Perkembangan Anak Pesisir Anak Pesisir

PERKEMBANGAN ANAK PESISIR.

Wilayah pesisir merupakan ruang pertemuan antara daratan dan lautan, karenanya
wilayah ini merupakan suatu wilayah yang unik secara geologis, ekologis, dan merupakan
domain biologis yang sangat penting bagi banyak kehidupan di daratan dan di perairan,
termasuk manusia (Beatley et al 1994 dalam Bohari 2012. Perbedaan letak wilayah dan
tempat tinggal ( seperti desa , kota, daratan, perairan, pegunungan, iklim, musim ) akan
mempengaruhi pola pikir, sikap dan perilaku seseorang.
Dalam pandangan ini, perkembangan seseorang amat ditentukan oleh faktor
lingkungannya. Lingkungan memiliki peran besar bagi perubahan yang positif atau negatif
pada individu. Hal ini tergantung bagaimana karakteristik lingkungan itu sendiri. Lingkungan
yang baik tentu membawa pengaruh positif bagi individu, sebaliknya lingkungan yang kurang
baik, rusak, buruk cenderung memperburuk perkembangan individu. Dalam pandangan ini,
seorang psikolog ekologis, Urie Brofenbrenner ( dalam papalia, Olds & Feldman, 2004 )
menyatakan bahwa lingkungan tersebut bersifat stratafikasi yakni berlapis – lapis dari yang
terdekat sampai terjauh. Ia mengistilahkan sebagai sitem mikro ( microsystem ), sistem meso
( mesosystem ), sistem ekso ( exosystem ), sistem makro ( macrosystem ), dan sistem krono
( cronosystem ).
Sistem mikro ( microsystem ) ialah sistem lingkungan yang memberi kesempatan
seorang anak dapat menjalin komunikasi secara langsung dengan orang – orang terdekat
seperti keluarga ( orangtua, saudara kandung ), sekolah ( guru, teman – teman sekolah ),

tempat ibadah ( ulama, pendeta, ustad ). Sistem mikro ini memberi pengaruh langsung
terhadap perkembangan seorang anak.
Sistem meso ( mesosystem ) ialah sistem lingkungan sosial yang terdiri dari 2 atau
lebih sistem mikro seperti interaksi antar keluarga ( interfamily interaction ), interaksi antar
sekolah , interaksi antar kelompok teman sebaya . seorang anak dapat menyelesaikan tugas –
tugas pekerjaan rumah yang diberikan oleh guru di sekolah, cenderung akan merasa puas ,
percaya diri, bangga dan mengembangkan kepribadian yang positif, dibandingkan dengan
anak yang gagal dalam menyelesaikan tugas pekerjaan rumah dari gurunya. Sistem meso ini
memberi pengaruh langsung terhadap erkembangan seorang anak.
Sistem ekso ( exosystem ) ialah sistem lingkungan sosial yang secara tidak langsung
memberi pengaruh perkembangan anak. Sistem ini antara lain terdiri dari tempat kerja
orangtua, jaringan sosial orangtu,. Seorang ibu yang bekerja yang hanya memperoleh
kesempatan cuti dalam waktu singkat, cenderung memberi perhatian terhadap anak – anaknya
secara penuh pada hari – hari libur saja.

Sistem makro ( macrosystem ) ialah suatu sistem lingkungan sosial yang terdiri dari
pola – pola nilai budaya, norma – norma , adat – istiadat, kepercayaan yang berlaku dalam
suatu wilayah negara tertentu.
Sistem krono ( cronosystem ) ialah sistem yang berhubungan dengan dimensi waktu
yang mempengaruhi taraf kestabilan atau perubahandalam kehidupan anak. Hal ini berkaitan

dengan kondisi kerusuhan, bencana alam, masa perang, krisis sosial, politik atau ekonomi,
gelombang migrasi dan sebagainya. Kondisi – kondisi tersebut akan mempengaruhi
kehidupan keluarga , usaha kerja orangtua dan kemuadian berpengaruh terhadap
perkembangan anak.
Interaksi anak dengan lingkungan terdekat mengakibatkan besarnya pengaruh
lingkungan ini terdekat mengakibatkan besarnya pengaruh lingkungan ini terhadap
perkembangan emosi anak. Mengacu pada teori Albert Bandura ( dalam Santrock, 2002 )
mengenai social learning theory, anak mengembangkan perilakunya melalui proses modeling
atau imitasi. Bandura menyatakan bahwa modeling terbentuk karena adanya proses kognitif
yang terdiri dari empat hal yaitu adanya ettention, retention, motor reproduction, dan
motivation.
Proses attention merupakan suatu kondisi dimana anak harus menemukan model yang
cukup menarik untuk mengikat perhatian anak ( Salkind, 2002 ) dan khususnya aspek
perilaku yang signifikan dengan perilaku yang ditiru. Perhatian saja tanpa aspek perilaku
yang cukup bermakna untuk ditiru, tidak akan membuat individu meniru model ( Ormmrod,
2004 ).
Proses retention merupakan tahap kedua dalam belajar melalui model dengan
mengingat perilaku yang telah diobservasi ( Ormrod 2004 & Salkind,2002 ). Salah satu cara
yang sederhana unutk mengingat apa yang telah dilihat adalah dengan rehearsal, yaitu
mengulang apapun yang dibutuhkan untuk diingat berkali – kali. Mengacu pada teori

Bandura , individu mengingat representasi verbal ( seperti langkah – langkah instruksi atau
labels yang mendeskripsikan suatu kegiatan yang dibentuk ) maupun gambaran visual
perilaku yang telah dilihat. Kode – kode ingatan verbal dan visual ini sebagai guaide, ketika
individu membentuk perilaku yang diobservasi ( Ormrod,2004 ).
Proses motor reduction merupakan proses ketiga dalam modeling sebagai replikasi
perilaku yang telah didemonstrasikan model ( Ormrod, 2004 ) , namun tanpa kontrol motorik
yang tepat, anak tidak akan mampu menirukan perilaku model ( Salkind , 2002 ). Proses
motivasi sebagai tahap terakhir dalam modeling. Motivasi dibutuhkan, karena tanpa
keinginan untuk mempergeragakan apa yang telah dipelajari maka perilaku yang telah
diamati tidak akan ditiru ( Ormrod, 2004 & Salkind, 2002 ). Dalam perkembangan emosi,
proses modeling terhadap lingkungan mikro dapat terbentuk ketika anak mendapat stimulus
berupa pengalaman – pengalaman emosi dari orang – orang yang disekitarnya.
Perkembangan moral pada anak dapat dilihat dari sikap dan perilakunya sehari-hari,
apakah anak dapat membedakan sesuatu perbuatan yang ia lakukan itu baik atau buruk, hal
ini sesuai dengan Webster’s New World Distionaruy (Wantah, 2005:45) mengatakan bahwa

