Pengaruh Motivasi Kerja, Kepemimpinan dan Budaya Organisasi Terhadap Kinerja Perawat dengan Kepuasan Kerja sebagai Variabel Intervening : Studi pada Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Landasan Teori

2.1.1. Kinerja

  Setiap manusia mempunyai potensi untuk bertindak dalam berbagai bentuk aktivitas. Kemampuan bertindak itu dapat diperoleh manusia baik secara alami (ada sejak lahir) atau dipelajari. Walaupun manusia mempunyai potensi untuk berperilaku tertentu tetapi perilaku itu hanya diaktualisasi pada saat-saat tertentu saja. Potensi untuk berperilaku tertentu itu disebut ability (kemampuan), sedangkan ekspresi dari potensi ini dikenal sebagai performance (kinerja).

  Hasibuan (2005) mengemukakan bahwa kinerja adalah suatu hasil kerja yang dicapai seseorang dalam melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya yang didasarkan atas kecakapan, pengalaman dan kesungguhan serta waktu. Dengan kata lain bahwa kinerja adalah hasil kerja yang dicapai oleh seseorang dalam melaksanakan tugas yang diberikan kepadanya sesuai dengan kriteria yang ditetapkan. Selanjutnya As.ad (2004) mengemukakan bahwa kinerja seseorang merupakan ukuran sejauh mana keberhasilan seseorang dalam melakukan tugas pekerjaannya.

  Ada 3 (tiga) faktor utama yang berpengaruh pada kinerja yaitu individu (kemampuan bekerja), usaha kerja (keinginan untuk bekerja), dan dukungan organisasional (kesempatan untuk bekerja). Thoyib (2005: 10) mengemukakan bahwa kinerja sering disebut dengan performance atau result yang diartikan dengan apa yang telah dihasilkan oleh individu pegawai. Kinerja dipengaruhi oleh

  15 kinerja organisasi (organizational performance) itu sendiri yang meliputi pengembangan organisasi (organizational development), rencana kompensasi (compensation plan), sistem komunikasi (communication system), gaya manajerial (managerial style), struktur organisasi (organization structure), kebijakan dan prosedur (policies and procedures). Robbins (2003) mengemukakan bahwa istilah lain dari kinerja adalah human output yang dapat diukur dari produktivitas, absensi, turnover, citizenship, dan satisfaction.

  Baron dan Greenberg (1990) mengemukakan bahwa kinerja pada individu juga disebut dengan job performance, work outcomes, task performance.

  Brahmasari (2004: 64) mengemukakan bahwa kinerja adalah pencapaian atas tujuan organisasi yang dapat berbentuk output kuantitatif maupun kualitatif, kreativitas, fleksibilitas, dapat diandalkan, atau hal-hal lain yang diinginkan oleh organisasi. Penekanan kinerja dapat bersifat jangka pendek maupun jangka panjang, juga dapat pada tingkatan individu, kelompok ataupun organisasi. Manajemen kinerja merupakan suatu proses yang dirancang untuk menghubungkan tujuan organisasi dengan tujuan individu, sehingga kedua tujuan tersebut bertemu. Kinerja juga dapat merupakan tindakan atau pelaksanaan tugas yang telah diselesaikan oleh seseorang dalam kurun waktu tertentu dan dapat diukur. Tika (2006: 121) mengemukakan bahwa ada 4 (empat) unsur yang terdapat dalam kinerja adalah hasil-hasil fungsi pekerjaan, faktor-faktor yang berpengaruh terhadap prestasi pegawai, pencapaian tujuan organisasi, dan periode waktu tertentu.

  Dalam menilai kualitas pelayanan keperawatan kepada klien, digunakan standar praktik keperawatan yang merupakan pedoman bagi perawat dalam melaksanakan asuhan keperawatan. Standar praktik keperawatan telah dijabarkan oleh Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) (2000) yang mengacu dalam tahapan proses keperawatan, yang meliputi: pengkajian, diagnosis keperawatan, perencanaan, implementasi dan evaluasi.

  Standar I: Pengkajian yaitu perawat mengumpulkan data tentang status kesehatan klien secara sistematis, menyeluruh, akurat, singkat dan berkesinambungan. Standar II: Diagnosis keperawatan yaitu perawat menganalisis data pengkajian untuk merumuskan diagnosa keperawatan.

  Standar III: Perencanaan keperawatan yaitu perawat membuat rencana tindakan keperawatan untuk mengatasi masalah dan meningkatkan kesehatan klien. Standar IV: Implementasi keperawatan yaitu perawat mengimplementasikan tindakan yang telah diidentifikasi dalam rencana asuhan keperawatan. Standar V: Evaluasi keperawatan yaitu perawat mengevaluasi kemajuan klien terhadap tindakan keperawatan dalam pencapaian tujuan, dan merevisi data dasar dan perencanaan.

2.1.2. Motivasi Kerja

  Motivasi merupakan hasil sejumlah proses yang bersifat internal atau eksternal bagi seorang individu yang menyebabkan timbulnya sikap entusiasme dan persistensi dalam hal melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentu. Motivasi bukanlah satu-satunya yang memengaruhi tingkat prestasi seseorang. Ada dua faktor yang terlihat, kemampuan perseorangan dan pemahamannya tentang perilaku apa yang diperlukan untuk mencapai prestasi kerja yang tinggi. Dalam pengertian motivasi terdapat tiga unsur esensial, yaitu faktor pendorong atau pembangkit motif, baik internal maupun eksternal, tujuan yang ingin dicapai dan strategi yang diperlukan oleh individu atau kelompok untuk mencapai tujuan tersebut. Faktor internal sebagai pendorong motif bersumber dari dalam diri individu itu sendiri seperti kepribadian, intelegensi, kebiasaan, kesadaran, minat, bakat, kemauan dan semangat. Sedangkan faktor eksternal berasal dari luar individu yaitu lingkungan, seperti lingkungan sosial, tekanan dan regulasi keorganisasian.

