Evaluasi Pelaksanaan Program Bantuan Langsung Tunai di Kelurahan Gedung Johor Kecamatan Medan Johor Kota Medan

(1)

EVALUASI PELAKSANAAN

PROGRAM BANTUAN LANGSUNG TUNAI

DI KELURAHAN GEDUNG JOHOR

KECAMATAN MEDAN JOHOR KOTA MEDAN

TESIS

Oleh :

SUTAN TOLANG LUBIS

057024023 / SP

SEKOLAH PASCA SARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2007


(2)

EVALUASI PELAKSANAAN

PROGRAM BANTUAN LANGSUNG TUNAI

DI KELURAHAN GEDUNG JOHOR

KECAMATAN MEDAN JOHOR KOTA MEDAN

TESIS

Untuk Memperoleh Gelar Magister Studi Pembangunan (MSP) Dalam Program Studi Pembangunan

Pada Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh :

SUTAN TOLANG LUBIS

057024023 / SP

SEKOLAH PASCA SARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(3)

Judul Tesis : EVALUASI PELAKSANAAN

PROGRAM BANTUAN LANGSUNG TUNAI DI KELURAHAN GEDUNG JOHOR

KECAMATAN MEDAN JOHOR KOTA MEDAN

Nama Mahasiswa : SUTAN TOLANG LUBIS

NIM : 057024023

Program Studi : Studi Pembangunan

Menyetujui, Komisi Pembimbing

Anggota,

Drs. Agus Suryadi, M.Si

Ketua,

Drs. Kariono, M.Si

Ketua Program Studi,

Subhilhar, MA, Ph.D NIP. 131 754 528

Direktur SPs USU,

Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, M.Sc NIP. 130 535 852


(4)

Telah di uji pada :

Tanggal 27 September 2007

Panitia Penguji Tesis

Ketua : Drs. Kariono, M.Si Anggota : Drs. Agus Suriadi, M.Si

Drs. Badaruddin, M.Si Drs. Irfan, M.Si


(5)

PERNYATAAN

EVALUASI PELAKSANAAN

PROGRAM BANTUAN LANGSUNG TUNAI DI KELURAHAN GEDUNG JOHOR KECAMATAN MEDAN JOHOR KOTA MEDAN

T E S I S

Dengan ini saya menyatakan bahwa di dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang tertulis dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, September 2007 Yang membuat pernyataan


(6)

ABSTRACT

This thesis is about a study to evaluate the “Program Bantuan Langsung Tunai“ (BLT) at Gedung Johor sub district Medan Johor, Medan city. Through Inpres no.12 year 2005, regarding the performance of “Bantuan Langsung Tunai” toward poor families, the government established this program, aimed to help lessen the burden of poor families as an impact for increment of gasoline price on 1st October 2005.

The application of BLT is not free from problems. Simultaneously, variants comments occurred from the people regarding the successfulness of this program and the impact that it causes.


(7)

ABSTRAK

Tesis ini merupakan hasil penelitian untuk mengevaluasi pelaksanaan Program Bantuan Langsung Tunai (BLT) di Kelurahan Gedung Johor Kecamatan Medan Johor Kota Medan. Melalui Inpres No. 12 Tahun 2005 tentang Pelaksanaan Bantuan Langsung Tunai kepada Rumah Tangga Miskin, pemerintah meluncurkan program ini yang dirancang untuk membantu mengurangi beban hidup rumah tangga miskin sebagai akibat dari kebijakan pemerintah menaikkan harga Bahan Bakar Minyak pada 1 Oktober 2005.

Pelaksanaan BLT di lapangan tidak luput dari berbagai kendala. Bersamaan dengan itu, muncul berbagai pendapat di masyarakat mengenai keberhasilan program ini dan dampak yang ditimbulkannya.


(8)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan Taufik dan Hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “Evaluasi Pelaksaan Program Bantuan Langsung Tunai di Kelurahan Gedung Johor, Kecamatan Medan Johor, Kota Medan”. Penulisan tesis ini untuk memenuhi persyaratan akademik, memperoleh gelar magister studi pembangunan pada program studi pembangunan, sekolah Paska Sarjana Universitas Sumatera Utara.

Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, maka penulisan tesis ini tidak akan terlaksana. Untuk itu penulis menyampaikan penghargaan dan terima kasih kepada :

1. Ibu Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, M.Sc selaku Direktur Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan kesempatan dan berbagai fasilitas yang mendukung penyelesaian studi penulis di Program Studi Pembangunan Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Drs. Subhilhar, MA, Ph.D selaku Ketua Program Studi Pembangunan dan seluruh dosen yang telah membimbing dan mengajar penulis selama masa perkuliahan serta seluruh staf administrasi atas segala bantuannya.

3. Bapak Drs. Kariono, M.Si dan Bapak Drs. Agus Suriadi, M.Si yang telah memberikan bimbingan dan arahan bagi penulis sejak dari awal perkuliahan.


(9)

4. Camat Medan Johor beserta seluruh jajarannya yang telah memberikan bahan masukan dalam penulisan tesis ini.

5. Seluruh aparat Kelurahan Gedung Johor yang telah membantu dan mendukung penulis dalam melaksanakan penelitian.

6. Rekan-rekan se angkatan yang telah banyak membantu dan mendorong penulis untuk menyelesaikan tesis ini.

Penghargaan setinggi-tingginya penulis sampaikan kepada Ayahanda Drs. H. Ali Amran Lubis dan Ibunda Hj. Mahyuni Nasution atas segala pengorbanan dan kasih sayang yang diberikan, serta kepada Bapak dan Ibu Mertua Drs. H. Zulkarnain Nasution dan Hj. Hartati Lubis atas segala perhatian dan dukungan yang diberikan.

Terima kasih yang sebesar-besarnya kepada istriku tercinta dr. Irina Kemala Nasution yang senantiasa mendoakan penulis, dengan penuh kesabaran memberikan motivasi dan dorongan kepada penulis dalam menyelesaikan tesis ini.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan tesis ini masih terdapat kekurangan-kekurangan, sehingga diperlukan saran dan kritik yang membangun dari seluruh pihak guna penyempurnaan di masa yang akan datang. Akhirnya, semoga Allah SWT memberikan balasan yang setimpal atas segala amal budi yang diberikan, dan semoga kemudahan dan kelapangan selalu menyertai kita semua.

Medan, September 2007 Penulis


(10)

BIODATA PENULIS

Nama Lengkap : Sutan Tolang Lubis

Tempat/Tgl Lahir : Medan / 10 Desember 1979

Agama : Islam

Alamat : Jl. Cempaka III No. 2 Komp. Pemda Tk. I

Sempakata Medan Selayang, Medan

Pekerjaan : Lurah Gedung Johor

Riwayat Pendidikan : SD Negeri No. 081234 Sibolga Tahun 1992 SMP Negeri 1 Medan Tahun 1995

SMU Negeri 1 Medan Tahun 1998

Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri Tahun 2002

Riwayat Jabatan : Staf pada BKD Setda Kota Medan Tahun 2002 Staf pada Kantor Kelurahan Polonia Tahun 2002

Ajudan Gubernur Sumatera Utara Tahun 2003-2005


(11)

DAFTAR ISI

ABSTRACT ... i

ABSTRAK ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

BIODATA PENULIS ... v

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

DAFTAR SINGKATAN ... xi

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 9

1.3 Tujuan Penelitian ... 10

1.4 Manfaat Penelitian ... 11

1.5 Kerangka Pemikiran ... 12

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Evaluasi ... 13

2.1.1 Pengertian Evaluasi ... 13

2.1.2 Tujuan Evaluasi ... 16

2.1.3 Fungsi Evaluasi... 19

2.2 Kemiskinan... 20

2.2.1. Pengertian Kemiskinan ... 20

2.2.2. Faktor Penyebab Kemiskinan ... 25

2.2.3. Penanggulangan Kemiskinan ... 29

2.3 Rumah Tangga Miskin ... 32

2.4 Program Bantuan Langsung Tunai ... 35

2.5 Gambaran Umum Wilayah Kelurahan Gedung Johor ... 38

III. METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian ... 43

3.2 Definisi Operasional ... 43

3.3 Populasi dan Sampel ... 45

3.3.1 Populasi ... 45

3.3.2 Sampel ... 45

3.4 Teknik Pengumpulan Data ... 46

3.4.1 Studi Kepustakaan ... 46


(12)

3.5 Teknik Analisa Data ... 47

3.6 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 48

3.6.1. Lokasi Penelitian ... 48

3.6.2. Waktu Penelitian ... 48

IV. PEMBAHASAN 4.1 Pelaksanaan Bantuan Langsung Tunai... 49

4.1.1 Organisasi Pelaksana ... 49

4.1.2 Sosialisasi Program BLT ... 51

4.1.3 Pendataan Rumah Tangga Miskin ... 55

4.1.4 Penyerahan Kartu Kompensasi BBM ... 59

4.1.5 Pencairan Dana BLT ... 60

4.1.6 Penanganan Pengaduan ... 61

4.2 Evaluasi Program Bantuan Langsung Tunai... 64

4.2.1 Segi Efektifitas ... 64

4.2.2 Segi Efisiensi ... 67

4.2.3 Segi Kecukupan ... 69

4.2.4 Segi Pemerataan ... 71

4.2.5 Segi Responsivitas ... 74

4.2.6 Segi Ketepatan ... 77

V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ... 79

5.2 Saran ... 80


(13)

DAFTAR TABEL

Tabel Judul

Halaman

Tabel 2.1 Indikator Evaluasi ... 11

Tabel 2.2 Kriteria Rumah Tangga Miskin Menurut Badan Pusat Statistik ... 25

Tabel 2.3 Komposisi Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin ... 29

Tabel 2.4. Komposisi Penduduk Berdasarkan Pendidikan ... 30

Tabel 2.5 Komposisi Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian ... 31

Tabel 2.6 Data Jumlah Penerima Bantuan Langsung Tunai (BLT) per Lingkungan di Kelurahan Gedung Johor ... 31

Tabel 4.1 Jawaban Responden Berdasarkan Pertanyaan Apakah BLT Telah Meringankan Beban Pengeluaran Rumah Tangga ... 50

Tabel 4.2 Simulasi Estimasi Tingkat Kemiskinan Nasional Akibat Kenaikan Harga BBM dan Pemberian BLT kepada Rumah Tangga Miskin ... 52

Tabel 4.3 Jawaban Responden Berdasarkan Pertanyaan Apakah Program Bantuan Langsung Tunai itu diperlukan ... 53

Tabel 4.4 Jawaban Responden Berdasarkan Pertanyaan Apakah BLT Telah Mampu Mencukupi Kebutuhan ... 54


(14)

DAFTAR GAMBAR


(15)

DAFTAR SINGKATAN

art : Anggota Rumah Tangga

Bappenas : Badan Perencanaan Pembangunan Nasional BBM : bahan bakar minyak

BKKBN : Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional BPKP : Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan BPM : Badan Pemberdayaan Masyarakat

BPS : Badan Pusat Statistik BUMN : Badan Usaha Milik Negara coklit : pencocokan dan penelitian Depdagri : Departemen Dalam Negeri Depsos : Departemen Sosial

gakin : keluarga miskin Inpres Instruksi Presiden juklak : petunjuk pelaksanaan juknis : petunjuk teknis

kamtibmas : keamanan dan ketertiban masyarakat kesmas : kesejahteraan masyarakat

KK : kepala keluarga

KKB : kartu kompensasi BBM KPS : keluarga prasejahtera KS-1 : keluarga sejahtera 1 KTP : kartu tanda penduduk

LSM : lembaga swadaya masyarakat Mendagri : Menteri Dalam Negeri

Meneg PPN : Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional Menko Kesra : Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat

Menko Polhukam : Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Menkominfo : Menteri Komunikasi dan Informatika

MoU : Memorandum of Understanding Pemda : pemerintah daerah

PKK : Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga PKPS : Program Kompensasi Pengurangan Subsidi PLKB : petugas lapangan Keluarga Berencana posko : pos koordinasi


(16)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Pada 1 Oktober 2005, pemerintah menetapkan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) dalam rangka mengurangi beban subsidi. Tingkat kenaikan harga BBM kali ini tergolong tinggi dibanding kenaikan-kenaikan harga sebelumnya, yaitu bensin: 87,5%, solar: 104,8%, dan minyak tanah: 185,7%.

