Paper Lingkungan Hayati Catur. doc
DEGRADASI LINGKUNGAN
MELALUI DEGRADASI HUTAN DAN DEFORESTASI,
PENYEBAB, AKIBAT SERTA UPAYA PENANGGULANGANNYA
Oleh : I Ketut Catur Marbawa
I.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejarah memberi petunjuk kepada kita bahwa alam memiliki batasbatas kemampuannya untuk pulih. Ketika ambang batas itu terlewati
degradasi alam dengan segala konsekuensinya akan ditanggung oleh
generasi yang akan datang. Manusia berperan besar dalam menentukan
kelestarian lingkungan hidup. Dengan akal budi manusia mampu
merubah wajah dunia dari pola kehidupan sederhana sampai ke bentuk
kehidupan modern seperti sekarang ini. Namun demikian seringkali apa
yang dilakukan manusia tidak diimbangi dengan pemikiran akan masa
depan kehidupan generasi berikutnya. Banyak kemajuan yang diraih oleh
manusia membawa dampak buruk terhadap kelangsungan lingkungan
hidup.
Kerusakan lingkungan hidup telah terjadi dimana-mana, termasuk di
Indonesia. Yang menonjol adalah gangguan atau kerusakan pada
berbagai ekosistem yang menyebabkan komponen komponen yang
menyusun ekosistem, yaitu keanekaragaman varietas (genetic, variety,
atau subspecies diversity), keanekaragaman jenis (species diversity) juga
ikut terganggu. Akibatnya, terjadilah kepunahan varietas atau jenis hayati
yang hidup di dalam ekosistem. Pada akhirnya, baik secara langsung
ataupun tidak langsung, manusia yang sangat tergantung pada
kelestarian ekosistem tapi berlaku kurang bijaksana terhadap
lingkungannya, akan merasakan berbagai akibatnya. Kerusakan
lingkungan, khususnya di Indonesia, telah terjadi pada berbagai tempat
dan berbagai tipe ekosistem. Misalnya, pada ekosistem pertanian, pesisir
dan lautan, juga ekosistem hutan.
Bukti sejarah lenyapnya hutan alam di Benua Eropa seiiring dengan
perubahan sosial masyarakatnya yang ditandai dengan revolusi industri
adalah pelajaran yang sangat berharga. Kerusakan sumberdaya alam di
Indonesia adalah karena melupakan dan gagal belajar dari fenomena
kerusakan sejarah di benua Eropa. Hutan alam dataran rendah di Pulau
Jawa telah habis dalam tempo 100 tahun pada periode 1800 – 1900.
Prediksi para ahli bahwa hutan-hutan alam dataran rendah di Sumatra
dan sebagian Kalimantan lenyap hanya dalam hitungan 30 tahun.
Deforestasi dan degradasi hutan masih tetap menjadi ancaman
serius bagi Indonesia. Indonesia memiliki 10 persen hutan tropis dunia
yang masih tersisa. Hutan Indonesia memiliki 12 persen dari jumlah
spesies binatang menyusui/ mamalia, pemilik 16 persen spesies binatang
reptil dan ampibi. 1.519 spesies burung dan 25 persen dari spesies ikan
dunia. Sebagian diantaranya adalah endemik (hanya dapat ditemui di
daerah tersebut).
Luas hutan alam asli Indonesia menyusut dengan kecepatan yang
sangat mengkhawatirkan. Laju kerusakan hutan Indonesia pada saat ini
masih tinggi, mencapai 1,08 juta hektare per tahun. Meski menurut data
Direktorat Jendral Bina Rehabilitasi Hutan dan Lahan ( Ditjen RHL)
Dephut, laju kerusakan hutan saat ini turun dari kisaran 1,87 juta hektare
per tahun pada kurun 1985-1998 dan 2,83 juta hektare per tahun pada
1987-2000, namun luas hutan kritis sampai akhir 2009 diperkirakan
mencapai 69,9 juta hektare (Arif Pujianto, 2009)
Dari total luas hutan di Indonesia yang mencapai 180 juta hektar,
sebanyak 21 persen atau setara dengan 26 juta hektar telah dijarah total
sehingga tidak memiliki tegakan pohon lagi. Artinya, 26 juta hektar hutan
di Indonesia telah musnah.
Selain itu, 25 persen lainnya atau setara dengan 48 juta hektar juga
mengalami deforestasi dan dalam kondisi rusak akibat bekas area HPH
(hak penguasaan hutan). Dari total luas hutan di Indonesia hanya sekitar
23 persen atau setara dengan 43 juta hektar saja yang masih terbebas
dari deforestasi (kerusakan hutan) sehingga masih terjaga dan berupa
hutan primer.
B. Tujuan
Berdasarkan latar belakang diatas, penulisan paper ini bertujuan untuk
mengulas tentang degradasi lingkungan yang diakibatkan oleh deforestasi
dan degradasi hutan, faktor penyebab, akibat yang ditimbulkannya serta
upaya penanggulangannya.
II.
PENGERTIAN
Hutan
Menurut Undang-Undang No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, Hutan
adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber
daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam
lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan.
Kawasan hutan
Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan
oleh Pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap
(Undang-Undang No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan)
Deforestasi
Deforestasi adalah pengalihan hutan menjadi lahan dengan tujuan lain atau
pengurangan tajuk pohon di bawah ambang batas minimum 10% untuk
jangka panjang dengan tinggi pohon minimum 5 m (in situ) dan areal
minimum 0,5 ha (FAO, dalam Draft 1 Strategi Nasional REDD+
BAPPENAS).
Degradasi
Perubahan di dalam hutan yang berdampak negatif terhadap struktur atau
fungsi tegakan atau lahan hutan sehingga menurunkan kemampuan hutan
dalam menyediakan jasa/produk hutan, atau dapat diartikan sebagai
penurunan stok carbon (carbon stock degradation) hutan (FAO dan submisi
Indonesia ke Sekretariat UNFCCC Maret 2008, dalam Draft 1 Strategi
Nasional REDD+, BAPPENAS).
Degradasi hutan merupakan perubahan luas tutupan hutan yang lebih
banyak untuk tujuan ekonomi, non ekologis dimana penggunaan dan
pemanfaatan lahan (land use) tidak berubah, tetapi sebagai kawasan hutan,
yang berubah adalah kuantitas dan kualitas penutupan hutannya (Siaran
Pers Departemen Kehutanan, 20 April 2007).
III. METODOLOGI
Penulisan paper ini menggunakan metodologi studi literatur yang bersumber
dari website-website yang ada.
IV. PEMBAHASAN
A. Penyebab Deforestasi dan Degradasi Hutan di Indonesia
Secara umum deforestasi dan degradasi hutan yang terjadi di Indonesia
disebabkan oleh faktor yang berasal dari dalam dan luar sektor
kehutanan.
Dari dalam sektor kehutanan, pemicu tersebut dapat dikelompokkan
ke dalam 4 kegiatan, yaitu
Penebangan ilegal dan dari pengelolaan hutan yang tidak lestari,
Kebakaran hutan,
Perubahan hutan alam (tanah mineral dan gambut) untuk
pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI), dan
Lemahnya penegakan hukum dalam pengelolaan konsesi hutan.
Sedangkan dari luar sektor kehutanan, pemicu deforestasi dan degradasi
hutan antara lain adalah
Perambahan hutan oleh masyarakat,
Kebakaran lahan (non-kawasan hutan),
Perluasan permukiman,
Pemekaran wilayah,
Ekstensifikasi perkebunan (kelapa sawit, karet, kakao, kopi),
Ekstensifikasi lahan pertanian,
Pembukaan tambak di hutan mangrove,
Peningkatan lahan penggembalaan (pasture land),
Pertambangan, dan
Pembangunan infrastruktur.
Secara lebih sederhana, seluruh hal di atas dapat dikelompokan
menjadi penyebab deforestasi akibat adanya konversi hutan menjadi
kawasan non hutan baik secara terencana maupun tidak terencana, serta
degradasi hutan akibat adanya penabangan liar dan kebakaran hutan.
Berdasarkan analisis fishbone, dapat diidentifikasi beberapa masalah
utama penyebab deforestasi dan degradasi seperti lemahnya tata tuang,
tidak efektifnya unit manajemen hutan, lemahnya tata kelola,
permasalahan tenurial, dan lemahnya dasar hukum serta penegakan
hukum (Draft 1 Strategi Nasional REDD+, BAPPENAS).
Tata Ruang yang lemah
Tenurial Bermasalah
Unit Manajemen Hutan
Tidak Efektif
Tata Kelola Lemah
Dasar dan Penegakan
Hukum Lemah
Komponen Masalah
Lemahnya Data dan Informasi yang sahih dan akurat
lemah
Partispasi dalam perencanaan tata ruang dan tata guna
lahan
Perencanaan sektorat tidak terpadu
Konflik lahan tidak pernah tuntas
Status dan batas kawasan hutan tidak jelas
Terbatasnya alternatif sumber pendapatan
Budaya dan pola mata pencaharian berbasis lahan
Masyrakat adat tidak memiliki hak formal
Hutan produksi kolap, hutan lindung terancam, hutan
konservasi rentan
Kinerja organisasi pengelolaan hutan rendah
Integritas dan kapasitas pengelola hutan rendah
Ketidakadilan distrubusi manfaat dari sektor hutan
Koordinasi antar sektor dan antara pusat dan daerah lemah
Transparansi, partisipasi dan akuntabilitas rendah
Efektivitas dan efisiensi pengelolaan kegiatan dan anggaran
rendah
Korupsi dan kolusi
Isi dasar hukum kontraproduktif dan tidak jelas
Tumpang tindih dasar hukum
Penegakan hukum lemah, termasuk adanya mafia hukum
Gambaran analisis fishbone terhadap timbulnya
degradasi hutan di Indonesia tergambar dibawah ini.
Gambar 1.
deforestasi
dan
Identifikasi Penyebab Deforestasi dan Degradasi Hutan dengan Analisis
Fishbone
1. Perencanaan Tata Ruang yang Lemah
Rencana Tata Ruang disusun sebagai pedoman bagi pemerintah
provinsi dan kabupaten untuk pelaksanaan pembangunan jangka panjang
sekaligus sebagai wadah kepentingan para pihak di berbagai tingkatan,
mulai dari pemerintah pusat, provinsi, kabupaten, swasta maupun
masyarakat dan bertujuan untuk mengoptimalkan ruang dengan tetap
menjaga keseimbangan antara tujuan menaikkan tingkat pertumbuhan
daerah, kebutuhan pembangunan dan daya dukung lingkungan (Siagian
dan Komarudin, 2009).
Namun demikian, dalam prakteknya terdapat beberapa permasalahan
yang menyebabkan instrumen RTRW tidak dapat secara memadai
mewadahi berbagai kebutuhan pembangunan secara berkelanjutan. Di
beberapa daerah, dokumen RTRW bahkan menjadi dokumen yang
menyebabkan deforestasi melalui konversi yang terencana. Persoalan ini
muncul karena berbagai hal, terutama hal-hal berikut :
a. Perencanaan Pembangunan Sektoral Tidak Terpadu
Perencanaan pembangunan yang masih bersifat sektoral dan
belum mampu menjadi dokumen yang secara independen
mengintegrasikan berbagai kepentingan sektoral.
Saat ini masing-masing lembaga pada umumnya membuat rencana
tahunan sendiri-sendiri dengan membuat alokasi sumber daya lahan
terpisah. Perencanaan pembangunan ekonomi dan infrastruktur yang
kurang terpadu sehingga terjadi tumpang tindih dalam pengalokasian
ruang dan deforestasi pada areal-areal berhutan yang masih dalam
kondisi baik.
b. Ketersediaan dan Akses Data dan Informasi Lemah
Ketersediaan dan akses pada data dan informasi spasial biofisik,
maupun sosial ekonomi yang sahih dan akurat, masih terbatas.
Umumnya perencana juga tidak menggunakan metodologi yang
memberikan informasi kepada pengambil keputusan dengan pilihanpilihan prioritas, termasuk isu karbon.
Salah satu contoh akibat pengambilan keputusan tersebut adalah
RTRW (baik kabupaten maupun provinsi) yang menetapkan kawasankawasan hutan yang telah terdegradasi tetap menjadi kawasan hutan,
sedangkan kawasan hutan yang masih mempunyai hutan dengan
kondisi sedang sampai bagus dimasukkan dalam rancangan dikonversi.
Konversi hutan dengan kondisi demikian akan memberikan emisi yang
sangat besar.
c. Partisipasi Dalam Perencanaan Lemah
Proses partisipasi dalam proses pembuatan rencana tata ruang
wilayah tidak berjalan. Penyusunan RTRW masih bersifat top down dan
belum secara utuh menerapkan prinsip transparansi dan partisipasi
yang hakiki sehingga masyarakat yang mengetahui kondisi
sesungguhnya di lapangan tidak dapat memberikan masukan yang
konstruktif terhadap dokumen tersebut.
Ketiadaan partisipasi dan transparansi ini memudahkan terjadinya
aktivitas penggunanaan lahan yang tidak direncanakan dalam RTRW
namun terjadi di lapangan, misalnya perambahan oleh masyarakat
untuk pembukaan perkebunan, pertanian, pemukiman, pertambangan
tanpa izin dan lain-lain.
Hal ini merupakan cerminan umum dari tingkat kecakapan sosial
(sociability) masyarakat, yang seringkali menyalurkan ketidakpuasan
dengan cara-cara yang justru merugikan sumber daya hutan atau
lingkungan.
2. Tenurial
a. Penyelesaian Konflik Lahan Tidak Tuntas
Hutan dengan keragaman atas hak, status dan fungsinya telah
menjadi suatu medan perebutan kepentingan yang pelik dan hingga
saat ini masih belum terselesaikan. Konflik dan ketidaksepakatan
tentang siapa yang seharusnya mengontrol dan mengelola hutan dan
Kawasan Hutan negara merupakan sumber dari berbagai ketegangan,
dan tidak jarang justru menyebabkan tindakan-tindakan yang merusak.
Asal-usul ketegangan ini terletak pada tafsir dari definisi dan lokasi
hutan di Indonesia serta kewenangannya.
