Budaya Sowan Kyai Sebuah Strategi dalam
BUDAYA SOWAN KYAI, SEBUAH STRATEGI DALAM
KOMUNIKASI POLITIK
(Komunikasi Politik Calon Legislatif di Jawa Timur)
Muhammad Alfien Zuliansyah
Universitas Brawijaya
Abstrak
Salah satu perilaku komunikasi yang ada pada masyarakat Jawa Timur
adalah Sowan Kyai. Perilaku ini merupakan perilaku komunikasi yang penuh
dengan nilai dan norma spiritual. Nilai dan norma yang ada dalam budaya
masyarakat Islam-Jawa Timur pada akhirnya digunakan oleh para aktor politik
untuk mendapat dukungan dan kepercayaan masyarakatnya. Penelitian ini
mencoba untuk menggali pemaknaan dan pelaksanaan para pelaku Sowan Kyai
menjelang Pemilu sebagai bentuk perilaku Komunikasi Politik. Terdapat
perbedaan pemaknaan oleh para pelaku sehingga memunculkan hubungan
spiritual dan hubungan assimetris dalam perilakunya.
Key word : Sowan, Islam-Jawa, Komunikasi Politik
1. LATAR BELAKANG
Sowan, merupakan tradisi yang tetap terjaga selama beribu-ribu tahun dan
dilakukan oleh masyarakat Indonesia khususnya Jawa. Sejarah perkembangan religi
masyarakat Jawa, telah dimulai sejak zaman prasejarah dan masyarakat Jawa
memercayai adanya kekuatan gaib selain dirinya (Herusatoto, 2008, h.156). Secara
epistimologi, Sowan berasal dari bahasa Jawa yang berarti berkunjung (KBBI, 2014).
Berkunjung memberikan makna bahwa seseorang menjalin dan menjaga ikatan
antarmanusia, yang pada praktiknya untuk mewujudkan harmoni dan keseimbangan
hubungan antarumat manusia yang lebih baik. Sebagai tradisi yang telah dilakukan
turun-temurun oleh masyarakat Jawa, Sowan memiliki dimensi tersendiri dalam ilmu
komunikasi. Komunikasi yang memiliki nilai spiritual dalam hubungan antar manusia ini
telah ada bahkan sebelum agama Hindu-Budha masuk dalam wilayah Nusantara.
Sowan dalam budaya Islam adalah tradisi santri berkunjung kepada kyai dengan
harapan mendapatkan petunjuk atas sebuah permasalahan yang diajukannya, atau
mengharapkan doa dari kyai atau sekedar bertatap muka silaturahim saja (Ubudiyah,
2012). Padahal Silaturahim merupakan suatu istilah dalam Islam yang bermakna
menjaga hubungan antarsesama manusia (Abdurrahman, 2009, h.1). Dua istilah yakni
Sowan dan Silaturrahmi, akhirnya menjadi satu pemaknaan dalam masyarakat Jawa.
Hadirnya sebuah pesantren karena adanya pelaku Santri dalam pengertian Sowan,
membuat dua istilah ini menjadi satu pemaknaan.
Hubungan antar manusia dalam tradisi Sowan Kyai, tentu tidak akan lepas dari
kajian Ilmu Komunikasi. Silaturrahmi sebagai perilaku yang ada dalam ajaran Islam,
memerintahkan umatnya untuk tetap menjaga hubungan dengan sesama manusia dengan
janji pahala yang melimpah (Abdurrahman, 2009, h.1). Dalam hubungan sesama
manusia tersebut tentu terdapat proses interaksi dimana komunikasi memiliki fungsi
sosial (Mulyana, 2007, h.6). Adanya interaksi dan hubungan sosial dalam perilaku
Sowan Kyai, membuat perilaku Sowan Kyai memiliki dimensi komunikasi karena
adanya proses interaksi. Ilmu yang berasal dari perspektif barat ini, tentu belum
menjelaskan bagaimana dan mengapa Sowan (yang dalam prakteknya terjadi antara
orang yang dituakan dengan murid atau masyarakat lain) mampu terjadi dan terjaga
dalam masyarakat Jawa hingga saat ini.
