TUGAS AKHIR - Partisipasi Arsitek Dalam Pengembangan Masyarakat (Merancang Bersama Masyarakat Desa Kalibening - Salatiga)

PARTISIPASI ARSITEK DALAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT

(Merancang Bersama Masyarakat Desa Kalibening - Salatiga)

LAPORAN PERANCANGAN PARTISIPATIF TUGAS AKHIR

DIAJUKAN UNTUK MEMENUHI SALAH SATU SYARAT GUNA MEMPEROLEH GELAR SARJANA STRATA SATU ( S1 )

PROGRAM STUDI ARSITEKTUR PADA FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS SEBELAS MARET, SURAKARTA

Oleh :

BOERHAN ROESTAMAJI

I 0204035

JURUSAN ARSITEKTUR FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010

FAKULTAS TEKNIK JURUSAN ARSITEKTUR

UNIVERSITAS SEBELAS MARET Jl. Ir. Sutami No. 36 A Surakarta Telp. 37067

LEMBAR PENGESAHAN TUGAS AKHIR Judul

: Partisipasi Arsitek dalam Pengembangan Masyarakat: Merancang Bersama Masyarakat Desa Kalibening - Salatiga Nama

: Boerhan Roestamaji

Nim

: I 0204035

MENYETUJUI, Surakarta, xx April 2010

Pembimbing I

Pembimbing II

Ir. Edi Pramono Singgih, MT

NIP. 19531117 198003 1 001

Ir. Edy Hardjanto

NIP. 19560128 198503 1 001

MENGESAHKAN,

Pembantu Dekan I Fakultas Teknik UNS

Ketua Jurusan Arsitektur

Ir. Noegroho Djarwanti, MT

NIP. 19561112 198403 2 007

Ir. Hardiyati, MT

NIP. 19561209 198601 2 001

Salam dari Pramoedya

"Setiap tulisan merupakan dunia tersendiri, yang terapung-apung antara dunia kenyataan dan dunia impian. ( Pangemanann, 138)

"Kehidupan lebih nyata daripada pendapat siapa pun tentang kenyataan. ( Kommer, 199) "Setiap hak yang berlebihan adalah penindasan. ( Minke, 82) "Selama penderitaan datang dari manusia, dia bukan bencana alam, dia pun pasti bisa

dilawan oleh manusia. ( Kommer, 204) "Melawan, Minke, dengan segala kemampuan dan ketakmampuan. ( Jean Marais, 60) "Kau terpelajar, cobalah bersetia pada katahati. ( Jean Marais, 203) "semua yang terjadi di kolong langit ini adalah urusan setiap orang yang berfikir. ( Kommer,

390) "Kalau kemanusiaan tersinggung, semua orang yang berperasaan dan berpikiran waras ikut

tersinggung, kecuali orang gila dan orang yang memang berjiwa kriminil, biar pun dia sarjana. ( Kommer, 390)

"Jangan anggap remeh si manusia, yang kelihatannya begitu sederhana; biar penglihatanmu setajam elang, pikiranmu setajam pisau cukur, perabaanmu lebih peka dari para dewa, pendengaran dapat menangkap musik dan ratap-tangis kehidupan; pengetahuanmu tentang manusia takkan bakal bisa kemput. ( Mama, 119)

"Duniaku bukan jabatan, pangkat, gaji, dan kecurangan. Duniaku bumi manusia dengan persoalannya . ( Minke, 135)

"Kalian boleh maju dalam pelajaran, mungkin mencapai deretan gelar kesarjanaan apa saja, tapi tanpa mencintai sastra, kalian tinggal hanya hewan yang pandai. ( Magda Pe ers, 233) t

"Ilmu pengetahuan, Tuan-tuan, betapa pun tingginya, dia tidak berpribadi. Sehebat- hebatnya mesin, dibikin oleh sehebat-hebat manusia dia pun tidak berpribadi. Tetapi sesederhana-sederhana cerita yang ditulis, dia mewakili pribadi individu atau malahan bisa juga bangsanya. ( Von Kollewijn, 32)

"Tahu kau mengapa aku sayangi kau lebih dari siapa pun ? Karena kau menulis. Suaramu takkan padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh di kemudian hari. ( Mama, 84)

"Tatap hidup dan mati, berani" Pramoedya Ananta Toer (Tetralogi Buru)

http://id.wikiquote.org/wiki/Pramoedya_Ananta_Toer

PENGANTAR

Arsitek, bisa saja merancang layaknya titisan dewa, yang mempunyai kekuatan untuk merubah segala sesuatu dan mengadakan sesuatu yang belum ada.

Bisa juga merancang bak master builders, yang dengan ledakan-ledakan gagasannya mengada-adakan sesuatu. Menebar angannya jauh tinggi di atas awan tanpa pernah melihat ke bumi, siapa yang akan menggunakan rancanganya itu, kalau bukan manusia.

Arsitek tipe ini jamak dianut mahasiswa arsitektur dalam tugas akhirnya, yang (sebenarnya) hanya merancang untuk diri sendiri, meski diberi selaput gula: untuk masyarakat, mewadahi kegiatan masyarakat, dll, sungguh ’manis’ sekali...!

Dan arsitekpun, bisa melakukan perancangan bersama (partisipatif). Melibatkan diri di tengah-tengah masyarakat, dengan melakukan aksi langsung menemui masyarakat. Sebuah kegiatan ber-arsitektur yang berupaya menempatkan kembali masyarakat sebagai subjek. Memandang masyarakat sebagai manusia yang mampu berpikir dan merasakan segala sesuatu yang telah dialaminya.

Dalam buku ini, menunjuk pada yang terakhir. Tugas akhir ini ‘sedikit’ berbeda dengan umumnya, karena proses perancangannya dilakukan di lapangan. Pada bulan April 2009 s/d Desember 2009, di Desa Kalibening—Salatiga. Buku ini adalah laporan kerja perancangan partisipatif seperti disebutkan di atas.

Akhir kata, tidak ada karya yang benar-benar selesai, karena semuanya berada dalam proses menjadi. Akan sangat naif bila kemudian menganggap karya ini sebagai keputusan final, karena karya ini pun masih hijau. Kalaupun ada kebenaran di sini, itupun bukan kebenaran yang ‘mati’. Sehingga, selalu layak dan selalu terbuka untuk dikaji ulang.

Semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi siapa saja yang membacanya. Mari ber-arsitektur!

Surakarta, Akhir Maret 2010 Salam hangat

Boerhan Roestamaji

U n tu k ibu -ba pa k , M a sya r a k a t-K a liben in g

da n sem u a tem a n ya n g ber ju a n g m en ela n k em er dek a a n

TERIMAKASIH

A LLA H SW T, SANG HIDUP, YANG HIDUP, MENGHIDUPI DAN ABADI

IBU&BAPAK [untuk doa—restu yang tiada pernah terputus] di setiap helaian nafas…, di setiap tetesan darah…, di setiap detak jantung…, di setiap denyut nadi…, di setiap jengkal langkah…, …, takkan pernah sanggup aku membalas… Mas Cut+ BIMA +Mba’RATRI, LIO, NALA, NIA

P em bim bin g & P en g a ja r : EDI PRAMONO SINGGIH + EDY HARDJANTO [terimakasih atas bimbingan, gemblengan dan kebebasan yang diberikan] M. ASRORI – untuk cambukan api-semangat,, MOHAMMAD ‘UPOK’ MUQOFFA – yang telah memberikan dukungan dari jarak jauh,, KAHAR SUNOKO – atas masukannya, khususnya tentang berpikir gambar(sketsa) Paul Lasseau dan paradigma naturalistik—fenomenologi-nya,, HARDIYATI – untuk kepeduliannya, terimakasih telah berkenan menjadi ‘ibu’ di kampus,, YOSAFAT WINARTO – selaku panitia TA,, DJOKO WINARNO, PURWANTO SETYO NUGROHO, HADI SETYAWAN

