Pengaruh Pengalihan Fungsi Hutan Terhadap Tingkat Kemiskinan Masyarakat Adat (Studi Kasus di Desa Pandumaan, kecamatan Pollung, Kabupaten Humbang Hasundutan)

BAB I
PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang
Indonesia adalah negara agraris yang memiliki potensi alam melimpah ruah yang
mendukung statusnya sebagai negara agraris. Dengan sebagian besar masyarakatnya
bermukim di pedesaan dan bermata pencaharian disektor pertanian. Maka sumber daya fisik
utama yang paling penting dalam kehidupan masyarakat pedesaan tersebut adalah tanah atau
lahan pertanian. Salah satu fungsi utama sosial ekonomi masyarakat pedesaan di Indonesia
adalah melakukan berbagai macam kegiatan produksi terutama disektor pertanian dengan
orientasi hasil produksinya untuk memenuhi kebutuhan pasar, baik ditingkat desa itu sendiri
maupun ditingkat lain yang lebiih luas. Dengan demikian mudahlah dimengerti apabila
sebagian besar warga masyarakat pedesaan melakukan kegiatan utamanya dalam kegiatan
pengolahan dan pemanfaatan lahan pertanian (Soepono,1995 :1)
Wilayah hutan Indonesia yang luas juga sering dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai
lahan tempat mereka bertani untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Seperti contoh pada
Wilayah Papua, masyarakat memanfaatkan hutan untuk lahan pertanian mereka dan
masyarakat sangat berintegrasi dengan hutan bakau yang memiliki berbagai fungsi seperti
mengahambat erosi pantai, mengurai limbah organik dan tentunya manfaat ekonomis.
Perlindungan hutan yang dilakukan oleh masyarakat di sekitar hutan dimana mereka
bertempat tinggal, umumnya dilakukan melalui seperangkat nilai budaya, pengetahuan

aturan, kepercayaan, tabu, sanksi, upacara dan sejumlah perilaku budaya yang arif dalam
pengolahan hutan. Cara perlindungan seperti ini dikenal dengan istilah kearifan lokal.
Kearifan tradisional mencakup seluruh peralatan/benda, metode, cara serta
pengorganisasian yang diciptakan oleh elemen manusia berdasarkan keterampilan dan ilmu
1
Universitas Sumatera Utara

pengetahuan (knowledge) yang dimilikinya. Oleh karena itu kearifan tradisional
preferensinya lebih ke arah pengetahuan (knowledge), bukan sekedar sains (science) karena
adanya aspek “pengalaman” dan “keterampilan”. Pengetahuan masyarakat tersebut
bersumber antara lain melalui mitos. Dalam keseimbangan logis dapat dilihat dari studi
terhadap orang Mentawai di Siberut,

dimana kepercayaan tradisional mengenai

keseimbangan lingkungan alamiah, dan keinginan untuk melindunginya melalui ketaatan
tentang pantang memburu telah menghasilkan keseimbangan ekologis.
Dewasa ini, alih fungsi pertanian berproduktivitas tinggi sering dijadikan lahan
pemukiman dan industri sehingga merugikan masyarakat lokal atau masyarakat adat daearah
tersebut. Seperti contohnya di daerah Jawa barat, pengalihan fungsi hutan mencapai 3000

hektar pertahun hal ini disebabkan karena berubahnya lahan sawah menjadi pemukiman,
lahan industri, fasilitas umum dan areal perkebunan. Seperti yang terjadi di Banten dan
Sumedang

dimana

wilayah

persawahan

berubah

menjadi

perkebunan

sawit.

(http://itjen.deptan.go.id/index.php/diklat/453-alih-fungsi-lahan-dan-rusaknya-irigasi-jadiancaman-pertanian-di-pulau-jawa, Senini 1 oktober 2012 jam 15.45)


Juni 2012 yang lalu, masyarakat yang tinggal di Pulau Padang, kecamatan Merbau,
Kabupaten Kepulauan Meranti semakin resah terhadap nasib masa depannya. Konflik lahan
antara pihak masyarakat dengan pihak PT RAPP (APRIL Group) telah menyebabkan tidak
jelasnya mata pencarian masyarakat. Sebagai bagian dari rasa frustasi, 10 orang masyarakat
Pulau Padang siap membakar diri di depan Istana Negara melanjutkan upaya untuk mencari
kebenaran. Kawasan Pulau Padang yang sejatinya pulau kecil berbentuk kubah gambut
sangat rentan jika ada aktivitas konversi hutan skala luas. Perkebunan sagu yang menjadi
sektor andalan masyarakat Pulau Padang akan terganggu karena konversi hutan gambut dan
akan membuat lahan terlalu kering. Kondisi lain diperparah makin tinggi pengikisan tanah di
pesisir. Saat ini permukaan gambut sendiri, dilaporkan telah turun 1 meter dari permukaan
2
Universitas Sumatera Utara

gambut semula gambut semula. http://www.mongabay.co.id/2012/07/01/editorial-konflikkehutanan-cerminkan-timpangnya-keadilan-sosial/#ixzz286eyHTgb, Selasa 2 Oktober 2012

09.54 WIB)
Berbeda dengan hutan yang ada di Aceh, Hutan lindung di Aceh semakin rusak berat
karena dorongan berbagai kepentingan. Dorongan faktor ekonomi masyarakat, justru hutan
lindung oleh pihak-pihak terkait dijual dengan harga yang sangat murah. Pembelian tanah
ilegal berupa hutan lindung marak terjadi. Tanah hanya dihargai Rp 3-6 juta/hektar di

kawasan hutan lindung dan di kawasan lahan gambut berkisar Rp 6-10 juta/hektar. Dengan
harga yang begitu murah banyak mengundang pengusaha atau investor baik dari dalam
maupun luar berlomba-lomba membuka lahan hutan seluas-luasnya. Demikian pula yang
terjadi pada hutan gambut Rawa Tripa. Kasus berawal dari pemberian izin kepada PT Kalista
Alam menanfaatkan 1.605 hektare untuk perkebunan sawit, Agustus 2011. Kebijakan ini
diberikan saat Indonesia menghentikan sementara izin-izin baru di kawasan hutan dan lahan
gambut. Rawa Tripa termasuk gambut padat yang kaya keanekaragaman hayati dan termasuk
Kawasan Ekosistem Leuser (KEL). Kenyataan ini telah menjadikan satwa liar semakin
terdesak oleh modernisasi yang tidak berpihak. Satwa liar mulai mengalami kepunahan dan
keanekaragaman hayati juga semakin homogen. Konsesi penebangan seperti HPH dan HTI,
serta usaha dan kegiatan lainnya yang memiliki implikasi terhadap penebangan hutan,
semestinya dihentikan. Kebijakan moratorium tebang telah memandatkan kepada instansi di
bawah lingkup Pemerintah Aceh memastikan bahwa moratorium ini terlaksana di lapangan.
Kebijakan Moratorium penebangan hutan di Aceh lebih kurang 5 tahun yang lalu hingga
sekarang, ternyata masih belum mampu menyelamatkan hutan Aceh dari kerusakan.
http://www.mongabay.co.id/2012/07/01/editorial-konflik-kehutanan-cerminkan-timpangnyakeadilan-sosial/#ixzz286eyHTgb, Selasa 2 Oktober 2012 09.54 WIB)

