pertimbangan yang logis, mampu menjalankan tugasnya
dengan tepat dan membawakan hasil yang diselaraskan dengan nilai-nilai
Islam dan berada dalam binaan Divisi Usaha lain Perum Pegadaian.
Sampai saat ini, pada tahun 2010, Pegadaian Syari’ah melakukan perluasan
sehingga mempunyai 120 cabang yang tersebar di seluruh Indonesia, yaitu di
5
Medan, Padang, Jakarta, bandung, Semarang, Yogaykarta, Surakarta,
Surabaya, Manado dan Balikpapan.
Selain Pegadaian Syari’ah, pemain dalam usaha ini adalah Perbankan
Syari’ah yang memberikan gadai syari’ah, atau yang disebut rahn sebagai
alternatif layanan mereka. Sampai saat ini, beberapa pemain Perbankan
Syari’ah yang menawarkan Gadai Syari’ah adalah Bank Syari’ah Mandiri,
Bank Muamalat Indonesia, Bank Danamon, dan lain-lain.
C. Rukun dan Syarat Gadai
Gadai atau pinjaman dengan jaminan memiliki beberapa rukun, antara lain:
1. Akad ijab dan Kabul, seperti seseorang berkata, “aku gadaikan motorku
ini dengan harga dua juta” dan yang satu lagi menjawab, “aku terima gadai
motormu seharga dua juta” atau bias pula dilakukan selain dengan katakata, seperti dengan surat, isyarat atau yang lainnya.
2. Aqid, yaitu yang menggadaikan (rahin) dan yang menerima gadai
(murtahin). Adapun syarat bagi yang berakad adalah ahli tasharuf, yaitu
mampu membelanjakan harta dan dalam hal ini memahami persoalanpersoalan yang berkaitan dengan gadai.
3. Barang yang dijadikan jaminan (borg). Adapun syarat bagi benda yang
dijadikan jaminan ialah keadaan barang itu tidak rusak sebelum janji utang
harus dibayar. Di dalam kitab Kifayah al-Akhyar (263) juga diterangkan
bahwasanya Rasulullah SAW bersabda: “setiap barang yang boleh
diperjual belikan boleh dijadikan gadai (borg).
6
Sedangkan menurut Ahmad ibn Hijazi, bahwa yang dapat dijadikan
jaminan dalam masalah gadai itu ada tiga macam, yaitu:
a.
Kesaksian
b.
Barang gadai
c.
Barang tanggungan
4. Ada utang, disyaratkan keadaan utang telah tetap.
D. Pengambilan Manfaat Barang Gadai
Dalam pengambilan manfaat barang-barang yang digadaikan para ulama’
berbeda pendapat, diantaranya Jumhur Fuqaha’ dan Ahmad.
Jumhur Fuqaha’ berpendapat bahwa murtahin tidak boleh mengambil suatu
manfaat barang-barang gadaian tersebut, sekalipun rahin mengizinkannya,
karena hal ini termasuk kepada utang yang dapat menarik manfaat, sehingga
bila dimanfaatkan termasuk riba’. Rasulullah SAW dalam sabdanya: “Setiap
utang yang menarik manfaat adalah termasuk riba’”.
Menurut Imam Ahmad, Ishak, al-Laits dan al-Hasan, jika barang gadaian
berupa kendaraan yang dapat dipergunakan atau binatang ternak yang dapat
diambil susunya, maka penerima gadai dapat mengambil manfaat dari benda
gadai tersebut disesuaikan dengan biaya pemeliharaan yang dikeluarkannya
selama kendaraan atau binatang ternak itu ada padanya. Rasullullah SAW
bersabda: “Binatang tunggangan boleh ditunggangi karena pembiayaannya
apabila digadaikan, binatang boleh diambil susunya untuk diminum karena
7
pembiayaannya bila digadaikan. Bagi orang yang memegang dan meminum
susunya wajib memberikan biaya”. (al-Kahlani, 51)
Pengambilan manfaat pada benda-benda gadai di atas ditekankan kepada
biaya atau tenaga untuk pemeliharaan, sehingga bagi yang memegang barangbarang gadai seperti di atas mempunyai kewajiban tambahan. Yakni,
pemegang barang gadai berkewajiban memberikan makanan bila barang gadai
itu adalah hewan dan harus merawat bila pemegang barang gadaian berupa
kendaraan. Jadi, yang diperbolehkan di sini adalah adanya upaya pemeliharaan
terhadap barang gadaian yang ada pada dirinya.