Keputusan ini diambil dengan latar belakang: 1) peningkatan harga BBM yang sangat tinggi di pasar dunia sehingga berakibat pada makin besarnya penyediaan dana subsidi yang dengan sendirinya makin membebani anggaran belanja negara; 2) pemberian subsidi selama ini cenderung lebih banyak dinikmati kelompok masyarakat menengah ke atas; dan 3) perbedaan harga yang besar antara dalam dan luar negeri memicu terjadinya penyelundupan BBM ke luar negeri.

Kenaikan harga BBM menambah beban hidup masyarakat. Mereka tidak hanya menghadapi kenaikan harga BBM, tetapi juga kenaikan berantai berbagai harga barang dan jasa kebutuhan sehari-hari. Berbagai kenaikan tersebut menyebabkan penurunan daya beli masyarakat, terlebih rumah tangga miskin. Untuk mengurangi beban tersebut, pada 10 September 2005 pemerintah mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) No. 12 Tahun 2005 tentang Pelaksanaan Bantuan Langsung Tunai kepada Rumah Tangga Miskin. Melalui program yang kemudian


(17)

bantuan bagi sekitar 15,5 juta rumah tangga miskin. Besarnya dana adalah Rp100.000 per keluarga per bulan dan diberikan setiap tiga bulan.

Pada penyaluran tahap pertama yang direalisasikan sejak 1 Oktober 2005 pemerintah menyediakan dana sebesar Rp 4,6 triliun. Penyaluran dana kepada rumah tangga miskin dilakukan oleh PT Pos Indonesia melalui kantor cabangnya di seluruh Indonesia.

Dalam pelaksanaan program ini tidak ditemukan adanya acuan atau pedoman umum yang berisi penjelasan menyeluruh tentang program bagi semua pihak yang berkepentingan. Acuan yang tersedia hanya berupa buku petunjuk parsial seperti petunjuk pendataan rumah tangga miskin dan petunjuk pendistribusian Kartu Kompensasi BBM (KKB) yang persebarannya cenderung terbatas di kalangan internal BPS (Badan Pusat Statistik).

Akibatnya, terdapat perbedaan pemahaman antar pihak terkait tentang pelaksanaan program. Instansi yang berperan dalam pelaksanaan Program BLT adalah Departemen Sosial, BPS, dan PT Pos Indonesia. Pemerintah Daerah (Pemda) pada awalnya tidak dilibatkan secara serius. Namun, dengan perkembangan pelaksanaan program pihak Pemda dan seluruh jajarannya sering diminta membantu proses pencairan dana dalam rangka meredam gejolak sosial.

Di berbagai daerah, kegiatan sosialisasi program secara formal dan menyeluruh bagi pihak terkait di luar lembaga pelaksana nyaris tidak pernah dilakukan. Sosialisasi formal hanya terbatas tentang rencana kegiatan Pendataan Sosial Ekonomi Penduduk 2005 (PSE05) yang dalam praktiknya merupakan


(18)

pendataan keluarga/rumah tangga miskin. Sosialisasi formal untuk masyarakat luas pun tidak dilakukan. Banyak pihak mengeluhkan kurangnya sosialisasi program. Sebagai contoh, kriteria penerima BLT tidak disosialisasikan secara terbuka, bahkan instansi pemerintah di tingkat Kelurahan dan Kecamatan secara resmi tidak mengetahui besarnya target dan realisasi di daerahnya.

Di Kota Medan, kurangnya sosialisasi program menyebabkan aparat Kecamatan, Kelurahan dan Kepala Lingkungan kurang dapat membantu menjelaskan program kepada masyarakat yang bertanya atau mengadu.

Menurut buku Pelaksanaan Pendataan Rumah Tangga Miskin 2005, pendataan rumah tangga miskin diselenggarakan sejak 15 Agustus hingga 15 September 2005. Namun dalam praktiknya, waktu pelaksanaan pendataan bervariasi.

Adanya kemungkinan bahwa tidak semua prosedur pendataan tersebut diikuti secara benar. Beberapa pelanggaran yang mungkin terjadi yaitu : 1) Petugas BPS tidak melaksanakan verifikasi kasat mata secara menyeluruh, melainkan hanya beberapa keluarga/rumah tangga saja; 2) Petugas Pencacah tidak menghubungi Kepala Lingkungan untuk membuat daftar keluarga/rumah tangga miskin awal dan ada juga pencacah yang meminta orang lain melakukan tugasnya; 3) Pengisian formulir PSE05.RT secara langsung dari rumah ke rumah hanya dilakukan terhadap sebagian kecil rumah tangga; 4) Pertanyaan yang diajukan kepada keluarga/rumah tangga tidak lengkap, kebanyakan hanya dua hingga tiga variabel pertanyaan, seperti pekerjaan, status kepemilikan rumah, dan banyaknya anak yang sekolah.


(19)

Secara umum, penerima Bantuan Langsung Tunai adalah keluarga/rumah tangga miskin. Namun, di satu sisi masih banyak berita adanya keluarga/rumah tangga yang sama miskinnya tetapi tidak mendapatkan BLT (undercoverage). Di sisi lain, ditemukan juga beberapa keluarga/rumah tangga mampu yang menerima BLT (leakage).

Tidak ada ketentuan yang mengatur penggunaan dana BLT. Artinya, penerima dapat menggunakan dana untuk keperluan apa pun. Dalam kenyataannya, umumnya penerima menggunakan dana BLT untuk membeli beras dan minyak tanah, membayar listrik dan biaya kontrak rumah, serta melunasi utang. Selain itu, ada juga beberapa penerima yang menggunakan dana untuk biaya kesehatan dan sekolah. Hanya sedikit yang memanfaatkan dana untuk modal usaha.

Setelah pembagian KKB dan pencairan dana, banyak anggota masyarakat mengajukan keberatan karena tidak memperoleh BLT. Padahal mereka telah didata atau selama ini termasuk keluarga/rumah tangga miskin dalam program penanggulangan kemiskinan lainnya. Mereka datang ke Kepala Lingkungan, Kantor Lurah, Kantor Camat, hingga Kantor Walikota / Gedung DPRD. Alhasil, di lapangan proses penyaluran BLT ini menyisakan cerita panjang dan menyesakkan.

Pada masa pencairan BLT, terjadi antrean panjang para penerima BLT di Kantor Pos. Bahkan ada di beberapa daerah terjadi tindak kekerasan seperti warga yang mengamuk dan membakar kantor. Begitu hebohnya kekisruhan penyaluran BLT ini sehingga hal tersebut mengalihkan perhatian dari upaya-upaya peningkatan


(20)

pelayanan kepada masyarakat miskin yang sebelumnya menjadi fokus dana kompensasi BBM.

Dilihat dari sudut kemanusiaan penyaluran dana kompensasi BBM kepada keluarga miskin merupakan tindakan yang wajar, karena yang paling terkena dampak kenaikan harga BBM adalah kelompok ini. Pemerintah telah memberikan rasa kepedulian kepada keluarga miskin. Daya beli masyarakat secara keseluruhan mengalami penurunan karena harga barang naik sementara pendapatan tidak naik.

Jika harga BBM saja yang naik mungkin tidak begitu dipermasalahkan, namun yang menjadi persoalan adalah kenaikan harga yang juga ikut naik seiring dengan kenaikan harga BBM tersebut, seperti kenaikan harga bahan-bahan kebutuhan pokok dan sebagainya. Keadaan tersebut diperburuk lagi dengan menurunnya tingkat ekonomi masyarakat. Masyarakat harus bersabar karena kenaikan pendapatan yang akan terjadi memerlukan waktu. Tidak tertutup kemungkinan kenaikan pendapatan itu tidak punya arti apabila persentasenya lebih kecil dari persentase kenaikan harga rata-rata.

Pemerintah pada saat itu sedang mengalami kesulitan keuangan. Inilah yang harus dimaklumi masyarakat untuk setuju pada kenaikan harga BBM. Tetapi seberapa parah kesulitan keuangan itu tidak diketahui oleh masyarakat umum karena tidak dibuka oleh pemerintah. Namun dari situasi tersebut masyarakat menduga kesulitan keuangan pemerintah sudah sedemikan parahnya.


(21)

aparatur pemerintah dan sebagian lainnya untuk membayar cicilan dan bunga utang luar negeri. Dapat dipahami akan terbatasnya keuangan negara saat itu, hanya saja pemerintah tidak terbuka kepada masyarakat. Kenaikan harga BBM merupakan salah satu cara bagi pemerintah untuk mengurangi beban di dalam anggaran. Namun kenaikan tersebut berdampak pada kenaikan harga-harga lainnya.

Masyarakat sebenarnya tidak mempersoalkan kenaikan harga atas barang apa pun jika hubungan fungsional antara harga dengan pendapatan berjalan seiring. Artinya kenaikan harga barang bersamaan dengan kenaikan pendapatan masyarakat. Namun yang menjadi persoalan adalah jika fungsi ini tidak berjalan seiring. Harga-harga naik tetapi pendapatan tidak naik, atau kenaikan pendapatan lebih lambat dari kenaikan harga sehingga daya beli masyarakat terus melemah dan tingkat kesejahteraan menjadi turun.

Di samping itu kepincangan pendapatan masyarakat sangatlah tinggi sehingga mengakibatkan terjadinya kesenjangan sosial. Pemerintah kesulitan untuk mengharmoniskan hubungan antara harga dan pendapatan. Keadaan tersebut merupakan produk dari perencanaan serta pelaksanaan pembangunan ekonomi yang dilaksanakan pemerintah pada masa sebelumnya. Pemerintah tidak memperhatikan potensi ekonomi yang dimiliki masyarakat dan negara. Perencanaan dan kebijakan ekonomi tidak didasarkan pada potensi ekonomi daerah dan tidak didasarkan pada dorongan multiflier effects tetapi didasarkan pada pertambahan demand dan kemajuan teknologi. Perencanaan dan kebijakan ekonomi lebih berwawasan sentralistik tanpa memperhatikan kepentingan ekonomi daerah yang multiflier effect-nya cukup tinggi.


(22)

Berbagai permasalahan yang ditemukan pada saat itu adalah akumulasi dari berbagai permasalahan ekonomi masa lalu, sementara pemerintah tidak mampu mengatasinya secara tepat sehingga membawa perekonomian kepada suatu keadaan stagflasi. Keadaan stagflation sebenarnya sudah terlihat sebagai pertanda perekonomian dalam keadaan lampu kuning. Tingkat pertumbuhan melemah (stagnation) sementara inflasi (inflation) tinggi dan pengangguran terus bertambah.

Selama tiga dekade berbagai upaya penanggulangan kemiskinan dilakukan melalui penyediaan kebutuhan dasar seperti pangan, pelayanan kesehatan dan pendidikan, perluasan kesempatan kerja, pembangunan pertanian, pemberian dana bergulir melalui sistem kredit, pembangunan prasarana dan pendampingan, penyuluhan sanitasi dan sebagainya. Namun ternyata kemiskinan belum dapat dientaskan, bahkan jumlah penduduk miskin semakin bertambah. Persentase jumlah penduduk miskin di Indonesia lebih parah dibandingkan pada tahun 1980, persentase penduduk miskin tercatat 28,6 % sedangkan tahun 2005 mencapai 29,7 % atau di atas 72 juta yang jumlahnya dua kali lipat dibandingkan dengan penduduk miskin tahun 2004 yaitu 36,56 juta orang.

Patut dipertanyakan kenapa hal tersebut terjadi. Selain faktor naiknya harga BBM yang berperan besar terhadap naiknya jumlah penduduk miskin sampai dua kali lipat untuk tahun 2005, faktor lain yang mungkin mempengaruhi adalah serangkaian cara dan strategi penanggulangan kemiskinan yang dilakukan, lebih berorientasi material, sehingga keberlanjutannya sangat tergantung pada ketersediaan anggaran


(23)

Tidak mungkin menciptakan sumber daya manusia yang baik jika belenggu kemiskinan masyarakat melekat. Ketika rakyat tidak lagi mampu untuk mencukupi kebutuhan minimal akibat pendapat rill tidak cukup maka yang terpikir oleh keluarga adalah memberdayakan mereka bekerja apa saja tanpa pernah berpikir memberdayakan mereka melalui lembaga-lembaga pendidikan formal dan nonformal. Keluarga akan membiarkan anak-anak mereka yang usia sekolah menjadi gembel, pengamen atau pengemis di pinggir-pinggir jalan, sementara pemerintah sibuk menghimbau wajib belajar. Akibat buruknya adalah munculnya generasi yang mudah putus asa, generasi yang minder, generasi yang tidak punya wawasan, generasi yang miskin jiwanya dan tidak siap menghadapi tantangan. Dan lebih celaka lagi generasi ini akan menjadi penonton dan penderita ketika setiap jengkal tanah yang mestinya menghidupi mereka dirampas oleh kapitalis yang tidak punya hati nurani.