3
Universitas Sumatera Utara


Jika berbicara tentang hutan, tentunya daerah Sumatera Utara juga merupakan salah
satu provinsi di Indb onesia yang memiliki kawasan yang luas. Salah satu hasil hutan
Sumatera Utara yang sampai di eksport adalah kemenyan. Terdapat tujuh kabupaten sebagai
penghasil kemenyan, yakni Humbang Hasundutan, Tapanuli Utara, Toba Samosir, Pakpak
Barat, Tapanuli Selatan, Dairi dan Tapanuli Tengah. Salah satu daerah yang menghasilkan
kemenyan terbaik adalah Desa Pandumaan.
Desa Pandumaan adalah sebuah desa yang terletak di kec. Pollung kab. Humbahas.
Wilayahnya yang sejuk dan berada didataran tinggi membuat tanaman kemenyan bertumbuh
dengan baik didaerah tersebut oleh karena itu masyarakat di Desa Pandumaan atau Sipituhuta
kec. Pollung Kabupaten Humbahas, mayoritas bermata pencaharian sebagai petani, terutama
petani kemenyan (hamijon). Tombak hamijon (Hutan Kemenyan) seluas 4100 Ha dimiliki
dan diusahai secara turun temurun sejak 300-an tahun yang lalu oleh komunitas marga:
turunan dari marga marbun yakni lumban batu sehingga sekarang sudah 13 generasi; lumban
gaol (13 generasi); turunan siraja oloan yakni marga Sinambela, Sihite, Simanullang (masingmasing 13 generasi); dan marga-marga yang datang kemudian yakni: munthe dan situmorang
(3 generasi).
Tombak haminjon dikelola menurut kearifan lokal, kebiasaan atau hukum adat yang
hidup, diyakini, diakui dan ditaati secara turun temurun menyangkut:
1. Kepemilikan dan peralihan kepemilikan
2. Penentuan batas-batas kepemilikan, diantara mereka maupun dengan komunitas desa/
kecamatan lain;

3. pemungutan dan penjualan hasil hutan kemenyan;
4. perawatan (ada ritual); dan
5. pengambilan kayu

4
Universitas Sumatera Utara

Tombak haminjon merupakan sumber hidup utama, (60% rakyat Kab. Humbahas
petani kemenyan);
1. Dari sektor pertanian/ perkebunan, haminjon merupakan komoditi unggulan daerah
dengan jumlah produksi ± 60 ton /bulan
2. data dinas pertanian kabupaten humbang hansundutan, produksi kemenyan pada tahun
2004 sebesar 1.129,30 ton dan 4.559,28 ton pada tahun 2005, dengan nilai transaksi
diperkirakan mencapai Rp 2.1 Miliar tiap mingguannya
3. untuk kecamatan pollung, berdasarakan data dinas pertanian humbang hasundutan,
produksi tanaman kemenyan tahun 2005 sebesar 14,64 ton.

Haminjon ( kemenyan ) merupakan tanaman indemik ( hanya tumbuh ditempat

tertentu dibumi ); karena itu harus diselamatkan dari kepunahan. Tombak haminjon atau

hutan kemenyan merupakan hulu sungai-sungai ( binanga bolon, aek sigarang-garang, aek
sisaetek, aek pollung, aek pansurbatu ). Kelima aliran sungai ini bertemu di aek silang yang
selanjutnya mengalir ke kecamatan bakhti raja dan akhirnya bermuara di danau toba. Selain
itu ada beberapa sungai lainnya yakni aek simonggo yang mengalir kearah kecamatan
parlilitan dan tarabintang. Haminjon ( kemenyan )

tumbuh dan menghasilkan tanaman

pelindung (kayu alam lainnya). Tombak haminjon (hutan kemenyan ) merupakan indentitas
diri masyarakat adat dua huta. Haminjon berfungsi sebagai bahan obat-obatan, kosmetik,
upacara ritual dan adat keagamaan.
Saat ini Desa Pandumaan sering sekali menjadi sorotan media terkait kasus perebutan tanah
yang dilakukan oleh sebuah perusahaan TPL. PT TPL adalah sebuah perusahaan pulp (kertas)

yang sebelumnya bernama PT Inti Indorayon Utama (PT IIU atau Indorayon) yang didirikan
26 April 1983 di Sosor Ladang, Porsea, kabupaten Tobasa. Indorayon pernah
tutup/dihentikan operasionalnya atas kuatnya aksi-aksi warga Porsea dan sekitarnya dalam

5
Universitas Sumatera Utara


menentang pencemaran dan pengrusakan lingkungan yang dilakukan perusahaan ini.
Meskipun untuk perjuangan ini, korban di pihak rakyat tak terhitung lagi, materi bahkan
nyawa. Namun kuatnya pengaruh pemilik modal perusahaan ini, yang salah satunya adalah
Sukanto Tanoto, membuat perusahaan ini dibuka kembali, meskipun satu pabrik rayon
ditutup hingga sekarang (KSPPM, 2009)
Permasalahan di Desa Pandumaan puncaknya sejak tahun 2009 tepatnya dibulan Juli.
Dimana TPL telah memulai beroperasi dan menebangi hutan kemenyan rakyat.Penebangan
yang dilakukan TPL terkesan semena – mena karena mereka memiliki landasan undang undang yang melindungi mereka seperti yang tertuang dalam SK 44 Mentri Kehutanan RI
sejak tahun 2005 tentang penunjukan kawasan hutan di wilayah Provinsi Sumatera Utara
seluas ± 3.742.120 Ha (tiga juta tujuh ratus empat puluh dua ribu seratus dua puluh ribu Ha).
Namun sebelum nya TPL sudah melakukan beberapa kali penebangan yang dilakukan
berdarkan keputusan – keputusan yang dilakukan pemerintah.
1. SK Menhut No. 493/Kpts-II/1992 tanggal 1 Juni 1992, mendapat perobahan dengan
SK Menhut No. SK.351/Menhut-II/2004 tentang perubahan kedua atas keputusan
Menhut no. 493/Kpts-II/1992 tentang pemberian HPHTI kepada PT IIU. SK Menhut
ini hanya merobah nama, dari PT IIU menjadi PT TPL, sedangkan luasannya tetap
269.069 Ha.
2. SK Menteri Kehutanan No. 44/Menhut-II/2005 tentang Penunjukan Kawasan Hutan
di wilayah Propinsi Sumatera Utara seluas + 3.742.120 Ha.

3. SK Menteri Kehutanan Nomor 201/Menhut-II/2006 tentang perubahan SK Menhut
No. 44 Tahun 2005.

6
Universitas Sumatera Utara

4. 15 Maret 2007, Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan menerbitkan SK No.
S.181/VI-BPHT/2007 tentang Persetujuan Deliniasi Mikro seluruh area konsesi
hutan PT TPL oleh konsultan.
5. 1 Februari 2008, Menhut menerbitkan SK.11/VI-BPHT/2008, tentang Persetujuan
Rencana Karya Usaha Pengusahaan Hutan s/d Tahun 2035.
6. 8 Juni 2008, Kadishut Propsu menerbitkan Surat Keputusan , No: 522.21/4901/IV
tentang Pegesahan Rencana Kerja Tahunan Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu
Tanaman Industri (RKT-UPHHK-HTI) Tahun 2009.
7. Surat Dinas Kehutanan dan Pertambangan Kabupaten Humbang Hasundutan, Nomor
522.21/2075.A/DPK-X/2008 tertanggal 28 Oktober 2008, perihal Pertimbangan
Teknis Kepala Dinas Kehutanan dan Pertambangan.
8. Surat Dinas Kehutanan Propinsi Sumatera Utara, Nomor 552.21/0684/IV, tertanggal
29 Januari 2009, perihal Rencana Kerja Tahunan (RKT) PT.TPL tahun 2009.


Atas dasar konsesi HPH/TI, TPL dengan semena-mena melakukan perampasan tanahtanah adat dan penebangan hutan adat/Tombak Haminjon di Kab.Humbahas:

1. Tahun 1998, menebang 50 Ha Haminjon di Tombak Simonggo, Parlilitan;
2. Tahun 2006, menebang hutan lindung dan konservasi (Tele-Harian Boho), termasuk
Tombak Haminjon Raja Ihutan Bius Marbun Kec.Pollung (3.500 Ha);
3. Tahun 2005 sudah menebang 170.000 pohon kemenyan dan 2008 s/d sekarang, tetap
melakukan penebangan milik Huta Godung, Sion Timur I, Parlilitan;
4. Tahun 2008 s/d sekarang, melakukan penebangan di Simataniari, Parlilitan;
5. Tahun 2009, menebang Tombak Haminjon milik desa Pandumaan dan Sipitu Huta,
kec.Pollung (sekitar 300 Ha).

