BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pernafasan Normal - Perbedaan Nilai Skeletal Dalam Arah Vertikal Antara Pola Pernafasan Normal Dan Pernafasan Melalui Mulut Pada Pasien Di Klinik Ortodonti Rsgmp Fkg Usu Tahun 2009-2013

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pernafasan Normal

  Fungsi utama pernafasan adalah untuk memperoleh O

  2 agar dapat digunakan

  19

  oleh sel-sel tubuh dan mengeliminasi CO

  2 . Normalnya, Hidung merupakan jalan

7,20-22

  utama bagi manusia untuk bernafas. Tugas utama dari hidung adalah mempersiapkan dan merombak udara yang masuk yaitu dengan menghangatkan, menyaring, dan melembapkan udara yang selanjutnya udara akan memasuki paru- paru. Kualitas dari udara yang diterima oleh paru-paru akan berpengaruh pada

  

7,20,22

kesehatan dan fungsi paru-paru itu sendiri.

  19 Saluran pernafasan berawal dari saluran hidung (nasal). Pada saat menarik

  nafas, udara masuk melalui nares anterior lalu diteruskan ke atas setinggi konka media dan turun kebawah ke arah nasopharynx sehingga aliran udara membentuk lengkungan atau arkus. Pada saat menghembuskan nafas, udara masuk melalui konka dan kemudian mengikuti jalan yang sama seperti menghirup udara. Namun, di bagian depan aliran udara memecah, sebagian lain kembali ke belakang membentuk pusaran

  6 dan bergabung dengan aliran dari nasopharynx.

  Pernafasan melalui hidung berhubungan dengan fungsi normal pada pengunyahan dan penelanan serta berpengaruh pada postur kepala, rahang dan

  5,10

  lidah. Pada saat bernafas melalui hidung, mandibula secara keseluruhan berada pada posisi statis yang dipertahankan oleh keseimbangan tekanan otot-otot. Keseimbangan ini merupakan peran tarikan dari atas oleh tonus mastikatori, tekanan gravitasi serta tarikan dari bawah oleh tonus otot hyoid. Aktivitas pasif myotonic otot mastikatori menyebabkan madibula menggantung pada kranium dan otot-otot mastikasi dan otot servikal anterior menentukan posisi dari mandibula. Keseimbangan otot-otot pada saat posisi istirahat dari mandibula inilah yang

  23 merupakan suatu upaya dari mempertahankan postural kepala. Selain menyebabkan posisi normal dari mandibula, bernafas melalui hidung juga menyebabkan posisi lidah berada pada posisi istirahat. Posisi istirahat lidah adalah ketika bagian anterior dari lidah berkontak dengan palatum rugae dan bagian posterior dari insisivus sentralis atas sedangkan bagian pinggir lateral lidah berada di dalam aspek lingual tulang maksila dan dasar dari lidah berkontak dengan palatum lunak. Dorsum lidah akan menggantung terhadap palatum keras karena adanya ruang dari tekanan udara negatif yang dihasilkan dari sistem ruang hampa dari posisi lidah

  23 yang berlawanan terhadap palatum.

  Ketika lidah berada pada posisi istirahat, otot-otot sistem kraniomandibular yaitu temporal, masseter dan otot pterygoid akan mengalami tahap pengenduran dan mandibula merendah ke posisi istirahat untuk membuat suatu ruang bebas. Bibir, pipi dan lidah mengerahkan tekanan internal dan external yang seimbang terhadap gigi geligi (Gambar 1). Posisi normal bibir dan lidah menyebabkan perkembangan yang

  23 normal dari dental alveolar dengan menyeimbangkan tekanan ke gigi geligi.

  Gambar 1. Posisi istirahat lidah menyebabkan tekanan internal dan eksternal terhadap Gigi-geligi menjadi seimbang sehingga memicu perkembangan normal

  23 regio dental alveolar.

  Oleh karena itu, pola pernafasan melalui hidung dapat menstimulasi

  5,10 pertumbuhan dan perkembangan kraniofasial kompleks yang adekuat.