E. Resiko Kerusakan Barang Gadaian (Marhun)
Menurut Imam Syafi’i, bila marhun hilang di bawah penguasa murtahin
tidak wajib menggantinya, kecuali bila rusak atau hilangnya itu karena
kelalaian murtahin atau karena disia-siakan. Umpamanya murtahin bermainmain dengan api, lalu terbakar barang gadaian itu. Atau gudang tidak dikunci
kemudian barang-barang itu dicuri orang. Maka, wajib menggantinya, karena
itu merupakan tanggung jawab murtahin.
Sesuai dengan kaidah hukum Islam, bahwa “Seorang penyebab tidak
langsung dari suatu kerusakan, tidak dituntut ganti rugi. Kecuali apabila ia
menyengaja perbuatan tersebut”. (Ahmad, 1996:455)
Sedangkan menurut Imam Hanafi, murtahin yang memegang marhun
menanggung resiko kerusakan marhun atau kehilangan marhun, bila marhun
8
itu rusak atau hilang. Baik karena kelalaian atau disia-siakan maupun tidak.
Demikian pula pendapat Imam Ahmad Azhar Basyir.
F. Penyelesaian Gadai
Untuk menjaga supaya tidak ada pihak yang dirugikan, dalam gadai tidak
boleh diadakan syarat-syarat. Meskipun hal itu dilakukan, maka syarat tersebut
tidak berlaku dalam Islam. Misalnya, ketika akad gadai, diucapkan “apabila
rahin tidak mampu melunasi utangnya hingga waktu yang telah ditentukan,
maka marhun menjadi milik murtahin sebagai pembayaran utang”. Sebab, ada
kemungkinan pada waktu pembayaran yang telah ditentukan untuk membayar
utang, nilai harga marhun akan lebih lebih kecil atau lebih besar dari pada
utang rahin yang harus dibayar. Sehingga mempunyai dua akibat yang salah
satunya dapat merugikan pihak rahin atau pihak murtahin. Yakni, apabila nilai
harga marhun lebih besar, maka dapat merugikan pihak rahin dan apabila nilai
harga marhun lebih kecil, maka dapat merugikan pihak murtahin.
Dalam HR. Ahmad dijelaskan, bahwa “Barang siapa yang melakukan
sesuatu untuk mempengaruhi harga-harga barang kaum Muslimin dengan
tujuan menaikkan harga tersebut, maka sudah menjadi hak Allah untuk
menempatkannya di ‘Uzm (tempat besar) dalam neraka pada hari kiamat”.
(Imam Hambal, 1993, jilid 5:28)
Apabila syarat-syarat seperti di atas diadakan dalam akad gadai, maka akad
itu sah, tetapi syarat-syaratnya batal dan tidak perlu diperhatikan.
9
Dalam hal ini Pemerintah RI (1999:5), dalam UUPK No. 8 tahun 1999 Bab
I, pasal 1, nomer 2, menjelaskan “Setiap orang pemakai barang atau jasa yang
tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang
lain, maupun makhluk yang lain dan tidak untuk diperdagangkan.”
Menurut Hendi (2005:108), apabila pada waktu pembayaran yang telah
ditentukan, rahin belum membayar utangnya. Maka, hak murtahin adalah
menjual marhun. Sedangkan pembelinya boleh murtahin sendiri atau orang
lain. Tetapi, dengan harga yang umum berlaku pada waktu itu dari penjualan
marhun tersebut. Hak murtahin hanyalah sebesar piutangnya. Akibatnya,
apabila harga penjualan marhun lebih besar dari pada jumlah hutangnya, maka
sisanya dikembalikan kepada rahin. Dan apabila harga penjualan marhun lebih
kecil, maka rahin masih menanggung pembayaran kekurangannya.
