A. Kedaulatan Rakyat - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Konsep Ideal Dewan Perwakilan Daerah di Indonesia

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pada bab ini Penulis akan membahas mengenai konsep Lembaga Perwakilan di Indonesia. Berbicara mengenai lembaga

  perwakilan, maka tidak bisa terlepas dari konsep Kedaulatan Rakyat, Lembaga Perwakilan dan konsep Bicameral yang akan dipahami secara general maupun secara khusus di Indonesia.

  Selanjutnya maksud dari bab ini adalah sebagai landasan teoritis/titik pijak yang akan digunakan untuk memberikan argumen dan analisis mengenai sistem bikameral yang ideal untuk diterapkan di Indonesia pada masa yang akan datang.

A. Kedaulatan Rakyat

  Dalam proses Perubahan UUD 1945 terjadi pergulatan pemikiran tentang gagasan kedaulatan rakyat. Pergulatan pemikiran tersebut berujung dengan diubahnya ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945. Awalnya, Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 berbunyi “Kedaulatan adalah ditangan rakyat, dan dilakukan

  sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat

  ”. Kemudian menjadi “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan

  menurut Undang-Undang Dasar

  ”. MPR yang pada mulanya dipahami sebagai pemegang mandat sepenuhnya dari rakyat atau

  1

  pemegang kedaulatan rakyat yang tertinggi, Bergeser ke arah pemahaman bahwa MPR tidak lagi sebagai pemegang mandat tunggal yang tertinggi, melainkan mandat itu dilaksanakan berdasarkan UUD 1945. Dengan demikian, mandat rakyat dijalankan oleh cabang-cabang kekuasaan negara berdasarkan UUD 1945, termasuk oleh MPR sebagai salah satu lembaga penyelenggara kekuasaan negara. Alasan perubahan ini menurut Jimly Asshiddiqie dikarenakan rumusan Pasal 1 ayat (2) sebelum Perubahan memuat ketentuan yang tidak jelas, dengan adanya

  sepenuhnya oleh Majelis

  ungkapan “…dilakukan

  Permusyawaratan Rakyat

  ” maka ada yang menafsirkan bahwa hanya MPR sajalah yang melakukan kedaulatan rakyat sehingga DPR yang merupakan wakil rakyat dipandang tidak

  

2

melaksanakan kedaulatan rakyat.

1 Soewoto Mulyosudarmo, Pembaharuan Ketatanegaraan Melalui

  

Perubahan Konstitusi , Asosiasi Pengajar HTN dan HAN dan In-TRANS,

Malang, 2004, hal. 3. 2

  Perubahan gagasan kedaulatan dalam UUD 1945 sekaligus juga dibarengi dengan perubahan terhadap cara rakyat memberikan mandat terhadap penyelenggara kekuasaan negara. Sebagai wujud dari gagasan kedaulatan rakyat, dalam sistem demokrasi harus dijamin bahwa rakyat terlibat penuh dalam merencanakan, mengatur, melaksanakan, dan melakukan pengawasan serta menilai pelaksanaan fungsi-fungsi kekuasaan.

  Pelaksanaan keterlibatan penuh rakyat tersebut haruslah diorganisasikan menurut UUD 1945, tidak lagi diorganisasikan melalui institusi kenegaraan Majelis Permusyawaratan Rakyat layaknya ketentuan UUD 1945 sebelum Perubahan. Perbedaan

  3 yang terjadi setelah perubahan itu sangat jelas dan prinsipil.

  Pertama, kedaulatan yang berada di tangan rakyat itu sekarang tidak lagi dilembagakan hanya pada satu subjek (ordening

  

subject ), MPR sebagai penjelmaan tunggal lembaga negara.

  Dalam rumusan yang baru, semua lembaga negara baik secara langsung ataupun tidak langsung juga dianggap sebagai penjelmaan dan dibentuk dalam rangka pelaksanaan kedaulatan

  

Nasional (SPHN) Oleh Komisi Hukum Nasional (KHN) Republik Indonesia, rakyat. Kedua, pengharusan pelaksanaan tugas menurut ketentuan UUD tidak hanya satu lembaga saja, yakni MPR, melainkan semua lembaga negara diharuskan bekerja menurut ketentuan UUD 1945.

  Kedaulatan rakyat Indonesia berdasarkan ketentuan UUD 1945 (constitutional democracy) diselenggarakan secara langsung dan melalui sistem perwakilan. Kedaulatan rakyat diwujudkan dalam tiga cabang kekuasaaan yang tercermin dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat yang terdiri atas Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah sebagai pemegang kekuasaan legislatif, Presiden dan Wakil Presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif, dan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi sebagai pemegang kekuasaan yudikatif.

  Penyaluran kedaulatan secara langsung (direct

  

democracy ) dilakukan melalui pemilihan umum, pemilihan

  Presiden, dan sebagai tambahan yaitu pelaksanaan referendum untuk menyatakan persetujuan atau penolakan terhadap rencana perubahan atas pasal-pasal tertentu dalam UUD 1945. Bentuk penyaluran kedaulatan rakyat lainnya yaitu melalui pelaksanaan atas kebebesan informasi, hak atas kebebasan berorganisasi dan berserikat serta hak-hak asasi lainnya yang dijamin dalam

4 Undang-Undang Dasar. Pada hakikatnya dalam ide kedaulatan

  rakyat itu, tetap harus dijamin bahwa rakyatlah yang sesungguhnya pemilik negara dengan segala kewenangannya untuk menjalankan semua fungsi kekuasaan negara, baik di bidang legislatif, eksekutif, maupun yudikatif. Dan tentunya UUD 1945 dengan segala ketentuannya merupakan penjelmaan kedaulatan rakyat, baik yang dilaksanakan secara langsung (direct democracy) maupun yang dilaksanakan secara tidak langsung atau perwakilan (representative democracy) melalui lembaga perwakilan rakyat. Oleh sebab itu pula, organ atau lembaga-lembaga negara yang melaksanakan fungsi kekuasaan negara dianggap melaksanakan amanat kedaulatan rakyat dan tunduk pada kedaulatan rakyat berdasarkan ketentuan UUD 1945.