“Moral sebagai sesuatu yang berkaitan atau ada hubungan dengan kemampuan menentukan
benar salah dan baik buruknya sesuatu tingkah laku”. Dari beberapa pendapat para ahli diatas
dapat disimpulkan bahwa moral merupakan cara berfikir atau cara pandang seseorang yang
akan tercermin dalam pola pikir dan pola tindak seperti dalam bersikap, berbicara atau

mempersepsikan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat dimana ia berada.
Masa anak-anak pada dasarnya merupakan masa awal dalam tahap perkembangan
sepanjang kehidupan manusia. Yang membedakan masa anak-anak dengan masa kehidupan
yang lain adalah pada masa anak-anak individu cenderung lebih ingin dipahami. Comenius
dalam (Hurlock, 1978) juga menyatakan bahwa “anak-anak harus dipelajari sebagai embrio
orang dewasa melainkan dalam sosok alami anak yang penting untuk memahami kemampuan
mereka dan mengetahui bagaimana berhubungan dengannya”. Dengan demikian anak pada
dasarnya merupakan masa yang memiliki tingkat sensitivitas lebih tinggi daripada masa
perkembangan lain oleh karena itu anak-anak ingin dipahami lebih dari orang remaja.
Pada masa anak-anak pada dasarnya penting untuk dipelajari karena Locke
menyatakan bahwa pengalaman masa anak akan berperan penting dalam pembentukan
karakteristik pada saat dewasa. Selanjutnya terdapat pula pandangan dari J.J. Rosseau yaitu
innate goodness yang menyatakan bahwa anak-anak pada dasarnya baik, karena itu mereka
seharusnya diperbolehkan untuk bertumbuh secara alamiah dengan pantauan atau pembatasan
dari orang tua. Pernyataan tersebut menjadi kontradiksi apabila perkembangan tersebut
ditinjau dari sisi kelautan dan diaplikasi pada kalangan anak-anak nelayan.
Anak-anak yang berada pada permukiman nelayan mengalami hal yang berbeda dari
yang seharusnya. Anak tersebut kurang mendapat perhatian dan pendidikan yang seharusnya
mereka dapatkan. Hal tersebut ternyata berdampak pada perkembangan pada masa
selanjutnya. Sama seperti yang dikatakan oleh Erikson dalam (Hurlock, 1978) bahwa “masa

kanak-kanak merupakan gambaran awal manusia sebagai seorang manusia”. Dari pernyataan
tersebut dapat disimpulkan bahwa meskipun pada masyarakat pesisir anak-anak seharusnya
juga mendapat pengawasan terhadap perkembangannya karena hal itu berpengaruh pada
masa dewasa nantinya.

TEORI PSIKOLOGI PERKEMBANGAN

Pada dasarnya banyak teori yang dikemukakan para ahli berkenaan dengan psikologi
perkembangan.
1. Sigmund Freud
Sebagai pendiri dari aliran psikoanalisis, Freud menyatakan bahwa terdapat lima
tahapan dalam perkembangan anak, yaitu tahap mulut (oral stage), tahap anal (anal stage),
tahap falik (phallic stage), tahap laten (latency stage), dan tahap kemaluan (genital stage).

Apabila individu tidak melalui masing-masing tahapan tersebut dengan baik maka akan
berpengaruh pada perkembangan perilaku dan pembentukan kepribadian individu tersebut.
Melalui teori Freud, psikodinamikanya memandang bahwa komponen yang bersifat
sosio-afektif sangat fundamental dalam kepribadian dan perkembangan seseorang. Menurut
teori ini, komponen yang bersifat sosio-afektif adalah ketegangan yang ada dalam diri
seseorang, sebagai penentu dinamikanya.

Menurut teori psikodinamika yang dikemukakan oleh Freud ini juga menyatakan
bahwa seorang anak dilahirkan dengan dua macam kekuatan biologis yaitu libido dan nafsu
mati. Dalam teori ini juga memaparkan hal yang penting yaitu anak juga memiliki struktur
kepribadian id, ego dan super ego.
2. Erik Erikson
Erikson memiliki pandangan bahwa terdapat delapan tahap perkembangan individu
yang dialami selama siklus kehidupan individu tersebut. Tahapan tersebut adalah:
a)

Kepercayaan vs Ketidakpercayaan (trust vs mistrust)

b)

Otonomi vs Rasa Malu dan Keragu-raguan (autonomy vs shame & doubt)

c)

Prakasa vs Rasa Bersalah (initiative vs guilt)

d)


Tekun vs Rendah Diri (industry vs inferiority)

e)

Identitas vs Kebingungan Identitas (identity vs identity confusion)

f)

Keintiman vs Keterkucilan (intimacy vs isolation)

g)

Bangkit vs Berhenti (generativity vs stagnation)

h)

Integritas vs Kekecewaan (integrity vs despair)

3. Piaget

Piaget meyakini bahwa terdapat empat tahapan perkembangan kognitif yang dilalui
oleh seorang anak, yaitu tahap sensorimotor, tahap pra operasional, tahap operasional konkrit,
dan tahap operasional formal. Piaget juga memandang perkembangan berbdasarkan teori
yang berorientasi biologis.
Teori ini menitikberatkan pada apa yang disebut bakat, jadi faktor keturunan dan
konstitusi yang dibawa sejak lahir (Monks, 1982). Perkembangan anak dilihat sebagai
pertumbuhan dan pemasakan organisme. Perkembangan bersifat endogen, yang artinya
perkembangan tersebut tidak hanya berlangsung spontan saja, melainkan juga harus
dimengerti sebagai pemekaran pre-disposisi yang telah ditentukan secara biologis dan tidak
dapat berubah lagi.

Kelemahan teori yang berorientasi biologis ini juga terlihat ketika anak mampu
melakukan suatu perilaki yang lebih awal dari stadium perkembangannya. Misalnya anak
sudah dapat membaca pada usia yang masih sangat awal. Hal tersebut yang membuat teori ini
tidak dapat menjadi patokan sepenuhnya dan harus merujuk pada teori perkembangan lain
sebagai tinjauan dalam analisan psikilogis.
4. Albert Bandura
Melalui teori belajar sosial yang dikembangkannya, Bandura menyatakan bahwa anak
akan belajar dengan mengamati apa yang dilakukan oleh orang lain. Melalui pengamatan
yang dilakukan (modeling), seorang anak akan menampilkan perilaku orang yang diamatinya

serta bahkan mengadopsi perilaku tersebut dalam dirinya.
Dalam hal ini teori yang bersinggungan dengan apa yang dikemukan oleh bandura
adalah teori lingkungan. Dalam kelompok teori lingkungan atau teori milieu mencakup teori
belajar dan teori sosiologis. Kedua macam teori itu sebenarnya sama karena prinsip
sosialisasi pada dasarnya merupakan suatu bentuk proses dari social learning. Teori belajar
memiliki sifat dan karakter yang berbeda-beda. Persamaan yang ada di antara teori belajar
tersebut adalah bahwa individu memandang belajar sebagai suatu bentuk peribahan dalam
diri seseorang yang bersifat relatif tetap.
Menurut teori ini perkembangan merupakan suatu proses pertambahan bertambahnya
potensi untuk bertingkah laku. Berjalan harus dipelajari, bergaul dengan orang lain harus
dipelajari, demikian pula dengan berpikir logis juga harus dipelajari. Belajar berjalan
merupakan cara belajar sensori-motorik, belajar bergaul termasuk dalam kategori belajar
sosial, dan berpikir logis termasuk dalam proses belajar kognitif.
Teori ini beranggapan bahwa perilaku yang ditunjukkan oleh individu bukanlah hasil
spontan dari struktur organisme melainkan tergantung dari apa yang kita pelajari dengan
teknik-teknik yang diadopsi dari lingkungan. Jadi bila anak hidup dalam suatu lingkungan
tertentu, makaanak tadi akan memperlihatkan pola tingkah laku yang khas dari lingkungan
tersebut (Monks, 1982).