  Robbins (2003: 55) mengemukakan bahwa motivasi adalah keinginan untuk melakukan sebagai kesediaan untuk mengeluarkan tingkat upaya yang tinggi untuk tujuan-tujuan organisasi, yang dikondisikan oleh kemampuan upaya untuk memenuhi suatu kebutuhan individual. Siagian (2002: 94) mengemukakan bahwa dalam kehidupan berorganisasi, termasuk kehidupan berkarya dalam organisasi bisnis, aspek motivasi kerja mutlak mendapat perhatian serius dari para manajer. Karena 4 (empat) pertimbangan utama yaitu: 1) Filsafat hidup manusia berkisar pada prinsip “quit proquo”, yang dalam bahasa awam dicerminkan oleh pepatah yang mengatakan “ada ubi ada talas, ada budi ada balas”,

  2) Dinamika kebutuhan manusia sangat kompleks dan tidak hanya bersifat materi, akan tetapi juga bersifat psikologis, 3) Tidak ada titik jenuh dalam pemuasan kebutuhan manusia, 4) Perbedaan karakteristik individu dalam organisasi atau perusahaan, mengakibatkan tidak ada satupun teknik motivasi yang sama efektifnya untuk semua orang dalam organisasi juga untuk seseorang pada waktu dan kondisi yang berbeda.

  Antoni (2006: 24) mengemukakan bahwa pemberian dorongan sebagai salah satu bentuk motivasi, penting dilakukan untuk meningkatkan gairah kerja pegawai sehingga dapat mencapai hasil yang dikehendaki oleh manajemen. Hubungan motivasi, gairah kerja dan hasil optimal mempunyai bentuk linear dalam arti dengan pemberian motivasi kerja yang baik, maka gairah kerja pegawai akan meningkat dan hasil kerja akan optimal sesuai dengan standar kinerja yang ditetapkan. Gairah kerja sebagai salah satu bentuk motivasi dapat dilihat antara lain dari tingkat kehadiran pegawai, tanggung jawab terhadap waktu kerja yang telah ditetapkan.

  Ada tiga konsep dasar yang mendasari motivasi, yaitu pengharapan, nilai dan perantaraan. Pengharapan merupakan keyakinan bahwa usaha seseorang akan membuahkan hasil. Nilai adalah tingkat kesenangan yang ada dalam diri individu untuk memperoleh sejumlah keuntungan. Oleh karenanya tugas individual cenderung berbeda yang menyebabkan nilai (berupa insentif atau uang, prestasi yang dicapai, kesempatan untuk meningkatkan karir) yang diterima berbeda pula pada setiap kondisi. Jadi nilai dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang diharapkan dari pekerjaan yang dilakukan. Motivasi yang ada dalam diri seseorang bukan merupakan indikator yang berdiri sendiri. Motivasi itu sendiri muncul sebagai akibat dari interaksi yang terjadi dalam diri individu. Menurut Danim (2004), ada tiga variabel yang memengaruhi motivasi seseorang dalam bekerja, yaitu:

  1) Sifat-sifat individual pekerja ini meliputi kepentingan setiap individu, sikap, kebutuhan atau harapan yang berbeda pada setiap individu. Perbedaan- perbedaan tersebut merupakan derajat motivasi di dalam diri pekerja menjadi variasi satu dengan yang lainnya. Seorang pekerja yang menginginkan prestasi kerja yang tinggi misalnya cenderung akan terdorong untuk melakukan pekerjaan yang dapat meningkatkan taraf hidupnya. Sebaliknya seseorang yang dimotivasi oleh uang akan cenderung memilih pekerjaan yang imbalannya besar.

  2) Sifat-sifat pekerjaan ini meliputi tugas-tugas yang harus dilaksanakan, termasuk tanggung jawab yang harus diemban dan kepuasan yang muncul kemudian. Pekerjaan yang banyak membutuhkan tanggung jawab misalnya akan mendatangkan kepuasan tertentu yang dapat meningkatkan derajat motivasi. 3) Lingkungan kerja dan situasi kerja pegawai. Seorang individu yang berada pada lingkungan kerjanya akan senantiasa berinteraksi dengan sesama rekan sekerja maupun dengan atasan. Di sini seorang pegawai dapat dimotivasi oleh rekan kerjanya atau oleh atasannya. Penghargaan yang diberikan oleh atasan baik dalam bentuk materi maupun non materi akan meningkatkan motivasi kerja seorang pegawai.

  Untuk mengukur motivasi kerja dipergunakan beberapa indikator menurut Perrek (1985) yang meliputi: 1) Prestasi kerja, yaitu sesuatu yang dicapai oleh seorang pekerja di bawah lingkungan kerja yang sulit sekalipun. Misalnya dalam menyelesaikan tugas yang dibatasi oleh jadwal waktu (deadline) yang ketat yang harus dipenuhi seorang pekerja dapat menyelesaikan tugasnya dengan hasil yang memuaskan.

  2) Pengaruh, yaitu upaya yang dilakukan untuk mempertahankan gagasan atau argumentasi sebagai bentuk dari kuatnya pengaruh yang ditanamkan kepada orang lain. Saran-saran atau gagasan yang diterima sebagai bentuk partisipasi dari seorang pekerja akan menumbuhkan motivasi, apalagi jika gagasan atau pemikiran tersebut dapat diikuti oleh orang lain yang dapat dipakai sebagai metode kerja baru dan ternyata hasilnya positif dan dirasakan lebih baik.

