Kedudukan Janda Terhadap Harta Bersama Menurut Kompilasi Hukum Islam (Studi Kasus Terhadap Putusan Perkara Pengadilan Agama Nomor 646 Pdt.G 2010 Pa.Mdn.) Chapter III V

BAB III
KEDUDUKAN JANDA TERHADAP HARTA BERSAMA DAN HARTA
WARISAN DITINJAU DARI KOMPILASI HUKUM ISLAM

A. Kedudukan Janda Terhadap Harta Bersama Ditinjau Dari Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam
Selain

mengatur

tentang perkawinan

di

Indonesia,

Undang-Undang

Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 juga mengatur harta bersama dalam perkawinan.
Aturan ini terdapat dalam Bab VII yang memuat tiga pasal yaitu Pasal 35, Pasal 36
dan Pasal 37.

Pasal 35 ayat 1 mengatakan bahwa harta benda yang diperoleh selama
perkawinan menjadi milik bersama. Ayat 2 mengatakan bahwa harta bawaan dari
masing-masing suami istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai
hadiah atau warisan adalah di bawah pengawasan masing-masing sepanjang para
pihak tidak menentukan lain.
Pasal 36 ayat 1 mengatur bahwa mengenai harta bersama, suami atau istri
dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak. Ayat 2 mengatakan bahwa
mengenai harta bawaan masing-masing suami dan istri mempunyai hak sepenuhnya
untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.
Mengenai pembagian harta bersama sebagai akibat putusnya perkawinan
karena perceraian diatur dalam Pasal 37 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang
menentukan bahwa bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur
menurut hukumnya masing-masing. Berdasarkan Pasal 37 tersebut, dapat terlihat

53

Universitas Sumatera Utara

bahwa pasal tersebut tidak memberikan penyelesaian yang pasti dan tidak
memberikan keseragaman hukum positif tentang bagaimana harta bersama apabila

terjadi perceraian.
Abdullah Syah mengatakan bahwa pengaturan dalam Pasal 37 UU No.1
Tahun 1974 diatas adalah sesuai dengan keadaan rakyat Indonesia yang terdiri dari
berbagai suku dan mempunyai hukum adat yang beraneka warna dan masih hidup
dalam masyarakat.70 Bila dalam keadaan hidup rukun dan damai membina rumah
tangga mereka, tidak ada kesulitan menyatukan hukum adat yang berbeda-beda.
Tapi bila telah terjadi sengketa, apalagi sudah terjadi perceraian hal itu adalah
amat sulit. Jadi, jalan penyelesaian yang baik dalam hal ini adalah mempergunakan
hukum mereka masing-masing, sebagaimana yang dimaksud oleh Pasal 37 UU
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Dapat disimpulkan bahwa Undang-Undang memberikan jalan pembagian
sebagai berikut:
1. Dilakukan berdasarkan hukum agama jika hukum agama itu merupakan
kesadaran hukum yang hidup dalam mengatur tata cara perceraian.
2. Aturan pembagiannya akan dilakukan menurut hukum adat jika hukum
tersebut merupakan kesadaran hukum yang hidup dalam lingkungan
masyarakat yang bersangkutan.
Keraguan dalam menetapkan ketentuan hukum dalam harta bersama apabila
terjadi perceraian akan banyak membawa kesulitan didalam menyelesaikan
70


Abdullah Syah, Op. Cit., hlm. 170.

54

Universitas Sumatera Utara

perselisihan. Hal ini akan membawa efek yang kurang baik ditinjau dari segi sosial
fisiologi baik bagi pihak-pihak yang berperkara maupun bagi lingkungan masyarakat.
Dengan penjelasan Pasal 37 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tersebut yang
dinyatakan harta bersama dan hukum lainnya adalah bagi mereka yang beragama
Islam harus membawa persoalan itu ke Pengadilan Agama.71
Keputusan-keputusan Pengadilan Agama tentang pembagian harta bersama
apabila terjadi perceraian, pada dasarnya sudah menuju trend yang terarah kesatu
jurusan kaidah yang dipergunakan sebagai hukum objektif. Merujuk pada Kompilasi
Hukum Islam yang telah dijadikan hukum terapan dalam peradilan agama, kedudukan
janda dijelaskan dalam Pasal 96 ayat 1 dan Pasal 97 Kompilasi Hukum Islam.
Dalam Pasal 96 ayat 1 Kompilasi Hukum Islam dinyatakan bahwa bila terjadi
cerai mati, maka separuh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama.
Pasal 96 KHI menyatakan bahwa janda atau duda cerai masing-masing berhak

seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian
perkawinan. Hal tersebut dapat dilihat dari putusan Pengadilan Agama Medan Nomor
646/Pdt.G/2010/PA.Mdn., sesuai dengan Pasal 96 ayat 1 Kompilasi Hukum Islam
yang menyatakan bahwa harta bersama harus dibagi dua diantara suami dan istri
apabila terjadi kematian salah satu pihak.
Dari keputusan diatas jelas dapat dilihat arah yang ditempuh oleh pengadilan
sebagai salah satu lembaga penegakan hukum dalam kehidupan suatu bangsa, yaitu
menuju pembagian yang sama antara suami dan istri tersebut. Anggota pasangan
71

Pasal 1 ayat 1 Undang Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.

55

Universitas Sumatera Utara

keluarga yang terlama hidup berhak atas harta bersama yang diperoleh selama
perkawinan.
Sebelum tersusunnya Kompilasi Hukum Islam, pengadilan agama tidak
mempunyai pedoman untuk memutus perkara-perkara mengenai harta bersama yang

diajukan kepadanya, kecuali berpedoman pada hukum Islam yang tersebar dalam
kitab-kitab fikih yang disusun oleh para ulama pada masa lalu dan berpedoman pada
adat yang berlaku bagi orang yang berperkara. Keadaan seperti ini mengakibatkan
tidak adanya kepastian hukum dalam perkara-perkara di setiap pengadilan agama.
K. H. Hasan Basri (Ketua Umum MUI) menyebutkan bahwa Kompilasi
Hukum Islam ini sebagai keberhasilan besar umat Islam Indonesia pada pemerintahan
orde baru.72 Dengan demikian, nantinya umat Islam di Indonesia akan mempunyai
pedoman fikih yang seragam dan telah menjadi hukum positif yang wajib dipatuhi
oleh seluruh bangsa Indonesia yang beragama Islam. Dengan ini dapat diharapkan
tidak akan terjadi kesimpangsiuran keputusan dalam lembaga-lembaga peradilan
agama.
B. Kedudukan Janda Terhadap Harta Warisan Dalam Kewarisan Islam
Ada tiga alasan yang menyebabkan tali ikatan perkawinan terputus, yaitu
karena kematian, perceraian dan atas putusan pengadilan.73
1. Karena Kematian

72

KH. Hasan Basri, Perlunya Kompilasi Hukum Islam, Mimbar Ulama, Nomor 104, Th. X,
April, 1986, hlm. 60.