TUGAS PERKEMBANGAN ANAK

Salah satu dasar untuk menentukan apakah seorang anak telah mengalami
perkembagan dengan baik adalah memulai apa yang disebut dengan tugas-tugas
perkembangan atau (Development Task). Tugas perkembangan masa anak menurut
Munandar (1985) adalah belajar berjalan, belajar mengambil makanan yang padat, belajar
berbicara, toilet training, belajar membedakan jenis kelamin dan dapat kerja kooperatif,
belajar mencapai stabilitas fisiologis, pembentukan konsep-konsep yang sederhana mengenai
kenyataan sosial dan fisik, belajar untuk mengembangkan diri sendiri secara emosional
dengan orang tua, sanak saudara dan orang lain serta belajar membedakan baik dan buruk.

Sedangkan menurut Havighurts (dalam Gunarsa, 1986) tugas-tugas perkembangan
pada anak bersumber pada tiga hal, yaitu : kematangan fisik, rangsangan atau tuntutan dari
masyarakat dan norma pribadi mengenai aspirasi-aspirasinya. Tugas-tugas perkembangan
tersebut adalah sebagai berikut: tugas-tugas perkembangan anak usia 0-6 tahun, meliputi
belajar memfungsikan visual motoriknya secara sederhana, belajar memakan makanan padat,
belajar bahasa, kontrol badan, mengenali realita sosial atau fisiknya, belajar melibatkan diri
secara emosional dengan orang tua, saudara dan lainnya, belajar membedakan benar atau
salah serta membentuk nurani. Tugas-tugas perkembangan anak usia 6-12 tahun adalah
menggunakan kemampuan fisiknya, belajar sosial, mengembangakan kemampuankemampuan dasar dalam membaca, menulis, dan menghitung, memperoleh kebebasan
pribadi, bergaul, mengembangkan konsep-konsep yang dipadukan untuk hidup sehari-hari,
mempersiapkan dirinya sebagai jenis kelamin tertentu, mengembangkan kata nurani dan

moral, menentukan skala nilai dan mengembangkan sikap terhadap kelompok sosial atau
lembaga (Havighurts dalam Gunarsa, 1986).

ASPEK PERKEMBANGAN ANAK
Dalam perkembangan anak terdapat aspek-aspek yang nampak dari perkembangan
tersebut. Berikut ini penjelasan dari masing-masing aspek :
1. Perkembangan Fisik (Motorik).
Dua kata mendeskripsikan pertumbuhan fisik anak usia ini adalah lamban dan stabil.
Anak pada usia ini mengalami pertumbuhan terus menerus, mengembangkan kendali yang
terus bertambah atas tubu mereka, dan menjelajahi hal-hal yang mampu mereka lakukan.
Perkembangan fisik (motorik) merupakan proses tumbuh kembang kemampuan gerak
seorang anak. Setiap gerakan yang dilakukan anak merupakan hasil pola interaksi yang
kompleks dari berbagai bagian dan sistem dalam tubuh yang dikontrol oleh otak.
Perkembangan fisik (motorik) meliputi perkembangan motorik kasar dan motorik halus.
a)
Perkembangan motorik kasar. Kemampuan anak untuk duduk, berlari,
melompat, menangkap bola, dan menendang termasuk contoh perkembangan motorik kasar.
Otot-otot besar dan sebagian atau seluruh anggota tubuh digunakan oleh anak untuk
melakukan gerakan tubuh. Perkembangan motorik kasar dipengaruhi oleh proses kematangan
anak. Karena proses kematangan setiap anak berbeda, maka laju perkembangan seorang anak
bisa saja berbeda dengan anak lainnya.
b)
Perkembangan motorik halus. Adapun perkembangan motorik halus
merupakan perkembangan gerakan anak yang menggunakan otot-otot kecil atau sebagian
anggota tubuh tertentu. Perkembangan pada aspek ini dipengaruhi oleh kesempatan anak
untuk belajar dan berlatih. Kemampuan memegang benda, menulis, menggunting, dan
mengancingi baju termasuk contoh gerakan motorik halus.

2. Perkembangan Emosi.
Perkembangan pada aspek ini meliputi kemampuan anak untuk merasakan dan
memahami gejolak perasaan seperti mencintai, merasa nyaman, berani, gembira, takut, marah
serta bentuk-bentuk emosi lainnya. Pada aspek ini, anak sangat dipengaruhi oleh interaksi
dengan orangtua dan orang-orang di sekitarnya. Emosi yang berkembang/dikeluarkan anak
akan sesuai dengan impuls emosi yang diterimanya. Misalnya, jika anak mendapatkan
curahan kasih sayang, mereka akan belajar untuk menyayangi.
3. Perkembangan Kognitif.
Pemikiran operasi konkret merupakan tonggak kognitif yang memungkinkan anak
pada awal sekolah dasar pemikiran dan bertindak bagaimana semestinya. Pada aspek
koginitif, perkembangan anak nampak pada kemampuannya dalam menerima, mengolah, dan
memahami informasi-informasi yang sampai kepadanya. Kemampuan kognitif berkaitan
dengan perkembangan berbahasa (bahasa lisan maupun isyarat)seperti: memahami kata,
mengeluarkan apa yang dia pikirkan, kemampuan logis, seperti memahami sebab akibat suatu
kejadian, memahami makna dari symbol dan hal-hal yang berkaitan dengan pengetahuan diri
dan di lingkungannya. Kognitif perkembangannya diawali dengan perkembangan
kemampuan mengamati, melihat hubungan dan memecahkan masalah sederhana. Kemudian
berkembang ke arah pemahaman dan pemecahan masalah yang lebih rumit. Aspek ini
berkembang pesat pada masa anak mulai masuk sekolah dasar (usia 6-7 tahun). Berkembang
konstan selama masa belajar dan mencapai puncaknya pda masa sekolah menengah atas (usia
16-17 tahun).
Menurut Piaget, dinamika perkembangan intelektual individu mengikuti dua proses,
yaitu asimilasi dan akomodasi. Asimilasi adalah proses kognitif dimana seseorang
mengintegrasikan persepsi, konsep atau pengalaman baru ke dalam struktur kognitif yang
sudah ada di dalam pikirannya. Ada dua fungsi guru SD sekaitan proses asimilasi, yakni
meletakkan dasar struktur kognitif yang tepat tentang sesuatu konsep pada kognisi anak dan
memperkaya struktur kognitif menjadi semakin lengkap dan mendalam. Ada dua
kemungkinan yang dapat dilakukan individu dalam situasi ini, yakni
a. membentuk struktur kognitif baru yang cocok dengan rangsangan atau pengalaman baru;
b. memodifikasi struktur kognitif yang ada sehingga cocok dengan rangsangan atau
pengalaman baru.
Menurut Piaget, proses asimilasi dan akomodasi terus berlangsung pada diri
seseorang. Dalam perkembangan kognitif, diperlukan keseimbangan antara kedua proses ini.
Keseimbangan itu disebut ekuilibrium, yakni pengaturan diri secara mekanis yang perlu
untuk mengatur keseimbangan proses asimilasi dan akomodasi.
Piaget membagi proses perkembangan fungsi-fungsi dan perilaku kognitif ke dalam
empat tahapan utama yang secara kualitatif setiap tahapan memunculkan karakteristik yang
berbeda-beda. Tahapan perkembangan kognitif itu adalah:

a)

Periode sensori motorik (0;0-2;0),

b)

Periode praoperasional (2;0-7;0 tahun),

c)

Periode operasional konkrit (7;0-11 atau 12;0 tahun),

d)

Periode operasional formal (11;0 atau 12;0 – 14 atau15;0).

