Pendekatan Multi dimensional dalam Sejar

Pendekatan Multi-dimensional dalam Sejarah
Efrial Ruliandi Silalahi

Abstrak
Pendekatan dalam memahami suatu peristiwa sejarah dapat
dilakukan melalui berbagai jalur metodologis atau perspektif
teoritis dan yang terpenting adalah jalan atau perspektif ekonomis,
sosiologis, politikologis, dan kultural-antropologis. Untuk tujuantujuan analitis sejumlah aspek dari fenomena-fenomena yang
kompleks itu dapat diisolasikan, akan tetapi hal itu harus dilakukan
sedemikian rupa sehingga tidak menyebabkan distorsi pada
konteks yang bersangkutan. Kita dapat mengandaikan bahwa
pertemuan beberapa faktor telah menyebabkan terjadinya peristiwa
sejarah. Sebelum mencapai titik pertemuan itu, faktor-faktor itu
masing-masing mengalami perkembangannya sendiri. Berdasarkan
pertimbangan teoritis ini, kita bisa membahas secara terpisah
aspek-aspek itu sebagai faktor-faktor kondisional dari peristiwa
sejarah.
Kata Kunci : Metodologis, Sejarah
Pendahuluan
Sejarah merupakan salah satu disiplin ilmu tertua, dan secara
formal sudah mulai diajarkan di universitas-universitas Eropa,

mulai dari Oxford hingga Gottingen pada abad ke-17 dan ke-18.
Namun kemunculan ilmu sejarah baru terasa abad ke-19

bersamaan dengan ilmu-ilmu sosial lainnya.1 Sejarah merupakan
ilmu empiris yang bertolak memulai kajiannya sebagai objeknya
adalah masyarakat. Demikian juga ilmu-ilmu sosial lainnya seperti
sosiologi, ilmu politik, antropologi, ekonomi, demografi dan
sebagainya.
Ilmu sejarah bersifat empiris, oleh karena itu sangat penting untuk
berpangkal pada fakta-fakta yang tersaring dari sumber sejarah,
sedangkan teori dan konsep hanya merupakan alat-alat untuk
mempermudah analisis dan sintesis sejarah. Sejarah dalam arti
subjektif merupakan rekonstruksi peristiwa sejarah yakni hasil dari
penelitian yang kemudian dituliskan. Sedangkan, sejarah dalam
arti objektif menunjuk kepada kejadian atau peristiwa itu sendiri
yakni proses sejarah dalam aktualitasnya.
Perbedaan pokok dari ilmu sejarah dengan ilmu-ilmu sosial lainnya
adalah bahwa sejarah itu memanjang dalam waktu, sedangkan
ilmu-ilmu sosial meluas dalam ruang. Sesuai makna semula
sejarah (syajarah) bermakna pohon. Sejarah meneliti pertumbuhan

dan

perkembangannya,

sedangkan

ilmu

sosial

menggarap

penampangnya, pohon yang air dan sinar matahari cukup, maka
pohon akan tumbuh subur. Sejarah menekankan proses, sedangkan
ilmu-ilmu sosial menekankan struktur. Maka dalam perkembangan
1

Kuper, Adam & Kuper, Jessica, The Social Sciences Encyclopedia ,
diterjemahkan oleh Haris Munandar (et al) dengan judul Ensiklopedia Ilmu-Ilmu
Sosial, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000), hal. 440.


selanjutnya

ada

istilah

pendekatan

multidisipliner

dan

interdisipliner.2 Kenyataannya kemajuan yang dicapai oleh ilmu
sosial sangat dipengaruhi ilmu sejarah, ada pendekatan masingmasingnya. Penggunaan ilmu-ilmu sosial dalam penelitian sejarah,
sebaliknya ilmu-ilmu sosial dengan pendekatan sejarah.
Perdebatan apakah sejarah termasuk humaniora atau ilmu-ilmu
sosial atau sejarah berdiri sendiri sebenarnya sudah lama
berlangsung. Salah satu mungkin benar atau keduanya benar,
dengan alasan bahwa sejarah dapat memiliki sifat ilmu-ilmu sosial

dan mendapat kemajuan, akan tetapi sejarah tetap memperhatikan
pada masa lampau, baik tindakan individu atau masyarakat secara
khusus atau unik menurut garis perkembangan.3
Sejarah dan ilmu-ilmu sosial mempunyai hubungan timbal balik,
sejarah diuntungkan oleh ilmu-ilmu sosial dan juga sebaliknya.
Sejarah lahir karena ilmu sosial, meskipun sejarah punya cara
sendiri menghadapi objeknya. Topik-topik baru ilmu sejarah
muncul karena ilmu sosial, akan tetapi yang perlu diperhatikan
adalah
2

tujuan

masing-masingnya.