73
Tim Redaksi Aulia, Op. Cit., hlm. 35.

56

Universitas Sumatera Utara

Mengenai putusnya hubungan perkawinan karena kematian dikarenakan
pasangan suami istri sebagai manusia dan makhluk Allah SWT memang harus dan
akan menemui ajalnya. Sebagaimana yang di firmankan Allah SWT “...semua yang
hidup pasti akan merasakan mati...”74 .
Kematian merupakan suatu hal yang pasti akan terjadi pada manusia tidak
terkecuali kematian terhadap istri atau suami dalam keluarga. Apabila terjadi
kematian terhadap salah seorang suami ataupun istri maka secara otomatis hubungan
perkawinan itu terputus.
Putusnya pernikahan yang diakibatkan oleh kematian adalah putusnya
pernikahan antara suami istri beserta dengan hak dan kewajibannya. Ada 3 cara
menentukan bahwa seseorang telah meninggal, yaitu:75
a. Mati Hakiki, yaitu mati yang terlihat jasadnya. Artinya jasadnya secara
biologis tidak menunjukkan tanda-tanda kehidupan. Pastinya yang meninggal

tersebut tidak bisa kembali lagi dengan suami/ istrinya lagi.
b. Mati Takdiri, yaitu dikira-kira atau dengan dugaan yang sangat kuat.
Contohnya, ketika ada sebuah bencana alam. Seorang suami berpisah dengan
istrinya dan salah satunya hilang tidak ada kabarnya dikarenakan bencana
alam tersebut. Setelah sekian lama tidak kembali, maka diputuskan bahwa
yang bersangkutan telah mati. Mati ini bersifat memutuskan dan jasadnya
tidak bisa dilihat (tidak di hadapan mata). Menurut hukum waris juga

74
75

Q.S Ali Imran ayat 185.
Abdul Rofiq, Fiqh Mawaris, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1998, hlm. 22.

57

Universitas Sumatera Utara

mengatakan bahwa kasus seperti ini bisa diputuskan bahwa yang
bersangkutan telah mati. Mati takdiri bersifat dugaan dan ada syaratnya, yaitu

yang diduga mati telah hilang dalam kondisi tidak aman (misal: bencana alam,
perang, dll) dan dalam jangka waktu yang lama, yang bersangkutan tidak ada
kabar tentang kehidupannya.
c. Mati Hukmi, yaitu pada dasarnya sama seperti mati takdiri, tetapi mati hukmi
diputuskan oleh pengadilan. Misalnya seperti kasus di atas. Setelah sekian
lama tidak ada kabar, maka keluarga mendatangi pengadilan dan pengadilan
memutuskan bahwa yang bersangkutan telah meninggal. Mati hukmi sifatnya
lebih formal.
Adanya kematian suami/istri menimbulkan terpenuhinya salah satu asas-asas
hukum kewarisan Islam. Hukum kewarisan Islam disebut juga faraid dan merupakan
salah satu bagian dari keseluruhan hukum Islam yang mengatur peralihan harta dari
orang yang telah meninggal kepada orang yang masih hidup.
2. Karena Perceraian
Perceraian merupakan perbuatan yang tidak disukai Allah. Di dalam AlQur’an dinyatakan bahwa “Pergaulilah istri kamu itu sebaik-baik (makhruf),
kemudian apabila ketidak sukaan kamu itu, Allah menjadikannya kebaikan yang
banyak”.76 Dari bunyi ayat tersebut sebenarnya secara sindiran dan tersirat Allah
SWT menyatakan bila ada perasaan tidak enak dan tidak disenangi oleh pihak suami

76


Departemen Agama RI, Terjemahan Al-Qur’an , PT. Bumi Restu, 2004, hlm. 120.

58

Universitas Sumatera Utara

terhadap istrinya hendaklah ia tetap menggauli istrinya itu dengan baik dan jangan
menceraikan istrinya.
Demikian pula halnya bagi pihak istri, didalam Islam tidak boleh mengambil
inisiatif untuk terjadinya suatu perceraian hanya karena tidak senang pada suaminya.
Apabila istri melakukan permintaan bercerai pada suaminya, maka ia akan menerima
kemarahan besar dari Allah SWT, hal ini dapat pula dilihat dari Hadis Rasulullah
SAW yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Tarmidzi, Abu Daud dan Ibnu Madjah
bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Perempuan manapun yang minta cerai pada
suaminya tanpa sebab-sebab yang wajar yang menghalalkan maka haramlah bagi
perempuan itu membaui atau merasakan kewangian surga nantinya”.77
3. Karena Putusan Pengadilan
Dalam hal ini adalah putusan-putusan Pengadilan Agama yang disebabkan
adanya hal-hal yang diluar talak atau gugatan, misalnya adanya permohonan pihak
ketiga terhadap suatu perkawinan yang telah dilangsungkan tersebut untuk dibatalkan

yamg dikarenakan terjadinya kesalahan ataupun terdapatnya sebab lain.
Dalam hal putusan pengadilan ini juga dapat disebabkan karena perginya
salah satu pihak meninggalkan pihak lain dengan tidak memberitahukan
kepergiannya itu untuk jangka waktu yang lama dan dalam hal ini hakim berhak
menyatakan pihak yang pergi meninggalkan pihak lain tersebut hilang. Dengan
demikian maka perkawinan dalam hal ini adalah putusan dengan putusan pengadilan.

77

Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, UI Press, Jakarta , 1986, hlm. 100.

59

Universitas Sumatera Utara

Dengan adanya pemutusan hubungan perkawinan maka akan terjadi persoalan
harta bersama. Hal ini merupakan masalah yang penting untuk dijamin karena
menyangkut kehidupan suami atau istri.
Allah SWT menjelaskan bagian setiap ahli waris yang berhak mendapatkan
warisan dan sekaligus menjelaskan besarnya bagian ahli waris tersebut berikut syaratsyaratnya ke dalam tiga ayat Al-Qur’an yang merupakan dasar-dasar ilmu faraid

(kewarisan) berikut rukun-rukun hukumnya.78 Yaitu:
1. “Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anakanakmu, yaitu bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang
anak perempuan, dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua,
maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Jika anak
perempuan itu seorang saja maka dia memperoleh separoh harta. Dan untuk
dua orang ibu atau bapak masing-masingnya seperenam dari harta yang
ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak. Jika yang meninggal
tidak mempunyai anak dan dia diwarisi oleh ibu bapaknya (saja), maka
ibunya mendapat sepertiga, jika yang meninggal itu mempunya beberapa
saudara maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut
diatas) sesudah dipenuhi wasiat yang dia buat atau sesudah dibayar
hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui
siapa diantara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini
adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi
Maha Bijaksana.”79
2. “Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan istriistrimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika istri-istrimu itu mempunyai
anak maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya
sesudah dipenuhi wasiat yang dia buat atau sesudah dibayar hutangnya. Para
istri memperoleh seperempat dari harta yang kamu tinggalkan jika kamu
tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak maka para istri

78

Syekh Muhammad Ali ash Shabuni, Hukum Waris Menurut Al-Qur’an dan Hadis, Trigenda
Karya, Bandung, 1995, hlm. 16.
79
Q.S An-Nisaa’ ayat 11.

60

Universitas Sumatera Utara

memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi
wasiat yang kamu buat atau sesudah dibayar hutang-hutangmu.
Jika seseorang meninggal, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak
meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang
saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja),
maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta.
Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang maka mereka
bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat
olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi madarat
(kepada ahli waris), (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syariat
yang benar-benar dari Allah dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Penyantun.”80
3. “Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah, Allah
memberi fatwah kepadamu tentang kalalah (yaitu), jika seorang meninggal
dunia, dan dia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan,
maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang
ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta
saudara perempuan), jika dia tidak mempunyai anak, tetapi jika saudara
perempuan itu dua orang maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang
ditinggalkan oleh yang meninggal. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri
dari) saudara-saudara lelaki sebanyak bagian dua orang saudara
perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak
sesat. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”.81
Berdasarkan ketiga ayat di atas dapat dijelaskan secara terperinci:
1. QS. An-Nisaa’ ayat 11
Menunjukkan bahwa:
1. Jika seseorang meninggalkan ahli waris seorang laki-laki dan seorang
perempuan, maka harta waris dibagi bersama, dengan ketentuan, laki-laki
mendapat dua bagian sedangkan wanita mendapat satu bagian.