Chu dalam Hair (2014, h.3) menjelaskan, “Teori komunikasi barat bersifat
individualistik. Hal ini bertolak belakang dengan perilaku orang-orang timur yang
cenderung kolektif.“. Adanya penjelasan tersebut, membuat perspektif teori komunikasi
barat (Western Communication Theory) tentu saja bisa berubah karena belum mampu
menjelaskan praktek komunikasi yang ada dalam kehidupan masyarakat timur khususnya
Jawa. Hadisuprapto (2010, h.66) menjelaskan bahwa konsep dan penunjukkan kasih
sayang dalam budaya Jawa berdasarkan norma dari sebuah interaksi yang tidak ada
dalam masyarakat barat, sebagai kepercayaan yang diinternalisasi melalui kasih sayang
dan interkasi satu sama lain. Adanya ikatan norma dalam hubungan interaksi sesama
manusia dalam kehidupan masyarakat Jawa tersebut, tentu belum dijelaskan dalam
konsep teori komunikasi dengan perspektif masyarakat barat.
Indonesia, yang mengalami transisi pemerintahan mulai dari Orde Lama, Orde
Baru, Reformasi dan Revolusi ini, tentu membuat banyak perubahan makna pada
perilaku berbudi luhur khusunya Sowan dalam rangka mendapatkan tujuan yang
diinginkan bagi para calon penguasa. Astuti5 (2014) mengatakan, “Mohon doa dari kiai
kharismatik sebelum bertarung di Pileg dan Pilpres condong menjadi tradisi tahun
politik di Indonesia.” Berdasarkan pengamatan pra penelitian yang dilakukan penulis,
setiap penguasa yang ada di Indonesia ini selalu memiliki kyai yang dekat bahkan
“diSowani” oleh para penguasa tersebut.
Tabel. 1
Daftar Kyai yang Dekat dan Disowani Oleh Para Calon Pemimpin
Presiden
Soekarno
Soeharto
B.J Habibie
Abdulrahman Wahid
Susilo Bambang Yudhoyono
Kyai yang dekat
Kyai Hasyim Asyari
K.H Muslim Rifai Imampurno
K.H Kosim Nurseha
Kyai Bustami
K.H Abdullah Faqih
K.H Aziz Mansyur
Sumber : Dikutip dari berbagai sumber
Data yang dikumpulkan oleh penulis dalam tabel diatas, tentu menjadi fenomena
menarik bagi penulis dalam kajian ilmiah. Fenomena komunikasi politik yang dilakukan
oleh para calon pemimpin dalam perilaku Sowan kepada Kyai, pada akhirnya menjadi
tradisi wajib ketika menjelang Pemilu. Perilaku politik dipengaruhi oleh faktor budaya
yang dianut serta proses komunikasi politik yang dilaluinya (Muhtadi, 2008, h.21).
Untuk tujuan apa hal tersebut dilakukan dan apa yang bisa ditimbulkan dan diharapkan
pengaruhnya menjadi pertanyaan yang selalu muncul ketika melihat fenomena tradisi
komunikasi politik ini masuk dalam kajian cultural studies.
Sowan Kyai yang dilakukan oleh orang-orang yang mengikuti pertarungan
Pemilu inilah yang menjadi fokus penelitian ini. Berdasarkan pengamatan peneliti, para
akademisi dan pakar komunikasi politik berargument bahwa Sowan pada Kyai sudah
menjadi tradisi Komunikasi Politik yang lama dilakukan menjelang Pemilu. Namun,
wacana ini hanya sekedar argument dan pernyataan pada media saja, tanpa ada kajian
lebih mendalam tentang perilaku komunikasi ini. Pada akhirnya tradisi ini hanya sekedar
tradisi dan hal biasa, yang menjadi rahasia umum dimasyarakat Indonesia. Hingga saat
ini, peneliti belum menemukan adanya penelitian komunikasi politik yang membahas
mengenai pelaksaan Sowan pada Kyai menjelang Pemilu. Berdasarkan uraian dari latar
belakang, maka rumusan masalah dari penelitian ini adalah Bagaimana tradisi Sowan
Kyai dalam komunikasi politik digunakan dan dimaknai oleh calon pemimpin (Calon
Anggota Legislatif) di Jawa Timur?
2. TINJAUAN PUSTAKA
Sowan Kyai sebagai perilaku komunikasi masyarakat Jawa yang tetap terjaga
hingga saat ini, nyatanya memiliki sejarah dan perkembangan yang panjang. Sowan pada
mulanya merupakan perilaku berkunjung bagi masyarakat Jawa kepada seseorang yang
dianggap lebih (dalam hal ini dukun) dengan budaya animisme-dinamismenya. Baru
setelah agama Budha-Hindu masuk, perilaku ini berubah menjadi perilaku berkunjung
kepada resi-resi di biara yang juga dilakukan oleh para raja-raja terdahulu (Lombard,
2005, 64). Ketika agama Islam masuk, maka perilaku ini juga mengalami perubahan
menjadi berkunjung kepada Kyai yang pada saat itu merupakan tokoh dan sosok yang
berpengaruh bagi perkembangan Islam di Jawa (Bashori, 2014). Hal tersebut membuat
istilah Sowan ini mengalami penambahan menjadi Sowan Kyai, karena perilaku
berkunjung yang semula kepada dukun/resi, menjadi kepada Kyai. Pengaruh Kyai yang
begitu besar dengan sebuah lembaga Pesantren yang dipimpinnya, membuat perilaku ini
juga menjadi tradisi para Santri yang ingin memohon petunjuk kepada Kyai nya.