2.2 Pernafasan Abnormal

  Meningkatnya frekuensi keterlibatan mulut dalam bernafas disebabkan adanya obstruksi pada saluran nafas, dideskripsikan oleh Wenzel dkk sebagai pola pernafasan

  23

  abnormal. Pernafasan melalui mulut pada manusia merupakan suatu keadaan tidak wajar yang dilakukan atas kebutuhan untuk menyediakan udara masuk ke paru-paru dan mengeluarkan udara ketika jalan utama tersumbat oleh adanya obstruksi nasal

  20

  atau nasofaring. Pola bernafas melalui mulut dapat dilakukan secara total atau

  1,3,6 sebagian, terus menerus atau intermitten.

  Finn mengkategorikan penyebab pernafasan melalui mulut menjadi 3,

  8,20,24

  yaitu :

  1. Anatomi Bentuk anatomi saluran pernafasan yang menjadi penghalang bagi udara untuk masuk sehingga memaksa tubuh untuk memenuhi kebutuhan udara dengan bernafas melalui mulut.

  2. Obstruksi atau penyumbatan saluran pernafasan. Obstruksi atau penyumbatan saluran pernafasan dapat berakibat menyempitnya jalan nafas. Hal itu dapat disebabkan oleh deviasi septum, deformitas nasofaring, hipertropi adenoid dan tonsil, alergi rhinitis, faktor iritan, infeksi, kongenital deformitas nasal, trauma pada nasal, polip, tumor dan faktor predisposisi lainnya yang dapat menyebabkan menyempitnya jalan nafas.

  3. Kebiasaan

  Habit atau kebiasaan adalah suatu pola yang diperoleh dari frekuensi

  pengulangan suatu sikap, yang awalnya dilakukan dengan kesadaran dan kemudian

  25

  tanpa disadari dilakukan dalam jangka waktu yang cukup lama. Begitu pula dengan kebiasaan bernafas melalui mulut tidak dapat langsung hilang walaupun faktor penyebab sudah dihilangkan.

  Untuk dapat menentukkan diagnosis bahwa seseorang mempunyai kebiasaan bernafas melalui mulut selain melalui autoanamnesa, perlu dilakukan pemeriksaan secara langsung dan dengan bantuan alat diagnostik. Adapula beberapa cara yang

  20,24

  dapat digunakan adalah :

  1. Kontrol Alar musculature (Refleks Alanasi) Pola pernafasan normal diikuti dengan refleks otot-otot cuping hidung

  (alanasi) yang baik. Saat menarik nafas, secara refleks cuping hidung bergerak dan lubang hidung melebar (refleks alanasi positif). Hal itu berkebalikan pada seseorang yang bernafas melalui mulut yang akan menunjukkan refleks alanasi negatif.

  2. Kaca Mulut 2 Arah Kaca mulut dua arah diletakkan di bagian bibir atas. Apabila bagian bawah kaca berembun mengindikasikan pola pernafasan melalui mulut.

  3. Tes Cotton Butterfly Bagian tengah dari kapas tipis dipelintir sehingga menyerupai bentuk kupu- kupu lalu ditempelkan pada filtrum. Amati masing-masing sayap di depan lubang hidung sewaktu pasien menarik nafas. Apabila kapas tidak bergetar menandakan tidak ada aliran udara pernafasan lewat hidung yang mengindikasikan pasien bernafas melalui mulut dan sebaliknya (Moyers, 1969).

  4. Sefalometri Biasanya pola pernafasan melalui mulut berhubungan dengan lebar

  20,26 nasopharynx seperti penyempitan nasopharynx dan pembesaran adenoid.

  26 nasopharynx , oropharynx & laryngopharynx merupakan bagian dari pharynx.

  Berdasarkan analisis McNamara, pharynx atas dapat diukur dari titik pada garis posterior palatum lunak. Nilai rata-rata pharynx atas pada subjek dewasa ± 15-20 mm. Pada periode masa gigi bercampur didapatkan nilai rata-rata pharynx atas ± 12 mm (gambar 2). Apabila nilai yang didapat kurang dari atau sama dengan 2 mm

  26,27

  menandakan adanya kemungkinan obtruksi saluran pernafasan atas. Saluran udara

  26

pharynx atas meningkat sesuai pertambahan umur. Pharynx bawah dapat diukur dari

  titik perpotongan batas posterior lidah dan batas inferior mandibula terhadap titik terendah pada dinding posterior pharynx. Nilai pengukuran rata-rata nya adalah ± 11-

  14 mm. Apabila nilai pengukuran jauh melebihi nilai rata-rata menandakan posisi lidah berada anterior, yang biasanya didapati pada pola kebiasaan habitual posture

  26,27 atau pembesaran tonsil.