80
81

Q.S. An-Nisaa’ ayat 12.
Q.S An-Nisaa’ ayat 176.

61

Universitas Sumatera Utara

2. Jika ahli waris terdiri dari beberapa laki-laki dan perempuan, maka semua ahli
waris mendapat bagian dengan ketentuan, bagian laki-laki dua kali lipat dari
bagian perempuan.
3. Jika di samping anak-anak, ada ahli waris yang mendapat bagian pokok seperti
suami atau istri, atau ayah dan ibu, maka pertama-tama memberikan bagian
pokok tersebut kepada orang yang berhak mendapatkannya sedangkan sisanya
dibagikan kepada anak-anaknya dengan ketentuan, bagian laki-laki dua kali
lipat dari bagian perempuan.
4. Ayah dan ibu mendapat bagian masing-masing 1/6 (dari seluruh harta) apabila
pewaris meninggalkan anak.
5. Apabila pewaris tidak meninggalkan anak, maka ibu akan mendapat bagian
1/3 harta dan sisanya yakni 2/3 diwarisi oleh ayah.
6. Apabila di samping ayah dan ibu, ada saudara si pewaris, dua orang atau lebih,
maka ibu mendapat bagian sebesar 1/6 harta, sisanya sebesar 5/6 menjadi
bagian ayah. Sedangkan saudaranya (baik laki-laki maupun perempuan) tidak
mendapat bagian sama sekali karena adanya ayah yang menghalangi mereka
untuk mendapatkan warisan.
2. QS. An-Nisaa’ ayat 12
Menunjukkan bahwa:
1. Bila istri meninggal dan tidak meninggalkan anak, suami mendapatkan ½
bagian. Bila istri meninggal dan meninggalkan anak, suami mendapatkan ¼
bagian.
62

Universitas Sumatera Utara

2. Bila suami meninggal dan tidak meninggalkan anak, istri mendapatkan ¼
bagian. Bila suami meninggal dan meninggalkan anak, istri mendapatkan 1/8
bagian.
3. Allah memberikan ketentuan warisan kepada saudara pada dua tempat. Pada
tempat pertama Allah menetukan memberi bagian bagi seorang saudara
sebesar 1/6, sedangkan untuk dua orang saudara atau lebih sebesar 1/3 yang
masing-masing mendapat bagian yang sama.
Dalam ayat-ayat Al-Qur’an diatas, Allah SWT menjelaskan bagian setiap ahli
waris dari para ahli waris yang berhak mendapatkan warisan dan sekaligus
menjelaskan besarnya bagian ahli waris tersebut berikut syarat-syaratnya. Allah juga
telah menjelaskan situasi dan kondisi seseorang kapan dia mendapat harta warisan
atau tidak, kapan dia mendapatkan bagian pokok atau bagian sisa, atau bagian pokok
dan bagian sisa sekaligus dan kapan seseorang terhalang mendapatkan bagian,
sehingga dia tidak mendapatkan bagian sama sekali maupun hanya mendapatkannya
sebagian kecil saja.
Jika setiap orang memahami dan mengerti ayat-ayat tersebut diatas maka
dengan mudah akan mengetahui bagian setiap ahli waris dan mengetahui
kebijaksanaan Allah Yang Maha Agung dalam menentukan pembagian warisan
secara terperinci dan adil. Allah tidak melupakan hak seorangpun dan tidak
melewatkan satu keadaan pun, baik anak kecil maupun orang dewasa, baik
perempuan maupun laki-laki.

63

Universitas Sumatera Utara

Selain

ayat-ayat

diatas

sebelumnya,

terdapat

ayat-ayat

lain

yang

membicarakan masalah kewarisan tetapi bersifat umum seperti ayat-ayat yang
mengenai hak-hak para ahli waris tanpa ada perinciannya.82 Demikian juga ayat yang
menjelaskan bahwa kerabat jauh memiliki hak untuk mendapatkan warisan, tetapi
tidak ada batasan atau penjelasan mengenai besar kecilnya bagian setiap ahli waris
tersebut.
Ayat-ayat yang menunjukkan pembagian harta bagi ahli waris dari kerabat
jauh tersebut adalah :
1. “Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih
berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) didalam kitab
Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui Segala Sesuatu.”83
2. “Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih
berhak (waris mewarisi) didalam kitab Allah daripada orang-orang mukmin
dan orang-orang Muhajirin, kecuali kalau kamu berbuat baik kepada
saudara-saudaramu (seagama). Adalah yang demikian itu telah tertulis
didalam Kitab Allah.”84
3. “Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu bapak dan
kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan
bapak ibu kerabatnya baik sedikit maupun banyak menurut bagian yang telah
ditetapkan.”85
Dalam ayat pertama dan kedua ditunjukkan bahwa kaum kerabat lebih berhak
atas harta warisan saudaranya daripada orang lain yang tidak ada hubungan kerabat
sama sekali. Dari ayat ketiga, Allah menghilangkan perlakuan dzalim terhadap dua
golongan yang lemah, yaitu wanita dan anak kecil dan memperlakukan keduanya
dengan adil dan penuh kasih sayang. Mereka diberi hak untuk mendapatkan warisan
82

Syekh Muhammad Ali ash Shabuni, Op.Cit, hlm. 19.
Q.S Al-Anfaal ayat 75.
84
Q.S. Al-Ahzab ayat 6.
85
Q.S An-Nisaa’ ayat 7.
83

64

Universitas Sumatera Utara

sebagaimana Allah mewajibkan agar warisan diberikan kepada laki-laki dan
perempuan tanpa melihat perbedaan usia, serta menetapkan bagian tertentu untuk
masing-masing, baik banyak maupun sedikit, baik dengan kerelaan ahli waris
maupun tidak. Wanita dan anak-anak diberi bagian sesuai dengan kedudukannya.
Dan Allah menghapuskan kedzaliman dan ketidakadilan terhadap wanita dan
anak-anak. Ayat ketiga tersebut bersifat umum sedangkan perinciannya terdapat pada
ayat-ayat sebelumnya yang didalamnya Allah telah memberikan bagian tertentu
kepada setiap ahli waris dan inilah yang merupakan materi pokok ilmu waris.
Anggota pasangan keluarga yang terlama hidup, mewarisi pasangannya yang
terlebih dahulu meninggal. Suami mewarisi harta peninggalan istrinya disebut duda.
Istri mewarisi harta peninggalan suaminya disebut janda.
Dalam hukum waris Islam telah diatur dan ditata yang menyangkut peralihan
harta warisan dari seorang pewaris kepada para ahli warisnya. Proses peralihan
semacam ini dikenal dengan ilmu faraid, yakni ilmu pembagian harta waris. Ilmu
yang menerangkan ketentuan-ketentuan warisan yang menjadi bagian ahli waris yang
secara garis besarnya dibedakan dalam dua hal, yakni pertama sebagai peraturanperaturan tentang pembagian harta warisan, kedua sebagai peraturan-peraturan yang
menghitung bagian-bagian dari masing-masing yang berhak atas harta warisan.
Harta warisan baru dapat dibagi-bagikan kepada ahli waris apabila dari
keseluruhan harta warisan yang ada tersebut telah dikeluarkan bagian dari harta
bersama, biaya penguburan jenazah dan hutang-hutang pewaris serta wasiat pewaris.