  3) Pengendalian, yaitu tingkat pengawasan yang dilakukan oleh atasan terhadap bawahan. Untuk menumbuhkan motivasi dan sikap tanggung jawab yang besar dari bawahan, seorang atasan dapat memberikan kesempatan kepada bawahannya untuk bekerja sendiri sepanjang pekerjaan itu memungkinkan dan menumbuhkan partisipasi. 4) Ketergantungan, yaitu kebutuhan dari bawahan terhadap orang-orang yang berada di lingkungan kerjanya, baik terhadap sesama pekerja maupun terhadap atasan. Adanya saran, gagasan ataupun ide dari atasan kepada bawahan yang dapat membantunya memahami suatu masalah atau cara penyelesaian masalah akan menjadi motivasi yang positif. 5) Pengembangan, yaitu upaya yang dilakukan oleh organisasi terhadap pekerja atau oleh atasan terhadap bawahannya untuk memberikan kesempatan guna meningkatkan potensi dirinya melalui pendidikan atau pelatihan. Pengembangan ini dapat menjadi motivator yang kuat bagi pegawai. Di samping pengembangan yang menyangkut kepastian karir pekerja, pengertian pengembangan yang dimaksudkan di sini juga menyangkut metode kerja yang dipakai. Adanya perubahan metode kerja yang dirasakan lebih baik akan membantu penyelesaian tugas juga menjadi motivasi bagi pekerja. 6) Afiliasi, yaitu dorongan untuk berhubungan dengan orang-orang atas dasar sosial. Keterbukaan orang-orang yang berada di lingkungan kerja yang memungkinkan hubungan antar pribadi dapat berjalan dengan baik, saling membantu masalah pribadi akan menjadi motivasi yang positif dari pekerja.

2.1.3. Kepemimpinan

  Masalah kepemimpinan merupakan hal yang sangat luas dan menyangkut bidang yang sangat luas dan memainkan peran yang sangat penting dalam bidang pemasaran, pendidikan, industri, organisasi sosial bahkan dalam kehidupan sehari- hari. Dalam setiap masyarakat timbul dua kelompok yang berbeda peranan sosialnya, yaitu yang memimpin sebagai golongan kecil yang terpilih dan kelompok yang dipimpin adalah orang kebanyakan. Tanpa adanya seorang pemimpin maka tujuan organisasi yang dibuat tidak akan ada artinya karena tidak ada orang yang bertindak sebagai penyatu terhadap berbagai kepentingan yang ada.

  Kepemimpinan merupakan kemampuan untuk memberikan wawasan sehingga orang lain ingin mencapainya. Pemimpin yang baik memberikan pengalaman, keterampilan dan sikap pribadinya untuk membangkitkan semangat pada tim kerja. Pemimpin yang efektif mampu memberikan pengarahan terhadap usaha semua pegawai dalam mencapai tujuan organisasi. DuBrin (2005: 3) mengemukakan bahwa kepemimpinan itu adalah upaya memengaruhi banyak orang melalui komunikasi untuk mencapai tujuan, cara memengaruhi orang dengan petunjuk atau perintah, tindakan yang menyebabkan orang lain bertindak atau merespons dan menimbulkan perubahan positif, kekuatan dinamis penting yang memotivasi dan mengkoordinasikan organisasi dalam rangka mencapai tujuan, kemampuan untuk menciptakan rasa percaya diri dan dukungan diantara bawahan agar tujuan organisasional dapat tercapai. Siagian (2002: 62) mengemukakan bahwa kepemimpinan adalah kemampuan seseorang untuk memengaruhi orang lain (para bawahannya) sedemikian rupa sehingga orang lain itu mau melakukan kehendak pemimpin meskipun secara pribadi hal itu mungkin tidak disenanginya. Siagian (2002: 66) mengemukakan bahwa peranan pemimpin atau kepemimpinan dalam organisasi atau perusahaan ada tiga bentuk yaitu peranan yang bersifat interpersonal, peranan yang bersifat informasional dan peranan pengambilan keputusan.

  Maksud dari peranan yang bersifat interpersonal dalam organisasi adalah bahwa seorang pemimpin dalam perusahaan atau organisasi merupakan simbol akan keberadaan organisasi, seorang pemimpin bertanggung jawab untuk memotivasi dan memberikan arahan kepada bawahan, dan seorang pemimpin mempunyai peran sebagai penghubung. Peranan yang bersifat informasional mengandung arti bahwa seorang pemimpin dalam organisasi mempunyai peran sebagai pemberi, penerima dan penganalisa informasi. Sedangkan peranan pemimpin dalam pengambilan keputusan mempunyai arti bahwa pemimpin mempunyai peran sebagai penentu kebijakan yang akan diambil berupa strategi- strategi bisnis yang mampu untuk mengembangkan inovasi, mengambil peluang atau kesempatan, bernegosiasi dan menjalankan usaha dengan konsisten. Luthans (1995) mengemukakan bahwa peran kepemimpinan dalam organisasi adalah sebagai pengatur visi, motivator, penganalis, dan penguasaan pekerjaan. Yasin (2001: 6) mengemukakan bahwa keberhasilan kegiatan usaha pengembangan organisasi, sebagian besar ditentukan oleh kualitas kepemimpinan atau pengelolanya dan komitmen pimpinan puncak organisasi untuk investasi energi yang diperlukan maupun usaha-usaha pribadi pimpinan. Tika (2006: 64) mengemukakan bahwa ada sembilan peranan kepemimpinan seseorang dalam organisasi yaitu pemimpin sebagai perencana, pemimpin sebagai pembuat kebijakan, pemimpin sebagai ahli, pemimpin sebagai pelaksana, pemimpin sebagai pengendali, pemimpin sebagai pemberi hadiah atau hukuman, pemimpin sebagai teladan dan lambang atau simbol, pemimpin sebagai tempat menimpakan segala kesalahan dan pemimpin sebagai pengganti peran anggota lain.

  Setiap pemimpin mempunyai gaya yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Definisi gaya kepemimpinan menurut Thoha (2007) adalah norma perilaku yang digunakan oleh seseorang pada saat orang tersebut berusaha memengaruhi perilaku orang lain seperti yang ia lihat. Sedangkan menurut Winardi (2000), gaya kepemimpinan adalah sebuah pendekatan yang digunakan untuk memahami suksesnya kepemimpinan, dalam hubungannya di mana pusat perhatian ditujukan pada yang dilakukan oleh pemimpin. Menurut Hopwood (1976), ada beberapa tipe kepemimpinan yang dapat dijadikan indikator yang dapat mengukur gaya manajemen yaitu: 1) Gaya parsitipatif, yaitu gaya kepemimpinan yang menempatkan pimpinan selalu berada di tengah-tengah para bawahan sehingga ia terlibat dan berpartisipasi aktif dalam kegiatan organisasi.