Tujuan

sejarah

adalah


Multidisipliner adalah bila peneliti menggunakan banyak ilmu untuk
menganalisis suatu masalah, sedangkan interdisipliner, bila peneliti
menggunakan ilmunya sendiri-sendiri untuk meneliti masalah yang sama, akan
tetapi pada umumnya mereka menggunakan interdisipliner, apalagi berkenan
dengan sejarah.
3
Gottschalk, Louis, Understanding History, A Primer of Historical Method ,
diterjemahkan oleh Nugroho Notosusanto dengan judul Mengerti Sejarah:
Pengantar Metode Sejarah, (Jakarta: Yayasan Penerbit U.I, 1975), hal.20.

mempelajari hal-hal yang unik, tunggal, ideografis, telah terjadi.
Sedangkan ilmu sosial tertuju kepada yang bersifat umum.
Pendekatannya, sejarah memanjang dalam waktu, sedangkan ilmu
sosial melebar dalam waktu. Sejarah mementingkan proses,
sedangkan ilmu sosial menekankan struktur.4
Sejarah memiliki keterkaitan yang erat dengan ilmu-ilmu sosial
lainnya,

terutama


terwujud

pada

perubahan

metodologi.

Pembaharuan metodologi tahap pertama akan terjadi karena
pengaruh ilmu diplomatik sejak Mabillon (1632-1707) pemakaian
dokumen sebagai sumber sejarah memerlukan kritik intern dan
kritik ekstern. Kritik ekstern ialah dengan meneliti apakah
dokumen itu autentik, yaitu kenyataan identitasnya artinya bukan
tiruan, turunan atau palsu. Hal ini dilakukan dengan meneliti bahan
yang dipakai, jenis tulisan, gaya bahasa, dan sebagainya. Kritik
intern ialah dengan meneliti isinya, apakah isi pernyataan faktafakta dan ceritanya dapat dipercaya. Untuk itu perlu diidentifikasi
penulisnya, beserta sifat dan wataknya, daya ingatannya, jauh
dekatnya dengan peristiwa dalam waktu, dan sebagainya,
sedangkan yang dibahas dalam paper ini merupakan tahap kedua,

yang terjadi karena pengaruh ilmu sosial. Perubahan metodologi
itu menyangkut rapproachment. Implikasinya adalah bahwa setiap
riset design memerlukan kerangka referensi yang bulat, yaitu
4

Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah (Yogyakarta: PT. Bintang Pustaka,
2005), hal.108.

memuat alat-alat analitis yang akan meningkatkan kemampuan
untuk menggarap data.
Rapproachment antara sejarah dengan ilmu-ilmu sosial terutama

menyangkut

penggunaan

konsep-konsep

dan


teori-teorinya.

Mengapa demikian? Oleh karena sejarah bersifat empiris, maka
sangat penting untuk berpangkal pada fakta-fakta tersaring dari
sumber sejarah, sedangkan teori dan konsep hanya merupakan alat
untuk mempermudah analitis dan sintesis. Di samping itu dalam
menggarap analisis sejarah, hipotesis dan teori sangat membantu
cara kerja supaya tidak acak-acakan. Dengan demikian jelas bahwa
fakta-fakta sejarah tidak boleh untuk mendukung suatu teori tetapi
sebaliknya, teori yang tidak dapat menerangkan fakta-fakta perlu
ditinggalkan. Dengan demikian, seperti apa yang dikatakan oleh
Crane Brinton sangat mendukung gagasan ini “the conviction that
historians should try to interpret or understand history so as to

make written history ‘at least a commulative body of knowledge
useful as a guide in solving our present problems of human
relations.”