4. Perkembangan sosial.
Aspek sosial berkaitan dengan kemampuan anak untuk berinteraksi dengan
lingkungannya, dimana lingkungan itu mampu untuk membuat anak untuk berinteraksi
dengan lingkungan yang dapat membantunya untuk bersosialisasi. Misalnya, kemampuan
anak untuk menyapa, berinteraksi dan bermain bersama teman-teman sebayanya.

Pendidikan Anak Pesisir
Pendidikan yang seharusnya menjadi perhatian penting dalam masyarakat yang pada
hal ini sesuai dengan tujuan Millenium Development Goal’s adalah satu program yang
seharusnya diprioritaskan pada masyarakat pesisir, namun hal ini yang terjadi pada
masyarakat pesisir pantai tuban menjadi tujuan sampingan yang ada pada pola atau pemikiran
masing-masing keluarga, hal ini terbukti dengan tingkat pendidikan yang rendah, rata rata
tingkat pendidikan masyarakat pesisir berhenti sampai batas SMP atau SMA saja. Hal ini
dipengaruhi dengan beberapa faktor diantaranya yaitu, faktor ekonomi, faktor lingkungan,
faktor keluarga
1.

Faktor ekonomi.

Kurangnya informasi dan anggapan penting pengetahuan menjadikan pola ekonomi
masyarakat pesisir yang stagnan (tetap pada posisi), sehingga perkembangan ekonomi
masyarakat pesisir juga kurang berkembang, cara mendapatkan penghasilan yang singkat
yang dalam hal ini adalah sebagai seorang nelayan, (untuk mendapatkan penghasilan tanpa
harus membutuhkan ijazah atau legalitas dari akademika) dan penghasilan yang selalu
digantungkan setiap hari, sehingga mempengaruhi pola keluarga dalam mengatur keuangan
keluarga secara sederhana (satu hari dapat satu hari habis) hal ini karena pola pemikiran
kekayaaan laut yang masih tersedia setiap hari. Pola tersebut sehingga susah untuk
dikembangkan secara jangka panjang atau diinvestasikan. Dengan pola seperti diatas
kebutuhan pokok akan pengeluaran keuangan lebih dipentingkan kebutuhan
pokok/sampingan keluarga (properti) di banding dengan kebutuhan pendidikan, kurang
pentingnya anggapan pendidikan juga dipengaruhi dengan masa depan pekerjaan yang sudah
pasti bagi pandangan masyarakat pesisir (bekerja sebagai seorang nelayan), selain hal
tersebut, kurangnya perkembangan ekonomi keluarga juga memicu anak-anak untuk mandiri
dalam mendapatkan hasil keuangan dibandingkan dengan pentingnya pendidikan.

2. Faktor Lingkungan
Dalam bagian ini akan diuraikan sedikit tentang pengaruh lingkungan terhadap
pendidikan masyarakat pesisir. Dunia pendidikan yang banyak dialami pada anak-anak
menjadi fenomena terbalik ketika dihadapkan pada masyarakat pesisir. Lingkungan
masyarakat yang sudah mengenalkan cara mendapatkan uang dengan mudah bahkan anakanakpun ikut andil dengan mudah untuk mendapatkannya, merubah perilaku anak-anak yang
seharusnya mengemban dunia pendidikan di balikan menjadi perilaku selayaknya orang
dewasa pada umumnya, hal ini dipacu dengan kemampuan mereka untuk menghasilkan uang
sendiri. Sehingga pada hal ini lingkungan anak-anak lebih terbiasa untuk melakukan perilaku
orang dewasa. Pola seperti ini mengarahkan anak anak untuk mengisi kesibukanya dengan
kegiatan kegiatan orang dewasa dari pada mengisi keseharianya dengan menemban
pendidikan. Lebih frontalnya kebiasaan kebiasaaan orang dewasa yang belum bisa di saring
oleh anak-anak juga akan mempengaruhi mereka untuk bertindak kriminal.
3. Faktor Keluarga
Dalam tulisan ini akan dijelaskan bagaimana kurang pentingnya peran keluarga dalam
melihat pendidikan sebagai hal penting terhadap masa depan anaknya. Di dalam masyarakat
pesisir, orang tua menganggap pendidikan itu kurang penting. Hal ini dapat dilihat ketika
anak-anak yang sudah menginjak usia produktif atau 17 tahun ke atas banyak yang disuruh
untuk bekerja ketimbang melanjutkan ke pendidikan yang lebih tinggi. Hal tersebut
dipengaruhi oleh pola pandang orang tua yang secara turun-temurun yang lebih
mementingkan mencari uang. Selain itu, faktor ekonomi yang pas-pasan membuat orang tua
pikir-pikir dalam hal menyekolahkan anaknya ke jenjang yang lebih tinggi.

Karakteristik Masyarakat Pesisir
Secara teoritis, masyarakat pesisir merupakan masyarakat yang tinggal dan
melakukan aktifitas sosial ekonomi yang terkait dengan sumberdaya wilayah pesisir dan
lautan. Dengan demikian, secara sempit masyarakat pesisir memiliki ketergantungan yang
cukup tinggi dengan potensi dan kondisi sumberdaya pesisir dan lautan. Namun demikian,
secara luas masyarakat pesisir dapat pula didefinisikan sebagai masyarakat yang tinggal
secara spasial di wilayah pesisir tanpa mempertimbangkan apakah mereka memiliki aktifitas
sosial ekonomi yang terkait dengan potensi dan kondisi sumberdaya pesisir dan lautan.
Menurut Fahmi, Masyarakat pesisir itu sendiri dapat didefinisikan sebagai kelompok
orang atau suatu komunitas yang tinggal di daerah pesisir dan sumber kehidupan
perekonomiannya bergantung secara langsung pada pemanfaatan sumberdaya laut dan pesisir.
Mereka terdiri dari nelayan pemilik, buruh nelayan, pembudidaya ikan dan organisme laut
lainnya, pedagang ikan, pengolah ikan, supplier faktor sarana produksi perikanan. Dalam
bidang non-perikanan, masyarakat pesisir bisa terdiri dari penjual jasa transportasi dan lain-