65

Universitas Sumatera Utara

Allah SWT berfirman: “Sesudah diberikan wasiat yang diwasiatkan dan sesudah
dibayarkan hutang yang dibuat pewaris.”86
Dari ayat di atas jelas adanya keharusan untuk membebaskan hak-hak orang
lain yang tersangkut dalam harta peninggalan itu. Seandainya harta yang ditinggalkan
itu banyak sehingga sesudah dikeluarkan segala macam kewajiban yang terdapat
didalamnya, masih banyak harta yang ditinggalkan, tidak ada persoalan kewajiban
mana yang harus dipenuhi terlebih dahulu. Tetapi bila harta yang ditinggalkan sedikit
dan tidak berkecukupan untuk menyelesaikan semua kewajiban, perlu dipikirkan
mana yang lebih dulu dipenuhi.
Untuk maksud tersebut perlu dijelaskan mengenai urutan-urutan kewajiban
yang harus dilakukan oleh ahli waris terhadap harta peninggalan kerabat yang telah
meninggal.
Di dalam Al-Qur’an hanya dua kewajiban yang disebutkan secara berurutan
sebagai persyaratan pembagian warisan untuk ahli waris yaitu wasiat dan hutang.
Sekalipun dalam Al-Qur’an, Allah menyebutkan wasiat lebih dahulu dari hutang,
namun tidak berarti bahwa dalam pelaksanaanya wasiat harus mendahului
pembayaran hutang. Yang dikehendaki Allah dalam ayat ini adalah wasiat dan hutang
lebih dahulu diselesaikan sebelum pembagian warisan.
Dalam penafsiran yang berlaku, semua ulama menyatakan bahwa pembayaran
hutang harus lebih dahulu dilakukan daripada mengeluarkan wasiat. Alasan hukum
yang digunakan oleh ulama ini adalah bahwa hutang merupakan suatu kewajiban
86

QS.An.Nisaa’ ayat 11.

66

Universitas Sumatera Utara

sedangkan wasiat hanyalah perbuatan baik yang dianjurkan. Bila bertemu kewajiban
dengan anjuran, kewajiban harus didahulukan.87
Dari uraian tersebut di atas, maka sampailah kepada pembahasan kedudukan
janda sebagai ahli waris dalam kewarisan Islam. Allah SWT berfirman “Bagi istriistrimu sebagai janda peninggalanmu seperempat dari harta peninggalanmu, jika
bagimu tidak ada anak, Bagi istri-istrimu sebagai janda peninggalanmu
seperdelapan dari harta peninggalanmu, jika bagimu ada anak”.88
Dari ayat ini memberi penjelasan bahwa janda terhadap harta peninggalan
almarhum suaminya akan memperoleh seperempat bagian, bila suami yang
diwarisinya tidak mempunyai anak yang berhak mewarisi baik secara dzawil furudh
(ahli waris yang mempunyai bagian tertentu sebagaimana disebut dalam Al-Qur’an
dan Hadis). Dan janda almarhum suaminya akan memperoleh seperdelapan bagian,
bila suami yang diwarisinya mempunyai anak yang berhak sebagai ahli waris dzawil
furudh, baik yang lahir dari istri pewaris maupun dari istrinya yang lain.
Jika suami meninggal dunia meninggalkan beberapa janda maka janda itu
mendapat bagian yang sama dari dari seperempat atau seperdelapan dari harta
warisan almarhum suami mereka. Pada hakekatnya, menurut ketentuan Hukum
Islam, kedudukan janda dari almarhum suaminya, sama dengan kedudukan suaminya,
kedudukan bapak, ibu, anak laki-laki dan anak perempuan yaitu tidak pernah mahjub
hirman atau terhalang.

87
88

Amir Syarifuddin, Op. Cit., hlm. 278.
QS. An-Nisaa’ ayat 12.

67

Universitas Sumatera Utara

Dengan demikian janda dari almarhum suaminya tidak akan pernah
kehilangan hak waris dari pewaris. Hanya saja yang terjadi sebagaimana yang
tersebut dalam ayat Al-Qur’an yang dikemukakan di atas yaitu perubahan besarnya
bagian yang diperolehnya. Seorang janda akan memperoleh seperdelapan bagian dari
harta peninggalan suaminya jika mempunyai anak dan jika tidak mempunyai anak
memperoleh seperempat bagian.
Pada Zaman Jahiliyah (Zaman kebodohan) sebelum Islam, telah dikenal
adanya kewarisan antara yang meninggal dunia dan ahli warisnya. Harta warisan
hanya dibagikan kepada laki-laki saja, wanita sama sekali tidak mendapat waris, baik
kedudukannya sebagai ibu, istri maupun selain dari mereka ini dalam garis hukum
perempuan.
Orang yang mewarisi harta pusaka hanyalah kakak laki-lakinya atau anak
laki-laki sulungnya jika telah mencapai usia dewasa. Kemampuan untuk
mendapatkan harta pusaka dilihat dari kemampuan seseorang dalam mengatur urusan
keluarga dan kemampuannya dalam melindungi keluarga dari serangan musuh karena
mereka hidup selalu dalam berperang serta kemampuannya dalam hal mengusir gunaguna yang diserang oleh kelompok yang lain.
Hingga sampai datangnya agama Islam, tradisi semacam ini tetap mereka
pertahankan. Oleh karena itu pada jaman jahiliyah jarang sekali ditemukan kaum
wanita mendapat pusaka dari orang tuanya.89 Orang yang mewarisi harta orang

89

Abdul Manan, Op. Cit., hlm. 195.

68

Universitas Sumatera Utara

tuanya hanyalah anak laki-laki, anak laki-laki pamannya atau anak laki-laki sulung
jika sudah mencapai usia dewasa.
Kaum Arab Jahiliyah memberikan persyaratan waris mewaris sesuai dengan
kondisi kehidupan masyarakat mereka. Oleh karena itu, mereka tidak mewariskan
pusaka kepada anak-anak yang masih belia dan kaum wanita, karena mereka
dianggap tidak mampu mengemban tugas menjaga ketertiban dan keamanan serta
memanggul senjata di medan perang. Wanita sama sekali tidak mendapatkan warisan,
lebih dari itu lagi wanita yang telah menjadi janda dalam sebagian keadaan diwarisi
pula, sebagaimana mewarisi harta pusaka orang lain.
Anak dari suami yang meninggal dunia boleh mewarisi istri ayahnya yang
meninggal dengan cara melemparkan kainnya kepada istri ayahnya itu, maka jadilah
istri ayahnya itu menjadi milik bagi anaknya, anaknyalah yang mengatur nasib dari
bekas istri ayahnya sebagaimana dikehendakinya, boleh dikawininya sendiri atau
dikawinkannya dengan orang lain dan maharnya diambilnya atau tidak dibolehkan
kawin lagi sampai mati dan setelah mati hartanya diwarisinya.90
Keadaan ini berlaku sampai datangnya agama Islam. Agama Islamlah
membebaskan perempuan dari diwarisi. Hal ini sesuai dengan firman Allah, yaitu:
“Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai perempuan
dengan jalan paksa.”91

90
91

Abdullah Syah, Op. Cit., hlm. 109.
QS. An-Nisaa’ ayat 19.