Kemiskinan merupakan masalah utama pembangunan yang sifatnya kompleks dan multi dimensional. Persoalan kemiskinan bukan hanya berdimensi ekonomi tetapi juga sosial, budaya, politik bahkan juga ideologi. Secara umum kondisi kemiskinan tersebut ditandai oleh kerentanan, ketidakberdayaan, keterisolasian, dan ketidakmampuan untuk menyampaikan aspirasi dan kebutuhannya. Karena sifat kemiskinan yang multi dimensi tersebut, maka kemiskinan telah menyebabkan akibat yang juga beragam dalam kehidupan nyata, antara lain: (i) secara sosial ekonomi dapat menjadi beban masyarakat, (ii) rendahnya kualitas dan produktivitas masyarakat, (iii) rendahnya partisipasi masyarakat, (iv) menurunnya ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat, (v) menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap


(24)

birokrasi dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, dan (vi) kemungkinan merosotnya mutu generasi yang akan datang. Semua indikasi tersebut merupakan kondisi yang saling terkait dan saling mempengaruhi satu sama lain.

Harapan untuk menyelesaikan berbagai masalah ekonomi masih dimungkinkan, sepanjang pemerintah mampu menciptakan terobosan melalui berbagai kebijakan ekonomi (perbaikan pada sektor bisnis, investasi dan perpajakan) dan kebijakan publik (perbaikan di bidang pelayanan, keamanan dan prasarana).

1.2. Perumusan Masalah

Belajar dari pengalaman di masa lalu, pelaksanaan penyaluran dana kompensasi subsidi BBM selalu menghadapi berbagai permasalahan. Oleh karena itu, diperlukan pengkajian dan penelitian terhadap pelaksanaan Program BLT guna mencari jalan keluar dari berbagai kendala dan kelemahan di lapangan.

Disamping itu perlu dianalisis mengenai keberhasikan dari Program BLT tersebut sebagai salah satu kebijakan pemerintah dalam upaya penaggulangan kemiskinan. Berangkat dari hal tersebut, maka penulis ingin merumuskan masalah yang akan dikaji melalui suatu penelitian dengan melihat persoalan pada:

“Bagaimana pelaksanaan Program Bantuan Langsung Tunai (BLT) bagi rumah tangga miskin?” dengan mengambil lokasi penelitian di Kelurahan Gedung Johor Kecamatan Medan Johor Kota Medan.


(25)

1. 3. Tujuan Penelitian

Penelitian ini dimaksudkan untuk memperoleh gambaran aktual tentang pelaksanaan penyaluran dana BLT sebagai bahan pembelajaran untuk pengambilan kebijakan selanjutnya bagi pemerintah. Selain itu, penelitian ini dapat pula dijadikan dasar untuk melakukan penelitian lebih lanjut dengan cakupan yang lebih komprehensif dan representatif.

Secara spesifik, penelitian ini bertujuan :

1. Untuk mengetahui bagaimana mekanisme pelaksanaan Program Bantuan Langsung Tunai (BLT) di Kelurahan Gedung Johor Kecamatan Medan Johor Kota Medan.

2. Untuk mengevaluasi Program Bantuan Langsung Tunai (BLT) bagi rumah tangga miskin.


(26)

1. 4. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapar memberi manfaat sebagai berikut :

1. Bagi pemerintah, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan pemikiran kepada Pemerintah Pusat dalam hal ini sebagai pengambil kebijakan Program Bantuan Langsung Tunai yang merupakan kompensasi dari Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak, sehingga pada masa yang akan datang agar dapat merumuskan kebijakan yang lebih tepat.

2. Bagi Program Magister Studi Pembagunan Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, akan melengkapi ragam penelitian yang telah dibuat oleh para mahasiswa sebagai bahan bacaan dan referensi dari suatu karya ilmiah.


(27)

1.5. Kerangaka Pemikiran

Untuk menjelaskan bagaimana alur dari penelitian ini dapat dilihat melalui skema berikut ini :

Kenaikan BBM

Rumah Tangga Miskin

Bantuan Langsung Tunai (BLT)

EVALUASI

Segi Efektifitas

Segi Efesiensi

Segi Kecukupan

Segi Pemerataan

Segi Responsivitas

Segi Ketepatan


(28)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Evaluasi

2.1.1. Pengertian Evaluasi

Charles O. Jones mengemukakan bahwa : ”evaluation is an activity which can contibute greatly to the understanding and improvement of policy devolopment and implementation” (evaluasi adalah kegiatan yang dapat menyumbangkan pengertian yang besar nilainya dan dapat pula membantu penyempurnaan pelaksanaan kebijakan beserta perkembangannya).

Dari pengertian tersebut di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa evaluasi kebijakan itu mempunyai peranan yang sangat penting untuk perkembangan dan kemajuan suatu negara. Dengan evaluasi, kelemahan dan kekuranagan sejak direncanakan sampai pada pelaksanaan dapat diketahui. Selanjutnya dengan mengetahui kekurangan dan kelemahan itu serta ketidaklancaran dan ketidakberhasilan pelaksanaan akan dapat diupayakan perbaikan melalui perumusan kembali kebijakan atau penyesuaian yang sejalan dengan kondisi masyarakat yang berkembang.

Evaluasi itu memang perlu dilakukan mulai dari langkah-langkah awal, dengan maksud agar kekeliruan dan kekurangan-kekurangan itu tidak akan berlanjut membawa akibat yang buruk atau merugikan. Dengan demikian perbaikan dan


(29)

pembetulan dalam mengambil kebijakan dapat dilakukan sedini mungkin, hal itu berarti :

a. Pemborosan tenaga, pikiran, dan waktu dapat ditanggulangi.

b. Kekeliruan keputusan dan langkah-langkah yang salah dapat segera diperbaiki c. Perbaikan dan penyempurnaan kegiatan-kegiatan segera dapat diadakan

James E. Anderson mengatakan bahwa : ”policy evaluation, as a fungsional activity, is as old as policy itself. Policy-makers and administrator have always made judgement concerning the worth or effects of particular policies, programs, and projects” (evaluasi kebijakan, sebagai suatu kegiatan fungsional adalah suatu kebijakan itu sendiri. Pengambil kebijakan dan administrator senantiasa membuat evaluasi terhadap keberhasilan dari suatu kebijakan, program dan proyek yang dilakukan).

Seyogyanya evaluasi itu sudah harus dilakukan mulai dari perencanaan (planning) suatu program atau kebijakan itu dilaksanakan. Penilaian suatu kebijakan sebelum pelaksanaannya dapat disebut dengan ”pretesting” (evaluasi pendahuluan), merupakan kegiatan yang penting untuk mengusahakan efesiensi, penghematan-penghematan dan usaha-usaha ekonomis lainnya, seperti yang pernah dikemukakan :

1. Ada kemungkinan kondisi dalam masyarakat atau publik sudah berubah sehingga tidak sama dengan kondisi pada waktu program itu diolah dan ditetapkan.

2. Kemungkinan ada biaya-biaya yang dapat ditiadakan atau ditekan karena perkembangan keadaan.


(30)

Dengan demikian , maka evaluasi kebijakan sangatlah penting dan perlu, tidak hanya untuk mengkaji bahwa hasil kebijakan itu memenuhi kebutuhan dan kepentingan masyarakat, tetapi juga tiap-tiap kegiatan dalam program tersebut dilakukan dengan efisien dan efektif dengan hasil kegiatan yang nyata dan bermanfaat bagi keseluruhan pelaksanaan.

Sesuai dengan uraian di atas, maka istilah evaluasi mempunyai cakupan yang cukup luas, yang dapat mengarah kepada setiap kegiatan dalam pengambilan kebijakan. Carol H. Weis mengatakan bahwa : ”evaluation is an elastic word that stretches to cover judgment of many kinds” (evaluasi adalah suatu kata yang elastis yang dapat meluas meliputi penilaian kebenaran dan keberhasilan mengenai banyak hal). Ditegaskan pula oleh Weis, bahwa semua penilaian itu berisikan penentuan keberhasilan dari setiap pelaksanaan suatu program atau keputusan.


(31)

Tabel 2.1.

INDIKATOR EVALUASI

Kriteria Bentuk Pertanyaan

Efektifitas Apakah hasil yang diinginkan telah tercapai?

Efisiensi Sebarapa banyak usaha diperlukan untuk mencapai hasil

yang diinginkan?

Kecukupan Apakah hasilnya telah memenuhi kebutuhan?

Pemerataan Apakah manfaatnya sudah merata dirasakan semua pihak?

Responsivitas Seberapa jauh pencapaian hasil telah memecahkan

permasalahan?

Ketepatan Apakah hasil yang dicapai bebar-benar bernilai?

2.1.2. Tujuan Evaluasi

Tujuan evaluasi yaitu untuk memproleh hasil yang sebaik-baiknya dengan jalan dan cara yang seefesien mungkin dalam perkembangan masyarakat. Dalam melaksanakan evaluasi kebijakan tersebut, timbul kegiatan-kegiatan perbaikan-perbaikan pelaksanaan dengan :

a. Menunjukkan kekeliruan-kekeliruan dan kesalahan-kesalahan.

b. Menunjukkan cara atau metode yang lebih sesuai dengan kondisinya, dilihat dari sudut cost benefits.


(32)

c. Memberikan kritik-kritik yang membangun yang dapat mencegah pelaksanaan terbawa oleh arus yang keliru.

d. Memberikan pertimbangan kepada pengambil kebijakan, agar pelaksanaan kebijakan atau program mencapai keberhasilan sebagaimana diharapkan dengan hasil yang semestinya.

Charles O. Jones juga mengemukakan bahwa : ”Evaluation is an activity designed to judge the merits of goverment program which varies significalty in the spesification of object, the technigue of measurement, and the method of analysis”. (Evaluasi adalah kegiatan yang dipersiapkan dan ditujukan untuk menilai mutu dan keberhasilan program pemerintah, terdiri dari kegiatan pemilahan objek, cara pengukuran dan metode analisa).

Evaluasi itu dapat dilakukan dalam dua bentuk yaitu : a. Evaluasi Teknis (ilmiah), dengan kegiatan antara lain :

1. Pemilahan-pemilahan objek dengan merinci apa saja yang di evaluasi.

2. Melakukan pengukuran tiap-tiap objek dalam koleksi data serta menentukan ukuran-ukuran yang benar dan cocok setiap objeknya.

3. Melakukan analisa dari setiap informasi yang ada.

4. Memberikan pendapat atau rekomendasi dimana rekomendasi ini dapat bersifat ”advocative”, diharap untuk diikuti dan dilaksanakan, dapat pula bersifat ”coercive”, dipaksa untuk melaksanakan, hal ini tergantung pada kedudukan formal dengan ”authority” nya pelaku evaluasi itu.


(33)

Evaluasi Teknis merupakan evaluasi yang lebih bersifat rasional, dilakukan terutama oleh orang-orang yang banyak terlibat dalam pengambilan kebijakan. Mereka lebih terikat dengan keberhasilan kebijakan dan merasa ikut bertanggung jawab atas keberhasilannya. Evaluasi inilah yang disebut Jones sebagai specialized evaluation.

Specialized evaluation ini dapat pula dilakukan oleh rakyat secara perseorangan, yaitu para ilmuan baik para sarjana maupun para cendikiawan serta kelompok-kelompok ilmuan denagan diskusi, seminar, dan kegiatan ilmiah lainnya. Hasil evaluasi tersebut sering kali merupakan konsepsi-konsepsi ukuran untuk reformulation suatu kebijakan, namun apabila kesempatan itu tidak ada, maka yang diajukan adalah kritik yang merupakan partisipasi masyarakat.

b. Evaluasi Umum,

Biasanya dilaksanakan oleh rakyat dengan berbagai kepentingan serta tingkat pengalaman dan pengetahuan yang berbeda. Dalam evaluasi ini, sering terjaadi titik berat penilaian yang berbeda antara satu kelompok masyarakat dengan kelompok lainnya. Disamping itu, keterkaitan orang atau kelompok masyarakat dengan pendirian kelompok, ideologi dan pandangan atau pendapat umum sering sekali mewarnai kegiatan serta hasil evaluasinya.