Tafsir-tafsir yang berbeda menyebabkan perbedaan-perbedaan
mendasar tentang peran kontrol terhadap sumber daya hutan oleh
pelaku dan lembaga yang berbeda. Konflik atas peran kontrol terhadap
lahan dan sumber daya alam yang disebabkan oleh ketidakjelasan hakhak tenurial harus diselesaikan dengan usaha serius melalui strategi
tindakan yang jelas.
b. Masyarakat Adat Tidak Memiliki Hak Formal
Dualisme hukum atas pengakuan hak ulayat masyarakat adat di
kawasan hutan serta non-kawasan hutan menjadi salah satu
permasalahan tenurial ini. Ketiadaan hak formal masyarakat adat
menyebabkan mereka tidak bisa mengambil keputusan terkait sumber
daya alam di wilayah adatnya yang menjadikan potensi mereka dalam
mengawasi kawasan hutan menjadi semakin lemah. Sementara
prosedur yang memungkinkan mereka memiliki pengakuan sebagai
masyarakat hukum terkesan sangat sulit dan panjang. Pemicu lain
terhadap meningkatnya konflik tenurial adalah batas kawasan hutan
yang tidak jelas di lapangan, akibat dari proses pengukuhan kawasan
hutan yang tidak kunjung selesai.
c. Mata Pencaharian dan Kelangkaan Alternatif Sumber Pendapatan
Keberadaan hutan biasanya memiliki peranan yang cukup signifikan
terhadap kelompok-kelompok masyarakat sekitar kawasan hutan.
Banyak konsep yang menjelaskan mengenai masyarakat dan hutan,
seperti sistem pengetahuan lokal, kearifan lokal, dan masyarakat adat.
Konsep-konsep tersebut pada dasarnya menjelaskan keterikatan
masyarakat yang bermukim di dalam dan sekitar hutan dengan lahan
dan sumber daya alam yang ada serta dihasilkan dari hutan tersebut.
Dalam dua dekade terakhir, ketika kerusakan hutan sedang menjadi
perhatian banyak pihak, keberadaan masyarakat sekitar hutan juga tidak
terlepas di dalamnya. Keterkaitan masyarakat dengan deforestasi dan
degradasi hutan sering menjadi pokok pembahasan. Hal ini dipicu oleh
kenyataan bahwa budaya produksi atau mata pencaharian masyarakat
di pedesaan biasanya berbasis pada pengelolaan lahan dan
pemungutan sumber daya alam yang ada di sekitarnya.
3. Unit Manajemen Hutan Tidak Efektif
Luas kawasan hutan Indonesia mencapai 132,399 juta ha (BAPLAN,
2008), sekitar 15% merupakan hutan konservasi (HK), 22% hutan lindung
(HL), 46% hutan produksi (HP) dan 17% hutan produksi yang dapat
dikonversi (HPK).
Berdasarkan data satelit 2007, kawasan hutan yang masih berhutan
hanya sekitar 92,328 juta ha (40%) dan yang sudah tidak berhutan sekitar
40,071 juta ha (21%). Luas hutan yang dapat dikonversi (HPK) mencapai
22,7 juta ha, dan hanya 10,7 juta ha yang masih berhutan.
Pengelolaan hutan di hampir seluruh fungsi hutan dalam keadaan
yang rentan. Kelemahan unit manajemen hutan terjadi di seluruh tingkatan,
baik pada sistem pengelolaan hutan, organisasi pengelola hutan, maupun
pada tingkat individu yang bekerja di sektor kehutanan pada berbagai
fungsi hutan. Berbagai permasalahan unit manajemen hutan berdasarkan
tingkatannya, dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Sistem Pengelolaan Hutan Lemah
Permasalahan pada tingkat sistem pengelolaan meliputi kerangka
peraturan, kebijakan, dan kondisi lingkungan yang tidak mendukung
atau menghambat pencapaian tujuan pengelolaan lestari. Diawali dari
lemahnya data dan informasi dalam penyusunan perencanaan telah
menyebabkan pengelolaan hutan pada semua fungsi hutan menjadi
tidak valid dan sulit mencapai predikat berkelanjutan. Proses penataan
batas kawasan hutan, yang mampu menunjukkan di mana dan berapa
luas kawasan hutan yang pasti secara legal maupun aktual diakui dan
dihormati semua pihak, sampai saat ini belum mampu dilakukan.
Kemudian, hampir seluruh hutan produksi dan hutan lindung di luar
Jawa tidak jelas siapa penanggung jawabnya yang menyebabkan
kawasan hutan menjadi open access dan memicu deforestasi dan
degradasi, baik yang direncanakan maupun tidak.
Pengelolaan Hutan Produksi yang Lemah
Di bidang pengusahaan hutan ini, dari jumlah 486 unit HPH di
tahun 1992, yang masih bertahan sampai tahun 2007 sebanyak 115
unit atau hanya 24%, dengan berbagai sebab, baik kendala internal
maupun eksternal.
Pengelolaan hutan alam produksi masih jauh dari kaidah dan
prinsip-prinsip Sustainable Forest Management (SFM). Para pelaku
usaha di sektor kehutanan lebih memikirkan aspek bisnis daripada
kelestarian produksi. Teknik pemanenan tidak lagi memperhatikan
kaidah penurunan dampak penebangan, pemanenan dilakukan
melebihi jatah tebangan (over cutting), limbah dan derajat kerusakan
hutan pada kawasan bekas tebangan sangat tinggi.
Pengelolaan Hutan Lindung dan Konservasi yang Rentan
Upaya pelindungan hutan yang dilakukan pada hutan lindung
dan hutan konservasi juga masih mendapat kendala. Pada hutan
lindung, kewenangan antara pusat dan daerah tidak jelas sehingga
hutan terkesan tidak bertuan dan open access. Dalam kondisi seperti
ini, peluang deforestasi tidak terencana semakin terbuka lebar. Pada
pengelolaan hutan konservasi, hingga saat ini telah dibentuk 527 unit
kawasan konservasi daratan dan laut, meliputi 50 unit Taman
Nasional (TN), 118 unit Taman Wisata Alam (TWA), 22 unit Taman
Hutan Raya (Tahura), 14 unit Taman Buru (TB), 248 unit Cagar Alam
(CA) dan 75 unit Suaka Margasatwa (SM). Untuk kawasan
konservasi laut telah ditetapkan sebanyak 7 unit Taman Nasional, 5
unit Cagar Alam, 2 unit Suaka Margasatwa, dan 14 unit Taman
Wisata Alam.
Masih lemahnya kapasitas pengelolaan menjadi tantangan
utama saat ini. Sebagai gambaran, dari seluruh unit kawasan
konservasi, baru 34,4 % yang telah memiliki Rencana Pengelolaan,
pada umumnya TN dan TWA. Sedangkan penyusunan zonasi/blok
pengelolaan, baru tercapai 8,4%. Untuk 21 Taman Nasional Model,
semuanya telah memiliki Rencana Pengelolaan, namun demikian
19% di antaranya belum disahkan.
Kebijakan, Monitoring dan Evaluasi serta Reward dan Punishment
tidak jelas
Belum terdapat peraturan-perundangan yang secara efektif dan
efisien mampu menjadi landasan pemecahan masalah kehutanan
yang terus berkembang dari waktu ke waktu. Penetapan peraturanperundangan lebih memenuhi kebutuhan birokrasi dalam
menjalankan tugas administrasinya daripada memecahkan persoalan
yang dihadapi pengelola hutan di lapangan. Di samping itu juga
ditemukan kurangnya alternatif pemecahan masalah di lapangan,
karena sebagian besar isi peraturan mengandung larangan sebagai
bentuk pengendalian kerusakan hutan.
Di sisi lain, inkonsistensi kebijakan juga sering terjadi. Programprogram unggulan yang dipayungi oleh keputusan pejabat teknis
sering berubahubah, tergantung pejabat yang berwenang saat itu.
Misalnya, program pembentukan Taman Nasional Model yang saat ini
terlantar dan tidak terukur keberhasilannya. Kemudian pada hutan
produksi, pemberian izin RKT yang dilakukan terhadap beberapa
perusahaan dalam volume yang besar bertentangan dengan
semangat pembatasan ekploitasi hutan alam atau bahkan menafikan
informasi pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh pemohon
izin tersebut.
Di sisi lain, pelanggaran dalam proses pemberian izin baik yang
dilakukan oleh pengaju izin maupun pemberi izin sangat sedikit yang
dikenakan sanksi yang menimbulkan efek jera sehingga
pelanggaran-pelanggaran terus terjadi.
b. Kelembagaan yang Lemah
Belum terwujudnya kinerja kelembagaan seperti yang diharapkan,
sehingga menjadi penyebab lemahnya pelayanan publik terkait
perizinan dan penyelenggaraan ekonomi kehutanan, serta belum
adanya prioritas nyata bagi penguatan organisasi pengelola hutan di
tingkat lapangan/tapak.
Kondisi demikian ini menjadi penyebab rendahnya informasi
mengenai kekayaan sumber daya hutan sebagai dasar penyusunan
perencanaan maupun pengambilan keputusan. Selain itu masalah
kelembagaan yang lemah ini juga timbul dari ketidakjelasan penerapan
otonomi daerah yang dipayungi oleh Undang-undang No 32/2004 dan
turunannya dihubungkan dengan aturan sektoral maupun ketidaktepatan
pembagian kewenangan itu sendiri, hal mana menyebabkan timbulnya
ketidakjelasan penanggungjawab sektor kehutanan pada level tapak.
Pada tingkat organisasi pengelola, sebagian besar waktu dan
tenaga habis untuk masalah administratif daripada substantif. Hal ini
didorong oleh sistem penilaian kinerja organisasi yang hanya diukur dari
penyerapan anggaran dan dokumen-dokumen laporan, tidak sampai
pada efektivitas dan efisisensi anggaran, penilaian keluaran, hasil,
dampak dan manfaat yang secara nyata terjadi di lapangan. Kondisi
seperti ini mendorong cara kerja organisasi yang ekslusif dari pada
inklusif sehingga upaya-upaya kerja sama, baik di internal organisasi
maupun kerja sama strategis dengan pihak-pihak lain yang berpotensi
mendukung pengelolaan selalu terhambat.
c. Permasalahan Kapasitas Individu yang Lemah
Permasalahan kapasitas pada tingkat individu mancakup
kompetensi (kemampuan, kualifikasi, dan pengetahuan), sikap dan
prilaku (attitude), dan integritas (etos kerja dan motivasi), maupun jiwa
kepemimpinan yang kuat dari orang-orang yang bekerja dalam
organisasi sebagai ujung tombak pengelolaan hutan di lapangan.
Permasalahan di tingkat individu pada kondisi yang relatif normal
biasanya disebabkan oleh situasi dalam organisasi yang tidak
mendukung berkembangnya kapasitas individu. Bahkan terdapat kondisi
dimana orang-orang di dalam organisasi cenderung pragmatis dan
selalu mencari peluang untuk pemenuhan kepentingan-kepentingan
pribadinya.
4. Dasar dan Penegakan Hukum Lemah
a. Dasar hukum
Undang-undang No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan yang dilahirkan
dengan semangat reformasi, berusaha mengembalikan tatanan
kehutanan kepada sistem pengurusan hutan yang lebih baik. Namun
demikian, undang-undang ini masih perlu penguatan, salah satunya
dalam hal pengaturan kewenangan pusat dan daerah dalam semangat
desentralisasi yang bertanggung jawab. Beberapa fenomena yang
mendasari perlunya penguatan ini dapat dilihat dari kerancuan
kewenangan beberapa perizinan pengusahaan hutan, dan tumpang
tindih kawasan hutan dengan rencana tata ruang wilayah.
Secara langsung atau tidak langsung, masih kurang kuatnya
Undang-undang Kehutanan ini membuka peluang terjadinya deforestasi
yang terencana (planned deforestation) masih terbuka. Masalah
mengenai kurang kuatnya Undangundang kehutanan dapat dilihat dari
kategori berikut :
Peluang ekploitasi hutan alam masih sangat terbuka
Permintaan terhadap hasil hutan kayu masih tetap tinggi, bahkan
cenderung meningkat. Berbagai industri hilir di dalam dan luar negeri
sangat bergantung pada kayu yang berasal dari hutan alam
Indonesia sebagai bahan bakunya.
Pada dasarnya keberadaan industri berbasis kayu dan siklus
produksinya secara berkelanjutan dan ramah lingkungan perlu
difasilitasi dan dijamin keberlangsungannya oleh Undang-undang
kehutanan. Karenanya, pembatasan pembatasan perlu dilakukan
secara tegas agar kelestarian produksi pada industri hilir juga diikuti
oleh kelestarian hutan sebagai sumber bahan bakunya.
Merujuk pada sejarah pengusahaan hutan produksi dan kondisi
terkini hutan alam di Indonesia maka sudah saatnya diberlakukan
penghentian
terhadap
ekploitasi
hutan
alam
sekaligus
mengintensifkan pembangunan hutan tanaman di areal areal yang
telah terdeforestasi. Dalam konteks ini, Undang-undang Kehutanan
memiliki kelemahan karena masih memberikan ruang yang cukup
leluasa untuk ekploitasi hutan alam yang masih dalam kondisi baik.
Sebagai contoh, ketidaktegasan pembatasan HTI pada hutan yang
sudah tidak produktif dalam UU 41/1999 menyebabkan lahirnya
peraturan pelaksana yang sangat berbeda dari waktu ke waktu.
Pasal 30:3 PP No. 34/2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan
Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan
Kawasan Hutan misalnya secara tegas menyatakan bahwa izin
Hutan Tanaman hanya dapat diberikan pada lahan kosong, padang
alang-alang atau semak belukar pada hutan produksi. Namun
ketentuan ini kemudian berubah secara signifikan pada aturan
kemudian yaitu PP No. 3/2008 yang mengubah PP No. 6/2007
tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan
serta Pemanfaatan Hutan, yang hanya menyatakan bahwa hutan
tanaman diprioritaskan pada hutan produksi yang tidak produktif yang
berarti membuka kemungkinan dilaksanakan pada seluruh kawasan
hutan lainnya.
Selain peluang ekploitasi hutan alam untuk memenuhi kebutuhan
kayu, ekploitasi hutan alam juga masih terbuka untuk kegiatan di luar
sektor kehutanan, seperti pertambangan dan perkebunan atau
pertanian. UU 41/1999 membuka peluang dilakukannya konversi
tanpa memberi batasan dasar yang jelas dan tegas. Akibatnya aturan
pelaksana dari ketentuan ini juga dapat diartikan berbeda-beda dari
satu waktu ke waktu lain yang tidak terlalu lama.
Sebagai contoh, Kepmenhut No. 70/Kpts-II/2001 tentang
Penetapan Kawasan Hutan dan Perubahan Status dan Fungsi
Kawasan mengatur bahwa untuk melepas kawasan hutan
konservasi, maka status kawasan tersebut harus diubah secara
bertahap menjadi hutan lindung dan hutan produksi sebelum bisa
diubah menjadi APL. Tetapi kemudian, Pasal 4 jo Pasal 29 PP No.
