Kedudukan Janda Terhadap Harta Bersama Menurut Kompilasi Hukum Islam (Studi Kasus Terhadap Putusan Perkara Pengadilan Agama Nomor 646 Pdt.G 2010 Pa.Mdn.)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejak dilahirkan manusia sebagai makhluk sosial telah dilengkapi dengan
naluri untuk senantiasa hidup bersama dan saling membutuhkan antara satu sama
lain. Tuhan telah menciptakan segala sesuatu saling berpasangan, ada laki-laki dan
perempuan. Untuk tetap mempertahankan generasi dan keturunannya maka manusia
mewujudkannya dengan melangsungkan perkawinan. Perkawinan merupakan satusatunya cara untuk membentuk keluarga.
Perkawinan merupakan peristiwa penting dalam kehidupan setiap manusia
yang akan menimbulkan akibat lahir maupun batin antara mereka. Pembinaan
terhadap perkawinan merupakan konsekwensi logis dan sekaligus merupakan citacita bangsa Indonesia, agar memiliki peraturan hukum perkawinan yang bersifat
nasional yang berlaku untuk seluruh wilayah Indonesia.
Indonesia sebagai negara hukum telah mengatur undang-undang tentang
perkawinan yang tertuang dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974, dilengkapi
dengan Peraturan Pemerintah No.9 tahun 1975 yaitu tentang Pelaksanaan UndangUndang No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan yang berlaku secara nasional, dan
Intruksi Presiden No.1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI) bagi
semua warga negara Indonesia yang beragama Islam dan peraturan lainnya mengenai
perkawinan.
1
Universitas Sumatera Utara
Diharapkan dengan adanya aturan hukum ini, persoalan perkawinan yang
terjadi di Indonesia dapat diselesaikan dengan baik berdasarkan hukum positip juga
berdasarkan hukum agama (terutama Islam sebagai penganut mayoritas yang ada di
Indonesia).
Berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pengertian
perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai
suami istri dengan tujuan membentuk rumah tangga yang bahagia berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa.
Adapun perkawinan menurut Hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad
yang sangat kuat untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan
ibadah. Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang
sakinah (ketenangan hati), mawaddah (rasa cinta) dan rahmah (kasih sayang).1
Ditinjau dari sudut pandang Islam, lembaga perkawinan merupakan suatu
lembaga yang suci dan luhur, di mana kedua belah pihak dihubungkan sebagai suami
istri dengan mempergunakan nama Allah SWT, sesuai dengan bunyi surat An-Nissa’
ayat 1 yang artinya :
“Hai sekalian manusia bertakwalah kepada Tuhan yang telah menciptakan
kamu dan dari padanya Allah mengembangbiakkan laki-laki dan perempuan
(mempergunakan) namaNya kamu saling meminta satu sama lain dan
peliharalah hubungan silaturahmi. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan
mengawasi kamu”.2
Manusia sebagai makhluk hidup mempunyai dua naluri yaitu naluri untuk
mempertahankan hidup dan naluri untuk melanjutkan hidup. Untuk terpenuhinya dua
1
2
Tim Redaksi Aulia, Kompilasi Hukum Islam, Nuansa Aulia, Jakarta, 2008, hlm. 2.
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahannya, CV.Toha Putra, Semarang, 1989.
2
Universitas Sumatera Utara
naluri tersebut Allah menciptakan dalam diri setiap manusia dua nafsu, yaitu: nafsu
makan dan nafsu syahwat. Nafsu makan berpotensi untuk memenuhi naluri
mempertahankan hidup dan karena itu setiap manusia memerlukan sesuatu yang
dapat dimakannya.3 Dari sinilah muncul kecenderungan manusia untuk mendapatkan
dan memiliki harta. Nafsu syahwat berpotensi untuk memenuhi naluri melanjutkan
kehidupan dan untuk itu setiap manusia memerlukan lawan jenisnya untuk
menyalurkan nafsu syahwatnya itu.4
Allah mengatur dua hal dalam segi kehidupan manusia yaitu pertama hal-hal
yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan Allah Penciptanya disebut hablum
min Allah dan kedua berkaitan dengan hubungan antar manusia dan alam sekitarnya
disebut hablum min an nas. Di antara aturan yang mengatur hubungan sesama
manusia yang ditetapkan Allah adalah aturan tentang harta warisan, yaitu harta dan
pemilikan yang timbul sebagai akibat dari suatu kematian.
Apabila suatu kematian terjadi, sudah dapat dipastikan akan menimbulkan
akibat-akibat terhadap orang-orang yang berkaitan dalam satu keluarga, dalam hal ini
akibat hukumnyalah yang akan dititikberatkan. Akibat hukum dari kematian ini
tentunya menyangkut pula terhadap harta bersama, harta warisan, siapa yang berhak
menerimanya, berapa jumlahnya dan bagaimana cara mendapatkannya.
Pada akhirnya, harta bersama dan harta warisan akan menjadi awal
persengketaan. Dan tidak dapat dipungkiri lembaga peradilan akan sangat berperan
3
4
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, Kencana, Cet. ke-3, Jakarta, 2004, hlm. 2.
Ibid.
3
Universitas Sumatera Utara
dalam proses penyelesaian persengketaan dimaksud. Lembaga peradilan akan
menjadi media bagi keluarga yang bersengketa untuk menuangkan segala
argumentasi mereka, khususnya dalam rangka mewujudkan keinginan masing-masing
pihak untuk menguasai harta tersebut.
Undang-Undang No.1 Tahun 1974 telah memuat beberapa pasal tentang harta
benda dalam perkawinan, yaitu dalam Bab VII Pasal 35-37, yang berbunyi sebagai
berikut:5
Pasal 35 :
1. Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.
2. Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang
diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah
penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
Pasal 36:
1. Mengenai harta bersama, suami atau istri dapat bertindak atas persetujuan
kedua belah pihak.
2. Mengenai harta bawaan masing-masing suami dan istri mempunyai hak
sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.
Pasal 37:
Bila perkawinan putus karena perceraian harta bersama diatur menurut
hukumnya masing-masing.
5
Tim Redaksi Aulia, Op. Cit., hlm. 91.
4
Universitas Sumatera Utara
Aturan-aturan pasal tersebut pada dasarnya telah memberikan gambaran yang
cukup jelas. Namun bila di analisa lebih lanjut ternyata ungkapan pada Pasal 37
terungkap bahwa yang dimaksud dengan “hukumnya masing-masing” ialah hukum
agama, hukum adat dan hukum lainnya.6
Memperlihatkan Pasal 37 dan penjelasannya, ternyata undang-undang ini
tidak memberikan keseragaman hukum positip tentang bagaimana penyelesaian harta
bersama apabila terjadi perceraian. Kalau dicermati pada penjelasan Pasal 37, maka
undang-undang memberikan jalan pembagian sebagai berikut:7
1. Dilakukan berdasarkan hukum agama itu merupakan kesadaran hukum yang
hidup dalam mengatur tata cara perceraian.
2. Aturan pembagiannya akan dilakukan menurut hukum adat, jika hukum
tersebut merupakan kesadaran hukum yang hidup dalam lingkungan
masyarakat yang bersangkutan.
3. Atau hukum-hukum lainnya.
Berhubung Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 yang tidak dengan tegas
mengatur pembagian harta bersama dan tidak ada mengatur tentang harta warisan,
berakibat timbul kesulitan bagi pihak penyelenggara hukum untuk menyelesaikan
perkara yang berhubungan dengan harta bersama dan harta warisan. Dari sisi hukum,
hal ini berdampak negatif, baik bagi pihak-pihak pencari keadilan maupun bagi
6
M. Yahya Harahap, Pembahasan Hukum Perkawinan Nasional Berdasarkan UndangUndang No. 1 Tahun 1974, Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, C.V. Zahir Trading Co., Cet. 1,
Medan, 1975, hlm.125.
7
Ibid.
5
Universitas Sumatera Utara
lingkungan masyarakat sekitarnya, khususnya bila para pihak yang berperkara atau
masyarakat dimaksud adalah muslim. Paparan ini akan lebih mengarah pada satu
pertanyaan, apakah ajaran Hukum Islam mengatur harta bersama dan harta warisan
atau tidak. Tujuannya adalah untuk mempertegas permasalahan yang akan dibahas.
Pada dasarnya, bila ajaran Islam dimaksud adalah tuntutan Al-Qur’an dan
Hadis, maka secara eksplisit dapat dinyatakan bahwa Islam tidak mengatur perihal
harta bersama secara konkrit. Pada hakekatnya, syirkah dalam hal ini tidak dapat
dikategorikan sebagai harta bersama secara langsung, sebab dalam prakteknya ulamaulama fikih tidak mengenal adanya harta bersama atau pencaharian bersama suami
istri dalam lingkungan dan kondisi hidup mereka. Sedangkan terhadap harta warisan,
hanya sebagian kecil saja masalah-masalah yang telah ditunjukkan oleh Al-Qur’an
dan Hadis dengan keterangan yang jelas dan pasti sedangkan sebagian besar tidak
disinggung secara eksplisit atau disinggung tetapi tidak dengan keterangan yang jelas
dan pasti.
Pembagian harta bersama dan harta warisan ini jelas diatur dalam undangundang, hanya saja sebagai manusia biasa tidak
lepas dari keinginan untuk
menguasai dan memiliki harta tersebut. Berdasarkan uraian di atas maka perlu
dilakukan penelitian perihal penyelesaian sengketa harta bersama dan harta warisan
pada Pengadilan Agama Medan yang belum pernah diteliti.
Adapun yang akan diteliti dalam kasus ini adalah mengenai kedudukan janda
cerai mati terhadap harta bersama dan harta warisan yang dikuasai oleh sebagian
anak kandung. Kasus ini berawal dari meninggalnya almarhum sebagai kepala
6
Universitas Sumatera Utara
keluarga atau sebagai pewaris yang semasa hidupnya almarhum telah menikah
dengan Penggugat I dan dikarunia 8 anak kandung yaitu 7 anak perempuan
(Penggugat II, III, IV, Tergugat I, II, III dan IV), 1 anak laki-laki kandung (Penggugat
VI). Semasa hidup almarhum ada mengangkat seorang anak laki-laki (Penggugat V)
yang diakui sebagai anak berdasarkan Ikrar (pengakuan) dan Bayyinah (kesaksian).