Evaluasi inilah yang disebut sebagai broader scaled evaluation, pada umumnya dilakukan oleh organisasi-organisasi partai politik atau lembaga-lembaga politik seperti DPR/DPRD. Lembaga-lembaga tersebut di atas sering kali melakukan evaluasi yang bertujuan purposive evaluation dan oleh karena itu sangat bersifat


(34)

praktis. Pada gilirannya timbullah hasil dari broader scaled evaluation ini bersifat dukungan terhadap suatu kebijakan atau tuntutan untuk perubahan suatu kebijkan atau malahan tuntutan pergantian kebijakan.

2.1.3. Fungsi Evaluasi

Evaluasi memainkan sejumlah fungsi utama dalam analisis kebijakan yaitu: 1. Evaluasi memberi informasi yang valid dan tepat untuk dipercaya, dimana

seberapa jauh kebutuhan, nilai dan kesempatan telah dapat dicapai melalui tindakan publik.

2. Evaluasi dapat memberi sumbangan klarifikasi dan kritik terhadap nilai-nilai yang mendasari pemilihan tujuan dan target.

3. Evaluasi dapat memberi masukan pada penerapan metode kebijakan lainnya, dengan menunjukkan kekurangan kebijakan sebelumnya.


(35)

2.2. Kemiskinan

2.2.1. Pengertian Kemiskinan

Bradley R. Schiller mendefinisikan kemiskinan adalah ketidaksanggupan untuk mendapatkan barang-barang dan pelayanan-pelayanan yang memadai untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan sosial yang terbatas.

Selanjutnya Emil Salim menyatakan bahwa kemiskinan adalah suatu keadaan yang menunjukkan kurangnya pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok.

Parsudi Suparlan menyebutkan kemiskinan adalah suatu standar tingkat hidup yang rendah, yaitu adanya suatu tingkat kekurangan materi pada sejumlah atau segolongan orang dibandingkan dengan standar kehidupan umum yang berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.

Nataatmadja (1991;67), mengatakan dengan masuknya unsur moral dalam sistem pasar, lingkaran kemiskinan dapat diputuskan. Pendapat ini didasarkan pada sumber dan akar kemiskinan itu sendiri yang terletak pada khazanah pikiran manusia. Bentuk pikiran manusia ini tercipta karena terlalu kuatnya pengaruh falsafah Neo-klasik di dalam kehidupan manusia dan dalam setiap kebijaksanaan pembangunan yang berjalan.

Selo Soemardjan (1984 ;25), menyebutkan bahwa kemiskinan yang diakibatkan oleh struktur sosial yang ada, menjadikan masyarakat itu tidak dapat memperoleh pendapatan yang sebenarnya tersedia bagi mereka. Untuk mengatasi hal ini, maka salah satu jalan keluarnya adalah dengan pembangunan kwalitas sumberdaya manusia. Secara lebih tegas Koentjaraningrat (1990;63) menekankan


(36)

akan perlunya mentalitas pembangunan pada setiap diri manusia dan untuk menstimulir mentalitas tersebut dapat dicapai melalui pendidikan.

Selanjutnya Soejono (dalam Sayogyo ;1991;87) menyebutkan, bahwa kemiskinan merupakan resultant dari interaksi teknologi, sumber daya alam dan kapital, sumber daya manusia serta kelembagaan. Dengan demikian kemiskinan dapat dilihat sebagai akibat (endogenous variabel). Oleh karena itu ada dua hal yang perlu diperhatikan walaupun keduanya saling berinteraksi secara evolutif yaitu (1) faktor penyebab kemiskinan dan (2) dampak kemiskinan itu sendiri terhadap masyarakat.

Bappenas (2000) mendefinisikan kemiskinan dalam 3 kriteria yaitu: Pertama, berdasarkan Kebutuhan Dasar ;

Suatu ketidakmampuan (lack of capabilities) seseorang, keluarga, dan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidup minimum antara lain: pangan, sandang, perumahan, pelayanan kesehatan dan pendidikan, penyediaan air bersih dan sanitasi. Ketidakmampuan ini akan mengakibatkan rendahnya kemampuan fisik dan mental seseorang, keluarga, dan masyarakat dalam melakukan kegiatan sehari-hari.

Kedua, berdasarkan Pendapatan ;

Suatu tingkat pendapatan atau pengeluaran seseorang, keluarga, dan masyarakat berada di bawah ukuran tertentu (garis kemiskinan). Kemiskinan ini terutama disebabkan oleh rendahnya penguasaan asset seperti lahan, modal, dan kesempatan usaha.


(37)

Suatu keterbatasan kemampuan dasar seseorang dan keluarga untuk menjalankan fungsi minimal dalam suatu masyarakat. Keterbatasan kemampuan dasar akan menghambat seseorang dan keluarga dalam menikmati hidup yang lebih sehat, maju dan berumur panjang. Juga memperkecil kesempatan dalam pengambilan keputusan yang menyangkut kehidupan masyarakat dan mengurangi kebebasan dalam menentukan pilihan terbaik bagi kehidupan pribadi.

Menurut BPS dan Depsos (2002) kemiskinan merupakan sebuah kondisi yang berada di bawah garis nilai standar kebutuhan minimum, baik untuk makanan dan non makanan, yang disebut garis kemiskinan (poverty line) atau batas kemiskinan (poverty treshold). Garis kemiskinan yaitu sejumlah rupiah yang diperlukan oleh setiap individu untuk dapat membayar kebutuhan makanan setara 2100 kilo kalori per orang per hari dan kebutuhan non makanan yang terdiri dari perumahan, pakaian, kesehatan, pendidikan, transportasi, serta aneka barang dan jasa lainnya.

Kemiskinan sebagai peubah endogen merupakan derivasi langsung dari pendapatan, baik dalam nilai uang maupun pendapatan bukan nilai uang seperti keamanan, kebebasan maupun kesempatan ekonomi dan lain-lain. Sementara kesempatan dalam ekonomi merupakan fungsi dari sumber daya alam baik jenis maupun kapasitasnya, kapital dalam bentuk kapasitas intelektualnya untuk menghasilkan suatu sikap, teknologi dan kelembagaannya yaitu sebagai fourth prime mover aktor ekonomi. Berbeda halnya dengan kemiskinan jika dilihat sebagai peubah exogeneous, yang dapat menurunkan kapasitas lingkungan (Affandi Anwar, 1991;6).


(38)

Kemiskinan itu bersifat multi dimensional, artinya karena kebutuhan manusia itu bermacam-macam maka kemiskinan pun memiliki banyak dimensi. Kemiskinan dapat dilihat dalam dua bentuk, yaitu :

a. Kemiskinan Absolut (mutlak), keadaan individu/kelompok masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan yang ditentukan menurut ukuran tertentu.

b. Kemiskinan Relatif (nisbi), keadaan kesejahteraan orang atau kelompok dibandingkan dengan kesejahteraan orang atau kelompok lain.

Sedangkan dari kebijakan umum, maka kemiskinan tersebut dapat dilihat dari Dimensi Primer, dalam wujud miskin akan asset, organisasi sosial dan politik, pengetahuan serta keterampilan. Dan Dimensi Skunder, wujud miskin tersebut ditunjukkan oleh jaringan sosial, sumber-sumber keuangan dan informasi.

Lebih lanjut David Cox (2004) membagi kemiskinan dalam beberapa bentuk : a. Kemiskinan yang diakibatkan globalisasi. Globalisasi menghasilkan pemenang

dan pengkalah. Pemenang umumnya negara maju, negara-negara berkembang seringkali terpinggirkan oleh persaingan dan pasar bebas yang menjadi prasyarat globalisasi.

b. Kemiskinan yang berkaitan dengan pembangunan. Kemiskinan subsisten (kemiskinan akibat rendahnya pembangunan; kemiskinan pedesaan (kemiskinan akibat peminggiran pedesaan dalam proses pembangunan); kemiskinan perkotaan (kemiskinan yang disebabkan oleh hakekat dan kecepatan pertumbuhan perkotaan).


(39)

c. Kemiskinan sosial. Kemiskinan yang dialami oleh perempuan, anak-anak, dan kelompok minoritas.

d. Kemiskinan konsekuensial. Kemiskinan yang terjadi akibat kejadian-kejadian lain atau faktor-faktor eksternal di luar si miskin, seperti konflik, bencana alam, kerusakan lingkungan, dan tingginya jumlah penduduk.

Menurut SMERU (2001), kemiskinan memiliki berbagai kriteria yaitu :

• Ketidakmampuan memenuhi kebutuhan konsumsi dasar (pangan, sandang, papan).

• Tidak adanya akses terhadap kebutuhan hidup dasar lainnya (kesehatan, pendidikan, sanitasi, air bersih, dan transportasi).

• Tidak adanya jaminan masa depan (karena tiadanya investasi untuk pendidikan dan keluarga).

• Kerentanan terhadap goncangan yang bersifat individual maupun massal. • Rendahnya kualitas SDM dan keterbatasan sumber alam.

• Tidak dilibatkannya dalam kegiatan sosial masyarakat.

• Tidak adanya akses terhadap lapangan kerja dan mata pencaharian yang berkesinambungan.

• Ketidakmampuan untuk berusaha karena cacat fisik maupun mental.

• Ketidakmampuan dan ketidakberuntungan sosial (anak terlantar, wanita korban tindak kekerasan rumah tangga, janda miskin, kelompok marjinal dan terpencil).


(40)

2.2.2. Faktor Penyebab Kemiskinan

Kemiskinan yang menimpa sekelompok masyarakat berhubungan dengan status sosial ekonominya dan potensi wilayah. Faktor sosial ekonomi yaitu faktor yang berasal dari dalam diri masyarakat itu sendiri dan cenderung melekat pada dirinya seperti tingkat pendidikan, dan keterampilan yang rendah, tingkat kesehatan yang rendah dan produktifitas yang rendah. Sedangkan faktor yang berasal dari luar berhubungan dengan potensi alamiah, teknologi dan rendahnya aksesibilitas terhadap kelembagaan yang ada.

Kedua faktor tersebut menentukan aksessibilitas masyarakat miskin dalam memanfaatkan peluang-peluang ekonomi dalam menunjang kehidupannya. Kemiskinan sesungguhnya merupakan suatu fenomena yang kait-mengait antara satu faktor dengan faktor lainnya. Oleh karena itu untuk mengkaji masalah kemiskinan harus diperhatikan jalinan antara faktor-faktor penyebab kemiskinan dan faktor yang berada dibalik kemiskinan.

Todaro (1993;67), memperlihatkan jalinan antara kemiskinan dan keterbelakangan dengan beberapa aspek ekonomi dan aspek non ekonomi. Tiga komponen utama sebagai penyebab keterbelakangan dan kemiskinan masyarakat, yaitu: (1) rendahnya taraf hidup; (2) rendahnya rasa percaya diri; dan (3) terbatasnya kebebasan. Ketiga aspek tersebut memiliki hubungan secara timbal balik, rendahnya taraf hidup disebabkan oleh rendahnya produktifitas tenaga kerja disebabkan oleh tingginya pertumbuhan tenaga kerja, tinginya angka pengangguran, dan rendahnya


(41)

Tingginya angka pengangguran disebabkan oleh tingginya pertumbuhan tenaga kerja dan rendahnya investasi perkapita dan tingginya tingkat pertumbuhan tenaga kerja disebabkan oleh penurunan tingkat kematian dan rendahnya investasi perkapita disebabkan oleh tingginya ketergantungan terhadap teknologi asing yang hemat tenaga kerja. Selanjutnya rendahnya tingkat pendapatan berpengaruh terhadap tingkat kesehatan, kesempatan pendidikan, pertumbuhan tenaga kerja dan investasi perkapita.

Secara lebih khusus studi Hayami (1985), di Indonesia, Malaysia dan Thailand, menemukan bahwa kemiskinan dan ketidakmerataan disebabkan oleh beberapa faktor antara lain: (1) produktifitas tenaga kerja yang rendah sebagai akibat rendahnya teknologi, penyediaan tanah dan modal jika dibanding dengan tenaga kerja; (2) tidak meratanya distribusi kekayaan terutama tanah. Untuk kasus Indonesia Ginanjar (1996), mengemukakan empat faktor penyebab kemiskinan. Faktor tersebut yaitu: (1) rendahnya taraf pendidikan; (2) rendahnya taraf kesehatan; (3) terbatasnya lapangan kerja; dan (4) kondisi keterisolasian.