Harus diakui bahwa pertumbuhan ilmu-ilmu sosial pada abad ke19 dan awal abad ke-20 sungguh luar biasa dan telah memberikan
horison-horison baru, sehingga bagi ilmu sejarah terbuka

kemungkinan-kemungkinan untuk mengadakan adaptasi terhadap
kedudukannya, khususnya pada posisi metodologisnya dengan

mengarahkan diri terhadap terhadap ilmu-ilmu sosial. Kemudian,
apa yang melatarbelakangi penyesuaian ilmu sejarah terhadap
ilmu-ilmu sosial itu? Paling tidak ada tiga alasan yang mendasari,
yaitu pertama , perluasan problem areas serta tema-tema baru
menuntut agar sejarah lebih bersifat analitis dan tidak naratif
semata-mata, kedua , dengan adanya kemungkinan meminjam alatalat analitis atau kerangka konseptual dari ilmu-ilmu sosial ada
potensi lebih besar bagi sejarah untuk mengungkapkan pelbagai
dimensi gejala-gejala sejarah, ketiga , sebagai umpan balik dari
perkembangan itu terciptalah jenis-jenis sejarah baru yang lebih
banyak memakai pendekatan social-scientific yaitu suatu jenis
sejarah yang berbeda secara mendasar dari sejarah naratif.5 Di
sinilah ilmu sejarah telah mengalami revolusi kedua untuk
meningkatkan relevansinya dalam menggarap objek penelitian.
Hubungan Antara Sejarah dengan Ilmu-Ilmu Sosial
Bahwasanya ilmu sejarah termasuk dalam lingkungan ilmu sosial
memerlukan sedikit penjelasan. Pertama perlu diketahui bahwa
sejarah dikualifikasikan sebagai ilmu baru pada abad ke-19. Bila

pada abad ke-18 sejarah dianggap arts, maka pada abad ke-19
sejarah dianggap lebih bersifat sebagai suatu sistem. Dalam
bentuknya sebagai arts, sejarah hanyalah merupakan bentuk
5

Kartodirdjo, Sartono, Kebudayaan Pembangunan dalam Perspektif Sejarah .
(Yogyakarta: Universitas Gadjahmada Press, 1990), hal. 255.

pemikiran manusia yang disampaikan dalam bentuk narasi yang
secara literer melukiskan peristiwa masa lampau, dan bersifat
mempersoalkan masalah, apa, kapan, di mana dan bagaimana suatu
peristiwa itu terjadi. Tekanan lebih banyak diarahkan pada segisegi literernya, hal-hal yang unik, dan tidak menggunakan analitis.
Maka dari itu dalam studi sejarah yang konvensional ini tidak
dapat mempersoalkan kausalitas sebagai pusat penggarapannya,
oleh karena itu tidak terdapat pertanyaan mengapa. Selain itu
sejarah konvensional tidak memiliki kerangka konseptual dalam
menggarap

sasarannya.


Dengan

demikian,

sejarah

kurang

mempunyai arti karena tidak dapat memberikan penjelasan
mengenai masalah yang terjadi dalam kehidupan manusia.
Berbeda

dengan

sejarah

literer,

sejarah

sebagai

sistem

menghendaki adanya sistematisasi dalam penggarapan sasaran
studinya. Dalam hal ini sejarah memiliki kerangka kerja
konseptual yang jelas dan memiliki peralatan metodologis dalam
menganalisis sasaran yang dipelajarinya. Dengan menggunakan
prosedur kerja metodologis seperti ini maka sejarah mampu
mengungkapkan

kausalitas

secara

tajam

sehingga

dapat

memperoleh gambaran yang jelas dari suatu peristiwa.
Dilihat dari sasaran objeknya, maka studi sejarah dengan studi
ilmu sosial lainnya tidaklah banyak berbeda. Mengenai masalah
deskripsi dan analisis, bagi sejarah ataupun sosiologi dan juga

ilmu-ilmu lainnya, dikotomi itu adalah membantu. Analisis
menghendaki suatu deskripsi, demikian pula deskripsi yang
memadai adalah deskripsi yang rumit yang tergantung pada
cukupnya

sebab-sebab

yang

ada

di

dalamnya.6

Dalam

kecenderungannya sekarang antara keduanya dalam mencari
sebab-sebab sama-sama punya arti. Sejarah mempelajari yang
unik, sedangkan sosiologi mempelajari yang umum. Tanpa
perhubungan antara keduanya, maka tidak akan diperoleh
eksplanasi. Perlu dicatat, bahwa sekalipun sosiologi lebih
mementingkan

generalisasi,

tetapi

dalam

penggarapannya

memerlukan pula segi-segi keunikan secara historis. Sebaliknya
dalam sejarah, sekalipun sasarannya lebih diarahkan pada keunikan
tetapi juga tidak berarti mengabaikan sifat-sifat yang umum.
Sebagai contoh dalam sejarah diperlukan juga konsep-konsep
umum untuk mengkonseptualisasikan gejala sejarah, seperti
tercermin dalam penggunaan konsep feodalisme, borjuasi,
kapitalisme, dan lain-lain.7

