BELUM SAATNYA ANAK MENGENAL CINTA LAWAN

BELUM SAATNYA ANAK MENGENAL CINTA LAWAN JENIS
UJIAN AKHIR SEMESTER MATA KULIAH SOSIOLOGI
KOMUNIKASI

WIDYA ANANDA

PROGRAM VOKASI
BIDANG STUDI KOMUNIKASI
PEMINATAN HUBUNGAN MASYARAKAT

Depok
Juni 2015

Pendahuluan
Masa anak-anak adalah masa yang paling rentan, pada masa itu anak-anak
menerima informasi begitu saja tanpa literasi. Mereka cenderung belum bisa
membedakan mana informasi yang baik dan buruk. Begitupun anak-anak saat
mengonsumsi media. Informasi yang diterima dari media akan dengan mudah
diimitasi oleh anak-anak. Sehingga masalah anak-anak mengonsumsi media ini
sangat hangat untuk dibahas.
Penulis memilih sub-topik ini dikarenakan penulis melihat fenomena anakanak di bawah umur yang masih duduk di bangku sekolah dasar telah mulai

mengenal istilah pacaran. Istilah pacaran menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
adalah bercintaan atau berkasih-kasihan.
Pada suatu kesempatan, penulis menonton tayangan gosip di salah satu
saluran televisi swasta. Saat itu, gosip memberitakan tentang sinetron baru, Gerobak
Cinta Wakwaw. Ketika sang sutradara ditanya mengenai sinetron tersebut, Ia
menceritakan bahwa sinetron itu ditujukan untuk anak-anak. Maka menurutnya,
cerita yang diangkat harus ringan. Penulis menonton sinetron tersebut. Alangkah
disayangkan, banyak adegan yang tidak layak diperlihatkan kepada anak-anak
walau sutradara ini berkata “untuk anak”.
Jika dilihat dari segi judul, pemilihan kata “cinta”, penulis rasa kurang relevan
apalagi sebagian besar pemerannya adalah anak yang masih ditingkat sekolah
dasar. Dari sini, penulis menyimpulkan bahwa sinetron tersebut mengajarkan anak di
bawah umur untuk mengenal cinta. Selain di sinetron, ada pula tayangan FTV untuk
remaja. FTV yang ditayangkan di televisi selalu mengenai percintaan.
Dari sinilah penulis melihat bahwa fenomena ini dapat diangkat.

Pembahasan
Media terus mengalami perkembangan di Indonesia belakangan ini.
Perkembangan


media

mengakibatkan

kehidupan

masyarakat

yang

sangat

bergantung pada media. Menurut data dari Nielsen Media Research tahun 2012,
pertumbuhan konsumsi media masyarakat di Indonesia untuk televisi sebesar 94%,
mobile phone sebesar 60%, internet sebesar 29%, radio sebesar 25%, surat kabar
sebesar 13%, film sebesar 13%, tabloid sebesar 7%, dan majalah sebesar 6%. Dari
data di atas menunjukkan bahwa televisi menjadi primadona media. Sebagai
primadona media, televisi memiliki andil yang cukup besar pada perilaku dan pola
pikir masyarakat baik secara langsung maupun tidak langsung. Perilaku dan pola
pikir masyarakat yang baik dan buruk bergantung pada muatan siaran televisi. Maka