Para Tergugat telah menguasai dan mengelola harta peninggalan almarhum tanpa
persetujuan dan tanpa ijin Para Penggugat.
Para Tergugat juga menolak untuk menjual harta peninggalan almarhum yang
berupa rumah toko karena masih digunakan sebagai tempat usaha, sedangkan Para
Penggugat lainnya menginginkan semua harta peninggalan almarhum segera dijual
dan dibagi untuk membiayai pengobatan/penyembuhan Penggugat I. Dengan
demikian telah terjadi sengketa antara Para Penggugat dengan Para Tergugat
mengenai harta peninggalan almarhum.
Berdasarkan penjelasan di atas, masalah ini menarik untuk diteliti, dengan
judul “Kedudukan Janda Terhadap Harta Bersama Dan Harta Warisan
Menurut Kompilasi Hukum Islam (Studi Kasus Putusan Perkara Pengadilan
Agama Nomor 646/Pdt.G/2010/PA. Mdn.)”
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan
latar
belakang
di
atas,
dapat
dikemukakan
beberapa
permasalahan yang akan dikaji lebih lanjut antara lain sebagai berikut:
a.
Apakah yang menjadi dasar hukum dalam menetapkan harta bersama dalam
perkawinan menurut Hukum Islam?
7
Universitas Sumatera Utara
b.
Bagaimanakah kedudukan janda terhadap harta bersama dan harta warisan
ditinjau dari Kompilasi Hukum Islam?
c.
Apakah yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam memutuskan Perkara
Pengadilan Agama Nomor 646/Pdt.G/2010/PA.Mdn?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan tersebut di atas, maka tujuan yang diharapkan
dalam penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui dasar-dasar hukum dalam menetapkan harta bersama dalam
perkawinan menurut Hukum Islam.
2. Untuk mengetahui kedudukan janda terhadap harta warisan dan harta bersama
ditinjau dari
Kompilasi Hukum Islam.
3. Untuk mengetahui pertimbangan hakim dalam memutuskan Putusan Perkara
Pengadilan Agama Nomor 646/Pdt.G/2010/PA.Mdn.
D. Manfaat Penelitian
Pelaksanaan penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat baik secara
teoritis maupun secara praktis, seperti yang dijabarkan lebih lanjut sebagai berikut:
1.
Secara Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbang saran dalam ilmu
pengetahuan hukum pada umumnya dan hukum Islam pada khususnya, terutama
mengenai kedudukan janda terhadap harta bersama dan harta warisan yang diperoleh
dalam perkawinan baik ditinjau dari Hukum Islam maupun Kompilasi Hukum Islam.
2.
Secara Praktis
8
Universitas Sumatera Utara
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada:
a. Masyarakat khususnya umat Islam untuk menambah wawasan dan
pengetahuan tentang harta bersama dan harta warisan.
b. Pengadilan Agama untuk memberikan penjelasan yang lebih luas tentang
keberadaan Kompilasi Hukum Islam sebagai hukum materil pada Pengadilan
Agama sebagai upaya menyebarluaskan Kompilasi Hukum Islam kepada
masyarakat.
c. Pihak Pemerintah untuk meningkatkan landasan hukum Kompilasi Hukum
Islam dari Inpres menjadi Undang-Undang.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan hasil penelusuran dan pemeriksaan yang telah dilakukan baik di
kepustakaan penulisan karya ilmiah Magister Hukum maupun di Magister
Kenotariatan Universitas Sumatera Utara (USU) Medan, ditemukan 2 (dua) penelitian
mengenai harta bersama tapi dibahas secara terpisah.
1. Tesis Akibat Hukum Perceraian Terhadap Harta Bersama Berdasarkan
Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum
Islam oleh Ismy Syafriani Nasution Nim. 077011030/Mkn. Tesis ini
membahas tentang akibat hukum penyelesaian sengketa terhadap harta
bersama menurut Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974,
pertimbangan hakim dalam menentukan pembagian harta bersama akibat
perceraian dan akibat hukum penyelesaian sengketa yang berkaitan dengan
pemeliharaan anak setelah terjadinya perceraian. Hasil yang dicapai dalam
9
Universitas Sumatera Utara
tesis tersebut adalah (1) bahwa Pasal 37 Undang-Undang Perkawinan Nomor
1 Tahun 1974 menyatakan perkawinan putus karena perceraian maka harta
bersama diatur menurut hukumnya masing-masing sedangkan menurut
Kompilasi Hukum Islam harta bersama setelah terjadinya perceraian akan
dibagi dua setengah untuk suami dan setengah untuk istri; (2) Majelis Hakim
Pengadilan Agama Medan menyatakan bahwa gugatan cerai digabung dengan
harta bersama adalah hal yang dibenarkan berdasarkan Pasal 86 ayat 1
Undang-Undang Pengadilan Agama Nomor 7 Tahun 1989; (3) hak
pemeliharaan anak yang masih dibawah umur 12 tahun diserahkan kepada
ibunya sedangkan hak-hak pemeliharaan anak yang berumur 12 tahun atau
lebih ditentukan berdasarkan pilihan anak sendiri, ingin dipelihara ibu atau
dipelihara bapaknya.
2. Tesis Penyelesaian Pembagian Harta Bersama Dalam Hal Terjadinya
Perceraian oleh Sugih Ayu Pratitis Nim.077005133/Hk. Tesis ini membahas
tentang akibat hukum perceraian terhadap kedudukan harta benda perkawinan,
pelaksanaan penyelesaian pembagian harta bersama di Pengadilan Agama dan
pertimbangan Hakim dalam menetapkan putusan terhadap penyelesaian harta
bersama. Hasil yang dicapai dalam tesis tersebut adalah (1) Bila terjadi
perceraian antara suami istri maka harta yang diperoleh selama perkawinan
dibagi dua yaitu setengah untuk suami dan setengah untuk istri.(2) Bila
perceraian sudah disetujui Hakim maka suami istri dapat mengajukan
permohonan pembagian harta bersama sesuai dengan hukum yang berlaku. (3)
10
Universitas Sumatera Utara
Hakim Pengadilan Agama menyatakan bahwa harta bersama adalah harta
yang diperoleh baik sendiri-sendiri atau bersama-sama selama dalam ikatan
perkawinan berlangsung tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapapun.
Tesis Kedudukan Janda Terhadap Harta Bersama menurut Kompilasi Hukum
Islam (Studi Putusan PA No.646/Pdt.G/2010/PA.Mdn) ini tentu berbeda dengan
tulisan-tulisan yang sudah ada. Disini pembahasan yang akan dilakukan adalah
mengenai kedudukan janda terhadap harta bersama dan harta warisan yang timbul
akibat perceraian karena kematian, sedangkan tesis-tesis yang terdahulu membahas
harta bersama akibat perceraian semasa hidup.
Oleh karena itu, penelitian ini adalah asli adanya. Artinya secara akademik
penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan kemurniannya, karena belum ada yang
melakukan penelitian yang sama dengan penelitian ini.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi
1.
Kerangka Teori
Kerangka teori yang dimaksud dalam penelitian ini adalah suatu kerangka
yang menjadi dasar pemikiran, guna menerangkan atau menjelaskan permasalahan
penelitian. Kerangka teori ini kemudian dijadikan sebagai pisau analisis objek
penelitian dengan mengahadapkannya pada fakta-fakta yang ada.
Konsep teori merupakan kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, mengenai
suatu kasus ataupun permasalahan (problem) yang bagi si pembaca menjadi bahan
11
Universitas Sumatera Utara
pertimbangan, pegangan teori yang mungkin ia setuju ataupun tidak disetujuinya, ini
merupakan masukan eksternal bagi peneliti.8
Kerangka teori dalam penelitian hukum sangat diperlukan untuk membuat jelas nilainilai oleh postulat-postulat hukum sampai kepada landasan filosofisnya yang tertinggi. Teori
hukum sendiri boleh disebut sebagai kelanjutan dari mempelajari hukum positif, setidaktidaknya dalam urutan yang demikian itulah kita merekonstruksikan kehadiran teori hukum
secara jelas.9
Oleh sebab itu, teori atau kerangka teori mempunyai kegunaan paling sedikit
mencakup hal-hal sebagai berikut:10
a. Teori tersebut berguna untuk lebih mempertajam atau lebih mengkhususkan
fakta yang hendak diselidiki atau di uji kebenarannya.
b. Teori sangat berguna didalam mengembangkan sistem klasifikasi fakta,
membina struktur konsep-konsep serta mengembangkan defenisi-defenisi.
c. Teori biasanya merupakan suatu ikhtisar daripada hal-hal yang telah diketahui
serta diuji kebenarannya yang menyangkut objek yang diteliti.
d. Teori memberikan kemungkinan pada prediksi fakta mendatang, oleh karena
telah diketahui sebab-sebab terjadinya fakta tersebut dan mungkin faktorfaktor tersebut akan timbul lagi pada masa-masa mendatang.
e. Teori memberikan petunjuk-petunjuk terhadap kekurangan-kekurangan pada
pengetahuan peneliti.
8
M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, C.V. Mandar Maju, Bandung, 1994, hlm. 80.
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, PT. Citra aditya bakti , Bandung, 1991, hlm. 354.
10
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1998, hlm. 3.
9
12
Universitas Sumatera Utara
Dalam penelitian ini dibahas tentang kedudukan janda cerai mati terhadap
pembagian harta yang diperoleh bersama dalam perkawinan antara janda dan
almarhum suaminya. Harta bersama dan harta warisan tersebut menjadi sengketa
dalam peradilan agama karena adanya penguasaan sepihak oleh beberapa anak
kandung tanpa terlebih dahulu melaksanakan pembagian harta peninggalan pewaris
untuk dibagi-bagikan kepada janda yang berhak atas harta bersama yang diperoleh
selama perkawinan maupun kepada para ahli waris yang berhak, sesuai dengan
Hukum Islam yang berlaku di Indonesia.