G. Riba dan Gadai
Perjanjian gadai pada dasarnya adalah perjanjian utang-piutang. Akan
tetapi, dalam gadai terdapat jaminan. Riba akan terjadi dalam gadai apabila
dalam akad gadai ditentukan bahwa rahin harus memberikan tambahan
pembayaran kepada murtahin dalam utangnya. Atau ketika gadai ditentukan
syarat-syarat, kemudian syarat tersebut dilaksanakan.
Bila rahin tidak mampu membayar utangnya hingga pada waktu yang telah
ditentukan, kemudian murtahin menjual marhun dengan tidak memberikan
kelebihan harga marhun kepada rahin, maka di sini juga telah berlaku riba.
10
BAB III
PENUTUP
1.
Kesimpulan
Pegadaian dalam kajian Islam yaitu pegadaian yang sesuai dengan konteks
kajian Al-Qur’an dan al-Hadist. Di Negara Indonesia hanya terdiri beberapa
pegadaian saja yang sesuai dengan konteks tersebut. Contohnya: Pegadaian
Syari’ah dan beberapa lembaga Perbankan Syari’ah yang menawarkan Gadai
Syari’ah, seperti: Bank Syari’ah Mandiri, Bank Muamalat Indonesia, Bank
Danamon, dan lain-lain.
Lembaga gadai pertama kali didirikan di Sukabumi, Jawa Barat, 1 April
1901. Nama perusahaannya adalah Pegadaian, dengan Wolf von Weterode
sebagai kepala Pegadaian Negeri pertama. Pada tahun 1901, Pegadaian diubah
status menjadi Perusahaan Jawatan (Perjan). Kemudian, pada tahun 1928
diubah menjadi Perusahaan Negara dan pada tahun 1969 diubah kembali
menjadi Perusahaan Jawatan (Perjan). Dan pada tahun 1990 statusnya menjadi
Perusahaan Umum (Perum).
Akhirnya pada tahun 2003, berdiri Pegadaian yang berlandaskan ajaran
Islam yakni Pegadaian Syari’ah sebagai akibat munculnya fatwa MUI yang
sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1990 yang menerangkan
bahwa misi yang diemban oleh Pegadaian adalah untuk mencegah praktik riba,
dan misi itu tidak berubah hingga diterbitkannya Peraturan Pemerintah No.
11
103 tahun 2000 yang dijadikan sebagai landasan kegiatan usaha Perum
Pegadaian hingga sekarang.
2.
Saran
Tak ada gading yang tak retak. Kritik dan saran yang bersifat konstruktif
kami harapkan dari pembaca sebagai bahan pertimbangan untuk pembuatan
makalah selanjutnya yang lebih baik.
12
DAFTAR PUSTAKA
Al-Kahlani. Sub al-Salam. Dar al-Kutub al-Ilmiyyah: Beirut.
Al-Zarqa, Ahmad. 1996. Syarh al-Qawa’id al-Fiqhiyyah. Dar al-Qalam:
Damaskus.
Ash-Shiddieqy, Hasbi. 1984. Pengantar Fiqh Muamalah. Bulan Bintang: Jakarta.
Hambal, al-Imam. 1993. Musnad Ahmad. Dar al-Kutub al-Ilmiyyah: Beirut.
Kartajaya, Hermawan. 2008. Syariah Marketing. Mizan Pustaka: Bandung.
Nugraha, Ary Agung. Artikel “Pegadaian Syari’ah”. Manajer Pegadaian Syari’ah
cabang Batam. Padang.
Pemerintah RI. 1999. UU. PK, Monopoli, dan UU. Hak Cipta, Paten dan Merk.
Tamita Utama: Jakarta
Suhendi, Hendi. 2005. Fiqh Muamalah. Raja Grafindo Persada: Jakarta.
www.scribd.com / doc / 25043098 / pegadaian syariah.