  Apabila hal ini dihubungkan dengan teori kontrak sosial Jean Jacques Roesseau yang menyatakan bahwa kehendak rakyat yang

  5

  berdaulat itu dapat disalurkan dengan dua cara yaitu, pertama adalah kehendak seluruh rakyat yang biasa disebut volunte de 4

  

tousdan yang kedua adalah kehendak umum yang berarti tidak

harus semua rakyat atau disebut sebagai volunte generale.

  Kehendak yang pertama biasa juga disebut sebagai kedaulatan politik dan yang kedua biasa juga disebut sebagai kedaulatan hukum.

  Dalam kedaulatan rakyat dengan sistem perwakilan atau demokrasi biasa juga disebut sebagai sistem demokrasi perwakilan (representative democracy) atau demokrasi tidak langsung (indirect democracy). Di dalam demokrasi perwakilan ini yang menjalankan kedaulatan rakyat adalah para wakil-wakil rakyat yang duduk di dalam lembaga perwakilan rakyat atau biasa juga disebut Parlemen. Para wakil-wakil rakyat tersebut bertindak atas nama rakyat dan mereka yang kemudian menentukan corak dan jalannya pemerintahan suatu negara, serta tujuan apa yang hendak dicapai baik dalam jangka waktu yang pendek maupun dalam waktu yang panjang. Hal seperti yang dikatakan Rousseau sebagai pelaksanaan kedaulatan rakyat

  6 melalui kehendak hukum (volunte generale). 6

B. Konsep Umum Sistem Bicameral 1. Pengertian Sistem Bikameral dan Lembaga Perwakilan

  Dalam negara demokrasi, format keterwakilan rakyat yang ideal dalam sebuah negara menjadi sesuatu yang sangat penting. Keberadaan lembaga perwakilan rakyat merupakan konsekuensi logis dari sebuah sistem demokrasi. Konstitusi sebagai hukum dasar harus mampu menjawab kebutuhan tersebut. Sebuah lembaga yang menjadi representasi dalam penyelenggaraan negara harus diatur dan dimuat dalam konstitusi.

  Secara teoretis, Kontitusi diartikan sebagai seperangkat aturan yang digunakan untuk membangun atau mengatur

  

7

  sebuah pemerintahan negara. Arti konstitusi memuat aturan pokok yang digunakan untuk membangun dan mengatur sebuah pemerintahan negara. Menurut Aristoteles ada tiga unsur yang harus dipenuhi oleh sebuah pemerintahan yang berkonstitusi, yaitu: pertama, Pemerintahan dilaksanakan 7 untuk kepentingan umum. Kedua, Pemerintahan dilaksanakan menurut yang berdasarkan kepada ketentuan- ketentuan umum bukan yang dibuat secara sewenang- wenang yang mengesampingkan konvensi dan konstitusi.

  Pemerintah berkonstitusi berarti pemerintahan

  Ketiga,

  yang dilaksanakan atas kehendak rakyat bukan berupa

  8 paksaan maupun tekanan yang dilakukan pemerintah.

  Setiap unsur yang dikemukakan oleh Aristoteles tersebut memiliki makna dan konsekusensi yang berbeda. menginginkan bahwa pemerintahan konstitusional

  Pertama,

  harus mengutamakan kepentingan umum/public dalam hal ini adalah rakyat. Kedua, mengandung makna bahwa penyelenggaraan pemerintahan harus berdasar pada hukum (rule of law). Dengan demikian, hukum tersebut juga harus dalam rangka melindungi kepentingan rakyat. Ketiga, mengharuskan pemerintahan dilaksanakan atas kehendak

  9 rakyat.

  Secara umum, struktur organisasi lembaga perwakilan 8 rakyat terdiri dari dua bentuk yaitu lembaga perwakilan

  Riri Nazriyah, MPR RI Kajian Terhadap Produk Hukum dan Prospek di rakyat satu kamar (unicameral) dan lembaga perwakilan

  10

  rakyat dua kamar (bicameral). Praktik unikameral dan bikameral tidak terkait dengan landasan bernegara, bentuk negara, bentuk pemerintahan, atau sistem pemerintahan

  11

  tertentu. Kedua bentuk itu merupakan hasil proses panjang

  12 praktik ketatanegaraan di berbagai belahan dunia.

  Penerapan sistem bikameral, misalnya, dalam praktiknya sangat dipengaruhi oleh tradisi, kebiasaan, dan sejarah

  13

  ketatanegaraan negara yang b ersangkutan. Perbedaan latar belakang sejarah atau tujuan yang hendak dicapai menjadi salah satu faktor penting yang mempengaruhi sistem perwakilan rakyat pada suatu negara.

  14 Menurut Dahlan Thaib seperti dikutip H. Subardjo,

  dalam pembentukan sistem lembaga perwakilan bicameral

  10 Lihat, John A. Jacobson, An Introduction to Political Science, West/Wadsworth , Belmont CA, Washington, 1998. 11 Bagir Manan, Teori dan Politik Konstitusi, Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII) Press, 2003, Yogyakarta. hal 1. 12 Bivitri Susanti (et.al), Semua Harus Terwakili, Studi Mengenai Reposisi

MPR, DPR, dan Lembaga Kepresidenan di Indonesia , Pusat Studi Hukum dan

Kebijakan Indonesia, 2000, Jakarta. hal 11. 13 Jimly Asshiddiqie, Pergumulan Peran Pemerintah dan Parlemen dalam

  

Sejarah, Telaah Perbandingan Konstitusi Berbagai Negara , Universitas Indonesia Press, 1996, Jakarta. 14 perlu ditentukan persamaan dan perbedaan diantara kedua lembaga tersebut. Kedua lembaga perwakilan ini mempunyai fungsi legislasi, fungsi pengawasan, dan fungsi anggaran. Masing-masing lembaga bersidang sekali setahun.