dari itu, muatan siaran televisi harus sangat diperhatikan.
Muatan siaran televisi bergantung pada angka rating dan market share,
mengapa demikian? Pada komunikasi personal kita dapat mengetahui reaksi dari
lawan bicara kita, namun pada komunikasi massa sangat sulit untuk mengetahui
reaksi khalayak. Oleh karena itu, Nielson Media Research menggelar penilitian
tentang perilaku khalayak televisi (Television Audience Measurement, TAM) untuk
mendapatkan pengetahuan secara konkret jumlah penonton stasiun televisi. Jumlah
penonton ini diukur dengan satuan angka rating dan para pengiklan konon hanya
mau atau cenderung beriklan di stasiun televisi yang memiliki angka rating yang
tinggi. Hidup matinya sebuah stasiun televisi bergantung pada jumlah pengiklan
karena pengiklanlah satu-satunya yang menjadi sumber penghasilan. Maka dari itu,
muatan siaran televisi bertumpu pada angka rating suatu program.
Persepsi yang keliru terletak pada angka rating yang tinggi dianggap sebagai
minat masyarakat yang tinggi pula untuk menonton program televisi tersebut.
Sedangkan belum tentu masyarakat menonton karena memang menyukainya. Bisa
saja masyarakat menonton sambil menghujat atau masyarakat menyetel program
tersebut untuk meredam kesunyian saat melakukan kegiatan lain, seperti “yang
penting ada suara.”
Akibat persepsi yang keliru, di mana stasiun televisi tidak mau kalah dengan
stasiun televisi kompetitor dalam hal angka rating dan market share, membuat

industri pertelevisian seakan terjebak pada pola pikir “yang penting sebanyak-

banyaknya dan secepat-cepatnya.” Sehingga staisun televisi cenderung untuk
meniru program stasiun televisi kompetitor yang memiliki angka rating yang tinggi.
Inilah yang mengakibatkan program televisi yang serupa di beberapa stasiun televisi.
Hal ini pula yang mengakibatkan matinya kreatifivas para insan pertelevisian. Insan
pertelevisian hanya mengejar kuantitas angka rating dan market share, tanpa
memperhatikan kualitas suatu program. Industri pertelevisian seakan hanya
menjunjung kepentingan komersial semata, namun tak melihat kepentingan publik
yang menjadi khalayaknya.
Salah satu program stasiun televisi yang banyak diminati adalah sinetron.
Sinetron yang sukses untuk segmen pasar remaja yaitu sinetron Pernikahan Dini
(2001) produksi PT Entertainment. Kesuksesan sinetron inilah yang menjadi pemicu
tayangan sinetron remaja lainnya. Tayangan sinetron untuk remaja cukup lama
bertahan. Menurut penulis hal ini terjadi dikarenakan banyaknya problematika yang
ditampilkan. Meskipun sinetron Pernikahan Dini dan semacamnya ditujukan untuk
remaja, apakah para produsen yakin bahwa sinetron ini hanya ditonton oleh remaja
ke atas? Tentu tidak. Celakanya, sinetron yang ditujukan untuk remaja bisa juga
ditonton oleh anak di bawah umur. Hal ini dapat terjadi karena kurangnya tayangan
untuk anak yang menarik serta kurangnya pengawasan dari orang tua.

Ada pula jam malam di televisi, yaitu selepas jam 22:00. Para industri televisi
beranggapan bahwa pada jam malam adalah jam penonton dewasa dan anak-anak
sudah tidur. Sehingga sering kali tayangan pada jam malam berbau seks. Entah
tayangan iklan, sinetron, reality show, talk show, dan lain-lain. Lagi-lagi tak ada yang
bisa menjamin anak-anak tidak menonton televisi pada jam malam.
Setelah penjelasan di atas, maka kita dapat mengetahui bahwa anak-anak
pun merupakan khalayak televisi yang berhak atas hiburan dan informasi yang
sehat. Namun banyak stasiun televisi yang tidak menyajikan tayangan untuk anak,
bila ada pun tak semua tayangan anak aman dan sehat untuk ditonton. Sehingga
dapat mengganggu tumbuh kembang anak. Setiap anak memiliki keunikan dalam
tingkat pertumbuhan dan perkembangannya, maka anak usia dini dibagi dalam
empat tahap perkembangan (Jurnal PADU), yaitu:
a.

Masa bayi, usia lahir 0-12 bulan

b.

Masa Toddler (batita), usia 1-3 tahun


c.

Masa early childhood/pra sekolah, usia 3-6 tahun

d.