lain. Yang harus diketahui bahwa setiap komunitas memiliki karakteristik kebudayaan yang
berbeda-beda.
Masyarakat pesisir pada umumnya sebagian besar penduduknya bermatapencaharian
di sektor pemanfaatan sumberdaya kelautan (marine resource based), seperti nelayan,
pembudidaya ikan, penambangan pasir dan transportasi laut. Penduduk Kabupaten
Kepulauan Seribu tahun 2010 berpenduduk 21.071 jiwa, sekitar 69,36 % merupakan nelayan
sedangkan sisanya terdiri dari pedagang, buruh, PNS, swasta dan lain-lain. Tingkat
pendidikan penduduk wilayah pesisir juga tergolong rendah, dimana penduduk Kabupaten
Kepulauan Seribu sekitar 6.800 jiwa hanya menamatkan Sekolah Dasar (SD), 1.463 jiwa
tamat SMP dan 1.076 jiwa tamat SMA dengan fasilitas pendidikan yang ada masih sangat
terbatas.
Kondisi lingkungan pemukiman masyarakat pesisir, khususnya nelayan masih belum
tertata dengan baik dan terkesan kumuh. Dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat yang
relatif berada dalam tingkat kesejahteraan rendah, maka dalam jangka panjang tekanan
terhadap sumberdaya pesisir akan semakin besar guna pemenuhan kebutuhan masyarakat.
Masyarakat pesisir juga dapat didefinisikan sebagai masyarakat yang tinggal dan
melakukan aktifitas sosial ekonomi yang terkait dengan sumberdaya wilayah pesisir dan
lautan. Dengan demikian, secara sempit masyarakat pesisir memiliki ketergantungan yang
cukup tinggi dengan potensi dan kondisi sumberdaya pesisir dan lautan. Namun demikian,
secara luas masyarakat pesisir dapat pula didefinisikan sebagai masyarakat yang tinggal
secara spasial di wilayah pesisir tanpa mempertimbangkan apakah mereka memiliki aktifitas
sosial ekonomi yang terkait dengan potensi dan kondisi sumberdaya pesisir dan lautan.
Karakteristik masyarakat pesisir berbeda dengan karakterisik masyarakat agraris atau
petani. Dari segi penghasilan, petani mempunyai pendapatan yang dapat dikontrol karena
pola panen yang terkontrol sehingga hasil pangan atau ternak yang mereka miliki dapat
ditentukan untuk mencapai hasil pendapatan yang mereka inginkan. Berbeda halnya dengan
masyarakat pesisir yang mata pencahariannya didominasi dengan pelayan. Pelayan bergelut
dengan laut untuk mendapatkan penghasilan, maka pendapatan yang mereka inginkan tidak
bisa dikontrol.
“Nelayan menghadapi sumberdaya yang bersifat open acces dan beresiko tinggi. Hal
tersebut menyebabkan masyarakat pesisir sepeti nelayan cenderung memiliki karakter
yang tegas, keras, dan terbuka”
Masyarakat pesisir termasuk masyarakat yang masih terbelakang dan berada dalam
posisi marginal. Selain itu, banyak dimensi kehidupan yang tidak diketahui oleh orang luar
tentang karakteristik masyarakat pesisir. Masyarakat pesisir mempunyai cara berbeda dalam
aspek pengetahuan, kepercayaan, peranan sosial, dan struktur sosialnya. Sementara itu,
dibalik kemarginalannya, masyarakat pesisir tidak mempunyai banyak cara dalam mengatasi
masalah yang hadir.

Masyarakat pesisir pada umumnya telah menjadi bagian masyarakat yang pluraristik
tapi masih tetap memiliki jiwa kebersamaan. Artinya bahwa struktur masyarakat pesisir ratarata merupakan gabungan karakteristik masyarakat perkotaan dan pedesaan. Karena struktur
masyarakat pesisir sangat plurar, sehingga mampu membentuk sistem dan nilai budaya yang
merupakan akulturasi budaya dari masing-masing komponen yang membentuk struktur
masyarakatnya.
Hal menarik adalah bahwa bagi masyarakat pesisir Indonesia, hidup di dekat pantai
merupakan hal yang paling diinginkan untuk dilakukan mengingat segenap aspek kemudahan
dapat mereka peroleh dalam berbagai aktivitas kesehariannya. Dua contoh sederhana dari
kemudahan-kemudahan tersebut diantaranya, pertama, bahwa kemudahan aksesibilitas dari
dan ke sumber mata pencaharian lebih terjamin, mengingat sebagian masyarakat pesisir
menggantungkan kehidupannya pada pemanfaatan potensi perikanan dan laut yang terdapat
di sekitarnya, seperti penangkapan ikan, pengumpulan atau budidaya rumput laut dan
sebagainya. Kedua, bahwa mereka lebih mudah mendapatkan kebutuhan akan MCK (mandi,
cuci, kakus) di mana mereka dapat mengaksesnya secara lebih mudah.
Masyarakat pesisir, khususnya yang tinggal di wilayah Indonesia, mempunyai sifatsifat atau karakteristik tertentu yang khas atau unik. Sifat ini sangat erat kaitannya dengan
sifat usaha di bidang perikanan itu sendiri. Karena sifat-sifat dari usaha perikanan sangat
dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti lingkungan, musim dan pasar, maka karakteristik
masyarakat pesisir juga dipengaruhi oleh faktor-faktor tersebut dan faktor-faktor lainnya.
Beberapa sifat dan karakteristik masyarakat pesisir diuraikan sebagai berikut :
1.

Ketergantungan Pada Kondisi Lingkungan

Nilai dan arti penting pesisir dan laut bagi bangsa Indonesia dapat dilihat dari dua
aspek, yaitu : Pertama, secara sosial ekonomi wilayah pesisir dan laut memiliki arti penting
karena (a) sekitar 140 juta (60 %) penduduk Indonesia hidup di wilayah pesisir (dengan
pertumbuhan rata-rata 2 % per tahun); (b) sebagian besar kota, baik propinsi dan kabupaten)
terletak di kawasan pesisir; (c) kontribusi sektor kelautan terhadap PDB nasional sekitar
20,06 % pada tahun 1998 dan (d) industri kelautan (coastal industries) menyerap lebih dari 16
juta tenaga kerja secara langsung.
Kedua, secara biofisik, wilayah pesisir dan laut Indonesia memiliki arti penting
karena (a) Indonesia memiliki garis pantai terpanjang di dunia setelah Kanada, yaitu sekitar
81.000 km (13,9 % dari panjang pantai dunia) dan ; (b) sekitar 75 % dari wilayahnya
merupakan wilayah perairan (sekitar 5,8 juta km2 termasuk ZEEI; (c) Indonesia merupakan
negara kepulauan terbesar di dunia dengan jumlah pulau sekitar 17.508 pulau dan (d) Dalam
wilayah tersebut terkandung potensi kekayaan dan keanekaragaman sumberdaya alamnya
yang terdiri atas potensi sumberdaya alam pulih (renewable resources) seperti perikanan,
ekosistem mangrove, ekosistem terumbu karang) maupun potensi sumberdaya alam tidak
pulih (non renewable resources) seperti migas, mineral atau bahan tambang lainnya serta
jasa-jasa lingkungan (environmental services), seperti pariwisata bahari, industri maritim dan
jasa transportasi.