  Kehadiran lembaga perwakilan merupakan wujud dari demokrasi. Demokrasi menghendaki pemerintahan yang berasal dari rakyat, untuk rakyat dan oleh rakyat. Demokrasi pada era sekarang dilakukan melalui sistem perwakilan dalam rangka membentuk “representative government”. Menurut Arbi Sanit perwakilan di artikan sebagai hubungan diantara dua pihak yaitu wakil yang terwakili, dimana wakil memegang kewenangan untuk melakukan berbagai tindakan yang berkenaan dengan kesepakatan yang dibuatnya dengan

  15

  yang terwakili. Perwakilan rakyat terbagi dalam dua prinsip yaitu keterwakilan secara pemikiran atau aspirasi

  

Sistem Bikameral Dalam Lembaga Perwakilan Indonesia , Graha Ilmu,

Yogyakarta, 2012, hal. 66-67. 15

  (representation in ideas) dan perwakilan fisik atau

  16 keterwakilan fisik (representation in presence).

  Keterwakilan secara fisik diwujudkan dengan terpilihnya seorang wakil dalam keanggotaan Parlemen.

  Dalam keterwakilan fisik tidak ada jaminan bahwa wakil rakyat akan menyuarakan aspirasi rakyatnya karena sangat dipengaruhi oleh banyak faktor, misalnya sistem pemilu,

  17

  kepartaian bahkan pribadi masing-masing wakil. Oleh karena itu, muncul pemikiran tentang keterwakilan subtantif (representation in ideas) yang tidak bergantung pada

  18

  mekanisme kelembagaan Parlemen. Setiap saat rakyat dapat menyampaikan aspirasinya melalui media masa, forum dengar pendapat, kunjungan kerja, dll. Artinya keterwakilan secara fisik tidaklah cukup dan harus diikuti oleh keterwakilan subtantif.

  Selain itu pembagian konsep perwakilan rakyat dapat dilihat dari sudut pandang hubungan antara yang diwakili

16 Jimly Asshidiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Konpress, Jakarta, 2006, hal. 176.

  17 dan mewakili. Pembagian tersebut dapat dibagi dalam dua tipe.

  a.

  Perwakilan dengan tipe delegasi atau mandat.

  Yang berpendirian wakil rakyat merupakan corong keinginan rakyat yang terwakili. Ia harus menyuarakan apa saja keinginan rakyat. Wakil rakyat terikat dengan keinginan rakyat dan sama sekali tidak memiliki kebebasan berbicara lain

  19 dari pada yang dikehendaki konstituennya.

  Dalam tipe ini wakil rakyat harus memiliki kontak secara langsung dan continue dengan konstituennya. Hubungan ini diperlukan untuk menjaga ketersambungan aspirasi rakyat dan wakilnya. Wakil rakyat hanya mempunyai dua pilihan mengikuti keinginan mayoritas rakyat atau mundur jika tidak sepakat dengan keinginan tersebut.

  b.

  Perwakilan dengan tipe trustee (independent) 19 berpendirian bahwa wakil rakyat dipilih berdasarkan pertimbangan yang bersangkutan dan memili kemampuan mempertimbangkan secara baik (good judgement). Wakil rakyat memiliki kebebasan untuk berbuat dan diberikan kepercayaan untuk itu. Dasar pertimbangan yang digunakan oleh wakil rakyat dalam bertindak lebih mengutamakan

  20 kepentingan nasional.

  Dalam melihat hubungan antara wakil dan yang diwakili Riswandha Imawan dengan mengutip Abcarian

  21 mengemukakan adanya empat tipe hubungan, yaitu.

  1. Wakil sebagai wakil; dalam tipe ini, wakil bertindak bebas menurut pertimbangannya sendiri tanpa perlu berkonsultasi dengan pihak yang diwakilinya.

  2. Wakil sebagai utusan; dalam tipe ini wakl bertindak sebagai utusan dari pihak yang diwakili sesuai dengan mandate yang diberikannya.

  3. Wakil sebagi politico; dalam tipe ini wakil kadang-kadang bertindak sebagai wali dan adakala bertindak sebagi utusan. Tindakan wakil akan mengikuti keperluan atau masalah yang dihadapi.

  4. Wakil sebagai partisan; dalam tipe ini wakil bertidak sesuai dengan program partai atau organisasinya. Wakil akan lepas hubungannya dengan pemilih (pihak yang 20 diwakili) begitu proses pemilihan selesai. 21 Ibid.,hal.175.

  Abdi Yuhana, Sistem Ketananegaraan Indonesia, Pasca Perubahan

  Wakil hanya terikat pada partai atau oragnisasi yang mencalonkannya. Masing-masing tipe hubungan tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan. Penerapannya juga sangat tergantung pada dinamika yang ada baik dalam maupun luar Parlemen. Dengan demikian tujuan dibentuk Lembaga perwakilan yaitu dalam dalam rangka untuk mewujudkan prinsip-prinsip di atas. Struktur yang ada dalam lembaga perwakilan semaksimal mungkin harus dapat mewakili seluruh kepentingan rakyat. Secara umum ada tiga prinsip keterwakilan/representasi dalam lembaga perwakilan yang dikenal di dunia, yaitu:

1. Representasi politik (political representation) 2.

  Representasi teritorial (territorial representation) 3. fungsional (functional

  Representasi

  22 representation ).

