Seni dalam Arena Produksi Kultural Pierr
1
SENI DALAM ARENA PRODUKSI KULTURAL
PIERRE BOURDIEU:
Memahami Teks dan Konteks Produksi Seni dengan Caranya
Oleh: Olav Iban (Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa, UGM)
Saya memulai tulisan ini dengan menarik kesimpulan sederhana sebagai
landasan awal, bahwa untuk memahami teks dan konteks produksi (maupun
konsumsi) seni diperlukan suatu pemahaman terhadap minimal dua hal, yakni
semesta si pencipta dan semesta ciptaannya. Saya mengacunya pada konsep Arena
Produksi Kultural, Pierre Bourdieu. Bourdieu (2010: 211) menyatakan secara tepat
kondisi yang saya maksud ini dengan analisisnya terhadap Gustave Flaubert, “di satu
sisi ada sosiologi Flaubert, yaitu sosiologi yang diproduksi oleh Flaubert, sedangkan
di sisi lain sosiologi tentang Flaubert sendiri, yaitu sosiologi yang menjadikan
Flaubert sebagai objek kajian.” Pendeknya, setiap dari kita memiliki sebuah sosiologi
makro, dan di sisi lain sebuah psikologi mikro, sehingga tanpa hubungan keduanya
pemahaman terhadap teks dan konteks akan sulit dilanjutkan.
Produksi kultural, yang termasuk di dalamnya adalah seni sebagai objek
kultural, berbeda dari produksi objek-objek pada umumnya, karena di dalamnya
kebudayaan harus memproduksi bukan hanya objek dalam dimensi materialitasnya,
2
namun juga nilai dari objek tersebut, yakni pengakuan terhadap legitimasi artistiknya.
Produksi kultural, dengan demikian, tidak bisa dipisahkan dari produksi seniman
sebagai pencipta nilai (Bourdieu, 2010: 216).
Ringkasnya, dalam arena produksi kultural terdapat tiga produksi yang
diproduksi, yaitu objek material (lukisan/sastra dengan segala kualitas terindranya),
pencipta (dengan segala latar historis serta arena kulturalnya sendiri), dan nilai-nilai
legitimasi yang ada di dalam (dan di regangan) objek akibat status penciptanya dan
kekuatan luar. Kekuatan luar yang saya maksudkan ialah kritikus/kurator sebagai
pengkaji; institusi pedagogis sebagai peletak hukum-hukum; lembaga-lembaga seni
sebagai wadah (kawan sekaligus lawan) bagi para seniman; dan museum sebagai
wadah legitimasi objek, yang kesemuanya memiliki kemampuan legitimasi di arena
seni (dan arena kekuasaan secara tidak langsung).
Berdasar hal-hal di atas, maka ada beberapa term yang perlu kita kuasai.
Pertama, arena kekuasaan yang mendominasi arena seni. Arena adalah ruang yang
terstruktur
dengan
kaidah-kaidah
keberfungsiannya
sendiri,
dengan
relasi
kekuasaannya sendiri yang melingkupi berbagai arena seperti politik, ekonomi,
kultural, dan seterusnya (Bourdieu, 2010: xvii). Setiap arena memiliki otonominya
sendiri yang relatif, dan saling terkait satu sama lain. Keterkaitan antararena
menimbulkan arena-arena terdominasi dan mendominasi karena perubahan posisiposisi agen di dalamnya selalu memberikan kemungkinan pergeseran kekuasaan
arena, sehingga lahir suatu arena kekuasaan.
3
Arena seni berada di posisi terdominasi oleh arena yang lebih berkuasa, yang
mempengaruhi. Tetapi ia memiliki otonomi relatif yang mampu menolak pengaruh
dari arena kekuasaan, walau tidak sepenuhnya bebas dominasi. Arena otonom ini
disebut oleh Bourdieu (2010: 216) sebagai coin de folie (pojok kegilaan) yang di
dalamnya agen-agen berpartisipasi dalam dominasi-mendominasi, suatu struktural
kontradiktif. Mereka menempati sebuah posisi terdominasi dalam kelas dominan.