Kedudukan janda karena kematian terhadap harta bersama memang telah
diatur didalam Pasal 96 ayat 1 Kompilasi Hukum Islam, dimana menyatakan bahwa
apabila terjadi cerai mati, maka separuh harta bersama menjadi hak pasangan hidup
lebih lama.
Bila mencermati dasar-dasar yang menjadi acuan terciptanya ketentuan
mengenai harta bersama di dalam Kompilasi Hukum Islam salah satunya adalah adat
yang hidup di dalam masyarakat Indonesia, maka tidak semua harta bersama di
dalam perkawinan dibagi dua yaitu ½ untuk suami dan ½ untuk istri. Namun ada juga
yang membagi 2/3 untuk suami dan 1/3 untuk istri.
Menurut Abdullah Syah pada masyarakat Melayu Sumatera Timur, jika samasama bekerja seperti bertani, berdagang dan sebagainya yang sama-sama
dikerjakan oleh suami istri, maka harta bersama dibagi rata, yaitu masingmasing ½ (setengah). Tetapi apabila suami saja yang bekerja seperti nelayan
yang berusaha kelaut luas dan istri tidak pernah ikut, maka harta bersama
dibagi tiga, 2/3 untuk suami dan 1/3 untuk istri. Hal semacam ini tidak
13
Universitas Sumatera Utara
menutup kemungkinan sebaliknya, seperti istri pegawai negeri, suami
menjaga anak di rumah dan tidak berusaha, maka istri 2/3 dan suami 1/3.11
Barang-barang milik bersama apabila terjadi putusnya perkawinan dibagi
antara kedua belah pihak masing-masing pada umumnya dibagi dua, tetapi ada
beberapa tempat (daerah) yakni di Jawa Tengah disebut Sagendong Sapikul, di Bali
disebut Sasuhun Sarembat, yang mempunyai kebiasaan sedemikian rupa sehingga
suami mendapat 2/3 (dua pertiga) dan istri mendapat 1/3 (sepertiga). 12
Dalam putusan perkara nomor 646/Pdt.G/2010 PA.Mdn. yang akan dianalisis
dalam tesis ini adalah bagaimana Hukum Islam mengatur tentang pembagian harta
bersama dalam perkawinan, pembagian harta warisan dan bagaimana pula seharusnya
Hakim menetapkan suatu putusan yang memenuhi rasa keadilan bagi para pihak yang
bersengketa dengan tetap memperhatikan kemaslahatan (kebaikan) bagi para pihak.
Berdasarkan hal tersebut maka teori yang dipakai dalam tesis ini adalah teori
kemaslahatan sebagai grand theory (teori dasar) dan sebagai pendukung adalah teori
keadilan.
Secara etimologi atau bahasa kemaslahatan dapat diartikan sebagai sesuatu
yang mendatangkan kebaikan, keselamatan, faedah atau kegunaan dan manfaat.13
Aturan-aturan yang ditetapkan Allah disebut juga hukum syari’at. Tujuan utama
syari’at diturunkan adalah untuk kemaslahatan dan mencegah kemafsadatan
11
Abdullah Syah, Integrasi Antara Hukum Islam dan Hukum Adat dalam Kewarisan Suku
Melayu, Citapustaka Media Perintis, Bandung, 2009, hlm. 169.
12
Tesis, Suwatno, Pembagian Harta Bersama Akibat Perceraian Menurut Hukum Adat Jawa
Di Kecamatan Tarub Kabupaten Tegal, Mkn, Semarang, Universitas Diponegoro, 2010, hlm. 74.
13
Departemen Pendidikan dan Kebudayaa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka,
1995, hlm. 634.
14
Universitas Sumatera Utara
(kerusakan). Syari’at menetapkan ada lima kebutuhan pokok manusia yang harus
dilindungi oleh hukum, yaitu:14 agama, jiwa, harta, akal dan keturunan.
Syari’at dalam Islam merupakan aturan yang ditetapkan Allah pada umumnya
mudah dipahami dan dijalankan oleh umat Islam yang berlatar belakang budaya dan
bangsa yang berbeda. Dalam penerapannya harta bersama dalam perkawinan tidak
secara jelas diatur dalam syari’at, namun dengan adanya penyesuaian dari adat yang
berlaku di Indonesia sehingga timbulnya harta bersama dalam perkawinan diharapkan
dapat menciptakan kemaslahatan umat.
Kata adil dalam bahasa Arab disebut al ‘adl yang artinya sesuatu yang baik,
sikap yang memihak, penjagaan hak-hak seseorang dan cara yang tepat dalam
mengambil keputusan. Syari’at Islam menetapkan aturan waris dengan bentuk yang
teratur dan adil. Konsep keadilan dalam hukum ditentukan oleh tujuannya. Dengan
demikian, konsep keadilan dalam Islam berbeda dengan konsep keadilan dalam
hukum sipil, karena tujuan kedua hukum itu berbeda.
Keadilan dalam hukum Islam digantungkan kepada keadilan yang telah
ditentukan oleh Allah sendiri. Karena tidak mungkin manusia mengetahui keadilan
itu secara benar dan tepat. Di sini pun keimanan mendahului pengertian karena telah
ditetapkan bahwa segala yang ditentukan oleh Allah SWT pasti adil.15
Aristoteles memperkenalkan teori etis (ethische theory) dalam bukunya
Rhetorica dan Ethica Necomachea. Dalam teori ini dinyatakan bahwa tujuan hukum
14
Daud Rosyid, Indahnya Syari’at Islam, Usamah Press, Jakarta, 2003, hlm. 35.
Bustanhul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam Di Indonesia Akar Sejarah, hambatan dan
prospeknya, Gema Insani Press, Jakarta, 1996, hlm. 127.
15
15
Universitas Sumatera Utara
itu semata-mata mewujudkan keadilan. Keadilan disini adalah memberikan kepada
setiap orang apa saja yang menjadi bagian atau haknya (ius suum cuique tribuere).
Dalam bukunya Rhetorica, Aristoteles membedakan keadilan dalam dua
bentuk, yaitu:
1.
Keadilan distributif (justitia distributiva)
Keadilan distributif adalah suatu keadilan yang memberikan kepada setiap
orang didasarkan atas jasa-jasanya atau pembagian menurut haknya masing-masing.16
Dalam hal ini keadilan yang dimaksud adalah bukan berarti tiap-tiap orang
mendapat bagiannya sama banyaknya, bukan persamaan melainkan kesebandingan.
Keadilan distributif adalah kewajiban para pakar hukum untuk memberikan putusan
secara proporsional atau seimbang dengan jasa suami atau istri dalam harta bersama.
2.
Keadilan Kumulatif (justitia commulativa)
Keadilan kumulatif adalah suatu keadilan yang diterima oleh masing-masing
anggota tanpa memperdulikan jasa masing-masing.17 Keadilan disini dapat diartikan
bahwa setiap orang harus diperlakukan sama tanpa memandang kedudukannya.
Gustav Radburch seorang filsuf hukum Jerman mengajarkan adanya tiga ide
dasar hukum yang oleh sebagian besar pakar teori hukum dan filsafat hukum, juga
diidentikkan sebagai tiga tujuan hukum yaitu keadilan, kemanfaatan dan kepastian
hukum.18 Radburch mengajarkan bahwa diperlukan penggunaan asas prioritas dalam
menentukan tujuan hukum itu, dimana prioritas pertama adalah keadilan, kedua
16
17
18
R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hlm. 40.
R. Soeroso, Op. Cit., hlm. 64.
Satjipto Raharjo, Op. Cit., hlm. 21.
16
Universitas Sumatera Utara
adalah kemanfaatan dan terakhir barulah kepastian hukum. Dapat dilihat disini bahwa
yang menjadi prioritas utama dalam mengambil keputusan adalah keadilan,
penegakan hukum dapat diabaikan jika hukum itu sendiri tidak dapat berlaku adil
untuk beberapa perkara tertentu.
Sekalipun ketiga-tiganya merupakan nilai dasar hukum, namun diantara
mereka terdapat suatu ketegangan satu sama lain. Hubungan atau keadaan tersebut
disebabkan karena ketiga dasar hukum tersebut masing-masing mempunyai tuntutan
yang berbeda satu sama lainnya, sehingga ketiganya mempunyai potensi untuk saling
bertentangan.19
Jika lebih cenderung berpegang pada nilai-nilai kepastian hukum maka ia
menggeser nilai-nilai keadilan dan kemanfaatan. Karena yang penting pada nilai
kepastian adalah peraturan itu sendiri tentang apakah peraturan itu memenuhi rasa
keadilan dan bermanfaat bagi masyarakat, adalah di luar pengutamaan nilai kepastian
hukum. Begitu juga jika cenderung berpegang kepada nilai kemanfaatan saja maka
sebagai nilai ia akan menggeser nilai kepastian hukum maupun nilai keadilan, karena
yang penting bagi nilai kemanfaatan adalah kenyataan apakah hukum tersebut
bermanfaat atau berguna bagi masyarakat.
Demikian juga haknya jika hanya berpegang pada nilai keadilan saja maka
sebagai nilai dasar ia menggeser nilai kepastian dan nilai kemanfaatan, karena nilai
keadilan tidak terikat kepada kepastian hukum ataupun nilai kemanfaatan, disebabkan
19
Ibid.
17
Universitas Sumatera Utara
karena sesuatu yang dirasakan adil belum tentu sesuai dengan nilai kemanfaatan dan
kepastian hukum.
Bila dikaitkan dengan hak waris yang telah ditentukan Allah SWT, maka
terlihat adanya pembagian yang adil sesuai dengan kewajiban dan tanggung jawab
para ahli waris dalam keluarga, bagian laki-laki lebih besar dari bagian perempuan
sebab tanggung jawab dan kewajiban laki-laki lebih besar dari perempuan. Karena itu
sistem kewarisan Islam menganut asas keadilan yang seimbang. Berbeda dengan
pembagian harta bersama, ketentuan tersebut tidak ada disebutkan dalam Al-Qur’an,
hanya disebutkan dalam Hadis Qudsi.