  Pada mulanya prinsip yang pertama adalah perwakilan melalui prosedur partai politik sebagai salah satu pilar demokrasi modern. Keterwakilan politik ini 22 dianggap belum sempurna sehingga diciptakan saluran kedua yang merupakan keterwakilan daerah/ fungsional

  23

  untuk memberikan double check dalam menjalankan fungsi sebagai lembaga perwakilan. Hadirnya keterwakilan daerah ini yang dinamakan dengan sistem perwakilan dua kamar/ bicameral sistem.

  Struktur organisasi Parlemen dua kamar atau dalam istilah yang lain adalah bicameral. Beberapa definisi tentang bikameralisme dan second chamber adalah sebagai berikut.

  a.

   Bicameral system: A term applied by Jeremy Bentham to the division of e legislative body into two chamber, as in the United States Government

  

24

(Senate and House) b.

   Bicameral system: A legislature which has two chamber rather than one (a unicameral system), providing checks and balances and lessening, the rrisk of elective dictatorship. At the birth of the United, Benjamin Franklin wrote that”aplural legislature is as necessary to good government as a

  25 single executive.

  c.

   Bicameral: The devision of legislative or judicial body into two components or chambers. The US Congress is a bicameral legislature, since its divided into two houses, the Senate and the House of 23 Representatives 24 Ibid., Jimly Asshiddiqie, Konsolidasi Naskah UUD 1945 Setelah Perubahan keempat , Pusat Studi Tata Negara FH-UI, Jakarta, 2002, hal. 36. 25 Henry Campbell Black, Black‟s Law Dictionary; Definition Of the terms

  d.

   Second Chambers: Historically second chamber are rooted in the medieaval idea of representation of orders or ESTATES. The various social ordersa were considered to require representation in defferent methods of selection. Second chamber atau Upper House di berbagai

  negara dikenal dengan variasi nama yang bermacam- macam. Di Inggris misalnya, dikenal dengan nama House , di Switzerland dikenal dengan nama Concil of

  of Lords States (Standerat), di Jerman dikenal dengan nama Bundesrat, di Malaysia dikenal dengan dengan Dewan

  Negara sedangkan di Autralia, Amerika Serikat, Kanada

  26 dan Prancis dikenal dengan istilah Senate.

  Mengenai kamar kedua atau second chamber, John Stuart Mill dalam bukunya Representative Government mengatakan bahwa: „But the house need not both be of the

  same composition; they may be intended as check on one another. One being supposed democratic, the other will naturally be constituted with aview to its being some restraint upon democracy” kemudian ia juga berpendapat, „if one House represent popular feeling, the other should

  represent personal merit, tested and guaranteed by actual public service, and fortified by practical experience. If one is the people‟s chamber, the other should be the chamber of statesmen .

  Penjabaran klasik tentang fungsi dari second Chamber atau kamar kedua dikemukakan oleh Lord Bryce.

  Bryce mengatakan bahwa second chamber atau kamar kedua mempunyai empat fungsi, yaitu:

  a.

  

Revisions of legislation;

b. Intuition of noncontrolversil bills; c. Delaying legislation of fundamental constitutional importance so as „to enable the opinion of the nation to be adequalitely

expressed upon it;‟ and

  27 d.

   Public debate.

  Selain fungsi second chamber atau upper house yang disebutkan oleh Lord Bryce, argumentasi dibentuknya

  second chamber atau upper house menurut C.F Strong

  dalam bukunya modern political constitution adalah sebagai berikut.

  a.

   The existence of a second chamber prevent the passage of precipitate and ill considered by a single house.

  b.

   The sense of unchecked power on the part of single Assembly, concius of having only itself to consulat, may lead to abuse of power and tyranny.

  c.

   The should be a centre of resistance to the pre dominate power in the state at any given moment, whether it be the people as a whole or a political party supported by

a majority of voters .

  d.

   In the case of a federal state there is a special argument in favour of a Second Chamber which is so arranged as to embody the federal principle or to enshrine the popular will of each of the atates, as distinc from that of the

  28

federation as a whole.

  Ada dua alasan mengapa para penyusun konstitusi memilih sistem bicameral, alasan pertama adalah, untuk membangun sebuah mekanisme pengawasan dan keseimbangan (checks and balance ) serta untuk pembahasan sekali lagi dalam bidang legislative. Alasan

  kedua adalah untuk membentuk perwakilan untuk

  menampung kepentingan tertentu yang biasanya tidak cukup terwakili oleh majelis pertama. Secara khusus, bicameralisme telah digunakan untuk menjamin perwakilan yang memadai untuk daerah-daerah di dalam lembaga legislatif. Hasil dari kesenjangan reperesentasi di majelis kedua amat bervariasi di dalam berbagai sistem di dunia.

  Status dari majelis kedua diatas sampai tarap tertentu bergantung pada caranya dipilih. Bila majelis kedua dipilih oleh pemilih, anggota-anggotanya dapat mengaku memiliki legitimasi demokratis langsung yang lebih besar. Bila majelis kedua dipilih secara tidak langsung, anggota- anggotanya hanya mengandalkan legitimasi sebatas dari jalur perwakilan yang menentukan keanggotaan mereka. Bila majelis kedua dipilih langsung oleh pemilih, sistem atau siklus pemilihan bisa jadi berbeda karena bila tidak, alasan untuk memiliki dua majelis dapat dipertanyakan kembali. Kita dapat mengetahui fungsi dan komposisi dari

  , dari cara mereka direkrut

  second chamber/upper houses

  yaitu: a.

  Tidak dengan pemilihan (non elektive), yaitu 1.

  Dengan keturunan (hereditary) 2. Dengan pengangkatan (nomineted) b. Dengan pemilihan (elektive), yaitu 1.