7
Universitas Sumatera Utara

Penebangan hutan kemenyan yang dilakukan oleh pihak perusahaan TPL membuat
masyarakat semakin resah dan sudah melakukan aksi beberapa kali untuk memperjuangkan
tanah adat mereka. Dahulu di Desa Pandumaan, sebelum terjadi peneneman Ecalyptus air
sungai begitu jernih dan masyarakat disana memenfaatkan air sungai tersebut untuk
keperluan sehari – hari seperti memasak, menyuci pakaian dan kebutuhan lainnya, akan
tetapi saat ini air sungai menjadi keruh dan tidak dapat dimanfaatkan lagi oleh masyarakat.

Menurut keterangan masyarakat desa, sungai dijadikan pembuangan limbah.
Dalam permasalahan ini masyarakat Desa Pandumaansudah melakukan aksi beberapa
kali untuk memperjuangkan tanah adat mereka. Sampai saat ini tahun 2012, belum ada jalan
keluar terhadap masalah tersebut masyarakat masih menunggu hasil dari kebijakan
pemerintah untuk tetap mempertahankan tanah adat mereka. Sebab sampai sekarang konflik
antara warga Desa Sipitu Huta dengan PT Toba Pulp Lestari (TPL) yang telah menebangi
kemenyan belum juga berakhir dengan solusi.
Perjuangan warga untuk menolak penebangan kemenyan mendapat dukungan dari
banyak pihak. Sebab penolakan warga juga dianggap sebagai bagian dari penyelamatan aset
dunia yang berfungsi banyak itu di Kabupaten Humbahas. Menurut pengamat budaya Batak
Toba Thompson HS, di daerah Batak sendiri, kemenyan memiliki beragam fungsi, salah
satunya sebagai obat, sedangkan di sektor industri, tanaman ini dipergunakan sebagai bahan
baku

kosmetika

dan

bahan

pengikat

parfum

agar

berdaya

tahan

lama.

Kemenyan juga menjadi salah satu bahan dalam pembuatan beragam peralatan keramik dan
menurut beliau dari leluhur masyarakat batak dikenal tanaman dan jenis pohon apa saja yang
bisa atau tidak bisa di tebang. Dalam sejarah nya tidak ada nenek moyang yang menebang
kemenyan. Selain itu, jika kemenyan sudah tidak ada lagi, maka spesifikasi sejarah
Kabupaten Humbahas akan hilang, sebab kebutuhan kemenyan dunia sejak dahulu sudah
diyakini dipasok dari Humbahas, dengan memanfaatkan Pelabuhan Barus. Maka itu

8
Universitas Sumatera Utara

kepentingan penyelamatan kemenyan bukan hanya untuk masyarakat Humbahas saja,
melainkan seluruh masyarakat dunia yang menggunakan kemenyan sebagai bagian dari
kehidupan.
Humas PT TPL Chaeruddin Pasaribu sebelumnya mengatakan bahwa pada dasarnya
pihaknya bekerja di lahan yang masuk dalam konsesi kerja mereka seluas sekitar 103.000
hektare (ha) dari sekitar 300.000 ha kawasan hutan di Tele. Sekitar 20.000 ha kawasan hutan
yang dikerjakan oleh perusahaan bubur kayu tersebut masuk dalam Rencana Kerja Tahunan
(RKT)

dan

saat

ini

sekitar

18.000

ha

di

antaranya

sudah

dikerjakan.

Menurut Chaeruddin, PT TPL saat ini bukan semata-mata untuk menebang pohon kemenyan,
melainkan hanya sebuah proses awal untuk mengelola RKT yang masuk dalam HTI
perusahaan ini, artinya dalam hal ini, TPL hanya melakukan pembuatan jalan menuju
kawasan

HTI-nya.

(http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/271442/

Selasa, 2oktober 2012 09.40WIB)
Seperti yang sudah dipaparkan diatas, bahwa hampir seluruh masyarakat Kec. Pollung
dalam hal ini masyarakat desa Pandumaan memfokuskan mata pencahariannya pada hasil
tanaman kemenyan. Posisi masyarakat semakin lemah karena mereka tidak memiliki bukti
kepemilikan tanah. Hal tersebut membuat penulis tertarik untuk meneliti permasalahan yang
sedang terjadi di Kabupaten Humbahas Kec. Pollung Desa Pandumaan.

I.2 Perumusan Masalah
Rumusan masalah adalah penjelasan mengenai alasan mengapa masalah yang
dikemukakan dalam penelitian itu menarik, penting dan perlu untuk diteliti. Rumusan
masalah biasanya berisi pertanyaan-pertanyaan yang perlu di jawab dan untuk mencari jalan
pemecahannya. Berdasarkan latar belakang yang dipaparkan, maka peneliti mencoba menarik

9
Universitas Sumatera Utara

suatu permasalahan yang lebih mengarah pada fokus penelitian yang akan dilakukan. Adapun
yang menjadi masalah dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimana pengalihan fungsi hutan kemenyan menjadi HTI milik TPL di Desa
Pandumaan mempengaruhi perekonomian masyarakat Desa Pandumaan?
2. Apakah konversi lahan tersebut dapat menimbulkan kemiskinan di Desa
Pandumaan?

I.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui pengaruh pengalihan fungsi hutan kemenyan menjadi HTI di
Desa Pandumaan terhadap perekonomian masyarakat Desa Pandumaan
2. Untuk mengetahui tingkat kemiskinan masayarakat Desa Pandumaan akibat konversi
lahan

I.4 Manfaat Penelitian
Adapun yang menjadi manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Manfaat Teoritis
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan ilmiah bagi mahasiswa
khususnya mahasiswa Sosiologi maupun masyarakat pada umumnya, serta dapat
memberikan kontribusi bagi perkembangan ilmu pengatahuan khususnya di bidang
Konversi Hutan
2. Manfaat praktis
- Penelitian ini diharapkan agar penulis dapat meningkatkan kemampuan dalam
menulis karya ilmiah

10
Universitas Sumatera Utara

- Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan kepada masyarakat,
khususnya petani kemenyan yang berusaha mempertahankan lahan mereka
- Penelitian ini diharapkan dapat menjadi pertimbangan dan referensi untuk
pemerintah dalam hal konversi hutan

I.5 Kerangka Teori
I.5.1 Masyarakat dan Hutan
Keterkaitan masyarakat ( manusia ) dengan hutan tampak dalam pengertahuan
manusia dalam mengolah hutannya. Cara yang dilakukan oleh manusia ( masyarakat ) dalam
mengelola hutan, antara lain yaitu: merubah hutan menjadi lahan pertanian (kebun dan
ladang), baik dengan cara perladangan berpindah (tebas bera) maupun dengan cara perladang
menetap.
Pengetahuan masyarakat tentang hutan merefleksikan bagaimana hutan tersebut
dilihat dan dimanfaatkan oleh masyarakat. Pengetahuan masyarakat tentang hutan
berimplikasi penting dalam manajemen pemeliharaan hutan, karena pengetahuan masyarakat
( kearifan lokal ) mengandung nilai – nilai ekologi, yaitu adanya fokus perhatian pengaturan
penempatan dalam hal letak lahan dan perhatian topografi setempat untuk penanaman, serta
penggunaan petak kecil dan garis petak yang hati – hati dapat membantu mengurangi erosi
pada lereng curam. Implikasi penting dalam pemeliharaan hutan dengan basis pengetahuan
lokal meliputi: ideologi, ekonomi dan ekologi. Ideologi menekankan tradisional, baik sebagai
agama tradisional maupun sistem upacara.
Di Indonesia berbagai bentuk pengelolaan sumberdaya alam tradisional dapat
ditemukan. Masing – masing bentuk pengelolaan sumberdaya alam tradisional ini memiliki
karakteristik yang berbeda pada setiap