Para seniman sebagai agen arena seni, menurut Bourdieu, menempati posisi genting
yang menakdirkan mereka mengalami sejenis ketidakpastian objektif sekaligus
objektif: citra yang dikirimkan kembali kepada mereka oleh orang lain, terutama
mereka yang mendominasi di arena kekuasaan –sebenarnya juga di arena seni sendiri,
yakni pihak pelegitimasi nilai suatu karya– ditandai oleh ambivalensi yang diciptakan
semua masyarakat karena menjadi penentang klasifikasi umum, atau pendeknya,
memiliki status rangkap antara peran yang berkuasa dan peran sebagai pengacau
ilusi-ilusi sosial. Bourdieu sebenarnya juga mengkategorikan seniman dalam arena ini
sebagai individu kelas dominan-minus-uang, atau diistilahkannya parents pauvres
(kerabat miskin), namun ini sulit kita ikut sertakan melihat sekarang banyak timbul
individu kaya modal ekonomi yang sengaja tertarik ke arena seni.
Kedua, segala unsur yang membentuk sekaligus terlibat di dalam arena seni.
seni. Unsur-unsur ini sederhananya diklasifikasikan: (1) semesta besar atau arena
(sudah dijabarkan di atas) yang melingkupi segalanya, semesta sesungguhnya, tempat
terjadinya akumulasi bentuk-bentuk modal tertentu, sekaligus tempat relasi-relasi
kekuasaan berlangsung; (2) pihak-pihak, institusi maupun individu, yang memiliki
4
kompetensi artistis untuk memberi legitimasi terhadap ciptaan dan pencipta; (3)
pihak-pihak, komun maupun individu, yang menjadi konsumen tanpa memiliki latar
belakang artistik; (4) karya seni, yakni segala objek kultural yang memenuhi syaratsyarat bahwa objek tersebut mampu disebut karya seni (sebenarnya pada bagian ini
Bourdieu merangkul lebih luas, yakni melibatkan nama pencipta, nama konsep baru,
nama mahzab, apapun itu asalkan mampu menjadi tanda sehingga bisa dijadikan
barang simbolis); dan (5) seniman, sebagai pencipta ciptaan.
5
Bagan di atas –walau tidak lengkap karena menyisihkan penerbit, penjual,
seniman senior, guru, pencari talenta dan banyak mediator artistik lainnya–
menggambarkan bagaimana sebuah arena produksi seni dipengaruhi oleh unsur-unsur
di dalamnya. Tiap pergeseran unsur (agen menurut Bourdieu), mau tak mau
menyebabkan adanya struktur arena, dan setiap pergeseran atau (jika dimungkinkan)
pergantian unsur akan merubah arenanya bahkan karya-karyanya. Relasi antarunsur
oleh karenanya punya peran penting untuk kita mengerti.
Bourdieu (2010: xxxvii-xxxviii) memiliki konsep kunci menjelaskan hal
tersebut, yaitu konsep strategi dan konsep lintasan. Strategi bisa dimengerti sebagai
orientasi spesifik praktik sebagai produk habitus yang merupakan hasil dari disposisi
tidak sadar terhadap praktik. Ia bergantung pada agen dalam arena, dan juga pada
problematika legitimasi. Sementara lintasan suatu cara di mana hubungan antara agen
dan arena diobjektivikasikan. Lintasan mendeskripsikan serangkaian posisi yang silih
berganti ditempati seorang seniman di tengah keadaan arena seni yang juga silih
berganti. Artinya, posisi yang silih berganti ini hanya bisa didefinisikan menurut
struktur arenanya.
Menurut Bourdieu (2010: 148), makna publik (atau orang biasa pada bagan)
terhadap sebuah karya berakar di dalam proses sirkulasi dan konsumsi yang
didominasi oleh hubungan-hubungan objektif antara institusi-institusi dan agen-agen
yang terlibat di dalam proses. Relasi-relasi sosial yang memproduksi makna publik
ini ditentukan oleh posisi relatif agen-agen yang menempati struktur arena produksi.