  Seluruhnya dipilih (fully elected)

  29 2.

   Sebagian dipilih (partially elected)

2. Model Bikameral di Parlemen

  Pembagian model kamar di Parlemen secara garis besar terbagi dalam dua kelompok sistem, yaitu sistem unikameral dan bikameral. Namum demikian ada juga yang menggunakan sistem trikameral dan bahkan tetracameral. Struktur organisasi parlemen dengan sistem unicameral terdiri atas satu kamar sedangkan bicameral terdiri dari dua kamar yang masing-masing mempunyai fungsi sendiri-sendiri.

  Sistem trikameral memiliki struktur tiga kamar sedangkan tentrakameral memiliki empat kamar.

  Selama berabad-abad tipe unicameral dan bicameral yang biasa dikembangkan dimana-mana oleh karena itu dalam berbagai literature hubungan tata negara maupun literatur ilmu politik kedua sistem ini yang

  30 lebih popular atau lebih dikenal.

a. Sistem Unikameral.

  Model unikameral adalah model yang 30 meletakkan adanya lembaga tunggal sebagai pemegang kuasa di lembaga Parlemen. Bahkan terdapat beberapa negara yang pada mulanya bikameral kemudian menghapuskan kamar kedua sehingga menjadi unicameral. Di Selandia Baru,

  legislative Council sebagai kamar kedua dihapuskan

  di tahun 1951 dengan alasan tidak efektif. Sedangkan di Denmark landsting (upper house) dihapuskan di tahun 1953 karena tidak melingkupi lower house dan

  31 menjadi penghalang pada proses legislasi.

  Saldi Isra dalam penelitiannya bersama Zainal Arifin Mukhtar, ada beberapa hal menarik perihal pilihan untuk membuat model parlemen dengan kamar tunggal:

  “Pertama, pilihan unicameral tersebut bisa terjadi dengam varian bentuk pemerintahan apapun.

  Sebuah pemerintahan presidensial maupun parlementer juga ada yang mengadopsi model unicameral ini. Kedua, model unicameral ini juga sangat bervarian perihal kebutuhan akan representasi.

  Pengisian Parlemen dengan kamar tunggal ini biasa terjadi dengan kamar tunggal ini biasa terjadi pada partai politik, representasi daerah maupun representasi suku dan jenis kelamin. Ketiga, sebuah parlemen dalam menjalankan fungi-fungsinya juga bisa dilakukan dengan model unicameral dengan menjalankan semua fungsi legislasi, representasi, kontrol, anggaran maupun rekrutmen jabatan publik. meski mampu menjalankan fungsi, model

  Keempat,

  unicameral ini kurang mampu menggagas idealitas fungsi lembaga parlemen. Tanpa kamar kedua, sama sekali tidak ada control bagi kamar tunggal sehingga satu-satunya kontrol adalah cabang kekuasaan lainnya. Tanpa mekanisme kontrol internal tersebut, kualitas fungsi Parlemen dalam hal legislasi, representasi, kontrol, anggaran maupun rekruitmen jabatan publik menjadi berkurang.

  Dapat disimpulkan bahwa model unicameral digunakan pada sistem presidensial maupun parlementer. Dari aspek efesiensi fungsi-fungsi parlemen, model unicameral dianggap sangat efisien. Namun hasil dari pelaksanaan fungsi parlemen tersebut secara kualitas kurang ideal karena tidak ada kontrol bagi kamar tunggal tersebut kecuali dari kekuasaan lain. Dalam rangka mewujudkan representasi baik secara politik, daerah maupun fungsional semuanya digabungkan dalam satu kamar

  32 parlemen.

b. Sistem Bikameral

  Sistem ini diartikan sebagai sistem yang terdiri atas dua kamar berbeda dan biasanya dipergunakan istilah majelis tinggi (Upper House) dan majelis rendah (Lower House). Masing-masing kamar mencerminkan keterwakilan dari kelompok kepentingan masyarakat yang ada baik secara politik, teritorial, maupun fungsional. Pilihan terhadap konsep keterwakilan masing-masing kamar sangat dipengaruh oleh aspek kesejarahan tiap-tiap negara. Pembedaan keterwakilan pada prinsipnya untuk mencegah terjadinya keterwakilan ganda (double

  33 representation) . Kewenangan masing-masing kamar

  di Parlemen mengikuti kewenangan Parlemen pada umumnya. Secara konseptual masing-masing kamar

  34

  adalah sama dan sederajat. Namun dalam perkembangan selanjutnya ada upaya mengurangi kewenangan dan peran salah satu kamar sehingga saat ini sistem bicameral dikatagorikan dalam dua kelompok besar, yaitu: bicameral kuat (strong

  bicameralism) dan bicameral lunak (soft bicameralism) . Pada strong bicameralism dalam arti

  kedua kamar dilengkapi dengan kewenangan yang sama-sama kuat dan saling menyeimbangi satu sama lain. Sedangkan soft bicameralism diartikan bahwa kedua kamar tidak memiliki kewenangan yang sama

  35 kuat.

  33 jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Op Cit, hal. 185. 34 jimly Asshiddiqie, Pergumulan Peran Pemerintah dan Parlemen dalam

  

Sejarah, Telaah Perbandingan konstitusi Berbagai Negara, UI Press, Jakarta,

  Pemberian kewenangan yang hampir sama kuat kepada kedua kamar ditujukan agar masing-masing kamar dapat saling memberikan kontrol dan menciptakan keseimbangan (check and balance).

  Namun, di dalam praktek ketatanegaraan masing- masing kamar memiliki kewenangan yang berbeda dimana pada umumnya majelis rendah (lower house) memiliki kewenangan lebih namun tetap saja terhadap majelis tinggi (upper house) diberikan kompensasi untuk dapat memberikan tanggapan atau pertimbangan yang cukup signifika terutama dalam proses legislasi.