  26 Gambar 2. Pengukuran sefalometri lateral pasien pada masa gigi bercampur

  5. Rhinomonometry Rhinomonometry memberikan presentase dari respirasi nasal atau rongga

  20 mulut untuk dikalkulasi.

2.2.1 Efek Pola Pernafasan Melalui Mulut Terhadap Pola Pertumbuhan Wajah

  Adanya sumbatan pada jalan nafas utama, membuat seseorang mencari jalan alternatif untuk bernafas, yaitu melalui mulut. Pernafasan melalui mulut dapat menyebabkan ketidakseimbangannya aktifitas otot-otot yang berdampak pada

  1,23,24,28 terjadinya pertumbuhan dan perkembangan dentokraniofasial. Penyesuaian neuromuskular dibutuhkan dalam upaya mempertahankan fungsi pernafasan yang adekuat ketika mengalami obstruksi pada nasal. Hal ini mengakibatkan perubahan postural di rongga mulut, kepala dan rahang. Perubahan postural pada kepala, rahang dan lidah dapat merubah tekanan ekuilibrium pada

  23 rahang sehingga dapat berpengaruh pada pertumbuhan rahang dan posisi gigi-geligi.

  Apabila perubahan postural ini terjadi terus menerus dapat menyebabkan madibula berotasi ke bawah dan belakang yang diikuti dengan peningkatan tinggi wajah, gigitan terbuka anterior, peningkatan overjet, meningkatnya tekanan dari pipi (otot

  4

  buksinator) dapat menyebabkan lengkung maksila yang sempit. Tekanan melintang pada lengkung rahang dapat mengakibatkan gigitan silang dengan palatum yang

  

23

tinggi dan dalam serta protrusi gigi anterior.

  Sumbatan pada nasal meningkatkan aktifikas di area suprahyoid yang disebabkan aktivitas beberapa otot-otot. Otot digastrik anterior berperan dalam menekan (depresi) posisi mandibula diikuti otot geniohyoid yang membantu dalam mempertahankan posisi tulang hyoid sejalan dengan masuknya udara. Peningkatan otot genioglossus menyebabkan perubahan pada posisi lidah ke posisi inferior dan

  23,24

  anterior. Posisi lidah di anterior dapat mendorong gigi atas dan bawah ke labial dan mandibula berotasi ke bawah dan ke belakang. Arah rotasi mandibula ke bawah dan ke belakang dapat menyebabkan pola pertumbuhan wajah secara vertikal

  6 sehingga dapat menyebabkan peningkatan tinggi wajah.

  Kelainan-kelainan yang disebutkan diatas juga didukung oleh banyak penelitian yang telah dilakukan. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Bresolin dkk mendapati pada kelompok anak dengan kebiasaan bernafas melalui mulut mempunyai

  13 wajah yang lebih panjang, maksila yang sempit dan rahang mengalami retrognasi.

  Principato JJ mendapati pada seseorang dengan kebiasaan bernafas melalui mulut dalam jangka waktu yang cukup panjang dapat menyebabkan erupsi molar yang berelebihan sehingga dapat berakibat pada rotasi mandibula searah jarum jam serta peningkatan tinggi wajah bawah anterior vertikal. Peningkatan tinggi wajah

  16

  anterior bawah sering dikaitkan dengan retrognasi rahang dan gigitan terbuka. Lessa dkk menemukan pada kelompok dengan kebiasaan bernafas melalui mulut didapati kecenderungan inklinasi mandibula yang tinggi dan pola pertumbuhan wajah secara

  7 vertikal.

  Menurut Tourne, pola pertumbuhan wajah secara vertikal yang ekstrim, yang dilaporkan dalam banyak penelitian, dapat menyebabkan Long Face Syndrome atau

11 Adenoid Face . Karakteristik Adenoid Face atau Wajah Adenoid ditandai dengan

  karakteristik bibir yang tidak kompeten, mulut menganga, lengkung rahang yang sempit, retroklinasi gigi insisivus pada mandibula, meningkatnya tinggi wajah anterior, rotasi posterior mandibula, mandibular plane yang curam, mandibula retrognatik, maksila berbentuk „V‟, gigitan silang dan gigitan terbuka anterior

  5,23,30 (Gambar 3).