P en g a ja r a n : MAS TONY, PAK BEJO, BU RUQOIYAH, dkk

P a r tiSipa n : MASYARAKAT KALIBENING : PAK BAHRUDIN & KELUARGA, PAK AHMAD, PAK JONO, PAK RIDWAN, ANSORI & KELUARGA, PAK ATIQ, PAK LAZIM, BU SITI AMINAH, BU LAKHAH, MAS FARIKIN, MAS TAFI, KELUARGA FAHMI, KELUARGA AMRI, KELUARGA AS’AD dan semuanya; SPPQT: PAK FAISOL, PAK ABDUL, PAK MAKSUM, MAS WAWAN, MBAK NURUL, dan semuanya [yang menerima saya dengan hangat, terimakasih atas partisipasinya]

KOMUNITAS BELAJAR QARYAH THAYYIBAH: SAKER [S a r a n g A n a k K r e a t I f]: FAHMI ‘KINJENG’, AMRI ‘POTING’, IPUL ‘KEMPUNG’, AS’AD ‘KOTENG’, AJIB, ADI, RIDHO ‘KONDOM’, KUNCEN,FAJAR ‘BOB MAKOLE’, GHOSONG, IBAD ‘TEMON’, GILANG ‘CETHOL’, SYAM ‘GEMBES’, IPIN ‘PINCUK’, AHAD, PANGGIH, GYAS ‘SAYIG’, MUHIB, HILLMY, ZULFI, DILLA dan semuanya [Terimakasih untuk persahabatan kalian]

P ou Ser S: EDY HARDJANTO – Sosok yang menorehkan jejak mendalam dalam pemikiran, [kkejujuran, keberanian, tanggung jawab dan kesederhanaan, saya tidak berani menilai lebih, karena saya masih harus belajar banyak dari bapak],, EKO PRAWOTO [yang telah meyakinkan saya untuk mengikuti kata dan mata hati, terimakasih…, saya belajar banyak dari panjenengan…] BAHRUDIN[yang telah memberikan pelajaran berharga tentang hidup, terimakasih pak… saya diijinkan nguri kawruh di QT] ALFIAN HASAN [yang mendorong saya untuk terus belajar, yang menjadi saksi dan selalu memantau karya ini, terimakasih untuk semangat dan kepercayaannya, semoga kau masih menulis…],, DJUNEIDI SARIPURNAWAN – yang sangat antusias merespon dan mengapresiasi karya ini, terimakasih untuk diskusi dan masukannya, ternyata saya tidak berjalan sendiri,, AGUNG WIBOWO SUWOTO, DODI ARIS SAPUTRO, DWI HARI SUSAMTYO – untuk diskusi yang mencerahkan,, ARYO BUDI MANIKO – yang menyambut kedatanganku di 'belantara’ filsafat,

f e n o m e n o l o g i , terimakasih untuk respon dan masukannya,, IDEN WILDENSYAH – yang telah menyuntikkan energi lewat tulisannya : “Menggugat Arsitektur”, dan kata-kata mutiara di blog-nya yang sangat inspiratif…,, M. MUSTACHIR & SRI LESTARI – yang selalu menyediakan waktu, tempat dan memberikan semangat,, FADLUL FADKURRAHMAN – yang berandil besar membuat aku memasuki ‘belantara’ arsitektur, mbabat alas…ku buat jalanku sendiri meski terjal berli u! tidak asyik kalau segala sesuatunya mudah, terimakasih telah berbagi ilmu dalam proses belajar ini,

k TIMBUL RAHMANTO – untuk pelajaran arsitektur di luar kampus,,

rumadesain<kubus – untuk pegalaman magangnya,, & genk MELATI: KANG SASTRO [BFI, eh saiki

GUNAWAN ‘GONDRONG’ AGUNG – MAKETOR, yang rela lembur lima hari buat bantuin bikin maket tanpa dibayar, Salute…!, AGUS ’SIMBAH’’ PURNOMO – ‘si pengide’, piye proyekmu? menara bola + intelegen building dengan penekanan pada basement, isoh edan…!, thank’s ‘dah nganterin ke tempat pak Djuneidi di Jogja, [buat kalian berdua, thank’s ‘dah rela jalan kaki bawain maket sebesar itu dari Pedaringan sampai Kampus], MOH. ANSORI – untuk bantuannya, mulai dari tawaran, pasang panel sampai menyempatkan datang ke pendadaran, termasuk juga diskusi dan perbaikan gizi selama di Kalibening,, NURI HARYANTO – untuk diskusi dan pinjaman bukunya, hank’s…‘dah nengok ke Kalibening dan bawain supply pakaian,, ANTON ROHMAN – yang merelakan kontrakannya menjadi ‘kamar iblis’ alias berantakan menjelang pendadaran,, YUSTISIONO DEWANTO– untuk transportasi dan dokumentasinya,, ROJIF yang tertunda] – untuk donasi bahan maket,, ARYANTO ’02 – the pencoleng’s, thank’s transportasinya buat angkut-angkut maket,, LUTFI ’02 – thank’s adobe acrobatnya,,

[ CHOIRI ekstensi ’02 – untuk bantuannya lembur ngeprint,,

FERY ‘BONTHOT’– dokter komputer, tanpamu… komputerku ra waras...! thank’s scanernya,, & BANG YUDHA [Alm]– the rock 'n' roll rebel [kita muda dan berbahaya] – thanxÊs a lot bro!

[untuk sayap-sayap yang selalu menjagaku] ITA LIANA SARI, teman yang pengertian, dan telah banyak membantu, terimakasih buat semuanya,, JATU PUJOWATI– terimakasih sudah menjadi teman yang sabar, menjadi teman diskusi tentang kegelisahan ber-arsitektur, serta untuk dukungannya atas karya ini,, KARISMA ANINDITA–pendengar setia, yang selalu menyediakan waktu mendengar segala ocehanku, tolong sampaikan ke mama: terimakasih burung-burung manyarnya,, ELOK – untuk semangatnya, RETNO – trim’s…’udah bantuin Ita, yang sedikit meringankan beban di otakku buat ngurusin konsumsi,, SEPTI+RINDA – yang menyempatkan bangun pagi untuk datang ke pendadaran,, KESTI – untuk toto chan dan apresiasinya atas karya ini,, MIMING – untuk keceriaan di studio dengan membawa bala pasukannya, tanpamu… bilik ruangan kalian pasti sepi…,, WIDI [trims…’udah nganterin ke FKIP GEO buat beli peta Salatiga]+AMEL – untuk komputer, printer dan traktirannya,, YAYAN, NOVIA[yang tertunda], ERA HOKKI, ERY, KARTIKA MAYA – untuk dukungan dan bantuan-nya,, WINDHA [yang paling rajin datang di studio, trims…untuk kopinya, mau nggak kopi tubruk bis kota…?he,,]&& BETHA [untuk setengah gorengannya] – – dua penghuni studio 117 yang paling sering terganggu ketenangan bilik ruangnya.

Untuk tteman-teman di persimpangan jalan, perjuangan tak selalu harus beriringan. (i tell you people it’s harder than it looks, cause it’s a long way to the top if you wanna rock and roll )

TERY ADE ’03 – untuk pengalaman nge-draft-nya,, HERI+D DADAH – untuk mp3 playernya,, DELON+GGENDUT – untuk printer dan scanernya, DIAH PRATIWI – untuk alih bahasa-nya

P a r a K OR B A N TR A D ISI : ANGKATAN ’04—maaf… aku bukan teman yang baik IÊm just a man, IÊm not a hero and I donÊt care⁄! TH E “D A R K E SS R OOM ” STUDIO PERIODE—117 [yang selalu aku ganggu waktu-waktu studionya]

IWAN FALS — untuk lirik lagunya yang sangat inspiratif, tujuan bukan utama, yang utama adalah prosesnya, seperti matahari yang menyinari bumi…

Musik ROCK, yang semakin ‘merusak’ jiwaku…

G ’N R, RRage AAgainst TThe M Machine, SSystem O Of AA Down, VVelvet RRevolver, SSlash SSnakepit, TThe SSEX PISTOL, AC/D DC, CREED, Audioslave, QOTSA, etc..