69

Universitas Sumatera Utara

Agama Islam datang untuk pertama kali membawa ajaran bahwa perempuan
mewarisi sama seperti saudara laki-laki sederajat (jarak dekatnya dari si mayit).
Ketika seorang Anshor yang bernama Aus bin Tsabit meninggal dan meninggalkan
dua putri dan satu anak laki-laki yang masih kecil, datanglah dua orang anak
pamannya yaitu, Khalid dan ‘Arfathah yang menjadi ‘ashabah. Mereka mengambil
semua harta peninggalannya, maka datanglah istri Aus bin Tsabit kepada Rasulullah
SAW, untuk menerangkan kejadian itu. Rasulullah bersabda: “Saya tidak tahu apa
yang harus saya katakan”, maka turunlah firman Allah SWT: “Bagi laki-laki ada
bahagian dari harta peninggalan ibu bapaknya dan kerabat-kerabatnya dan bagi
perempuan ada pula bahagian dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatkerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut pembagian yang telah ditetapkan.”92
Jelaslah dari ayat di atas bahwa ahli waris laki-laki maupun perempuan samasama mendapat warisan dari pusaka yang ditinggalkan oleh ibu bapaknya dan
kerabatnya yang meninggal dunia.
Dalam Kompilasi Hukum Islam, kedudukan janda untuk mendapat hak waris
diatur dalam Pasal 174 dan Pasal 180 Kompilasi Hukum Islam. Pasal 174 Kompilasi
Hukum Islam itu menegaskan bahwa:93
1. Kelompok-kelompok ahli waris terdiri dari :
a. Menurut hubungan darah

92
93

QS. An-Nisaa’ ayat 7.
Tim Redaksi Aulia, Op. Cit., hlm. 55.

70

Universitas Sumatera Utara

- golongan laki-laki terdiri dari: ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki,
paman dan kakek.
- golongan perempuan terdiri dari: ibu, anak perempuan, saudara
perempuan dan nenek.
b. Menurut hubungan perkawinan terdiri dari duda atau janda.
2. Apabila semua ahli waris ada, maka yang berhak mendapat warisan hanya
anak, ayah, ibu, janda atau duda. Sedangkan dalam pembagian harta warisan
janda diatur dalam Pasal 180 Kompilasi Hukum Islam yang menyebutkan
bahwa janda mendapat seperempat bagian bila pewaris (almarhum suaminya)
tidak meninggalkan anak dan bila pewaris meninggalkan anak maka janda
mendapat seperdelapan bagian.94

94

Ibid., hlm. 57.

71

Universitas Sumatera Utara

BAB IV
PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MEMUTUSKAN PERKARA
PENGADILAN AGAMA MEDAN NOMOR 646/PDT.G/2010/PA.MDN.
A. Kasus Posisi Beserta Isi Putusan Sengketa Harta Bersama Dan Harta
Warisan Dalam Putusan Perkara Pengadilan Agama Medan Nomor
646/PDT.G/2010/PA.MDN
Duduk perkaranya adalah bermula dari meninggalnya pewaris di Medan pada
tanggal 17 Maret 2009 karena menderita sakit. Almarhum meninggalkan seorang
janda, delapan orang anak kandung dan satu orang anak angkat.

Adapun yang

menggugat/penggugat dalam perkara ini adalah janda (Penggugat I), tiga orang anak
kandung perempuan (Penggugat II, III, IV), satu orang

anak kandung laki-laki

(Penggugat V) dan satu orang anak angkat laki-laki (Penggugat VI). Yang digugat
(tergugat) adalah empat orang anak kandung perempuan (Tergugat I, II, III dan IV).
Bahwa Penggugat I telah menyampaikan permintaan kepada Pergugat II, III,
IV, V dan VI agar semua harta peninggalan almarhum segera dijual dan dibagi untuk
membiayai pengobatan/penyembuhan Penggugat I. Penggugat II, III, IV, V dan VI
dapat menyetujui permintaan Penggugat I tersebut di atas. Para Penggugat telah
berulang kali menghubungi Para Tergugat untuk segera menjual harta peninggalan
almarhum guna menanggulangi biaya-biaya pengobatan dan perawatan Penggugat I,
akan tetapi Para Tergugat tidak menyetujuinya.
Dalam hal ini, Penggugat memandang sikap Tergugat bertentangan dengan
hukum yang berlaku. Oleh karena itu melalui gugatannya, Para Penggugat memohon

72

Universitas Sumatera Utara

kepada Pengadilan Agama Medan agar menetapkan Penggugat I sebagai istri
almarhum mempunyai hak atas setengah bagian harta pencarian bersama/harta
syarikat dan sisa setengah bagian lainnya menjadi harta warisan yang dibagikan
kepada semua ahli waris almarhum. Perkawinan tersebut sejak tahun 1950
berdasarkan Surat Kawin tanggal 30 April 1950 yang dikeluarkan Kadi Medan Timur
dan karenanya telah menjalani hidup bersama dengan almarhum suaminya dalam
ikatan perkawinan selama kurang lebih 59 tahun.
Para Penggugat telah mengajukan gugatan dengan surat tanggal 19 April 2010
yang telah didaftar di Kepaniteraan Pengadilan Agama Medan pada tanggal 5 Mei
2010 dengan Register Nomor 646/Pdt.G/2010/PA.Mdn. Gugatan tersebut telah
diperbaiki dan disempurnakan dengan surat tanggal 28 Juli 2010.
Pada posita dijelaskan bahwa Para Tergugat seharusnya membagi harta
peninggalan almarhum kepada janda dan ahli waris almarhum tersebut di atas, akan
tetapi Para Tergugat menolaknya, maka untuk mencegah dan menghindari terjadinya
pemindah tanganan, penjualan, penyewaan, penggelapan dan pengagunan terhadap
harta peninggalan almarhum sehingga pelaksanaan Putusan Pengadilan Agama
Medan dalam hubungan perkara ini tidak dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya,
Para Penggugat memohon kepada Pengadilan Agama Medan agar berkenan membuat
suatu Penetapan untuk melaksanakan dan meletakkan sita jaminan (conservatoir
beslag) atas seluruh harta peninggalan almarhum yang menjadi objek gugatan.
Adapun Petitum dari Para Penggugat adalah sebagai berikut:
1. Mengabulkan gugatan Para Penggugat untuk seluruhnya.
73

Universitas Sumatera Utara

2. Menyatakan sah dan berkekuatan hukum Surat Pernyataan Ahli Waris tanggal
24 Maret 2009.
3. Menetapkan Para Penggugat dan Para Tergugat adalah ahli waris almarhum
dan yang mempunyai hak mewarisi harta peninggalan sesuai dengan Surat
Pernyataan Ahli Waris tanggal 24 Maret 2009.
4. Menetapkan barang-barang tidak bergerak sebagaimana diuraikan di atas
adalah merupakan harta bersama/harta syarikat yang diperoleh selama masa
perkawinan Pewaris dengan Penggugat I.
5. Menetapkan Penggugat I sebagai istri almarhum mempunyai hak atas ½
bagian harta pencarian bersama/harta syarikat dan sisa ½ bagian lainnya
menjadi harta warisan yang dibagikan kepada semua ahli waris almarhum.
6. Menetapkan bagian masing-masing ahli waris almarhum sesuai dengan
hukum Islam dan melaksanakan pembagian harta peninggalan almarhum
untuk dibagi-bagikan kepada para ahli warisnya dan apabila pelaksanaan
pembagian harta warisan tidak dapat dilakukan secara natura maka dilakukan
penjualan secara lelang.
7. Menyatakan tidak sah dan batal demi hukum terhadap tindakan Tergugat yang
memindahtangankan, menjual, menyewakan, mengagunkan harta peninggalan
almarhum.
8. Menghukum Para Tergugat untuk menyerahkan bagian warisan yang menjadi
hak Para Penggugat sesuai dengan Hukum Islam.