6
Relasi-relasi semisal relasi seniman dan galeri, tersingkap sebagai rangkaian relasi
yang hadir di dalam publikasi sebuah karya, yaitu ketika karya menjadi objek publik.
Satu hal lagi yang perlu dicermati ialah relasi antara nilai legitimasi hasil
produksi kritikus (institusi/individu) membaca ciptaan dengan publik. Pada posisi ini
terjadi pengetatan makna akibat posisi internal publik (misal, ia adalah kaum jetset)
dan eksternal (misal, legitim seni rakyat) terhadap sebuah karya seni (misal, Jatilan).
Dengan demikian setiap agen di dalam arena seni memiliki ciri posisi-posisinya di
arena kekuasaan sekaligus juga memiliki fungsi posisi-posisi di arena seni, yang
dengan kata lain, posisi arena seni di dalam arena kekuasaan mempengaruhi segala
sesuatu yang terjadi pada arena kekuasaan serta sebaliknya.
Memahami pencipta dan semestanya adalah hal selanjutnya yang perlu
didalami sebelum melangkah kepada karya ciptaannya. Di sini, saya mencoba
meringkas apa yang dilakukan Bourdieu (2010: 211-232) dalam analisisnya terhadap
Flaubert sebagai landasan bagaimana memahami pencipta dan semestanya. Pertama,
Bourdieu melihat Flaubert sedikitnya melalui dua bentuk besar, yakni psikologi
mikro dan sosiologi makro Flaubert. Pada bentuk pertama, dapat dipilah menjadi dua
bentuk kecil, yakni Bourdieu melihat Flaubert melalui (1) karya-karya terpublikasi
(novel) sebagai representasi samar si pencipta, dan (2) karya-karya tersembunyi
(surat-surat pribadi) sebagai representasi mendekati nyata si pencipta. Kemudian pada
bentuk kedua, dapat dipilah menjadi empat bentuk kecil, yakni Flaubert dilihat
melalui (1) semangat zaman pada masa itu; (2) kondisi sosial politik ekonomi dan
7
status Flaubert sendiri; (3) historitas keluarga Flaubert, atau latar belakang sosial dan
pendidikan; dan terakhir (4) lingkungan fisik dan psikis Flaubert.
Kedua, Bourdieu menganalisis dua bentuk besar tadi dengan pertama-tama
mengurai hubungan relasional Flaubert dengan keluarganya (kakaknya, Achille) yang
secara tak langsung merujuk ke relasi dengan kelas-kelas sosial di sekeliling
keluarganya, sehingga Bourdieu menemukan tumpang tindih determinasi yang luar
biasa. Selanjutnya Bourdieu mengurai relasi Flaubert dengan lingkungannya sehingga
nampak suatu arena kekuasaan. Pada posisi ini, ia mencari siapakah Flaubert sebagai
penulis dari posisi yang ditentukan baginya di arena itu. Selanjutnya, ia berusaha
membentuk ulang hubungan pihak dominan dan terdominasi di arena sastra di mana
ia menemukan struktur yang homolog yang terdapat di arena kekuasaan. Setelah
menemukan strategi habitus Flaubert sekaligus posisi-disposisi serta struktur arena, ia
menguji posisi awal Flaubert di ruang sosial untuk menemukan bagaimana lintasan
Flaubert. Hingga akhirnya, melalui analisis yang baik, ia mampu melihat lebih
banyak visi-visi dalam karya-karya Flaubert.
Dengan bermodalkan sistematika analisis Bourdieu di atas, maka kita
dipermudah untuk memahami ciptaan (karya seni) dan semestanya. Pada prinsipnya,
menurut Bourdieu (2010: 301), keterbacaan/pemaknaan sebuah karya seni bagi
individu tertentu bergantung kepada divergensi/ketersebaran tingkat-tingkat emisinya.