tempat yang belum tentu dapat diduplikasikan

ditempat lain. Di Kalimantan Timur misalnya diketahui adanya bentuk pengelolaan
11
Universitas Sumatera Utara

sumberdaya hutan yang oleh masyarakat dikenal dengan sebutan “Simpung Munan”. Di Krui,
Lampung Barat, dikenal dengan istilah “Repong Damar”. Di sisade Rube, Dairi, salah satu
bentuk pengelolaan sumber daya alam tradisional yang dikenal masyarakat terwujud dalam
“Upacara menandai tahun” dan dilokasi penelitian salah satunya terwujud dalam “Kenduri
Ulelung”. Secara ekonomis bentuk-bentuk pemanfaatan sumber daya alam tradisional ini
ternyata mampu memberikan kontribusi untuk pendapatan keluarga dan secara ekologis dapat
melestarikan sumber daya.
Suatu hal yang sering diabaikan oleh banyak orang adalah adanya anggapan bahwa
sistem perekonomian masyarakat tradisional adalah sistem ekonomi yang berorientasi pada
kebutuhan subsisten dan mempunyai kebudayaan sederhana, sehingga dianggap tidak dapat
memenuhi kebutuhan hidupnya. Persepsi yang keliru ini sayangnya juga dimiliki oleh
pemerintah.
Berdasarkan persepsi yang keliru ini, kebijakan yang berlaku sekarang ini adalah
dengan mengeluarkan mereka dari hutan, memberi mereka pemukiman dan memaksa mereka
untuk tinggal menetap, dan menjadikan mereka petani menetap melalui program resetelmen
penduduk. Adalah benar bahwa perladangan padi dan tanaman non padi tertentu merupakan
aspek penting dalam perekonomian rakyat yang bertipikal subsisten. Namun aktifitas lainnya
pada suku Dayak, seperti berburu, menangkap ikan, mengumpulkan hasil hutan, juga
beternak merupakan aspek penting dalam perekonomian masyarakat Dayak.
Bagi orang Dayak ekosistem hutan sebagai satu lingkungan fisik, dipandang memiliki
keterkaitan yang sangat erat dengan peranan manusia. Oleh sebab itu wajar jika orang Dayak
memperlakukan hutan sebagai sebuah ekosistem yang menjadi bagian yang tidak terpisahkan
dari tradisi mereka.

12
Universitas Sumatera Utara

Hutan telah memberikan kehidupan kepada mereka, mulai dari persediaan pangan,
sampai pada kebutuhan keluarga, sebagai mata pencaharian keluarga dengan memungut hasil
hutan non kayu. Dari persentuhan yang intens antara orang Dayak dengan hutan telah
melahirkan sebuah sistem perladangan, yang merupakan sebuah model kearifan tradisional
dalam pengelolaan sumber daya hutan.
Sistem perladangan itu juga beragam bentuknya. Mulai dari level yang paling
sederhana, yaitu perladangan dengan mendasarkan diri pada sistem ekonomi subsisten,
sampai perladangan yang sudah berorientasi pada pasar, yang dilakukan dengan atau tanpa
rotasi. Keragaman tersebut tentunya mempunyai pengaruh yang berbeda bagi pelestarian
sumber daya alam. Itulah sebabnya tidak semua bentuk perladangan berpindah dapat
digeneralisasi sebagai perusak lingkungan hutan. Artinya, bahwa banyak diantara mereka
yang sebenarnya cukup paham perlunya pelestarian, karena mereka menyadari bahwa seluruh
hidupnya tergantung pada belas kasihan hutan.
Dengan daur perladangan yang cukup, sebenarnya kerusakan akibat perladangan
dapat pulih. Namun karena faktor pertambahan penduduk yang tinggi memicu pada
pemenuhan kebutuhan ekonomi, menyebabkan masa berat semakin singkat dan lahan hutan
semakin sempit, sehingga penduduk lokal menjadi tidak adaptif dan merusak hutan.
Menyusutnya luas perladangan yang tersedia untuk perladangan dan pembatasan gerak pada
peladang memperpendek daur perladangan. Faktor yang tidak kalah pentingnya adalah
ekonomi pasar yang semakin luas pengaruhnya pada masyarakat. Makin banyak peladang
yang menjual hasil perladangannya untuk mendapatkan uang, semakin besar pengaruhnya
dan makin besar luas lahan yang mereka butuhkan. Disamping itu ditanam juga komoditi
yang merusak lingkungan oleh peladang. Kerusakan hutan juga diperparah dengan datangnya
para migran untuk mencari pekerjaan, yang banyak diantara mereka menjadi peladang tanpa
mengetahui teknologi perladangan.
13
Universitas Sumatera Utara

Pengetahuan masyarakat, baik yang masih hidup maupun yang sudah ditinggalkan
namun telah hidup dalam jangka waktu yang lama dan menjadi pandangan hidup tradisional
adalah penting karena dua alasan. Pertama, penelitian-penelitian ilmiah tentang tumbuhtumbuhan dan binatang-binatang dapat dipercepat jika menggunakan orang-orang lokal yang
mengetahui hal tersebut. Kedua, suatu kehormatan bagi pengetahuan dan konteks
kebudayaannya yang memungkinkan digunakan pengetahuan tersebut bagi upaya konservasi.
Alasan tersebut juga didasarkan pada pemikiran bahwa orang setempat yang sudah
berinteraksi cukup lama dengan lingkungan dimana dia hidup dan mencari nafkah tentu
memiliki banyak pengetahuan berkenaan dengan lingkungan dimana mereka berladang dan
mencari nafkah.
I.5.2 Status Tanah Hutan Dalam Perspektif Hukum Adat
Melihat status tanah dalam perspektif Hukum Adat adalah sebenarnya mengkaji
keberadaan Hak Ulayat yang dimanfaatkan untuk hutan. Dalam hal itu harus diingat bahwa
konsepsi umum hutan tanah ulayat yang di kenal di Negara ini adalah bersumber dari teori
klasik, yang menjelaskan bahwa tanah adalah milik Raja.
Terbaginya tanah menjadi hutan tanah ulayat bagi masing-masing kesatuan
masyarakat Hukum Adat semata-mata merupakan kedermawaan sang Raja. Sehingga
pemanfaatan dan penggunaannya haruslah sedemikian rupa dan haru smemenuhi ketentuan
adat seperti:
1. Hutan tanah ulayat tidak boleh diperjualbelikan dengan cara apapun sehingga pemilikan
haknya menjadi berpindah tangan
2. Hutan tanah ulayat tidak boleh dibagi-bagi menjadi milik pribadi/perorangan

14
Universitas Sumatera Utara

3. Warga suku yang bersangkutan secara perorangan boleh memanfaatkan tanah tersebut
dengan beberapa ketentuan atau kewajiban-kewajiban yang perlu ditaati, seperti
memberikan sebahagian hasilnya kepada kepala suku atau kepala desa menjadi
penghasilan desa (Muhammad Yamin, 2004: 153)
Dalam literatur Hukum Adat, hak ulayat merupakan salah satu tiang Hukum Adat
sebagaimana ditemukan oleh Van Vallenhoven. Dijelaskan tanah ulayat mempunyai ciri dan
batasan yang sama di seluruh Indonesia, namun dalam pelaksanaannya akan berbeda satu
daerah persekutuan hukum di satu tempat dengan persekutuan hukum lainnya. Sebagaimana
disebutkan dalam Hukum Adat, “lain lubuk lain ikannnya dan lain lalang lain belalangnya”
(Muhammad Yamin, 2004: 154).
Tanah komunal atau tanah ulayat menurut keterangannya adalah ciptaan kolonial
Belanda. Menurut Tauchid:
-

Tanah komunal tidak berarti tanah itu menjadi kepunyaan orang banyak dan
dikerjakan hasilnya untuk orang banyak bersama, melainkan dikerjakan oleh orang
seorang dan hasilnya untuk orang seorang.