74

Universitas Sumatera Utara

9. Menghukum Tergugat I dan Tergugat II membayar uang sewa rumah toko
yang terletak di Jalan Brig. Jend. Katamso no.28-G Medan, kepada Para
Penggugat/ Para Ahli Waris sebesar Rp. 120.000.000,- (seratus dua puluh juta
rupiah) setiap tahun, terhitung sejak tahun 2009 sampai dengan saat putusan
pengadilan dapat dijalankan sebagaimana mestinya.
10.Menghukum Tergugat I dan Tergugat II menyerahkan dan mengosongkan
tanah dan bangunan rumah toko yang terletak di Jalan Brig. Jend. Katamso,
karena termasuk harta peninggalan almarhum.
11.Menyatakan sah dan berharga sita jaminan (conservatoir beslaag) yang
ditetapkan atas harta peninggalan almarhum sebagaimana diuraikan di atas.
12.Menghukum Para Tergugat secara tanggung renteng untuk membayar uang
paksa (dwangsom) kepada Para Penggugat sebesar Rp. 1.000.000,- (satu juta
rupiah) perhari terhitung sejak tanggal putusan perkara sampai dengan saat
dapat dilaksanakan putusan perkara apabila para Tergugat ingkar/lalai
melaksanakan putusan perkara.
13.Menyatakan putusan dalam perkara ini dapat dijalankan terlebih dahulu
meskipun ada perlawanan, banding, kasasi upaya hukum lainnya (Uit
voerbaar bij Voorraad Verklaard).
14.Menghukum Para Tergugat untuk membayar biaya-biaya perkara secara
tanggung renteng.
15.Menyatakan Penggugat V adalah anak angkat yang diakui secara sah oleh
almarhum dan Penggugat I.
75

Universitas Sumatera Utara

16.Menyatakan Penggugat V adalah ahli waris yang sah dari almarhum dan
berhak mendapat bagian warisan dari harta peninggalan almarhum.
Atau apabila Pengadilan Agama Medan berpendapat lain maka Para
Penggugat memohon agar dapat diberikan putusan yang seadil-adilnya (Ex
aequo et bono).
Terhadap gugatan tersebut, Para Tergugat mengajukan Eksepsi dan Gugatan
Rekonpensi yang pada pokoknya atas dalil-dalil sebagai berikut:
Dalam Eksepsi:
1. Surat gugatan Para Penggugat jelas salah, karena Penggugat I adalah ibu
kandung Para Tergugat yang sudah uzur (tua sekali) tidak mampu bertindak
menurut hukum dalam keadaan stroke (lumpuh) tidak dapat menulis lagi,
tidak dapat sempurna lagi untuk bicara dan tidak dapat dengan sempurna
menyatakan kehendaknya sehingga Para Tergugat tidak meyakini bahwa
tanda tangan Penggugat I adalah tanda tangan ibu kandung Para Tergugat
yang sebenarnya.
2. Bahwa surat gugatan yang diajukan oleh Penggugat V yang bukan merupakan
anak kandung almarhum tetapi anak dari almarhum abang kandung pewaris
tidak berhak untuk bertindak sebagai ahli waris.
3. Surat gugatan tentang pembagian warisan almarhum jelas salah dan tidak
lengkap atau kesengajaan untuk menggelapkan, karena tidak semua harta
bersama didaftarkan/terdaftar sebagai warisan (budel waris) seperti tanahtanah sebagai berikut:
76

Universitas Sumatera Utara

a. Satu rumah diatas sebidang tanah yang terletak di Kecamatan Medan
Timur, Sertifikat Hak Milik atas nama Penggugat I.
b. Sebidang tanah seluas kurang lebih 1.300 m2 terletak di Kotamadya
Medan, Sertifikat Hak Milik atas nama Penggugat I.
c. Sebidang tanah seluas kurang lebih 2 hektar, terletak di Sialang Buah,
Surat Keterangan Camat atas nama Penggugat I dan juga kurang lebih 2
hektar terdaftar atas nama almarhum.
d. Sebidang tanah seluas kurang lebih 2 hektar, terletak di Percut Sei Tuan,
Surat Keterangan Camat terdaftar atas nama Penggugat I dan juga seluas
kurang lebih 2 hektar terletak di Percut Sei Tuan terdaftar atas nama
almarhum.
e. Sebidang tanah seluas kurang lebih 2 hektar, terletak di Sipirok, Tapanuli
Selatan, Sertifikat Hak Milik atas nama Penggugat I dan juga seluas 2
hektar terdaftar atas nama almarhum.
f. Sebidang tanah seluas kurang lebih 2 hektar, terletak di Sidikalang,
Kabupaten Dairi, Sertifikat Hak Milik atas nama Penggugat I.
- Sertifikat-sertifikat dan surat-surat tanah tersebut berada ditangan
Penggugat.
4. Bahwa gugatan Para Penggugat jelas salah, karena Para Penggugat menggugat
bertindak selaku ahli waris dari almarhum tanpa adanya Surat Penetapan atau
Surat Keputusan dari Pengadilan Agama/Mahkamah Syariah.

77

Universitas Sumatera Utara

Dalam Rekonpensi:
1. Bahwa apa yang telah diutarakan dan dikemukakan di dalam eksepsi dan di
dalam Pokok Perkara dinyatakan secara tegas adalah satu kesatuan posita
dengan apa yang tertera di dalam posita rekonpensi sehingga tidak perlu
diulang lagi.
2. Para Tergugat memohon Penetapan Hakim yang menyatakan bahwa Para
Tergugat sama-sama mempunyai hak dan kewajiban terhadap Penggugat I
untuk mengurus dan merawat sebagaimana layaknya untuk kesembuhan dan
kebaikan Penggugat I tersebut.
3. Melarang Penggugat I, III, IV, V dan VI menghalang-halangi atau melakukan
perbuatan kewajiban selaku anak terhadap ibu yaitu Penggugat I.
4. Menetapkan Penggugat I, II, III, IV, VI dan Para Tergugat sebagai ahli waris
almarhum.
5. Menyatakan dan menetapkan secara hukum bahwa Penggugat I sudah tidak
mampu melakukan perbuatan hukum dan di bawah Pengampuan Hukum.
6. Menetapkan walinya dalam perbuatan hukum wakil Penggugat dan Tergugat.
7. Menetapkan memberikan izin kepada Para Tergugat untuk menjenguk dan
merawat Penggugat I.
8. Menghukum Penggugat II, III, IV, V, VI untuk mengembalikan Penggugat I
ke rumahnya di Jalan Sei Mencirim Medan.
Amar putusan Pengadilan Agam Medan Nomor 646/Pdt.G/2010/PA.Mdn.
tanggal 26 Januari 2011:
78

Universitas Sumatera Utara

Dalam Eksepsi: Menolak eksepsi dari Para Tergugat.
Dalam Pokok Perkara:
1. Mengabulkan gugatan Para Penggugat untuk sebagian.
2. Menetapkan ahli waris yang berhak atas tirkah (harta peninggalan) almarhum
adalah sebagai berikut:
a. Penggugat I ( janda )
b. Penggugat II ( anak kandung perempuan)
c. Penggugat III ( anak kandung perempuan )
d. Penggugat IV (anak kandung perempuan )
e. Penggugat VI ( anak kandung laki-laki )
f. Tergugat I (anak kandung perempuan)
g. Tergugat II (anak kandung perempuan)
h. Tergugat III (anak kandung perempuan)
3. Menetapkan Penggugat V sebagai anak angkat yang berhak mendapat bagian
dari tirkah (harta peninggalan) almarhum.
4. Menetapkan bagian masing-masing ahli waris dan anak angkat atas harta
peninggalan almarhum sebagai berikut:
a. Penggugat I,