Dalam hal ini, sebaiknya para prakstisi hukum perlu mempertimbangkan
tentang pembagian harta bersama dalam perkawinan sehingga terciptanya rasa
keadilan sesuai dengan Pasal 229 Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan bahwa
hakim dalam menyelesaikan perkara-perkara yang diajukan kepadanya, wajib
memperhatikan dengan sungguh-sungguh nilai-nilai hukum yang hidup dalam
masyarakat sehingga putusannya sesuai dengan rasa keadilan.20
2 . Konsepsi
Konsepsi adalah salah satu bagian terpenting dari teori, peranan konsepsi
dalam penelitian ini sebagai usaha membawa sesuatu dari abstrak menjadi suatu yang
konkrit. Konsep diartikan sebagai kata yang menyatukan abstraksi yang
20
Tim Redaksi Aulia, Op. Cit., hlm. 73.
18
Universitas Sumatera Utara
digeneralisasikan dari hal-hal yang khusus yang disebut dengan defenisi operasional
(operational defenition).21
Untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini perlu didefenisikan
beberapa konsep dasar, agar secara operasional diperoleh hasil yang sesuai dengan
tujuan yang telah ditentukan dalam penelitian ini. Suatu konsep atau suatu kerangka
konsepsionil pada hakikatnya merupakan suatu pengarah atau pedoman yang lebig
konkrit daripada kerangka teoritis yang seringkali masih bersifat abstrak. Namun
demikian, suatu kerangka konsepsionil, kadang-kadang dirasakan masih juga abstrak,
sehingga diperlukan defenisi-defenisi operasional yang dapat dijadikan pegangan
konkrit didalam proses penelitian.22
Agar tidak terjadi perbedaan pengertian tentang konsep-konsep yang
dipergunakan dalam penelitian ini, maka diperlukan uraian pengerian-pengertian
konsep yang dipakai sebagai berikut:
a. Kedudukan adalah letak, tempat atau keadaan seseorang yang sebenarnya.
b. Janda adalah wanita yang telah bercerai atau ditinggal mati suaminya.23
c. Harta bersama adalah harta yang dimiliki dan dimanfaatkan secara bersamasama.24
d. Harta peninggalan adalah harta yang ditinggalkan oleh pewaris baik yang
berupa benda yang menjadi miliknya maupun hak-haknya.25
21
Samadi Suryabrata, Metodelogi Penelitian, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1998, hlm. 3.
Soerjono Soekanto, Op. Cit., hlm. 133.
23
Umi Chulsum, Windy Novia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Yoshiko Press, Cet. 1,
Surabaya, 2006, hlm. 312.
24
Umi Chulsum, Op. Cit., hlm. 275.
22
19
Universitas Sumatera Utara
e. Harta waris adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah
digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya
pengurusan jenazah (tajniz), pembayaran hutang dan pemberian untuk
kerabat.26
f. Kompilasi Hukum Islam adalah hukum material Pengadilan Agama yang
terkodifikasi dan unifikasi yang pertama saat ini dan diperlukan untuk
landasan rujukan setiap keputusan peradilan agama.27
g. Peradilan Agama adalah lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung
bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara perdata
tertentu yang diatur dalam Undang-Undang. Lingkungan Peradilan Agama
meliputi Pengadilan Tinggi Agama dan Pengadilan Agama.
h. Pengadilan Agama adalah lembaga peradilan di lingkungan Peradilan Agama
yang berkedudukan di ibukota kabupaten atau kota. Sebagai Pengadilan
Tingkat Pertama, Pengadilan Agama memiliki tugas dan wewenang untuk
memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara antara orang-orang
yang beragama Islam di bidang perkawinan, warisan dan wakaf. Pengadilan
Agama dibentuk melalui Undang-Undang dengan daerah hukum meliputi
wilayah kota atau kabupaten.
25
Tim Redaksi Aulia, Op. Cit., hlm. 54.
Ibid.
27
M. Hasballah Thaib, Ilmu Hukum Waris Islam, Mkn, USU, Medan, 2006, hlm. 11.
26
20
Universitas Sumatera Utara
G. Metode Penelitian
Sebagai suatu penelitian ilmiah, maka rangkaian kegiatan penelitian dinilai
dari pengumpulan data sampai pada analisis data dilakukan dengan memperhatikan
kaidah-kaidah ilmiah sebagai berikut:
1.
Sifat dan Jenis Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif analitis, yaitu suatu penelitian yang
mendeskripsikan atau menggambarkan dan menjelaskan permasalahan yang
dikemukakan secara analitis tentang harta bersama dalam hukum Islam dan
Kompilasi Hukum Islam.
Dalam penelitian ini jenis penelitian yang digunakan adalah dengan metode
pendekatan yuridis normatif, dimana dilakukan pendekatan permasalahan yang telah
dirumuskan dengan mempelajari ketentuan perundang-undangan, buku-buku yang
berkaitan dengan harta bersama, sehingga dapat diketahui landasan legalitas yang
ada telah memadai untuk mengatur masalah harta bersama.
Pendekatan yuridis normatif adalah pendekatan hukum dengan melihat
peraturan-peraturan, baik bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder atau
pendekatan terhadap masalah dengan cara melihat dari segi peraturan perundangundangan yang berlaku.28
Dalam hal ini metode pendekatan dilakukan untuk menemukan hukum inkonkrito dan juga penelitian sejarah hukum. Metode Pendekatan dengan metode
28
Roni Hantijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia, Semarang,
Indonesia, 1998, hlm. 11.
21
Universitas Sumatera Utara
yuridis normatif diambil dengan pertimbangan bahwa pendekatan ini cukup layak
untuk diterapkan, karena dalam metode ini akan diperoleh data dan informasi secara
menyeluruh yang bersifat normatif baik dari sumber hukum primer, sekunder dan
tertier.
2.
Sumber Data
Adapun sumber data utama dari penelitian ini adalah data sekunder yang
terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.
Data sekunder merupakan data yang dikumpulkan dalam penelitian kepustakaan.
Penelitian kepustakaan adalah teknik untuk mencari bahan-bahan atau data-data yang
bersifat sekunder yaitu data yang erat hubungannya dengan bahan primer dan dapat
dipakai untuk menganalisa permasalahan.
Dalam penelitian ini bila dilihat dari sudut sumbernya menggunakan data
berupa putusan pengadilan, di mana yang dimaksud di sini adalah Pengadilan Agama
Medan. Dan jika dilihat dari sumber mengikatnya penelitian ini menggunakan bahan
hukum primer, yaitu berupa Kompilasi Hukum Islam, sedangkan untuk bahan hukum
sekunder dapat berupa hasil karya dari kalangan hukum, serta bahan hukum tertier
berupa kamus dan ensiklopedia.
Data sekunder dibedakan dalam :
a. Bahan hukum primer yaitu bahan-bahan yang mengikat dan terdiri:
1. Al-Qur’an dan Hadis.
2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
3. Kompilasi Hukum Islam.
22
Universitas Sumatera Utara
b. Bahan hukum sekunder yaitu memberi penjelasan mengenai bahan hukum
primer, misalnya :
1. Keputusan yang terkait dengan harta bersama.
2. Hasil penelitian, karya ilmiah dari kalangan hukum dan sebagainya.
c. Bahan tersier, yaitu bahan hukum yang dijadikan pegangan atau acuan bagi
kelancaran proses penelitian.
Bahan hukum tersier merupakan bahan-bahan yang memberi petunjuk
maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder misalnya
kamus hukum, agar diperoleh informasi yang terbaru dan berkaitan erat
dengan permasalahannya maka kepustakaan yang di cari dan diperoleh harus
relevan dan mutakhir.29
Sebagai data pendukung dalam penelitian ini, maka dilakukan
wawancara terhadap para informan yang dalam hal ini adalah 2 (dua) orang
hakim dari Pengadilan Agama Medan yang memutus perkara nomor
646/Pdt.G/2010/PA.Mdn.
3.
Alat Pengumpulan Data
Berdasarkan metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini, maka
alat pengumpulan data yang digunakan adalah sebagai berikut:
a. Studi dokumen atau penelitian kepustakaan (library research) untuk
memperoleh data sekunder, yaitu pengumpulan data sekunder baik berupa
29
Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum (Suatu Pengantar), Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 1997, hlm. 116.
23
Universitas Sumatera Utara
peraturan perundang-undangan yang berlaku, putusan Pengadilan Agama
Medan maupun teori-teori dan asas-asas hukum, doktrin-doktrin yang
berkaitan dengan permasalahan yang dikemukakan.
b. Wawancara secara langsung kepada informan dengan menggunakan pedoman
wawancara yang telah dipersiapkan terlebih dahulu. Wawancara dilakukan
terhadap 2 (dua) orang Hakim Pengadilan Agama Medan. Informan utama
adalah Drs. H. Mohd. Hidayat Nassery selaku Ketua Majelis Hakim dan
Informan kedua adalah Drs. H. Abd. Halim Ibrahim, M.H. selaku Hakim
Anggota, dalam hal ini keduanya merupakan Hakim yang memberikan
putusan perkara di Pengadilan Agama Medan Nomor 646/Pdt.G/2010/PA.
Mdn.
4.
Analisis Data
Pada penelitian yang bersifat deskiriptif analitis, dengan menggunakan
pendekatan yuridis normatif, maka metode analisis data yang akan dipergunakan
adalah metode kualitatif. Pemilihan metode kualitatif ini karena mempertimbangkan
bahwa dalam penelitian ini data yang akan diperoleh sukar diukur dengan angkaangka.
Dengan dilakukannya analisis data, maka dapat ditarik kesimpulan. Penarikan
kesimpulan ini dilakukan dengan memakai metode deduktif, yaitu cara berpikir yang
dimulai dari hal-hal yang umum untuk selanjutnya mengambil atau menarik hal-hal
yang khusus sebagai kesimpulan dari permasalahan yang ada.
24
Universitas Sumatera Utara
Dengan metode deduktif juga dapat menggambarkan ketentuan pelaksanaan
tentang harta bersama dan harta warisan dengan mengacu pada Kompilasi Hukum
Islam.
