1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Analisis Dampak Bantuan Program Penanggulangan Kemiskinan Terhadap Kehidupan Masyarakat Miskin Di Kota Medan (Studi Implementasi Program Bantuan Langsung Tunai/BLT Kecamatan Medan Belawan)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

  Kemiskinan bukanlah sesuatu yang baru di Indonesia. Sejarah memberikan informasi bahwa kemiskinan di Indonesia sudah eksis ada jauh – jauh sebelum kemerdekaan. Penjajahan Bangsa Indonesia oleh bangsa – bangsa Eropa, khususnya Belanda sesungguhnya lebih banyak dilatarbelakangi kepentingan ekonomi dibandingkan dengan kepentingan politik, pertahanan dan keamanan. Keunggulan sumber daya alam yang dimiliki wilayah Nusantara menjadi sangat menarik minat bangsa – bangsa Eropa dan memang memiliki arti yang sangat besar dalam upaya pembangunan negara penjajah. Sedangkan kehadiran kekuatan politik dan pertahanan hanya sekedar alat untuk mengamankan kepentingan ekonomi. (Matias Siagian, 2012:161)

  Semangat membangun negara penjajah dengan menghalalkan segala cara merupakan awal malapetaka bagi Bangsa Indonesia, yang juga dialami oleh bangsa – bangsa lainnya pada masa jajahan Bangsa Eropa. Secara politik dan hukum, Nusantara pun dijadikan sebagai bagian dari wilayah negara jajahan sehingga disebut Hindia Belanda. Hukum yang berlaku di Belanda pun diberlakukan didaerah jajahannya, terutama Nusantara. Hal tersebut dilakukan negara penjajah untuk mempermudah penguasaan sumber daya alam yang ada diwilayah jajahan untuk dapat dipergunakan dalam membangun negara – negara

  Sistem tanam paksa merupakan kebijakan ekonomi penjajah yang sangat menyengsarakan. Pola perekonomian subsisten yang berarti bahwa aktivitas ekonomi, khususnya disaat itu pertanian hanya sekedar memenuhi kebutuhan dasar yang diterapkan secara turun – temurun, yang pada umumnya rakyat Indonesia pun terusik secara mendasar. Hal ini disebabkan, rakyat Indonesia dipaksa mengembangkan komoditi yang amat dibutuhkan dan sangat mahal harganya di Eropa. Kebijakan ekonomi tersebut tentu menyengsarakan rakyat Indonesia, kemiskinan mewabah, bahkan rakyat juga mengalami kelaparan dan kematian.

  Upaya mempermudah penguasaan wilayah Indonesia yang demikian luas yang ditempuh melalui pembangunan jalan juga menjadi malapetaka bagi rakyat Indonesia. Pembangunan jalan yang dilakukan melalui sistem Rodi juga sangat menyengsarakan setiap rakyat. Dengan hanya mengkonsumsi makanan yang minim, rakyat dipaksa bekerja ekstra keras, mulai pagi hingga malam hari hingga mengakibatkan banyak rakyat yang lagi – lagi sengsara dan mengalami kematian.

  (Matias Siagian, 2012:162) Ketidakseimbangan jumlah penduduk Indonesia dengan jumlah aparatur penjajah dijadikan dasar untuk melakukan pembeda – pembeda rakyat secara hukum. Penguasa – penguasa tradisional yang bertebaran di Indonesia pun dirangkul dan diberi kedudukan istimewa. Kebijakan penjajah ini mengakibatkan dualisme pada setiap masyarakat Indonesia, yang ditandai dengan perbedaan akses sehingga segelintir dari rakyat Indonesia berperilaku sebagai penjajah.

  Kondisi dualisme yang diciptakan penjajah pun cenderung diwarisi hingga kemajuan yang signifikan, sedangkan mayoritas masyarakat Indonesia terbelenggu dalam ke – tradisionalannya. Demikianlah masyarakat Indonesia terbelah secara sosial, dengan jarak bagaikan langit dan bumi. Keadaan seperti ini mengakibatkan kemiskinan yang cenderung berupa kemiskinan massa yang tetap eksis hingga saat ini. (Matias Siagian, 2012:163)