13
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Adanya pembangunan ekonomi yang berkesinambungan, para pelaku
ekonomi baik pemerintah maupun masyarakat, baik perseorangan maupun
badan hukum memerlukan dana yang besar. Seiring dengan kegiatan ekonomi
tersebut, kebutuhan akan pendanaan pun akan semakin meningkat. Kebutuhan
pendanaan tersebut sebagian besar dapat dipenuhi melalui kegiatan pinjam
meminjam.
Kegiatan pinjam meminjam ini dilakukan oleh perseorangan atau badan
hukum dengan suatu lembaga, baik lembaga formal maupun informal.
Indonesia yang sebagian masyarakatnya masih berada di garis kemiskinan
cenderung memilih melakukan kegiatan pinjam meminjam kepada lembaga
informal seperti misalnya rentenir. Kecenderungan ini dilakukan karena
mudahnya persyaratan yang harus dipenuhi, mudah diakses dan dapat
dilakukan dengan waktu yang relatif singkat. Namun di balik kemudahan
tersebut, rentenir atau sejenisnya menekan masyarakat dengan tingginya
bunga.
Jika masyarakat mau melihat keadaan lembaga formal yang dapat
dipergunakan untuk melakukan pinjam meminjam, mungkin masyarakat akan
cenderung memilih lembaga formal tersebut untuk memenuhi kebutuhan
dananya. Lembaga formal tersebut dibagi menjadi dua yaitu lembaga bank dan
1
lembaga nonbank. Saat ini, masih terdapat kesan pada masyarakat bahwa
meminjam ke bank adalah suatu hal yang lebih membanggakan dibandingkan
dengan lembaga formal lain, padahal dalam prosesnya memerlukan waktu
yang relatif lama dengan persyaratan yang cukup rumit. Padahal, pemerintah
telah memfasilitasi masyarakat dengan suatu perusahaan umum (perum) yang
melakukan kegiatan pegadaian yaitu Perum Pegadaian yang menawarkan
akses yang lebih mudah, proses yang jauh lebih singkat dan persyaratan yang
relatif sederhana dan mempermudah masyarakat dalam memenuhi kebutuhan
dana.
Namun ternyata tidak hanya sampai di situ fasilitas yang diberikan oleh
pemerintah. Karena sebagian besar masyarakat Indonesia adalah penganut agama Islam,
maka Perum Pegadaian meluncurkan sebuah produk gadai yang berbasiskan prinsip-prinsip
syariah, sehingga masyarakat mendapat beberapa keuntungan, yaitu Cepat, Praktis, dan
Menentramkan. Cepat, karena hanya membutuhkan waktu 15 menit untuk prosesnya, praktis,
karena persyaratannya mudah, jangka waktu fleksibel dan terdapat kemudahan lain, serta
menentramkan karena sumber dana berasal dari sumber yang sesuai dengan prinsip syariah,
begitu pun dengan proses gadai yang diberlakukan. Produk yang dimaksud adalah produk
Gadai Syariah. (www.scribd.com / doc / 25043098 / pegadaian syariah)
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Pegadaian dalam kajian Islam?
2. Bagaimana sejarah perkembangan pegadaian di Indonesia?
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian dan Dasar Hukum Pegadaian
Menurut bahasa, gadai (al-Rahn) berarti al-Tsubut dan al-Habs, yaitu
penetapan dan penahanan. Di dalam kitab Kifayah al-Akhyar (261), telah
dijelaskan bahwa rahn adalah terkurang atau terjerat. (Hendi, 2005:105)
Sedangkan menurut istilah syara’, menurut Hasbi Ash-Shiddiqy (1984, 8687), rahn ialah akad yang objeknya menahan harga terhadap sesuatu hak yang
mungkin diperoleh bayaran sempurna darinya. Jadi, rahn dapat diartikan
meminjam uang dengan syarat memberikan jaminan terhadap orang yang
meminjami.
Menurut UU Perdata pasal 1150, gadai adalah suatu hak yang diperoleh seseorang yang
mempunyai piutang atas suatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh seorang yang
berhutang atau oleh seorang lain atas dirinya, dan yang memberikan kekuasaan kepada orang
yang berpiutang itu untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan dari
pada orang yang berpiutang lainnya, dengan pengecualian biaya yang telah dikeluarkan, untuk
menyelamatkan setelah barang itu digadaikan, dan biaya-biaya yang mana harus didahulukan.