Sumberdaya alam dan lingkungan merupakan modal pembangunan yang dapat
dikelola untuk menyediakan barang dan jasa (goods & services) bagi kemakmuran
masyarakat dan bangsa. Dilihat dari potensi dan kemungkinan pengembangannya, wilayah
pesisir memiliki peranan penting dalam pembangunan nasional, apalagi bangsa Indonesia
saat sekarang sedang mengalami krisis ekonomi. Peranan tersebut tidak hanya dalam
penciptaan pertumbuhan ekonomi (growth), tetapi juga dalam peningkatan kesejahteraan
masyarakat (social welfare) dan pemerataan kesejahteraan (equity). Namun demikian,
peranan tersebut tidak akan tercapai dengan baik apabila mengabaikan aspek kelestarian
lingkungan (environmental sustainability) dan kesatuan bangsa (unity).
Salah satu sifat usaha perikanan yang sangat menonjol adalah bahwa keberlanjutan
usaha tersebut sangat bergantung pada kondisi lingkungan. Keadaan ini mempunyai imlikasi
yang sangat penting bagi kondisi kehidupan sosial-ekonomi masyarakat pesisir, terutama di
Indonesia. Kondisi masyarakat pesisir itu menjadi sangat bergantung pada kondisi
lingkungan sekaligus sangat rentan terhadap kerusakan lingkungan, khususnya pencemaran,
karena limbah-limbah industri maupun domestik dapat mengguncang sendi-sendi kehidupan
sosial-ekonomi masyarakat pesisir.
2. Ketergantungan Pada Musim
Karakteristik lain yang sangat mencolok di kalangan masyarakat pesisir, terutama
masyarakat nelayan, adalah ketergantungan mereka pada musim. Ketergantungan pada
musim ini akan semakin besar pada nelayan kecil. Pada musim penangkapan, para nelayan
akan sangat sibuk melaut. Sebaliknya, pada musim peceklik kegiatan melaut menjadi
berkurang sehingga banyak nelayan yang terpaksa menganggur.
Keadaan ini mempunyai implikasi besar terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat
pantai secara umumdan kaum nelayan khususnya. Mereka mungkin mampu membeli barangbarang yang mahal pada musim tangkap. Namun pada musim peceklik, pendapatan mereka
drastis menurun sehingga kehidupan mereka juga semakin buruk. Belum lagi ditambah pola
hidup mereka yang menerapakan prinsip ekonomi yang “tidak hemat”, artinya saat hasil
tangkap memuncak, mereka cenderung tidak menyimpan hasil untuk menutupi kekurangan
ekonomi di saat kegiatan tangkap menurun sehingga banyak dari nelayan-nelayan tersebut
yang harus meminjam uang bahakan menjual barang-barang mereka untuk memenuhi
kebutuhannya.
Secara umum, pendapatan nelayan memang sangat berfluktuasi dari hari ke hari. Pada
suatu hari, mungkin nelayan memperoleh tangkapan yang sangat tinggi, tapi pada hari
berikutnya bisa saja “kosong”. Hasil tangkapan dan pada giliranya pendapatan nelayan juga
dipengaruhi oleh jumlah nelayan operasi penangkapan di suatu daerah penangkapan. Di
daerah yang padat penduduknya, akan mengalami kelebihan tangkap (overfishing). Hal ini
mengakibatkan volume hasil tangkap dari para nelayan menjadi semakin kecil, sehingga pada
akhirnya akan mempengaruhi pendapatan mereka.
Kondisi di atas turut pula mendorong munculnya pola hubungan tertentu yang sangat
umum dijumpai di kalangan masyarakat di kalangan nelayan maupun petani tambak, yakni

pola hubungan yang bersifat patron-klien. Karena keadaan ekonomi yang buruk, maka para
nelayan kecil, buruh nelayan, petani tambak kecil dan buruh tambak seringkali terpaksa
meminjam uang dan barang-barang kebutuhan hidup sehari-hari dari para juragan atau dari
para pedagang pengumpul (tauke).
Konsekuensinya, para peminjam tersebut menjadi terikat dengan pihak juragan atau
pedagang. Keterkaitan tersebut antara lain berupa keharusan menjual produknya kepada
pedagang atau juragan. Pola hubungan yang tidak simetris ini tentu saja sangat mudah
berubah menjadi alat dominansi dan ekploitasi.
Secara sosiologis, masyarakat pesisir memiliki ciri yang khas dalam hal struktur sosial
yaitu kuatnya hubungan antara patron dan klien dalam hubungan pasar pada usaha perikanan.
“Biasanya patron memberikan bantuan berupa modal kepada klien. Hal tersebut merupakan
taktik bagi patron untuk mengikat klien dengan utangnya sehingga bisnis tetap berjalan”.
3. Terdapatnya Stratifikasi Sosial Dalam Masyarakat
Stratifikasi sosial yang sangat menonjol pada masyarakat nelayan dan petani tambak
adalah stratifikasi berdasarkan misalnya membedakan stratifikasi sosial menjadi tiga jenis
yaitu (1) strafikasi karena status ekonomi (economically stratified); (2) stratifikasi karena
perbedaan status politik (politically stratified) dan (3) stratifikasi karena perbedaan status
pekerjaan (occupationally stratified).
a. Berdasarkan ekonomi dan penguasaan alat tangkap, yaitu jika dalam suatau masyarakat
terdapat perbedaan atau tidak ketidaksetaraan status ekonomi, pada masyarakat nelayan
umumnya terdapat tiga strata kelompok, yaitu :
- Starata atas, yaitu mereka yang memiliki kapal motor lengkap dengan alat tangkapnya.
Mereka ini biasanya dikenal dengan nelayan besar atau modern. Biasanya mereka tidak ikut
melaut. Operasi penangkapan diserahkan kepada orang lain. Buruh atau tenaga kerja yang
digunakan cukup banyak bisa sampai dua atau tiga puluhan. Seringkali nelayan besar juga
merangkap sebagai pedangang pengumpul. Namun demikian, biasanya ada pula pedagang
pengumpul yang bukan nelayan, sehingga pedagang ini merupakan kelas tersendiri.
- Strata kedua, adalah mereka yang memiliki perahu dengan motor tempel. Pada strata ini,
biasanya pemilik tersebut ikut melaut dan memimpin kegiatan penagkapan. Buruh yang ikut
mungkin ada tetapi terbatas dan seringkali merupakan anggota keluarga saja.
- Strata terakhir adalah buruh nelayan. Meskipun para nelayan bisa juga merangkap menjadi
buruh, tetapi lebih banyak pula buruh ini yang tidak memiliki sarana produksi apa-apa, hanya
tenaga mereka itu sendiri.
b. Stratifikasi karena perbedaan status politik (politically stratified), yaitu jika terdapat
ranking sosial berdasarkan otoritas, prestise, kehormatan dan gelar. Misalnya seseorang yang
memperoleh gelar sebagai kepala desa dan pemimpin-pemimpin desa memiliki strata yang
lebih tinggi dibandingkan dengan warga-warga biasa.

c. Stratifikasi karena perbedaan status pekerjaan (occupationally stratified), misalnya
stratifikasi pada petani tambak, yaitu :
1. Strata atas adalah mereka yang menguasi tambak yang luas.
2. Strata menengah yang memiliki luas tambak yang sedang/kecil.
3. Strata bawah adalah mereka yang tidak memiliki tambak, melainkan hanya mengelola atau
sebagai buruh.