Sekalipun Sowan merupakan budaya masyarakat Jawa, ternyata Islam melihat
budaya ini sebagai suatu perilaku yang juga diperintahkan dengan nama Silaturrahim.
Said (2014) menyatakan bahwa Sowan pada dasarnya berasal dari sabda nabi
Muhammad Shalallahu alaihiwassalam yang berbunyi :
“Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia
bersilaturahim” [H.R. Bukhari dari Abu Huraira]
Perintah tersebut merupakan sebuah perintah wajib agar setiap muslim
menyambung tali silaturrahmi dengan sesama manusianya. Hal ini pun juga dipertegas
dalam Al-Qur’an surah An-Nisa ayat 36
Sembahlah Allah dan janganlah kalian mempersekutukan-Nya dengan sesuatu
apa pun. Serta berbuat baiklah kepada kedua orangtua, karib-kerabat, anak-anak
yatim, orang-orang miskin, tetangga dekat, tetangga jauh, teman, musafir dan
hamba sahaya yang kalian miliki. Sungguh Allah tidak menyukai orang yang
sombong dan membanggakan diri (Q.S An-Nisa’:36)
Adanya perintah dalam Islam yang sesuai dengan perilaku masyarakat Jawa,
membuat perilaku Sowan Kyai mengalami sebuah akulturasi dalam perkembangannya.
Hal tersebut terjadi karena adanya pandangan masyarakat Jawa yang melihat kehidupan
orang-orang Islam menjadi lebih baik, sehingga mereka berbondong-bondong masuk
Islam dan melakukan perintah ini pula. Didukung dengan sosok Kyai yang kharismatik,
berilmu tinggi, dan dianggap sebagai seseorang yang lebih dekat dengan Tuhan pula,
Sowan Kyai menjadi sebuah budaya yang melekat kuat bagi masyarakat Islam-Jawa.
Sehingga Kyai dengan segala kelebihannya, sangat berpengaruh terhadap kehidupan
sosial-politik masyarakat Jawa.
Pengaruh yang begitu besar akan sosok Kyai terhadap masyarakat Jawa, tentu
menjadi perluang besar bagi dunia politik di Indonesia. Bahkan, kondisi politik pun juga
dipengaruhi oleh sosok Kyai ini. Terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia
setelah kemerdekaan 17 Agustus 1945, memunculkan banyak aktor politik-aktor politik
handal yang pada prinsipnya menggunakan segala cara untuk mendapatkan dukungan,
simpati, dan kepercayaan dari masyarakatnya. Hal ini pun juga tak lepas dari tradisi
Sowan Kyai yang juga memiliki esensi tersendiri bagi masyarakat Indonesia khususnya
Jawa. Keterlibatan para Kyai dalam proses pemilihan Kepala Daerah secara langsung
tidak bisa dihindarkan, karena mereka adalah potensi lokal yang dapat memberikan
kontribusi atau memberi warna tersendiri bagi perpolitikan (Wafa, 2012, h.64).
Komunikasi Politik sebagai bagian terpenting dalam perkembangan Politik suatu
negara, tentu memunculkan suatu perilaku-perilaku yang dilakukan oleh para pelaku
politik didalamnya. Sumarno dalam Kasyfurrahman (2009, h.28) mengatakan bahwa
Komunikasi politik adalah suatu sikap dan perilaku politik yang terintegrasi ke dalam
suatu sistem politik dengan menggunakan simbol-simbol yang berarti. Dengan
menggunakan simbol-simbol dan perilaku yang terintegrasi tersebut, juga memunculkan
suatu budaya dan tradisi yang dianggap efektif dan efisien untuk mendapatkan dukungan
dan kepercayaan masyarakat. Sedangkan Susanto dalam Muhtadi (2008, h.30)
mendefinisikan Komunikasi Politik sebagai komunikasi yang diarahkan kepada
pencapaian suatu pengaruh sedemikian rupa, sehingga dapat mengikat semua warganya.