Kartodirdjo, Sartono, “Metodologi Max Weber dan Wilhelm Dilthey”, dalam
Lembaran Sejarah No. 6 Tahun 1970. (Yogyakarta: Jurusan Sejarah Fakultas
Sastra Budaya UGM, 1970), hal.61-68.
7
Suryo, Djoko, “Sekitar Masalah Sejarah dengan Ilmu-ilmu Sosial: Sebuah
Catatan”, dalam Bacaan Sejarah No. 4 Tahun 1980. (Yogyakarta: Jurusan
Sejarah Fakultas Sastra Budaya Universitas Gadjahmada, 1980). hal.5
6

Pandangan dan Tanggapan Terhadap Multi-dimensional
Approach

Perkembangan

dari

gagasan

metodologi

multi-dimensional

khususnya di Indonesia, Taufik Abdullah mengemukakan bahwa
pertama,

multidimensional-approach

dikatakannya

masih

merupakan suatu harapan, karena dari sudut metodologis tidak
banyak terjadi perubahan yang berarti. Kedua, ada dimensi
(makna) yang dilupakan/terlewatkan.
Pembahasan terhadap masalah ini haruslah bertolak dari ciri ilmu
sejarah itu sendiri, yaitu bahwa berbicara tentang sejarah adalah
berbicara tentang sesuatu yang tidak pernah tuntas. Mengapa
demikian? Karena setiap hasil penulisan sejarah adalah rethinking
kembali terhadap kajian masa lampau yang pernah ditulis oleh
penulis masa lalu, hal ini sangatlah wajar. Cicero mengungkapkan
bahwa sejarah adalah anak jaman. Setiap generasi akan menuliskan
sejarahnya. Sudah barang tentu setiap ditemukannya bukti-bukti
yang

baru

dan

interpretasi

ataupun

penggarapan

dengan

metodologi yang lebih canggih akan muncul suatu hasil yang baru,
yang sebenarnya justru akan melengkapi kajian yang pernah atau
telah dilakukan sebelumnya.
Bila kita lihat perkembangan penulisan sejarah di Indonesia sejak
diadakannya Seminar Sejarah I di Yogyakarta, maka keinginan
untuk mengungkapkan sejarah dari dalam dan bersifat nasionalistis

dengan mengadakan suatu sintesis ke arah kesatuan geo-politik
(integrasi) dengan menggunakan pendekatan multi-dimensional.
Menurut Kuntowijoyo perkembangan historiografi Indonesia
bergerak dalam tiga gelombang.8 Gelombang pertama terjadi
ketika dilakukan dekolonisasi pengetahuan sejarah dari Neerlandosentris menuju Indonesia-sentris yang aspirasinya bertapak pada

Seminar Sejarah Nasional I, Yogyakarta, 1979, meski aspirasi itu
telah dirintis oleh segelintir kajian-kajian sebelumnya. Gelombang
kedua adalah ketika digunakan social scientific approach dalam
penulisan sejarah, hasil dari pertemuan Seminar Sejarah Nasional
II, Yogyakarta, 1970. Pendekatan ini menekankan pada problem
oriented. Gelombang ketiga menempatkan sejarah sebagai kritik

sosial. Dalam skema lain, perkembangan wacana sejarah setelah
dikenal “The New History” dan “Deconstructive History”.
Produksi sejarah seharusya tidak lagi dimonopoli oleh sejarawan
akademis dan anggapan mereka akan bahan sejarah apa yang
relevan dan pantas, tetapi dimiliki oleh siapapun dan sejarah
apapun mereka anggap sebagai hal yang berharga. Sejarah dengan
demikian kembali menjadi milik publik (public domain), setelah
sebelumnya dilakukan sebagai privilege kaum akademisi melalui
penguasaannya atas sumber tertulis.

8

Kuntowijoyo, Indonesian Historiography in Search of Identity, Humaniora.
No.I, 2000.