Wiradi dalam Hagul (1985), mengemukakan bahwa masalah kemiskinan di pedesaan merupakan resultan dari beberapa faktor antara lain: pertumbuhan penduduk, rendahnya kualitas sumberdaya manusia dan rendahnya produktifitas. Selanjutnya Salim (dalam Tjahya Supriatna;2000;53), menyatakan bahwa kemiskinan tersebut melekat atas diri penduduk miskin karena mereka tidak memiliki asset produksi dan kemampuan untuk meningatkan produktivitas. Mereka tidak memiliki asset produksi karena mereka miskin, akibatnya mereka terjerat dalam lingkaran


(42)

kemiskinan tanpa ujung dan pangkalnya. Secara lebih konkrit Hadiwegono dan Pakpahan (1992;45) berpendapat bahwa kemiskinan tersebut disebabkan oleh beberapa hal antara lain : (1) sumber daya alam yang rendah; (2) teknologi pendukung yang rendah; (3) sumberdaya manusia yang rendah; (4) sarana dan prasarana termasuk kelembagaan yang belum baik.

Dengan rendahnya faktor-faktor di atas menyebabkan aktifitas ekonomi yang dapat dilakukan berakibat terhadap rendahnya produksi dan pendapatan yang diterima. Pada gilirannya pendapatan tersebut mampu memenuhi kebutuhan fisik minimum yang menyebabkan terjadi proses kemiskinan.

Studi empiris Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Departemen Pertanian (1995), yang dilakukan pada tujuh belas provinsi di Indonesia, menyimpulkan bahwa ada enam faktor utama penyebab kemiskinan, yaitu: (1) rendahnya kualitas sumberdaya manusia, hal ini ditunjukkan oleh rendahnya pendidikan, tingginya angka ketergantungan, rendahnya tingkat kesejahteraan, kurangnya pekerjaan alternatif, rendahnya etos kerja, rendahnya keterampilan dan besarnya jumlah anggota keluarga; (2) rendahnya daya fisik, hal ini ditunjukkan oleh rendahnya kualitas dan jumlah produksi dan dan modal kerja; (3) rendahnya penerapan teknologi, ditandai dengan rendahnya penggunaan input dan mekanisasi pertanian; (4) rendahnya potensi wilayah yang ditandai oleh rendahnya potensi fisik dan infrastruktur kondisi fisik ini meliputi iklim, tingkat kesuburan, dan topografis wilayah, sedangkan infrastruktur meliputi irigasi transportasi, pasar, kesehatan, pendidikan, pengolahan komoditas


(43)

dilakukan oleh pemerintah dalam investasi dan pengentasan kemiskinan; (6) kurang berperannya kelembagaan yang ada, kelembagaan tersebut meliputi pemasaran, penyuluhan perkreditan dan sosial.

Untuk ruang lingkup yang lebih luas Both dan Firdausy (1994;78), dalam studi empirisnya menyimpulkan beberapa faktor yang mempengaruhi kemiskinan masyarakat di perdesaan Asia. Faktor tersebut antara lain: (1) faktor ekonomi terdiri dari: modal, tanah dan teknologi; (2) faktor sosial dan budaya terdiri dari : pendidikan, budaya miskin dan kesempatan kerja; (3) faktor geografis dan lingkungan; (4) faktor pribadi terdiri dari: jenis kelamin, kesehatan dan usia.

Lebih jauh Suyanto (1995;23) menyebutkan ada beberapa faktor penyebab kemiskinan yang terjadi dalam suatu masyarakat, seperti :

a. Kemiskinan karena Kolonialisme; kemiskinan ini terjadi karena penjajahan yang dilakukan oleh suatu bangsa terhadap bangsa lain, sehingga bangsa yang dijajah menjadi tertindas baik bidang ekonomi, politik dan sebagainya. Misalnya Indonesia yang ditindas oleh Belanda.

b. Miskin karena tradisi sosio-kultural; hal ini berkaitan dengan suku bangsa tertentu yang kental kebudayaannya seperti suku kubu di Sumatera dan suku Dayak di pedalaman Kalimantan.

c. Miskin karena terisolasi;seseorang menjadi miskin karena tempat tinggalnya jauh dari keramaian sehingga sulit berkembang.

d. Kemiskinan struktural; kemiskinan struktural ialah kemiskinan yang ditenggarai atau didalihkan bersebab dari kondisi struktur atau tatanan kehidupan yang tidak


(44)

menguntungkan. Kemiskinan ini juga disebabkan oleh persaingan yang tidak seimbang antar negara atau daerah yang mempunyai keunggulan komperatif dengan daerah sekitarnya yang tidak mempunyai keunggulan komparatif.

Faktor penyebab kemiskinan adalah keterkaitan hubungan antara status sosial ekonomi masyarakat dengan potensi wilayah suatu daerah yang menyebabkan daerah tersebut miskin. Dalam konteks penelitian ini faktor penyebab kemiskinan tersebut dapat diidentifikasi sebagai berikut :

• Produktivitas tenaga kerja rendah sebagai akibat rendahnya teknologi • Tidak meratanya distribusi kekayaan terutama tanah

• Rendahnya taraf pendidikan • Rendahnya taraf kesehatan • Terbatasnya lapangan kerja

• Rendahnya kualitas SDM dan rendahnya produktivitas

• Sarana dan prasarana termasuk kelembagaan yang kurang baik

2.2.3. Penanggulangan Kemiskinan

Dalam upaya penanggulangan kemiskinan, terlebih dahulu harus dipahami apa itu kemiskinan dan apa penyebab kemiskinan, selanjutnya penyebab kemiskinan tersebutlah yang diatasi. Dari berbagai referensi mengenai kemiskinan, cukup banyak konsep tentang kemiskinan tersebut, mulai dari sekadar ketakmampuan memenuhi kebutuhan konsumsi dasar dan memperbaiki keadaan, kurangnya kesempatan


(45)

berusaha, hingga pengertian yang lebih luas yang memasukkan aspek sosial dan moral.

Namun pada umumnya, ketika orang berbicara tentang kemiskinan, yang dimaksud adalah kemiskinan material yang dirasakan sangat kurang memadai karena tidak cukup untuk memahami realitas kemiskinan, dapat menjerumuskan ke kesimpulan yang salah bahwa menanggulangi kemiskinan cukup hanya dengan menyediakan bahan makanan yang memadai, dan tidak bermanfaat bagi pengambil keputusan ketika harus merumuskan kebijakan lintas sektor, bahkan bisa kontraproduktif.

Kemiskinan juga tidak bisa disamakan dengan kesejahteraan, karena tidak semua kemiskinan identik dengan ketidaksejahteraan. Demikian juga tingkat pendapatan yang tinggi, belum mencerminkan tingkat kesejahteraan yang tinggi, oleh karena itu, dalam mengukur tingkat kemiskinan mestinya dimasukkan variabel-variabel non keuangan (non financial variables), seperti kemudahan mendapatkan pendidikan yang murah, fasilitas kesehatan yang luas dan murah, kesempatan kerja yang tinggi, angka kematian balita dan ibu yang melahirkan, tingkat kemungkinan hidup, sistem perumahan dan sarana kesehatan umum, listrik dan lain lain.

Selain itu, kemiskinan juga tidak semata-mata merupakan kondisi kekurangan pangan dan kekurangan aset produktif, tetapi juga termasuk ketidaktenangan dan terbatasnya partisipasi dalam kegiatan kemasyarakatan. Persoalan kemiskinan juga menyangkut berbagai komponen termasuk ketidakberdayaan, keterisolasian, kemiskinan materi, kelemahan fisik, kerentanan, dan sikap/perilaku.


(46)

Adapun penyebab kemiskinan dapat dikelompokkan atas dua hal, yaitu (i) faktor alamiah: kondisi lingkungan yang miskin, ilmu pengetahuan yang tidak memadai, adanya bencana alam dan lain lain yang bermakna bahwa mereka miskin karena memang miskin, (ii) faktor non alamiah:akibat kesalahan kebijakan ekonomi, korupsi, kondisi politik yang tidak stabil, kesalahan pengelolaan sumber daya alam.

Jadi untuk mengentaskan masyarakat dari kemiskinan, langkah yang dilakukan tidak lain daripada mempertimbangkan kedua faktor tersebut, yaitu mengubah kondisi lingkungannya menjadi lebih baik, meningkatkan kualitas sumber daya manusianya, dan melakukan perbaikan terhadap sistem yang ada melalui pemberantasan korupsi dan menetapkan pengelola yang kompeten baik dari kemampuan, integritas, maupun moral.

Penanganan ini tentunya harus dilakukan secara menyeluruh dan kontekstual. Menyeluruh berarti menyangkut seluruh penyebab kemiskinan, sedangkan kontekstual mencakup faktor lingkungan si miskin. Beberapa di antaranya yang menjadi bagian dari penanggulangan kemiskinan tersebut yang perlu tetap ditindaklanjuti dan disempurnakan implementasinya adalah perluasan akses kredit pada masyarakat miskin, peningkatan pendidikan masyarakat, perluasan lapangan kerja dan pembudayaan entrepeneurship.


(47)

2.3. Rumah Tangga Miskin

Konsep kemiskinan terkait dengan kemampuan seseorang / rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan dasar baik untuk makanan maupun non-makanan. Seseorang / rumah tangga dikatakan miskin bila kehidupannya dalam kondisi serba kekurangan, sehingga tidak mampu memenuhi kebutukan dasarnya. Batas kebutuhan dasar minimal dinyatakan dengan ukuran garis kemiskinan yang disetarakan dengan jumlah rupiah yang dibutuhkan, yaitu :

1. Sangat Miskin :

1900 kalori/orang/hari + kebutuhan dasar nonmakanan

≈ Rp.120.000/orang/bulan. 2. Miskin :

antara 1900 - 2100 kalori/orang/hari + kebutuhan dasar nonmakanan

≈ Rp. 150.000/orang/bulan. 3. Hampir Miskin :

antara 2100 - 2300 kalori/orang/hari + kebutuhan dasar nonmakanan

≈ Rp. 175.000/orang/bulan.

Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) Rumah Tangga Miskin didefinisikan sebagai mereka yang mempunyai pengeluaran per kapita Rp175.000/orang/bulan atau kurang. Mereka diidentifikasi dengan menggunakan metode uji pendekatan kemampuan (proxy means testing*).

*Proxy means test atau uji pendekatan kemampuan adalah sebuah metode yang mengidentifikasi indikator rumah tangga yang berkorelasi dengan tingkat pendapatan yang dengan menggunakan cara perhitungan tertentu (algoritma formal) dapat mengetahui tingkat kesejahteraan rumah tangga.


(48)

Tabel 2.2.

Kriteria Rumah Tangga Miskin Menurut Badan Pusat Statistik

No. Variabel Kriteria Rumah Tangga Miskin

1. Luas lantai

bangunan tempat tinggal Kurang dari 8 m² per orang 2. Jenis lantai

bangunan tempat tinggal Tanah/bambu/kayu murahan 3. Jenis dinding

bangunan tempat tinggal Bambu/rumbia/kayu berkualitas rendah/tembok tanpa diplester 4. Fasilitas tempat

buang air besar Tidak punya/bersama-sama dengan rumah tangga lain 5. Sumber penerangan

rumah tangga Bukan listrik

6. Sumber air minum Sumur/mata air tidak terlindung/sungai/air hujan

7. Bahan bakar untuk

memasak sehari-hari Kayu bakar/arang/minyak tanah 8. Konsumsi daging/susu/ayam

per minggu Tidak pernah mengkonsumsi/hanya satu kali dalam seminggu 9.

Pembelian pakaian baru untuk setiap art

dalam setahun

Tidak pernah membeli/hanya membeli satu stel dalam setahun

10. Makanan dalam sehari

untuk setiap art Hanya satu kali makan/dua kali makan dalam sehari 11.

Kemampuan membayar untuk berobat ke Puskesmas/Poliklinik

Tidak mampu membayar untuk berobat

12. Lapangan pekerjaan utama kepala rumah tangga

Petani dengan luas lahan 0,5 ha/buruh tani, nelayan, buruh bangunan, buruh perkebunan, atau pekerjaan lainnya dengan

pendapatan di bawah Rp 600.000 perbulan 13. Pendidikan tertinggi

kepala keluarga Tidak sekolah/tidak tamat SD/hanya tamat SD 14. Pemilikan asset/tabungan

Tidak punya tabungan/barang yang mudah dijual dengan nilai minimal Rp 500.000, seperti sepeda motor (kredit/non kredit),


(49)

Ketentuan :

1. Rumahtangga yang layak mendapatkan BLT adalah rumahtangga yang memenuhi 9 atau lebih dari 14 ciri rumah tangga miskin.