Tingkat emisi ini dibentuk oleh dua komponen: (1) tingkat keterbacaan karya seni
yang ditentukan oleh taraf kompleksitas dan kehalusan kode yang intrinsik di
dalamnya, dan (2) tingkat penerimaan pengamat yang ditentukan oleh taraf
8
penguasaan individu atas kode-kode sosial yang kurang lebih memenuhi syarat bagi
kode-kode yang dibutuhkan untuk menafsirkan karya seni tersebut.
Setiap individu memiliki kapasitas yang terbatas untuk memahami kode-kode
di dalam sebuah karya seni. Kapasitas ini bergantung sepenuhnya pada pengetahuan
mereka tentang kode lazim untuk menerima pesan terkait. Ketika pesan melebihi
kemungkinan pemahamannya, atau lebih tepatnya, saat kode karya seni melebihi
kehalusan dan kompleksitas kode yang dipahami pengamatnya, maka dia akan
kehilangan minat karena menganggap karya tersebut percampuran tanpa sajak atau
birama, atau seperangkat warna yang tidak dibutuhkan olehnya (Bourdieu, 2010:
301).
Untuk meningkatkan keterbacaan karya seni dan untuk mereduksi
kesalahpahaman oleh pengamat, maka yang diperlukan adalah menurunkan taraf
emisinya atau menaikan taraf penerimaannya (Bourdieu, 2010: 302). Pilihan yang
disebut terakhir merupakan opsi yang paling menyenangkan. Di satu sisi seniman
tidak perlu menyederhanakan karyanya, sementara di sisi lain pengamat meraih
kemampuan baru dalam upaya mengasah kompetensi diri. Opsi ini tentunya dapat
diraih, selain melalui capaian di lembaga/institusi pendidikan seni, lewat banyaknya
modal kultural yang dimiliki pengamat.
Modal kultural adalah suatu bentuk pengetahuan, suatu kode internal atau
suatu akuisisi kognitif yang melengkapi agen sosial dengan empati, atau apresiasi,
atau kompetensi terhadap pemilahan relasi-relasi dan artefak-artefak kultural.
Bourdieu menyatakan bahwa, “sebuah karya seni mengandung makna dan
9
kepentingan hanya bagi orang yang memiliki kompetensi kultural yakni kode, tempat
ke mana karya itu dikodekan.” Kepemilikan terhadap kode, atau modal kultural ini,
diakumulasikan melalui satu proses panjang akuisisi atau kalkulasi yang mencakup
tindakan pedagogis keluarga, formasi sosial dan lembaga-lembaga sosial (Bourdieu,
2010: xix-xx).
Keterkaitan antara modal kultural, karya seni, seniman, arena produksi dan
segala unsurnya, pada dasarnya memberi pandangan yang serupa tentang bagaimana
memahami relasi teks karya seni dengan konteks yang melingkarinya, bahkan mampu
memberi peluang memahami relasi antarteks. Bourdieu menyuguhkan cara berpikir
sosiologis, psikologis sekaligus antropologis (dalam konteks keterlibatan) untuk
memahami lebih dalam setiap karya-karya seni tanpa perlu kita terkecoh pengaruh
laten akademi, institusi, museum, atau pandangan la vie en rose maupun en noir, atau
apapun itu.
Dengan memahami apa yang dijabarkan di atas, mulai arena seni hingga
modal kultural, mengacu pada konsep yang ditawarkan Pierre Bourdieu, sudah
barang tentu akan mempermudah pemahaman terhadap teks dan konteks produksi
(maupun konsumi) seni. Oleh karenanya sebagai penutup, saya simpulkan dengan
mengutip Bourdieu, “setiap karya seni dibuat dua kali, pertama oleh penciptanya dan
kedua oleh pengamatnya.”
10
Daftar Pustaka
Bourdieu, Pierre. 2010. Arena Produksi Kultural: Sebuah Kajian Sosiologi Budaya.