  2) Gaya pengasuh, yaitu gaya kepemimpinan yang bersifat kebapakan. Pemimpin dengan gaya seperti ini bertindak sebagai seorang bapak yang selalu melindungi bawahannya dalam batas-batas yang wajar. 3) Gaya otoriter, yaitu gaya kepemimpinan yang menempatkan kekuasaan ditangan satu orang.

  4) Gaya birokrasi, yaitu gaya kepemimpinan yang menempatkan peraturan organisasi sebagai orientasi dalam pelaksanaan tugas.

  5) Gaya yang berorientasi pada tugas, yaitu gaya kepemimpinan yang memandang bahwa pelaksanaan tugas adalah yang paling utama dalam suatu organisasi. Pemimpin yang menerapkan gaya kepemimpinan seperti ini akan berupaya untuk bekerja sesuai target dan tepat waktu, meskipun dalam kondisi yang sulit.

2.1.4. Budaya Organisasi

  Budaya membedakan masyarakat satu dengan yang lain dalam cara berinteraksi dan bertindak menyelesaikan suatu pekerjaan. Budaya mengikat anggota kelompok masyarakat menjadi satu kesatuan pandangan yang menciptakan keseragaman berperilaku atau bertindak. Seiring dengan bergulirnya waktu, budaya pasti terbentuk dalam organisasi dan dapat pula dirasakan manfaatnya dalam memberi kontribusi bagi efektifitas organisasi secara keseluruhan. Budaya yang kuat juga bisa dimaknakan sebagai budaya yang dipegang secara intensif, secara luas dianut, semakin jelas disosialisasikan dan diwariskan serta berpengaruh terhadap lingkungan dan perilaku manusia. Budaya yang kuat akan mendukung terciptanya sebuah prestasi yang positif bagi anggotanya dalam hal ini budaya yang diinternalisasikan pihak pimpinan akan berpengaruh terhadap sistem perilaku para pendidik dan staf di bawahnya baik di dalam organisasi maupun di luar organisasi (Ndraha, 2003).

  Idealnya setiap perusahaan memiliki budaya, yakni suatu sistem nilai yang merupakan kesepakatan kolektif dari semua yang terlibat dalam perusahaan. Yang dimaksud dengan kesepakatan di sini adalah dalam hal cara pandang tentang bekerja dan unsur-unsurnya. Suatu sistem nilai merupakan konsepsi nilai yang hidup dalam alam pemikiran sekelompok manusia/karyawan dan manajemen. Lalu persepsi itu melahirkan makna dan pandangan hidup yang akan memengaruhi sikap dan tingkah laku karyawan dan manajemen. Pada hakikatnya, bekerja dapat dipandang dari berbagai perspektif seperti bekerja merupakan bentuk ibadah, cara manusia mengaktualisasikan dirinya, bentuk nyata dari nilai- nilai dan sebagai keyakinan yang dianutnya. Semua pandangan itu dapat menjadi motivasi untuk melahirkan karya yang bermutu dalam pencapaian tujuan organisasi dan individu. Karena itu setiap karyawan dan manajemen seharusnya memiliki sudut pandang atau pemahaman yang sama tentang makna budaya kerja dan batasan bekerja.

  Seperti halnya pengertian motivasi dan kepemimpinan, pengertian budaya organisasi banyak diungkapkan oleh para ilmuwan yang merupakan ahli dalam ilmu budaya organisasi, namun masih sedikit kesepahaman tentang arti konsep budaya organisasi atau bagaimana budaya organisasi harus diobservasi dan diukur (Brahmasari, 2004). Lebih lanjut Brahmasari (2004: 16) mengemukakan bahwa hal tersebut dikarenakan oleh kurangnya kesepahaman tentang formulasi teori tentang budaya organisasi, gambarannya, dan kemungkinan hubungannya dengan dampak kinerja. Ndraha (2003: 4) mengemukakan bahwa budaya perusahaan

  (corporate culture) merupakan aplikasi dari budaya organisasi (organizational

  culture ) terhadap badan usaha atau perusahaan. Kedua istilah ini sering

  dipergunakan untuk maksud yang sama secara bergantian. Marcoulides dan Heck (1993) mengemukakan bahwa budaya organisasi sebagai suatu konsep yang dapat menjadi suatu sarana untuk mengukur kesesuaian dari tujuan organisasi, strategi dan organisasi tugas, serta dampak yang dihasilkan. Tanpa ukuran yang valid dan reliabel dari aspek kritis budaya organisasi, maka pernyataan tentang dampak budaya pada kinerja akan terus berdasarkan pada spekulasi, observasi personal dan studi kasus.

  Glaser et al. (1987) mengemukakan bahwa budaya organisasi seringkali digambarkan dalam arti yang dimiliki bersama. Pola-pola dari kepercayaan, simbol-simbol, ritual-ritual, dan mitos-mitos yang berkembang dari waktu ke waktu dan berfungsi sebagai perekat yang menyatukan organisasi. Koesmono (2005: 9) mengemukakan bahwa budaya dapat didefinisikan sebagai berbagai interaksi dari ciri-ciri kebiasaan yang memengaruhi kelompok-kelompok orang dalam lingkungannya. Tika (2006: 16) mengemukakan bahwa dalam pembentukan budaya organisasi ada dua hal penting yang harus diperhatikan yaitu unsur-unsur pembentuk budaya organisasi dan proses pembentukan budaya organisasi itu sendiri.