  17 Gambar 3. Karakteristik wajah adenoid

2.3 Radiografi Sefalometri

  Ditemukannya sinar X di tahun 1985 oleh Roentgen merupakan suatu revolusi di bidang kedokteran gigi yang merupakan awal mula dari ditemukannya radiografi

  4,31,32

  sefalometri. Penemuan ini memfasilitasi suatu metode untuk mendapatkan gambaran kraniofasial dengan akurat. Radiografi sefalometri adalah suatu metode standar untuk mendapatkan gambaran tulang tengkorak yang dapat digunakan sebagai alat diagnostik dalam membuat rencana perawatan dan mengevaluasi perubahan-

  4,17,31 perubahan yang disebabkan perawatan ortodonti.

2.3.1 Kegunaan Radiografi Sefalometri

  Sefalometri merupakan salah satu pilar dalam menentukan diagnosis dalam bidang ortodonti. Sefalometri juga merupakan suatu alat yang dapat digunakan untuk membuat rencana perawatan dan mengikuti perkembangan serta perubahan selama perawatan ortodonti. Beberapa kegunaan radiografi sefalometri adalah sebagai

  4

  berikut :

  a. Mempelajari pertumbuhan kraniofasial Sefalogram dapat memberikan informasi yang berkaitan dengan variasi pola pertumbuhan, gambaran standar kraniofasial, memprediksi pola pertumbuhan dan memprediksi konsekuansi-konsekuensi dari rencana perawatan.

  b. Diagnosis deformitas kraniofasial Sefalogram dapat digunakan dalam mengidentifikasi, menentukan dan mengukur kelainan kraniofasial. Dalam hal ini, permasalahan yang paling utama adalah perbedaan antara malrelasi skeletal dan dental.

  c. Rencana perawatan Sefalogram sebagai alat dalam meneggakkan diagnosis, memprediksi morfologi kraniofasial dan pertumbuhan di masa yang akan datang. Oleh karena itu, sefalometri dapat membantu dalam menyusun suatu rencana perawatan yang baik dan jelas.

  d. Evaluasi pasca perawatan Hasil sefalogram dari awal hingga akhir perawatan dapat digunakan oleh dokter gigi spesialis ortodonti sebagai alat untuk mengevaluasi dan melihat perkembangan dalam perawatan serta dapat digunakan sebagai pedoman pada perubahan perawatan yang diinginkan.

  e. Studi relaps di bidang ortodonti Sefalometri juga dapat membantu dalam mengidentifikasi penyebab-penyebab relapsnya perawatan ortodonti dan stabilitas dari pasca perawatan maloklusi.

2.3.2 Tipe Sefalogram

  31 Ada 2 jenis tipe sefalogram, yaitu :

  a. Sefalogram Lateral Memberikan gambaran tulang tengkorak dari arah lateral (samping). Sefalogram ini diambil dengan posisi kepala yang berada pada jarak yang spesifik dari sumber sinar X (Gambar 4a).

  b. Sefalogram Frontal Memberikan gambaran tulang tengkorak dari arah depan (Gambar 4b)

  (a) (a) (b)

  4 Gambar 4. (a) Sefalogram Lateral, (b) Sefalogram Frontal.

2.3.3 Penggunaan Titik – Titik Sefalometri dalam Menentukan Analisis Jaringan Keras

  Berikut ini adalah titik-titik pada sefalometri yang biasa digunakan dalam

  4,31,32

  analisis jaringan keras (Gambar 5) :

  a. Nasion (N) : Titik paling anterior yang berada diantara tulang frontal dan tulang nasalis pada sutura fronto nasalis b. Orbitale (O) : Titik terendah dari dasar rongga mata yang terdepan

  c. Sella (S) : Titik pusat geometric dari fossa pitutitary

  d. Sub-spina (A) : Titik paling cekung di maksila yang berada di antara Spina Nasalis Anterior dan Prosthion, biasanya berada di dekat apeks akar gigi insisivus sentralis maksila e. Supra-mental (B) : Titik paling cekung diantara infra dental dan pogonion dan biasanya dekat apeks akar gigi insisivus sentralis mandibula f. Pogonion (Pog) : Titik paling depan atau anterior dari tulang dagu