25
Universitas Sumatera Utara
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejak dilahirkan manusia sebagai makhluk sosial telah dilengkapi dengan
naluri untuk senantiasa hidup bersama dan saling membutuhkan antara satu sama
lain. Tuhan telah menciptakan segala sesuatu saling berpasangan, ada laki-laki dan
perempuan. Untuk tetap mempertahankan generasi dan keturunannya maka manusia
mewujudkannya dengan melangsungkan perkawinan. Perkawinan merupakan satusatunya cara untuk membentuk keluarga.
Perkawinan merupakan peristiwa penting dalam kehidupan setiap manusia
yang akan menimbulkan akibat lahir maupun batin antara mereka. Pembinaan
terhadap perkawinan merupakan konsekwensi logis dan sekaligus merupakan citacita bangsa Indonesia, agar memiliki peraturan hukum perkawinan yang bersifat
nasional yang berlaku untuk seluruh wilayah Indonesia.
Indonesia sebagai negara hukum telah mengatur undang-undang tentang
perkawinan yang tertuang dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974, dilengkapi
dengan Peraturan Pemerintah No.9 tahun 1975 yaitu tentang Pelaksanaan UndangUndang No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan yang berlaku secara nasional, dan
Intruksi Presiden No.1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI) bagi
semua warga negara Indonesia yang beragama Islam dan peraturan lainnya mengenai
perkawinan.
1
Universitas Sumatera Utara
Diharapkan dengan adanya aturan hukum ini, persoalan perkawinan yang
terjadi di Indonesia dapat diselesaikan dengan baik berdasarkan hukum positip juga
berdasarkan hukum agama (terutama Islam sebagai penganut mayoritas yang ada di
Indonesia).
Berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pengertian
perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai
suami istri dengan tujuan membentuk rumah tangga yang bahagia berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa.
Adapun perkawinan menurut Hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad
yang sangat kuat untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan
ibadah. Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang
sakinah (ketenangan hati), mawaddah (rasa cinta) dan rahmah (kasih sayang).1
Ditinjau dari sudut pandang Islam, lembaga perkawinan merupakan suatu
lembaga yang suci dan luhur, di mana kedua belah pihak dihubungkan sebagai suami
istri dengan mempergunakan nama Allah SWT, sesuai dengan bunyi surat An-Nissa’
ayat 1 yang artinya :
“Hai sekalian manusia bertakwalah kepada Tuhan yang telah menciptakan
kamu dan dari padanya Allah mengembangbiakkan laki-laki dan perempuan
(mempergunakan) namaNya kamu saling meminta satu sama lain dan
peliharalah hubungan silaturahmi. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan
mengawasi kamu”.2
Manusia sebagai makhluk hidup mempunyai dua naluri yaitu naluri untuk
mempertahankan hidup dan naluri untuk melanjutkan hidup. Untuk terpenuhinya dua
1
2
Tim Redaksi Aulia, Kompilasi Hukum Islam, Nuansa Aulia, Jakarta, 2008, hlm. 2.
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahannya, CV.Toha Putra, Semarang, 1989.
2
Universitas Sumatera Utara
naluri tersebut Allah menciptakan dalam diri setiap manusia dua nafsu, yaitu: nafsu
makan dan nafsu syahwat. Nafsu makan berpotensi untuk memenuhi naluri
mempertahankan hidup dan karena itu setiap manusia memerlukan sesuatu yang
dapat dimakannya.3 Dari sinilah muncul kecenderungan manusia untuk mendapatkan
dan memiliki harta. Nafsu syahwat berpotensi untuk memenuhi naluri melanjutkan
kehidupan dan untuk itu setiap manusia memerlukan lawan jenisnya untuk
menyalurkan nafsu syahwatnya itu.4
Allah mengatur dua hal dalam segi kehidupan manusia yaitu pertama hal-hal
yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan Allah Penciptanya disebut hablum
min Allah dan kedua berkaitan dengan hubungan antar manusia dan alam sekitarnya
disebut hablum min an nas. Di antara aturan yang mengatur hubungan sesama
manusia yang ditetapkan Allah adalah aturan tentang harta warisan, yaitu harta dan
pemilikan yang timbul sebagai akibat dari suatu kematian.
Apabila suatu kematian terjadi, sudah dapat dipastikan akan menimbulkan
akibat-akibat terhadap orang-orang yang berkaitan dalam satu keluarga, dalam hal ini
akibat hukumnyalah yang akan dititikberatkan. Akibat hukum dari kematian ini
tentunya menyangkut pula terhadap harta bersama, harta warisan, siapa yang berhak
menerimanya, berapa jumlahnya dan bagaimana cara mendapatkannya.
Pada akhirnya, harta bersama dan harta warisan akan menjadi awal
persengketaan. Dan tidak dapat dipungkiri lembaga peradilan akan sangat berperan
3
4
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, Kencana, Cet. ke-3, Jakarta, 2004, hlm. 2.
Ibid.
3
Universitas Sumatera Utara
dalam proses penyelesaian persengketaan dimaksud. Lembaga peradilan akan
menjadi media bagi keluarga yang bersengketa untuk menuangkan segala
argumentasi mereka, khususnya dalam rangka mewujudkan keinginan masing-masing
pihak untuk menguasai harta tersebut.
Undang-Undang No.1 Tahun 1974 telah memuat beberapa pasal tentang harta
benda dalam perkawinan, yaitu dalam Bab VII Pasal 35-37, yang berbunyi sebagai
berikut:5
Pasal 35 :
1. Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.
2. Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang
diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah
penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
Pasal 36:
1. Mengenai harta bersama, suami atau istri dapat bertindak atas persetujuan
kedua belah pihak.
2. Mengenai harta bawaan masing-masing suami dan istri mempunyai hak
sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.
Pasal 37:
Bila perkawinan putus karena perceraian harta bersama diatur menurut
hukumnya masing-masing.
5
Tim Redaksi Aulia, Op. Cit., hlm. 91.
4
Universitas Sumatera Utara
Aturan-aturan pasal tersebut pada dasarnya telah memberikan gambaran yang
cukup jelas. Namun bila di analisa lebih lanjut ternyata ungkapan pada Pasal 37
terungkap bahwa yang dimaksud dengan “hukumnya masing-masing” ialah hukum
agama, hukum adat dan hukum lainnya.6
Memperlihatkan Pasal 37 dan penjelasannya, ternyata undang-undang ini
tidak memberikan keseragaman hukum positip tentang bagaimana penyelesaian harta
bersama apabila terjadi perceraian. Kalau dicermati pada penjelasan Pasal 37, maka
undang-undang memberikan jalan pembagian sebagai berikut:7
1. Dilakukan berdasarkan hukum agama itu merupakan kesadaran hukum yang
hidup dalam mengatur tata cara perceraian.
2. Aturan pembagiannya akan dilakukan menurut hukum adat, jika hukum
tersebut merupakan kesadaran hukum yang hidup dalam lingkungan
masyarakat yang bersangkutan.
3. Atau hukum-hukum lainnya.
Berhubung Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 yang tidak dengan tegas
mengatur pembagian harta bersama dan tidak ada mengatur tentang harta warisan,
berakibat timbul kesulitan bagi pihak penyelenggara hukum untuk menyelesaikan
perkara yang berhubungan dengan harta bersama dan harta warisan. Dari sisi hukum,
hal ini berdampak negatif, baik bagi pihak-pihak pencari keadilan maupun bagi
6
M. Yahya Harahap, Pembahasan Hukum Perkawinan Nasional Berdasarkan UndangUndang No. 1 Tahun 1974, Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, C.V. Zahir Trading Co., Cet. 1,
Medan, 1975, hlm.125.
7
Ibid.
5
Universitas Sumatera Utara
lingkungan masyarakat sekitarnya, khususnya bila para pihak yang berperkara atau
masyarakat dimaksud adalah muslim. Paparan ini akan lebih mengarah pada satu
pertanyaan, apakah ajaran Hukum Islam mengatur harta bersama dan harta warisan
atau tidak. Tujuannya adalah untuk mempertegas permasalahan yang akan dibahas.
Pada dasarnya, bila ajaran Islam dimaksud adalah tuntutan Al-Qur’an dan
Hadis, maka secara eksplisit dapat dinyatakan bahwa Islam tidak mengatur perihal
harta bersama secara konkrit. Pada hakekatnya, syirkah dalam hal ini tidak dapat
dikategorikan sebagai harta bersama secara langsung, sebab dalam prakteknya ulamaulama fikih tidak mengenal adanya harta bersama atau pencaharian bersama suami
istri dalam lingkungan dan kondisi hidup mereka. Sedangkan terhadap harta warisan,
hanya sebagian kecil saja masalah-masalah yang telah ditunjukkan oleh Al-Qur’an
dan Hadis dengan keterangan yang jelas dan pasti sedangkan sebagian besar tidak
disinggung secara eksplisit atau disinggung tetapi tidak dengan keterangan yang jelas
dan pasti.
Pembagian harta bersama dan harta warisan ini jelas diatur dalam undangundang, hanya saja sebagai manusia biasa tidak
lepas dari keinginan untuk
menguasai dan memiliki harta tersebut. Berdasarkan uraian di atas maka perlu
dilakukan penelitian perihal penyelesaian sengketa harta bersama dan harta warisan
pada Pengadilan Agama Medan yang belum pernah diteliti.
Adapun yang akan diteliti dalam kasus ini adalah mengenai kedudukan janda
cerai mati terhadap harta bersama dan harta warisan yang dikuasai oleh sebagian
anak kandung. Kasus ini berawal dari meninggalnya almarhum sebagai kepala
6
Universitas Sumatera Utara
keluarga atau sebagai pewaris yang semasa hidupnya almarhum telah menikah
dengan Penggugat I dan dikarunia 8 anak kandung yaitu 7 anak perempuan
(Penggugat II, III, IV, Tergugat I, II, III dan IV), 1 anak laki-laki kandung (Penggugat
VI). Semasa hidup almarhum ada mengangkat seorang anak laki-laki (Penggugat V)
yang diakui sebagai anak berdasarkan Ikrar (pengakuan) dan Bayyinah (kesaksian).