  Kemiskinan terutama sebagai akibat ketimpangan ekonomi yang terjadi diantara masyarakat Indonesia merupakan fakta yang sudah sangat tua. Disebut ketimpangan, karena Indonesia dengan sumber daya alam yang cukup kaya dari zaman ke zaman senantiasa dihiasi oleh dualisme ekonomi. Sangat mudah bagi kita untuk menemukan keadaan kehidupan yang demikian mewah di Indonesia, seperti perumahan yang super mewah, kendaraan yang super mewah maupun pusat perbelanjaan yang juga tergolong mewah. Sebaliknya, sangat mudah pula bagi kita untuk menemukan kondisi hidup yang sangat miskin, seperti pemukiman kumuh di perkotaan, pemukiman liar di perkotaan, rumah – rumah tidak layak huni di kota – kota maupun di desa – desa, pengemis dan gelandangan yang senantiasa menghiasi seluruh kota – kota maupun di setiap daerah Indonesia. Bahkan akhir – akhir ini, istilah bunuh diri akibat tidak memiliki daya tahan atas himpitan ekonomi sudah mulai menggejala yang patut diwaspadai.

  Sejak awal pembangunan, pemerintah Indonesia tentu sudah mengetahui fakta kemiskinan yang senantiasa eksis sejak dari zaman penjajahan. Berbagai kebijakan telah ditetapkan dan ditempuh, berbagai program pun telah pula ditetapkan dan dilaksanakan dalam rangka mengatasi masalah kemiskinan itu. Kemiskinan, namun masalah kemiskinan masih tetap saja eksis dan belum menunjukkan perbaikan total terhadap tingkat kemiskinan. (Matias Siagian, 2012:164)

  Kemiskinan merupakan masalah kompleks tentang kesejahteraan yang dipengaruhi oleh berbagai faktor yang saling berkaitan, antara lain tingkat pendapatan masyarakat, pengangguran, kesehatan, pendidikan, akses terhadap barang dan jasa, lokasi, geografis, gender dan lokasi lingkungan. Kemiskinan tidak lagi dipahami hanya sebatas ketidakmampuan ekonomi, tetapi juga kegagalan memenuhi hak – hak dasar dan perbedaan perlakuan bagi seseorang atau sekelompok orang dalam menjalani kehidupan secara bermartabat. Hak – hak dasar yang diakui secara umum meliputi terpenuhinya kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumber daya alam, lingkungan hidup, rasa aman dari perlakuan atau ancaman tindak kekerasan dan hak berpartisipasi dalam kehidupan sosial politik. Esensi kemiskinan adalah menyangkut kondisi kekurangan dari sebuah tuntutan kehidupan yang paling minimum, khususnya dari aspek konsumsi dan pendapatan. (Andika dan Hastarini, 2011:2)

  Seperti halnya krisis ekonomi pada tahun 1997/1998 juga telah memberikan pelajaran yang pahit bagi Bangsa Indonesia. Pada periode Tahun 1996 – 1999 Badan Pusat Statistik merilis jumlah penduduk miskin yang meningkat sebesar 13,96 juta jiwa akibat krisis ekonomi, yaitu dari 34,01 juta jiwa pada tahun 1996 bertambah menjadi 47,97 juta pada tahun 1999. Sementara itu, pada periode tahun yang sama. Dan walaupun saat ini jumlah dan persentase penduduk miskin di Indonesia sedang mengalami penurunan secara perlahan, namun jumlah penduduk miskin di Indonesia masih tetap tinggi yaitu masih terdapat 28,07 juta jiwa ataupun masih terdapat 11,37 persen yang diantaranya jumlah penduduk miskin di perkotaan yaitu terdapat 10,33 juta jiwa dan di desa sebesar 17,74 juta jiwa pada tahun 2013. (BPS 2008:41)

  Sedangkan kondisi tingkat kemiskinan di Provinsi Sumatera Utara menurut data http.simreg.bappenas.go.id dalam kurun waktu 2008 – 2013, secara absolut telah terjadi penurunan sebanyak 274.064 jiwa. Namun jumlah penduduk miskin tahun 2013 (maret) tercatat masih ada sekitar 1.339.000 jiwa ataupun secara persentase masih terdapat 10,06 persen, dan berkurang sebesar 2,49 persen dari 12,55 persen pada tahun 2008.