Senantiasa mengusik mimpi buruk yang tengah berlangsung…ffreedom of creative mind!

Untuk jiwa yang diam, halus tetapi tajam

Dan Kepada mahasiswa Arsitektur UNS—termasuk dosen-dosennya— yang aku “temui” selama proses belajar ini, yang menjadi ““inspirasi terbesar” tugas akhir ini.

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL

LEMBAR PENGESAHAN

UCAPAN TERIMAKASIH

DAFTAR ISI

vii

DAFTAR GAMBAR

A. LATAR BELAKANG 1

B. TUJUAN PERANCANGAN 2

C. METODE PERANCANGAN 2

D. SISTEMATIKA PENULISAN 2

[2] PROSES PERANCANGAN

3 JEJAK PERTAMA : Melakukan Pegalaman Nyata

7 JEJAK KEDUA : Mencermati dan Merefleksikannya

JEJAK KETIGA : Konseptualisasi Abstrak

31 JEJAK KEEMPAT : Bereksperimen Secara Aktif

HASIL AKHIR

DAFTAR BACAAN

xiii

LAMPIRAN

DAFTAR GAMBAR

[1] – P PENDAHULUAN [2] – P PROSES PERANCANGAN

Gb.1 – Cah Arsitek

Gb.2 – Pemadangan di sore hari

7 Gb.3 – Teras SAKE 14 Gb.4 – Senjoyo

Gb.5 – Perspektif rancangan kantor SPPQT

19 Gb.6 – Belik Luweng 21 Gb.7 – RC

Gb.8 – Sticker Seminar HarLah SPPQT ke-10

Gb.9 – Seminar HarLah SPPQT ke-10

29 Gb.10 – Memo dari ayah Fahmi 31 Gb.11 – Nota pembelian printer di pameran computer Diamond Solo

Gb.12 – Foto ketika teman-teman alternatif mampir ke rumah saya

Gb.13 - Komunikasi gagasan melalui sketsa

Gb.14 – Komunikasi gagasan melalui sketsa

34 Gb.15 – Sketsa bentuk gubuk 51 Gb.16 – Sketsa bentuk gubuk 53 Gb.17 – Sketsa respon gagasan ’gubuk’

Gb.18 – Pemotongan bambu pertama

Gb.19 – Amri mengkofirmasi ulang tentang bentuk denah ’gubuk’nya

Gb.20 – Pemotongan bambu kedua

Gb.21 – Bambu-bambu yang telah dipotong

Gb.22 – Menurunkan bambu dari truk di rumah Fahmi

Gb.23 – Mengambil genteng di rumah pak Satari

Gb.24 – Membersihkan truk

Gb.25 – Mengukur dan mematok lahan

Gb.26 – Memilih dan menempatkan bambu

Gb.27 – Membuat lubangan podasi

64 Gb.28 – Membersihkan bambu 64 Gb.29 – Membuat adukan semen

Gb.30 – Mendirikan kolom

Gb.31 – Pengecoran pondasi kolom

Gb.32 – Kolom-kolom yang sudah berdiri

Gb.33 – Membuat pondasi selokan

Gb.34 – Sketsa respon gagasan ayah Fahmi

Gb.35 – Memotong bambu di kebun milik kakek Amri

65 Gb.36 – Nuri—teman yang mengunjungi saya—ketika di depan rumah Ansori

Gb.37 – Pohon klengkeng di depan rumah Ansori

Gb.40 – Memasang ‘galar’

Gb.41 – Gang di depan rumah Fahmi

69 Gb.42 – Mencari bahan bekas 70 Gb.43 – Perspektif salah satu ruangan SAKE yang digunakan sebagai dapur

Gb.44 – Sketsa respon gagasan perubahan ruangan di rumah SAKE

Gb.45 – Sketsa sumur tanpa pagar pembatas

Gb.46 – Sketsa ide pagar pembatas sumur

Gb.47 – Sketsa respon dari gagasan ayah Fahmi tentang pintu ‘gubuk’

Gb.48 – Foto perumahan di timur desa

74 Gb.49 – Foto sumur peresapan 74 Gb.50 – Lokasi dan Sketsa kolam ikan bawel milik mbah Kastolani

Gb.51 – Mbah Kastolani

Gb.52 – Sketsa ide pengelolaan air wudlu

Gb.53 – Pembuatan batako di rumah pak Baderun

Gb.54 – Pak Maskur

Gb.55 – Pembongkaran dan pemindahan garasi di rumah Mas Nurcholis

Gb.56 - tempat sampah, tempat kerja bu Lakhah, comberan

Gb.57 - Sketsa pemetaan permasalahan di tempat kerja bu Lakhah

Gb.58 - Sketsa respon gagasan tempat kerja bu Lakhah

Gb.59 - Tempat kerja bu Lakhah

Gb.60 - Sketsa ide, respon permasalahan di tempat kerja bu Lakhah

Gb.61 - Sketsa ide tempat kerja bu Lakhah

Gb.62 - Kegiatan pelatihan kemandirian perempuan

Gb.63 - Sketsa biopori

Gb.64 - Rumah SAKE

Gb.65 - Sketsa respon perubahan ruangan rumah SAKE

Gb.66 - Membersihkan ruangan

Gb.67 - Membersihkan halaman samping rumah SAKE

Gb.68 - Tanah di samping rumah Sake yang digunakan untuk berkebun

Gb.69 - Mengurug tanah becek dengan kerikil

Gb.70 - Santai di teras, seusai membersihkan rumah Sake

Gb.71 - Sketsa respon gagasan Gyas tentang bentuk peruangan SAKE

136 Gb.72 - Sketsa respon gagasan Gyas tentang kebun di samping rumah SAKE

Gb.73 - Rumah Ansori

Gb.74 - Pemetaan genangan air dan saluran air di Kalibening Timur,

berdasarkan keterangn Ansori

Gb.75 - Sketsa respon gagasan perletakan biopori di depan rumah Asori

Gb.76 - Pemasangan pyan plastik dan pembongkaran talang

Gb.77 - ‘wot’ yang telah selesai dibuat

Gb.78 - Kandang sapi

Gb.79 - Ideagram kandang bersama untuk pengelolaan biogas

Gb.80 - Sketsa ide tempat pupuk sementara

Gb.81 - Sketsa rumah Panggih di Kradon, Kab. Semarang

Gb.82 - Sketsa ide sumur dengan pagar pembatas

Gb.85 - Pak Lazim

Gb.86 - Ruang duduk depan—di warung pak Atiq

178 Gb.87 - Respon dan pengembangan salah satu ruang duduk warung Pak Atiq

180 Gb.88 - Sketsa awal pengembangan salah satu ruang duduk warung Pak Atiq

208 Gb.89 - Pengembangan gagasan salah satu ruang duduk warung Pak Atiq

Gb.90 - Sketsa permasalahan yang terjadi di warung Pak Atiq

Gb.91 - Sketsa ide ruang duduk di warung pak Atiq

Gb.92 - Foto (ki-ka) survey Koran ibu

Gb.93 - Burdahan

Gb.94 - Ibu Siti Aminah

Gb.95 - Pak Bowo, pembudidaya jamur tiram

Gb.96 - Ibu Siti Amiah

Gb.97 - Comberan—yang juga berisi sampah

Gb.98 - Site dan sketsa pengukuran lahan

Gb.99 - Sketsa awal tempat budidaya jamur tiram

219 Gb.100 - Sketsa awal pengembangan tempat budidaya jamur tiram

Gb.101 - Sketsa tempat kerja Ibu Lakhah

Gb.102 - Sketsa letak biopori di depan rumah Asori

[3] – H HASIL AKHIR

Gb.103 - Rumah SAKE

Gb.104 - Keyplan letak rumah SAKE

Gb.105 - Sketsa ide tempat berkebun di rumahSAKE

Gb.106 - Sketsa respon gagasan penataan ruangan rumah SAKE

Gb.107 - Sketsa awal suasana dalam ruang rumah SAKE

Gb.108 - Suasana dalam ruang rumah SAKE

Gb.109 - Perhitungan dana untuk pembuatan rental pengetikan

Gb.110 - Keyplan letak rumah Fahmi

Gb.111 - ‘Gubuk’ Fahmi

Gb.112 - Suasana dalam ruang ‘gubuk’ Fahmi

Gb.113 - Keyplan letak rumah Mbah Kastolani

Gb.114 - Sketsa ide kolam mbah Kastolani

Gb.115 - Lokasi kolam mbah Kastolani

Gb.116 - Warung pakAtiq

Gb.117 - Keyplan letak Warung Pak Atiq

231 Gb.118 - Sketsa respon dan pengembangan salah satu ruang duduk

di warung Pak Atiq berdasarkan gagasan Ipul

231 Gb.119 - Sketsa keputusan awal gagasan penataan salah satu ruang duduk

di warung Pak Atiq

232 Gb.120 - Sketsa pengembangan gagasan salah satu ruang duduk di warung Pak Atiq 232 Gb.121 - Sketsa permasalahan yang terjadi di warung Pak Atiq