Sowan sebagai budaya yang ada dimasyarakat, dengan besarnya pengaruh kyai pada
masyarakat Indonesia khususnya Jawa, membuat budaya ini juga digunakan para pelaku
politik untuk mendapatkan dukungan tersebut. Sehingga, Sowan dalam perilaku politik
juga menjadi tradisi yang terus dilakukan hingga saat ini. Lebih lanjut Kasyfurrahman
(2009, h.28) menjelaskan bahwa komunikasi politik pada dasarnya merupakan bagian
dari, dan dipengaruhi oleh, budaya politik suatu masyarakat. Pada saat yang sama,
komunikasi politik juga dapat melahirkan, memelihara dan mewariskan budaya politik.
Sehingga dengan memperhatikan struktur pesan serta pola-pola komunikasi politik yang
diperankan masyarakat, maka dapat dianalisis budaya poltik suatu masyarakat
(Kasyurrahman, 2009, h.30).
Budaya yang ada dalam komunikasi politik tersebut, tentu tidak akan lepas dari
suatu tujuan untuk mendapatkan simpati, kepercayaan, dan dukungan masyarakat.
Manajemen Komunikasi Politik sebagai komponen penting, tentu juga diharapkan
membentuk kesan yang akan muncul pada masyarakat. Perilaku Sowan Kyai yang
dilakukan para calon pemimpin untuk maju dalam pemilu, merupakan sebuah simbol
yang semata-mata untuk memperoleh kesan dimasyarakat bahwa sosok tersebut telah
diakui oleh Kyai sebagai sosok yang amanah. Banyak orang di Indonesia (terutama
pejabat), yang memandang kekuasaan sebagai riil, nyata, objektif, bagaikan barang nyata
yang bisa dipindah-pindah, atau diwariskan, seperti dalam kekuasaan raja-raja di Jawa,
sehingga banyak orang memperebutkan kekuasaan tersebut dengan berbagai cara
(Mulyana, 2013, h.7).
3. METODE
Penelitian ini menggunakan paradigma Kritis dengan metodologi Etnografi
Komunikasi. Subjek penelitian merupakan para Calon Legislatif yang melakukan Sowan
Kyai sebelum maju dalam Pemilu. Fokus dari penelitian ini adalah pemaknaan perilaku
Sowan Kyai menjelang Pemilu dari masing-masing pelaku. Cakupan penelitian berada
pada wilayah Jawa Timur karena organisasi Islam terbesar di Indonesia muncul pada
daerah ini. Subjek penelitian dipilih menggunakan teknik purposive sampling dan
bersifat snowball sampling. Teknik pengumpulan data menggunakan wawancara
mendalam. Instrumen dalam penelitian ini berupa recorder untuk wawancara, catatan
lapangan, dan beberapa literatur pendukung terkait penelitian. Teknik keabsahan data
dalam penelitian ini menggunakan Trustworthiness. Sedangkan Teknik analisis data
menggunakan model analisis Spradley.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil dari penelitian Sowan Kyai menjelang Pemilu menunjukkan adanya perbedaan
pemaknaan para Caleg dengan para Kyai yang di Sowani. Para Caleg memaknai perilaku
ini sebagai bentuk pencarian dukungan karena adanya pengaruh sosok Kyai yang besar
di masyarakat. Dalam praktiknya, Sowan Kyai yang digunakan untuk mendapatkan
dukungan dilakukan dengan berbagai etika dan tata cara layaknya seorang Santri.
Sehingga dalam Sowan Kyai ini, perilaku untuk mendapat dukungan berjalan bersama
dengan aturan, nilai dan norma yang ada didalamnya(dalam hal ini Islam). Terdapat
berbagai aspek pemaknaan yang ada dalam pemaknaan para Caleg ini, yakni adanya
sebuah ikatan budaya dimasyarakatnya, sebuah penentu kemenangan, kepercayaankepercayaan yang bersifat ketokohan dan mistisme Islam, sebagai modal untuk
kampanye dan perlawanan black campaign, dan sebagai persiapan mental dan spiritual.
Nilai,norma, dan aturan-aturan dalam perilaku Sowan Kyai ini menunjukkan adanya
sebuah hubungan assimetris bagi para pelakunya. Sehingga dalam praktiknya, terdapat
sebuah hubungan yang lebih tinggi dan lebih rendah.