---------------------------------- 10/80 bagian

b. Penggugat II,

---------------------------------- 7/80 bagian

c. Penggugat III, ---------------------------------- 7/80 bagian
d. Penggugat IV, ---------------------------------- 7/80 bagian
e. Penggugat VI, ---------------------------------- 14/80 bagian
79

Universitas Sumatera Utara

f. Tergugat I,

---------------------------------- 7/80 bagian

g. Tergugat II,

---------------------------------- 7/80 bagian

h. Tergugat III,

---------------------------------- 7/80 bagian

i. Tergugat IV,

----------------------------------- 7/80 bagian

j. Penggugat V,

----------------------------------- 7/80 bagian

5. Menetapkan harta sebagai berikut:
a. Sebidang tanah seluas 85 m² berikut bangunan toko bertingkat yang
didirikan di atasnya setempat dikenal dengan Jalan Pemuda Medan dan
sekarang berubah menjadi Brig. Jend. Katamso Medan.
b. Sebidang tanah, seluas 1.316 m² berikut bangunan rumah di atasnya, yang
terletak setempat dikenal dengan Jalan Haji Agus Salim DesaMadras Hulu,
Kecamatan Medan Baru, Kota Medan.
c. Sebidang tanah seluas 943 m², berikut bangunan rumah yang terletak di
atasnya terletak di Jalan Sei Mencirim Ujung, Desa Babura Kuala Batuan,
Kecamatan Medan Sunggal, Kota Medan.
d. Sebidang tanah seluas 19.979 m², terletak di Desa Sugiharjo, Kecamatan
Batang Kuis, Kabupaten Deli Serdang.
Adalah harta bersama almarhum dengan jandanya (Penggugat I)
6. Menyatakan seperdua dari harta tersebut di atas menjadi hak Penggugat I dan
seperdua selebihnya menjadi tirkah/harta warisan peninggalan almarhum yang
dibagikan kepada ahli waris dan anak angkat yang tersebut di atas.

80

Universitas Sumatera Utara

7. Menghukum seluruh ahli waris dan anak angkat tersebut untuk membagi
seperdua dari harta tersebut dengan pembagian secara natura dan jika tidak
dapat dilakukan dengan cara lelang melalui Kantor Lelang Negara dan
hasilnya dibagikan kepada seluruh ahli waris dan anak angkat.
8. Menyatakan sah dan berharga sita jaminan (conservatoir beslag) yang telah
diletakkan atas objek sengketa dengan Penetapan tanggal 22 Desember 2010
Nomor 646/Pdt.G/2010/PN.Mdn jis Berita Acara Sita Jaminan tanggal 30
Desember 2010 dan tanggal 7 Januari 2011.
9. Menyatakan tidak dapat diterima (Niet Ontvangkelijk verklaard) gugatan Para
Penggugat yang selain dan selebihnya.
Dalam rekonpensi: Menolak gugatan Para Penggugat Rekonpensi/Para
Tergugat Konpensi untuk seluruhnya.
Dalam peradilan tingkat banding, putusan Pengadilan Agama tersebut telah
dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Agama Medan dengan putusan Nomor
38/Pdt.G/2011/PTA.Mdn.
B. Analisis Terhadap Putusan Dan Pertimbangan Hakim Dalam Memutus
Perkara Pengadilan Agama Nomor 646/Pdt.G/2010/PA.Mdn
Setelah membaca duduk perkara dalam kasus ini dapat analisis bahwa
masalah yang disengketakan antara Para Penggugat dan Para Tergugat adalah tentang
pembagian harta bersama dan harta warisan yang menjadi hak janda dan para ahli
waris yang harus dibagi. Munculnya masalah harta bersama dan harta warisan

81

Universitas Sumatera Utara

terhadap harta peninggalan pewaris didalam keluarga timbul ketika para ahli waris
merasa adanya ketidakadilan dalam pembagian harta peninggalan.
Untuk mencari keadilan yang diinginkan maka para pihak yang merasa tidak
menerima keadilan tersebut membuat suatu gugatan waris mal waris pada Pengadilan
Agama yang disertai pula dengan gugatan terhadap harta bersama dalam perkawinan.
Adapun yang menjadi dasar hukum atas kewenangan untuk mengadili perkara bagi
orang-orang yang beragama Islam pada Pengadilan Agama terdapat pada UndangUndang Peradilan Agama Nomor 7 Tahun 1989. Dalam Bab I Ketentuan Umum
Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Peradilan Agama Nomor 7 Tahun 1989 disebutkan
bahwa yang dimaksud dengan Peradilan Agama adalah peradilan bagi orang-orang
yang beragama Islam.95
Kekuasaan Pengadilan dalam lingkup Peradilan Agama mengenai pengaturan
penyelesaian harta bersama terdapat pada penjelasan ayat 2 Bab III Pasal 49 UU
Peradilan Agama Nomor 7 Tahun 1989 yang menjelaskan bahwa penyelesaian harta
bersama kini menjadi wewenang Peradilan Agama dan diselesaikan di Pengadilan
Agama saja, penting artinya bagi bekas istri dan bekas suami bersangkutan. Ini
perubahan penting dan mendasar dalam sistem peradilan Indonesia. Di waktu yang
lalu, soal harta bersama baru dapat dimajukan kemudian dan diselesaikan oleh
pengadilan negeri, bukan oleh pengadilan agama.
Mengenai kewenangan Peradilan Agama di dalam Pasal 49 ayat 1 UU
Peradilan Agama Nomor 7 Tahun 1989 diperluas dalam UU Nomor 3 tahun 2006
95

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

82

Universitas Sumatera Utara

Tentang Perubahan atas UU Nomor 7 Tahun 1989 Peradilan Agama. Tidak hanya
sebatas mengadili masalah perkawinan, waris, wasiat, hibah, sedekah, wakaf orang
Islam, tetapi juga bidang usaha ekonomi syari’ah.
Di dalam Pasal 49 huruf b UU No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas UU
No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama disebutkan bahwa “…Pengadilan Agama
bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat
pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: ..b. waris...”
Penjelasan lebih detail mengenai permasalahan waris apa saja yang diatur
dapat kita lihat pada penjelasan Pasal 49 huruf b UU Peradilan Agama yang berbunyi
“…Yang dimaksud dengan waris adalah penentuan siapa yang menjadi ahli waris,
penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli
waris, dan melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut, serta penetapan
pengadilan atas permohonan seseorang tentang penentuan siapa yang menjadi ahli
waris, penentuan bagian masing-masing ahli waris…”
Berdasarkan penjelasan di atas jelas bahwa yang berhak untuk menyelesaikan
hal-hal yang berhubungan dengan harta bersama dan harta warisan (faraid) adalah
Pengadilan Agama.
Setelah pemeriksaan perkara yang meliputi proses mengajukan gugatan
penggugat, jawaban tergugat, replik penggugat, duplik tergugat, pembuktian dan
kesimpulan yang diajukan baik oleh penggugat maupun oleh tergugat selesai dan
pihak-pihak yang berperkara sudah tidak ada lagi yang ingin dikemukakan, maka
hakim akan menjatuhkan putusan terhadap suatu perkara tersebut.
83