10/2010 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi
Kawasan Hutan menyebutkan bahwa Kawasan Hutan Konservasi
dapat diubah menjadi APL melalui persetujuan DPR. Ketidakjelasan
batasan pada UU 41/1999 sendiri telah menimbulkan perbedaan
penfasiran atas kehendak UU dalam mengelola hutan sehingga
memudahkan
terjadinya
pembentukan
aturan
berdasarkan
kepentingan sesaat.
Padahal apabila penentuan fungsi kawasan hutan dilakukan
sesuai dengan aturan yang berlaku (PP No. 44 tahun 2004 tentang
Perencanaan Kehutanan serta PP No. 68/1998 tentang Kawasan
Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam), maka seharusnya
perubahan peruntukan dan fungsi tidak mudah untuk dilakukan.
Pada tataran implementasi, perubahan peruntukan kawasan
hutan dilakukan secara langsung maupun tidak langsung. Modus
yang tidak langsung misalnya dengan menelantarkan hutan, izin
konsesi yang telah diperoleh hanya dipergunakan untuk memanen
kayu dan setelah itu hutan ditelantarkan sampai akhirnya diusulkan
untuk areal perkebunan atau peruntukan lainnya dengan alasan
bahwa hutan tersebut telah rusak, tidak produktif, atau terdegradasi.
Benturan atau ketidakharmonisan peraturan
Benturan atau ketidakharmonisan peraturan perundangundangan dapat terjadi secara horinzontal (antar sektor) atau vertikal
(antara pusat dan daerah). Dengan terbitnya undang-undang No. 32
Tahun 2004 Tentang Otonomi Daerah, kewenangan daerah menjadi
sangat besar dalam pengelolaan sumber daya alam. Dalam undangundang ini disebutkan bahwa pemerintahan daerah adalah
penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan
DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip
otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Selanjutnya disebutkan pula bahwa otonomi daerah adalah hak,
wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat
setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dalam
ketentuan undang-undang tersebut, antara pemerintah pusat dan
daerah mempunyai kewenangan masing-masing. Sayangnya
pengalaman dalam memberikan otonomi yang lebih luas kepada
daerah untuk mengeluarkan izin pemanfaatan hasil hutan kayu
kepada daerah telah memicu laju deforestasi pada kurun wktu 2000 –
2003.
Benturan antara pusat dan daerah biasanya tampak kasat mata
dalam tata ruang wilayah yang dipayungi oleh Peraturan Daerah.
Tumpang tindih atau usulan perubahan fungsi hutan untuk
penggunaan lain selalu saja terjadi dalam tata ruang wilayah.
Pada kasus tumpang tindih kawasan yang telah terlanjur terjadi,
misalnya pembukaan pertambangan atau perkebunan yang terlanjur
ada karena lemahnya koordinasi, proses penegakan hukumnya
seringkali mendapat hambatan dari aspek lemahnya kemantapan
kawasan hutan sebagai akibat dari proses pengukuhan kawasan
yang tidak selesai. Dalam ketentuan Undang-undang No. 41 Tahun
1999 tentang kehutanan disebutkan bahwa pengukuhan kawasan
hutan harus memperhatikan rencana tata ruang wilayah melalui
proses : 1) penunjukkan kawasan hutan; 2) penataan batas kawasan
hutan; 3) pemetaan kawasan hutan; dan 4) penetapan kawasan
hutan. Syarat tersebut sangat mutlak untuk masing-masing
kegiatannya, jadi untuk dapat menentukan suatu kawasan adalah
hutan atau tidak, maka prosesnya harus memenuhi 4 unsur tersebut.
Bila tidak maka penentuan kawasan hutan tersebut menjadi batal
demi hukum, dan deforestasi atau degradasi yang terjadi akibat
penggunaan untuk sektor penggunaan lahan lainnya tidak lagi dapat
dikategorikan sebagai pelanggaran.
Ketidaklengkapan Peraturan
Aturan yang tidak lengkap akan memudahkan terjadinya
penyimpangan-penyimpangan dalam pelaksanaan khususnya terkait
dengan pemberian perizinan usaha kehutanan maupun izin kegiatan
lain di kawasan hutan.
Undang-undang pertanian misalnya, memberikan kewenangan
kepada Kepala Daerah untuk memberikan izin perkebunan di
daerahnya. Walaupun Undang-undang Kehutanan mengatur bahwa
seharusnya untuk perkebunan dilakukan perubahan peruntukan
kawasan hutan terlebih dahulu, namun pada kenyataannya hal ini
tidak berjalan di lapangan.
Ketidaklengkapan di tataran aturan ini juga terjadi karena
peraturan perundang-undangan tidak memberikan kewenangan
kepada pihak yang tepat atau tidak disertai oleh insentif yang tepat.
Sebagai contoh adalah pemberian kewenangan kepada Gubernur
untuk melakukan penataan tata batas kawasan hutan. Ketentuan ini
menyebabkan kendala di tingkat implementasi karena sumber daya
berada di Pemerintah Pusat dan Kabupaten. Di lain pihak, sumber
daya pendukung tidak diberikan oleh Pemerintah Pusat kepada
Gubernur untuk melaksanakan hal tersebut.
Terkait aturan yang tidak lengkap, maka Undang-undang
Kehutanan juga masih belum memberikan sanksi yang memadai bagi
pelaku utama pembalakan liar, melainkan hanya terbatas pada
pelaku di lapangan (physical perpetrator). Di sisi lain, penerapan UU
Lain seperti UU tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, UU
Pemberantasan Korupsi, maupun UU Lingkungan Hidup yang lebih
siap untuk menangkap pelaku utama kejahatan kehutanan masih
sangat minim.
b. Penegakan hukum tidak tegas
Kondisi penegakan hukum di Indonesia sedang berada di dalam
ambang yang kritis. Kepercayaan masyarakat terhadap lembaga
penegak hukum sangat rendah karena maraknya praktek mafia hukum
(Satgas PMH, 2010). Praktek mafia hukum juga terjadi di sektor
kehutanan. Dalam hal ini, ditengarai bahwa modus operansi mafia
hukum di sektor kehutanan terdapat sebelum dan setelah ada perkara.
Pada saat sebelum ada perkara, modus yang terjadi mulai dari
proses perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan, perizinan
sampai dengan pada saat eksploitasi sumber daya hutan (pemberian
dan pelaksanaan izin). Pada dasarnya dalam seluruh proses tersebut
ditemui banyak kasus di mana aparat penegak hukum terlibat dengan
cara melindungi para pelaku kejahatan. Hal ini menyebabkan terjadinya
pembiaran yang tinggi yang berakibat pada kerusakan hutan yang
sangat luas.
Pada saat setelah ada perkara, kerap terjadi dalam seluruh proses
penegakan hukum, mulai dari penyelidikan, penyidikan, penuntutan
sampai dengan pengambilan putusan yang rentan terhadap mafia
hukum. Hal ini menyebabkan angka tindak pidana kehutanan yang
dihukum sangat sedikit dan mayoritas adalah pelaku di lapangan.
5. Tata Kelola (governance)
Dalam menilai tata kelola hutan, terdapat empat isu penting yang perlu
dinilai yaitu, tenurial, tata ruang, manajemen hutan serta distribusi manfaat
dari sektor kehutanan. Seperti telah terlihat dalam pembahasan
sebelumnya, dalam konteks Indonesia, ke-empat isu tersebut menjadi
penyebab utama (underlying causes) dari terjadinya deforestasi dan
degradasi hutan.
Pada bagian ini, fokus analisis permasalahan adalah prinsip-prinsip
tata kelola yang baik, yang pada dokumen ini akan difokuskan pada (a)
koordinasi, (b) transparansi, partisipasi, (c) akuntabilitas, (d) efektivitas dan
efisiensi, (e) aspek keadilan (fairness), dan (f ) ketidakhadiran pengelola di
lapangan.
a. Koordinasi
Terdapat beberapa isu dalam koordinasi, pertama adalah
ketidakjelasan wewenang dan tanggung jawab antara pemerintah pusat
dan daerah yang juga dipengaruhi oleh penerapan rezim otonomi
daerah yang masih pada tahap awal.
Gambaran dari ketidakjelasan ini juga terlihat pada tingkat sektoral.
Data DitjenPlanologi Kehutanan menyebutkan bahwa luas total APL
kurang lebih 55 juta ha, sementara data BPS tentang luas lahan
pertanian saat ini kurang lebih 69 juta ha. Dengan demikian, terdapat
sekitar 14 juta ha kawasan hutan yang telah berubah menjadi lahan
pertanian tanpa diketahui oleh Kementerian Kehutanan. Ketidakjelasan
data dan informasi ini telah menjadi setting situasi dalam setiap
pengambilan keputusan selama ini sehingga kualitas keputusanya akan
sangat rendah.
Di kawasan hutan konservasi, menurut data Ditjen Planologi
Kehutanan (2008) selama periode 8 tahun (1997–2005), terdapat
pengurangan penutupan kawasan hutan menjadi non-hutan seluas
480.000 ha atau 1,7% dari total luas kawasan konservasi. Walaupun
masih terdapat permasalahan sebagaimana tersebut diatas, kawasan
konservasi relatif masih utuh dibanding kawasan hutan produksi dan
hutan lindung karena memiliki unit manajemen yang jelas dan mandiri.
b. Transparansi, partisipasi dan akuntabilitas
Absennya transparansi dan partisipasi pemangku kepentingan juga
menyebabkan minimnya pengetahuan masyarakat, terutama mereka
yang tinggal di kawasan hutan, untuk turut serta dalam proses
pengambilan keputusan dalam proses perizinan serta melakukan
pengawasan atas pelanggaran izin yang terjadi. Hal ini mengakibatkan
tidak saja data yang lebih akurat tidak tersedia dalam proses
pengambilan keputusan, juga penyalahgunaan wewenang para
pengambil kebijakan para pejabat yang berwenang dalam suatu proses
perizinan tidak terdeteksi dan tidak mendapatkan pengawasan yang
memadai dari masyarakat.
Tentang minimnya transparansi dan partisipasi masyarakat, paling
tidak disebabkan oleh dua faktor, yaitu ketidakjelasan di tingkat aturan
dan lemahnya kapasitas masyarakat untuk ikut berpartisipasi dalam
pengambilan kebijakan.
c. Aspek Keadilan (Fairness)
Ketidakadilan distribusi pendapatan dari sektor kehutanan, baik
antara pusat dan daerah maupun terhadap masyarakat di sekitar hutan,
memunculkan rasa ketidakadilan antar pihak yang berkepentingan
(stakeholders). Rasa ketidakadilan tersebut juga berpengaruh terhadap
laju deforestasi dan degradasi hutan karena mereka yang merasa
memiliki hak dan belum mendapatkan distribusi manfaat kemudian
mengambil manfaat dari hutan. Keadaan tersebut ditambah dengan
absennya sistem penegakan hukum yang kuat sehingga berdampak
pada meluasnya deforestasi dan degradasi.
d. Efektivitas dan efisiensi rendah
Secara umum, efektivitas dan efisiensi pengurusan hutan termasuk
rendah yang ditandai dengan tidak efektifnya pengawasan sehingga
telah terjadi konversi tidak terencana secara besar-besaran di berbagai
kawasan hutan yang tidak ditindak ataupun ketidaktepatan dan
ketidakefektifan pelaksanaan berbagai program yang direncanakan
seperti program GERHAN. Hal ini bersumber dari berbagai faktor lain
seperti peraturan perundang-undangan yang menyebabkan proses
pengeluaran izin bersifat rumit dan panjang namun tanpa disertai oleh
proses pengawasan yang jelas sehingga menimbulkan birokrasi yang
tidak efektif dan berbiaya tinggi.
Faktor lain adalah pemanfaatan anggaran yang tidak tepat sasaran
serta sumber daya manusia yang tidak mampu melaksanakan tugas dan
tanggungjawabnya secara efektif. Hal terakhir juga terkait dengan
sistem renumerasi, rekrutmen, mutasi dan promosi pegawai yang tidak
didasarkan atas penilaian kinerja.
6. Faktor Lingkungan yang mendorong
Kekuatan pendorong (driving force) merupakan kondisi makro yang
mendorong terjadinya kegiatan langsung pada kejadian deforestasi dan
degradasi hutan. Termasuk dalam kategori ini adalah:
a. belum patuhnya pengambil kebijakan pada prinsip-prinsip pembangunan
berkelanjutan;
b. permintaan (supply) akan kebutuhan yang harus didukung oleh sumber
daya hutan, seperti kayu dan sawit pada tingkat global dan nasional
melebihi kemampuan produksi dari pengelolaan hutan lestari;
c. target pertumbuhan ekonomi;
d. Lemahnya leadership.
B. Akibat Degradasi Hutan
Kerusakan hutan ini telah menimbulkan beberapa dampak negatif
yang besar di bumi:
1. Efek Rumah Kaca (Green house effect).
Hutan merupakan paru-paru bumi yang mempunyai fungsi
mengabsorsi gas Co2. Berkurangnya hutan dan meningkatnya
pemakaian energi fosil (minyak, batubara dan lain-lain) akan
menyebabkan kenaikan gas Co2 di atmosfer yang menyelebungi bumi.
Gas ini makin lama akan semakin banyak, yang akhirnya membentuk
satu lapisan yang mempunyai sifat seperti kaca yang mampu
meneruskan pancaran sinar matahari yang berupa energi cahaya ke
permukaan bumi, tetapi tidak dapat dilewati oleh pancaran energi
panas dari permukaan bumi. Akibatnya energi panas akan dipantulkan
kembali ke permukaan bumi oleh lapisan Co2 tersebut, sehingga
terjadi pemanasan di permukaan bumi. Inilah yang disebut efek rumah
kaca.
Kenaikan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) yang telah terjadi sejak
abad ke 19 memberikan dampak yang sangat signifikan terhadap
pemanasan global (global warming). Peningkatan emisi yang tinggi
menyebabkan terjadinya perubahan iklim yang sangat drastis dan
membawa dampak berupa kemarau yang berkepanjangan, banjir,
badai dan peningkatan permukaan air laut. Hal itu mengakibatkan
kerugian yang sangat besar bagi penduduk dunia yang tinggal di
daerah sekitar pantai sampai pegunungan, penurunan kualitas
lingkungan global dan ancaman ketersediaan sumber daya alam di
masa mendatang.