  Masalah kemiskinan merupakan persoalan mendasar yang terus menjadi pusat perhatian pemerintah di seluruh negara. Seperti halnya kemiskinan dan keterbelakangan yang dialami oleh masyarakat di Kecamatan Medan Belawan yang sudah tidak asing lagi untuk dibahas, yang dimana hingga sampai saat ini kecamatan Medan Belawan masih memiliki 11.028 KK miskin yang diantaranya terdapat 8.222 KK Rumah Tangga Sasaran yang menerima salah satu program bantuan penanggulangan kemiskinan yaitu program Bantuan Langsung Tunai/BLSM.

  Kemiskinan yang mereka alami seakan terus menjadi kemiskinan yang bersifat dari masa ke masa. Sebagian besar masyarakat di Kecamatan Medan kurang terpenuhinya hak – hak dasar mereka seperti kebutuhan akan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, kondisi tempat tinggal, juga tidak tertinggal dampak yang mereka hadapi akibat dari kenaikan BBM yang bermula pada tahun 2008 hingga pada November 2014. Akibatnya tidak jarang anak – anak beserta keluarga mereka harus ikut terjebak untuk ikut memikul beban bekerja sebagaimana yang dialami oleh orang tua mereka masing – masing.

  Kebijakan pemerintah menaikkan harga dasar BBM tersebut mengakibatkan harga kebutuhan pokok terus meningkat dan bagi masyarakat kategori miskin tentu mengakibatkan daya beli mereka juga akan semakin menurun, karena mengalami kesulitan untuk beradaptasi dengan perkembangan harga dipasar. Masyarakat tersebut tentu akan terkena dampak sosial yaitu semakin menurunnya taraf kesejahteraan kehidupannya dan menjadi semakin sulit dan miskin. (Petunjuk Teknis Penyaluran BLT, 2008:1)

  Untuk menyikapi hal tersebut, pemerintah dengan kebijakannya membentuk suatu program pengentasan kemiskinan seperti Program Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang termasuk dalam klaster – 1 bersama program bantuan beras untuk orang miskin (Raskin), program keluarga harapan (PKH), program jaminan kesehatan masyarakat (Jamkesmas) atau yang sebelumnya dikenal dengan Askeskin untuk perawatan kesehatan gratis, program beasiswa untuk siswa miskin, serta program untuk kelompok rentan sosial lainnya. Dan program bantuan dan perlindungan sosial dengan sasaran rumah tangga miskin (program nasional pemberdayaan masyarakat PNPM) dengan sasaran dan kecil berupa bantuan permodalan dan bentuk kredit usaha rakyat. (Bimby Hidayat, 2008:7)

  Dana tunai atau bantuan langsung tunai tak bersyarat yang dilakukan pemerintah pada tahun 2008 diperuntukkan bagi masyarakat miskin agar tidak terlalu merasakan dampak dari kenaikan harga BBM. Dasar pemerintah dalam membuat kebijakan program BLT ini adalah untuk membantu masyarakat miskin yang akan merasakan dampak dari kenaikan harga BBM. Selain itu BLT diberlakukan sebagai kompensasi dari pemotongan subsidi bahan bakar minyak kepada penduduk miskin. Tidak adanya lagi subsidi untuk BBM pada tahun 2008 dinilai pemerintah akan menambah jumlah APBN dan tidak akan terjadi defisit kas Negara. Maka dari itu BLT ini dicanangkan sebagai kompensasi bagi penduduk miskin.

  Pada Oktober tahun 2005 hingga Desember 2006 Pemerintah menggalakkan pelaksanaan Bantuan Langsung Tunai kepada Rumah Tangga Sasaran dengan mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) No. 12 Tahun 2005 tentang pelaksanaan BLT. Melalui program yang kemudian dikenal sebagai “Bantuan Langsung Tunai” (BLT) ini pemerintah menyediakan dana bantuan bagi sekitar 19,1 juta rumah tangga sasaran. Besarnya dana adalah Rp100.000 perkeluarga/bulan dan diberikan setiap tiga bulan. (http://id.wikipedia.org/blt)

  Program ini terus berjalan hingga tahun 2008 yang ditandai dengan keluarnya Instruksi Presiden (Inpres) No.3 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan Program Bantuan Langsung Tunai (BLT) untuk Rumah Tangga Sasaran (RTS) daerah yang menjalankan program ini adalah Kota Medan atau yang lebih tepatnya di Kecamatan Medan Belawan. (Petunjuk Teknis Penyaluran BLT, 2008:3 – 4)