Masa kelas awal SD, usia 6-8 tahun
Usia 0-6 tahun merupakan usia yang sangat menentukan dalam pembentukan

dan kepribadian anak serta sangat penting dalam perkembangan intelegensi. Saat
anak berusia di bawah dua tahun (dalam sebuah catatan penelitian sebuah akademi
dokter anak di Amerika) yang dibiarkan menonton televisi akan menyerap pengaruh
yang merugikan. Terutama pada perkembangan otak, emosi, sosial, dan kemampuan
kognitif

anak.

Menonton

televisi


terlalu

dini

dapat

mengakibatkan

proses

penyambungan antara sel-sel syaraf dalam otak menjadi tidak sempurna, proses ini
disebut juga proses wiring. Maksimalisasi proses wiring dipengaruhi oleh
pengalaman simulasi dan gizi yang baik. Anak yang berada di depan televisi tidak
memiliki pengalaman simulasi yang cukup karena simulasi yang anak terima harus
dilakukan secara perlahan dan bertahap, namun televisi memberikan gambar yang
bergerak dengan cepat, kilas lampu yang sangat cepat, serta suara yang ada
menjadikan pola kerja otak anak sangat dieksploitasi. Inilah yang mengakibatkan
proses wiring menjadi tidak sempurna.
Pada umumnya, anak usia 3 tahun ke atas telah mampu untuk berbicara, tapi

sering kita jumpai pula anak usia 3 tahun ke atas belum mampu untuk berbicara.
Salah satu faktor penyebab lambannya anak berbicara adalah terlalu sering
menonton televisi. Ini terjadi karena aktivitas menonton televisi tidak menggugah
anak untuk berpikir. Apa yang disajikan televisi sudah lengkap dengan gambar dan
suaranya. Ada pun beberapa masa yang dilalui anak usia dini sebagai berikut:
a.

Masa peka−masa yang sensitif dalam penerimaan stimulasi dari lingkungan

b.

Masa egosentris−sikap mau menang sendiri,selalu ingin dituruti sehingga
perlu perhatian dan kesabarandari orang dewasa/pendidik

c.

Masa berkelompok−anak-anak lebih senang bersama teman sebayanya,
mencari teman yang dapat menerima satu sama lain sehingga orang dewasa
seharusnya member kesempatan pada anak untuk bermain bersama-sama


d.

Masa meniru−anak merupakan peniru ulung yang dilakukan terhadap
lingkungan sekitarnya. Proses peniruan terhadap orang-orang di sekelilingnya

yang dekat serta proses peniruan terhadap apa yang ia lihat dari media
massa, terutama televisi
e.

Masa

eksplorasi(penjelajahan)−masa

menjelajahi

pada

anak

dengan


memanfaatkan benda-benda yang di sekitarnya, mencoba-coba dengan cara
memegang, memakan atau meminum, dan melakukan trial and error terhadap
benda-benda yang ditemukannya
Anak-anak adalah khalayak dari televisi yang paling rentan, karena anak-anak
belum tahu mana yang baik dan mana yang buruk. Mereka menyerap informasi yang
di dapat tanpa melakukan literasi. Ditambah lagi dengan penjelasan mengenai masa
yang dilalui oleh anak, anak melalui masa meniru apa yang dilihat di lingkungannya.
Lingkungan disini dapat berupa orang tua, saudara, teman sebaya, bahkan televisi.
Jika informasi yang di dapat oleh anak di televisi kurang baik atau bahkan tidak baik,
anak-anak bisa saja akan meniru hal itu. Berangkat dari anggapan anak akan meniru
apa yang dilihat dari televisi, hal ini yang menyebabkan bahwa televisi memiliki andil
yang cukup besar dalam perilaku dan pola pikir masyarakat. Sehingga perilaku dan
pola pikir masyarakat bergantung pada muatan siaran televisi.
Karena anak melewati masa meniru, maka anak membutuhkan tayangan
anak yang aman dan sehat. Sehingga anak dapat meniru perilaku yang positif dari
apa yang anak tonton. Pengertian tayangan anak adalah tayangan yang tokoh
utamanya diperankan oleh anak dan atau narasinya dibuat untuk anak. Walaupun
ada tayangan anakk di televisi, tetapi belum tentu tayangan itu aman dan sehat
untuk anak. Mengapa? Karena bisa jadi tayangan tersebut bertitel “untuk anak”