Bantul: Kreasi Wacana.
SENI DALAM ARENA PRODUKSI KULTURAL
PIERRE BOURDIEU:
Memahami Teks dan Konteks Produksi Seni dengan Caranya
Oleh: Olav Iban (Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa, UGM)
Saya memulai tulisan ini dengan menarik kesimpulan sederhana sebagai
landasan awal, bahwa untuk memahami teks dan konteks produksi (maupun
konsumsi) seni diperlukan suatu pemahaman terhadap minimal dua hal, yakni
semesta si pencipta dan semesta ciptaannya. Saya mengacunya pada konsep Arena
Produksi Kultural, Pierre Bourdieu. Bourdieu (2010: 211) menyatakan secara tepat
kondisi yang saya maksud ini dengan analisisnya terhadap Gustave Flaubert, “di satu
sisi ada sosiologi Flaubert, yaitu sosiologi yang diproduksi oleh Flaubert, sedangkan
di sisi lain sosiologi tentang Flaubert sendiri, yaitu sosiologi yang menjadikan
Flaubert sebagai objek kajian.” Pendeknya, setiap dari kita memiliki sebuah sosiologi
makro, dan di sisi lain sebuah psikologi mikro, sehingga tanpa hubungan keduanya
pemahaman terhadap teks dan konteks akan sulit dilanjutkan.
Produksi kultural, yang termasuk di dalamnya adalah seni sebagai objek
kultural, berbeda dari produksi objek-objek pada umumnya, karena di dalamnya
kebudayaan harus memproduksi bukan hanya objek dalam dimensi materialitasnya,
2
namun juga nilai dari objek tersebut, yakni pengakuan terhadap legitimasi artistiknya.
Produksi kultural, dengan demikian, tidak bisa dipisahkan dari produksi seniman
sebagai pencipta nilai (Bourdieu, 2010: 216).
Ringkasnya, dalam arena produksi kultural terdapat tiga produksi yang
diproduksi, yaitu objek material (lukisan/sastra dengan segala kualitas terindranya),
pencipta (dengan segala latar historis serta arena kulturalnya sendiri), dan nilai-nilai
legitimasi yang ada di dalam (dan di regangan) objek akibat status penciptanya dan
kekuatan luar. Kekuatan luar yang saya maksudkan ialah kritikus/kurator sebagai
pengkaji; institusi pedagogis sebagai peletak hukum-hukum; lembaga-lembaga seni
sebagai wadah (kawan sekaligus lawan) bagi para seniman; dan museum sebagai
wadah legitimasi objek, yang kesemuanya memiliki kemampuan legitimasi di arena
seni (dan arena kekuasaan secara tidak langsung).
Berdasar hal-hal di atas, maka ada beberapa term yang perlu kita kuasai.
Pertama, arena kekuasaan yang mendominasi arena seni. Arena adalah ruang yang
terstruktur
dengan
kaidah-kaidah
keberfungsiannya
sendiri,
dengan
relasi
kekuasaannya sendiri yang melingkupi berbagai arena seperti politik, ekonomi,
kultural, dan seterusnya (Bourdieu, 2010: xvii). Setiap arena memiliki otonominya
sendiri yang relatif, dan saling terkait satu sama lain. Keterkaitan antararena
menimbulkan arena-arena terdominasi dan mendominasi karena perubahan posisiposisi agen di dalamnya selalu memberikan kemungkinan pergeseran kekuasaan
arena, sehingga lahir suatu arena kekuasaan.
3
Arena seni berada di posisi terdominasi oleh arena yang lebih berkuasa, yang
mempengaruhi. Tetapi ia memiliki otonomi relatif yang mampu menolak pengaruh
dari arena kekuasaan, walau tidak sepenuhnya bebas dominasi. Arena otonom ini
disebut oleh Bourdieu (2010: 216) sebagai coin de folie (pojok kegilaan) yang di
dalamnya agen-agen berpartisipasi dalam dominasi-mendominasi, suatu struktural
kontradiktif. Mereka menempati sebuah posisi terdominasi dalam kelas dominan.