2. Rumahtangga yang tidak layak mendapatkan BLT adalah:

a. Rumahtangga yang tidak memenuhi 9 atau lebih ciri rumahtangga miskin. b. PNS/TNI/Polri/Pensiunan/Purnawirawan/ Veteran.

c. Penduduk yang tidak bertempat tinggal tetap. d. Karyawan BUMN/ BUMD.

e. Rumah Tangga Penerima JADUP.

f. Ada anggota rumah tangga (art) yang memiliki asset kendaraan bermotor, banyak hewan ternak, sawah/kebun luas, kapal motor, handphone, atau barang berharga lainnya.


(50)

2.4. Program Bantuan Langsung Tunai (BLT)

Pemerintah menetapkan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) di dalam negeri pada 1 Oktober 2005. Kenaikan ini memperberat beban hidup masyarakat, terutama kelompok miskin. Untuk mengurangi beban tersebut, pemerintah mengeluarkan Instruksi Presiden No. 12/2005 tentang Pelaksanaan Bantuan Langsung Tunai kepada Rumah Tangga Miskin. Besarnya bantuan Rp100.000 per rumah tangga per bulan dan diberikan setiap tiga bulan.

Program pemberian Bantuan Langsung Tunai ini bertujuan untuk : 1) Melindungi keluarga miskin dari dampak langsung kenaikan BBM;

2) Mempertahankan kemampuan daya beli sumber energi keluarga miskin; dan 3) Menjaga stabilitas dan gejolak sosial masyarakat yang rentan terhadap pengaruh

psikologis. Wilayah Pendataan

Seluruh Satuan Lingkungan Setempat (SLS) yang ada di Indonesia. Mekanisme Pendataan di Lapangan

Proses penjaringan Rumahtangga Miskin (RTM) dilakukan dengan pencacahan dari rumah ke rumah (door to door) yang dilaksanakan oleh Petugas Pencacah Lapangan (PCL) dengan Petugas Pengawas Lapangan (PML) yang ditunjuk oleh BPS Kabupaten/Kota.

Yang tidak dicakup dalam Pendataan PSE 05 :


(51)

3. Tunawisma/ Gelandangan/ Mahasiswa yang kost Pengolahan Data

1. Data yang telah dikumpulkan di lapangan dilakukan pengecekan (diedit) untuk kemudian dikirimkan ke pusat pengolahan.

2. Ranking kemiskinan disusun berdasarkan nilai skor tertinggi hingga terendah menggunakan indeks komposit (nilai tertimbang) dari kombinasi masing-masing variabel kemiskinan.

3. Setelah seluruh proses tersebut diatas, hasilnya dikirimkan ke PT Pos Indonesia untuk dibuatkan Kartu Kompensasi BBM (KKB), PT Pos mengirimkan ke BPS Kab/Kota untuk selanjutnya dibagikan kepada tiap RTM setelah melalui proses pencocokan dan penelitian (coklit) atas kebenaran nama dan alamat serta layak atau tidaknya menerima KKB.

Distribusi Kartu Kompensasi BBM 1. Tujuan :

a. Memberikan tanda pengenal (KKB) kepada setiap RTM yang dapat digunakan untuk memperoleh Bantuan Langsung Tunai (BLT).

b. Memfasilitasi PT Pos Indonesia untuk dapat membayarkan BLT kepada RTM yang sesuai dengan hasil pendataan BPS.

c. Sebagai basis untuk pelaksanaan pemutakhiran (updating) data kemiskinan mendatang.


(52)

Penerima KKB adalah rumah tangga hasil pendataan yang memenuhi persyaratan setelah melalui tahapan pencocokan dan penelitian ulang dan verifikasi.

3. Organisasi Pelaksana :

Organisasi pelaksana pendistribusian KKB melibatkan instansi yang terkait dengan perencanaan dan pelaksanaan BLT sebagaimana yang diatur dalam Inpres No. 12 tahun 2005.

4. Tatakerja Distribusi Kartu Kompensasi BBM Sosialisasi ;

Penyebarluasan informasi mengenai kebijakan dan rencana program pemerintah yang terkait langsung dengan seluruh masyarakat khususnya kelompok sasaran dari program BLT sangat menentukan kelancaran pelaksanaan bantuan termasuk distribusi KKB kepada yang berhak.

Mekanisme Pendistribusian KKB ;

• Pertama : Penyiapan Daftar Nama Rumahtangga Miskin dan Pencetakan KKB • Kedua : Pengiriman KKB ke BPS Kabupaten/Kota

• Ketiga : Pencocokan dan Penelitian Ulang Penerima KKB • Keempat : Pendistribusian KKB


(53)

2.5. Gambaran Umum Wilayah Kelurahan Gedung Johor

Kelurahan Gedung Johor adalah salah satu dari 6 Kelurahan yang berada di wilayah Kecamatan Medan Johor, dengan luas areal lebih kurang ± 315 Ha.

Terdiri atas 13 lingkungan dengan batas-batas wilayah sebagai berikut :

• Sebelah Utara berbatas dengan Kelurahan Pangkalan Masyhur

Kecamatan Medan Johor.

• Sebelah Selatan berbatas dengan Desa Namo Rambe Kecamatan Deli Tua Kabupaten Deli Serdang.

• Sebelah Timur berbatas dengan Sungai Deli. • Sebelah Barat berbatas dengan Sungai Babura.


(54)

Masalah kependudukan merupakan isu umum yang terdapat dalam suatu daerah atau wilayah. Walaupun penduduk merupakan salah satu modal dasar pembangunan, namun bila tidak diimbangi dengan kemampuan dan keterampilan yang memadai, maka akan menimbulkan kendala dalam proses pembangunan itu sendiri.

Penduduk Kelurahan Gedung Johor terdiri dari jenis kelamin laki-laki dan perempuan baik anak-anak maupun orang dewasa. Hal ini dapat dilihat pada tabel berikut ini :

Tabel 2.3.

Komposisi Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin

Sumber : Profil Kelurahan Gedung Johor 2007

No. Jenis Kelamin Jumlah (Jiwa) Persentase

1. Laki-laki 9.756 43,48%

2. Perempuan 12.681 56,52%


(55)

Pendidikan merupakan sarana untuk mengembangkan kemampuan dan kepribadian, baik secara formal, non formal maupun informal. Dengan pendidikan yang dimiliki diharapkan seseorang dapat menunjang kehidupannya dikemudian hari secara mandiri, sehingga tidak menjadi beban bagi orang lain.

Kelurahan Gedung Johor yang memiliki jumlah penduduk sekitar 22.437 jiwa dapat dilihat pada tabel berdasarkan tingkat pendidikan berikut ini :

Tabel 2.4.

Komposisi Penduduk Berdasarkan Pendidikan

No. Tingkat Pendidikan Jumlah (Jiwa) Persentase

1. Tidak Sekolah 2.987 13,31%

2. Tidak/Belum Tmt SD 5.453 24,30%

3. SD 4.071 18,14%

4. SLTP 3.361 14,98%

5. SLTA 2.551 11,37%

6. Akademi 1.748 7,79%

7. S-1 1.867 8,32%

8. S-2 357 1,59%

9. S-3 42 0,19%

Total 22.437 100,00% Sumber : Profil Kelurahan Gedung Johor 2007


(56)

Mata pencaharian adalah sumber utama dalam menunjang kebutuhan hidup sehari-hari. Untuk melihat mata pencaharian penduduk di kelurahan Gedung Johor dapat dilihat pada tabel sebagai berikut :

Tabel 2.5

Komposisi Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian

No. Mata Pencaharian Jumlah (Jiwa) Persentase

1. PNS/TNI/POLRI 1.272 5,67%

2. Pegawai

Swasta/Karyawan/Buruh

4.386 19,54%

3. Wiraswasta 2.853 12,72 %

4. Lain-lain 2.194 9,78%

5. Tidak/Belum Bekerja 11.732 52,29%

Total 22.437 100,00%


(57)

Berdasarkan hasil Pendataan Sosial Ekonomi Penduduk 2005 (PSE05) keluarga/rumah tangga penerima BLT di Kelurahan Gedung Johor berjumlah 426 rumah tangga.

Tabel 2.6

Data Jumlah Penerima Bantuan Langsung Tunai (BLT) per Lingkungan di Kelurahan Gedung Johor

No Lingkungan Jumlah

Jiwa

Jumlah KK

Jumlah Penerima BLT

1 I 1842 342 21

2 II 1437 284 34

3 III 1563 321 28

4 IV 2158 437 53

5 V 1931 346 42

6 VI 2472 513 57

7 VII 1534 387 33

8 VIII 2348 412 46

9 IX 1452 328 -

10 X 1394 295 1

11 XI 1326 286 47

12 XII 1274 283 26

13 XIII 1706 349 38

TOTAL 22437 4613 426


(58)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif, yaitu menggambarkan realitas tentang masyarakat yang menerima program pemerintah berupa bantuan langsung tunai dengan berdasarkan data dan fakta yang ada di lapangan.

3.2. Definisi Operasional

Menurut Stanfort Laboltitz dan Robert Hagerdon, defenisi operasional adalah perincian dari prosedur-prosedur yang dapat diobservasi, yang digunakan untuk mendefenisikan apa yang dimaksud (Laboltitz, 1984 :33). Dari pengertian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa defenisi operasional adalah penjabaran lebih lanjut dari konsep-konsep yang telah dikelompokkan menjadi variabel.

Berangkat dari pemahaman di atas maka yang menjadi defenisi operasional dalam penelitian ini yaitu :

”Evaluasi adalah penilaian kebenaran dan keberhasilan mengenai suatu program, yang terdiri dari kegiatan pemilahan objek, cara pengukuran dan metode analisa yang dapat menyumbangkan pengertian yang besar nilainya dan membantu


(59)

Selanjutnya indikator yang digunakan dalam evaluasi adalah :

1. Efektifitas yaitu apakah hasil yang diinginkan telah tercapai sesuai dengan rencana yang telah ditentukan sebelumnya.

2. Efesiensi yaitu apakah tujuan yang dicapai dalam pelaksanaan program tersebut menggunakan sumber daya secara optimal.

3. Kecukupan yaitu apakah hasil yang dicapai telah memenuhi kebutuhan, preferensi atau nilai kelompok-kelompok tertentu.

4. Perataan yaitu apakah hasil atau manfaat program telah dirasakan dan didistribusikan secara merata.

5. Responsivitas yaitu seberapa jauh hasil yang dicapai dan yang diinginkan dapat memecahkan permasalahan.

6. Ketepatan yaitu apakah hasil atau tujuan yang diinginkan dalam pelaksanaan program benar-benar bermakna atau bernilai.


(60)

3.3. Populasi dan Sampel 3.3.1. Populasi

Populasi adalah keseluruhan objek yang terdiri dari manusia, benda, hewan, dan tumbuh-tumbuhan, gejala, nilai atau peristiwa sebagai sumber data yang memiliki karakter tertentu dalam suatu peneltian (Nawawi, 1995 : 141).

Berdasarkan pendapat tersebut maka yang menjadi populasi dalam penelitian ini adalah keseluruhan objek yang terkait dengan Program Bantuan Langsung Tunai di Kelurahan Gedung Johor Kecamatan Medan Johor Kota Medan.

3.3.2. Sampel

Menurut Suharsimi Arikunto, sampel adalah wakil dari populasi yang dianggap representatif atau memenuhi syarat untuk menggambarkan keselururahan dari populasi yang diwakilinya. Untuk sekedar ancer-ancer maka apabila subjeknya kurang dari 100, lebih baik sampel diambil semua sehingga penelitian merupakan penelitian populasi. Selanjutnya jika jumlah subjeknya besar dapat diambil antara 10-15% atau 20-25% (Arikunto, 1992 : 107).

Berdasarkan defenisi di atas, maka peneliti menetapkan sampel dalam penelitian ini yaitu Kepala Keluarga penerima BLT (10% x 426 orang = 42,6 orang), dibulatkan menjadi 43 orang.


(61)

3.4. Teknik Pengumpulan Data 3.4.1. Studi Kepustakaan

Teknik ini digunakan untuk mengumpulkan data berdasarkan naskah-naskah yang sudah diterbitkan berupa buku, surat kabar, arsip-arsip dan majalah.

3.4.2. Studi Lapangan

Pengumpulan data yang di peroleh melalui kegiatan penelitian langsung turun ke lapangan melalui teknik :

1. Wawancara, yaitu mengumpulkan data dengan mengajukan pertanyaan secara tatap muka yang bertujuan untuk melengkapi data yang diperoleh. Adapun informan dalam penelitian ini adalah :

a. Tokoh Masyarakat sebanyak 4 orang.

b. Aparat Kelurahan/Kecamatan sebanyak 4 orang.

c. Kepala Lingkungan sebanyak 13 orang.

d. Mantri Statistik Medan Johor (BPS) sebanyak 1 orang.

e. Petugas Pencacah Lapangan sebanyak 2 orang.

f. Kepala Keluarga bukan penerima BLT sebanyak 4 orang.