namun muatan tayangannya tidak untuk anak.
Kurangnya tayangan untuk anak yang berkualitas membuat anak bisa saja
menonton tayangan untuk remaja dan dewasa yang penuh intrik dan problematika.
Suatu tayangan akan menarik jika penuh intrik dan problematika di dalamnya.
Tayangan untuk remaja dan dewasa yang menarik pastinya tidak jauh dari seputar
percintaan. Bayangkan jika anak di bawah umur menonton tayangan yang berisi
percintaan. Anak akan belajar mengenai percintaan itu. Anak akan tahu apa itu cinta,
seperti apa orang dewasa memaknai cinta, apa saja yang terjadi saat orang dewasa
saling mencintai, dan bagaimana orang dewasa menghadapi masalah percintaan.

Jika anak hanya sekedar mengetahui memang positif, tapi lagi-lagi yang harus
ditekankan adalah anak melewati masa meniru sehingga kemungkinan besar anak
akan meniru kisah percintaan orang dewasa.
Jika memang tayangan itu jelas merupakan tayangan untuk remaja atau
dewasa namun anak-anak menontonnya, pihak stasiun televisi tidak dapat
disalahkan. Karena telah jelas tertera bahwa itu tayangan untuk remaja atau dewasa,
sehingga ini menjadi tanggung jawab orang tua dalam mengawasi anaknya saat
menonton televisi. Tetapi jika tayangan tersebut merupakan tayangan untuk anak
namun memiliki muatan percintaan, maka ini menjadi tanggung jawab stasiun televisi
dan juga production house (PH). PH seharusnya paham bagaimana muatan dalam
tayangan anak dan harusnya stasiun televisi jeli dalam pengawasan tayangan yang
masuk ke stasiun televisinya.
Ada sinetron baru yang “katanya” ditujukan untuk anak-anak, yaitu Gerobak
Cinta Wakwaw. Lalu Saya mencoba untuk menonton sinetron tersebut. Alangkah
disayangkan bahwa terdapat muatan yang tidak baik untuk tayangan anak. Ada
adegan di mana Sony Wakwaw melihat perempuan cantik yang sebaya dengannya,
lalu Sony memuji kecantikannya dan mendekat sambil memanyunkan bibirnya
hendak mencium perempuan tesebut. Memilukan sekali menonton tayangan ini,
tayangan anak yang mengajarkan anak untuk melakukan yang tidak semestinya
tidak dilakukan. Mungkin bagi sebagian orang adegan ini lucu, tapi yang sebenarnya
adegan ini berbahaya untuk anak.
Sinetron Gerobak Cinta Wakwaw menceritakan mengenai bagaimana
susahnya perjuangan hidup pemulung. Namun ibarat kopi tanpa gula, ya tidak akan
enak. Begitu juga dengan sinetron, bila tidak ditambah “cerita cinta” ya tidak akan
menarik. Memang tidak ada yang salah menambah cerita cinta di dalamnya, letak
kesalahannya ada pada anak di bawah umur yang jatuh cinta.
Jika sinetron Gerobak Cinta Wakwaw memberi tambahan cerita cinta hanya
sebagai “bumbu”, ada pula sinetron anak yang secara keseluruhan menceritakan
cerita cinta anak di bawah umur. Judul sinetron tersebut adalah Heart series.
Sinetron Heart Series bermula dari larisnya film layar lebar berjudul Heart. Tradisi
perfilman di Indonesia adalah jika film layar lebar laris, maka sering kali akan