  Dalam pelaksanaan fungsi-fungsi lembaga legislatif yang terkait antara hubungan legislatif dengan lembaga eksekutif, ternyata sebagian sistem presidensial adalah bicameral. Argumentasi yang menyatakan sulit mendapat persetujuan dari dua majelis dan seorang presiden eksekutif adalah suatu prosedur yang berat dan mustahil menjadi tidak relevan. bahkan sistem Parlamenterian yang memiliki model yang lebih beragam.

  36 Pengklasifikasian masing-masing kamar pada

  sistem bicameral ditentukan berdasarkan pada proses pengisiannya. Sifat dasarnya yaitu dipilih (sebagian atau seluruhnya) atau tidak dipilih (turun temurun atau diangkat). Proses pengisian yang sudah dijelaskan pada bagian sebelumnya tidak akan memberikan arti jika tidak diupayakan untuk menemukan hak berikut.

  1. Sejauh mana majelis tinggi yang pemilihnya diluar kontrol seluruh rakyat dapat mempertahankan kekuasaannya yang rill.

  2. Sejuah mana unsur terpilih dalam majelis yang dipilih sebagaian (partially elected

  house ) dapat mengembangkan diri dan memiliki kekuatan.

  3. Dengan cara bagaimana dead-lock antara kedua majelis dapat diselesikan apabila kekuasaan majelis tinggi cukup nyata untuk merintangi tindakan bebas majelis rendah.

  4. Bagaimana kedudukan kamar kedua terpilih bila diberi kekuasaan yang tidak dimiliki pula oleh majelis rendah.

  37

  36

  Selain itu pembagian sistem bicameral yaitu

  strong bicameralism dan soft bicameralism tidak

  hanya pada perbedaan kewenangan saja. Dua kamar dari legislatif bicameral cenderung berbeda dalam beberapa cara. Semula, fungsi yang paling penting dari second chamber atau upper house, memili dengan dasar dari suatu hak suaranya yang terbatas, sebagai rem konservatif terhadap lower house yang

  38 dipilih secara lebih demokratis.

  Menurut Arend Lijphart ada enam perbedaan antara kamar pertama dan kamar kedua, tiga hal yang secara khusus penting dalam membedakan apakah bicameralism adalah suatu institusi yang signifikan. Kita membedakan dengan melihat tiga perbedaan yang kurang penting, yaitu:

  1. Kamar kedua cenderung lebih kecil dari kamar pertama.

  2. Masa jabatan legislatif kedua cenderung lebih lama dari kamar pertama.

  3. Ciri-ciri umum yang lain dari kamar kedua dipilih dengan cara pemilihan bertahap (staggered election). Ketiga perbedaan ini memengaruhi urusan mereka dalam suatu cara yang lebih formal dan santai dari pada yang biasanya terdapat pada kamar yang lebih besar. Tetapi dengan suatu pengecualian disebutkan secara ringkas, mereka tidak memengaruhi suatu pertanyaan apakah suatu negara yang mempunyai Parlemen bicameral adalah suatu institusi yang benar-benar kuat atau berarti.

  Penggolongan sistem bicameral „kuat‟ (strong

  bicameralism

  ) atau „lunak‟ (soft bicameralism)

  39 menurut Andrew S. Ellis adalah sebagai berikut.

  Pertama

  dalam sistem yang „kuat‟ pembuatan undang-undang biasanya dimulai dari majelis manapun, dan harus dipertimbangkan oleh kedua majelis dalam forum yang sama sebelum bisa disahkan. Seb aliknya dalam sistem „lunak‟, majelis yang satu memiliki status yang lebih tinggi dari yang lain.

  Menurut Ramlan Surbakti, ada beberapa pertimbangan Indonesia mengadopsi sistem bikameral yang masing-masing mewadahi keterwakilan yang bebeda, yaitu distribusi penduduk Indonesia menurut wilayah sangat timpang dan terlampau besar terkonsentrasi di Pulau Jawa, serta sejarah Indonesia menunjukkan aspirasi kedaerahan sangat nyata dan mempunyai basis materiil yang sangat kuat yaitu dengan adanya pluralisme daerah otonom seperti daerah istimewa dan otonomi khusus.

40 Sejalan dengan Ramlan Surbakti, Bagir Manan

  memandang ada beberapa pertimbangan bagi Indonesia menuju sistem dua kamar.

  a.

  Seperti diutarakan Montesquieu, sistem dua kamar merupakan suatu mekanisme checks and balances antara kamar-kamar dalam satu badan perwakilan.

  b.

  Penyederhanaan sistem badan perwakilan. Hanya ada satu badan perwakilan tingkat pusat yang terdiri dari dua unsur yaitu unsur yang langsung mewakili seluruh rakyat dan unsur yang mewakili daerah. Tidak diperlukan utusan golongan. Kepentingan golongan diwakili dan disalurkan melalui unsur yang langsung mewakili seluruh rakyat.

  c.

  Wakil daerah menjadi bagian yang melaksanakan fungsi parlemen (membentuk undang-undang, mengawasi pemerintah, menetapkan APBN, dan 40 Ramlan Surbakti, “Menuju Demokrasi Konstitusional: Reformasi

  

Hubungan dan Distribusi Kekuasaan”, dalam Maruto MD dan Anwari WMK, lain-lain). Dengan demikian segala kepentingan daerah terintegrasi dan dapat dilaksanakan sehari- hari dalam kegiatan parlemen. Hal ini merupakan salah satu faktor untuk menguatkan persatuan, menghindari disintegrasi.

  d.

  Sistem dua kamar akan lebih produktif. Segala tugas dan wewenang dapat dilakukan setiap unsur.