  Sementara itu Robbins (2003) menjelaskan mengenai 3 (tiga) kekuatan untuk mempertahankan suatu budaya organisasi sebagai berikut: (1) praktek seleksi, bertujuan mengidentifikasi dan mempekerjakan individu-individu yang mempunyai pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan untuk melakukan pekerjaan dengan sukses dalam organisasi. (2) manajemen puncak, tindakan manajemen puncak mempunyai dampak besar pada budaya organisasi. Ucapan dan perilaku mereka dalam melaksanakan norma-norma sangat berpengaruh terhadap anggota organisasi. (3) sosialisasi, dimaksudkan agar para pegawai baru dapat menyesuaikan diri dengan budaya organisasi. Proses sosialisasi ini meliputi tiga tahap yaitu tahap kedatangan, tahap pertemuan dan tahap metromofi. Selanjutnya Tika (2006: 21) memberikan kesimpulan tentang proses pembentukan budaya organisasi melalui 4 (empat) tahapan, yaitu tahap pertama terjadinya interaksi antar pimpinan atau pendiri organisasi dengan kelompok/perorangan dalam organisasi. Pada tahap kedua adalah dari interaksi menimbulkan ide yang ditransformasikan menjadi artifak, nilai, dan asumsi. Tahap ketiga adalah bahwa artifak, nilai, dan asumsi akan diimplementasikan sehingga membentuk budaya organisasi. Tahap terakhir adalah bahwa dalam rangka mempertahankan budaya organisasi dilakukan pembelajaran (learning) kepada anggota baru dalam organisasi.

  Wutun (2004: 20) mengemukakan bahwa budaya organisasi mempunyai 5 (lima) ciri-ciri pokok yaitu: (1) budaya organisasi merupakan satu kesatuan yang integral dan saling terkait, (2) budaya organisasi merupakan refleksi sejarah dari organisasi yang bersangkutan, (3) budaya organisasi berkaitan dengan hal-hal yang dipelajari oleh para antropolog, seperti ritual, simbol, ceritera, dan ketokohan, (4) budaya organisasi dibangun secara sosial, dalam pengertian bahwa budaya organisasi lahir dari konsensus bersama dari sekelompok orang yang mendirikan organisasi tersebut, (5) budaya organisasi sulit diubah.

  Menurut Tampubolon, (2008), menyimpulkan indikator budaya organisasi menjadi 6 yaitu:

  1) Inovatif memperhitungkan risiko, norma yang dibentuk berdasarkan kesepakatan menyatakan bahwa setiap karyawan akan memberikan perhatian yang sensitif terhadap segala permasalahan yang mungkin dapat membuat risiko kerugian bagi kelompok dan organisasi secara keseluruhan. Perilaku karyawan yang demikian dibentuk apabila berdasarkan kesepakatan bersama sehingga secara tidak langsung membuat rasa tanggung jawab bagi karyawan untuk melakukan tindakan mencegah terjadi kerugian secara konsisten.

  Kerugian ini lebih pada waktu dari rasa sensitifnya karyawan dapat mengantisipasi risiko yang mengakibatkan kerugian lain, seperti merusak nama baik perusahaan yang kemungkinan larinya konsumen ke produk lain. 2)

  Memberi perhatian pada setiap masalah secara detail, memberikan perhatian pada setiap masalah secara detail di dalam melakukan pekerjaan akan mengambarkan ketelitian dan kecermatan karyawan dalam melakukan pekerjaannya. Sikap yang demikian akan menggambarkan tingkat kualitas pekerjaan yang sangat tinggi. Apabila semua karyawan memberikan perhatian secara detail terhadap semua permasalahan yang ada dalam pekerjaaan, maka tingkat penyelesaian masalah dapat digambarkan menjadi suatu pekerjaan yang berkualitas tinggi dengan demikian kepuasan konsumen akan terpenuhi.

  3) Berorientasi terhadap hasil yang akan dicapai, supervisi seorang manejer terhadap bawahannya merupakan salah satu cara manajer untuk mengarahkan dan memberdayakan staf. Melalui supervisi dapat diuraikan tujuan organisasi dan kelompok serta anggotanya, dimana tujuan dan hasil yang hendak dicapai. Apabila persepsi bawahan dapat dibentuk dan menjadi satu kesatuan di dalam melakukan tugas untuk mencapai hasil. Dengan demikian semua karyawan berorientasi pada pencapaian tujuan/hasil.

  4) Berorientasi kepada semua kepentingan karyawan, keberhasilan atau kinerja organisasi salah satunya ditentukan ke kompakan tim kerja (team work), di mana kerjasama tim dapat dibentuk jika manajer dapat melakukan supervisi dengan baik. Kerjasama tim yang dimaksud adalah setiap karyawan bekerjasama dalam persepsi dan sikap yang sama di dalam melakukan pekerjaannya dan secara tidak langsung, sesama karyawan akan selalu memerhatikan permasalahan yang dihadapi masing-masing. Dengan demikian karyawan selalu berorientasi kepada sesama agar dapat tercapai target tim dan organisasi.

  5) Agresif dalam bekerja, produktivitas yang tinggi dapat dihasilkan apabila performa karyawan dapat memenuhi standard yang dibutuhkan untuk melakukan tugasnya. Performa yang baik dimaksudkan antara lain: kualifikasi keahlian (ability and skill) yang dapat memenuhi persyaratan produktivitas serta harus diikuti dengan disiplin dan kerajinan yang tinggi.

  Apabila kualifikasi ini telah dipenuhi, maka masih dibutuhkan ketahanan fisik dan keagresifan karyawan untuk menghasilkan kinerja yang baik.

  6) Mempertahankan dan menjaga stabilitas kerja, performa yang baik dari karyawan harus didukung oleh kesehatan yang prima. Performa yang baik tidak akan dapat tercipta secara kontinui apabila karyawan tidak dalam kondisi kesehatan yang prima. Kesehatan yang prima akan membentuk stamina yang prima, dengan stamina yang prima akan terbentuk ketahanan fisik yang akurat (endurance) dan stabil, serta dengan endurance yang prima, maka karyawan akan dapat mengendalikan (drive) semua pekerjaan dengan baik. Dengan tingkat pengendalian yang prima, menggambarkan performa karyawan tetap prima dan stabilitas kerja dapat dipertahankan.

2.1.5. Kepuasan Kerja

  Wutun (2004: 73) mengemukakan bahwa kepuasan kerja adalah kondisi kesukaan atau ketidaksukaan menurut pandangan pegawai terhadap pekerjaannya.

  Koesmono (2005), mengemukakan bahwa kepuasan kerja dapat didefinisikan sebagai perasaan dan reaksi individu terhadap lingkungan pekerjaannya.