ditayangkan di televisi sebagai tayangan sinetron. Heart series diproduksi oleh
Starvision pada tahun 2007 yang menceritakan mengenai persahabatan antara
Rachel dan Farrel. Rachel dan Farrel adalah siswa kelas 5 SD. Rachel menyukai
Farrel sejak lama, namun Farrel menyukai tetangga barunya yaitu Luna. Rachel
cemburu dengan Luna. Lalu ada Didit yang menyukai Rachel, sehingga membuat
Farrel cemburu. Rachel dan Farrel memiliki musuh yaitu Bobby, Ricky, dan Ivan.
Mereka selalu mengganggui Rachel dan Farrel di sekolah. Lalu lambat laun, Bobby,
Ricky, dan Ivan menyukai Rachel. Sehingga Bobby, Ricky, Ivan, Farrel berlombalomba untuk mendapatkan cinta Rachel.
Keseluruhan cerita di sinetron Heart Series menceritakan mengenai cinta
yang dialami oleh anak SD. Ironis. Sinetron ini benar-benar mengajarkan anak-anak
untuk mencintai lawan jenis sejak kecil secara tidak langsung. Entah sang produser,
sutradara, serta elemen lainnya menyadari akan hal itu atau tidak. Karena pada
dasarnya, televisi berfungsi sebagai media komunikasi, informasi, dan pendidikan.
Setelah tayangan sinetron anak yang mengandung muatan percintaan di
dalamnya, Saya akan membahas mengenai tayangan FTV remaja di televisi. Setiap
FTV remaja mengangkat tema percintaan. Dan selalu memiliki alur cerita yang relatif
sama. Bertemu secara tidak sengaja, berada di dua kasta yang berbeda sehingga
tidak disetujui oleh keluarga, bermusuhan karena masalah kecil, tetapi mereka tidak
bisa membohongi perasaan mereka yang akhirnya mereka tetap bersama. Yang
berbeda hanyalah pemain serta profesi para pemain. Ini lah yang membuktikan
matinya kreativitas insan pertelevisian.
Tayangan FTV di beberapa stasiun televisi swasta tayang 3-4 kali dalam satu
hari. Jumlah yang cukup banyak dengan alur cerita yang relatif sama. FTV tayang
pada jam 10 pagi, jam 1 siang, jam 3 sore, dan jam 11 malam. Biasanya anak-anak
menonton televisi setelah mereka pulang sekolah yaitu pukul 10 pagi. Menurut Saya
penempatan jam tayang FTV di pagi hari sampai sore hari memberikan kesempatan
bagi anak untuk menonton tayangan FTV yang seharusnya untuk remaja.
Intensitas atau frekuensi anak-anak menonton televisi akan meningkat di akhir
pekan. Hasil studi yang dilakukan oleh Yayasan Pengembangan Media Anak
(YPMA), pemerintah Indonesia, dan dukungan dari UNICEF menemukan bahwa

rata-rata anak-anak Indonesia menonton televisi hingga 45 jam acara televisi per
minggunya (Kearney,2010). Angka 45 jam per minggu berarti sama dengan 2340 jam
per tahun, sedangkan jam belajar anak sekolah dasar menurut United Nations
Education, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO) tidak melebihi 1000 jam
per tahun. Jika melihat perbandingan anak menonton televisi dengan belajar di
sekolah, maka kemungkinan besar proses pembentukan perilaku dan pola pikir
anak-anak didapat dari tayangan acara di televisi dibanding dari sekolah.
Sekarang ini, banyak yang telah menyadari efek negatif pada perilaku dan
pola pikir anak setelah menonton televisi. Telah banyak pula kampanye serta iklan
layanan masyarakat mengenai perlindungan anak dari media. Gagasan yang sering
diangkat adalah mengenai muatan kekerasan dan pornografi di televisi. Kedua
gagasan ini memang yang paling terlihat efeknya bagi anak setelah menonton
televisi. Jika kita membahas mengenai kekerasan, yang paling membekas adalah
efek dari tayangan smackdown tahun 2006 silam. Pada saat itu, banyak sekali anakanak yang meniru adegan smackdown sampai-sampai banyak anak yang menjadi
korban. Beberapa anak meninggal setelah meniru adegan smackdown. Saya ingat
betul maraknya tayangan smackdown saat Saya duduk di kelas 6 SD sampai kelas 7
SMP. Saya pun mengingat, teman-teman laki-laki banyak sekali yang mengikuti
adegan smackdown tiap harinya. Lalu untuk masalah pornografi, kita pun pasti tahu
yang baru-baru ini beredar yaitu dua anak SD yang masih menggunakan seragam
melakukan hubungan seks di kebun dan yang lebih menyedihkan mereka melakukan
itu dengan tersenyum. Anak-anak ini tak tahu apa yang mereka lakukan dan apa
dampak bagi mereka di kemudian hari.
Terlepas dari muatan kekerasan dan pornografi, masih ada muatan lain yang
tidak sehat untuk anak. Salah satunya adalah muatan percintaan. Namun
sayangnya, masih sedikit yang menyadari bahwa muatan percintaan pun tidak sehat
untuk anak. Mungkin karena efeknya yang tidak terlalu besar dan terlihat seperti
muatan kekerasan dan pornografi.
Menurut psikolog Ratih Ibrahim pada program Trending Topics di Metro TV,
anak mulai menyukai lawan jenisnya saat anak memasuki masa pubertas. Masa
pubertas yaitu umur 11-13 tahun. Saat melalui masa ini, orang tua harus tetap
mendampingi anak dan memberikan pengarahan yang benar. Peran orang tua