Gb.122 - Sketsa ide ruang duduk di warung pak Atiq

Gb.123 - Keyplan letak rumah ibu Siti Aminah

Gb.124 - Sketsa awal tempat budidaya jamur tiram, Gb.124 - Sketsa awal tempat budidaya jamur tiram,

234

Gb.126 - Alternatif 1- tempat budidaya jamur tiram

235

Gb.127 - Alternatif 2- tempat budidaya jamur tiram

235 Gb.128 - Suasana dalam ruang tempat budidaya jamur tiram Ibu Siti Aminah

236

Gb.129 - Keyplan letak rumah Ibu Lakhah

237 Gb.130 - Sketsa tempat kerja Ibu Lakhah, saat cross-check dengan Bu Lakhah

237

Gb.131 - Suasana tempat kerja Ibu Lakhah

238

Gb.132 - Keyplan letak rumah Ansori

239 Gb.133 - Pemetaan genangan air di halaman rumah penduduk dan saluran air

di Kalibening Timur, berdasarkan keterangan Ansori

239 Gb.134 - Sketsa saluran air di bawah jalan paving, respon gagasan Ansori

240

Gb.135 - Skema perencanaan saluran air

240 Gb.136 - Potongan saluran air tanpa plesteran pada bagian alasnya

240

Gb.137 - Sketsa letak biopori di depan rumah Asori

241

Gb.138 - Pohon

242

Gb.139 - Keyplan letak rumah Bapak Bahrudin

242

Gb.140 - Keyplan letak Belik Luweng

244

Gb.141 - Respon gagasan pak Bahrudin tentang tempat sampah

246

Gb.142 - Suasana kegiatan membuang sampah

247

Gb.143 - Respon gagasan bahrudin pembangunan rumah

247

Gb.144 - Respon gagasan bahrudin tentang pembangunan rumah

248 Gb.145 - Respon gagasan pak Bahrudin tentang pembangunan rumah,

untuk bangunan bertingkat

248

Gb.146 - Keyplan letak rumah Mas Arif

249

Gb.147 - Sketsa ide sumur dengan pagar pembatas

249

Gb.148 - Keyplan letak rumah Mas Farikin

250

Gb.149 - Sketsa ide tempat kotoran sapi sementara

251 Gb.150 - Sketsa ide tempat kotoran sapi sementara menggunakan kajang

251

Gb.151 - Memberdayakan sampah plastik

252

Gb.152 - Sketsa pergerakan membuang ke tempat sampah

252

Gb.153 - Sketsa ide pergerakan ke tempat sampah

252

Gb.154 - Keyplan letak mushola di Kalibening

253

Gb.155 - Tempat wudlu

253

Gb.156 - Ideagram pengelolaan air wudlu

253

Gb.157 - Keyplan letak Belik Luweng

254

Salah satu kesenangan yang diperoleh dari pendidikan arsitektur adalah kelantangan menerobos penghalang ’suci’ buatan dalam usaha mencari kenyataan. Arsitektur bukan cuma lingkungan yang dibangun melainkan perbuatan komunikasi antara manusia dengan lingkungan. Mengikuti pikiran lebih lanjut, ‘manusia sebagai komunikator’ tak dapat dipisahkan dari ‘manusia sebagai pemikir’; karena itu arsitektur benar-benar suatu interaksi antara pikiran, perilaku dan lingkungan.

[Paul Laseau, (1986), Berpikir Gambar Bagi Arsitek dan Perancang; terj. Sri Rahayu (dkk), Penerbit ITB, Bandung. hal: 208]

[1] PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Meng-ide, ternyata bukan hal yang mudah—bagi saya—karena memang tidak pernah dikondisikan, apalagi diajarkan. Yang sering muncul adalah keraguan, kebimbangan dan ketidakpercayaan diri untuk melakukan suatu hal.

Tugas akhir ini dimulai dengan pertanyaan: merancang. Pertanyaan ini berlanjut ke pertanyaan selanjutnya, dan selanjutnya. Bagaimana merancang? Untuk siapa?...dst.

Arsitektur identik dengan dunia rancang bangun, begitulah kesan awal ketika memilih jurusan ini. Menurut sejarah, merancang bangunan tidak terlalu tak acuh pada kesejahteraan manusia, sehingga tak terjadi

masalah mengenai ’komunikasi dengan masyarakat’ 1 . Demikian halnya dengan arsitektur, yang dibuat untuk kehidupan yang lebih baik.

Namun, arsitek selalu saja memandang masyarakat—selaku pengguna rancangan arsitektur—sebagai pihak yang perlu untuk diberi penjelasan dan bukannya diajak berbicara. Arsitek selalu saja menawarkan ’kehidupan yang lebih baik’ tetapi hanya berdasarkan keinginan pribadinya. Seolah-olah hanya arsiteklah yang mampu merencanakan dan merancang arsitektur (dan yang akan menggunakannya sendiri). Sedangkan masyarakat hanya dipandang sebagai ’benda mati’. Tidakkah masyarakat adalah manusia yang (sebenarnya) mampu berpikir dan

merasakan segala sesuatu yang dialaminya 2 . Setidaknya, hal itulah yang mengendap selama proses belajar ini. Kita dibiasakan dengan rencana- rencana besar tanpa pernah mengetahui kebutuhan dan keinginan mereka secara langsung. Arsitek hendaknya memecahkan masalah bersama rakyat(masyarakat-pen) ketimbang untuk rakyat. Berupaya memahami kebutuhan mereka dan pilihan rancangan yang memenuhi

kebutuhan itu 3 .

Arsitek harus lebih banyak bekerja langsung dengan masyarakat untuk menghindarkan kesalahan masa lalu. Beberapa perubahan lingkungan... mempunyai dampak negatif yang semula tak terlihat. Semula nampaknya baik untuk dikerjakan – memindahkan museum atau menyediakan perumahan baru atau membangun gedung olah raga di sebuah taman.

1 Laseau, Paul. (1986). Berpikir Gambar Bagi Arsitek dan Perancang; terj. Sri Rahayu (dkk). Penerbit ITB: Bandung. hal: 5a

2 Alfian Hasan, A.M. Nizar. (2007). Desaku Sekolahku. Pustaka Q-Tha : Salatiga. hal:12 3 Laseau, Paul. (1986). Berpikir Gambar Bagi Arsitek dan Perancang; terj. Sri Rahayu (dkk).

perumahan tidak disukai, pengayom taman tidak memperdulikan sarana olah raga. Yang menjadi sebab kegagalan seperti itu biasanya karena perubahan itu memutuskan hubungan antara masyarakat dan kesempatan yang diberikan oleh komunitas. Cara terbaik untuk memastikan agar orang tidak terputus dari komunitas adalah dengan melibatkan mereka dalam perancangan komunitas mereka. 4

Gagasan ini pun berkembang. Berawal dari tawaran membantu menggambar rancangan kantor sekretariat Serikat Paguyuban Petani Qaryah Thayyibah (SPPQT) di Desa Kalibening - Salatiga dan terinspirasi

setelah membaca salah satu literatur—adalah buku Dunia Yang Dilipat 5 , ada gagasan untuk mengkaitkan antara desa Kalibening dengan kampung hijau alternatif ( Eco-estate). Gagasan ini membawa saya sampai ke Desa Kalibening. Dan menjadikan Desa Kalibening sebagai objek studi untuk tugas akhir ini.