  Locke (1984) mengemukakan bahwa kepuasan kerja merupakan kegembiraan atau pernyataan emosi yang positif hasil dari penilaian salah satu pekerjaan atau pengalaman-pengalaman pekerjaan. . Lebih lanjut Locke (1984) mengemukakan bahwa kepuasan kerja merupakan penilaian, perasaan atau sikap seseorang atau pegawai terhadap pekerjaannya dan berhubungan dengan lingkungan kerja, jenis pekerjaan, kompensasi, hubungan antar teman kerja, hubungan sosial di tempat kerja dan sebagainya. Sehingga dapat dikatakan bahwa kepuasan kerja adalah dipenuhinya beberapa keinginan dan kebutuhannya melalui kegiatan kerja atau bekerja.

  Gibson dan Donnely (1999) mengemukakan bahwa kepuasan kerja merupakan bagian dari proses motivasi. Kepuasan anggota organisasi dapat dihubungkan dengan kinerja dan hasil kerja mereka serta imbalan dan hukuman yang mereka terima. Oleh karena itu, tingkat kepuasan kerja dalam organisasi dapat ditunjukkan dengan hasil seperti sikap anggota organisasi, pergantian pekerjaan anggota organisasi, kemangkiran atau absensi, keterlambatan, dan keluhan yang biasa terjadi dalam suatu organisasi. Robbins (2003: 148) mengemukakan bahwa kepuasan kerja adalah sebagai suatu sikap umum seorang individu terhadap pekerjaannya. Pekerjaan menuntut interaksi dengan rekan sekerja dan atasan, mengikuti aturan dan kebijakan organisasi, memenuhi standar kinerja, hidup pada kondisi kerja yang sering kurang dari ideal, dan hal serupa lainnya. Ini berarti penilaian (assesment) seorang pegawai terhadap puas atau tidak puasnya dia terhadap pekerjaan merupakan penjumlahan yang rumit dari sejumlah unsur pekerjaan yang diskrit (terbedakan dan terpisahkan satu sama lain).

  Menurut Koesmono (2005: 28) bahwa seorang manajer akan sangat peduli pada aspek kepuasan kerja, karena mempunyai tanggung jawab moral apakah dapat memberikan lingkungan yang memuaskan kepada pegawainya dan percaya bahwa perilaku pekerja yang puas akan membuat kontribusi yang positif terhadap organisasi. Para manajer merasakan usaha dan kinerja mereka berhasil apabila keadilan dalam penghargaan memberikan tingkat kepuasan kerja dan kinerja.

  Situasi pekerjaan yang seimbang akan meningkatkan perasaan dalam kontrol terhadap kehidupan kerja dan menghasilkan kepuasan kerja. Sehingga para manajer mempunyai tanggung jawab untuk meningkatkan kepuasan kerja para bawahannya agar dapat memberikan kontribusi yang positif pada organisasinya.

  Davis dan Cozenza (1993) mengemukakan bahwa job satisfaction is

  related to a number of major employee variables, such a turnover, absences, age,

occupation, and size of the organization in which an employee works.

  Berdasarkan pendapat tersebut, Davis dan Cozenza (1993) mengemukakan bahwa kepuasan kerja berhubungan dengan variabel-variabel seperti turnover, tingkat absensi, umur, tingkat pekerjaan, dan ukuran organisasi perusahaan.

  Kepuasan kerja berhubungan dengan turnover mengandung arti bahwa kepuasan kerja yang tinggi selalu dihubungkan dengan turnover pegawai yang rendah, dan sebaliknya jika pegawai banyak yang merasa tidak puas maka turnover pegawai tinggi. Kepuasan kerja berhubungan dengan tingkat absensi (kehadiran) mengandung arti bahwa pegawai yang kurang puas cenderung tingkat ketidakhadirannya tinggi.

  Kepuasan kerja berhubungan dengan umur mengandung arti bahwa pegawai yang cenderung lebih tua akan merasa lebih puas daripada pegawai yang berumur relatif lebih muda, karena diasumsikan bahwa pegawai yang tua lebih berpengalaman menyesuaikan diri dengan lingkungan pekerjaan dan pegawai dengan usia muda biasanya mempunyai harapan yang ideal tentang dunia kerjanya, sehingga apabila antara harapannya dengan realita kerja terdapat kesenjangan atau ketidakseimbangan dapat menyebabkan mereka menjadi tidak puas. Kepuasan kerja dihubungkan dengan tingkat pekerjaan mengandung arti bahwa pegawai yang menduduki tingkat pekerjaan yang lebih tinggi cenderung lebih puas daripada pegawai yang menduduki pekerjaan yang lebih rendah, karena pegawai yang tingkat pekerjaannya lebih tinggi menunjukkan kemampuan kerja yang baik dan aktif dalam mengemukakan ide-ide serta kreatif dalam bekerja.

  Kepuasan kerja berhubungan dengan ukuran organisasi perusahaan mengandung arti bahwa besar kecilnya perusahaan dapat memengaruhi proses komunikasi, koordinasi, dan partisipasi pegawai sehingga dapat memengaruhi kepuasan kerja pegawai.

  Mangkunegara (2005: 120) mengemukakan bahwa ada 2 (dua) faktor yang memengaruhi kepuasan kerja yaitu faktor yang ada pada diri pegawai dan faktor pekerjaannya. Faktor yang ada pada diri pegawai yaitu kecerdasan (IQ), kecakapan khusus, umur, jenis kelamin, kondisi fisik, pendidikan, pengalaman kerja, masa kerja, kepribadian, emosi, cara berpikir, persepsi, dan sikap kerja. Sedangkan faktor pekerjaan yaitu jenis pekerjaan, struktur organisasi, pangkat (golongan), kedudukan, mutu pengawasan, jaminan keuangan, kesempatan promosi jabatan, interaksi sosial, dan hubungan kerja.