Para Tergugat telah menguasai dan mengelola harta peninggalan almarhum tanpa
persetujuan dan tanpa ijin Para Penggugat.
Para Tergugat juga menolak untuk menjual harta peninggalan almarhum yang
berupa rumah toko karena masih digunakan sebagai tempat usaha, sedangkan Para
Penggugat lainnya menginginkan semua harta peninggalan almarhum segera dijual
dan dibagi untuk membiayai pengobatan/penyembuhan Penggugat I. Dengan
demikian telah terjadi sengketa antara Para Penggugat dengan Para Tergugat
mengenai harta peninggalan almarhum.
Berdasarkan penjelasan di atas, masalah ini menarik untuk diteliti, dengan
judul “Kedudukan Janda Terhadap Harta Bersama Dan Harta Warisan
Menurut Kompilasi Hukum Islam (Studi Kasus Putusan Perkara Pengadilan
Agama Nomor 646/Pdt.G/2010/PA. Mdn.)”
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan
latar
belakang
di
atas,
dapat
dikemukakan
beberapa
permasalahan yang akan dikaji lebih lanjut antara lain sebagai berikut:
a.
Apakah yang menjadi dasar hukum dalam menetapkan harta bersama dalam
perkawinan menurut Hukum Islam?
7
Universitas Sumatera Utara
b.
Bagaimanakah kedudukan janda terhadap harta bersama dan harta warisan
ditinjau dari Kompilasi Hukum Islam?
c.
Apakah yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam memutuskan Perkara
Pengadilan Agama Nomor 646/Pdt.G/2010/PA.Mdn?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan tersebut di atas, maka tujuan yang diharapkan
dalam penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui dasar-dasar hukum dalam menetapkan harta bersama dalam
perkawinan menurut Hukum Islam.
2. Untuk mengetahui kedudukan janda terhadap harta warisan dan harta bersama
ditinjau dari
Kompilasi Hukum Islam.
3. Untuk mengetahui pertimbangan hakim dalam memutuskan Putusan Perkara
Pengadilan Agama Nomor 646/Pdt.G/2010/PA.Mdn.
D. Manfaat Penelitian
Pelaksanaan penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat baik secara
teoritis maupun secara praktis, seperti yang dijabarkan lebih lanjut sebagai berikut:
1.
Secara Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbang saran dalam ilmu
pengetahuan hukum pada umumnya dan hukum Islam pada khususnya, terutama
mengenai kedudukan janda terhadap harta bersama dan harta warisan yang diperoleh
dalam perkawinan baik ditinjau dari Hukum Islam maupun Kompilasi Hukum Islam.
2.
Secara Praktis
8
Universitas Sumatera Utara
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada:
a. Masyarakat khususnya umat Islam untuk menambah wawasan dan
pengetahuan tentang harta bersama dan harta warisan.
b. Pengadilan Agama untuk memberikan penjelasan yang lebih luas tentang
keberadaan Kompilasi Hukum Islam sebagai hukum materil pada Pengadilan
Agama sebagai upaya menyebarluaskan Kompilasi Hukum Islam kepada
masyarakat.
c. Pihak Pemerintah untuk meningkatkan landasan hukum Kompilasi Hukum
Islam dari Inpres menjadi Undang-Undang.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan hasil penelusuran dan pemeriksaan yang telah dilakukan baik di
kepustakaan penulisan karya ilmiah Magister Hukum maupun di Magister
Kenotariatan Universitas Sumatera Utara (USU) Medan, ditemukan 2 (dua) penelitian
mengenai harta bersama tapi dibahas secara terpisah.
1. Tesis Akibat Hukum Perceraian Terhadap Harta Bersama Berdasarkan
Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum
Islam oleh Ismy Syafriani Nasution Nim. 077011030/Mkn. Tesis ini
membahas tentang akibat hukum penyelesaian sengketa terhadap harta
bersama menurut Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974,
pertimbangan hakim dalam menentukan pembagian harta bersama akibat
perceraian dan akibat hukum penyelesaian sengketa yang berkaitan dengan
pemeliharaan anak setelah terjadinya perceraian. Hasil yang dicapai dalam
9
Universitas Sumatera Utara
tesis tersebut adalah (1) bahwa Pasal 37 Undang-Undang Perkawinan Nomor
1 Tahun 1974 menyatakan perkawinan putus karena perceraian maka harta
bersama diatur menurut hukumnya masing-masing sedangkan menurut
Kompilasi Hukum Islam harta bersama setelah terjadinya perceraian akan
dibagi dua setengah untuk suami dan setengah untuk istri; (2) Majelis Hakim
Pengadilan Agama Medan menyatakan bahwa gugatan cerai digabung dengan
harta bersama adalah hal yang dibenarkan berdasarkan Pasal 86 ayat 1
Undang-Undang Pengadilan Agama Nomor 7 Tahun 1989; (3) hak
pemeliharaan anak yang masih dibawah umur 12 tahun diserahkan kepada
ibunya sedangkan hak-hak pemeliharaan anak yang berumur 12 tahun atau
lebih ditentukan berdasarkan pilihan anak sendiri, ingin dipelihara ibu atau
dipelihara bapaknya.
2. Tesis Penyelesaian Pembagian Harta Bersama Dalam Hal Terjadinya
Perceraian oleh Sugih Ayu Pratitis Nim.077005133/Hk. Tesis ini membahas
tentang akibat hukum perceraian terhadap kedudukan harta benda perkawinan,
pelaksanaan penyelesaian pembagian harta bersama di Pengadilan Agama dan
pertimbangan Hakim dalam menetapkan putusan terhadap penyelesaian harta
bersama. Hasil yang dicapai dalam tesis tersebut adalah (1) Bila terjadi
perceraian antara suami istri maka harta yang diperoleh selama perkawinan
dibagi dua yaitu setengah untuk suami dan setengah untuk istri.(2) Bila
perceraian sudah disetujui Hakim maka suami istri dapat mengajukan
permohonan pembagian harta bersama sesuai dengan hukum yang berlaku. (3)
10
Universitas Sumatera Utara
Hakim Pengadilan Agama menyatakan bahwa harta bersama adalah harta
yang diperoleh baik sendiri-sendiri atau bersama-sama selama dalam ikatan
perkawinan berlangsung tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapapun.
Tesis Kedudukan Janda Terhadap Harta Bersama menurut Kompilasi Hukum
Islam (Studi Putusan PA No.646/Pdt.G/2010/PA.Mdn) ini tentu berbeda dengan
tulisan-tulisan yang sudah ada. Disini pembahasan yang akan dilakukan adalah
mengenai kedudukan janda terhadap harta bersama dan harta warisan yang timbul
akibat perceraian karena kematian, sedangkan tesis-tesis yang terdahulu membahas
harta bersama akibat perceraian semasa hidup.
Oleh karena itu, penelitian ini adalah asli adanya. Artinya secara akademik
penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan kemurniannya, karena belum ada yang
melakukan penelitian yang sama dengan penelitian ini.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi
1.
Kerangka Teori
Kerangka teori yang dimaksud dalam penelitian ini adalah suatu kerangka
yang menjadi dasar pemikiran, guna menerangkan atau menjelaskan permasalahan
penelitian. Kerangka teori ini kemudian dijadikan sebagai pisau analisis objek
penelitian dengan mengahadapkannya pada fakta-fakta yang ada.
Konsep teori merupakan kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, mengenai
suatu kasus ataupun permasalahan (problem) yang bagi si pembaca menjadi bahan
11
Universitas Sumatera Utara
pertimbangan, pegangan teori yang mungkin ia setuju ataupun tidak disetujuinya, ini
merupakan masukan eksternal bagi peneliti.8
Kerangka teori dalam penelitian hukum sangat diperlukan untuk membuat jelas nilainilai oleh postulat-postulat hukum sampai kepada landasan filosofisnya yang tertinggi. Teori
hukum sendiri boleh disebut sebagai kelanjutan dari mempelajari hukum positif, setidaktidaknya dalam urutan yang demikian itulah kita merekonstruksikan kehadiran teori hukum
secara jelas.9
Oleh sebab itu, teori atau kerangka teori mempunyai kegunaan paling sedikit
mencakup hal-hal sebagai berikut:10
a. Teori tersebut berguna untuk lebih mempertajam atau lebih mengkhususkan
fakta yang hendak diselidiki atau di uji kebenarannya.
b. Teori sangat berguna didalam mengembangkan sistem klasifikasi fakta,
membina struktur konsep-konsep serta mengembangkan defenisi-defenisi.
c. Teori biasanya merupakan suatu ikhtisar daripada hal-hal yang telah diketahui
serta diuji kebenarannya yang menyangkut objek yang diteliti.
d. Teori memberikan kemungkinan pada prediksi fakta mendatang, oleh karena
telah diketahui sebab-sebab terjadinya fakta tersebut dan mungkin faktorfaktor tersebut akan timbul lagi pada masa-masa mendatang.
e. Teori memberikan petunjuk-petunjuk terhadap kekurangan-kekurangan pada
pengetahuan peneliti.
8
M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, C.V. Mandar Maju, Bandung, 1994, hlm. 80.
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, PT. Citra aditya bakti , Bandung, 1991, hlm. 354.
10
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1998, hlm. 3.
9
12
Universitas Sumatera Utara
Dalam penelitian ini dibahas tentang kedudukan janda cerai mati terhadap
pembagian harta yang diperoleh bersama dalam perkawinan antara janda dan
almarhum suaminya. Harta bersama dan harta warisan tersebut menjadi sengketa
dalam peradilan agama karena adanya penguasaan sepihak oleh beberapa anak
kandung tanpa terlebih dahulu melaksanakan pembagian harta peninggalan pewaris
untuk dibagi-bagikan kepada janda yang berhak atas harta bersama yang diperoleh
selama perkawinan maupun kepada para ahli waris yang berhak, sesuai dengan
Hukum Islam yang berlaku di Indonesia.