Sesuai dengan Stern Review (2006) deforestasi dan degradasi
hutan berkontribusi sebesar kurang lebih 18% dari emisi global, dari
jumlah tersebut 75% nya berasal dari negara-negara berkembang.
Kondisi tersebut menjadi ancaman serius bagi sumber penghidupan
masyarakat lokal, fungsi daerah-daerah aliran sungai serta
keberadaan keanekaragaman hayati.
Hutan berperan penting dalam siklus karbon global dan dapat
berfungsi sebagai penghasil emisi (emitter) maupun penyerap emisi
(removal). Hasil inventarisasi Gas Rumah Kaca (GRK) nasional
dengan berbasis (base-year) tahun 2000 menunjukkan bahwa sektor
kehutanan merupakan pengemisi GRK (net emitter) tertinggi (Gambar
1). Emisi ini pada umumnya berasal dari deforestasi, degradasi, dan
kebakaran hutan termasuk gambut (2nd National Communication,
2009). Berdasarkan base-year 2000, sektor kehutanan menyumbang
48% emisi GRK nasional, paling tinggi dibandingkan sektor lain.
2. Kerusakan Lapisan Ozon
Lapisan Ozon (O3) yang menyelimuti bumi berfungsi menahan
radiasi sinar ultraviolet yang berbahaya bagi kehidupan di bumi. Di
tengah-tengah kerusakan hutan, meningkatnya zat-zat kimia di bumi
akan dapat menimbulkan rusaknya lapisan ozon. Kerusakan itu akan
menimbulkan lubang-lubang pada lapisan ozon yang makin lama
dapat semakin bertambah besar. Melalui lubang-lubang itu sinar
ultraviolet akan menembus sampai ke bumi, sehingga dapat
menyebabkan kanker kulit dan kerusakan pada tanaman-tanaman di
bumi.
3. Kepunahan Species
Hutan di Indonesia dikenal dengan keanekaragaman hayati di
dalamnya. Dengan rusaknya hutan sudah pasti keanekaragaman ini
tidak lagi dapat dipertahankan bahkan akan mengalami kepunahan.
Dalam peringatan Hari Keragaman Hayati Sedunia 2007 Departemen
Kehutanan mengumumkan bahwa setiap harinya Indonesia kehilangan
satu species (punah) dan kehilangan hampir 70% habitat alami pada
sepuluh tahun terakhir ini.(http://laurentius.blog.uns.ac.id/2009/08/25/)
4. Merugikan Keuangan Negara.
Sebenarnya bila pemerintah mau mengelola hutan dengan lebih
baik, jujur dan adil, pendapatan dari sektor kehutanan sangat besar.
Tetapi yang terjadi adalah sebaliknya. Misalnya tahun 2003 jumlah
produksi kayu bulat yang legal (ada ijinnya) adalah sebesar 12 juta
m3/tahun. Padahal kebutuhan konsumsi kayu keseluruhan sebanyak
98 juta m3/tahun. Data ini menunjukkan terdapat kesenjangan antara
pasokan dan permintaan kayu bulat sebesar 86 juta m3. Kesenjangan
teramat besar ini dipenuhi dari pencurian kayu (illegal loging). Dari
praktek tersebut diperkirakan kerugian yang dialami Indonesia
mencapai Rp.30 trilyun/tahun. Hal inilah yang menyebabkan
pendapatan sektor kehutanan dianggap masih kecil yang akhirnya
mempengaruhi pengembangan program pemerintah untuk masyarakat
Indonesia (Laurentius, 2009)
Peristiwa banjir yang sering melanda Indonesia akhir-akhir ini,
disebutkan bahwa salah satu akar penyebabnya adalah karena
rusaknya hutan yang berfungsi sebagai daerah resapan dan
tangkapan air (catchment area). Hutan yang berfungsi untuk
mengendalikan banjir di waktu musim hujan dan menjamin
ketersediaan air di waktu musim kemarau, akibat kerusakan hutan
makin hari makin berkurang luasnya. Tempat-tempat untuk
meresapnya air hujan (infiltrasi) sangat berkurang, sehingga air hujan
yang mengalir di permukaan tanah jumlahnya semakin besar dan
mengerosi daerah yang dilaluinya. Limpahannya akan menuju ke
tempat yang lebih rendah sehingga menyebabkan banjir. Bencana
banjir dapat akan semakin bertambah dan akan berulang apabila
hutan semakin mengalami kerusakan yang parah. Tidak hanya akan
menimbulkan kerugian materi, tetapi nyawa manusia akan menjadi
taruhannya.
C. Upaya Penanggulangan
Rusaknya hutan di Indonesia telah mendorong berbagai pihak untuk
turut serta menyelamatkannya. Namun penyelamatan itu tidaklah mudah.
Diperlukan kerjasama semua pihak dalam rangka menjamin
kelangsungan hutan dengan kehidupan liarnya untuk tetap bertahan di
kehidupan masa depan.
Kondisi hutan yang terus menurun luasannya, tak boleh menjadikan
kita terus menyalahkan masa lalu, juga tak boleh menuding-nuding
berbagai pihak yang pada akhirnya hanya akan memperpanjang
perdebatan, bukan melahirkan tindakan yang konkret untuk
menyelamatkan hutan.
Butler, 2007 dalam Mahmuddin, 2009, mengemukaan beberapa
langkah untuk menyelamatkan hutan hujan dan termasuk ekosistem di
seluruh dunia dengan fokus pada 4 hal yaitu: Pendidikan masyarakat,
Rehabilitasi hutan hujan tropis, hidup dengan tidak merusak lingkungan,
taman perlindungan.
1. Pendidikan masyarakat
Di negara-negara hutan hujan termasuk Indonesia, penduduk lokal
kadang kala tidak mengerti apa pentingnya hutan hujan. Dengan
program pendidikan, mereka dapat belajar bahwa hutan memberikan
sumber kunci (seperti air bersih) dan adalah rumah bagi hewan dan
tumbuhan yang tak akan ditemukan di bagian lain manapun di dunia.
2. Rehabilitasi Hutan Hujan
Walaupun tidak mungkin untuk menanam kembali sebuah hutan hujan,
beberapa hutan hujan dapat memulihkan diri setelah ditebangi,
terutama jika mereka mendapat bantuan melalui penanaman pohon
kembali.
3. Hidup dengan tidak merusak Lingkungan
Di negara-negara hutan hujan, banyak ilmuwan dan organisasi yang
bekerja untuk menolong penduduk lokal hidup dengan cara yang tak
terlalu merusak lingkungan. Beberapa orang menyebut ide ini dengan
“sustainable development” (perkembangan yang berkepanjangan).
Sustainable development memiliki tujuan untuk meningkatkan
kehidupan dari masyarakat yang pada saat bersamaan juga
melindungi lingkungan. Tanpa meningkatkan taraf hidup masyarakat
yang tinggal di dan di sekitar hutan hujan, akan sangat sulit untuk
melindungi taman dan alam liar. Agar taman-taman tersebut bisa
berguna, masyarakat lokal harus tertarik pada konservasi. Saat ini
Indonesia juga telah berupaya menggunakan sistem kredit karbon
melalui penghindaran penggundulan hutan.
4. Taman Perlindungan
Cara efektif untuk melindungi hutan hujan adalah melibatkan penduduk
asli di manajemen taman. Para penduduk asli ini lebih tahu mengenai
hutan dibandingkan dengan siapapun dan memiliki ketertarikan untuk
menjaganya dengan aman sebagai ekosistem yang telah memberinya
makanan, tempat berlindung, dan air bersih. Taman-taman ini juga
dapat membantu perekonomian di negara-negara hutan hujan dengan
cara ekoturism.
Pada Draft 1 Strategi Nasional REDD+ menyebutkan di tingkat
nasional perubahan iklim yang disebabkan oleh kegiatan manusia dalam
peningkatan konsentrasi gas rumah kaca yang sangat tinggi telah
menjadi salah satu isu penting dalam hal perencanaan pembangunan
Indonesia. Dampak perubahan iklim yang merusak telah dirasakan dan
diperkirakan akan semakin buruk dan akan menghambat tujuan
pembangunan berkelanjutan apabila tidak dilakukan antisipasi. Selain
adaptasi untuk mengurangi kerusakan yang ditimbulkan, Indonesia juga
menetapkan dalam rencana pembangunan jangka menengah untuk
melakukan berbagai mitigasi sebagai upaya yang tidak terpisahkan.
Komitmen Indonesia dalam menurunkan emisi karbon sebesar 26%
dari business as usual (BAU) dengan upaya sendiri pada tahun 2020
telah disampaikan oleh Kepala Negara dalam dua pertemuan
internasional yang strategis, yaitu Sidang G20 di Pittsburgh September
2009 dan COP 15 UNFCCC di Kopenhagen Desember 2009. Rencana
Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) 2010-2014 memuat upaya
berbagai bidang dalam menghadapi perubahan iklim ini dengan
mengarusutamakan pada kegiatan pembangunan. Namun, khusus pada
pencapaian target 26%, telah pula dilakukan penyusunan Rencana Aksi
Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK) yang khusus
terkait dengan mitigasi.
Pada bidang kehutanan dan lahan gambut, mitigasi dapat
dilakukan melalui penurunan emisi dari pencegahan deforestasi dan
degradasi hutan, serta melalui penyerapan GRK dari peningkatan fungsi
hutan dalam menyerap dan menyimpan karbon. Di dalam pembahasan
internasional hal-hal tersebut masuk ke dalam isu Reducing Emissions
from Deforestation and Forest Degradation plus (REDD+) yang dimulai
sejak COP 13 di Bali Desember 2007 yang direncanakan akan mulai
berjalan setelah tahun 2012.
REDD sendiri pada dasarnya adalah sebuah mekanisme
internasional yang dimaksudkan untuk memberikan insentif bagi negara
berkembang yang berhasil mengurangi emisi dari deforestasi dan
degradasi hutan, merupakan salah satu opsi mitigasi perubahan iklim di
sektor kehutanan.
Stratetegi Nasional REDD+ Indonesia ini dirancang sebagai sebuah
arahan yang bersifat sistematis, logis, objektif, dan pragmatis. Dengan
mengacu kepada prinsip-prinsip tersebut maka pengurangan emisi akan
dilaksanakan melalui strategi pembangunan rendah karbon yang terpadu
(hulu sampai hilir) dan komprehensif (multi aspek).
Prinsip yang mendasari perumusan strategi ini merupakan prinsip
pembangunan berkelanjutan, yaitu:
Pembangunan ekonomi yang bertumpu pada desentralisasi
bertanggung jawab.
Pemeliharaan keseimbangan fungsi ekologis.
Keadilan antar generasi.
Kerangka pelaksanaan pengurangan emisi melalui REDD+ meliputi :
1. Penurunan emisi dari deforestasi,
2. Penurunan emisi dari degradasi hutan,
3. Penguatan peran konservasi,
4. Penguatan peran pengelolaan berkelanjutan terhadap sumber daya
hutan, dan
5. Peningkatan simpanan karbon melalui restorasi dan rehabilitasi.
Kelima tema penting tersebut akan didekati dengan pendekatan
pengurangan sumber emisi (source) dan meningkatkan simpanan (sink)
karbon.
Dengan mengacu kepada berbagai permasalahan yang ada maka
strategi nasional REDD+ Indonesia terbagi secara garis besar terdiri dari :
1. Strategi pemenuhan prasyarat dan kondisi pemungkin
Strategi pemenuhan prasyarat terdiri dari program pembuatan
peraturan yang terkait dengan pelaksanaan REDD+, program
pembentukan metodologi REDD+, dan program pembangunan
pembagian manfaat dan tanggung jawab. Strategi pemenuhan kondisi
pemungkin terdiri dari program reformasi perencanaan pembangunan
sektor penggunaan lahan, program reformasi dasar dan penegakan
hukum, program penguatan pemberdayaan ekonomi lokal, program
pelibatan pemangku kepentingan, dan program penguatan tata kelola.
Penjabaran strategi reformasi pembangunan sektor terdiri dari program
reformasi pembangunan sektor kehutanan, pertanian, pertambangan,
dan sektor penggunaan lahan lainnya yang berkelanjutan.
2. Strategi reformasi pembangunan beberapa sektor terkait
Strategi Pembangunan sektor kehutanan bertumpu pada aspek
penurunan sumber emisi GRK dan peningkatan dan perlindungan stok
karbon. Beberapa aspek yang dicakup dalam upaya penurunan emisi
GRK adalah :
Penguatan konservasi dalam perumusan kebijakan dan program
pembangunan sektor kehutanan,
Penguatan pengelolaan berkelanjutan terhadap sumber daya hutan,
Peningkatan efektivitas penegakan hukum di wilayah KPH, dan
Penyempurnaan pengelolaan gambut di kawasan hutan.
Peningkatan dan perlindungan stok karbon (sink) mencakup
delapan kegiatan utama, yaitu :
Peningkatan kualitas pengelolaan kawasan lindung (kawasan
konservasi,hutan lindung dan kawasan lindung lainnya yang akan
ditetapkan kemudian dalam tata ruang wilayah) dalam rangka
pemeliharaan simpanan karbon,
Peningkatan upaya reboisasi hutan di kawasan hutan
terdeforestasi,
Pengembangan insentif untuk meningkatkan stok karbon di daerah
yang terdegradasi dan lahan bekas kebakaran,
Pelaksanaan pengkayaan (enrichment planting) pada kawasan
terdegradasi,
Pelaksanaan restorasi hutan pada hutan lindung, kawasan
konservasi, dan pada kawasan IUPHHK-Restorasi,
Peningkatan upaya restorasi lahan gambut yang terdeforestasi dan
terdegradasi,
Peningkatan upaya rehabilitasi hutan mangrove, dan
Pelaksanaan reklamasi lahan bekas tambang.
Strategi pembangunan sektor pertanian dalam menghadapi
perubahan iklim difokuskan pada upaya meminimalisasi dampak
negatif dari perubahan iklim terhadap ketahanan pangan nasional.
Sejalan dengan itu, strategi pembangunan pertanian juga diarahkan
pada upaya intensifikasi dan penerapan teknologi tepat guna yang
menghindari pembukaan lahan baru pada kawasan-kawasan yang
masih memiliki tutupan hutan sedang sampai baik.