Para seniman sebagai agen arena seni, menurut Bourdieu, menempati posisi genting
yang menakdirkan mereka mengalami sejenis ketidakpastian objektif sekaligus
objektif: citra yang dikirimkan kembali kepada mereka oleh orang lain, terutama
mereka yang mendominasi di arena kekuasaan –sebenarnya juga di arena seni sendiri,
yakni pihak pelegitimasi nilai suatu karya– ditandai oleh ambivalensi yang diciptakan
semua masyarakat karena menjadi penentang klasifikasi umum, atau pendeknya,
memiliki status rangkap antara peran yang berkuasa dan peran sebagai pengacau
ilusi-ilusi sosial. Bourdieu sebenarnya juga mengkategorikan seniman dalam arena ini
sebagai individu kelas dominan-minus-uang, atau diistilahkannya parents pauvres
(kerabat miskin), namun ini sulit kita ikut sertakan melihat sekarang banyak timbul
individu kaya modal ekonomi yang sengaja tertarik ke arena seni.
Kedua, segala unsur yang membentuk sekaligus terlibat di dalam arena seni.
seni. Unsur-unsur ini sederhananya diklasifikasikan: (1) semesta besar atau arena
(sudah dijabarkan di atas) yang melingkupi segalanya, semesta sesungguhnya, tempat
terjadinya akumulasi bentuk-bentuk modal tertentu, sekaligus tempat relasi-relasi
kekuasaan berlangsung; (2) pihak-pihak, institusi maupun individu, yang memiliki
4
kompetensi artistis untuk memberi legitimasi terhadap ciptaan dan pencipta; (3)
pihak-pihak, komun maupun individu, yang menjadi konsumen tanpa memiliki latar
belakang artistik; (4) karya seni, yakni segala objek kultural yang memenuhi syaratsyarat bahwa objek tersebut mampu disebut karya seni (sebenarnya pada bagian ini
Bourdieu merangkul lebih luas, yakni melibatkan nama pencipta, nama konsep baru,
nama mahzab, apapun itu asalkan mampu menjadi tanda sehingga bisa dijadikan
barang simbolis); dan (5) seniman, sebagai pencipta ciptaan.
5
Bagan di atas –walau tidak lengkap karena menyisihkan penerbit, penjual,
seniman senior, guru, pencari talenta dan banyak mediator artistik lainnya–
menggambarkan bagaimana sebuah arena produksi seni dipengaruhi oleh unsur-unsur
di dalamnya. Tiap pergeseran unsur (agen menurut Bourdieu), mau tak mau
menyebabkan adanya struktur arena, dan setiap pergeseran atau (jika dimungkinkan)
pergantian unsur akan merubah arenanya bahkan karya-karyanya. Relasi antarunsur
oleh karenanya punya peran penting untuk kita mengerti.
Bourdieu (2010: xxxvii-xxxviii) memiliki konsep kunci menjelaskan hal
tersebut, yaitu konsep strategi dan konsep lintasan. Strategi bisa dimengerti sebagai
orientasi spesifik praktik sebagai produk habitus yang merupakan hasil dari disposisi
tidak sadar terhadap praktik. Ia bergantung pada agen dalam arena, dan juga pada
problematika legitimasi. Sementara lintasan suatu cara di mana hubungan antara agen
dan arena diobjektivikasikan. Lintasan mendeskripsikan serangkaian posisi yang silih
berganti ditempati seorang seniman di tengah keadaan arena seni yang juga silih
berganti. Artinya, posisi yang silih berganti ini hanya bisa didefinisikan menurut
struktur arenanya.
Menurut Bourdieu (2010: 148), makna publik (atau orang biasa pada bagan)
terhadap sebuah karya berakar di dalam proses sirkulasi dan konsumsi yang
didominasi oleh hubungan-hubungan objektif antara institusi-institusi dan agen-agen
yang terlibat di dalam proses. Relasi-relasi sosial yang memproduksi makna publik
ini ditentukan oleh posisi relatif agen-agen yang menempati struktur arena produksi.