B. TUJUAN PERANCANGAN

Perancangan ini bertujuan untuk pengembangan masyarakat Desa Kalibening—Salatiga.

C. METODE PERANCANGAN

Secara umum perancangan ini menggunakan pendekatan partisipatif. Dengan pendekatan perancangan partisipatif memungkinkan terciptanya suatu pemahaman yang sama antara arsitek dengan masyarakat yang terlibat/dilibatkan dalam perancangan desa mereka. Proses perancangan secara keseluruhan adalah: ƒ Mengunjungi Desa Kalibening–Salatiga dan melihat langsung

kegiatan masyarakat. ƒ Menemui masyarakat, melakukan perbincangan seputar

permasalahan yang ada di Desa Kalibening. ƒ Urun rembug dalam perancangan. ƒ Mengkonsultasikan kepada pihak-pihak yang berkompeten untuk

menyelesaikan permasalahan yang muncul. ƒ Melakukan cross-check (silang pembuktian-pen) dengan masyarakat

D. SISTEMATIKA PENULISAN [1] PENDAHULUAN

Berisi tentang latar belakang, tujuan, metoda perancangan, dan sistematika penulisan.

[2] PROSES PERANCANGAN

Menceritakan proses perancangan bersama masyarakat Desa Kalibening

[3] HASIL AKHIR

Berisi tentang hasil perancangan bersama masyarakat Desa Kalibening

4 Laseau, Paul. (1986). Berpikir Gambar Bagi Arsitek dan Perancang, terj. Sri Rahayu (dkk). Penerbit ITB: Bandung. hal:190

“Ngelmu iku kalakon’e kanthi laku” – Ronggowarsito

“Satu-satunya Alasan Mengapa Ada Waktu, Karena segala sesuatu tidak terjadi sekaligus” – AAlbert Einstein

”Marilah kita mulai dengan yang tak-mungkin” – JJecques Derrida

Perjalanan dimulai…

[2] PROSES PERANCANGAN

(Gb.1) Cah arsitek (sumber: sketsa pribadi)

Bayangkan paradoks berikut ini. Kita hidup di dunia yang penuh dengan terobosan ilmu pengetahuan dan teknologi yang mencengangkan. Nyatanya dewasa ini kita masih saja dibayangi oleh konflik, kekejaman, ketidakmenentuan ekonomi yang melemahkan dan kemiskinan yang tragis. 1

Dalam konteks tantangan sosial dan ekonomi global ini arsitektur tidak dapat lagi bertahan dengan fungsi konvensionalnya, yaitu merancang bangunan tunggal di sana-sini. Arsitektur harus melewati batas tersebut, untuk menyambut tantangan masyarakat dengan menyusun wacana kritis baik di tingkat sosial maupun teknis secara responsif. 2 [Ismail Serageldin]

FAKTA

Di Kalibening – Salatiga,

ada masyarakat yang mempunyai gagasan tentang desa yang berdaulat. Serikat Paguyuban Petani Qaryah Thayyibah [SPPQT] adalah organisasi massa petani yang didirikan pada 10 Agustus 1999

Semua deskripsi dan gambar dalam buku ini adalah akurat

1 Dikutip dengan mengedit dari buku Arsitektur Di Luar Jangkauan Arsitektur, Kreativitas dan Transformasi Sosial dalam Kebudayaan Islam Penghargaan Aga Khan untuk Arsitektur

1995. hal: 6

”Tapi, masih mungkinkah mewujudkan desa yang berdaulat?”

”Kalau tanya mungkin atau tidak, tidak mungkin,” ...

”Qaryah Tayyibah,” ”Qariyatun tayyibatun warobbun ghafur itu tidak mungkin,”

... ”itu sebenarnya sesuatu yang tidak mungkin, karena itu semacam pintu masuk surga” ”ya...iku wis capaian...” ”Jadi...”

”Adil makmur ...nahh... itu kan tidak mungkin, sesuatu yang ga mungkin, yang ga mungkin terjadi...”

... ”makanya kalau ditanya mungkin ga, tidak mungkin...!”

... ”adil makmur gemah ripah loh jinawi, kwi ra mungkin... karena itu rumusan mimpi... visi, macem-macem itu ga mungkin...”

... ”opo ngko nek yen wis urusan Gusti Allah, ha... wis ra mungkin meneh...”

12 Juli 2009, jam 13:00 WIB Bau khas menusuk hidung, entah dari bunga atau kayu;

Terdengar lolongan anjing; Memasuki pintu gerbang, melalui jalan setapak; Di kiri kolam dan di samping kanannya taman; Ke teras rumah, memasuki ruangan, duduk di ruang tamu; Hawa di rumah ini terasa sejuk, ”idum” bahasa jawanya.

Buku ” Desaku Sekolahku” karya mas Alfian membuka perbincangan kami. Apresiasi yang dalam muncul dari pak Eko Prawoto, tapi berbenturan dengan apa yang diperkirakan. Kampus yang dianggapnya maju, ternyata kurang antusias dalam merespon dan mengapresiasi karya tugas akhir

mahasiswanya yang telah dibukukan ini. Ironis.

Sebuah metode perancangan arsitekturlah yang menjadi kelebihan buku ini. Objek yang dijadikan studi, yakni SLTP Alternatif Qaryah Thayyibah di Desa Kalibening – Salatiga, juga sangat inspiratif menurutnya. Sebuah masyarakat yang dinamis.

Mencoba memancing saya berbicara, mas Alfian memaparkan kepada pak Eko bahwa objek studi untuk Tugas Akhir saya juga di Kalibening. Namun yang membedakan, mas Alfian lebih kepada anak-anak SLTP Alternatif QT karena berangkat dari tema pendidikan, sedangkan saya lebih kepada orang-orang dewasa karena berangkat dari tema sosial-budaya masyarakat, meski tak menutup kemungkinan melibatkan mereka (murid- murid sekolah alternatif QT) nantinya.

Ketika berbicara tentang masyarakat, tak bisa dipungkiri adalah arsitektur yang sustainable. Termasuk juga arsitektur tradisional daerah setempat. Secara teoritis Arsitektur tradisional termasuk Green Architecture, dan juga suistainable. Kenyataannya, penerapan di lapangan tidak benar- benar suistanable.

Pak Eko merasakan ada sesuatu yang mengganjal terkait dengan pengalamannya di Padang – Sumatera Barat. Ada bangunan pabrik megah yang didirikan di antara kesederhanaan rumah-rumah penduduk. Kemakmuran yang dihasilkan—oleh pabrik—tidak menyentuh masyarakat sekitarnya. Sesuatu yang timpang.

Begitu juga dengan kondisi arsitektur tradisionalnya yang memprihatinkan. Kemajuan hanya dinilai dari penggunaan bahan material yang lebih modern dan warna yang mencolok.

”Coba kita rasakan, ada sesuatu hal yang tidak hanya bersifat fisik”. ”Entah apa itu. Mungkin terkait nilai-nilai, norma, adat istiadat,

suasana atau yang lainnya. Dan pada akhirnya akan kembali ke social-culture masyarakat setempat”, ungkapnya. Untuk hal-hal yang menyangkut tradisi khususnya Jawa, pak Eko menyarankan menemui pak Josef Prijotomo di Surabaya.