Penguatan sektor pertanian dalam rangka mendukung
pelaksanaan REDD+ ini antara lain :
Penyempurnaan perencanaan pertanian yang menghindari
perluasan pada kawasan yang memiliki tutupan hutan sedang
sampai baik serta perlindungan terhadap kawasan-kawasan bernilai
konservasi tinggi di kawasan perkebunan;
Penerapan int
MELALUI DEGRADASI HUTAN DAN DEFORESTASI,
PENYEBAB, AKIBAT SERTA UPAYA PENANGGULANGANNYA
Oleh : I Ketut Catur Marbawa
I.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejarah memberi petunjuk kepada kita bahwa alam memiliki batasbatas kemampuannya untuk pulih. Ketika ambang batas itu terlewati
degradasi alam dengan segala konsekuensinya akan ditanggung oleh
generasi yang akan datang. Manusia berperan besar dalam menentukan
kelestarian lingkungan hidup. Dengan akal budi manusia mampu
merubah wajah dunia dari pola kehidupan sederhana sampai ke bentuk
kehidupan modern seperti sekarang ini. Namun demikian seringkali apa
yang dilakukan manusia tidak diimbangi dengan pemikiran akan masa
depan kehidupan generasi berikutnya. Banyak kemajuan yang diraih oleh
manusia membawa dampak buruk terhadap kelangsungan lingkungan
hidup.
Kerusakan lingkungan hidup telah terjadi dimana-mana, termasuk di
Indonesia. Yang menonjol adalah gangguan atau kerusakan pada
berbagai ekosistem yang menyebabkan komponen komponen yang
menyusun ekosistem, yaitu keanekaragaman varietas (genetic, variety,
atau subspecies diversity), keanekaragaman jenis (species diversity) juga
ikut terganggu. Akibatnya, terjadilah kepunahan varietas atau jenis hayati
yang hidup di dalam ekosistem. Pada akhirnya, baik secara langsung
ataupun tidak langsung, manusia yang sangat tergantung pada
kelestarian ekosistem tapi berlaku kurang bijaksana terhadap
lingkungannya, akan merasakan berbagai akibatnya. Kerusakan
lingkungan, khususnya di Indonesia, telah terjadi pada berbagai tempat
dan berbagai tipe ekosistem. Misalnya, pada ekosistem pertanian, pesisir
dan lautan, juga ekosistem hutan.
Bukti sejarah lenyapnya hutan alam di Benua Eropa seiiring dengan
perubahan sosial masyarakatnya yang ditandai dengan revolusi industri
adalah pelajaran yang sangat berharga. Kerusakan sumberdaya alam di
Indonesia adalah karena melupakan dan gagal belajar dari fenomena
kerusakan sejarah di benua Eropa. Hutan alam dataran rendah di Pulau
Jawa telah habis dalam tempo 100 tahun pada periode 1800 – 1900.
Prediksi para ahli bahwa hutan-hutan alam dataran rendah di Sumatra
dan sebagian Kalimantan lenyap hanya dalam hitungan 30 tahun.
Deforestasi dan degradasi hutan masih tetap menjadi ancaman
serius bagi Indonesia. Indonesia memiliki 10 persen hutan tropis dunia
yang masih tersisa. Hutan Indonesia memiliki 12 persen dari jumlah
spesies binatang menyusui/ mamalia, pemilik 16 persen spesies binatang
reptil dan ampibi. 1.519 spesies burung dan 25 persen dari spesies ikan
dunia. Sebagian diantaranya adalah endemik (hanya dapat ditemui di
daerah tersebut).
Luas hutan alam asli Indonesia menyusut dengan kecepatan yang
sangat mengkhawatirkan. Laju kerusakan hutan Indonesia pada saat ini
masih tinggi, mencapai 1,08 juta hektare per tahun. Meski menurut data
Direktorat Jendral Bina Rehabilitasi Hutan dan Lahan ( Ditjen RHL)
Dephut, laju kerusakan hutan saat ini turun dari kisaran 1,87 juta hektare
per tahun pada kurun 1985-1998 dan 2,83 juta hektare per tahun pada
1987-2000, namun luas hutan kritis sampai akhir 2009 diperkirakan
mencapai 69,9 juta hektare (Arif Pujianto, 2009)
Dari total luas hutan di Indonesia yang mencapai 180 juta hektar,
sebanyak 21 persen atau setara dengan 26 juta hektar telah dijarah total
sehingga tidak memiliki tegakan pohon lagi. Artinya, 26 juta hektar hutan
di Indonesia telah musnah.
Selain itu, 25 persen lainnya atau setara dengan 48 juta hektar juga
mengalami deforestasi dan dalam kondisi rusak akibat bekas area HPH
(hak penguasaan hutan). Dari total luas hutan di Indonesia hanya sekitar
23 persen atau setara dengan 43 juta hektar saja yang masih terbebas
dari deforestasi (kerusakan hutan) sehingga masih terjaga dan berupa
hutan primer.
B. Tujuan
Berdasarkan latar belakang diatas, penulisan paper ini bertujuan untuk
mengulas tentang degradasi lingkungan yang diakibatkan oleh deforestasi
dan degradasi hutan, faktor penyebab, akibat yang ditimbulkannya serta
upaya penanggulangannya.
II.
PENGERTIAN
Hutan
Menurut Undang-Undang No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, Hutan
adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber
daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam
lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan.
Kawasan hutan
Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan
oleh Pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap
(Undang-Undang No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan)
Deforestasi
Deforestasi adalah pengalihan hutan menjadi lahan dengan tujuan lain atau
pengurangan tajuk pohon di bawah ambang batas minimum 10% untuk
jangka panjang dengan tinggi pohon minimum 5 m (in situ) dan areal
minimum 0,5 ha (FAO, dalam Draft 1 Strategi Nasional REDD+
BAPPENAS).
Degradasi
Perubahan di dalam hutan yang berdampak negatif terhadap struktur atau
fungsi tegakan atau lahan hutan sehingga menurunkan kemampuan hutan
dalam menyediakan jasa/produk hutan, atau dapat diartikan sebagai
penurunan stok carbon (carbon stock degradation) hutan (FAO dan submisi
Indonesia ke Sekretariat UNFCCC Maret 2008, dalam Draft 1 Strategi
Nasional REDD+, BAPPENAS).
Degradasi hutan merupakan perubahan luas tutupan hutan yang lebih
banyak untuk tujuan ekonomi, non ekologis dimana penggunaan dan
pemanfaatan lahan (land use) tidak berubah, tetapi sebagai kawasan hutan,
yang berubah adalah kuantitas dan kualitas penutupan hutannya (Siaran
Pers Departemen Kehutanan, 20 April 2007).
III. METODOLOGI
Penulisan paper ini menggunakan metodologi studi literatur yang bersumber
dari website-website yang ada.
IV. PEMBAHASAN
A. Penyebab Deforestasi dan Degradasi Hutan di Indonesia
Secara umum deforestasi dan degradasi hutan yang terjadi di Indonesia
disebabkan oleh faktor yang berasal dari dalam dan luar sektor
kehutanan.
Dari dalam sektor kehutanan, pemicu tersebut dapat dikelompokkan
ke dalam 4 kegiatan, yaitu
Penebangan ilegal dan dari pengelolaan hutan yang tidak lestari,
Kebakaran hutan,
Perubahan hutan alam (tanah mineral dan gambut) untuk
pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI), dan
Lemahnya penegakan hukum dalam pengelolaan konsesi hutan.
Sedangkan dari luar sektor kehutanan, pemicu deforestasi dan degradasi
hutan antara lain adalah
Perambahan hutan oleh masyarakat,
Kebakaran lahan (non-kawasan hutan),
Perluasan permukiman,
Pemekaran wilayah,
Ekstensifikasi perkebunan (kelapa sawit, karet, kakao, kopi),
Ekstensifikasi lahan pertanian,
Pembukaan tambak di hutan mangrove,
Peningkatan lahan penggembalaan (pasture land),
Pertambangan, dan
Pembangunan infrastruktur.
Secara lebih sederhana, seluruh hal di atas dapat dikelompokan
menjadi penyebab deforestasi akibat adanya konversi hutan menjadi
kawasan non hutan baik secara terencana maupun tidak terencana, serta
degradasi hutan akibat adanya penabangan liar dan kebakaran hutan.
Berdasarkan analisis fishbone, dapat diidentifikasi beberapa masalah
utama penyebab deforestasi dan degradasi seperti lemahnya tata tuang,
tidak efektifnya unit manajemen hutan, lemahnya tata kelola,
permasalahan tenurial, dan lemahnya dasar hukum serta penegakan
hukum (Draft 1 Strategi Nasional REDD+, BAPPENAS).
Tata Ruang yang lemah
Tenurial Bermasalah
Unit Manajemen Hutan
Tidak Efektif
Tata Kelola Lemah
Dasar dan Penegakan
Hukum Lemah
Komponen Masalah
Lemahnya Data dan Informasi yang sahih dan akurat
lemah
Partispasi dalam perencanaan tata ruang dan tata guna
lahan
Perencanaan sektorat tidak terpadu
Konflik lahan tidak pernah tuntas
Status dan batas kawasan hutan tidak jelas
Terbatasnya alternatif sumber pendapatan
Budaya dan pola mata pencaharian berbasis lahan
Masyrakat adat tidak memiliki hak formal
Hutan produksi kolap, hutan lindung terancam, hutan
konservasi rentan
Kinerja organisasi pengelolaan hutan rendah
Integritas dan kapasitas pengelola hutan rendah
Ketidakadilan distrubusi manfaat dari sektor hutan
Koordinasi antar sektor dan antara pusat dan daerah lemah
Transparansi, partisipasi dan akuntabilitas rendah
Efektivitas dan efisiensi pengelolaan kegiatan dan anggaran
rendah
Korupsi dan kolusi
Isi dasar hukum kontraproduktif dan tidak jelas
Tumpang tindih dasar hukum
Penegakan hukum lemah, termasuk adanya mafia hukum
Gambaran analisis fishbone terhadap timbulnya
degradasi hutan di Indonesia tergambar dibawah ini.
Gambar 1.
deforestasi
dan
Identifikasi Penyebab Deforestasi dan Degradasi Hutan dengan Analisis
Fishbone
1. Perencanaan Tata Ruang yang Lemah
Rencana Tata Ruang disusun sebagai pedoman bagi pemerintah
provinsi dan kabupaten untuk pelaksanaan pembangunan jangka panjang
sekaligus sebagai wadah kepentingan para pihak di berbagai tingkatan,
mulai dari pemerintah pusat, provinsi, kabupaten, swasta maupun
masyarakat dan bertujuan untuk mengoptimalkan ruang dengan tetap
menjaga keseimbangan antara tujuan menaikkan tingkat pertumbuhan
daerah, kebutuhan pembangunan dan daya dukung lingkungan (Siagian
dan Komarudin, 2009).
Namun demikian, dalam prakteknya terdapat beberapa permasalahan
yang menyebabkan instrumen RTRW tidak dapat secara memadai
mewadahi berbagai kebutuhan pembangunan secara berkelanjutan. Di
beberapa daerah, dokumen RTRW bahkan menjadi dokumen yang
menyebabkan deforestasi melalui konversi yang terencana. Persoalan ini
muncul karena berbagai hal, terutama hal-hal berikut :
a. Perencanaan Pembangunan Sektoral Tidak Terpadu
Perencanaan pembangunan yang masih bersifat sektoral dan
belum mampu menjadi dokumen yang secara independen
mengintegrasikan berbagai kepentingan sektoral.
Saat ini masing-masing lembaga pada umumnya membuat rencana
tahunan sendiri-sendiri dengan membuat alokasi sumber daya lahan
terpisah. Perencanaan pembangunan ekonomi dan infrastruktur yang
kurang terpadu sehingga terjadi tumpang tindih dalam pengalokasian
ruang dan deforestasi pada areal-areal berhutan yang masih dalam
kondisi baik.
b. Ketersediaan dan Akses Data dan Informasi Lemah
Ketersediaan dan akses pada data dan informasi spasial biofisik,
maupun sosial ekonomi yang sahih dan akurat, masih terbatas.
Umumnya perencana juga tidak menggunakan metodologi yang
memberikan informasi kepada pengambil keputusan dengan pilihanpilihan prioritas, termasuk isu karbon.
Salah satu contoh akibat pengambilan keputusan tersebut adalah
RTRW (baik kabupaten maupun provinsi) yang menetapkan kawasankawasan hutan yang telah terdegradasi tetap menjadi kawasan hutan,
sedangkan kawasan hutan yang masih mempunyai hutan dengan
kondisi sedang sampai bagus dimasukkan dalam rancangan dikonversi.
Konversi hutan dengan kondisi demikian akan memberikan emisi yang
sangat besar.
c. Partisipasi Dalam Perencanaan Lemah
Proses partisipasi dalam proses pembuatan rencana tata ruang
wilayah tidak berjalan. Penyusunan RTRW masih bersifat top down dan
belum secara utuh menerapkan prinsip transparansi dan partisipasi
yang hakiki sehingga masyarakat yang mengetahui kondisi
sesungguhnya di lapangan tidak dapat memberikan masukan yang
konstruktif terhadap dokumen tersebut.
Ketiadaan partisipasi dan transparansi ini memudahkan terjadinya
aktivitas penggunanaan lahan yang tidak direncanakan dalam RTRW
namun terjadi di lapangan, misalnya perambahan oleh masyarakat
untuk pembukaan perkebunan, pertanian, pemukiman, pertambangan
tanpa izin dan lain-lain.
Hal ini merupakan cerminan umum dari tingkat kecakapan sosial
(sociability) masyarakat, yang seringkali menyalurkan ketidakpuasan
dengan cara-cara yang justru merugikan sumber daya hutan atau
lingkungan.
2. Tenurial
a. Penyelesaian Konflik Lahan Tidak Tuntas
Hutan dengan keragaman atas hak, status dan fungsinya telah
menjadi suatu medan perebutan kepentingan yang pelik dan hingga
saat ini masih belum terselesaikan. Konflik dan ketidaksepakatan
tentang siapa yang seharusnya mengontrol dan mengelola hutan dan
Kawasan Hutan negara merupakan sumber dari berbagai ketegangan,
dan tidak jarang justru menyebabkan tindakan-tindakan yang merusak.
Asal-usul ketegangan ini terletak pada tafsir dari definisi dan lokasi
hutan di Indonesia serta kewenangannya.