4. Ketergantungan Pada Pasar
Karakteristik lain masyarakat pesisir ini adalah sifat ketergantungan terhadap
keadaaan pasar. Hal ini disebabkan karena hasil tangkap mereka itu harus dijual terebih
dahulu sebelum hasil penjualannya digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Karakteristik tersebut mmepunyai implikasi yang sangat penting, yakni masyarakat pesisisir
sangat peka terhadap harga. Perubahan harga produk perikanan sangat mmepengaruhi kondisi
sosial ekonomi masyarakat tersebut.
5. Aktivitas Kaum Perempuan dan Anak-Anak
Ciri khas lain dari suatu masyarakat pesisir adalah aktivitas kaum perempuan dan
anak-anak. Pada masyarakat ini, umumnya perempuan dan anak-anak ikut bekerja mencari
nafkah. Kaum perempuan (orang tua maupun anak-anak) seringkali bekerja sebagai pedagang
ikan (pengecer), baik pengecer ikan segar maupun ikan olahan. Mereka juga melakukan
pengolahan hasil tangkapan, baik pengolahan kecil-kecilan di rumah untuk dijual sendiri
maupun sebagai buruh pada pengusaha pengolahan ikan atau hasil tangkap lainnya.
Sementara itu anak laki-laki seringkali telah dilibatkan dalam kegiatan melaut. Ini antara lain
yang menyebabkan anak-anak nelayan banyak yang tidak sekolah.
6. Rentan Terhadap Pengaruh Eksternal
Ditinjau dari aspek biofisik wilayah, ruang pesisir dan laut serta sumberdaya yang
terkandung di dalamnya bersifat khas sehingga adanya intervensi manusia pada wilayah
tersebut dapat mengakibatkan perubahan yang signifikan. Ditinjau dari aspek kepemilikan,
wilayah pesisir dan laut serta sumberdaya yang terkandung di dalamnya sering tidak
mempunyai kepemilikan yang jelas (open access), kecuali pada beberapa wilayah di
Indonesia, seperti Ambon dengan kelembagaan sasi, NTB dengan kelembagaan tradisional
Awig-awig dan Sangihe Talaud dengan kelembagaan Maneeh.
Dengan karaktersitik yang khas dan open access tersebut, maka setiap pembangunan
wilayah dan pemanfaatan sumberdaya timbul konflik kepentingan pemanfaatan ruang dan
sumberdaya serta sangat mudah terjadinya degradasi lingkungan dan problem eksternalitas.
Selain itu penumpukan limbah-limbah dari daratan seperti limbah industri dan limbah
domestik sangat mempengaruhi kondisi mereka. Penurunan kualitas perairan dapat

menurunkan hasil tangkap mereka sehingga pendapatan mereka pun merosot. Jika hal ini
terjadi maka kondisi ekonomi mereka akan semakin terpuruk.
7. Rendahnya Tingkat Kesejahteraan dan Ilmu Pengetahuan
Kondisi lingkungan pemukiman masyarakat pesisir, khususnya nelayan masih belum
tertata dengan baik dan terkesan kumuh. Dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat yang
relatif berada dalam tingkat kesejahteraan rendah, maka dalam jangka panjang tekanan
terhadap sumberdaya pesisir akan semakin besar guna pemenuhan kebutuhan pokoknya.
Sebagian besar penduduk di wilayah pesisir bermata pencaharian di sektor
pemanfaatan sumberdaya kelautan (marine resources base), seperti nelayan, petani ikan
(budidaya tambak dan laut), Kemiskinan masyarakat nelayan (problem struktural),
penambangan pasir, kayu mangrove dan lain-lain. Sebagai contoh : Kecamatan Kepulauan
Seribu, Jakarta Utara dengan penduduk 17.991 jiwa, sekitar 71,64 % merupakan nelayan
(Tahun 2001).
Sebagian besar penduduk wilayah pesisir memiliki tingkat pendidikan yang rendah.
Sebagai contoh : penduduk Kecamatan Kepulauan Seribu, Jakarta Utara (Tahun 2001) sekitar
70,10 % merupakan tamatan Sekolah Dasar (SD) dan sejalan dengan tingkat tersebut, fasilitas
pendidikan yang ada masih sangat terbatas.
Dilihat dari aspek pengetahuan, masyarakat pesisir mendapat pengetahuan dari
warisan nenek moyangnya misalnya mereka untuk melihat kalender dan penunjuk arah maka
mereka menggunakan rasi bintang.
8. Memiliki Kepribadian Yang Keras, Tempramental dan Boros
Masyarakat nelayan akrab dengan ketidakpastian yang tinggi karena secara alamiah
sumberdaya perikanan bersifat invisible sehingga sulit untuk diprediksi. Sementara
masyarakat agraris misalnya memiliki ciri sumberdaya yang lebih pasti dan visible sehingga
relatif lebih mudah untuk diprediksi terkait dengan ekspetasi sosial ekonomi masyarakat.
Dalam kondisi seperti ini maka tidak jarang ditemui karakteristik masyarakat nelayan yang
keras, sebagian temparemental dan tidak jarang yang boros karena ada persepsi bahwa
sumberdaya perikanan “tinggal diambil” di laut.
9. Memiliki Sistem Kepercayaan dan Adat Yang Kuat
Dilihat dari aspek kepercayaan, masyarakat pesisir masih menganggap bahwa laut
memilki kekuatan magic sehingga mereka masih sering melakukan adat pesta laut atau
sedekah laut. Namun, dewasa ini sudah ada dari sebagian penduduk yang tidak percaya
terhadap adat-adat seperti pesta laut tersebut. Mereka hanya melakukan ritual tersebut hanya
untuk formalitas semata. Begitu juga dengan posisi nelayan sosial, pada umumnya, nelayan
bergolong kasta rendah.

Pola Asuh Orangtua Mempengaruhi Perkembangan Anak, Khususnya di Wilayah
Pesisir.

Pengertian Orang Tua
Orang tua adalah ayah dan ibu yang melahirkan manusia baru (anak) serta
mempunyai kewajiban untuk mengasuh, merawat dan mendidik anak tersebut agar
menjadigenerasi yang baik. Orang tua mempunyai peran yang sangat penting dalam
pertumbuhan dan perkembangan mental spiritual anaknya seperti:


Memberikan pengawasan dan pengendalian yang wajar agar anak tidak merasa tertekan.



Mengajarkan kepada anak tentang dasar-dasar pola hidup pergaulan yang benar.



Memberikan contoh perilaku yang baik dan pantas bagi anak-anaknya.

Pola Asuh Anak
Secara etimologi, pola berarti bentuk, tata cara, sedangkan asuh berarti menjaga,
merawat dan mendidik. Sehingga pola asuh berarti bentuk atau system dalam menjaga,
merawat dan mendidik. Jika ditinjau dari terminology, pola asuh anak adalah suatu pola atau
system yang diterapkan dalam menjaga, merawat, dan mendidik seorang anak yang bersifat
relative konsisten dari waktu ke waktu. Pola perilaku ini dapat dirasakan oleh anak dari segi
negative atau positif.

Macam-macam Pola Asuh Orang Tua
Menurut Baumrind (1967), pola asuh dikelompokkan menjadi 4 macam yaitu:
a) Pola asuh secara demokratis
Pola asuh yang memprioritaskan kepentingan anak, akan tetapi tidak ragu-ragu dalam
mengendalikan anak. Orang tua dengan pola asuh ini bersikap rasional, selalu mendasari
tindakannya pada rasio atau pemikiran- pemikiran. Orang tua type ini juga bersifat realistis
terhadap kemampuan anak, tidak berharap melebihi batas kemampuan anak. Orang tua type
ini juga memberikan kebebasan pada anak, dalam memlih dan melakukan suatu tindakan, dan
pendekatannya terhadap anak bersifat hangat.
b) Pola Asuh Otoriter
Cenderung menetapkan standar yang mutlak harus dituruti. Biasanya dibarengi
dengan ancaman-ancaman. Misalnya kalu tidak mau makan, maka anak tidak akan diajak
bicara. Orang tua tipe ini juga cenderung memaksa, memerintah, dan menghukum apabila
sang anak tidak mau melakukan apa yang diinginkan oleh orang tua. Orang tua tipe ini juga

tidak mengenal kompromi dalam berkomunikasi biasanya bersifat satu arah. Orang tua tipe
ini tidak memerlukan umpan balik dari anaknya untuk mengerti dan mengenal anaknya.
c) Pola Asuh Permisif
Pola asuh permisif atau pemanja biasanya memberikan pengawasan yang sangat
longgar, memberikan kesempatan pada anaknya untuk melaakukan sesuatu tanpa pengawasan
yang cukup darinya. Mereka cenderung tidak menegur atau memperingatkan anak apabila
anak sedang dalam bahaya, dan sangat sedikit bimbingan yang diberikan olaeh mereka.
Namun oraang tu tipe ini biasanya bersifat hangat sehingga seringkali disukai oleh anak.
d) Pola Asuh Penelantar
Pola asuh tipe ini pada umumnya memberikan waktu dan biaya yang sangat minim
pada anak-anaknya. Waktu mereka banyak dignakan untuk keperluan pribadi mereka seperti
bekerja. Dan kadangkala mereka terlalu menghemat biaya untuk anak-anak mereka. Seorang
ibu yang depresi adalah termasuk dalam kategori ini, mereka cenderung menelantarkan anakanak mereka secar fisik dan psikis. Ibu yang depresi pada umumnya tidak mau memberikan
perhatian fisik dan psikis pada anak-anaknya.