(www.scribd.com / doc / 25043098 / pegadaian syariah)
Sebagai pedoman dasar hukum gadai adalah firman Allah SWT dalam
surat al-Baqarah 283:
عنلى نسنفرر نول ننم تنمجبدوا نكامتببا نفمرنهاةن نمنقببونضةة نفمإنن أ نممنن
نومإنن ك بن نتبنم ن
بننعبضك بنم
بننعبضا نفل ني بنؤمشد ال شنمذي انؤتبممنن أ ننمان نتنبه نول ني نتشنمق الل شننه نربشنبه نونلا تنك نتببموا ال شنشنهاندنة نونمنن
ي نك نتبنمنها نفمإن ش نبه آمثمة نقل نبببه
3
Artinya: “Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai)
sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang
tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian
kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu
menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah
Tuhannya, dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian.
Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah
orang yang berdosa hatinya”.
Dan dalam Hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad, Bukhari, Nasai dan Ibn
Majjah dari Anas r.a. ia berkata: “Rasulullah SAW merungguhkan baju besi
kepada seorang Yahudi di Madinah ketika beliau mengutangkan gandum dari
seorang Yahudi”.
Dari hadits di atas dapat dipahami bahwa agama Islam tidak membedabedakan antara orang muslim dan bukan muslim dalam bidang Muamalah.
Maka, seorang muslim wajib membayar hutangnya sekalipun kepada orang
yang bukan muslim.
B. Ringkasan Sejarah Perkembangan Pegadaian di Indonesia
Lembaga gadai pertama kali didirikan di Sukabumi, Jawa Barat, 1 April
1901. Nama perusahaannya adalah Pegadaian, dengan Wolf von Weterode
sebagai kepala Pegadaian Negeri pertama. (Hermawan, 2008:204) Pada masa
itu, Pegadaian didirikan untuk membantu masyarakat dari jeratan para lintah
4
darat melalui pemberian uang pinjaman dengan hukum gadai. Nama
Pegadaian ini, kemudian dijadikan sebagai nama dari lembaga keuangan ini.
Pada tahun 1901, Pegadaian diubah status menjadi Perusahaan Jawatan (Perjan).
Kemudian, pada tahun 1928 diubah menjadi Perusahaan Negara dan pada tahun 1969 diubah
kembali menjadi Perusahaan Jawatan (Perjan). Dan pada tahun 1990 statusnya menjadi
Perusahaan Umum (Perum), ditandai dengan lahirnya PP 10/1990 pada tanggal 10 April 1990
dan PP 103 tahun 2000. Pada waktu itu Perum Pegadaian merupakan salah satu Badan Usaha
Milik Negara (BUMN) dalam lingkungan Departemen Keuangan Republik Indonesia. (Ary
Agung)
Pada tahun 2003 didirikan lembaga keuangan yang menurut konsep Islam,
yakni Pegadaian Syari’ah dengan nama Unit Layanan Gadai Syari’ah.
Pegadaian Syari’ah ini sebenarnya lahir berawal dari hadirnya fatwa MUI
tanggal 16 Desember 2003 mengenai bunga Bank bahwa, ”Untuk wilayah
yang sudah ada kantor/jaringan lembaga keuangan Syari’ah dan mudah di
jangkau, tidak dibolehkan melakukan transaksi yang di dasarkan kepada
perhitungan bunga. Fatwa ini memperkuat terbitnya Peraturan Pemerintah No.
10 tahun 1990 yang menerangkan bahwa misi yang diemban oleh Pegadaian
adalah untuk mencegah praktik riba, dan misi itu tidak berubah hingga
diterbitkannya Peraturan Pemerintah No. 103 tahun 2000 yang dijadikan
sebagai landasan kegiatan usaha Perum Pegadaian hingga sekarang.