Tafsir-tafsir yang berbeda menyebabkan perbedaan-perbedaan
mendasar tentang peran kontrol terhadap sumber daya hutan oleh
pelaku dan lembaga yang berbeda. Konflik atas peran kontrol terhadap
lahan dan sumber daya alam yang disebabkan oleh ketidakjelasan hakhak tenurial harus diselesaikan dengan usaha serius melalui strategi
tindakan yang jelas.
b. Masyarakat Adat Tidak Memiliki Hak Formal
Dualisme hukum atas pengakuan hak ulayat masyarakat adat di
kawasan hutan serta non-kawasan hutan menjadi salah satu
permasalahan tenurial ini. Ketiadaan hak formal masyarakat adat
menyebabkan mereka tidak bisa mengambil keputusan terkait sumber
daya alam di wilayah adatnya yang menjadikan potensi mereka dalam
mengawasi kawasan hutan menjadi semakin lemah. Sementara
prosedur yang memungkinkan mereka memiliki pengakuan sebagai
masyarakat hukum terkesan sangat sulit dan panjang. Pemicu lain
terhadap meningkatnya konflik tenurial adalah batas kawasan hutan
yang tidak jelas di lapangan, akibat dari proses pengukuhan kawasan
hutan yang tidak kunjung selesai.
c. Mata Pencaharian dan Kelangkaan Alternatif Sumber Pendapatan
Keberadaan hutan biasanya memiliki peranan yang cukup signifikan
terhadap kelompok-kelompok masyarakat sekitar kawasan hutan.
Banyak konsep yang menjelaskan mengenai masyarakat dan hutan,
seperti sistem pengetahuan lokal, kearifan lokal, dan masyarakat adat.
Konsep-konsep tersebut pada dasarnya menjelaskan keterikatan
masyarakat yang bermukim di dalam dan sekitar hutan dengan lahan
dan sumber daya alam yang ada serta dihasilkan dari hutan tersebut.
Dalam dua dekade terakhir, ketika kerusakan hutan sedang menjadi
perhatian banyak pihak, keberadaan masyarakat sekitar hutan juga tidak
terlepas di dalamnya. Keterkaitan masyarakat dengan deforestasi dan
degradasi hutan sering menjadi pokok pembahasan. Hal ini dipicu oleh
kenyataan bahwa budaya produksi atau mata pencaharian masyarakat
di pedesaan biasanya berbasis pada pengelolaan lahan dan
pemungutan sumber daya alam yang ada di sekitarnya.
3. Unit Manajemen Hutan Tidak Efektif
Luas kawasan hutan Indonesia mencapai 132,399 juta ha (BAPLAN,
2008), sekitar 15% merupakan hutan konservasi (HK), 22% hutan lindung
(HL), 46% hutan produksi (HP) dan 17% hutan produksi yang dapat
dikonversi (HPK).
Berdasarkan data satelit 2007, kawasan hutan yang masih berhutan
hanya sekitar 92,328 juta ha (40%) dan yang sudah tidak berhutan sekitar
40,071 juta ha (21%). Luas hutan yang dapat dikonversi (HPK) mencapai
22,7 juta ha, dan hanya 10,7 juta ha yang masih berhutan.
Pengelolaan hutan di hampir seluruh fungsi hutan dalam keadaan
yang rentan. Kelemahan unit manajemen hutan terjadi di seluruh tingkatan,
baik pada sistem pengelolaan hutan, organisasi pengelola hutan, maupun
pada tingkat individu yang bekerja di sektor kehutanan pada berbagai
fungsi hutan. Berbagai permasalahan unit manajemen hutan berdasarkan
tingkatannya, dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Sistem Pengelolaan Hutan Lemah
Permasalahan pada tingkat sistem pengelolaan meliputi kerangka
peraturan, kebijakan, dan kondisi lingkungan yang tidak mendukung
atau menghambat pencapaian tujuan pengelolaan lestari. Diawali dari
lemahnya data dan informasi dalam penyusunan perencanaan telah
menyebabkan pengelolaan hutan pada semua fungsi hutan menjadi
tidak valid dan sulit mencapai predikat berkelanjutan. Proses penataan
batas kawasan hutan, yang mampu menunjukkan di mana dan berapa
luas kawasan hutan yang pasti secara legal maupun aktual diakui dan
dihormati semua pihak, sampai saat ini belum mampu dilakukan.
Kemudian, hampir seluruh hutan produksi dan hutan lindung di luar
Jawa tidak jelas siapa penanggung jawabnya yang menyebabkan
kawasan hutan menjadi open access dan memicu deforestasi dan
degradasi, baik yang direncanakan maupun tidak.
Pengelolaan Hutan Produksi yang Lemah
Di bidang pengusahaan hutan ini, dari jumlah 486 unit HPH di
tahun 1992, yang masih bertahan sampai tahun 2007 sebanyak 115
unit atau hanya 24%, dengan berbagai sebab, baik kendala internal
maupun eksternal.
Pengelolaan hutan alam produksi masih jauh dari kaidah dan
prinsip-prinsip Sustainable Forest Management (SFM). Para pelaku
usaha di sektor kehutanan lebih memikirkan aspek bisnis daripada
kelestarian produksi. Teknik pemanenan tidak lagi memperhatikan
kaidah penurunan dampak penebangan, pemanenan dilakukan
melebihi jatah tebangan (over cutting), limbah dan derajat kerusakan
hutan pada kawasan bekas tebangan sangat tinggi.
Pengelolaan Hutan Lindung dan Konservasi yang Rentan
Upaya pelindungan hutan yang dilakukan pada hutan lindung
dan hutan konservasi juga masih mendapat kendala. Pada hutan
lindung, kewenangan antara pusat dan daerah tidak jelas sehingga
hutan terkesan tidak bertuan dan open access. Dalam kondisi seperti
ini, peluang deforestasi tidak terencana semakin terbuka lebar. Pada
pengelolaan hutan konservasi, hingga saat ini telah dibentuk 527 unit
kawasan konservasi daratan dan laut, meliputi 50 unit Taman
Nasional (TN), 118 unit Taman Wisata Alam (TWA), 22 unit Taman
Hutan Raya (Tahura), 14 unit Taman Buru (TB), 248 unit Cagar Alam
(CA) dan 75 unit Suaka Margasatwa (SM). Untuk kawasan
konservasi laut telah ditetapkan sebanyak 7 unit Taman Nasional, 5
unit Cagar Alam, 2 unit Suaka Margasatwa, dan 14 unit Taman
Wisata Alam.
Masih lemahnya kapasitas pengelolaan menjadi tantangan
utama saat ini. Sebagai gambaran, dari seluruh unit kawasan
konservasi, baru 34,4 % yang telah memiliki Rencana Pengelolaan,
pada umumnya TN dan TWA. Sedangkan penyusunan zonasi/blok
pengelolaan, baru tercapai 8,4%. Untuk 21 Taman Nasional Model,
semuanya telah memiliki Rencana Pengelolaan, namun demikian
19% di antaranya belum disahkan.
Kebijakan, Monitoring dan Evaluasi serta Reward dan Punishment
tidak jelas
Belum terdapat peraturan-perundangan yang secara efektif dan
efisien mampu menjadi landasan pemecahan masalah kehutanan
yang terus berkembang dari waktu ke waktu. Penetapan peraturanperundangan lebih memenuhi kebutuhan birokrasi dalam
menjalankan tugas administrasinya daripada memecahkan persoalan
yang dihadapi pengelola hutan di lapangan. Di samping itu juga
ditemukan kurangnya alternatif pemecahan masalah di lapangan,
karena sebagian besar isi peraturan mengandung larangan sebagai
bentuk pengendalian kerusakan hutan.
Di sisi lain, inkonsistensi kebijakan juga sering terjadi. Programprogram unggulan yang dipayungi oleh keputusan pejabat teknis
sering berubahubah, tergantung pejabat yang berwenang saat itu.
Misalnya, program pembentukan Taman Nasional Model yang saat ini
terlantar dan tidak terukur keberhasilannya. Kemudian pada hutan
produksi, pemberian izin RKT yang dilakukan terhadap beberapa
perusahaan dalam volume yang besar bertentangan dengan
semangat pembatasan ekploitasi hutan alam atau bahkan menafikan
informasi pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh pemohon
izin tersebut.
Di sisi lain, pelanggaran dalam proses pemberian izin baik yang
dilakukan oleh pengaju izin maupun pemberi izin sangat sedikit yang
dikenakan sanksi yang menimbulkan efek jera sehingga
pelanggaran-pelanggaran terus terjadi.
b. Kelembagaan yang Lemah
Belum terwujudnya kinerja kelembagaan seperti yang diharapkan,
sehingga menjadi penyebab lemahnya pelayanan publik terkait
perizinan dan penyelenggaraan ekonomi kehutanan, serta belum
adanya prioritas nyata bagi penguatan organisasi pengelola hutan di
tingkat lapangan/tapak.
Kondisi demikian ini menjadi penyebab rendahnya informasi
mengenai kekayaan sumber daya hutan sebagai dasar penyusunan
perencanaan maupun pengambilan keputusan. Selain itu masalah
kelembagaan yang lemah ini juga timbul dari ketidakjelasan penerapan
otonomi daerah yang dipayungi oleh Undang-undang No 32/2004 dan
turunannya dihubungkan dengan aturan sektoral maupun ketidaktepatan
pembagian kewenangan itu sendiri, hal mana menyebabkan timbulnya
ketidakjelasan penanggungjawab sektor kehutanan pada level tapak.
Pada tingkat organisasi pengelola, sebagian besar waktu dan
tenaga habis untuk masalah administratif daripada substantif. Hal ini
didorong oleh sistem penilaian kinerja organisasi yang hanya diukur dari
penyerapan anggaran dan dokumen-dokumen laporan, tidak sampai
pada efektivitas dan efisisensi anggaran, penilaian keluaran, hasil,
dampak dan manfaat yang secara nyata terjadi di lapangan. Kondisi
seperti ini mendorong cara kerja organisasi yang ekslusif dari pada
inklusif sehingga upaya-upaya kerja sama, baik di internal organisasi
maupun kerja sama strategis dengan pihak-pihak lain yang berpotensi
mendukung pengelolaan selalu terhambat.
c. Permasalahan Kapasitas Individu yang Lemah
Permasalahan kapasitas pada tingkat individu mancakup
kompetensi (kemampuan, kualifikasi, dan pengetahuan), sikap dan
prilaku (attitude), dan integritas (etos kerja dan motivasi), maupun jiwa
kepemimpinan yang kuat dari orang-orang yang bekerja dalam
organisasi sebagai ujung tombak pengelolaan hutan di lapangan.
Permasalahan di tingkat individu pada kondisi yang relatif normal
biasanya disebabkan oleh situasi dalam organisasi yang tidak
mendukung berkembangnya kapasitas individu. Bahkan terdapat kondisi
dimana orang-orang di dalam organisasi cenderung pragmatis dan
selalu mencari peluang untuk pemenuhan kepentingan-kepentingan
pribadinya.
4. Dasar dan Penegakan Hukum Lemah
a. Dasar hukum
Undang-undang No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan yang dilahirkan
dengan semangat reformasi, berusaha mengembalikan tatanan
kehutanan kepada sistem pengurusan hutan yang lebih baik. Namun
demikian, undang-undang ini masih perlu penguatan, salah satunya
dalam hal pengaturan kewenangan pusat dan daerah dalam semangat
desentralisasi yang bertanggung jawab. Beberapa fenomena yang
mendasari perlunya penguatan ini dapat dilihat dari kerancuan
kewenangan beberapa perizinan pengusahaan hutan, dan tumpang
tindih kawasan hutan dengan rencana tata ruang wilayah.
Secara langsung atau tidak langsung, masih kurang kuatnya
Undang-undang Kehutanan ini membuka peluang terjadinya deforestasi
yang terencana (planned deforestation) masih terbuka. Masalah
mengenai kurang kuatnya Undangundang kehutanan dapat dilihat dari
kategori berikut :
Peluang ekploitasi hutan alam masih sangat terbuka
Permintaan terhadap hasil hutan kayu masih tetap tinggi, bahkan
cenderung meningkat. Berbagai industri hilir di dalam dan luar negeri
sangat bergantung pada kayu yang berasal dari hutan alam
Indonesia sebagai bahan bakunya.
Pada dasarnya keberadaan industri berbasis kayu dan siklus
produksinya secara berkelanjutan dan ramah lingkungan perlu
difasilitasi dan dijamin keberlangsungannya oleh Undang-undang
kehutanan. Karenanya, pembatasan pembatasan perlu dilakukan
secara tegas agar kelestarian produksi pada industri hilir juga diikuti
oleh kelestarian hutan sebagai sumber bahan bakunya.
Merujuk pada sejarah pengusahaan hutan produksi dan kondisi
terkini hutan alam di Indonesia maka sudah saatnya diberlakukan
penghentian
terhadap
ekploitasi
hutan
alam
sekaligus
mengintensifkan pembangunan hutan tanaman di areal areal yang
telah terdeforestasi. Dalam konteks ini, Undang-undang Kehutanan
memiliki kelemahan karena masih memberikan ruang yang cukup
leluasa untuk ekploitasi hutan alam yang masih dalam kondisi baik.
Sebagai contoh, ketidaktegasan pembatasan HTI pada hutan yang
sudah tidak produktif dalam UU 41/1999 menyebabkan lahirnya
peraturan pelaksana yang sangat berbeda dari waktu ke waktu.
Pasal 30:3 PP No. 34/2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan
Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan
Kawasan Hutan misalnya secara tegas menyatakan bahwa izin
Hutan Tanaman hanya dapat diberikan pada lahan kosong, padang
alang-alang atau semak belukar pada hutan produksi. Namun
ketentuan ini kemudian berubah secara signifikan pada aturan
kemudian yaitu PP No. 3/2008 yang mengubah PP No. 6/2007
tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan
serta Pemanfaatan Hutan, yang hanya menyatakan bahwa hutan
tanaman diprioritaskan pada hutan produksi yang tidak produktif yang
berarti membuka kemungkinan dilaksanakan pada seluruh kawasan
hutan lainnya.
Selain peluang ekploitasi hutan alam untuk memenuhi kebutuhan
kayu, ekploitasi hutan alam juga masih terbuka untuk kegiatan di luar
sektor kehutanan, seperti pertambangan dan perkebunan atau
pertanian. UU 41/1999 membuka peluang dilakukannya konversi
tanpa memberi batasan dasar yang jelas dan tegas. Akibatnya aturan
pelaksana dari ketentuan ini juga dapat diartikan berbeda-beda dari
satu waktu ke waktu lain yang tidak terlalu lama.
Sebagai contoh, Kepmenhut No. 70/Kpts-II/2001 tentang
Penetapan Kawasan Hutan dan Perubahan Status dan Fungsi
Kawasan mengatur bahwa untuk melepas kawasan hutan
konservasi, maka status kawasan tersebut harus diubah secara
bertahap menjadi hutan lindung dan hutan produksi sebelum bisa
diubah menjadi APL. Tetapi kemudian, Pasal 4 jo Pasal 29 PP No.