-

Tanah komunal itu tidak dapat dibagikan pada perorangan dengan memperoleh hak
pakai atas tanah itu, sedang hak milik atas tanah itu ada pada desa.
Pada umumnya tidak setiap penduduk berhak atas tanah komunal, tapi syaratnya ialah

warga desa yang mempunyai rumah serta pekarangan, mampu dan sanggup membayar
landrente dan menjalankan beban-beban yang bertalian dengan tanah itu. Di desa hak

komunal atas tanah masih ada, maka mereka sebagai pemegang hak milik atas tanah memiliki
pula kekuasaan untuk mengatur penggunaan tanah itu.
Dalam hukum kehutanan, hutan dalam statustnya ada hutan negara dan ada hutan hak.
Hutan negara dapat berupa hutan adat dan ada hutan hak. Hutan negara dapat berupa hutan

15
Universitas Sumatera Utara

adat, dan hutan adat harus ditetapkan statusnya oleh pemerintah sebagai hutan adat sepanjang
menurut kenyataannya masyarakat Hukum Adat yang bersangkutan masih ada, sebagai dasar
pengakuan tersebut. Apabila dalam perkembangannya masyarakat Hukum Adat yang
bersangkutan tidak ada lagi maka hak pengelolaan hutan adat kembali kepada pemerintah
yang mengelolanya. (Pasal 5 UU No. 41 tahun 1999). (Mohammad Yamin,2004 : 156).
Walaupun hutan-hutan yang dikuasai oleh masyarakat Hukum Adat termasuk dalam
pengertian hutan Negara, masyarakat yang ada di tempat tersebut berhak untuk memperoleh
manfaat dari hutan tersebut. Oleh karena hutan itu merupakan suatu ekosistem, maka apabila
dilihat dari aspek hukum, yakni hukum yang menyangkut substansi bidang kehutanan yang
ada, harus ditafsirkan sebagai hukum yang mengatur sistem tersendiri. Jadi bila melihat Hak
Ulayat di dalam sistem Hukum Kehutanan harus tidak terpisah dari pengertian hutan itu
sendiri.

I.5.3 Status Tanah Hutan Dalam Perspektif Hukum Nasioanal
Biarpun di atas tanah tersebut terdapat hutan lindung, namun status tanah ulayat yang
masih eksis harus tetap dilindungi. Perlindungan ini memang telah diatur dalam hukum
nasional yakni dalam UUPA (UU No. 5 tahun 1960) dan UU Kehutanan (UU No. 41 tahun
1999). Undang-undang yang ada menjamin keberadaan Hak Ulayat atas tanah, biarpun tanah
tersebut difungsikan untuk hutan atau lain-lain kegiatan.
Pemerintah Daerah telah diberikan wewenang untuk mengukuhkan dan menghapus
keberadaan masyarakat hukum adat dengan catatan jangan ditafsirkan sebagai kekuasaan
Pemda semata –mata untuk mengurangi pengelolaan tanah. Disini Pemda setempat harus
berfungsi sebagai fasilitator bukan sebagai mediator, sehingga terhindar sikap KKN yang
merugikan dibidang pengelolaan hutan. Ini sangat penting artinya dalam menciptakan
masyarakat yang berwawasan pembangunan dan tidak merasa asing bila di daerah tersebut

16
Universitas Sumatera Utara

didatangi oleh rimbawan-rimbawan yang tangguh dalam membangun hutan masyarakat.
Kemudian suatu hal yang tidak boleh dilupakan oleh masyarakat bahwa setiap ada
pemanfaatan hutan untuk fungsi apa saja, baik di areal hak ulayat maupun hutan milik,
masyarakatnya berkewajiban untuk memelihara dan menjaga kawasan hutan dari ganguan
dan pengrusakan, serta melaksanakan rehabilitasi hutan. (Pasal 69 No. 41 Tahunb 1999).
Baik dalam perspektif Hukum Adat maupun Hukum Nasional pengakuan Hak Ulayat
tidak dapat dipisahkan dari masyarakat Hukum Adat. Oleh karena itu setiap penggunaan
tanah untuk kepentingan apa saja, dan oleh siapa saja yang bukan anggota persekutuan
hukum, harus menghormati keberadaan Hak Ulayat. Hak Ulayat adalah ciptaan pemerintah
Kolonial Belanda, namun karena sudah merupakan bagian dari kehidupan adat dan Hukum
Adat, maka harus digunakan sebagai alat untuk memakmurkan masyarakat yang nyata-nyata
masih ada. Dimana Hak Ulayat tersebut harus tetap berorientasi pada sifatnya yang publik.
Pengakuan keberadaan Hak Ulayat tidak boleh menghalangi pemanfaatan
tanah untuk kepentingan pembangunan nasional, sehingga kalau ada investor yang akan
memanfaatkan tanah, masyarakat haruslah menghormatinya, demi terciptanya peningkatan
kehidupan masyarakat tersebut. Sehingga kebersamaan harus dibiarkan tumbuh sebagai
refleksi hukum dalam pengaturan Hak Ulayat di Negri ini (Muhammad Yamin, 2004: 165)

I.5.4 Perubahan Sosial Budaya
Perubahan yang terjadi di masyarakat mencakup segala aspek sosial dan budaya.
Antara lain mencakup nilai dan norma sosial, pola prilaku masyarakat, susunan lembaga
kemasyarakatan, lapisan – lapisan masyarakat, interaksi sosial, kekuasaan, wewenang, dan
lain sebagainya (Soekanto, 2000 : 333).
William F. Ogburn (dalam Soekanto, 2000 :333) mengatakan bahwa ruang lingkup
perubahan sosial meliputi unsur – unsur budaya, baik yang material maupun yang immaterial.

17
Universitas Sumatera Utara

Sementara Selo Soemardjan (dalam Soekanto, 2000 : 337) mendefenisikan perubahan sosial
sebagai perubahan – perubahan yang terjadi pada lembaga – lembaga kemasyarakatan di
dalam masyarakat, yang mempengaruhi sistem sosial. Termasuk di dalamnya nilai, sikap dan
pola prilaku diantara kelompok – kelompok dalam masyarakat. Melalui defenisi tersebut
dapat dilihat bahwa Selo Soemardjan menekankan lembaga –lembaga kemasyarakatan
sebagai himpunan pokok manusia, sehingga perubahan – perubahan yang terjadi
mempengaruhi struktur masyarakat lainnya.
Beberapa sosiolog berpendapat bahwa ada kondisi – kondisi sosial primer yang
menyebabkan terjadinya perubahan. Misalnya kondisi ekonomis, tehnologis, geografis atau
biologis yang secara tidak langsung memicu perubahan – perubahan pada aspek – aspek
kehidupan sosial lainnya ( William F. Ogburn menekankan pada kondisi tehnologis).
Sebaliknya ada pula yang menyatakan bahwa semua kondisi tersebut sama pentingnya,
karena sama – sama akan menghasilkan perubahan – perubahan sosial (Soekanto, 2000 :
338).
Menyikapi perubahan kebudayaan, Kingsley Davis (dalam Soekanto, 2000 : 342)
berpendapat bahwa perubahan sosial merupakan bagian dari perubahan kebudayaan.
Perubahan dalam kebudayaan mencakup hampir semua bagian dalam ruang lingkup
masyarakat. Diantaranya yaitu kesenian, ilmu pengetahuan, tehnologis, filsafat, pola prilaku
bahkan mencakup perubahan dalam bentuk aturan – aturan organisasi sosial.
Pada dasarnya tidak mudah untuk menentukan garis pemisah antara perubahan sosial
dengan perubahan kebudayaan di dalam kehidupan sehari – hari, karena tidak ada masyrakat
yang tidak memiliki kebudayaan dan sebaliknya tidak ada kebudayaan yang tidak terjelma
dalam suatu masyarakat. Sehingga walaupun secara teoritis dan analisis pemisahan antara
pengertian – pengertian tersebut dapat dirumuskan, namun dalam kehidupan nyata garis
pemisah tersebut sukar untuk dipertahankan. Jelasnya perubahan – perubahan tersebut