  Tidak perlu menunggu atau bergantung pada satu badan seperti DPR sekarang.

  41 Jimly Asshiddiqie menambahkan, dengan adanya

  dua majelis di suatu negara dapat menguntungkan karena dapat menjamin semua produk legislatif dan tindakan- tindakan pengawasan dapat diperiksa dua kali (double

  check ). Keunggulan sistem double check ini semakin

  terasa apabila Majelis Tinggi yang memeriksa dan merevisi suatu rancangan itu memiliki keanggotaan yang komposisinya berbeda dari Majelis Rendah.

  42 Bahkan

  menurut Soewoto Mulyosudarmo, sistem bicameral bukan hanya merujuk adanya dua dewan dalam suatu negara, tetapi dilihat pula dari proses pembuatan undang-undang

  41 Bagir Manan, Teori dan Politik Konstitusi, Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII) Press, 2003, Yogyakarta.hal. 22. 42 Jimly Asshiddiqie, Pergumulan Peran Pemerintah dan Parlemen dalam yang melalui dua dewan atau kamar, yaitu melalui Majelis

  43 Tinggi dan Majelis Rendah.

c. Sistem Trikameral

  Sistem trikameral merupakan model pengkamaran yang menempatkan adanya tiga lembaga di dalam sistem parlemen di suatu negara. Jimly Asshiddiqie menyatakan bahwa Indonesia saat ini menerapkan sistem trikameral.

  Dikatakan demikian karena masing-masing lembaga berfungsi sebagai lembaga permanen dan memiliki kewenangan yang berbeda-beda.

  Sistem trikameral sudah menjadi sangat sulit untuk ditemukan, sejarah mencatat bahwa hanya Afrika Selatan yang pernah menerapkan sistem ini, itu pun terjadi pada masa apharteid. Di mana melalui pemilu pada tahun 1983, terdapat tiga kamar yang masing-masing mewakili warna kulit tertentu yakni, House of Assembly (178 anggota yang merepresentasikan kelompok kulit putih), 43 House of Representatives (85 anggota yang

  Soewoto Mulyosudarmo, Pembaruan Ketatanegaraan Melalui merepresentasikan kaum berwarna dan ras campuran),

  House of Delegates (45 anggota yang merepresentasikan

  44 orang-orang Asia).

d. Sistem Tetrakameral

  Penerapan tetrakameral hampir sama dengan trikameral, walau sangat jarang dikenal, namun beberapa negara di daerah tengah Eropa memiliki Parlemen yang dapat digolongkan sebagai tetrakameral. Praktek sistem ini sangat jarang dikenal khususnya karena memang unicameral dan bicameral yang banyak dikenal dalam prakteknya, disbanding dengan trikameral dan tetrakameral. Namun sejarah juga mencatat pernah adanya negara yang menerapkan model ini, yaitu daerah Medieval Scandinavia melalui model Deliberative Assembly yang secara tradisional terbagi ke dalam empat lingkup, yakni the nobility (ningrat), the clergy (pendeta),

  the burghers (warga kota, pedagang dan pengrajin), and the peasants (petani). Swedia menjadi salah satu negara yang menerapkan sistem ini dalam kurun waktu yang cukup lama.

  Berdasarkan apa yang telah Penulis jelaskan di atas maka yang menjadi fokus dalam penelitian ada sistem

  

bicameral yang ideal sehingga sistem unicameral,

tricameral dan tetracameral yang penulis paparkan pada

  sub bab ini hanya bersifat informatif untuk mengetahui model-model kamar di Parlamen, dan bagaimana bentuk dari model-model kamar tersebut sekaligus sebagai pembanding lembaga perwakilan yang ideal. Ada dua alasan mengapa para penyusun konstitusi memilih sistem

  

bicameral , alasan pertama adalah, untuk membangun

  sebuah mekanisme pengawasan dan keseimbangan (checks and balance) serta untuk pembahasan sekali lagi dalam bidang legislative. Alasan kedua adalah untuk membentuk perwakilan untuk menampung kepentingan tertentu yang biasanya tidak cukup terwakili oleh majelis pertama. Secara khusus, bicameralisme telah digunakan untuk menjamin perwakilan yang memadai untuk daerah- daerah di dalam lembaga legislatif. Hasil dari kesenjangan reperesentasi di majelis kedua amat bervariasi di dalam berbagai sistem di dunia.

C. Bikameral Kuat dan Lemah

  Antara Parlemen bicameral kuat dan lemah, Arend Lijphart membedakan menjadi tiga ciri, yaitu.

1. Kekuasaan yang diberikan secara formal oleh konstitusi terhadap kedua kamar tersebut.

  2. Bagaimana metode seleksi mereka, biasanya memengaruhi legitimasi demokratis dari kamar-kamar tersebut.

  3. Perbedaan yang krusial antara dua kamar dalam bicameral adalah kamar kedua mungkin

  legalislative

  dipilih dengan cara atau desain yang berbeda juga sebagai perwakilan (over represent) minoritas tertentu/ khusus. Jika dalam kasus ini, dua kamar berbeda dalam komposisi mereka. Dapat disebut incongruenti, contoh yang paling mencolok adalah paling banyak kamar kedua dipergunakan sebagai kamar federal pada suatu

  45 federasi.

  Pertama, kekuatan formal. Biasanya, jika terjadi konflik, Keputusan senat bisa ditimpa oleh majelis rendah.

  Di antara 36 negara yang dipelajari Lijphart pada tahun 2012, baik parlementer maupun presiden sistem dia menyebutkan Italia, Swiss, Amerika Serikat, Argentina dan Uruguay 45 sebagai Sistem dimana secara formal, kedua ruang memiliki posisi yang sama. Sekali itu Juga kasusnya di Belgia, Denmark dan Swedia, namun kedua negara terakhir memiliki sejak beralih ke sistem unikameral dan di Belgia, sejak tahun

  46 1993, Belum ada pertanyaan tentang persamaan.