10/2010 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi
Kawasan Hutan menyebutkan bahwa Kawasan Hutan Konservasi
dapat diubah menjadi APL melalui persetujuan DPR. Ketidakjelasan
batasan pada UU 41/1999 sendiri telah menimbulkan perbedaan
penfasiran atas kehendak UU dalam mengelola hutan sehingga
memudahkan
terjadinya
pembentukan
aturan
berdasarkan
kepentingan sesaat.
Padahal apabila penentuan fungsi kawasan hutan dilakukan
sesuai dengan aturan yang berlaku (PP No. 44 tahun 2004 tentang
Perencanaan Kehutanan serta PP No. 68/1998 tentang Kawasan
Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam), maka seharusnya
perubahan peruntukan dan fungsi tidak mudah untuk dilakukan.
Pada tataran implementasi, perubahan peruntukan kawasan
hutan dilakukan secara langsung maupun tidak langsung. Modus
yang tidak langsung misalnya dengan menelantarkan hutan, izin
konsesi yang telah diperoleh hanya dipergunakan untuk memanen
kayu dan setelah itu hutan ditelantarkan sampai akhirnya diusulkan
untuk areal perkebunan atau peruntukan lainnya dengan alasan
bahwa hutan tersebut telah rusak, tidak produktif, atau terdegradasi.
Benturan atau ketidakharmonisan peraturan
Benturan atau ketidakharmonisan peraturan perundangundangan dapat terjadi secara horinzontal (antar sektor) atau vertikal
(antara pusat dan daerah). Dengan terbitnya undang-undang No. 32
Tahun 2004 Tentang Otonomi Daerah, kewenangan daerah menjadi
sangat besar dalam pengelolaan sumber daya alam. Dalam undangundang ini disebutkan bahwa pemerintahan daerah adalah
penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan
DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip
otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Selanjutnya disebutkan pula bahwa otonomi daerah adalah hak,
wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat
setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dalam
ketentuan undang-undang tersebut, antara pemerintah pusat dan
daerah mempunyai kewenangan masing-masing. Sayangnya
pengalaman dalam memberikan otonomi yang lebih luas kepada
daerah untuk mengeluarkan izin pemanfaatan hasil hutan kayu
kepada daerah telah memicu laju deforestasi pada kurun wktu 2000 –
2003.
Benturan antara pusat dan daerah biasanya tampak kasat mata
dalam tata ruang wilayah yang dipayungi oleh Peraturan Daerah.
Tumpang tindih atau usulan perubahan fungsi hutan untuk
penggunaan lain selalu saja terjadi dalam tata ruang wilayah.
Pada kasus tumpang tindih kawasan yang telah terlanjur terjadi,
misalnya pembukaan pertambangan atau perkebunan yang terlanjur
ada karena lemahnya koordinasi, proses penegakan hukumnya
seringkali mendapat hambatan dari aspek lemahnya kemantapan
kawasan hutan sebagai akibat dari proses pengukuhan kawasan
yang tidak selesai. Dalam ketentuan Undang-undang No. 41 Tahun
1999 tentang kehutanan disebutkan bahwa pengukuhan kawasan
hutan harus memperhatikan rencana tata ruang wilayah melalui
proses : 1) penunjukkan kawasan hutan; 2) penataan batas kawasan
hutan; 3) pemetaan kawasan hutan; dan 4) penetapan kawasan
hutan. Syarat tersebut sangat mutlak untuk masing-masing
kegiatannya, jadi untuk dapat menentukan suatu kawasan adalah
hutan atau tidak, maka prosesnya harus memenuhi 4 unsur tersebut.
Bila tidak maka penentuan kawasan hutan tersebut menjadi batal
demi hukum, dan deforestasi atau degradasi yang terjadi akibat
penggunaan untuk sektor penggunaan lahan lainnya tidak lagi dapat
dikategorikan sebagai pelanggaran.
Ketidaklengkapan Peraturan
Aturan yang tidak lengkap akan memudahkan terjadinya
penyimpangan-penyimpangan dalam pelaksanaan khususnya terkait
dengan pemberian perizinan usaha kehutanan maupun izin kegiatan
lain di kawasan hutan.
Undang-undang pertanian misalnya, memberikan kewenangan
kepada Kepala Daerah untuk memberikan izin perkebunan di
daerahnya. Walaupun Undang-undang Kehutanan mengatur bahwa
seharusnya untuk perkebunan dilakukan perubahan peruntukan
kawasan hutan terlebih dahulu, namun pada kenyataannya hal ini
tidak berjalan di lapangan.
Ketidaklengkapan di tataran aturan ini juga terjadi karena
peraturan perundang-undangan tidak memberikan kewenangan
kepada pihak yang tepat atau tidak disertai oleh insentif yang tepat.
Sebagai contoh adalah pemberian kewenangan kepada Gubernur
untuk melakukan penataan tata batas kawasan hutan. Ketentuan ini
menyebabkan kendala di tingkat implementasi karena sumber daya
berada di Pemerintah Pusat dan Kabupaten. Di lain pihak, sumber
daya pendukung tidak diberikan oleh Pemerintah Pusat kepada
Gubernur untuk melaksanakan hal tersebut.
Terkait aturan yang tidak lengkap, maka Undang-undang
Kehutanan juga masih belum memberikan sanksi yang memadai bagi
pelaku utama pembalakan liar, melainkan hanya terbatas pada
pelaku di lapangan (physical perpetrator). Di sisi lain, penerapan UU
Lain seperti UU tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, UU
Pemberantasan Korupsi, maupun UU Lingkungan Hidup yang lebih
siap untuk menangkap pelaku utama kejahatan kehutanan masih
sangat minim.
b. Penegakan hukum tidak tegas
Kondisi penegakan hukum di Indonesia sedang berada di dalam
ambang yang kritis. Kepercayaan masyarakat terhadap lembaga
penegak hukum sangat rendah karena maraknya praktek mafia hukum
(Satgas PMH, 2010). Praktek mafia hukum juga terjadi di sektor
kehutanan. Dalam hal ini, ditengarai bahwa modus operansi mafia
hukum di sektor kehutanan terdapat sebelum dan setelah ada perkara.
Pada saat sebelum ada perkara, modus yang terjadi mulai dari
proses perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan, perizinan
sampai dengan pada saat eksploitasi sumber daya hutan (pemberian
dan pelaksanaan izin). Pada dasarnya dalam seluruh proses tersebut
ditemui banyak kasus di mana aparat penegak hukum terlibat dengan
cara melindungi para pelaku kejahatan. Hal ini menyebabkan terjadinya
pembiaran yang tinggi yang berakibat pada kerusakan hutan yang
sangat luas.
Pada saat setelah ada perkara, kerap terjadi dalam seluruh proses
penegakan hukum, mulai dari penyelidikan, penyidikan, penuntutan
sampai dengan pengambilan putusan yang rentan terhadap mafia
hukum. Hal ini menyebabkan angka tindak pidana kehutanan yang
dihukum sangat sedikit dan mayoritas adalah pelaku di lapangan.
5. Tata Kelola (governance)
Dalam menilai tata kelola hutan, terdapat empat isu penting yang perlu
dinilai yaitu, tenurial, tata ruang, manajemen hutan serta distribusi manfaat
dari sektor kehutanan. Seperti telah terlihat dalam pembahasan
sebelumnya, dalam konteks Indonesia, ke-empat isu tersebut menjadi
penyebab utama (underlying causes) dari terjadinya deforestasi dan
degradasi hutan.
Pada bagian ini, fokus analisis permasalahan adalah prinsip-prinsip
tata kelola yang baik, yang pada dokumen ini akan difokuskan pada (a)
koordinasi, (b) transparansi, partisipasi, (c) akuntabilitas, (d) efektivitas dan
efisiensi, (e) aspek keadilan (fairness), dan (f ) ketidakhadiran pengelola di
lapangan.
a. Koordinasi
Terdapat beberapa isu dalam koordinasi, pertama adalah
ketidakjelasan wewenang dan tanggung jawab antara pemerintah pusat
dan daerah yang juga dipengaruhi oleh penerapan rezim otonomi
daerah yang masih pada tahap awal.
Gambaran dari ketidakjelasan ini juga terlihat pada tingkat sektoral.
Data DitjenPlanologi Kehutanan menyebutkan bahwa luas total APL
kurang lebih 55 juta ha, sementara data BPS tentang luas lahan
pertanian saat ini kurang lebih 69 juta ha. Dengan demikian, terdapat
sekitar 14 juta ha kawasan hutan yang telah berubah menjadi lahan
pertanian tanpa diketahui oleh Kementerian Kehutanan. Ketidakjelasan
data dan informasi ini telah menjadi setting situasi dalam setiap
pengambilan keputusan selama ini sehingga kualitas keputusanya akan
sangat rendah.
Di kawasan hutan konservasi, menurut data Ditjen Planologi
Kehutanan (2008) selama periode 8 tahun (1997–2005), terdapat
pengurangan penutupan kawasan hutan menjadi non-hutan seluas
480.000 ha atau 1,7% dari total luas kawasan konservasi. Walaupun
masih terdapat permasalahan sebagaimana tersebut diatas, kawasan
konservasi relatif masih utuh dibanding kawasan hutan produksi dan
hutan lindung karena memiliki unit manajemen yang jelas dan mandiri.
b. Transparansi, partisipasi dan akuntabilitas
Absennya transparansi dan partisipasi pemangku kepentingan juga
menyebabkan minimnya pengetahuan masyarakat, terutama mereka
yang tinggal di kawasan hutan, untuk turut serta dalam proses
pengambilan keputusan dalam proses perizinan serta melakukan
pengawasan atas pelanggaran izin yang terjadi. Hal ini mengakibatkan
tidak saja data yang lebih akurat tidak tersedia dalam proses
pengambilan keputusan, juga penyalahgunaan wewenang para
pengambil kebijakan para pejabat yang berwenang dalam suatu proses
perizinan tidak terdeteksi dan tidak mendapatkan pengawasan yang
memadai dari masyarakat.
Tentang minimnya transparansi dan partisipasi masyarakat, paling
tidak disebabkan oleh dua faktor, yaitu ketidakjelasan di tingkat aturan
dan lemahnya kapasitas masyarakat untuk ikut berpartisipasi dalam
pengambilan kebijakan.
c. Aspek Keadilan (Fairness)
Ketidakadilan distribusi pendapatan dari sektor kehutanan, baik
antara pusat dan daerah maupun terhadap masyarakat di sekitar hutan,
memunculkan rasa ketidakadilan antar pihak yang berkepentingan
(stakeholders). Rasa ketidakadilan tersebut juga berpengaruh terhadap
laju deforestasi dan degradasi hutan karena mereka yang merasa
memiliki hak dan belum mendapatkan distribusi manfaat kemudian
mengambil manfaat dari hutan. Keadaan tersebut ditambah dengan
absennya sistem penegakan hukum yang kuat sehingga berdampak
pada meluasnya deforestasi dan degradasi.
d. Efektivitas dan efisiensi rendah
Secara umum, efektivitas dan efisiensi pengurusan hutan termasuk
rendah yang ditandai dengan tidak efektifnya pengawasan sehingga
telah terjadi konversi tidak terencana secara besar-besaran di berbagai
kawasan hutan yang tidak ditindak ataupun ketidaktepatan dan
ketidakefektifan pelaksanaan berbagai program yang direncanakan
seperti program GERHAN. Hal ini bersumber dari berbagai faktor lain
seperti peraturan perundang-undangan yang menyebabkan proses
pengeluaran izin bersifat rumit dan panjang namun tanpa disertai oleh
proses pengawasan yang jelas sehingga menimbulkan birokrasi yang
tidak efektif dan berbiaya tinggi.
Faktor lain adalah pemanfaatan anggaran yang tidak tepat sasaran
serta sumber daya manusia yang tidak mampu melaksanakan tugas dan
tanggungjawabnya secara efektif. Hal terakhir juga terkait dengan
sistem renumerasi, rekrutmen, mutasi dan promosi pegawai yang tidak
didasarkan atas penilaian kinerja.
6. Faktor Lingkungan yang mendorong
Kekuatan pendorong (driving force) merupakan kondisi makro yang
mendorong terjadinya kegiatan langsung pada kejadian deforestasi dan
degradasi hutan. Termasuk dalam kategori ini adalah:
a. belum patuhnya pengambil kebijakan pada prinsip-prinsip pembangunan
berkelanjutan;
b. permintaan (supply) akan kebutuhan yang harus didukung oleh sumber
daya hutan, seperti kayu dan sawit pada tingkat global dan nasional
melebihi kemampuan produksi dari pengelolaan hutan lestari;
c. target pertumbuhan ekonomi;
d. Lemahnya leadership.
B. Akibat Degradasi Hutan
Kerusakan hutan ini telah menimbulkan beberapa dampak negatif
yang besar di bumi:
1. Efek Rumah Kaca (Green house effect).
Hutan merupakan paru-paru bumi yang mempunyai fungsi
mengabsorsi gas Co2. Berkurangnya hutan dan meningkatnya
pemakaian energi fosil (minyak, batubara dan lain-lain) akan
menyebabkan kenaikan gas Co2 di atmosfer yang menyelebungi bumi.
Gas ini makin lama akan semakin banyak, yang akhirnya membentuk
satu lapisan yang mempunyai sifat seperti kaca yang mampu
meneruskan pancaran sinar matahari yang berupa energi cahaya ke
permukaan bumi, tetapi tidak dapat dilewati oleh pancaran energi
panas dari permukaan bumi. Akibatnya energi panas akan dipantulkan
kembali ke permukaan bumi oleh lapisan Co2 tersebut, sehingga
terjadi pemanasan di permukaan bumi. Inilah yang disebut efek rumah
kaca.
Kenaikan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) yang telah terjadi sejak
abad ke 19 memberikan dampak yang sangat signifikan terhadap
pemanasan global (global warming). Peningkatan emisi yang tinggi
menyebabkan terjadinya perubahan iklim yang sangat drastis dan
membawa dampak berupa kemarau yang berkepanjangan, banjir,
badai dan peningkatan permukaan air laut. Hal itu mengakibatkan
kerugian yang sangat besar bagi penduduk dunia yang tinggal di
daerah sekitar pantai sampai pegunungan, penurunan kualitas
lingkungan global dan ancaman ketersediaan sumber daya alam di
masa mendatang.