Secara Operasional, konsep Pegadaian Syari’ah mengacu pada penggunaan
cara-cara baru, yaitu rasionalitas, efisiensi dan efektivitas yakni menurut
pemikiran dan pertimbangan yang logis, mampu menjalankan tugasnya
dengan tepat dan membawakan hasil yang diselaraskan dengan nilai-nilai
Islam dan berada dalam binaan Divisi Usaha lain Perum Pegadaian.
Sampai saat ini, pada tahun 2010, Pegadaian Syari’ah melakukan perluasan
sehingga mempunyai 120 cabang yang tersebar di seluruh Indonesia, yaitu di
5
Medan, Padang, Jakarta, bandung, Semarang, Yogaykarta, Surakarta,
Surabaya, Manado dan Balikpapan.
Selain Pegadaian Syari’ah, pemain dalam usaha ini adalah Perbankan
Syari’ah yang memberikan gadai syari’ah, atau yang disebut rahn sebagai
alternatif layanan mereka. Sampai saat ini, beberapa pemain Perbankan
Syari’ah yang menawarkan Gadai Syari’ah adalah Bank Syari’ah Mandiri,
Bank Muamalat Indonesia, Bank Danamon, dan lain-lain.
C. Rukun dan Syarat Gadai
Gadai atau pinjaman dengan jaminan memiliki beberapa rukun, antara lain:
1. Akad ijab dan Kabul, seperti seseorang berkata, “aku gadaikan motorku
ini dengan harga dua juta” dan yang satu lagi menjawab, “aku terima gadai
motormu seharga dua juta” atau bias pula dilakukan selain dengan katakata, seperti dengan surat, isyarat atau yang lainnya.
2. Aqid, yaitu yang menggadaikan (rahin) dan yang menerima gadai
(murtahin). Adapun syarat bagi yang berakad adalah ahli tasharuf, yaitu
mampu membelanjakan harta dan dalam hal ini memahami persoalanpersoalan yang berkaitan dengan gadai.
3. Barang yang dijadikan jaminan (borg). Adapun syarat bagi benda yang
dijadikan jaminan ialah keadaan barang itu tidak rusak sebelum janji utang
harus dibayar. Di dalam kitab Kifayah al-Akhyar (263) juga diterangkan
bahwasanya Rasulullah SAW bersabda: “setiap barang yang boleh
diperjual belikan boleh dijadikan gadai (borg).
6
Sedangkan menurut Ahmad ibn Hijazi, bahwa yang dapat dijadikan
jaminan dalam masalah gadai itu ada tiga macam, yaitu:
a.
Kesaksian
b.
Barang gadai
c.
Barang tanggungan
4. Ada utang, disyaratkan keadaan utang telah tetap.
D. Pengambilan Manfaat Barang Gadai
Dalam pengambilan manfaat barang-barang yang digadaikan para ulama’
berbeda pendapat, diantaranya Jumhur Fuqaha’ dan Ahmad.
Jumhur Fuqaha’ berpendapat bahwa murtahin tidak boleh mengambil suatu
manfaat barang-barang gadaian tersebut, sekalipun rahin mengizinkannya,
karena hal ini termasuk kepada utang yang dapat menarik manfaat, sehingga
bila dimanfaatkan termasuk riba’. Rasulullah SAW dalam sabdanya: “Setiap
utang yang menarik manfaat adalah termasuk riba’”.
Menurut Imam Ahmad, Ishak, al-Laits dan al-Hasan, jika barang gadaian
berupa kendaraan yang dapat dipergunakan atau binatang ternak yang dapat
diambil susunya, maka penerima gadai dapat mengambil manfaat dari benda
gadai tersebut disesuaikan dengan biaya pemeliharaan yang dikeluarkannya
selama kendaraan atau binatang ternak itu ada padanya. Rasullullah SAW
bersabda: “Binatang tunggangan boleh ditunggangi karena pembiayaannya
apabila digadaikan, binatang boleh diambil susunya untuk diminum karena
7
pembiayaannya bila digadaikan. Bagi orang yang memegang dan meminum
susunya wajib memberikan biaya”. (al-Kahlani, 51)
Pengambilan manfaat pada benda-benda gadai di atas ditekankan kepada
biaya atau tenaga untuk pemeliharaan, sehingga bagi yang memegang barangbarang gadai seperti di atas mempunyai kewajiban tambahan. Yakni,
pemegang barang gadai berkewajiban memberikan makanan bila barang gadai
itu adalah hewan dan harus merawat bila pemegang barang gadaian berupa
kendaraan. Jadi, yang diperbolehkan di sini adalah adanya upaya pemeliharaan
terhadap barang gadaian yang ada pada dirinya.