Masyarakat dapat berpartisipasi dalam memproduksi sejarahnya
sendiri,

tanpa

meminjam

otoritas

akademis

dan

hanya

menempatkan mereka sebagai fasilitator. Dengan demikian metode
ini mampu menempatkan masyarakat pada posisi partisipan/pelaku
aktif. Bagaimana misalnya masyarakat berkisah tentang dirinya
sendiri, memberi makna pada peta sosialnya berdasarkan bendabenda yang ada dan hadir dalam memori kolektif mereka semisal
pada pohon-pohon besar, rumah tua, sungai jembatan, deretan
warung, tempat berkumpul yang merekam realitas (masa lalu dan
kini) akan jalinan sosial, ekonomi, perebutan kekuasaan antar
penghuni dalam masyarakat yang didiaminya.
Jika kedua belah pihak berangkat dari motif yang sama, yakni
dalam rangka pendemokratisan sejarah, sejarah sebagai kritik
sosial, dan setiap orang berhak mengartikulasikan ingatannya maka
upaya kerjasama keduanya tidak sulit dilakukan.
Dari paparan diatas, The New History dan Deconstructive History
bukanlah ancaman yang perlu ditakuti. Beberapa hal sebenarnya
telah dilakukan oleh Sejarawan Indonesia (Indonesianis). Hanya
bagaimana kemudian melanjutkan penulisan-penulisan sejarah
secara lebih beragam baik dari tema, sudut pandang atau
perspektif, pengkayaan terhadap metodologinya. Hal demikian
akan membawa studi sejarah dalam dinamikanya yang bersumber
pada gagasan-gagasan dan bukan perebutan sumber daya belaka.

Maka dapat dipahami bahwa sejak semula multi-dimensional
dimaksudkan

approach

untuk

memberikan

bobot

ilmiah,

kekritisan, dan Indonesia View dari satu rekonstruksi sejarah
Indonesia. Oleh karena itu, perlu disadari bahwa kekritisan yang
diharapkan dengan penggunaan konsep-konsep dan teori-teori dari
berbagai ilmu sosial bersifat problem oriented, sehingga sangat
berkonsekuensi terhadap sikap academical actions. Dengan
demikian, sudah barang tentu, multi-dimensional approach
merupakan salah satu upaya pengilmiahan dengan ciri kegelisahan
mencari

dan

kesediaan

untuk

menguji

asumsi

yang

dipaparkannya.9
Multi-dimensional approach secara metodologi tidak banyak

menghasilkan perubahan dalam penulisan sejarah di Indonesia.
Beberapa

implikasi

baik

secara

teoritis

maupun

praktis

dikemukakan oleh Taufik Abdullah antara lain, pertama, secara
implisit

menolak

objektivitas

dari

determinisme
lapangan

sejarah,

filsafat

ke

kedua,

masalah

problem-problem

metodologis, ketiga, makin intimnya sejarawan dengan konsepkonsep

ilmu-ilmu

sosial

sehingga

berakibat

pada

usaha

pemberitaan historis, keempat, sejarah lokal dan agrarian semakin
menjadi primadona dalam historiografi Indonesia, kelima, lebih

Lihat: Makalah Indriyanto, “Gagasan Teori dan Metodologi Sejarah Masih
Mencari Sosoknya ” Mata Kuliah Kapita Selekta, 1992/1993. hal.3

9

menekankan pada peristiwa struktural daripada event, made of
explanation

yang

bercorak

argumentatif

teoritis,

sehingga

menyebabkan rekonstruksi harus selalu diuji dan diperdebatkan.
Ditambah lagi dengan kenyataan bahwa dalam peredaran karya
sejarah dalam masyarakat luas terkesan masih didominasi oleh
sejarawan konvensional. Para ahli sejarah dalam karya-karyanya
masih menunjukkan pada kemajemukan konsep dan trends yang
sedang “in ”. namun, semuanya menunjukkan pada suatu
kecenderungan ilmiah lain dari multidimensional approach.
Fenomena seperti ini sebenarnya bukanlah merupakan sesuatu
yang merisaukan bahka justru menggembirakan. Karena sesuai
dengan perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan itu snediri,
maka metodologi merupakan sesuatu yang berdinamika dan terus
berkembang. Bukankah salah satu kebutuhan yang urgent saat ini
adalah visi baru pada sejarah modern, seperti yang dikatakan oleh
Alfred Weber .10 Para ahli sejarah telah berjasa dengan berbagai

konsep metodologinya sendiri-sendiri. Adalah sesuatu yang nonsense bila kemajuan penulisan sejarah hanya didasarkan pada satu
view of approach saja.