”Mungkin bisa melalui email”, saran mas Alfian. Di Australia, ada sebuah kota yang kaya potensi lokal. Saat itu, dari

Indonesia hanya pak Eko yang diundang menghadiri acara yang digelar, sebuah Art Festival. Tetapi kelihatannya—menurut pak Eko—Pemerintah setempat kurang tanggap terhadap kondisi ini. Sumberdaya alam cenderung Indonesia hanya pak Eko yang diundang menghadiri acara yang digelar, sebuah Art Festival. Tetapi kelihatannya—menurut pak Eko—Pemerintah setempat kurang tanggap terhadap kondisi ini. Sumberdaya alam cenderung

Seharusnya kekayaan sumber daya alam ini dapat dijadikan modal untuk mengembangkan kotanya. Hal ini akan menjadi daya tarik tersendiri dan dapat mempertahankan lokalitas arsitekturnya.

”Pengertian Arsitektur sebenarnya luas. Pengertian desain pun luas. Kita tidak bisa mempersempit ataupun menkotak-kotakkan. Tugas Akhir mahasiswa kebanyakan juga terlalu main-main dan bohong-bohongan, hanya asal taruh sana-taruh sini,” kata pak Eko.

”Pada tahap ini, permasalahan yang muncul—karena masalah bisa muncul sepanjang jalan—adalah tentang format/sistematika penulisan. Seperti kita tahu, Arsitektur berada dalam Fakultas Teknik, dan format penulisan Tugas Akhirnya mengacu pada ilmu teknik (ilmu pasti). Sementara tema saya berangkat dari sosial, sehingga tidak bisa dipaksakan menggunakan format ilmu pasti.” 3

Pak Eko memahami maksud saya dan mencontohkan: ”Seperti seorang dokter bedah tulang disuruh memeriksa pasien. Jika

penyakit pasien belum terdeteksi, maka tak mungkin jika dokter—bedah tulang—tersebut langsung mengoperasi pasiennya.”

”Jadi harus dideteksi dulu penyakitnya apa, jangan-jangan cuma flu. Sehingga tak perlu langsung menyuruh sang dokter bedah tulang mengoperasinya.”

”Memang, kalau ilmu teknik itu kita harus menetapkan tujuannya kemudian membuktikannya. Sementara kalau sosial, kita tidak bisa menebaknya. Jadi.......

”Tetapi, pasti ada sesuatu di sana. Pasti ada...”, Selain itu saya juga memaparkan bahwa salah satu tulisan pak Eko

tentang bekerja bersama komunitas 4 , juga menginspirasi saya. ”Peran arsitek tidaklah besar, kadang cuma mengingatkan yang sudah ada, sedikit memberi inspirasi”, ungkap pak Eko memberi masukan.

... ”Sekarang ini yang diserang adalah cara pandangnya”, kata pak Eko.

3 Saya mengungkapkannya karena teringat bahwa kita mengakui arsitektur adalah seni dan teknik, bukan teknik saja. Dan hal ini pun diajarkan. Tapi mengapa kita sendiri

mengingkarinya. 4 Eko Prawoto, Mewujudkan Kota untuk Semua: peran arsitek dalam memperkuat

Jejak Pertama

Melakukan Pengalaman Nyata

Pada umumnya para perancang sependapat bahwa m merancang bukanlah proses yang ’rapi’; dengan kata lain, tidak berlangsung dengan sendirinya, teratur, terarah, tertib, atau nnalar. Barangkali kita sependapat bahwa merancang bbersifat sangat pribadi, terpisah-pisah namun menyeluruh, kadang-kadang amat jelas dan kadang-kadang kabur sekali, kadang-kadang cepat dan kadang-kadang amat lamban, menegangkan dan juga menjemukan. Singkatnya, merancang lebih bersifat m manusia dari pada m mesin. [Paul Laseau] 5

Desa Kalibening, Salatiga

26 April / 3 mei 2009

(Gb.2) Pemandangan di sore hari (foto diambil dari sendag Jenglong—Desa Kalibening) (sumber: dok. pribadi)

Sejak lama, saya berkeinginan mengunjungi Desa Kalibening. Setelah sekian waktu menunggu, mas Alfian—yang menawari untuk membantu mengambar desain kantor SPPQT—mengajak saya bekunjung ke sana. Kunjungan mas Alfian ini sebenarnya mengantarkan desain kantor SPPQT yang dipesan beberapa waktu sebelumnya. Sedangkan saya, selain ingin mengetahui lokasi dan kondisi fisik Desa Kalibening juga dalam rangka membuka pandangan awal tentang masyarakat Desa Kalibening.

5 Paul Laseau; 1986; Berpikir Gambar Bagi Arsitek dan Perancang; terj. Sri Rahayu (dkk);

merupakan salah seorang tokoh sentral di desa ini. Setelah bertegur-sapa kami berbincang di ruang tamu rumahnya. Mas Alfian memulai perbincangan tentang konsep perancangan kantor SPPQT yang merupakan sebuah upaya untuk mendukung konsep Desa Kalibening sebagai desa mandiri. Dimana kemandirian desa ini diterapkan antara lain pada pengolahan limbah dari kotoran sapi, pengolahan sampah organik sampai me- recycle bahan bangunan. Pak Bahrudin mengiyakannya, kemudian menambahkan tentang konsep pengelolaan sampah. Hal ini terkait dengan kebijakan Pemkot Salatiga yang ingin menerapkan incenerator. Dari data yang diperoleh pak Bahrudin, total biaya yang dikeluarkan Pemkot Salatiga untuk mengelola sampah mencapai 1,2 M dalam satu tahun. Sementara setiap harinya peralatan di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) hanya mampu mengelola 4 truk sampah. Artinya dalam satu bulan biaya yang dikeluarkan 100 juta. Gagasan pak Bahrudin adalah bagaimana jika biaya sebesar itu digunakan oleh masyarakat di desanya untuk mengelola sampah. Lahan di samping kantor SPPQT mejadi tempatnya. Kantor ini sangat cocok sebagai model percontohan, mengingat lokasi yang lebih tinggi dari daerah di sekitarnya. Untuk biaya pembelian peralatan diperkirakan menghabiskan biaya sekitar 4,5 - 6 M. Jika diperkirakan jumlah anggotanya 10 orang, maka masing- masing mendapat 10 juta per bulan. Beberapa anggota SPPQT setuju, namun ketika gagasan ini di sampaikan ke masyarakat kurang mendapat respon. Alasannya bermacam-macam, misalnya masyarakat mengeluhkan bau yang ditimbulkan karena setiap hari akan dilewati truk sampah. Apalagi jika setiap hari truk sampah mogok di jalan karena bannya bocor – yang menurut mas Alfian merupakan wujud protes warga ( sabotase).

Menurut Pak Bahrudin, sampah seharusnya menjadi tanggung jawab si produsen sampah. Apabila tidak sempat mengelolanya, dapat dikelola oleh orang lain dengan konsekuensi adanya biaya yang dikeluarkan untuk jasa ini. Hal ini tentunya perlu dukungan berupa peraturan atau kebijakan pemerintah.

Konsep TPA—lanjut beliau—seharusnya bukanlah Tempat Pembuangan

Akhir, melainkan Tempat Pengelolaan Akhir. Dengan ini dimungkinkan sampah dapat dikelola, bukan dibuang.

Ada dua hal yang menjadi gagasan pak Bahrudin. Selain masalah sampah, adalah masalah air hujan. Berdasar perhitungan yang dilakukan beliau di suatu tempat—saya lupa nama tempatnya—tingkat curah hujan di Indonesia paling tinggi adalah sekian .......m3/hari. Di Indonesia yang sebenarnya sering diguyur hujan ini, air hujan malah kurang diberdayakan. Air hujan dibiarkan menetes dan mengalir begitu saja. Seharusnya—menurut pak Bahrudin—air hujan dapat dikelola oleh masing-masing rumah. ” Bagaimana air hujan ini tidak setetes-pun dibiarkan keluar dari lahan milik, sehingga menjadi tanggung jawab pemilik lahan untuk mengelolanya”, tegasnya.

Mas Alfian sempat menanyakan tentang pembangunan perumahan yang cenderung merubah area pertanian menjadi pemukiman. Bila diamati, pembangunan perumahan ini kurang memperhatikan peresapan air hujan. Namun pak Bahrudin tidak mempermasalahkannya, selama pembangunan

Bahrudin mencontohkan lapangan di UKSW Salatiga, yang sebenarnya merupakan area untuk peresapan. Lokasi yang lebih rendah dari sekitarnya memungkinkan menjadi muara aliran air hujan. Dapat kita lihat setiap hujan turun, lapangan ini selalu tergenangi air.