Kedudukan janda karena kematian terhadap harta bersama memang telah
diatur didalam Pasal 96 ayat 1 Kompilasi Hukum Islam, dimana menyatakan bahwa
apabila terjadi cerai mati, maka separuh harta bersama menjadi hak pasangan hidup
lebih lama.
Bila mencermati dasar-dasar yang menjadi acuan terciptanya ketentuan
mengenai harta bersama di dalam Kompilasi Hukum Islam salah satunya adalah adat
yang hidup di dalam masyarakat Indonesia, maka tidak semua harta bersama di
dalam perkawinan dibagi dua yaitu ½ untuk suami dan ½ untuk istri. Namun ada juga
yang membagi 2/3 untuk suami dan 1/3 untuk istri.
Menurut Abdullah Syah pada masyarakat Melayu Sumatera Timur, jika samasama bekerja seperti bertani, berdagang dan sebagainya yang sama-sama
dikerjakan oleh suami istri, maka harta bersama dibagi rata, yaitu masingmasing ½ (setengah). Tetapi apabila suami saja yang bekerja seperti nelayan
yang berusaha kelaut luas dan istri tidak pernah ikut, maka harta bersama
dibagi tiga, 2/3 untuk suami dan 1/3 untuk istri. Hal semacam ini tidak
13
Universitas Sumatera Utara
menutup kemungkinan sebaliknya, seperti istri pegawai negeri, suami
menjaga anak di rumah dan tidak berusaha, maka istri 2/3 dan suami 1/3.11
Barang-barang milik bersama apabila terjadi putusnya perkawinan dibagi
antara kedua belah pihak masing-masing pada umumnya dibagi dua, tetapi ada
beberapa tempat (daerah) yakni di Jawa Tengah disebut Sagendong Sapikul, di Bali
disebut Sasuhun Sarembat, yang mempunyai kebiasaan sedemikian rupa sehingga
suami mendapat 2/3 (dua pertiga) dan istri mendapat 1/3 (sepertiga). 12
Dalam putusan perkara nomor 646/Pdt.G/2010 PA.Mdn. yang akan dianalisis
dalam tesis ini adalah bagaimana Hukum Islam mengatur tentang pembagian harta
bersama dalam perkawinan, pembagian harta warisan dan bagaimana pula seharusnya
Hakim menetapkan suatu putusan yang memenuhi rasa keadilan bagi para pihak yang
bersengketa dengan tetap memperhatikan kemaslahatan (kebaikan) bagi para pihak.
Berdasarkan hal tersebut maka teori yang dipakai dalam tesis ini adalah teori
kemaslahatan sebagai grand theory (teori dasar) dan sebagai pendukung adalah teori
keadilan.
Secara etimologi atau bahasa kemaslahatan dapat diartikan sebagai sesuatu
yang mendatangkan kebaikan, keselamatan, faedah atau kegunaan dan manfaat.13
Aturan-aturan yang ditetapkan Allah disebut juga hukum syari’at. Tujuan utama
syari’at diturunkan adalah untuk kemaslahatan dan mencegah kemafsadatan
11
Abdullah Syah, Integrasi Antara Hukum Islam dan Hukum Adat dalam Kewarisan Suku
Melayu, Citapustaka Media Perintis, Bandung, 2009, hlm. 169.
12
Tesis, Suwatno, Pembagian Harta Bersama Akibat Perceraian Menurut Hukum Adat Jawa
Di Kecamatan Tarub Kabupaten Tegal, Mkn, Semarang, Universitas Diponegoro, 2010, hlm. 74.
13
Departemen Pendidikan dan Kebudayaa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka,
1995, hlm. 634.
14
Universitas Sumatera Utara
(kerusakan). Syari’at menetapkan ada lima kebutuhan pokok manusia yang harus
dilindungi oleh hukum, yaitu:14 agama, jiwa, harta, akal dan keturunan.
Syari’at dalam Islam merupakan aturan yang ditetapkan Allah pada umumnya
mudah dipahami dan dijalankan oleh umat Islam yang berlatar belakang budaya dan
bangsa yang berbeda. Dalam penerapannya harta bersama dalam perkawinan tidak
secara jelas diatur dalam syari’at, namun dengan adanya penyesuaian dari adat yang
berlaku di Indonesia sehingga timbulnya harta bersama dalam perkawinan diharapkan
dapat menciptakan kemaslahatan umat.
Kata adil dalam bahasa Arab disebut al ‘adl yang artinya sesuatu yang baik,
sikap yang memihak, penjagaan hak-hak seseorang dan cara yang tepat dalam
mengambil keputusan. Syari’at Islam menetapkan aturan waris dengan bentuk yang
teratur dan adil. Konsep keadilan dalam hukum ditentukan oleh tujuannya. Dengan
demikian, konsep keadilan dalam Islam berbeda dengan konsep keadilan dalam
hukum sipil, karena tujuan kedua hukum itu berbeda.
Keadilan dalam hukum Islam digantungkan kepada keadilan yang telah
ditentukan oleh Allah sendiri. Karena tidak mungkin manusia mengetahui keadilan
itu secara benar dan tepat. Di sini pun keimanan mendahului pengertian karena telah
ditetapkan bahwa segala yang ditentukan oleh Allah SWT pasti adil.15
Aristoteles memperkenalkan teori etis (ethische theory) dalam bukunya
Rhetorica dan Ethica Necomachea. Dalam teori ini dinyatakan bahwa tujuan hukum
14
Daud Rosyid, Indahnya Syari’at Islam, Usamah Press, Jakarta, 2003, hlm. 35.
Bustanhul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam Di Indonesia Akar Sejarah, hambatan dan
prospeknya, Gema Insani Press, Jakarta, 1996, hlm. 127.
15
15
Universitas Sumatera Utara
itu semata-mata mewujudkan keadilan. Keadilan disini adalah memberikan kepada
setiap orang apa saja yang menjadi bagian atau haknya (ius suum cuique tribuere).
Dalam bukunya Rhetorica, Aristoteles membedakan keadilan dalam dua
bentuk, yaitu:
1.
Keadilan distributif (justitia distributiva)
Keadilan distributif adalah suatu keadilan yang memberikan kepada setiap
orang didasarkan atas jasa-jasanya atau pembagian menurut haknya masing-masing.16
Dalam hal ini keadilan yang dimaksud adalah bukan berarti tiap-tiap orang
mendapat bagiannya sama banyaknya, bukan persamaan melainkan kesebandingan.
Keadilan distributif adalah kewajiban para pakar hukum untuk memberikan putusan
secara proporsional atau seimbang dengan jasa suami atau istri dalam harta bersama.
2.
Keadilan Kumulatif (justitia commulativa)
Keadilan kumulatif adalah suatu keadilan yang diterima oleh masing-masing
anggota tanpa memperdulikan jasa masing-masing.17 Keadilan disini dapat diartikan
bahwa setiap orang harus diperlakukan sama tanpa memandang kedudukannya.
Gustav Radburch seorang filsuf hukum Jerman mengajarkan adanya tiga ide
dasar hukum yang oleh sebagian besar pakar teori hukum dan filsafat hukum, juga
diidentikkan sebagai tiga tujuan hukum yaitu keadilan, kemanfaatan dan kepastian
hukum.18 Radburch mengajarkan bahwa diperlukan penggunaan asas prioritas dalam
menentukan tujuan hukum itu, dimana prioritas pertama adalah keadilan, kedua
16
17
18
R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hlm. 40.
R. Soeroso, Op. Cit., hlm. 64.
Satjipto Raharjo, Op. Cit., hlm. 21.
16
Universitas Sumatera Utara
adalah kemanfaatan dan terakhir barulah kepastian hukum. Dapat dilihat disini bahwa
yang menjadi prioritas utama dalam mengambil keputusan adalah keadilan,
penegakan hukum dapat diabaikan jika hukum itu sendiri tidak dapat berlaku adil
untuk beberapa perkara tertentu.
Sekalipun ketiga-tiganya merupakan nilai dasar hukum, namun diantara
mereka terdapat suatu ketegangan satu sama lain. Hubungan atau keadaan tersebut
disebabkan karena ketiga dasar hukum tersebut masing-masing mempunyai tuntutan
yang berbeda satu sama lainnya, sehingga ketiganya mempunyai potensi untuk saling
bertentangan.19
Jika lebih cenderung berpegang pada nilai-nilai kepastian hukum maka ia
menggeser nilai-nilai keadilan dan kemanfaatan. Karena yang penting pada nilai
kepastian adalah peraturan itu sendiri tentang apakah peraturan itu memenuhi rasa
keadilan dan bermanfaat bagi masyarakat, adalah di luar pengutamaan nilai kepastian
hukum. Begitu juga jika cenderung berpegang kepada nilai kemanfaatan saja maka
sebagai nilai ia akan menggeser nilai kepastian hukum maupun nilai keadilan, karena
yang penting bagi nilai kemanfaatan adalah kenyataan apakah hukum tersebut
bermanfaat atau berguna bagi masyarakat.
Demikian juga haknya jika hanya berpegang pada nilai keadilan saja maka
sebagai nilai dasar ia menggeser nilai kepastian dan nilai kemanfaatan, karena nilai
keadilan tidak terikat kepada kepastian hukum ataupun nilai kemanfaatan, disebabkan
19
Ibid.
17
Universitas Sumatera Utara
karena sesuatu yang dirasakan adil belum tentu sesuai dengan nilai kemanfaatan dan
kepastian hukum.
Bila dikaitkan dengan hak waris yang telah ditentukan Allah SWT, maka
terlihat adanya pembagian yang adil sesuai dengan kewajiban dan tanggung jawab
para ahli waris dalam keluarga, bagian laki-laki lebih besar dari bagian perempuan
sebab tanggung jawab dan kewajiban laki-laki lebih besar dari perempuan. Karena itu
sistem kewarisan Islam menganut asas keadilan yang seimbang. Berbeda dengan
pembagian harta bersama, ketentuan tersebut tidak ada disebutkan dalam Al-Qur’an,
hanya disebutkan dalam Hadis Qudsi.