  Adapun pada Tahun 2008 karena Pemerintah melanjutkan kembali skema program PKPS BBM dari bulan Juni s.d Desember 2008 dalam bentuk Bantuan Langsung Tunai tanpa syarat kepada Rumah Tangga Sasaran (unconditional cash

  

transfer) sebesar Rp100.000,- perbulan selama 7 bulan, dengan rincian diberikan

  Rp300.000,-/3 bulan (Juni – Agustus) dan Rp400.000,-/4 Bulan (September- Desember). Sasarannya tetap kepada Rumah Tangga Sasaran (RTS) berjumlah 19,1 juta sesuai hasil pendataan yang dilaksanakan oleh Badan Pusat Statistik dan DIPA Departemen Sosial yang diterbitkan oleh Departemen Keuangan.

  Dalam pelaksanaannya cukup banyak kalangan masyarakat yang kurang setuju dengan program BLT/BLSM ini. Ada yang berpendapat bahwa Bantuan Langsung Tunai kepada Rumah Tangga Sasaran bersifat charity dan menimbulkan budaya malas, ketergantungan, dan meminta – minta belas kasihan pemerintah serta menumbuhkan budaya konsumtif sesaat, karena penggunaan uang tidak diarahkan oleh pemerintah (unconditional cash transfer). (Petunjuk Teknis Penyaluran BLT, 2008:4)

  Namun ada juga masyarakat yg membutuhkan dan setuju dengan adanya program BLT ini walaupun jumlah dana yang mereka terima tidak begitu besar namun beberapa pengamat ataupun kalangan menilai positif dengan adanya program bantuan ini karena tentu akan menambah pendapatan atau pemasukan mereka perlukan sehari – hari. Dan namun tidak jarang juga ada masyarakat yg kurang setuju dengan dijalankannya program BLT ini, karena mereka justru lebih memilih dan membutuhkan program penanggulangan kemiskinan yg lebih bermanfaat untuk menunjang kelangsungan hidup mereka lewat penciptaan lapangan usaha, dan program mendidik lainnya.

  Dengan melihat adanya permasalahan diatas, maka penulis tertarik untuk meneliti sebuah fenomena yang terjadi di Kecamatan Medan Belawan, yang diberi judul Analisis Dampak Bantuan Program Penanggulangan Kemiskinan

  

(BLT) Terhadap Kehidupan Masyarakat Miskin di Kecamatan Medan

Belawan.

  1.2. Perumusan Masalah

  Berdasarkan uraian tersebut, permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah:

  1. Bagaimana dampak Program Bantuan Langsung Tunai (BLT) bagi pengentasan kemiskinan melalui pemenuhan kebutuhan pokok di Kecamatan Medan Belawan ?

  2. Bagaimana keberhasilan Program Bantuan Langsung Tunai (BLT) bagi pengentasan kemiskinan di Kecamatan Medan Belawan ?

  1.3. Tujuan Penelitian

  Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk :

  1. Untuk melihat bagaimana dampak program BLT tersebut bagi pengentasan kemiskinan melalui kemampuan masyarakat dalam pemenuhan kebutuhan pokok di Kecamatan Medan Belawan.

  2. Untuk mengetahui keberhasilan program BLT sebagai kompensasi atas naiknya harga BBM sehingga bisa menjadi bahan pembelajaran dalam pengambilan kebijakan selanjutnya bagi pemerintah Kota Medan terutama bagi Kecamatan Medan Belawan.

1.4. Manfaat Penelitian

  1. Sebagai bahan masukan dan sumbangan pemikiran bagi Pemerintah Kota Medan dalam memberdayakan berbagai program bantuan penanggulangan kemiskinan yang lebih baik di masa mendatang, sehingga kesejahteraan rakyat dan pengembangan di setiap wilayah menjadi lebih baik dan meningkat.

  2. Sebagai bahan masukan bagi masyarakat umum dan pihak yang terlibat langsung dalam program penanggulangan kemiskinan untuk dapat lebih bijaksana dalam mengelola pembangunan masyarakat.

  3. Sebagai bahan masukan bagi para peneliti lain yang berminat melakukan kajian sejenis.