Dalam perbincangan ini, saya hanya menjadi pendengar dan mencoba menangkap gagasan yang muncul dari Pak Bahrudin.

*** Siang ini, Bus Apollo membawaku pergi

Menjauhi ruwetnya kota Solo Membuka pengalaman baru Menuju... Kalibening... (di dalam bus, 13 Mei 2009)

Di Kalibening. Dari rumah Pak Bahrudin ke Research Center (RC). Tempatnya tidak jauh, hanya berada di samping rumah. Ada Ulum—salah seorang murid SLTP QT—dan beberapa yang lain sedang main kompeter di ruang internet. Terdengar gema suara musik dari studio musik di lantai dua. Kami ngobrol. Dia menceritakan ketertarikannya dengan komputer. Tapi, menulis masih menjadi hal yang terus diasahnya. Di depan RC ada beberapa ember dan sebuah screen (plangkan sablon). Ternyata mereka (murid-murid SLTP QT) sedang mencoba mendaur ulang kertas.

” Untuk mengurangi dampak global warming”, kata Ulum. ”Kertaskan.. dapat menyebabkan global warming”, tandasnya. Tak lama, Gyas—juga seorang murid (SMA) QT—muncul, dan ikut

ngobrol dengan kami. Gyas adalah salah satu siswa penggerak acara bakti sosial dan kampanye lingkungan untuk merespon isu global warming. Kegiatannya antara lain :

ƒ Memunggut sampah di jalan-jalan desa (sebulan sekali). Sempat pulang mengambil mesin jahit untuk memberdayakan sampah plastik yang kemudian dibuat kerajinan seperti tas dan dompet. Tetapi kegiatan ini terhenti karena perbedaan konsep dengan rekannya. Konsep Gyas sebenarnya hanya untuk kampanye lingkungan, namun rekannya ingin membawanya ke bisnis sehingga bertentangan dengan konsep awal. Kecuali jika dari awal niatnya ingin ke bisnis, Gyas tidak akan beralasan menolaknya.

ƒ Pembibitan tanaman cabai yang kemudian diserahkan pada masyarakat. Kegiatan ini pun terhenti karena pembibitan menggunakan polybag—yang sama saja menggunakan plastik— bertantangan dengan upaya pengurangan dampak global warming.

Kemudian saya diajak Gyas ke kos-kosan siswa. Tempatnya di belakang masjid yang berada di depan RC. Kami melanjutkan ngobrol di ruang bersama. Kali ini ia menceritakan pengalamannya dengan Minan ketika berkunjung ke tempat Pak Tanto salah seorang petani organis di daerah Sleman –Yogyakarta. Mereka mencoba belajar bertani organis di sana. Menurut mereka, pak Tanto—yang notabene mantan dosen UGM—masih Kemudian saya diajak Gyas ke kos-kosan siswa. Tempatnya di belakang masjid yang berada di depan RC. Kami melanjutkan ngobrol di ruang bersama. Kali ini ia menceritakan pengalamannya dengan Minan ketika berkunjung ke tempat Pak Tanto salah seorang petani organis di daerah Sleman –Yogyakarta. Mereka mencoba belajar bertani organis di sana. Menurut mereka, pak Tanto—yang notabene mantan dosen UGM—masih

”Agama saya adalah tani”, ungkap Gyas menirukan pak Tanto. Pak Tanto juga memberi saran kepada Gyas dan Minan untuk selalu

menulis, meski saat nganggur sekalipun. Buku ’Catatan Seorang Penganggur’ milik Pak Tanto pun sempat di baca dan kemudian dibawa pulang Minan.

Malam hari, saya kembali menemui Pak Bahrudin bersama Minan yang mengantar seorang teman dari Jombang untuk meminta ijin ingin belajar di Qaryah Thayyibah. Saya menanyakan apakah beberapa kegiatan yang dilakukan siswa merupakan sebuah pembelajaran sebagai wujud kepedulian terhadap lingkungannya. Pak Bahrudin lalu menambahkan tentang konsep desa Kalibening (Qaryah Thayyibah) yakni pemberdayaan masyarakat yang berdasarkan keadilan, termasuk salah satunya adalah keadilan terhadap lingkungan.

Saya bermalam di rumah pak Bahrudin. Pagi harinya saya berpamitan pulang, tapi pak Bahrudin masih tidur. Kemudian saya pamit ke pak Ahmad—pendamping siswa—yang dulu sempat bertemu ketika kunjungan pertama.

*** Tanpa pesan

Tanpa persiapan matang Ber’SAFARI’ ke Kalibening... (setelah turun dari bus SAFARI, 28 Mei 2009)

Di rumah pak Bahrudin, tapi beliau tidak di tempat. Ada pak Ridwan—orang tua salah satu murid dan juga fasilitator. Kami ngobrol di ruang tamu sambil menunggu kedatangan pak Bahrudin yang sedang rapat di kantor SPPQT, mengurusi tawaran dana dari bank dunia. Menurut pak Ridwan, pak Bahrudin harus turun tangan sendiri untuk mengurusi tawaran dari Bank Dunia ini karena masih selit belit. Ada kejanggalan dalam tawarannya, yakni bermaksud ingin mendanai tetapi harus menggunakan tenaga ahli dari luar.

Tak lama Pak Bahrudin datang menyalami, kemudian menonton televisi. Saya berpamitan ke SAKE (nama kos-kosan siswa) menemui teman- teman. Keluar dari rumah pak Bahrudin sandal jepit saya tidak ada. Akhirnya mengenakan sembarang sandal yang ada.

Petang datang, adzan magrib berkumandang. Seorang hamba mengelu-elukan namaNya, terdengar sampai penjuru desa. Perlahan mulai sunyi-sepi, hanya terdengar derik jangkrik. Suasana desa tersuntikan lagi membangkitkan memori yang sempat hilang karena terbiasa dengan hingar bingar kota. Tangisan bayi memecah kesunyian, membangunkanku dari lamunan. Meski bukan orang yang religius, tapi dapat terasakan nuansa spiritual yang masih kental di desa ini.

Akan ada Burdah’an. Setiap malam jumat mereka rutin melakukannya. Kami menunggu pak Ridwan di tengah ruangan. Selepas isya’ acara dimulai. Pak Ridwan memimpin acara. Bersama-sama menyenandungkan nada memuji namaNya. Berhenti sejenak untuk bertegur sapa. Saya memperkenalkan diri menyampaikan maksud dan tujuan kedatangan. Pak Ridwan memulai diskusi tentang pendidikan bebas dan pendidikan formal, yang menurut salah satu siswa tergantung cara pandang masing-masing. Untuk Gilang yang masih kelas 2 SMP, tentu masih membutuhkan bimbingan dan mencari panutan yang baik. Lain halnya dengan Amik yang akan mendaftar SPMB dan rencananya memilih kuliah di jurusan geofisika UGM. Pak Ridwan memaparkan gagasan pak bahrudin, setelah lulus SMA—maksimal 1 tahun setelah lulus—diharapkan untuk pulang ke rumahnya masing-masing membentuk komunitas belajar sendiri. Mengajak 1-2 orang teman yang tidak bersekolah ataupun yang bersekolah.

Burdah’an dilanjutkan dan diakhiri dengan doa bersama. Setelah itu kami berbincang. Tiba-tiba beberapa anak datang membawa kluban yang diambil dari rumah pak Bahrudin. Satu baskom nasi dan satu baskom lalapan. Fahmi mengambil lengser (tepak) yang dicuci tanpa sabun. Sedikit kotor, tapi ’ anggap saja bersih’, kata dia. Kami makan bersama. Satu lengser lima orang. Tak ada minuman, air yang mengalir dari kran kamar mandi pun halal.