  Kekuatan formal mengacu pada bagaimana konstitusi suatu negara mengatur. Dalam hal format lembaga perwakilan di Indonesia, DPR memiliki kewenangan yang dominan sedangkan DPD sebagai kamar kedua memiliki posisi yang sangat lemah karena sejak awal secara formal sudah dibatasi oleh Peraturan Perundang-undangan.

  Faktor kedua yang menurut Lijphart penting adalah

  metode pemilihan atau pemilihan para senator Senat yang tidak memiliki legitimasi elektoral langsung, karena mereka dipilih secara tidak langsung atau bahkan ditunjuk, tidak memiliki legitimasi demokratis dan oleh karena itu pengaruh politik aktual yang mereka miliki jika mereka secara langsung terpilih, bahkan jika mereka kadang memiliki kekuatan yang tampaknya kuat . Di sisi lain, seorang senat yang dipilih secara langsung dapat menggunakan ini mengkompensasi sejauh kurangnya kekuatan formal.

  Apabila mengacu pada sistem pemilihan yang dilakukan di Indonesia maka sudah seharusnya DPD mempunyai legitimasi yang kuat karena DPD langsung mewakili kepentingan masyarakat daerah pemilihannya sedangkan DPR lebih berorientasi pada perwakilan partai politik.

  Faktor ketiga yang dipertimbangkan Lijphart adalah

  pertanyaan apakah minoritas terlalu banyak diwakili dalam senat. Biasanya ini berbentuk lebih representasi dari negara bagian atau provinsi yang lebih kecil dalam kaitannya dengan ukurannya, seperti pada Amerika Serikat, Kanada, Australia, Jerman dan Swiss, atau representasi berlebihan dari daerah pedesaan dibandingkan dengan daerah perkotaan, seperti di Perancis. Minoritas di Indonesia senat lebih baik diwakili, karena pemilihan senat menggunakan sistem representasi proporsional, sedangkan sistem mayoritas digunakan untuk pemilihan rumah bawah dalam sistem bikameral lainnya, kedua ruangan tersebut dipilih melalui sistem pemilihan yang sebanding, seperti di Italia dan (terlepas dari yang tidak langsung karakter pemilihan) juga di Belanda. Lijphart menganggap senat lebih kuat jika komposisinya berbeda dari bilik lainnya.

  Berdasarkan ketiga faktor tersebut, Lijphart membuat analisis kekuatan bikameralisme di negara yang ia pelajari.

  Lijphart mengatakan sistem terkuat adalah sistem dimana kekuatan dan legitimasi kedua ruang adalah kira-kira hampir sama kuatnya (ruangnya simetris) dan senat menyediakan sebuah lebih representasi dari minoritas dibandingkan

  47 dengan ruangan lainnya komposisi ruang tidak sesuai).

  Lijphart menggambarkan Belanda sebagai cukup kuat karena hak veto mutlak hak, senat Inggris adalah kasus terpisah, karena (asimetris) majelis tinggi, dalam istilah yang ketat, tidak sesuai (over-representasi dari minoritas), tetapi ini adalah peninggalan masa pra-demokrasi. Karena itu, Lijphart posisi itu antara cukup kuat dan lemah.

Dokumen yang terkait

BAB IV GAMBARAN TIGA GERAKAN MORAL DALAM DESA MALINJAK 4.1 Munculnya Tiga Gerakan Moral di Kabupaten Sumba Tengah Kabupaten Sumba Tengah terletak di Pulau Sumba. Dalam era otonomi daerah, - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Des

0 3 15

BAB V PERSEPSI DAN PERUBAHAN PERILAKU MASYARAKAT DESA MALINJAK DALAM PRAKSIS TIGA GERAKAN MORAL 5.1. Realitas kehidupan kolektif yang malas, boros, dan tidak aman 5.1.1. Dari Rajin Berkebun ke Sifat Jenuh dan Malas - Institutional Repository | Satya Wacan

0 0 13

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Desa Malinjak Bergerak: Studi Sosiologis tentang Persepsi dan Perubahan Perilaku Masyarakat Desa Malinjak dalam Praksis Tiga Gerakan Moral di Kabupaten Sumba Tengah

0 0 13

BAB II LANDASAN TEORITIS 2.1 Wisata Karaoke - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peran Aktor dalam Pengendalian Pemanfaatan Ruang Sarirejo, Kecamatan Sidorejo, Kota Salatiga

0 1 9

BAB IV GAMBARAN UMUM PENELITIAN - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peran Aktor dalam Pengendalian Pemanfaatan Ruang Sarirejo, Kecamatan Sidorejo, Kota Salatiga

0 1 10

BAB V PERAN AKTOR DALAM PEMANFAATAN RUANG SARIREJO KOTA SALATIGA - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peran Aktor dalam Pengendalian Pemanfaatan Ruang Sarirejo, Kecamatan Sidorejo, Kota Salatiga

0 0 26

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Intervensi Negara dalam Ranah Hukum Privat: Studi Komparasi Antara Lembaga Jaminan Fidusia dan Gadai

0 0 27

A. LEMBAGA JAMINAN 1. Pengertian Jaminan - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Intervensi Negara dalam Ranah Hukum Privat: Studi Komparasi Antara Lembaga Jaminan Fidusia dan Gadai

0 0 47

A. PERBEDAAN JAMINAN FIDUSIA DAN GADAI - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Intervensi Negara dalam Ranah Hukum Privat: Studi Komparasi Antara Lembaga Jaminan Fidusia dan Gadai

0 0 19

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Konsep Ideal Dewan Perwakilan Daerah di Indonesia

0 0 23