Universitas Sumatera Utara

Putusan pengadilan merupakan suatu yang sangat diinginkan atau dinantinanti oleh pihak-pihak yang berperkara untuk menyelesaikan sengketa mereka
dengan sebaik-baiknya. Sebab dengan putusan pengadilan tersebut pihak-pihak yang
bersengketa mengharapkan adanya kepastian hukum-hukum keadilan dalam perkara
yang mereka hadapi.
Untuk memberikan putusan pengadilan yang benar-benar menciptakan
kepastian dan mencerminkan keadilan hakim sebagai aparatur negara dan sebagai
wakil Tuhan yang melaksanakan peradilan harus mengetahui duduk perkara yang
sebenarnya dan peraturan hukum yang akan ditetapkan baik peraturan hukum tertulis
dalam perundang-undangan maupun peraturan hukum tidak tertulis atau hukum adat.
Putusan hakim adalah suatu pernyataan yang oleh hakim sebagai pejabat
negara yang diberi wewenang untuk itu diucapkan dipersidangan dan bertujuan untuk
mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antar para pihak. Putusan
merupakan salah satu produk Pengadilan Agama yang merupakan tujuan bagi pencari
keadilan untuk mencari haknya yang dikuasai oleh orang lain agar dikembalikan
melalui proses persidangan atau untuk memperoleh putusan hakim yang berkekuatan
hukum yang tetap (In racht van gewijsde), artinya suatu putusan hakim yang tidak
dapat di ubah lagi.96
Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 produk pengadilan
agama ada 2 (dua), yaitu:
1. Putusan (vonis)
96

R. Subekti, Hukum Acara Perdata, Bina Cipta, Bandung, 1980, hlm. 124.

84

Universitas Sumatera Utara

2. Penetapan (beschikking)
Putusan disebut juaga al-qadla’u (Arab), yaitu produk Pengadilan Agama
karena ada dua pihak yang berlawanan dalam perkara antara Penggugat dan Tergugat.
Produk Pengadilan Agama ini biasa diistilahkan dengan produk keadilan yang
sesungguhnya atau jurisdicto cententiosa.97 Putusan adalah salah satu produk
Pengadilan Agama yang merupakan tujuan bagi pencari keadilan untuk mencari
haknya yang dikuasai oleh orang lain agar dikembalikan melalui proses persidangan
atau untuk memperoleh putusan hakim yang berkekuatan hukum yang tetap (In racht
van gewijsde), artinya suatu putusan hakim yang tidak dapat di ubah lagi.98
Putusan dilakukan karena adanya gugatan. Dalam hal gugatan yang diajukan,
karena terdapat sengketa terhadap objek waris. Hal ini bisa disebabkan karena adanya
ahli waris yang tidak mau membagi warisan sehingga terjadi konflik antara ahli
waris. Proses akhir dari gugatan ini akan melahirkan produk hukum berupa putusan.
Sedangkan Penetapan disebut juga al-itsbat (Arab), yaitu suatu penetapan
diambil berhubungan dengan suatu permohonan. Permohonan yang diajukan para ahli
waris dalam hal tidak terdapat sengketa. Terhadap permohonan tersebut pengadilan
akan mengeluarkan produk hukum berupa penetapan.
Untuk menganalisis putusan dan pertimbangan hakim dalam Putusan
Pengadilan Agama Nomor 646/Pdt.G/2010/PA.Mdn ini, dapat dilakukan ke dalam
beberapa aspek hukum, yaitu:
97

Rasyid, A., Raihan, Hukum Acara Peradilan Agama, PT. Grafindo Persada, Jakarta, 2005,

hlm. 203.
98

R. Subekti, Hukum Acara Perdata, Bina Cipta, Bandung, 1980, hlm. 124.

85

Universitas Sumatera Utara

Dalam Eksepsi
Majelis Hakim berpendapat eksepsi Para Tergugat tidak tepat dan patut untuk
di tolak. Para Tergugat telah menyampaikan eksepsi yang mendalilkan gugatan Para
Penggugat telah salah karena Penggugat I sudah uzur, telah dibantah Para Penggugat
dan dapat dibuktikan bahwa Penggugat masih dapat menerakan tandatangannya pada
surat gugatan dan surat kuasa ditambah bukti surat Para Penggugat (Fotocopy
penjelasan tertulis tentang kondisi Penggugat I yang dibuat dan ditandatangani
seorang Dokter dan Fotocopy Laporan Rangkuman Hasil Pemeriksaan Laboratorium
Klinik), dengan demikian dalil eksepsi Para Tergugat ini tidak terbukti.
Mengenai Para Tergugat mendalilkan gugatan yang diajukan oleh orang yang
tidak berhak karena Penggugat V bukanlah anak kandung almarhum tetapi anak
angkat, namun anak angkat V merupakan persona standi in judicio (sama sama
berhak mengajukan gugatan bersama Penggugat lainnya) yang patut mengajukan
gugatan walaupun bukan sebagai ahli waris.99 Pengadilan Agama menetapkan
penggugat V sebagai anak angkat yang berhak mendapat bagian dari tirkah atau harta
peninggalan Almarhum.
Adapun pertimbangan hakim dalam menetapkan hal tersebut adalah
pengangkatan telah dilakukan secara hukum dengan bukti fotokopi kutipan akta
kelahiran atas nama penggugat V yang dikeluarkan Kepala Kantor Catatan Sipil

99

Wawancara, Hidayat Nassery, Ketua Majelis Hakim Pengadilan Agama Kelas I A Medan
dalam Putusan Perkara PA no.646/Pdt.G/2010/PA.Mdn. pada tanggal 2 Mei 2012.

86

Univ

Dokumen yang terkait

HAK SUAMI SEBAGAI AHLI WARIS DALAM KOMPILASI HUKUM ISLAM (Analisis Putusan Perkara Gugat Waris Di Pengadilan Agama Kota Cirebon Nomor : 753/Pdt.G/2011/PA.Cn.)

1 6 104

Penerapan Asas Contra Legem Dalam Pembagian Harta Bersama (Analisis Putusan Perkara Nomor : 1048/Pdt.G/2009/Pa.Bbs Di Pengadilan Agama Brebes

2 23 110

Penerapan Hermeneutika Hukum di Pengadilan Agama Dalam Penyelesaian Sengketa (Studi Analisis Putusan Pengadilan Agama Bekasi Tentang Harta Bersama)

0 12 172

Konsep harta bersama dan implementasinya di pengadilan agama

0 8 12

Kedudukan Janda Terhadap Harta Bersama Menurut Kompilasi Hukum Islam (Studi Kasus Terhadap Putusan Perkara Pengadilan Agama Nomor 646 Pdt.G 2010 Pa.Mdn.)

0 0 13

Kedudukan Janda Terhadap Harta Bersama Menurut Kompilasi Hukum Islam (Studi Kasus Terhadap Putusan Perkara Pengadilan Agama Nomor 646 Pdt.G 2010 Pa.Mdn.)

0 0 2

Kedudukan Janda Terhadap Harta Bersama Menurut Kompilasi Hukum Islam (Studi Kasus Terhadap Putusan Perkara Pengadilan Agama Nomor 646 Pdt.G 2010 Pa.Mdn.)

0 0 25

Kedudukan Janda Terhadap Harta Bersama Menurut Kompilasi Hukum Islam (Studi Kasus Terhadap Putusan Perkara Pengadilan Agama Nomor 646 Pdt.G 2010 Pa.Mdn.)

0 2 27

Kedudukan Janda Terhadap Harta Bersama Menurut Kompilasi Hukum Islam (Studi Kasus Terhadap Putusan Perkara Pengadilan Agama Nomor 646 Pdt.G 2010 Pa.Mdn.)

0 0 6

Penarikan Kembali Hibah Dan Akibat Hukumnya Ditinjau Dari Hukum Islam (Studi Kasus Putusan Pengadilan Agama Medan No. 249 PDT.G 2010 PA.MDN) Chapter III V

0 4 49