  g. Gnathion (Gn) : Titik diantara Pogonion dan Menton

  h. Menton (Me) : Titik paling bawah atau inferior dari tulang dagu i. Articulare (Ar) : Titik perpotongan antara batas posterior ramus dan batas inferior dari basal kranial posterior j. Gonion (Go) : Titik paling posteroinferior di sudut mandibula. Titik ini merupakan pertemuan dari dataran ramus dan dataran mandibular k. Porion (Po) : Titik paling superior dari meatus acuticus externus l. Pterygomaxilary (PTM) : Kontur fisura psterygomaxilary yang dibentuk di anterior oleh tuberositas retromolar maksila dan di posterior oleh kurva anterior dari prosesus pterygoid dari tulang sphenoid m. Spina Nasalis Posterior (PNS) : Titik paling posterior dari palatum durum n. Anterior Nasal Spine (ANS) : Titik paling anterior dari prosesus maksila pada batas bawah dari cavum nasal o. Basion (Ba) : Titik paling bawah dari foramen magnum p. q. r.

  31 Gambar 5. Titik – titik sefalometri pada jaringan keras

2.4 Analisis Skeletal Sefalometri

  Mengetahui hubungan skeletal dalam menyusun rencana perawatan merupakan hal yang penting. Kelainan yang terjadi pada dentoalveolar dan skeletal dapat dibedakan berdasarkan hubungan dalam arah sagital dan arah vertikal rahang. Setiap abnormalitas dikarakteristikkan berdasarkan deviasi yang terjadi pada rahang

  33 dalam dataran sagital dan vertikal yang mengakibatkan rahang berotasi.

2.4.1 Analisis Skeletal dalam Arah Vertikal

  Nilai vertikal skeletal dapat digunakan untuk menentukan perbedaan sehubungan dengan tipe wajah vertikal dan tipe wajah horizontal. Hal ini disebabkan oleh arah pertumbuhan mandibula yang berhubungan dengan kranial atau dasar

  29

  maksila yang berbeda. Untuk menganalisis nilai skeletal dalam arah vertikal, sudut- sudut yang dapat digunakan, yaitu : a. Sudut MP-SN Sudut ini terbentuk dari pertemuan garis Sella ke Nasion dan Dataran mandibular. Dataran mandibular terbentuk dari pertemuan Gonion dan Gnathion

  o o 15,17,30

  (Gambar 6). Nilai rata-rata dari sudut ini adalah 32 ± 5 . Sudut ini mengindikasikan inklinasi mandibula terhadap basis kranii anterior. Apabila nilai sudut lebih besar, menandakan mandibula berinklinasi posterior sedangkan apabila

  29

  nilai sudut lebih kecil menandakan mandibula berinklinasi anterior. Inklinasi

  34 dataran mandibula merupakan indikator terjadinya rotasi mandibula.

  Rotasi mandibula dapat terjadi dalam dua arah, yaitu searah jarum jam atau

  35

  berlawanan arah jarum jam. Sudut MP-SN yang besar mengindikasikan rotasi mandibula searah jarum jam yang mengarahkan pertumbuhan mandibula ke bawah dan ke belakang yang menyebabkan pola pertumbuhan wajah secara vertikal. Sudut MP-SN yang kecil mengindikasikan rotasi madibula berlawanan arah jarum jam mengarahkan pertumbuhan mandibula ke atas dan ke depan yang menyebabkan pola

  33-35 pertumbuhan wajah secara horizontal.

  27 Gambar 6. Sudut MP-SN b. Sudut NSGn Sudut ini terbentuk dari pertemuan garis Nasion ke Sella dan Sella ke Gnation

  (Gambar 7). Sudut ini menentukan posisi mandibula terhadap basis kranii. Nilai

  o

  normal sudut ini adalah 66 . Apabila nilai sudut lebih besar dari nilai normal, mengindikasikan posisi mandibula yang berada posterior terhadap basis kranii dengan pola pertumbuhan vertikal sedangkan apabila nilai sudut lebih kecil dari nilai normal, mengindikasikan posisi mandibula yang berada anterior terhadap basis kranii

  29 dengan pola pertumbuhan horizontal.

  27 Gambar 7. Sudut NSGn