18
Universitas Sumatera Utara

mempunyai satui aspek yang sama yaitu, kedua – duanya bersangkut paut dengan penerimaan
cara – cara baru atau peralihan yang terjadi di masyarakat dalam memenuhi kebutuhannya
(Selo Soemardjan dan Soekanto, 2000 : 343).
Berdasarkan prosesnya, perubahan yang terjadi di masyarakat dapat dibedakan
kedalam dua bentuk. Bentuk pertama yaitu perubahan yang berlangsung dalam waktu yang
lama, atau proses terjadinya berupa rentetan – rentetan perubahan kecil yang saling mengikuti
dengan lambat, perubahan ini lazim disebut dengan evolusi. Pada evolusi perubahan terjadi
dengan sendirinya tanpa rencana atau kehendak tertentu. Perubahan tersebut terjadi karena
usaha masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan kebutuhan, keadaan dan kondisi yang
timbul sejalan dengan pertumbuhan masyarakat. Bentuk kedua yaitu perubahan yang
berlangsung dengan cepat, dan menyangkut dasar – dasar atau sendi pokok kehidupan
masyarakat atau lazim disebut revolusi (Soekanto, 2000 : 345-347).
Ecolusi disamping lambat, umumnya disertai dengtan tahap – tahap perkembangan
yang berkelanjutan. Sedangkan revolusi selain cepat umumnya bersifat mendadak dan
perubahan yang trerjadi berlawanan dengan keadaan semula, atau peralihan. Perwubahan
yang terjadi secara cepat pada umumnya merupakan perubahan – perubahan yang
direncanakan, seperti halnya program – program kebijakan pemerintah yang direalisasikan
pada masyarakat luas (Soekanto, 2000 : 347)
Menurut Sartono Kartodirdjo (dalam Soekanto, 2000 : 348) dalam sudut pandang
sosiologis, agar suatu revolusi dapat terjadi maka harus memenuhi syarat – syarat tertentu.
Syarat – syarat tersebut diantaranya yaitu :
1. Harus ada keinginan umum untuk mengadakan suatu perubahan
2. Adanya pemimpin, tokoh atau sekelompok orang yang dianggap mampu
menciptakan perubahan dan manunjukkan tujuan perubahan tersebut

19
Universitas Sumatera Utara

3. Serta harus ada “momentum” atau saat dimana keadaan dan faktor sudah tepat
untuk memenuhi perubahan.

1.5.5 Konversi Lahan
Menurut Utomo, dkk (1992), konversi lahan dapat diartikan sebagai berubahnya
fungsi sebagian atau seluruh kawasan dari fungsinya semula seperti direncanakan menjadi
fungsi lain yang berdampak negatif terhadap lingkungan dan potensi lahan itu sendiri.
Sebagai contoh yaitu berubahnya peruntukan fungsi hutan masyarakat adat menjadi hutan
tanaman industri dan fungsi lindung menjadi pemukiman. Hal ini sejalan dengan penelitian di
Desa Pandumaan dimana lahan yang dikonversi merupakan hutan tempat masyarakat mencari
nafkah melalui tanaman kemenyan, menjadi hutan tanaman industri oleh perusahaan TPL.
Menurut Kustiawan (2000), konversi lahan berarti alih fungsi atau mutasi lahan secara
umum menyangkut transformasi dalam pengalokasian sumberdaya lahan dari satu
penggunaan ke penggunaan lainnya.
Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumber daya alamnya dan sebagian
besar dimanfaatkan sebagai lahan agrarian. Tidak salah jika kemudian kurang lebih
enampuluh persen penduduknya berkecimpung di dunia pertanian dan umumnya di pedesaan.
Dengan demikian, masyarakat desa yang agraris menjadi sasaran utama introduksi tehnologi,
segala kepentingan, kemajuan pertanian sangat melibatkan unsur – unsur pokok tersebut.
Oleh sebab itu, masyarakat agrarislah yang pertama menderita perubahan sosial. Lahan
dibutuhkan oleh hampir semua aktivitas ekonomi, sehingga kelangkaannya meningkat
dengan pesat. Fakta membuktikan bahwa dari berbagai jenis sumber daya, lahan merupakan
sumberdaya alam yang sangat strategis. Lahan mempunyai implikasi sosial ekonomi yang
sangat luas dan penuh komplikasi. Derivasi permasalahannya yang terkait dengan struktur

20
Universitas Sumatera Utara

penguasaan lahan tidak hanya menyangkut permasalahan efisiensi produksi, tetapi juga aspek
keadilan sosial.
Menurut Irawan (2005) konversi lahan dapat diartikan sebagai berubahnya fungsi
sebagian atau seluruh kawasan dari fungsinya semula seperti direncanakan menjadi fungsi
lain yang berdampak negatif terhadap lingkungan dan potensi lahan itu sendiri. Sebagai
contoh yaitu berubahnya peruntukan fungsi lahan kemenyan menjadi lahan industri.
Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumberdaya alamnya dan sebagian besar
dimanfaatkan sebagai lahan agragrian. Tak salah jika kemudian penduduknya kurang lebih
enampuluh persen berkecimpung didunia pertanian dan umumnya berada dipedesaan.
Dengan demikian, masyarakat desa yang agraris menjadi sasaran utama introdeksi tekhnologi
segala kepentingan, kemajuan pertanian sangat melibatkan unsur-unsur pokok tersebut. Oleh
sebab itu, masyarakat agrarislah yang pertama menderita perubahan sosial. Lahan dibutuhkan
oleh hampir semua aktivitas ekonomi, sehingga kelangkaannya meningkat dengan pesat.
Fakta membuktikan bahwa di antara berbagai jenis sumberdaya, lahan merupakan
sumberdaya alam yang sangat strategis. Lahan mempunyai implikasi sosial ekonomi yang
sangat luas dan penuh komplikasi.
Berdasarkan fakta empirik di lapangan, ada dua jenis proses konversi lahan, yaitu
konversi lahan yang dilakukan langsung oleh pemilik lahan lewat proses penjualan dan tidak
secara langsung oleh pihak lain yaitu pembeli. Konversi yang dilakukan langsung oleh petani
luasannya sangat kecil. Hampir 70 persen proses jual beli lahan sawah melibatkan pemerintah
yaitu ijin lokasi dan ijin pembebasan lahan. Proses konversi yang melalui proses penjualkan
lahan pertanian berlangsung melalui dua pola, yaitu pola dimana kedudukan petani sebagai
penjual bersifat monopoli sedang pembeli bersifat monopsoni, hal ini terjadi karena pasar
lahan adalah sangat tersegmentasi bahkan cenderung terjadi asimetrik informasi diantara

21
Universitas Sumatera Utara

keduanya. Sedangkan yang kedua adalah konversi lahan dengan bentuk monopsoni.
Keterlibatan pemerintah dimungkinkan karena kedudukan pemerintah sebagai planner yang
bertugas mengalokasikan lahan, dimana secara teoritis harus disesuaikan dengan data
kesesuaian lahan serta daerah lewat rencana tataruang wilayahnya.
Berdasarkan faktor-faktor penggerak utama konversi lahan, pelaku, pemanfaatan dan
prosen konversi, maka tipologi konversi terbagi menjadi tujuh tipologi, yaitu (Irawan, 2005):
1.

Konversi gradual-berpola sporadik, pola konversi yang diakibatkan oleh dua faktor
penggerak utama yaitu lahan yang tidak/kurang produktif/ bermanfaat secara ekonomi
dan keterdesakan pelaku konversi.