E. Resiko Kerusakan Barang Gadaian (Marhun)
Menurut Imam Syafi’i, bila marhun hilang di bawah penguasa murtahin
tidak wajib menggantinya, kecuali bila rusak atau hilangnya itu karena
kelalaian murtahin atau karena disia-siakan. Umpamanya murtahin bermainmain dengan api, lalu terbakar barang gadaian itu. Atau gudang tidak dikunci
kemudian barang-barang itu dicuri orang. Maka, wajib menggantinya, karena
itu merupakan tanggung jawab murtahin.
Sesuai dengan kaidah hukum Islam, bahwa “Seorang penyebab tidak
langsung dari suatu kerusakan, tidak dituntut ganti rugi. Kecuali apabila ia
menyengaja perbuatan tersebut”. (Ahmad, 1996:455)
Sedangkan menurut Imam Hanafi, murtahin yang memegang marhun
menanggung resiko kerusakan marhun atau kehilangan marhun, bila marhun
8
itu rusak atau hilang. Baik karena kelalaian atau disia-siakan maupun tidak.
Demikian pula pendapat Imam Ahmad Azhar Basyir.
F. Penyelesaian Gadai
Untuk menjaga supaya tidak ada pihak yang dirugikan, dalam gadai tidak
boleh diadakan syarat-syarat. Meskipun hal itu dilakukan, maka syarat tersebut
tidak berlaku dalam Islam. Misalnya, ketika akad gadai, diucapkan “apabila
rahin tidak mampu melunasi utangnya hingga waktu yang telah ditentukan,
maka marhun menjadi milik murtahin sebagai pembayaran utang”. Sebab, ada
kemungkinan pada waktu pembayaran yang telah ditentukan untuk membayar
utang, nilai harga marhun akan lebih lebih kecil atau lebih besar dari pada
utang rahin yang harus dibayar. Sehingga mempunyai dua akibat yang salah
satunya dapat merugikan pihak rahin atau pihak murtahin. Yakni, apabila nilai
harga marhun lebih besar, maka dapat merugikan pihak rahin dan apabila nilai
harga marhun lebih kecil, maka dapat merugikan pihak murtahin.
Dalam HR. Ahmad dijelaskan, bahwa “Barang siapa yang melakukan
sesuatu untuk mempengaruhi harga-harga barang kaum Muslimin dengan
tujuan menaikkan harga tersebut, maka sudah menjadi hak Allah untuk
menempatkannya di ‘Uzm (tempat besar) dalam neraka pada hari kiamat”.
(Imam Hambal, 1993, jilid 5:28)
Apabila syarat-syarat seperti di atas diadakan dalam akad gadai, maka akad
itu sah, tetapi syarat-syaratnya batal dan tidak perlu diperhatikan.
9
Dalam hal ini Pemerintah RI (1999:5), dalam UUPK No. 8 tahun 1999 Bab
I, pasal 1, nomer 2, menjelaskan “Setiap orang pemakai barang atau jasa yang
tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang
lain, maupun makhluk yang lain dan tidak untuk diperdagangkan.”
Menurut Hendi (2005:108), apabila pada waktu pembayaran yang telah
ditentukan, rahin belum membayar utangnya. Maka, hak murtahin adalah
menjual marhun. Sedangkan pembelinya boleh murtahin sendiri atau orang
lain. Tetapi, dengan harga yang umum berlaku pada waktu itu dari penjualan
marhun tersebut. Hak murtahin hanyalah sebesar piutangnya. Akibatnya,
apabila harga penjualan marhun lebih besar dari pada jumlah hutangnya, maka
sisanya dikembalikan kepada rahin. Dan apabila harga penjualan marhun lebih
kecil, maka rahin masih menanggung pembayaran kekurangannya.