6
Relasi-relasi semisal relasi seniman dan galeri, tersingkap sebagai rangkaian relasi
yang hadir di dalam publikasi sebuah karya, yaitu ketika karya menjadi objek publik.
Satu hal lagi yang perlu dicermati ialah relasi antara nilai legitimasi hasil
produksi kritikus (institusi/individu) membaca ciptaan dengan publik. Pada posisi ini
terjadi pengetatan makna akibat posisi internal publik (misal, ia adalah kaum jetset)
dan eksternal (misal, legitim seni rakyat) terhadap sebuah karya seni (misal, Jatilan).
Dengan demikian setiap agen di dalam arena seni memiliki ciri posisi-posisinya di
arena kekuasaan sekaligus juga memiliki fungsi posisi-posisi di arena seni, yang
dengan kata lain, posisi arena seni di dalam arena kekuasaan mempengaruhi segala
sesuatu yang terjadi pada arena kekuasaan serta sebaliknya.
Memahami pencipta dan semestanya adalah hal selanjutnya yang perlu
didalami sebelum melangkah kepada karya ciptaannya. Di sini, saya mencoba
meringkas apa yang dilakukan Bourdieu (2010: 211-232) dalam analisisnya terhadap
Flaubert sebagai landasan bagaimana memahami pencipta dan semestanya. Pertama,
Bourdieu melihat Flaubert sedikitnya melalui dua bentuk besar, yakni psikologi
mikro dan sosiologi makro Flaubert. Pada bentuk pertama, dapat dipilah menjadi dua
bentuk kecil, yakni Bourdieu melihat Flaubert melalui (1) karya-karya terpublikasi
(novel) sebagai representasi samar si pencipta, dan (2) karya-karya tersembunyi
(surat-surat pribadi) sebagai representasi mendekati nyata si pencipta. Kemudian pada
bentuk kedua, dapat dipilah menjadi empat bentuk kecil, yakni Flaubert dilihat
melalui (1) semangat zaman pada masa itu; (2) kondisi sosial politik ekonomi dan
7
status Flaubert sendiri; (3) historitas keluarga Flaubert, atau latar belakang sosial dan
pendidikan; dan terakhir (4) lingkungan fisik dan psikis Flaubert.
Kedua, Bourdieu menganalisis dua bentuk besar tadi dengan pertama-tama
mengurai hubungan relasional Flaubert dengan keluarganya (kakaknya, Achille) yang
secara tak langsung merujuk ke relasi dengan kelas-kelas sosial di sekeliling
keluarganya, sehingga Bourdieu menemukan tumpang tindih determinasi yang luar
biasa. Selanjutnya Bourdieu mengurai relasi Flaubert dengan lingkungannya sehingga
nampak suatu arena kekuasaan. Pada posisi ini, ia mencari siapakah Flaubert sebagai
penulis dari posisi yang ditentukan baginya di arena itu. Selanjutnya, ia berusaha
membentuk ulang hubungan pihak dominan dan terdominasi di arena sastra di mana
ia menemukan struktur yang homolog yang terdapat di arena kekuasaan. Setelah
menemukan strategi habitus Flaubert sekaligus posisi-disposisi serta struktur arena, ia
menguji posisi awal Flaubert di ruang sosial untuk menemukan bagaimana lintasan
Flaubert. Hingga akhirnya, melalui analisis yang baik, ia mampu melihat lebih
banyak visi-visi dalam karya-karya Flaubert.
Dengan bermodalkan sistematika analisis Bourdieu di atas, maka kita
dipermudah untuk memahami ciptaan (karya seni) dan semestanya. Pada prinsipnya,
menurut Bourdieu (2010: 301), keterbacaan/pemaknaan sebuah karya seni bagi
individu tertentu bergantung kepada divergensi/ketersebaran tingkat-tingkat emisinya.