2.

Konversi sistematik berpola enclave, pola konversi yang mencakup wilayah dalam
bentuk sehamparan tanah secara serentak dalam waktu yang relatif sama.

3.

Konversi adaptif demografi, pola konversi yang terjadi karena kebutuhan tempat
tinggal/pemukiman akibat adanya pertumbuhan pendudukan

4.

Konversi yang disebabkan oleh masalah sosial, pola konversi yang terjadi karena
motivasi untuk

5.

berubah dari kondisi lama untuk keluar dari sektor pertanian utama

Konversi tanpa beban, pola konversi yang dilakukan oleh pelaku untuk melakukan aktivitas menjual tanah kepada pihak pemanfaat yang selanjutnya dimanfaatkan untuk peruntukan lain

6.

Konversi adaptasi agraris, pola konversi yang terjadi karena keinginan untuk
meningkatkan hasil pertanian dan membeli tanah baru ditempat tertentu

7.

Konversi multi bentuk atau tanpa pola, konversi yang diakibatkan berbagai faktor peruntukan seperti pembangunan perkantoran, sekolah, koperasi, perdagangan dan sebagainya

22
Universitas Sumatera Utara

1.5.6 Modernisasi
Semangat pembangunan dengan latar belakang teori modernisasi adalah dengan ingin
memodernisasikan negara berkembang agar negara – negara berkembang meniru negara maju
dalam segala aspek, terutama tentu saja dalam mode of proction kapitalisnya. Jiwa
modernisasi yang didasari oleh revolusi industri adalah mulainya manusia dianggap sebagai
faktor produksi, sehingga terjadi penghisapan tenaga kerja manusia oleh manusia. Secara
ringkas dapat dikatakan, apa yang dimaksud dengan modern tersebut memiliki banyak
kesamaan dengan paham kapitalisme. Yaitu misalnya tehnologi maju yang efesien yang tentu
saja untuk mendapat keuntungan yang sebesar – besarnya. Nilai – nilai ekonomis dan efisien
yang ada dalam modernisasi adalah nilai – nilai kapitalisme juga. Intinya adalah, hanya
dengan membentuk masyarakat kapitalis modern-lah negara – negara terbelakang bisa meraih
kemajuan.
Teori utama yang dipakai dalam modernisasi adalah teori Rostow tentang tahap –
tahap pertumbuhan ekonomi ( Swarsono Alvins, 2004). Modernisasi yang melanda berbagai
kawasan dewasa ini mengidentifikasi terlibatnya masyarakat desa dalam proses tersebut.
Realisasi dari modernisasi tersebut adalah bentuk perkembangan yang menyangkut aspek
sosial ekonomi.
Agar dapat mencapai pertumbhan ekonomi yang otonom perlu melakukan mobilisasi
seluruh kemampuan modal dan sumber daya alamnya. Investasi adalah suatu kemutlakan
yang dapat diperoleh dari luar maupun dari dalam. Artinya, pendapat ini mengundang
masuknya institusi permodalan kapitalisme dengan bunga yang tinggi sehingga akhirnya
terjadi ketergantungan ( Budiman Arif, 1995).
Menurut Harison (1998), modernisasi akan berpengaruh terhadap perubahan susunan
dan pola masyarakat, dengan terjadinya diferensiasi struktural. Demikian juga dengan
23
Universitas Sumatera Utara

kapitalisme yang telah dibuktikan sejarah, serta dikritik oleh marx, akan menimbulkan
struktur yang penuh konflik (Soekanto, 2006).
Lebih jauh Inkeles menyatakan manusia modern adalah terbuka terhadap pengalaman
baru, independen terhadap bentuk otoritas tradisional dan percaya terhadap ilmu
pengetahuan. Jika kita lihat, bahwa apa yang diinginkannya adalah sesuai dengan pribadi dan
pola hidup masyarakat kapitalis. Intinya, apa yang dimaksud dengan modernisasi adalah juga
nilai – nilai kapitalis itu sendiri, yaitu mengejar kemajuan, konsumsi tinggi, efisiensi,
ekonomi uang dan lain –lain (Budiman Arif, 2000).

1.5.7 Kemiskinan Kultural
Dalam kasus ini, budaya diidentifikasikan sebagai faktor penyebab terjadinya
kemiskinan tersebut. Sangat banyak pendapat yang berkenaan dengan kemiskinan budaya.
Hal mana merupakan konsekwensi logis dan fakta, bahwa membivarakan budaya
sesungguhnya kita telah memasuki wilayah dengan unsur – unsur yang sangat sensitif dan
sangat berpeluang menimbulkan polemik (Matias Siagian, 2012: 57).
Sebagai mahluk hidup paling sempurna, yang dikaruniai akal atau pikiran, perasaan
dan kehendak, manusia semestinya tau apa ang terbaik bagi dirinya. Manusia juga semestinya
senantiasa melakukan ikhtiar dalam rangka mewujudkan hal – hal terbaik bagi dirinya.
Bahkan secara operasional semestinyalah manusia senantiasa melakukan apa yang terbaik
bagi dirinya. Namun fakta sering berkata lain (Matias Siagian, 2012: 57).
Namun demikian, tentu ada satu kepastian, bahwa semua orang menginginkan hidup
yang baik, layak dan sejahtera. Sementara itu budaya dengan segala faktor – faktor yang
terkait disana justru akumulasi dari berbagai unsur yang kehadirannya justru bersifat kontra
produktif dengan upaya mempertahankan hidup (Matias Siagian, 2012: 58).

24
Universitas Sumatera Utara

Sangat sulit jika kita berkata, bahwa seseorang atau sekelompok orang tertentu
dengan cara hidup tertentu sebagai unsur esensial dari budayanya justru menjadi penghambat
dalam proses dan upaya pencapaian kesejahteraan. Masalahnya, yang dikembangkan secara
berkelanjutan dan dinamis dalam

rangka mempertahankan dan memperbaiki kehidupan

manusia dilingkungan budaya itu (Matias Siagian, 2012: 58).
Jika dianalisis semua unsur yang ada dalam budaya tersebut ada kalanya
menghasilkan suatu konklusi bahwa unsur – unsur dari budaya tersebut sepertinya sering
justru tidak atau kurang mendukung keberhasilan hhidup manusia. Seperti misalnya, terlihat
dari ethos kerja yang rendah, yang pada gilirannya menghambat manusia itu mengembangkan
kehidupan. Budaya dapat justru menjadu suatu beban bagi mereka, sehingga mereka sering
melakukan kegiatan yang mengindikasikan bahwa mereka justru menjadi hamba dari budaya
itu sendiri (Myrdal dalam Matius Siagian,2012: 58).
Dalam kasus kemiskinan yang ditimbulkan budaya masyarakat, biasanya kemiskinan
itu kurang disadari sebagai suatu masalah. Sebaliknya justru masyarakat yang melihat dan
mengetahui kondisi hidup merekalah yang lebih menyadari keberadaan kemiskinan mereka.
Hal ini identik dengan negara – negara di dunia ini, dimana eksistensi kemiskinan yang
terjadi pada negara – negara miskin pada awalnya disadari dan diangkat oleh negara – negara
kaya atau setidaknya negara – negara yang tidak tergolong masyarakat miskin. Bahkan
negara – negara kayalah yang lebih sering mempersoalkan kemiskinan yang terjadi di negara
– negara miskin (Matius Siagian, 2012: 58)
Harus diakui tidak mudah untuk memahami budaya masyarakat dilingkungan tertentu.
Sebagai konsekwensinya, meskipun banyak ide – ide tentang kemiskinan, termasuk penyebab
dari kemiskinan tersebut, namun kemiskinan justru tetap eksis, bahkan tumbuh dan
berkembang. Banyak pembicara yang sering mengeluarkan pernyataan tentang kemiskina,

25
Universitas Sumatera Utara

namun sesungguhnya mereka justru kurang memahami esensi dari pada kemiskinan tersebut
(Matius Siagian, 2012: 59).