Pengaruh Pola Asuh Orang Tua Terhadap Anak
a. Pengaruh Pola Asuh Demokratis
Pola asuh demokratis akan menghasilkan karakteristik anak-anak yang mandiri, dapat
mengontrol diri, mempunyai hubungan baik dengan teman-temannya, mampu menghadapi
stress, mempunyai minat terhadap hal-hal yang baru. Dan kooperatif terhadap orang lain.
b. Pengaruh Pola Asuh Otoriter
Pola asuh otoriter akan menghasilkan karakteristik anak yang penakut, pendiam,
tertutup, tidak berinisiatif, gemar menentang, suka melanggar norma-norma, berkepribadian
lemah, cemas dan terkesan menarik diri.

c. Pengaruh Pola Asuh Permisif
Pola asuh permisif akan menghasilkan karakteristik anak-anak yang impulsive,
agresif, tidak patuh, manja, kurang mandiri, mau menang sendiri, kurang matang secara
sosisal dan kuranag percaya diri.
d. Pengaruh Pola Asuh Penelantar
Pola asuh penelantar akan menghasilkan karakteristik anak yang moody, impulsive,
agresif, kurang bertanggung jawab, tidak mau mengalah, self esteem (harga diri) yang
rendah, sering bermasalah dengan teman-temannya.

Faktor Utama yang Mempengaruhi Pola Asuh
a) Budaya
Orang tua mempertahankan konsep tradisional mengenai peran orang tua merasa
bahwa orang tua mereka berhasil mendidik mereka dengan baik, maka mereka menggunakan
teknik yang serupa dalam mendidik anak asuh mereka.
b) Pendidikan Orang Tua
Orang tua yang memiliki pengetahuan lebih banyak dalam mengasuh anak, maka
akan mengerti kebutuhan anak.
c) Status Sosial Ekonomi
Orang tua dari kelas menengah rendah cenderung lebih keras/lebih permisif dalam
mengasuh anak (Hurlock, E,B 2002).

Pendekatan Orang Tua yang Berpotensi Mengganggu Kepribadian Anak
Berikut adalah dua sisi pendekatan atau cara mengasuh orang tua yang mempunyai
potensi mengganggu kepribadian anak, yaitu :
a) Pendekatan orang tua yang negatif
Ada orang tua yang menyikapi anak-anaknya dengan cara yang negative, bahkan ada
yang sampai menjadikan anak-anak mereka objek kekerasan atau pelampiasan amarah. Ada
pula sebagian anak yang terus-menerus dipandang sebagai anak kecil, akibatnya anak
tersebut jadi merasa tak berarti dalam hidup, mereka merasa tak dihargai sebagai manusia,
padahal mungkin ia sudah bisa memberi pandangan-pandangan yang bermanfaat bagi
anggota keluarga yang lain.
Jika anak sudah memasuki usia remaja namun masih saja disikapi atau diperlakukan
seperti anak kecil maka akan muncul kekecewaan yang mendalam pada diri anak tersebut,
dan akan sulit bagi dirinya untuk cepat menjadi dewasa, karena perbuatan yang ia lakukan
selalu diremehkan oleh orang tuanya. Ada juga anak-anak yang disikapi secara tidak adil oleh
orang tuanya, semua anggota keluarganya mendapar perlakuan yang baik, sementara ia
sendiri diperlakukan secar berbeda, seolah ia bukan anak kandung dalam anggota keluarga
tersebut. Hal ini tentu sangat menyakitkan si anak dan dapat menjadi faktor pendorong untuk

melakukan hal-hal yang mnyimpang seperti mengkonsumsi narkoba, mendekati miras,
pergaulan bebas, tawuran, dan lain sebagainya.
b) Orang tua yang terlalu baik
Selain orang tua yang bersikap negatif pada anak-anaknya, ada juga yang justru
bersikap terlalu positif. Mereka sangat sayang terhadap anak-anaknya, tetapi mereka tidak
tahu cara mendidiknya, sehingga akhirnya sang anak jadi manja. Hal yang perlu dituturkan
disini karena pengalaman dilapangan menunjukkan betapa banyak anak-anak yang
dimanjakan dan memperoleh fasilitas yang lebih dari orang tua mereka, mereka ini cenderung
akan bersikap arogan, malas dan merasa tidak perlu bekerja keras dalam hidup serta kurang
memiliki tanggung jawab terhadap apa yang ia perbuat.
Jadi pendekatan orang tua yang negative akan membawa dampak buruk pada
perekembangan kepribadian anak-anaknya.

Syarat Pola Asuh Efektif
Pola asuh yang efektif itu bisa dilihat dari hasilnya anak jadi mampu memahami
aturan-aturan di masyarakat, syarat paling utama pola asuh yang efektif adalah landasan cinta
dan kasih sayang.
Berikut hal-hal yang dilakukan orang tua demi menuju pola asuh efektif :
a) Pola Asuh harus dinamis
Pola asuh harus sejalan dengan meningkatnya pertumbuhan dan perkembangan anak.
Sebagai contoh, penerapan pola asuh untuk anak balita tentu berbeda dari pola asuh untuk
anak usia sekolah. Pasalnya,kemampuan berfikir balita masih sederhana. Jadi pola asuh harus
disertai komunikasi yag tidak bertele-tele dan bahasa yang mudah dimengerti.
b) Pola asuh harus sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan anak
Ini perlu dilakukan karena kebutuhan dan kemampuan anak yang berbeda. Shanti
memperkirakan saat usia satu tahun, potensi anak sudah mulai dapat terlihat seumpama jika
mendengar alunan musik, dia lebih tertarik ketimbang anak seusianya, kalau orang tua sudah
memiliki gambaran potensi anak, maka ia perlu diarahkan dan difasilitasi.
c) Ayah ibu mesti kompak
Ayah dan ibu sebaiknya menerapkan pola asuh yang sama. Dalam hal ini, kedua orang
tua sebaiknya “berkompromi” dalam menetapkan nilai-nilai yang boleh dan tidak.

d) Pola asuh mesti disertai perilaku positif dari orang tua
Penerapan pola asuh juga membutuhkan sikap-sikap positif dari orang tua sehingga
bisa dijadikan contoh/panutan bagi anaknya. Tanamkan nilai-nilai kebaikan dengan disertai
penjelasan yang mudah dipahami.
e) Komunikasi efektif
Syarat untuk berk