Tingkat emisi ini dibentuk oleh dua komponen: (1) tingkat keterbacaan karya seni
yang ditentukan oleh taraf kompleksitas dan kehalusan kode yang intrinsik di
dalamnya, dan (2) tingkat penerimaan pengamat yang ditentukan oleh taraf
8
penguasaan individu atas kode-kode sosial yang kurang lebih memenuhi syarat bagi
kode-kode yang dibutuhkan untuk menafsirkan karya seni tersebut.
Setiap individu memiliki kapasitas yang terbatas untuk memahami kode-kode
di dalam sebuah karya seni. Kapasitas ini bergantung sepenuhnya pada pengetahuan
mereka tentang kode lazim untuk menerima pesan terkait. Ketika pesan melebihi
kemungkinan pemahamannya, atau lebih tepatnya, saat kode karya seni melebihi
kehalusan dan kompleksitas kode yang dipahami pengamatnya, maka dia akan
kehilangan minat karena menganggap karya tersebut percampuran tanpa sajak atau
birama, atau seperangkat warna yang tidak dibutuhkan olehnya (Bourdieu, 2010:
301).
Untuk meningkatkan keterbacaan karya seni dan untuk mereduksi
kesalahpahaman oleh pengamat, maka yang diperlukan adalah menurunkan taraf
emisinya atau menaikan taraf penerimaannya (Bourdieu, 2010: 302). Pilihan yang
disebut terakhir merupakan opsi yang paling menyenangkan. Di satu sisi seniman
tidak perlu menyederhanakan karyanya, sementara di sisi lain pengamat meraih
kemampuan baru dalam upaya mengasah kompetensi diri. Opsi ini tentunya dapat
diraih, selain melalui capaian di lembaga/institusi pendidikan seni, lewat banyaknya
modal kultural yang dimiliki pengamat.
Modal kultural adalah suatu bentuk pengetahuan, suatu kode internal atau
suatu akuisisi kognitif yang melengkapi agen sosial dengan empati, atau apresiasi,
atau kompetensi terhadap pemilahan relasi-relasi dan artefak-artefak kultural.
Bourdieu menyatakan bahwa, “sebuah karya seni mengandung makna dan
9
kepentingan hanya bagi orang yang memiliki kompetensi kultural yakni kode, tempat
ke mana karya itu dikodekan.” Kepemilikan terhadap kode, atau modal kultural ini,
diakumulasikan melalui satu proses panjang akuisisi atau kalkulasi yang mencakup
tindakan pedagogis keluarga, formasi sosial dan lembaga-lembaga sosial (Bourdieu,
2010: xix-xx).
Keterkaitan antara modal kultural, karya seni, seniman, arena produksi dan
segala unsurnya, pada dasarnya memberi pandangan yang serupa tentang bagaimana
memahami relasi teks karya seni dengan konteks yang melingkarinya, bahkan mampu
memberi peluang memahami relasi antarteks. Bourdieu menyuguhkan cara berpikir
sosiologis, psikologis sekaligus antropologis (dalam konteks keterlibatan) untuk
memahami lebih dalam setiap karya-karya seni tanpa perlu kita terkecoh pengaruh
laten akademi, institusi, museum, atau pandangan la vie en rose maupun en noir, atau
apapun itu.
Dengan memahami apa yang dijabarkan di atas, mulai arena seni hingga
modal kultural, mengacu pada konsep yang ditawarkan Pierre Bourdieu, sudah
barang tentu akan mempermudah pemahaman terhadap teks dan konteks produksi
(maupun konsumi) seni. Oleh karenanya sebagai penutup, saya simpulkan dengan
mengutip Bourdieu, “setiap karya seni dibuat dua kali, pertama oleh penciptanya dan
kedua oleh pengamatnya.”
10
Daftar Pustaka
Bourdieu, Pierre. 2010. Arena Produksi Kultural: Sebuah Kajian Sosiologi Budaya.
Bantul: Kreasi Wacana.