*** Menghisap rokok tinggal sebatang Namun tak sanggup menahan dingin yang kian menusuk tulang

Tersandar dipangkuan malam Mencoba mata ini tuk terpejam Ku terbangun berulangkali Tak sanggup melawan dingin ini Berharap segera datangnya pagi Mengawali hari, melanjutkan lagi (Kalibening, 29 Mei 2009)

Pagi hari di teras SAKE, ngobrol dengan pak Ridwan. Kegelisahan tentang pendidikan memulai obrolan kami. Intinya : Komersialisasi Pendidikan.

”Ada lulusan UGM yang sering berkunjung ke sini ketika libur kerja. Biasanya saat bulan purnama. Bersama siswa mengadakan kegiatan mengapresiasi sebuah karya puisi. Di sekitar tempat belajar dipasang lilin yang menyala di malam hari membaca sebuah karya puisi dan kemudian diapresiasi menurut pendapat siswa sesuai hatinya masing-masing”.

Pak Ridwan menceritakan tentang beratnya sebuah lembaga, dalam hal ini pendidikan adalah mencari jema’at baru. Selain itu adalah masalah dana. Namun Pak Bahrudin berani menolak ketika konsep yang ditawarkan tidak sesuai dengan konsep Kalibening. Begitu juga dengan pendaftaran siswa. Mulai Juli mendatang akan lebih dipertegas. Tidak menerima siswa yang sekolah di Kalibening hanya untuk mencari ijasah. Siswa yang merokok harus mendapat ijin/persetujuan dari orang tua.

Menurut pak Ridwan seharusnya dimulai dari gerakan kecil dan lebih baik lagi dengan dukungan kebijakan dari pemerintah. Misalnya saja Lumbung sumber daya. Kata lumbung pada suatu desa berfungsi sebagai penyangga kebutuhan panen. Sedangkan lumbung budi daya berfungsi sebagai penyangga kebutuhan masyarakat.

***

Hari ini cuaca mendung. Perutku lapar, sudah setengah hari belum makan. Ke tempat mbah Lam, di ujung kamar sebuah rumah di belakang rumah pak Bahrudin. Memasuki ruangan, sedikit gelap. Melintang sebuah meja makan dengan dua kursi panjangnya. Beberapa macam gorengan dan kaleng kerupuk di atasnya. Terpasang berjejer makanan ringan di bilik kayu. Wajan, panci, rak piring, tumpukan kayu, tungku api dan dinding yang berjelaga. (Kalibening, 29 Mei 2009)

Anak-anak QT biasanya makan di tempat mbah Lam ini. Harganya murah. Malam hari ngopi di warung pak Atiq. Suasana sangat ramai. Ada

tegur sapa meski kami tak saling kenal. Anak-anak alternatif setiap malam ke sini.

***

Jejak Kedua

Mencermati dan Merefleksikannya

Rumah Pak Maksum,

14 Juli 2009, jam 16.47 WIB Di Lumbung, kita menabung,

Datang musim Paceklik, kita tak bingung. Hak petani atas pangan. [tulisan pada poster di rumah Pak Maksum]

Pak Maksum tidak di tempat, karena sedang menghadiri rapat anggota di kantor SPPQT.

*** Warung Pak Atiq, jam 20.00 WIB

Labil. Kondisi di Kalibening saat ini sedang mengalami ’metamorfosis’. Entah menjadikannya lebih baik atau tidak, saya belum mampu merabanya. Menurut As’ad—salah satu murid Sekolah Alternatif QT yang juga anggota advokasi SPPQT—SPPQT tidak seperti dulu. Selain telah berganti ketua— yang sebelumnya dipimpin oleh pak Bahrudin—juga kondisi di dalamnya. Kurangnya transparansi dalam pengelolaan dan hanya beberapa anggota saja yang tetap konsisten dalam tujuannya. Kondisi ini menyebabkan salah satu anggota—mbak Nurul, yang menangani pendidikan alternatif—siap-siap hengkang dari SPPQT dan akan pindah ke Yogyakarta.

Demikian halnya dengan Sekolah Alternatif QT yang semakin terguncang keberadaannya. Beberapa Sekolah Alternatif di daerah lain sudah tutup dan mungkin hanya Sekolah Alternatif QT Kalibening—yang merupakan pionir sekolah alternatif—yang masih bertahan sampai saat ini.

As’ad juga menyinggung soal sampah, yang sampai saat ini masih menjadi kendala. Dengan mengolah/mengelola/memberdayakannya akan lebih terasa manfaatnya bagi masyarakat. Telah lama As’ad bersama beberapa temannya mengolah sampah plastik menjadi tas dan dompet. Saat ini terhenti karena kekurangan modal dan berencana akan menjalankannya lagi.

sampai dini hari.

(Gb.3) Teras SAKE (sumber: sketsa pribadi)

Perebutan air masih menjadi masalah sejak lama. Setiap petani mendapat jatah air masing-masing. Bila ingin mengairi sawahnya—bagi yang tidak punya jatah air ataupun menambah air di sawahnya—harus meminjam dari petani lain dan kemudian menggantinya.

Sulitnya mengubah pola pikir—yang sudah mentradisi—juga menjadi kendala. Petani meminjam modal untuk membeli pupuk seperti sudah menjadi kewajiban. Memang, penggunaan pupuk kimia akan mempercepat produktivitas tanaman.

”Tapi harga pupuk semakin mahal, dan penggunaan pupuk kimia secara terus menerus kelak akan merusak zat-zat yang ada di dalam tanah. Sehingga kalau dibuat grafiknya, akan berbanding terbalik keuntungan jangka panjangnya”, kata Fahmi.

Produktivitas meningkat, disisi lain kualitas tanahnya menurun.

15 Juli 2009

Jalan-jalan di desa. Menyusuri pematang sawah dipandu peta. Pak tani mencangkul sawah, membajak dengan dua ekor sapi dan bu tani sedang menyemai benih padi.

Berjalan sampai di desa Tegalsari, yang secara administratif masih termasuk dalam Kelurahan Kalibening. Desa ini menjadi perbatasan antara Kelurahan Kalibening dengan Kelurahan Tingkir Lor yang berada di sebelah Selatannya.

Kemandirian desa semakin pudar. SPPQT yang sebelumnya dapat berjalan dengan kemandiriannya—baik dengan biaya sendiri maupun bantuan dari orang lain tetapi tetap dengan pengelolaan sendiri—kini terasa berubah kondisinya. Pengelolaan semakin diambil alih oleh investor. Dana yang dikeluarkan oleh investor harus sesuai kebijakan investor.

Kantor SPPQT.

16 Juli 2009 Menemui pak Maksum. Ada tiga departemen di SPPQT, antara lain :

[1] Dept. Adokasi, dalam hal kebijakan , oleh Abdul Rohim (koordinator divisi advokasi SPPQT) [2] Dept. PKO, pengorganisasian oleh pak Faisol (Khadzik Faisol), Azis Sultan Abidin Pak Misron menangani pengorganisasian anggota atau keluarga yang bekerja di luar negeri (buruh migran). Mbak Nurul dan pak Mujab menangani pendidikan Alternatif. [3] Dept. Ekonomi, oleh pak Robian, pak Zuadi menangani keuangan, dan pak Mukito menangani KSP (Koperasi Simpan Pinjam).

Ketika menanyakan tentang pertanian organik, saya disarankan untuk menanyakan langsung kepada pihak yang berkompeten, salah satunya pak Budi, yang menangani pertanian organik khususnya sayur mayur atau pertanian di daerah dataran tinggi. Sedangkan anggota lain yang menangani padi organik (pertanian di daerah dataran rendah) adalah Pak Mutarom.

“Kalau ada yang bilang rokoklah yang meyebabkan penyakit, saya kurang setuju. Karena sebetulnya zat-zat yang terkandung di dalamnyalah yang menyebabkannya.”

“Kakek kita dulu lebih ‘liar’ merokoknya, hanya tembakau dan cengkeh yang dibungkus dengan daun tembakau kering, dan kadang ditambah kemenyan. Kalau sekarang sudah ditakar dan ada penyaringnya pula.”