G. Riba dan Gadai
Perjanjian gadai pada dasarnya adalah perjanjian utang-piutang. Akan
tetapi, dalam gadai terdapat jaminan. Riba akan terjadi dalam gadai apabila
dalam akad gadai ditentukan bahwa rahin harus memberikan tambahan
pembayaran kepada murtahin dalam utangnya. Atau ketika gadai ditentukan
syarat-syarat, kemudian syarat tersebut dilaksanakan.
Bila rahin tidak mampu membayar utangnya hingga pada waktu yang telah
ditentukan, kemudian murtahin menjual marhun dengan tidak memberikan
kelebihan harga marhun kepada rahin, maka di sini juga telah berlaku riba.
10
BAB III
PENUTUP
1.
Kesimpulan
Pegadaian dalam kajian Islam yaitu pegadaian yang sesuai dengan konteks
kajian Al-Qur’an dan al-Hadist. Di Negara Indonesia hanya terdiri beberapa
pegadaian saja yang sesuai dengan konteks tersebut. Contohnya: Pegadaian
Syari’ah dan beberapa lembaga Perbankan Syari’ah yang menawarkan Gadai
Syari’ah, seperti: Bank Syari’ah Mandiri, Bank Muamalat Indonesia, Bank
Danamon, dan lain-lain.
Lembaga gadai pertama kali didirikan di Sukabumi, Jawa Barat, 1 April
1901. Nama perusahaannya adalah Pegadaian, dengan Wolf von Weterode
sebagai kepala Pegadaian Negeri pertama. Pada tahun 1901, Pegadaian diubah
status menjadi Perusahaan Jawatan (Perjan). Kemudian, pada tahun 1928
diubah menjadi Perusahaan Negara dan pada tahun 1969 diubah kembali
menjadi Perusahaan Jawatan (Perjan). Dan pada tahun 1990 statusnya menjadi
Perusahaan Umum (Perum).
Akhirnya pada tahun 2003, berdiri Pegadaian yang berlandaskan ajaran
Islam yakni Pegadaian Syari’ah sebagai akibat munculnya fatwa MUI yang
sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1990 yang menerangkan
bahwa misi yang diemban oleh Pegadaian adalah untuk mencegah praktik riba,
dan misi itu tidak berubah hingga diterbitkannya Peraturan Pemerintah No.
11
103 tahun 2000 yang dijadikan sebagai landasan kegiatan usaha Perum
Pegadaian hingga sekarang.
2.
Saran
Tak ada gading yang tak retak. Kritik dan saran yang bersifat konstruktif
kami harapkan dari pembaca sebagai bahan pertimbangan untuk pembuatan
makalah selanjutnya yang lebih baik.
12
DAFTAR PUSTAKA
Al-Kahlani. Sub al-Salam. Dar al-Kutub al-Ilmiyyah: Beirut.
Al-Zarqa, Ahmad. 1996. Syarh al-Qawa’id al-Fiqhiyyah. Dar al-Qalam:
Damaskus.
Ash-Shiddieqy, Hasbi. 1984. Pengantar Fiqh Muamalah. Bulan Bintang: Jakarta.
Hambal, al-Imam. 1993. Musnad Ahmad. Dar al-Kutub al-Ilmiyyah: Beirut.
Kartajaya, Hermawan. 2008. Syariah Marketing. Mizan Pustaka: Bandung.
Nugraha, Ary Agung. Artikel “Pegadaian Syari’ah”. Manajer Pegadaian Syari’ah
cabang Batam. Padang.
Pemerintah RI. 1999. UU. PK, Monopoli, dan UU. Hak Cipta, Paten dan Merk.
Tamita Utama: Jakarta
Suhendi, Hendi. 2005. Fiqh Muamalah. Raja Grafindo Persada: Jakarta.
www.scribd.com / doc / 25043098 / pegadaian syariah.
13