  Celluci dan De Vries (1978) merumuskan indikator-indikator kepuasan kerja dalam 5 indikator sebagai berikut :

  1. Kepuasan dengan gaji

  2. Kepuasan dengan promosi

  3. Kepuasan dengan rekan kerja

  4. Kepuasan dengan penyelia

  5. Kepuasan dengan pekerjaan itu sendiri Dapat disimpulkan bahwa pemahaman tentang kepuasan kerja mempunyai aspek yang luas, kepuasan kerja tidak hanya dapat dipahami dari aspek fisik pekerjaan itu sendiri, akan tetapi dari sisi non fisik. Kepuasan kerja berkaitan dengan fisik dalam melaksanakan tugas-tugas pekerjaan, kondisi lingkungan pekerjaan, dan juga berkaitan dengan interaksi dengan sesama rekan kerja, serta sistem hubungan diantara mereka.

  Selain itu, kepuasan kerja juga berkaitan dengan prospek pekerjaannya apakah memberikan harapan untuk berkembang atau tidak. Semakin aspek-aspek harapan terpenuhi, maka semakin tinggi tingkat kepuasan kerja. Tinggi rendahnya kepuasan kerja dapat dilihat dari beberapa aspek seperti tingkat produktivitas, tingkat absensi, serta tingkat pengunduran diri dari pekerjaan. Selain itu ketidakpuasan kerja dalam banyak hal sering dimanifestasikan dalam tindakan- tindakan destruktif aktif dan pasif, seperti suka mengeluh, menjadi tidak patuh terhadap peraturan, tidak berusaha menjaga aset perusahaan, membiarkan hal-hal buruk terus terjadi, dan menghindar dari tanggung jawabnya.

  Luthans (1995) menunjukkan bahwa kepuasan kerja yang digambarkan pada kepuasan gaji, promosi, supervisi dan kerja sama antar pekerja sangat besar pengaruhnya dalam meningkatkan kinerjanya, namun hal tersebut sangat dipengaruhi budaya kerja yang kondusif pekerja terhadap organisasi. Hal ini akan memberikan gambaran tentang tindakan, reaksi maupun keputusan mereka terhadap situasi pekerjaannya masing-masing.

2.2. Review Hasil-Hasil Penelitian

  Hasil studi empiris yang dilakukan oleh Brahmasari dan Suprayetno (2008) tentang Pengaruh Motivasi Kerja, Kepemimpinan dan Budaya Organisasi Terhadap Kepuasan Kerja Karyawan serta Dampaknya pada Kinerja Perusahaan (Studi kasus pada PT. Pei Hai International Wiratama Indonesia). Hasil penelitian menunjukkan bahwa motivasi kerja berpengaruh positif dan signifikan terhadap kepuasan kerja karyawan, kepemimpinan berpengaruh negatif dan signifikan terhadap kepuasan kerja karyawan, budaya organisasi berpengaruh positif dan signifikan terhadap kepuasan kerja karyawan, motivasi kerja tidak berpengaruh signifikan terhadap kinerja perusahaan, kepemimpinan berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja perusahaan, budaya organisasi berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja perusahaan, dan kepuasan kerja karyawan berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja perusahaan. Selanjutnya penelitian Mariam (2009) yang berjudul Pengaruh Gaya Kepemimpinan dan Budaya Organisasi Terhadap Kinerja Karyawan Melalui Kepuasan Kerja Karyawan Sebagai Variabel Intervening: Studi Pada Kantor Pusat PT.Asuransi Jasa Indonesia (Persero). Hasil Penelitian menunjukkan bahwa ada pengaruh yang searah antara gaya kepemimpinan dengan kepuasan kerja, ada pengaruh yang searah antara budaya organisasi dengan kepuasan kerja, ada pengaruh yang searah antara gaya kepemimpinan dengan kinerja karyawan, ada pengaruh yang searah antara budaya organisasi dengan kinerja karyawan, dan pengaruh yang searah antara kepuasan kerja dengan kinerja karyawan.

  Penelitian yang dilakukan Wahyuddin dan Djumino (2004) mengenai Kepemimpinan dan Motivasi Terhadap Kinerja Pegawai pada Kantor Kesatuan Bangsa dan Perlindungan Masyarakat di Kabupaten Wonogiri. Hasil penelitian menunjukan bahwa kepemimpinan dan motivasi mempunyai pengaruh yang positif terhadap kinerja pegawai.

  Selanjutnya hasil penelitian Mulyanto dan Widayati (2007) berjudul Pengaruh Kepemimpinan dan Motivasi Kerja Terhadap Kinerja Pegawai Dengan Kepuasan Kerja Sebagai Variabel Moderating (Studi Kasus di Dinas Pertanian Tanaman Pangan, Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Karanganyar ). Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa motivasi mempunyai pengaruh yang positip dan signifikan bahkan paling dominan terhadap kinerja pegawai Dinas Pertanian Tanaman Pangan, Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Karanganyar, kepemimpinan mempunyai pengaruh positip dan signifikan terhadap kinerja pegawai Dinas Pertanian Tanaman Pangan, Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Karanganyar dan kepuasan kerja mempunyai pengaruh negatip dan signifikan terhadap kinerja di Dinas Pertanian Tanaman Pangan, Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Karanganyar.

  Penelitian Nurfaiyah dan Damajanti (2012) yang berjudul Pengaruh Motivasi, Kepemimpinan dan Budaya Organisasi Terhadap Kepuasan Kerja dan Kinerja Karyawan PT. Samwon Busana Indonesia. Hasil penelitian berkesimpulan bahwa motivasi, budaya organisasi, dan kepemimpinan berpengaruh signifikan terhadap kepuasan kerja dan kinerja karyawan di PT Samwon Busana Indonesia.