2. Kuesioner, yaitu dimaksudkan untuk mendapat informasi tambahan dan data yang relavan dari informasi yang telah penulis dapatkan dari wawancara, hal ini dilakukan melalui daftar pertanyaan yang diajukan.


(62)

3.5. Teknik Analisa Data

Dalam penelitian ini, teknik analisa data yang dipergunakan adalah teknik analisa deskriptif, yaitu metode analisa yang dilakukan dengan mengumpulkan, mengolah, menyajikan dan menginterpretasikan data sehingga diperoleh gambaran yang jelas mengenai masalah yang diteliti, kemudian data tersebut diberi komentar sesuai dengan data, fakta dan informasi yang telah dikumpulkan melalui pemahaman intelektual dan pengalaman empiris penulis.

Analisa tabel tunggal merupakan suatu analisa yang dilakukan dengan membagi variabel penelitian kedalam sejumlah frekuensi dan persentase untuk setiap kategori (Singarimbun, 1989 : 267). Dengan meggunakan langkah-langkah sebagai berikut :

1. Data hasil wawancara dipilih (editing), karena data yang diperoleh dari lapangan sifatnya sangat luas dan tidak semua data tersebut dapat mendukung tujuan penelitian.

2. Data hasil kuisioner dikelompokkan, disusun dan masukkan ke dalam tabel distribusi frekuensi sesuai dengan kategori masing-masing.


(63)

3.6. Lokasi dan Waktu Penelitian 3.6.1. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kelurahan Gedung Johor Kecamatan Medan Johor Kota Medan Propinsi Sumatera Utara. Wilayah ini dianggap tepat untuk melaksanakan penelitian karena jumlah penerima BLT di wilayah tersebut cukup banyak yaitu 426 Rumah Tangga Miskin dengan komposisi yang hampir merata di setiap Lingkungan. Di samping itu karakteristik wilayah Kelurahan Gedung Johor adalah wilayah pinggiran Kota Medan dengan penduduk yang heterogen.

3.6.2. Waktu Penelitian

Penelitiian ini dilaksanakan dalam waktu 3 bulan yaitu dari tanggal 1 Maret 2007 s/d 31 Mei 2007.


(64)

BAB IV PEMBAHASAN

4.1. PELAKSANAAN BANTUAN LANGSUNG TUNAI 4.1.1. Organisasi Pelaksana

Program BLT untuk keluarga/rumah tangga miskin ini dilaksanakan berdasarkan Inpres Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pelaksanaan Bantuan Langsung Tunai kepada Rumah Tangga Miskin. Hasil Rapat Koordinasi Menko Kesra tanggal 16 September 2005 menegaskan kembali peran masing-masing lembaga serta melakukan pengecekan kesiapan pelaksanaan BLT. Beberapa hal penting yang dihasilkan rakor ini adalah:

1. Pencetakan kartu untuk rumah tangga miskin penerima atau KKB diserahkan kepada PT Pos Indonesia.

2. Selain sebagai kuasa penggunaan anggaran, Departemen Sosial, ditugasi untuk membuat peraturan pelaksanaan program (pedoman dan petunjuk teknis).

3. Penyaluran dana BLT kepada target penerima dilakukan oleh PT Pos Indonesia. 4. Sosialisasi dilakukan lewat dialog interaktif di TVRI dan RRI, serta artikel dari

pakar di surat kabar nasional dan pengumpulan opini publik.

5. Sosialisasi di daerah dilakukan oleh masing-masing gubernur, bupati/walikota. 6. Depdagri melakukan pengawasan dan penanganan pengaduan masyarakat.


(65)

adanya petunjuk pelaksanaan (juklak) program secara menyeluruh yang seharusnya menjadi acuan bagi semua instansi pelaksana. Acuan yang tersedia hanya berupa petunjuk parsial seperti Petunjuk Pelaksanaan Pendataan Rumah Tangga Miskin 2005 dan Petunjuk Pendistribusian Kartu Kompensasi BBM 2005 yang persebarannya hanya di kalangan terbatas, terutama untuk kebutuhan internal BPS.

Akibatnya, tidak ada keseragaman pemahaman antar pihak yang terkait dengan pelaksanaan program. Depsos adalah penanggung jawab program tetapi tidak terlibat langsung dalam pelaksanaan di lapangan. Selain itu, dinas sosial yang secara fungsional terkait dengan Depsos tidak ikut menjadi pelaksana/penanggungjawab program. BPS merupakan instansi yang paling berperan dan bertanggung jawab terhadap pendataan, penentuan target, dan pendistribusian KKB. Sementara itu, PT Pos Indonesia menjadi instansi yang membayarkan uang bantuan kepada rumah tangga penerima.

Berdasarkan UU No. 16 Tahun 1997 tentang statistik, BPS tidak diizinkan mempublikasikan identitas responden. Sebagai konsekuensinya, daftar nama calon penerima BLT dan informasi tentang hasil pendataan tidak dapat disebarluaskan kepada publik, termasuk kepada aparat Kelurahan dan Kecamatan. Hal ini merupakan permasalahan tersendiri mengingat berbagai program pemerintah yang ditujukan untuk rakyat selalu memerlukan bantuan Pemda.

Berdasarkan pengalaman, jika muncul persoalan, maka aparat aparat Kelurahan selalu diminta, bahkan dianggap sebagai pihak yang bertanggung jawab untuk mengatasinya. Di samping itu, kekurangtransparanan proses penetapan


(66)

penerima BLT ini tidak searah dengan prinsip demokrasi. Sebenarnya persoalan ini sudah diberi ruang oleh Inpres No. 12/2005 dengan menyatakan bahwa BPS diinstruksikan untuk “memberikan akses data rumah tangga miskin kepada instansi pemerintah lain yang melakukan kegiatan kesejahteraan sosial.”

Persoalan lain adalah hasil Rakor Bidang Kesra (16 September 2005) yang kurang tepat dalam menafsirkan tugas Depdagri. Menurut Inpres No. 12/2005 tugas Depdagri adalah bersama Pemda mengkoordinasikan pelaksanaan dan pengawasan Program BLT. Namun, rakor mengubahnya menjadi pengawasan dan penanganan pengaduan.

Aparat Kelurahan dan Kecamatan pada awalnya tidak dilibatkan secara resmi dalam pelaksanaan program. Namun, ketika hasil pendataan rumah tangga miskin menimbulkan keresahan sosial politik di berbagai daerah, barulah pemerintah pusat secara serius meminta Pemda melakukan langkah-langkah “pengamanan”, antara lain melalui instruksi pembentukan tim pengawasan.

4.1.2. Sosialisasi Program BLT

Sosialisasi merupakan tahapan penting dalam pelaksanaan program pembangunan yang ditujukan kepada rakyat banyak, termasuk program penanggulangan kemiskinan. Tanpa sosialisasi yang baik dan menyeluruh, besar kemungkinan timbul masalah dalam pelaksanaan program seperti salah sasaran dan kecemburuan sosial yang dapat memicu ketegangan sosial.


(67)

Sosialisasi Program BLT secara formal dan menyeluruh untuk pihak terkait di luar lembaga pelaksana bisa dikatakan tidak ada. Sangat terbatasnya kegiatan sosialisasi untuk pihak terkait ini diperparah dengan tidak adanya pedoman umum yang menjelaskan program secara menyeluruh. Akibatnya, pihak Kecamatan, Kelurahan dan Kepala Lingkungan, yang dinilai masyarakat terkait atau bertanggung jawab terhadap program, tidak mempunyai pegangan baku dalam memberikan penjelasan kepada masyarakat yang bertanya atau mengadu.

Temuan di lapangan menunjukkan bahwa sosialisasi di tingkat masyarakat juga sangat kurang. Meskipun di berbagai media massa terdapat pemberitaan terkait dengan program, tetapi hanya berupa informasi rencana kompensasi subsidi BBM dan penjelasan lain yang bersifat umum. Masyarakat pun banyak yang tidak mengetahui bahwa di lingkungannya pernah ada pendataan yang dilakukan oleh petugas pencacah BPS untuk menentukan keluarga miskin yang berhak menerima BLT.

Pada umumnya, masyarakat baru mengetahui keberadaan program pada saat pembagian KKB atau setelah ada tetangga yang mencairkan dananya. Sementara itu, umumnya penerima BLT memperoleh informasi langsung dari petugas BPS pada saat pembagian KKB. Pada kesempatan tersebut mereka diberitahu tentang adanya program, jumlah uang yang akan diterima, tempat dan waktu pengambilan, serta pesan untuk menjaga KKB supaya tidak hilang atau rusak karena kartu tersebut tidak dapat diganti.


(68)

Sosialisasi atau pemberitahuan nama-nama penerima BLT tidak ada diberikan. Alasannya, daftar nama penerima masih mungkin berubah dan untuk menghindari munculnya keresahan masyarakat. Di samping itu, BPS juga dibatasi UU No. 16 Tahun 1997 yang melarang publikasi identitas responden. Meskipun demikian, pada akhirnya para Kepala Lingkungan dan sebagian masyarakat mengetahui siapa saja yang mendapat BLT di lingkungannya pada saat pembagian KKB dan melalui cerita dari mulut ke mulut.

Berdasarkan Inpres No.12/2005, pihak yang bertanggung jawab melakukan sosialisasi adalah Departemen Komunikasi dan Informasi. Sosialisasi tersebut utamanya dilakukan melalui media massa berupa dialog interaktif di TVRI dan RRI, artikel yang ditulis pakar di surat kabar nasional tentang pengelolaan subsidi BBM, dan pengumpulan opini publik terhadap pelaksanaan program. Sosialisasi yang dilakukan melalui media cetak dan elektronik tersebut menurut pengamatan berlangsung selama 1,5 bulan sejak Inpres tersebut ditetapkan.

Namun, pada kenyataannya hanya sebagian kecil masyarakat yang mengetahui keberadaan program dari media-media di atas. Informasi yang mereka terima pun sangat minim. Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa secara umum proses sosialisasi dengan menggunakan sarana di atas tidak efektif karena akses masyarakat(miskin) terhadap sumber-sumber informasi tersebut terbatas.

Kelemahan petunjuk pelaksanaan merupakan hal yang krusial. Aparat Kecamatan, Kelurahan sampai Kepala Lingkungan mengeluhkan kurangnya


(69)

keluarga/rumah tangga miskin yang berhak menerima BLT. Akibatnya mereka tidak memahami 14 indikator kemiskinan yang digunakan oleh BPS. Oleh karenanya, mereka kesulitan menjelaskan kepada masyarakat mengapa satu keluarga/rumah tangga mendapatkan BLT sedangkan yang lain tidak. Untungnya, sebagian besar warga masyarakat dapat memahami dan tidak melakukan protes dengan menggunakan kekerasan.

Keluhan tentang sosialisasi, bukan hanya datang dari aparat, namun juga dari masyarakat yang tidak pernah menerima sosialisasi, terutama mengenai kriteria penerima BLT dan informasi lain yang berkaitan dengan pelaksanaan program. Akibatnya, muncul kesimpangsiuran informasi dan perbedaan pemahaman atas pelaksanaan program, misalnya :

1. Kekurangjelasan status kependudukan warga penerima BLT. Tidak dipersyaratkan untuk memiliki KTP/KK, akibatnya banyak warga yang yang tidak memiliki identitas dan hidup berpidah-pindah ikut terdata.

2. Kekurangjelasan periode pencairan dana yang menyebabkan penumpukan orang dan antrian panjang pada saat pencairan dana hari pertama.

3. Ketidakjelasan tentang bisa tidaknya pengambilan dana di kantor pos diwakilkan kepada orang lain.


(70)

4.1.3. Pendataan Rumah Tangga Miskin (RTM)

Pendataan keluarga/rumah tangga untuk kepentingan BLT dikenal dengan nama Pendataan Sosial Ekonomi Penduduk 2005 (PSE05). Pendataan mikro untuk menjaring keluarga/rumah tangga miskin secara nasional ini dilakukan oleh BPS. Karena keterbatasan waktu dan personel, dalam pelaksanaan pendataan tersebut, Petugas BPS (disebut Mantis*) dibantu oleh mitra kerja lapangan, yang selanjutnya disebut Petugas Pencacah Lapangan. Pencacah yang direkrut BPS berasal dari berbagai latar belakang yaitu Kader PKK, anggota Karang Taruna, LSM serta mitra lain yang biasa dipekerjakan oleh BPS untuk kegiatan pendataan sebelumnya.