Dalam hal ini, sebaiknya para prakstisi hukum perlu mempertimbangkan
tentang pembagian harta bersama dalam perkawinan sehingga terciptanya rasa
keadilan sesuai dengan Pasal 229 Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan bahwa
hakim dalam menyelesaikan perkara-perkara yang diajukan kepadanya, wajib
memperhatikan dengan sungguh-sungguh nilai-nilai hukum yang hidup dalam
masyarakat sehingga putusannya sesuai dengan rasa keadilan.20
2 . Konsepsi
Konsepsi adalah salah satu bagian terpenting dari teori, peranan konsepsi
dalam penelitian ini sebagai usaha membawa sesuatu dari abstrak menjadi suatu yang
konkrit. Konsep diartikan sebagai kata yang menyatukan abstraksi yang
20
Tim Redaksi Aulia, Op. Cit., hlm. 73.
18
Universitas Sumatera Utara
digeneralisasikan dari hal-hal yang khusus yang disebut dengan defenisi operasional
(operational defenition).21
Untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini perlu didefenisikan
beberapa konsep dasar, agar secara operasional diperoleh hasil yang sesuai dengan
tujuan yang telah ditentukan dalam penelitian ini. Suatu konsep atau suatu kerangka
konsepsionil pada hakikatnya merupakan suatu pengarah atau pedoman yang lebig
konkrit daripada kerangka teoritis yang seringkali masih bersifat abstrak. Namun
demikian, suatu kerangka konsepsionil, kadang-kadang dirasakan masih juga abstrak,
sehingga diperlukan defenisi-defenisi operasional yang dapat dijadikan pegangan
konkrit didalam proses penelitian.22
Agar tidak terjadi perbedaan pengertian tentang konsep-konsep yang
dipergunakan dalam penelitian ini, maka diperlukan uraian pengerian-pengertian
konsep yang dipakai sebagai berikut:
a. Kedudukan adalah letak, tempat atau keadaan seseorang yang sebenarnya.
b. Janda adalah wanita yang telah bercerai atau ditinggal mati suaminya.23
c. Harta bersama adalah harta yang dimiliki dan dimanfaatkan secara bersamasama.24
d. Harta peninggalan adalah harta yang ditinggalkan oleh pewaris baik yang
berupa benda yang menjadi miliknya maupun hak-haknya.25
21
Samadi Suryabrata, Metodelogi Penelitian, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1998, hlm. 3.
Soerjono Soekanto, Op. Cit., hlm. 133.
23
Umi Chulsum, Windy Novia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Yoshiko Press, Cet. 1,
Surabaya, 2006, hlm. 312.
24
Umi Chulsum, Op. Cit., hlm. 275.
22
19
Universitas Sumatera Utara
e. Harta waris adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah
digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya
pengurusan jenazah (tajniz), pembayaran hutang dan pemberian untuk
kerabat.26
f. Kompilasi Hukum Islam adalah hukum material Pengadilan Agama yang
terkodifikasi dan unifikasi yang pertama saat ini dan diperlukan untuk
landasan rujukan setiap keputusan peradilan agama.27
g. Peradilan Agama adalah lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung
bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara perdata
tertentu yang diatur dalam Undang-Undang. Lingkungan Peradilan Agama
meliputi Pengadilan Tinggi Agama dan Pengadilan Agama.
h. Pengadilan Agama adalah lembaga peradilan di lingkungan Peradilan Agama
yang berkedudukan di ibukota kabupaten atau kota. Sebagai Pengadilan
Tingkat Pertama, Pengadilan Agama memiliki tugas dan wewenang untuk
memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara antara orang-orang
yang beragama Islam di bidang perkawinan, warisan dan wakaf. Pengadilan
Agama dibentuk melalui Undang-Undang dengan daerah hukum meliputi
wilayah kota atau kabupaten.
25
Tim Redaksi Aulia, Op. Cit., hlm. 54.
Ibid.
27
M. Hasballah Thaib, Ilmu Hukum Waris Islam, Mkn, USU, Medan, 2006, hlm. 11.
26
20
Universitas Sumatera Utara
G. Metode Penelitian
Sebagai suatu penelitian ilmiah, maka rangkaian kegiatan penelitian dinilai
dari pengumpulan data sampai pada analisis data dilakukan dengan memperhatikan
kaidah-kaidah ilmiah sebagai berikut:
1.
Sifat dan Jenis Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif analitis, yaitu suatu penelitian yang
mendeskripsikan atau menggambarkan dan menjelaskan permasalahan yang
dikemukakan secara analitis tentang harta bersama dalam hukum Islam dan
Kompilasi Hukum Islam.
Dalam penelitian ini jenis penelitian yang digunakan adalah dengan metode
pendekatan yuridis normatif, dimana dilakukan pendekatan permasalahan yang telah
dirumuskan dengan mempelajari ketentuan perundang-undangan, buku-buku yang
berkaitan dengan harta bersama, sehingga dapat diketahui landasan legalitas yang
ada telah memadai untuk mengatur masalah harta bersama.
Pendekatan yuridis normatif adalah pendekatan hukum dengan melihat
peraturan-peraturan, baik bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder atau
pendekatan terhadap masalah dengan cara melihat dari segi peraturan perundangundangan yang berlaku.28
Dalam hal ini metode pendekatan dilakukan untuk menemukan hukum inkonkrito dan juga penelitian sejarah hukum. Metode Pendekatan dengan metode
28
Roni Hantijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia, Semarang,
Indonesia, 1998, hlm. 11.
21
Universitas Sumatera Utara
yuridis normatif diambil dengan pertimbangan bahwa pendekatan ini cukup layak
untuk diterapkan, karena dalam metode ini akan diperoleh data dan informasi secara
menyeluruh yang bersifat normatif baik dari sumber hukum primer, sekunder dan
tertier.
2.
Sumber Data
Adapun sumber data utama dari penelitian ini adalah data sekunder yang
terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.
Data sekunder merupakan data yang dikumpulkan dalam penelitian kepustakaan.
Penelitian kepustakaan adalah teknik untuk mencari bahan-bahan atau data-data yang
bersifat sekunder yaitu data yang erat hubungannya dengan bahan primer dan dapat
dipakai untuk menganalisa permasalahan.
Dalam penelitian ini bila dilihat dari sudut sumbernya menggunakan data
berupa putusan pengadilan, di mana yang dimaksud di sini adalah Pengadilan Agama
Medan. Dan jika dilihat dari sumber mengikatnya penelitian ini menggunakan bahan
hukum primer, yaitu berupa Kompilasi Hukum Islam, sedangkan untuk bahan hukum
sekunder dapat berupa hasil karya dari kalangan hukum, serta bahan hukum tertier
berupa kamus dan ensiklopedia.
Data sekunder dibedakan dalam :
a. Bahan hukum primer yaitu bahan-bahan yang mengikat dan terdiri:
1. Al-Qur’an dan Hadis.
2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
3. Kompilasi Hukum Islam.
22
Universitas Sumatera Utara
b. Bahan hukum sekunder yaitu memberi penjelasan mengenai bahan hukum
primer, misalnya :
1. Keputusan yang terkait dengan harta bersama.
2. Hasil penelitian, karya ilmiah dari kalangan hukum dan sebagainya.
c. Bahan tersier, yaitu bahan hukum yang dijadikan pegangan atau acuan bagi
kelancaran proses penelitian.
Bahan hukum tersier merupakan bahan-bahan yang memberi petunjuk
maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder misalnya
kamus hukum, agar diperoleh informasi yang terbaru dan berkaitan erat
dengan permasalahannya maka kepustakaan yang di cari dan diperoleh harus
relevan dan mutakhir.29
Sebagai data pendukung dalam penelitian ini, maka dilakukan
wawancara terhadap para informan yang dalam hal ini adalah 2 (dua) orang
hakim dari Pengadilan Agama Medan yang memutus perkara nomor
646/Pdt.G/2010/PA.Mdn.
3.
Alat Pengumpulan Data
Berdasarkan metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini, maka
alat pengumpulan data yang digunakan adalah sebagai berikut:
a. Studi dokumen atau penelitian kepustakaan (library research) untuk
memperoleh data sekunder, yaitu pengumpulan data sekunder baik berupa
29
Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum (Suatu Pengantar), Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 1997, hlm. 116.
23
Universitas Sumatera Utara
peraturan perundang-undangan yang berlaku, putusan Pengadilan Agama
Medan maupun teori-teori dan asas-asas hukum, doktrin-doktrin yang
berkaitan dengan permasalahan yang dikemukakan.
b. Wawancara secara langsung kepada informan dengan menggunakan pedoman
wawancara yang telah dipersiapkan terlebih dahulu. Wawancara dilakukan
terhadap 2 (dua) orang Hakim Pengadilan Agama Medan. Informan utama
adalah Drs. H. Mohd. Hidayat Nassery selaku Ketua Majelis Hakim dan
Informan kedua adalah Drs. H. Abd. Halim Ibrahim, M.H. selaku Hakim
Anggota, dalam hal ini keduanya merupakan Hakim yang memberikan
putusan perkara di Pengadilan Agama Medan Nomor 646/Pdt.G/2010/PA.
Mdn.
4.
Analisis Data
Pada penelitian yang bersifat deskiriptif analitis, dengan menggunakan
pendekatan yuridis normatif, maka metode analisis data yang akan dipergunakan
adalah metode kualitatif. Pemilihan metode kualitatif ini karena mempertimbangkan
bahwa dalam penelitian ini data yang akan diperoleh sukar diukur dengan angkaangka.
Dengan dilakukannya analisis data, maka dapat ditarik kesimpulan. Penarikan
kesimpulan ini dilakukan dengan memakai metode deduktif, yaitu cara berpikir yang
dimulai dari hal-hal yang umum untuk selanjutnya mengambil atau menarik hal-hal
yang khusus sebagai kesimpulan dari permasalahan yang ada.
24
Universitas Sumatera Utara
Dengan metode deduktif juga dapat menggambarkan ketentuan pelaksanaan
tentang harta bersama dan harta warisan dengan mengacu pada Kompilasi Hukum
Islam.
25
Universitas Sumatera Utara