  Beberapa penelitian di atas akan dijadikan sebagai pedoman dalam melakukan penelitian ini mengenai pengaruh motivasi kerja, kepemimpinan dan budaya organisasi terhadap kinerja pegawai dengan kepuasan kerja sebagai variabel intervening dapat dilihat pada tabel 2.1 berikut ini:

Tabel 2.1. Review Penelitian Terdahulu Variabel No Nama Judul Penelitian Hasil penelitian Penelitian

1 Brahmasari Pengaruh Motivasi Motivasi kerja

  Variabel dan Kerja, Independen: berpengaruh positif dan

Suprayetno Kepemimpinan dan Motivasi Kerja, signifikan terhadap

(2008) Budaya Organisasi Kepemimpinan kepuasan kerja

Terhadap , Budaya karyawan,

  Kepuasan Kerja Organsiasi, Kepemimpinan Karyawan serta Kepuasan berpengaruh negatif dan Dampaknya pada Kerja signifikan terhadap Kinerja Perusahaan Variabel kepuasan kerja (Studi kasus pada PT. Dependen: karyawan, Budaya Pei Hai International Kepuasan organisasi berpengaruh Wiratama Indonesia) Kerja, positif dan signifikan

  Kinerja terhadap kepuasan kerja Pegawai karyawan, Motivasi kerja tidak berpengaruh signifikan terhadap kinerja perusahaan, Kepemimpinan berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja perusahaan, Budaya organisasi berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja perusahaan, dan Kepuasan kerja karyawan berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja perusahaan

  2 Mariam (2009) Pengaruh Gaya kepemimpinan dan budaya organisasi Terhadap Kinerja Karyawan Melalui Kepuasan Kerja Karyawan Sebagai Variabel Intervening : Studi Pada Kantor Pusat PT.Asuransi Jasa Indonesia (Persero)

  

Variabel

Independen:

Gaya

kepemimpinan,

Budaya

Organisasi, Kepuasan kerja

Variabel

Dependen: Kepuasan

kerja,

Kinerja

Karyawan

  Ada pengaruh yang searah antara gaya kepemimpinan dengan kepuasan kerja, ada pengaruh yang searah antara budaya organisasi dengan kepuasan kerja, ada pengaruh yang searah antara gaya kepimpinan dengan kinerja karyawan, ada pengaruh yang searah antara budaya organisasi dengan kinerja karyawan, dan pengaruh yang searah antara kepuasan kerja dengan kinerja karyawan.

3. Wahyuddin dan Djumino.

  A (2004) Analisa Kepemimpinan dan Motivasi terhadap Prestasi kerja Pegawai Pada Kantor Kesatuan Bangsa dan Perlindungan Masyarakat di Kabupaten Wonogiri.

  

Variabel

Independen: kepemimpinan,

motivasi

  

Variabel

Dependen: Prestasi Kerja Bahwa budaya organisasi dan reward secara simultan maupun parsial berpengaruh signifikan terhadap kinerja karyawan.

  4. Mulyanto dan Widayati (2007) Pengaruh

  Kepemimpinan Dan Motivasi Kerja Terhadap Kinerja Pegawai Dengan Kepuasan Kerja Sebagai Variabel Moderating (Studi Kasus Di Dinas Pertanian Tanaman Pangan, Perkebunan Dan Kehutanan Kabupaten Karanganyar ).

  

Variabel

Independen: Kepemimpinan , Motivasi

Kerja,

Kepuasan kerja

Variabel

Dependen: Kepuasan

kerja,

Kinerja

Pegawai

  Motivasi mempunyai pengaruh yang positip dan signifikan bahkan paling dominan terhadap kinerja pegawai Dinas Pertanian Tanaman Pangan, Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Karanganyar, Kepemimpinan mempunyai pengaruh positip dan signifikan terhadap kinerja Pegawai Dinas Pertanian Tanaman Pangan, Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Karanganyar dan Kepuasan kerja mempunyai pengaruh negatip dan signifikan terhadap kinerja di Dinas Pertanian Tanaman Pangan, Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Karanganyar.

  

5. Nurfaiyah Pengaruh Motivasi, Variabel Motivasi, budaya

dan Kepemimpinan Dan organisasi, dan Independen:

  Damajanti Budaya Organisasi Kepemimpinan kepemimpinan

(2012) Terhadap Kepuasan , Budaya berpengaruh signifikan

Kerja Dan Kinerja Organisasi, terhadap kepuasan kerja Karyawan Kepuasan kerja dan kinerja karyawan di PT.Samwon Busana Variabel PT Samwon Busana

Indonesia. Indonesia.

  Dependen: Kepuasan kerja

Kinerja

Karyawan

  Sumber: Hasil Olahan Peneliti

Dokumen yang terkait

Analisis Pengaruh Iklim Organisasi dan Motivasi Kerja Terhadap Kinerja Dosen Dengan Kepuasan Kerja Sebagai Variabel Intervening Pada Politeknik Negeri Medan

3 66 189

Pengaruh Motivasi Kerja, Kepemimpinan dan Budaya Organisasi Terhadap Kinerja Perawat dengan Kepuasan Kerja sebagai Variabel Intervening : Studi pada Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan

6 95 169

Pengaruh Budaya Organisasi terhadap Kinerja Perawat Pelaksana di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan Tahun 2012

12 126 157

Hubungan Budaya Organisasi dengan Kepuasan Kerja Perawat Pelaksana di Rumah Sakit Bhayangkara Medan

0 81 123

Pengaruh Budaya Organisasi dan Kepuasan Kerja Terhadap Motivasi Kerja Perawat di Rumah Sakit Tk. II Kesdam I/BB tahun 2004

1 37 87

Pengaruh Motivasi Kerja, Gaya Kepemimpinan, Komunikasi, dan Budaya Organisasi terhadap Kinerja Manajerial dengan Kepuasan Kerja Pegawai sebagai Variabel Intervening (Studi Kasus pada Universitas Islam Sumatera Utara).

8 136 111

View of Pengaruh Budaya Organisasi dan Motivasi terhadap Kinerja Perawat dengan Komitmen Organisasi sebagai Variabel Intervening

0 0 13

Analisis Pengaruh Iklim Organisasi dan Motivasi Kerja Terhadap Kinerja Dosen Dengan Kepuasan Kerja Sebagai Variabel Intervening Pada Politeknik Negeri Medan

0 2 39

Pengaruh Motivasi Kerja, Kepemimpinan dan Budaya Organisasi Terhadap Kinerja Perawat dengan Kepuasan Kerja sebagai Variabel Intervening : Studi pada Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan

0 0 32

Pengaruh Motivasi Kerja, Kepemimpinan dan Budaya Organisasi Terhadap Kinerja Perawat dengan Kepuasan Kerja sebagai Variabel Intervening : Studi pada Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan

1 2 6