Menurut ketentuan dalam pedoman pelaksanaan pendataan, pencacahan dilakukan selama 1 bulan, yaitu sejak 15 Agustus hingga 15 September 2005. Sebelum melakukan tugasnya, pencacah mendapat pelatihan selama satu hari mengenai cara pengisian dokumen-dokumen PSE05.RT serta pemahaman konsep-konsep baku yang digunakan dalam pendataan tersebut. Pelatihan dilaksanakan di tingkat Kecamatan dengan instruktur dari BPS. Dalam pelatihan tersebut, pencacah dibekali buku pedoman pelaksanaan pendataan rumah tangga miskin.

Proses pendataan terdiri dari beberapa tahap. Tahap pertama, pencacah meminta kepada Kepala Lingkungan untuk mengisi Listing Sensus (LS) yaitu daftar keluarga/rumah tangga yang diduga miskin di seluruh lingkungannya. Dalam pembuatan daftar LS, unsur subyektivitas, yang umumnya disebabkan keberagaman persepsi tentang kriteria kemiskinan dan batasan target sangat mungkin terjadi.


(71)

kriteria umum kepada Kepling bahwa yang didaftar adalah mereka yang mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari (pangan, kesehatan, dan pendidikan).

*Mantis adalah singkatan dari Mantri Statistik yaitu Petugas BPS yang berada di tingkat Kecamatan

Dalam praktik, kriteria miskin yang banyak digunakan para Kepling antara lain status nikah (janda), usia (lanjut usia), jenis pekerjaan (informal atau buruh kasar), tingkat pendapatan, dan status atau kondisi rumahnya. Selain itu, kurang tegasnya unit terkecil, yaitu keluarga atau rumah tangga yang digunakan dalam pendataan ini menambah keberagaman pelaksanaan pendataan. Di samping itu, ada dijumpai kecenderungan memasukkan kerabat atau orang-orang yang dekat dengan pembuat daftar.

Keberagaman persepsi mengenai kemiskinan juga berakibat pada bervariasinya jumlah keluarga/rumah tangga miskin yang diajukan masing-masing Kepling. Terdapat Kepling yang hanya mengajukan keluarga/rumah tangga yang benar-benar miskin, sehingga jumlahnya relatif sedikit, sebaliknya ada Kepling yang mengajukan hampir seluruh keluarga/rumah tangga yang ada kecuali pendatang, pegawai negeri, atau keluarga kaya.

Selanjutnya, dari daftar LS yang telah dibuat, pencacah melakukan pengamatan kasat mata dari rumah ke rumah untuk menandai layak tidaknya keluarga/rumah tangga yang ada dalam daftar tersebut untuk diajukan sebagai keluarga/rumah tangga miskin. Selain itu, jika dalam pengamatan tersebut masih


(1)

Kelima ; dari segi Responsivitas, pemberian BLT bagi rumah tangga miskin sesungguhnya tidak memecahkan akar permasalahan kemiskinan. Walau pemerintah memberi subsidi dan membagi-bagi uang kepada rakyat miskin setiap bulannya kalau kebutuhan dasar masyarakat sulit dijangkau tentu program ini bukan kebijakan optimal.

Keenam ; segi Ketepatan, pemberian BLT memang disambut dengan penuh suka cita oleh keluarga miskin karena diharapkan untuk membantu perekonomian keluarga dan dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan.

Secara Umum Program Bantuan Langsung Tunai (BLT) terkesan sebagai program “dadakan” yang hanya mengejar target waktu untuk meredam gejolak sosial akibat kenaikan harga BBM.

5.2. Saran

Adanya berbagai kendala di lapangan akibat sifat Program BLT yang “dadakan”, menunjukkan bahwa perencanaan dan desain yang baik adalah faktor penting dalam setiap upaya penanggulangan kemiskinan. Pengembangan mekanisme pelaksanaan yang baik dan melibatkan potensi lokal merupakan salah satu aspek yang perlu tercakup dalam sebuah rencana kegiatan karena dapat menjadi sarana umpan balik bagi perbaikan program selanjutnya.

Jika pemerintah akan melakukan pergantian program ini ke program lain, maka sudah selayaknya kita dukung bersama, dengan catatan adanya perbaikan menyeluruh mulai dari mekanisme bantuan sampai pada organisasi yang


(2)

menyalurkan bantuan kepada mereka yang benar-benar berhak menerima dan perlu adanya audit terhadap mekanisme dan organisasi yang menyalurkan bantuan tersebut.

Ada pepatah lama berkata : jika ingin membantu seseorang, berikanlah kailnya jangan ikannya. Karena jika ikan yang diberi akan habis dalam waktu cepat, namun jika kail yang diberi akan dapat menghasilkan ikan untuk jangka yang lebih lama atau lebih banyak, asal kailnya betul-betul dapat digunakan dengan baik dan benar. Berikut ini adalah masukan beberapa alternatif program yang dapat diaplikasikan oleh pemerintah :

1. Program Proyek Sistem Padat Karya;

Program ini bukan bantuan tunai langsung, tapi merupakan program pengadaan pekerjaan bagi mereka yang belum bekerja dan dengan latar belakang pendidikan yang relatif rendah. Pemerintah dapat membuat suatu proyek atau kegiatan atau pekerjaan yang pekerjanya adalah mereka-mereka yang tidak mampu secara ekonomi dan tidak memiliki pekerjaan tetap namun memiliki usia produktif. 2. Program Pendidikan Non-formal;

Program ini adalah memberikan pendidikan kepada masyarakat kurang mampu atau tidak memiliki pekerjaan tetap dalam bentuk keahlian-keahlian atau keterampilan khusus yang disesuaikan dengan kondisi setempat.

Pemerintah dapat mendirikan sekolah/lembaga khusus yang menampung dan mendidik anak-anak putus sekolah atau anak-anak yang tidak sekolah karena alasan ekonomi dari golongan masyarakat ekonomi lemah.


(3)

Pemerintah dapat mendirikan unit-unit usaha untuk menampung masyarakat dari golongan ekonomi lemah, dimana pekerjanya berasal dari golongan masyarakat tersebut.

Di waktu yang akan datang, “program dadakan” yang dirancang instan untuk mengurangi dampak dari kebijakan lainnya sepatutnya sudah tidak diimplementasikan lagi. Belajar dari kedaruratan Program BLT, maka pemerintah tidak perlu menunggu dulu persoalan menjadi genting, baru mengeksekusi “kebijakan dadakan”.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Rineka Cipta, Jakarta, 1992

Anwar, Affandi. 1992. Memahami Sistem Pasar Keuangan di Pedesaan. Makalah. Unpad. Bandung

--- Et. Al. 1991. Membangun Kekuatan Pasar Sistem Pertanian Berkelanjutan Dalam Rangka Meningkatkan Bangsa. Makalah. IPB. Bogor

Arikunto, Suharsimi. 1991. Penelitian Sosial Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta : Bina Aksara

Badan Pusat Statistik (2005) Pelaksanaan Pendataan Rumahtangga Miskin 2005, Jakarta

Badan Pusat Statistik (2005) Petunjuk Pendistribusian Kartu Kompensasi BBM 2005, Jakarta

Chambers, Robert. 1991. Pembangunan Desa Mulai Dari Belakang. Jakarta : LP3ES Djoyohadikusumo, Sumitro. 1994. Perkembangan Pemikiran Ekonomi Dasar Teori

Ekonomi Pertumbuhan dan Ekonomi Pembangunan. Jakarta : Gramedia Gertz, Clifford. 1983. Involusi Pertanian Proses Ekologi di Indonesia. Jakarta : Brata

Karya Aksara

Hagul, Peter. 1986. Pembangunan Desa dan Lembaga Swadaya Masyarakat. Yogyakarta: yayasan Dian Desa

Hanafiah. 1989. Strategi Pembangunan Wilayah Pedesaan Kerangka Pemikiran Bagi Pembangunan Desa terpadu. Bogor: Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian IPB Bogor

Hasibuan, Nurimansyah. 1999. Pemerataan dan Pembangunan Ekonomi, Teori dan Kebijaksanaan. Palembang : Universitas Sriwijaya


(5)

Hayami dan Peter. 1986. Agriculture Development and International Perspective. London: John Hopkins Press

Koentjaraningrat. 1990. Kebudayaan Mentalitas Pembangunan. Jakarta : PT. Gramedia

Korten, David C. 1984. Pembangunan Yang Berwawaan Kemanusiaan. Jakarta : Yayasan Obor

Lim, Jack, Editorial. 1989. World Executive’s Digest. Hongkong

Mardimin, Johannes. 2000. Dimensi Kritis Proses Pembangunan di Indonesia. Yogyakarta : Kanisius

Moleong, Lexy J. 1999. Metodologi Penelitian Kualitatif, Cetakan Kesepuluh. Bandung : Remaja Rosda Karya

Nawawi, Hadari, Metode Penelitian Bidang Sosial, UGM Press, Yogyakarta, 1995. Ndraha, Talizidulu. 1997, Pedoman Penyusunan Tesis. Jakarta : Institut Ilmu

Pemerintahan,

___________, 1977, Metodologi Ilmu Pemerintahan. Jakarta : Rineka Cipta

Nataatmaja, Hidayat. 1991. Mencari Akar dan Sumber Kemiskinan. Makalah. IPB. Bogor

Nawawi, Hadari. 1991. Penelitian Bidang Ilmu Sosial. Yogyakarta; Gajah Mada University Press.

Penny, D.H. 1990. Kemiskinan Peranan Sistem Pasar. Ed. (Mubyarto). Jakarta : UI Press

Rahayu, Sri Kusumastuti et al (2001) ‘Pelaksanaan Reorientasi Kebijakan Subsidi

BBM di Kab. Jember, Jatim, Kab. Kapuas, Kalteng, Kab. Barito Kuala, Kalsel.’ Lembaga Penelitian SMERU, Jakarta

Riggs, F.W. 1967. Bureaucrats and Political Development: A Paradoxical View, La Paromba, Paris

Sajogyo. 1991. Kemiskinan dan Pembangunan di Nusa Tenggara Timur. Bogor: PSP IPB


(6)

Sarman, Mukhtar dan Sajogyo. 2000. Masalah Penanggulangan Kemiskinan. Jakarta: Puspa Swara

Satari, G dan Kedi Suradisastra. 1994. Upaya Pendidikan dalam Pengentasan Kemiskinan di Desa Tertinggal. Makalah IKIP Bandung.

Schoorl, JW. 1984. Modernisasi. Jakarta : Gramedia

Simanjuntak, Payaman. 1992. Sumberdaya Manusia Kesempatan Kerja dan Pembangunan Ekonomi.Jakarta: Lembaga

Soemardjan, Selo, dkk. 1984. Kemiskinan Struktural. Jakarta : PT. Sanghala Pulsar. Stevenhagen, Rodolfo. 1977. Proverty at El Salvador. Cambridge : Harvard

University Press

Sumarto, Sudarno dan Asep Suryahadi (2001) ‘Subsidi Pemerintah dan Konsumsi Minyak Tanah oleh Rumah Tangga di Indonesia.’ Newsletter SMERU No. 2 Tahun 2001, Lembaga Penelitian SMERU, Jakarta

Sumarto, Sudarno (2005) ‘Program Dana Tunai untuk Penduduk Miskin: Belajar dari Program Progresa/Oportunidades di Mexico.’ Lembaga Penelitian SMERU, Jakarta

Supriatna, Tjahya. 2000. Birokrasi, Pemberdayaan dan Pengentasan Kemiskinan. Bandung : Humanoira Utama Press.

Suyanto, Bagong. 1995. Perangkap Kemiskinan, Problem dan strategi Pengentasannya. Surabaya : Airlangga University Press.

Todaro, Michael P. 1993. Economic Development in the Third World. Terjemahan Burhanuddin Abdullah “Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga”. Jakarta: Erlangga

Wolf, Eric R. 1989. Petani Sebuah Tinjauan Antropologis. Jakarta : Rajawali Press Valentine, Ch. A. 1970. Culture and Poverty, Critique dan Counter Proposal (1968).

Chicago : The University of Chicago Press

Tullis, la Mond. 1969. Lord and Peasant in Peru. A Paradigma og Political and Sosial Change. Cambridge : Harvard University Press