1.6 Defenisi Konsep
Konsep merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan secara abstrak
mengenai kejadian serta keadaan, dimana kelompok atau individu yang menjadi pusat
perhatian (Singarimbun,1995). Untuk menyederhanakan, membatasi dan menggambarkan
fenomena yang hendak diteliti secara tepat, maka konsep – konsep yang digunakan dalam
penelitian didefenisikan secara operasional. Adapun defenisi konsep yang terdapat di dalam
penelitian ini yaitu :
1. Pengaruh merupakan keadaan yang terjadi oleh sebuah sebab. Pengaruh dalam
penelitian ini merupakan sebuah kesimpulan dari fenomena sosial yang akan di
teliti. Dalam hal ini alih fungsi lahan dikatakan sebagai sebuah sebab yang
nantinya akan menimbulkan pengaruh dalam aspek beberapa aspek kahidupan
masyarakat.
2. Pengalihan Fungsi Lahan yang dimaksud dalam penelitian ini tidak hanya terfokus
pada jenis tanaman yang diganti dari kemenyan menjadi eccalyptus melainkan
perpindahan kepemilikan lahan yang tadinya dianggap sebagai milik masyarakat
adat, setelah terkenan konsesi, maka hutan tersebut menjadi milik negara yang
dikelola menjadi hutan tanaman industri milik TPL
3. Tingkat Kemiskinan dalam penelitian ini di ukur berdasarkan in dikator – indikator
tertentu. Seperti luas rumah, jenis makanan yang dikonsmsi, pendapatan,
pengeluaran, kepemilikan tempat pembuangan air besar, sumber air bersih, jenis
dinding dan lantai tempat tinggal serta pendidikan.

26
Universitas Sumatera Utara

4.Masyarakat adat merupakn kelompok masyarakat yang tinggal dalam sebuah
wilayah yang tidak luas, dimana mereka sejak lahir sampai tumbuh menjadi sebuah
kesatuan dalam masyarakat tinggal dalam daerah tersebut. Mereka mempelajari
norma, aturan dan hukum yang diwariskan nenek moyang mereka untuk menjaga
dan melestarikan tempat tinggal mereka.
1.7 Operasional Variabel
1.7.1 Bagan Operasioanal Variabel
Untuk memudahkan pemahaman relasi antar variabel dalam penelitian ini, maka dapat
dilihat pada bagan operasional variabel sebagai berikut :
BAGAN 1.1
Operasional Variabel
Variabel X

Variabel Y

Konversi Lahan

Tingkat Kemiskinan
Masyarakat Adat
Konversi lahan dari hutan kemenyan milik
Tingakat

masyarakat adat menjadi HTI milik TPL

Kemiskinan

Di

ukur

berdasarkan 14 kriteria masyarakat

-Kegunaan Lahan

miskin berdasarkan data BPS yaitu:

-Kepemilikan lahan

-Luas Rumah

-Waktu Penebangan

-Lantai

-Kerusakan Lingkungan

-Dinding

-Upaya Mempertahankan

-Sumber Air

Lahan

-Alat Penerang



-Kepemilikan TPAB
-Bahan Bakar
-Konsumsi Makanan
-Jumlah Makan Dalam Sehari
-Pendapatan
-Pengeluaran
-Konsumsi Pakaian
-Tempat Memeriksa kesehatan
-Pendidikan

27
Universitas Sumatera Utara

1.7.2 Defenisi Operasional Variabel
Defenisi operasional merupakan suatu penjelasan makna dari karakteristik variabel
penelitian, agar dapat diamati, diuji dan ditentukan kebenarannya oleh orang lain (Young,
dalam Sarwono2006:28). Defenisi operasional dari variabel – variabel dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut :
1. Konversi Lahan(X)
Konversi lahan adalah variabel independen dalam penelitian ini. Variabel independen
merupakan variabel stimulus atau variabel yang mempengaruhi variabel lain. Adapun
indikator pada variabel ini yaitu “Konversi lahan dari hutan

kemenyan milik

masyarakat adat, menjadi HTI milik perusahaan TPL”. Faktor – faktor atau unsur –

unsur yang terdapat pada variabel ini antara lain :
a. Modernisasi, yaitu kemajuan ilmu pengetahuan dan tehnologi yang memudahkan
masyarakat dalam memenuhi kebutuhannya sesuai perkembangan jaman
b. Perusahaan, yaitu lapangan pekerjaan baru yang berbentuk padat modal
c. Hutan, yaitu sumber daya alam yang menyediakan berbagai kebutuhan dalam
pemenuhan kebutuhan masyarakat
d. Kebijakan pemerintah, yaitu hukum atau undang – undang yang ditetapkan pemerintah
yang terkait dengan pengalihan fungsi lahan.
2. Tingkat Kemiskinan Masyarakat Adat (Y)
Tingkat kemiskinan masyarakat adat adalah variabel dependen dalam penelitian ini.
Variabel Dependen merupakan variabel yang memberikan sikap/ respon jika dihubungkan
dengan variabel bebas atau variabel yang diamati dan diukur untuk menentukan pengaruh

28
Universitas Sumatera Utara

yang disebabkan oleh variabel independen. Adapun indikator pada variabel ini, yaitu:
Ukuran kemiskinan menurut data BPS” yang meliputi:
1. Luas lantai bangunan tempat tinggal kurang dari 8m2 perorang.
2. Jeni

Dokumen yang terkait

Modal Sosial Komunitas Petani Kemenyan Dalam Pelestarian Hutan Kemenyan Di Desa Pandumaan, Kecamatan Pollung, Kabupaten Humbang Hasundutan

0 53 123

Respon Masyarakat Desa Sitio Ii Kecamatan Lintongnihuta Kabupaten Humbang Hasundutan Terhadap Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Masyarakat Oleh Rumah Sakit Umum Daerah Doloksanggul

2 59 107

Performansi Hutan Kemasyarakatan (Studi kasus: Hutan Kemenyan di Kecamatan Pollung, Kabupaten Humbang Hasundutan)

1 56 81

Pengaruh Pengalihan Fungsi Hutan Terhadap Tingkat Kemiskinan Masyarakat Adat (Studi Kasus di Desa Pandumaan, kecamatan Pollung, Kabupaten Humbang Hasundutan)

0 14 113

Pengaruh Pengalihan Fungsi Hutan Terhadap Tingkat Kemiskinan Masyarakat Adat (Studi Kasus di Desa Pandumaan, kecamatan Pollung, Kabupaten Humbang Hasundutan)

0 0 10

Pengaruh Pengalihan Fungsi Hutan Terhadap Tingkat Kemiskinan Masyarakat Adat (Studi Kasus di Desa Pandumaan, kecamatan Pollung, Kabupaten Humbang Hasundutan)

0 0 1

Pengaruh Pengalihan Fungsi Hutan Terhadap Tingkat Kemiskinan Masyarakat Adat (Studi Kasus di Desa Pandumaan, kecamatan Pollung, Kabupaten Humbang Hasundutan)

0 0 10

Pengaruh Pengalihan Fungsi Hutan Terhadap Tingkat Kemiskinan Masyarakat Adat (Studi Kasus di Desa Pandumaan, kecamatan Pollung, Kabupaten Humbang Hasundutan) Chapter III IV

0 0 44

Pengaruh Pengalihan Fungsi Hutan Terhadap Tingkat Kemiskinan Masyarakat Adat (Studi Kasus di Desa Pandumaan, kecamatan Pollung, Kabupaten Humbang Hasundutan)

0 0 2

Pengaruh Pengalihan Fungsi Hutan Terhadap Tingkat Kemiskinan Masyarakat Adat (Studi Kasus di Desa Pandumaan, kecamatan Pollung, Kabupaten Humbang Hasundutan)

0 0 16