sangat penting di sini sehingga anak tidak salah perspektif. Orang tua harus
memberikan pengarahan bahwa menyukai lawan jenis hal yang normal, tetapi
pacaran dilakukan jika sudah besar nanti.
Beberapa waktu yang lalu, media sosial sempat digegerkan dengan foto-foto
anak berseragam bericuman di tengah banjir lalu dengan bangga mereka
mengunggahnya ke facebook. Ini merupakan salah satu contoh dampak negatif dari
menonton televisi yang bermuatan percintaan dan seks.
Tak jarang tayangan bermuatan seks dimula dari rasa cinta mereka yang
membara dan mereka meluapkan rasa cintanya dengan melakukan seks. Baik
secara sadar maupun tidak sadar, anak yang menonton tayangan bermuatan seks
dan pacaran akan menanamkannya di benak mereka. Hal ini bergantung pada sang
anak, menyimpannya di short-term-memory atau di long-term-memory. Jika anak
menyimpannya di short-term-memory, anak akan dengan mudah melupakannya.
Namun jika anak menyimpannya di long-term-memory, saat anak “belajar untuk
pacaran”, mereka merasa cintanya pada sang kekasih sedang membara seperti apa
yang telah anak tonton sebelumnya, pengetahuan itu secara tidak sadar akan
muncul. Jika ada cinta yang membara maka berbuat seks.
Selepas dari fenomena anak berciuman yang diunggah ke facebook, masih
ada contoh dampak negatif dari tayangan bermuatan percintaan lain yang terjadi.
Kali ini ada sepasang anak SD berinisial SAR dan STA. mereka tidak malu untuk
mengumbar kemesraan, kegalauan, dan ungkapan rasa marahnya di facebook.
Contoh yang SAR katakana di laman facebook nya “kamu jangan berubah yah
sayang, jangan sia-siain aku, jangan marah-marah lagi, jangan bikin aku capek hati,
jangan genit-genit sama cewe lain, jangan egois, jangan pindah ke lain hati yah
saying, aku sayang kamu” dan “urusin aja sexy dancer kamu, ngapain ngurusin aku,
aku kan ga penting!” Lalu ada yang menyebarluaskannya setelah itu banyak timbul
reaksi-reaksi dari para orang tua. Banyak reaksi yang menyebutkan bahwa
fenomena SAR dan STA terjadi karena ketidakberbobotannya muatan televisi.

Kesimpulan

Yang harus kita ingat adalah selalu ada kosekuensi sosial pada komunikasi
massa, yaitu terjadinya fungsi dan disfungsi serta gagasan manifest dan laten. Kita
tidak dapat menghilangkan disfungsi dari komunikasi massa pada anak, namun kita
dapat minimalisir dengan pendampingan serta literasi media yang baik dari orang
tua.