10

Mayerhoff, Hans (ed.), The Philosophy of History in Our Time an Anthology.
(New York: Anchor Books, 1959), hal.29.

Penutup : Sejarah Harus Objektif
Menurut pandangan klasik, history is objective and must be
objective. The fact dalam sejarah menurut Leopold von Ranke

adalah wie est eigentlich geweswn. Padahal apa yang benar-benar
terjadi menurut pandangan non-posivistik tidaklah mungkin. Bisa
akan selalu ada, baik diasosiasikan dengan warna kulit, keyakinan,
kelas, gender, ideologi dan sebagainya. Suara-suara sejarah adalah
frase yang digunakan dalam sejarah baru. Sejarah harus
heteroglossia yang artinya suara-suara yang beragam dan berbedabeda.
Pandangan masa kini, sejarah dekonstruktif melihat bahwa
sejarawan tidak dapat merepresentasikan masa lalu sebagai sebuah
kebenaran adanya. Mereka hanya berperan melakukan kontrol atas
masa lalu itu melalui teori pengetahuan atau perspektif yang
dipilihnya dan dipahaminya dalam pengalaman masa kini.
Dekonstruksi ditandai dengan hancurnya pembedaan antara objek
kajian, yakni sejarah dan subjeknya yakni sejarawan dengan
segenap kediriannya, sekaligus leburnya batas antara content (the
past), theory dengan form (literary form). Ketika kita menulis

sejarah kita akan men-transcended dualitas subject-object secara
bersamaan.11

11

Alun Munslow, The New History, (British: Pearson-Longman, 2003); lihat
juga Alun Munslow, Deconstructing History. (New York: Routledge, 1997).

Di Indonesia sejarah dekonstruktif secara ketat sebagaimana
diilhami oleh Jacques Derrida dalam Of Grammatology yang
membawa implikasi bahwa persoalan sejarah adalah persoalan
kebahasaan, bahasalah yang merupakan isi sejarah sebagai
cerminan dari perspektif kekinian, dan tidak ada sesuatu di luar
teks belumlah dilakukan. Alih-alih seorang sejarawan justru
mengatakan bahwa sejarah dekonstruktif/post-modernis akan
berakibat sejarawan tutup buku, di-PHK dan jurusan sejarah
dibubarkan. Bahkan secara lebih jauh mengatakan “bagi pemeluk
agama meyakini post-modernisme berarti telah menyimpang dari
ajaran nabinya.12
Pendapat paling lunak menempatkan dekonstruksi sebagai
semangat menuliskan ulang sejarah (dari konstruksi yang telah
ada). Pengertian yang demikian itu sebenarnya telah terintegrasi
dalam semangat alamiah ilmu pengetahuan (sejarah), sehingga
tidak perlu menyebutkannya sebagai dekonstruksi. Sejarah dapat
ditulis kembali ketika ditemukan bukti-bukti baru, perspektif dan
paradigm baru sesuai Zeitgeist dan Kultuurgebundenheid-nya
(sebagaimana Samuel Kuhn tentang Paradigma Shift). Sedangkan
Difference-nya Derrida melihat bahwa kata (sebagai ikonoklasi
Ibrahim Alfian, Teuku, “Profesor Sartono Kartodihardjo dan
Konstruksionisme, serta Mengapa Kita Menolak Post-Modernisme dalam
Historiografi”, dalam Ninan Herlina Lubis, 80 tahun Prof. Dr. Sartono
Kartodihardjo: Pelopor Sejarah Indonesia . (Bandung: Satya Historika, 2001),
hal.1-6

12

dari narasi realitas historis) ditandai oleh ketidakstabilan makna
dan interpretasi lain. Makna itu selalu dalam proses yang tidak
baku dan permanen, demikian tafsir adalah kegiatan tanpa batas
yang lebih menyerupai permainan ketimbang analisis seperti
lazimnya dipahami.13 Tafsir ini memiliki dimensi urgensitas dan
tantangan kekiniannya. Pemahaman semacam ini tentu saja
menggoyahkan prinsp-prinsip dasar sejarah empiristik dan
posivistik.

13

Sim, Stuart, Derrida dan Akhir Sejarah . (Yogyakarta: Jendela, 2002), hal.2627.