Sesuai dengan Stern Review (2006) deforestasi dan degradasi
hutan berkontribusi sebesar kurang lebih 18% dari emisi global, dari
jumlah tersebut 75% nya berasal dari negara-negara berkembang.
Kondisi tersebut menjadi ancaman serius bagi sumber penghidupan
masyarakat lokal, fungsi daerah-daerah aliran sungai serta
keberadaan keanekaragaman hayati.
Hutan berperan penting dalam siklus karbon global dan dapat
berfungsi sebagai penghasil emisi (emitter) maupun penyerap emisi
(removal). Hasil inventarisasi Gas Rumah Kaca (GRK) nasional
dengan berbasis (base-year) tahun 2000 menunjukkan bahwa sektor
kehutanan merupakan pengemisi GRK (net emitter) tertinggi (Gambar
1). Emisi ini pada umumnya berasal dari deforestasi, degradasi, dan
kebakaran hutan termasuk gambut (2nd National Communication,
2009). Berdasarkan base-year 2000, sektor kehutanan menyumbang
48% emisi GRK nasional, paling tinggi dibandingkan sektor lain.
2. Kerusakan Lapisan Ozon
Lapisan Ozon (O3) yang menyelimuti bumi berfungsi menahan
radiasi sinar ultraviolet yang berbahaya bagi kehidupan di bumi. Di
tengah-tengah kerusakan hutan, meningkatnya zat-zat kimia di bumi
akan dapat menimbulkan rusaknya lapisan ozon. Kerusakan itu akan
menimbulkan lubang-lubang pada lapisan ozon yang makin lama
dapat semakin bertambah besar. Melalui lubang-lubang itu sinar
ultraviolet akan menembus sampai ke bumi, sehingga dapat
menyebabkan kanker kulit dan kerusakan pada tanaman-tanaman di
bumi.
3. Kepunahan Species
Hutan di Indonesia dikenal dengan keanekaragaman hayati di
dalamnya. Dengan rusaknya hutan sudah pasti keanekaragaman ini
tidak lagi dapat dipertahankan bahkan akan mengalami kepunahan.
Dalam peringatan Hari Keragaman Hayati Sedunia 2007 Departemen
Kehutanan mengumumkan bahwa setiap harinya Indonesia kehilangan
satu species (punah) dan kehilangan hampir 70% habitat alami pada
sepuluh tahun terakhir ini.(http://laurentius.blog.uns.ac.id/2009/08/25/)
4. Merugikan Keuangan Negara.
Sebenarnya bila pemerintah mau mengelola hutan dengan lebih
baik, jujur dan adil, pendapatan dari sektor kehutanan sangat besar.
Tetapi yang terjadi adalah sebaliknya. Misalnya tahun 2003 jumlah
produksi kayu bulat yang legal (ada ijinnya) adalah sebesar 12 juta
m3/tahun. Padahal kebutuhan konsumsi kayu keseluruhan sebanyak
98 juta m3/tahun. Data ini menunjukkan terdapat kesenjangan antara
pasokan dan permintaan kayu bulat sebesar 86 juta m3. Kesenjangan
teramat besar ini dipenuhi dari pencurian kayu (illegal loging). Dari
praktek tersebut diperkirakan kerugian yang dialami Indonesia
mencapai Rp.30 trilyun/tahun. Hal inilah yang menyebabkan
pendapatan sektor kehutanan dianggap masih kecil yang akhirnya
mempengaruhi pengembangan program pemerintah untuk masyarakat
Indonesia (Laurentius, 2009)
Peristiwa banjir yang sering melanda Indonesia akhir-akhir ini,
disebutkan bahwa salah satu akar penyebabnya adalah karena
rusaknya hutan yang berfungsi sebagai daerah resapan dan
tangkapan air (catchment area). Hutan yang berfungsi untuk
mengendalikan banjir di waktu musim hujan dan menjamin
ketersediaan air di waktu musim kemarau, akibat kerusakan hutan
makin hari makin berkurang luasnya. Tempat-tempat untuk
meresapnya air hujan (infiltrasi) sangat berkurang, sehingga air hujan
yang mengalir di permukaan tanah jumlahnya semakin besar dan
mengerosi daerah yang dilaluinya. Limpahannya akan menuju ke
tempat yang lebih rendah sehingga menyebabkan banjir. Bencana
banjir dapat akan semakin bertambah dan akan berulang apabila
hutan semakin mengalami kerusakan yang parah. Tidak hanya akan
menimbulkan kerugian materi, tetapi nyawa manusia akan menjadi
taruhannya.
C. Upaya Penanggulangan
Rusaknya hutan di Indonesia telah mendorong berbagai pihak untuk
turut serta menyelamatkannya. Namun penyelamatan itu tidaklah mudah.
Diperlukan kerjasama semua pihak dalam rangka menjamin
kelangsungan hutan dengan kehidupan liarnya untuk tetap bertahan di
kehidupan masa depan.
Kondisi hutan yang terus menurun luasannya, tak boleh menjadikan
kita terus menyalahkan masa lalu, juga tak boleh menuding-nuding
berbagai pihak yang pada akhirnya hanya akan memperpanjang
perdebatan, bukan melahirkan tindakan yang konkret untuk
menyelamatkan hutan.
Butler, 2007 dalam Mahmuddin, 2009, mengemukaan beberapa
langkah untuk menyelamatkan hutan hujan dan termasuk ekosistem di
seluruh dunia dengan fokus pada 4 hal yaitu: Pendidikan masyarakat,
Rehabilitasi hutan hujan tropis, hidup dengan tidak merusak lingkungan,
taman perlindungan.
1. Pendidikan masyarakat
Di negara-negara hutan hujan termasuk Indonesia, penduduk lokal
kadang kala tidak mengerti apa pentingnya hutan hujan. Dengan
program pendidikan, mereka dapat belajar bahwa hutan memberikan
sumber kunci (seperti air bersih) dan adalah rumah bagi hewan dan
tumbuhan yang tak akan ditemukan di bagian lain manapun di dunia.
2. Rehabilitasi Hutan Hujan
Walaupun tidak mungkin untuk menanam kembali sebuah hutan hujan,
beberapa hutan hujan dapat memulihkan diri setelah ditebangi,
terutama jika mereka mendapat bantuan melalui penanaman pohon
kembali.
3. Hidup dengan tidak merusak Lingkungan
Di negara-negara hutan hujan, banyak ilmuwan dan organisasi yang
bekerja untuk menolong penduduk lokal hidup dengan cara yang tak
terlalu merusak lingkungan. Beberapa orang menyebut ide ini dengan
“sustainable development” (perkembangan yang berkepanjangan).
Sustainable development memiliki tujuan untuk meningkatkan
kehidupan dari masyarakat yang pada saat bersamaan juga
melindungi lingkungan. Tanpa meningkatkan taraf hidup masyarakat
yang tinggal di dan di sekitar hutan hujan, akan sangat sulit untuk
melindungi taman dan alam liar. Agar taman-taman tersebut bisa
berguna, masyarakat lokal harus tertarik pada konservasi. Saat ini
Indonesia juga telah berupaya menggunakan sistem kredit karbon
melalui penghindaran penggundulan hutan.
4. Taman Perlindungan
Cara efektif untuk melindungi hutan hujan adalah melibatkan penduduk
asli di manajemen taman. Para penduduk asli ini lebih tahu mengenai
hutan dibandingkan dengan siapapun dan memiliki ketertarikan untuk
menjaganya dengan aman sebagai ekosistem yang telah memberinya
makanan, tempat berlindung, dan air bersih. Taman-taman ini juga
dapat membantu perekonomian di negara-negara hutan hujan dengan
cara ekoturism.
Pada Draft 1 Strategi Nasional REDD+ menyebutkan di tingkat
nasional perubahan iklim yang disebabkan oleh kegiatan manusia dalam
peningkatan konsentrasi gas rumah kaca yang sangat tinggi telah
menjadi salah satu isu penting dalam hal perencanaan pembangunan
Indonesia. Dampak perubahan iklim yang merusak telah dirasakan dan
diperkirakan akan semakin buruk dan akan menghambat tujuan
pembangunan berkelanjutan apabila tidak dilakukan antisipasi. Selain
adaptasi untuk mengurangi kerusakan yang ditimbulkan, Indonesia juga
menetapkan dalam rencana pembangunan jangka menengah untuk
melakukan berbagai mitigasi sebagai upaya yang tidak terpisahkan.
Komitmen Indonesia dalam menurunkan emisi karbon sebesar 26%
dari business as usual (BAU) dengan upaya sendiri pada tahun 2020
telah disampaikan oleh Kepala Negara dalam dua pertemuan
internasional yang strategis, yaitu Sidang G20 di Pittsburgh September
2009 dan COP 15 UNFCCC di Kopenhagen Desember 2009. Rencana
Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) 2010-2014 memuat upaya
berbagai bidang dalam menghadapi perubahan iklim ini dengan
mengarusutamakan pada kegiatan pembangunan. Namun, khusus pada
pencapaian target 26%, telah pula dilakukan penyusunan Rencana Aksi
Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK) yang khusus
terkait dengan mitigasi.
Pada bidang kehutanan dan lahan gambut, mitigasi dapat
dilakukan melalui penurunan emisi dari pencegahan deforestasi dan
degradasi hutan, serta melalui penyerapan GRK dari peningkatan fungsi
hutan dalam menyerap dan menyimpan karbon. Di dalam pembahasan
internasional hal-hal tersebut masuk ke dalam isu Reducing Emissions
from Deforestation and Forest Degradation plus (REDD+) yang dimulai
sejak COP 13 di Bali Desember 2007 yang direncanakan akan mulai
berjalan setelah tahun 2012.
REDD sendiri pada dasarnya adalah sebuah mekanisme
internasional yang dimaksudkan untuk memberikan insentif bagi negara
berkembang yang berhasil mengurangi emisi dari deforestasi dan
degradasi hutan, merupakan salah satu opsi mitigasi perubahan iklim di
sektor kehutanan.
Stratetegi Nasional REDD+ Indonesia ini dirancang sebagai sebuah
arahan yang bersifat sistematis, logis, objektif, dan pragmatis. Dengan
mengacu kepada prinsip-prinsip tersebut maka pengurangan emisi akan
dilaksanakan melalui strategi pembangunan rendah karbon yang terpadu
(hulu sampai hilir) dan komprehensif (multi aspek).
Prinsip yang mendasari perumusan strategi ini merupakan prinsip
pembangunan berkelanjutan, yaitu:
Pembangunan ekonomi yang bertumpu pada desentralisasi
bertanggung jawab.
Pemeliharaan keseimbangan fungsi ekologis.
Keadilan antar generasi.
Kerangka pelaksanaan pengurangan emisi melalui REDD+ meliputi :
1. Penurunan emisi dari deforestasi,
2. Penurunan emisi dari degradasi hutan,
3. Penguatan peran konservasi,
4. Penguatan peran pengelolaan berkelanjutan terhadap sumber daya
hutan, dan
5. Peningkatan simpanan karbon melalui restorasi dan rehabilitasi.
Kelima tema penting tersebut akan didekati dengan pendekatan
pengurangan sumber emisi (source) dan meningkatkan simpanan (sink)
karbon.
Dengan mengacu kepada berbagai permasalahan yang ada maka
strategi nasional REDD+ Indonesia terbagi secara garis besar terdiri dari :
1. Strategi pemenuhan prasyarat dan kondisi pemungkin
Strategi pemenuhan prasyarat terdiri dari program pembuatan
peraturan yang terkait dengan pelaksanaan REDD+, program
pembentukan metodologi REDD+, dan program pembangunan
pembagian manfaat dan tanggung jawab. Strategi pemenuhan kondisi
pemungkin terdiri dari program reformasi perencanaan pembangunan
sektor penggunaan lahan, program reformasi dasar dan penegakan
hukum, program penguatan pemberdayaan ekonomi lokal, program
pelibatan pemangku kepentingan, dan program penguatan tata kelola.
Penjabaran strategi reformasi pembangunan sektor terdiri dari program
reformasi pembangunan sektor kehutanan, pertanian, pertambangan,
dan sektor penggunaan lahan lainnya yang berkelanjutan.
2. Strategi reformasi pembangunan beberapa sektor terkait
Strategi Pembangunan sektor kehutanan bertumpu pada aspek
penurunan sumber emisi GRK dan peningkatan dan perlindungan stok
karbon. Beberapa aspek yang dicakup dalam upaya penurunan emisi
GRK adalah :
Penguatan konservasi dalam perumusan kebijakan dan program
pembangunan sektor kehutanan,
Penguatan pengelolaan berkelanjutan terhadap sumber daya hutan,
Peningkatan efektivitas penegakan hukum di wilayah KPH, dan
Penyempurnaan pengelolaan gambut di kawasan hutan.
Peningkatan dan perlindungan stok karbon (sink) mencakup
delapan kegiatan utama, yaitu :
Peningkatan kualitas pengelolaan kawasan lindung (kawasan
konservasi,hutan lindung dan kawasan lindung lainnya yang akan
ditetapkan kemudian dalam tata ruang wilayah) dalam rangka
pemeliharaan simpanan karbon,
Peningkatan upaya reboisasi hutan di kawasan hutan
terdeforestasi,
Pengembangan insentif untuk meningkatkan stok karbon di daerah
yang terdegradasi dan lahan bekas kebakaran,
Pelaksanaan pengkayaan (enrichment planting) pada kawasan
terdegradasi,
Pelaksanaan restorasi hutan pada hutan lindung, kawasan
konservasi, dan pada kawasan IUPHHK-Restorasi,
Peningkatan upaya restorasi lahan gambut yang terdeforestasi dan
terdegradasi,
Peningkatan upaya rehabilitasi hutan mangrove, dan
Pelaksanaan reklamasi lahan bekas tambang.
Strategi pembangunan sektor pertanian dalam menghadapi
perubahan iklim difokuskan pada upaya meminimalisasi dampak
negatif dari perubahan iklim terhadap ketahanan pangan nasional.
Sejalan dengan itu, strategi pembangunan pertanian juga diarahkan
pada upaya intensifikasi dan penerapan teknologi tepat guna yang
menghindari pembukaan lahan baru pada kawasan-kawasan yang
masih memiliki tutupan hutan sedang sampai baik.
Penguatan sektor pertanian dalam rangka mendukung
pelaksanaan REDD+ ini antara lain :
Penyempurnaan perencanaan pertanian yang menghindari
perluasan pada kawasan yang memiliki tutupan hutan sedang
sampai baik serta perlindungan terhadap kawasan-kawasan bernilai
konservasi tinggi di kawasan perkebunan;
Penerapan int