Para Kyai sebagai sosok yang lebih tinggi dan diagungkan, memiliki pemaknaan yang
berbeda dalam perilaku Sowan Kyai ini. Para Kyai memaknai perilaku ini sebagai
sebuah perilaku ibadah karena adanya nilai-nilai yang juga diperintahkan dalam ajaran
Islam. Kyai sebagai seseorang yang ilmu agamanya lebih tinggi dari masyarakatnya,
tentu akan berperilaku dengan niat untuk menjalankan nilai-nilai agamanya. Sowan Kyai
yang diidasarkan pada nilai-nilai Islam, tetap dijalankan oleh para Kyai meskipun
terdapat kepentingan-kepentingan politik didalamnya. Kepentingan-kepentingan politik
yang ada dalam Sowan Kyai menjelang Pemilu tersebut dihiraukan dan nilai-nilai agama
dijadikan sebagai acuan dalam berperilaku. Sehingga dalam perilaku ini terdapat sebuah
hubungan spiritual sekalipun untuk kepentingan politik.
Komunikasi Politik sebagai sebuah perilaku komunikasi untuk tujuan-tujuan politik,
pada akhirnya sangat dipengaruhi oleh budaya yang ada dalam masyarakatnya. Islam
sebagai agama yang berpengaruh bagi masyarakat Jawa, juga mempengaruhi perilakuperilaku masyarakatnya terutama Sowan Kyai. Para Calon Legislatif di Jawa Timur
sebagai pelaku, memaknai perilaku Sowan Kyai ini sebagai bentuk pencarian dukungan
sekaligus mencari doa dan keberkahan dari Kyai.
5. SIMPULAN
Sowan Kyai sebagai perilaku komunikasi masyarakaat Jawa, memiliki perbedaan
pemaknaan dari para pelaku Sowan Kyai ketika dilakukan pada masa Pemilu (yakni para
calon pemimpin dan para Kyai). Para Calon Pemimpin memaknai perilaku ini sebagai
suatu bentuk pencarian dukungan, dengan tetap mengakomodasi aspek etika, norma, dan
nilai-nilai spiritual dalam Islam dan Jawa. Sedangkan para Kyai memaknai perilaku ini
sebagai bentuk perilaku ibadah, dengan dasar ajaran Islam untuk menyambung tali
silaturrahmi. Dari hasil penelitian Sowan Kyai menjelang Pemilu ini, menghasilkan dua
proposisi tentang konsep Sowan Kyai menjelang Pemilu. Proposisi pertama, terdapat
hubungan spiritual pada perilaku Sowan Kyai dalam konteks Komunikasi Politik.
Sedangkan proposisi kedua, terdapat dimensi hubungan assimetris antara seseorang
dengan orang yang ilmu spiritualnya lebih, sehingga memunculkan simbol-simbol
tertentu dalam perilaku Sowan Kyai menjelang Pemilu ini. Seseorang yang
memposisikan lebih rendah dari orang yang lebih tua dan ilmu spiritualnya lebih,
menjadi suatu dimensi yang kuat dalam perilaku Sowan Kyai ini.
Daftar Pustaka
Abdurrahman, Syaikh Khalid bin Husain bin. (2009). Silaturahim, Keutamaan, dan Anjuran
Melaksanakannya . (M.I Ghazali, Terjemahan). Indonesia : Islamhouse
Al – Qur’an Terjemah. (2005). Jakarta : Al – Huda
Astuti. (2014, 24 April). Minta Doa Kiai, Kalau Betul – Betul “Nyalon” Bismillah. Jakarta.
Diakses pada Senin 11 Agustus 2014, dari http://www.nefosnews.com/post/beritaanalisa/minta-doa-kiai-kalau-betul-betul-nyalon-bismillah
Hadisuprapto, P. (2010). Attachment and Deliquency in Javanese Society. Universitas
Diponegoro Semarang, 66
Hair, A. (2014). Taqqiyah, Strategi Komunikasi dalam Penghindaran Isolasi (Skripsi,
Universitas Brawijaya, 2014)
Herusatoto, B. (2008). Simbolisme Jawa . Yogyakarta : Ombak
Kamus Besar Bahasa Indonesia . (2014). Jakarta : Indonesia, tersedia dalam :
http://kbbi.web.id/sowan
Kasyfurrahman, Z. (2009). Komunikasi Politik Kyai (Skripsi, Universitas Islam Negeri
Malang, 2009)
Lombard, D. (2008). Nusa Jawa:Silang Budaya (Bagian III:Warisan Kerajaan – Kerajaan
Konsentris). Jakarta : Gramedia
Muhtadi, A. (2008). Komunikasi Politik Indonesia : Dinamika Islam Politik Pasca Orde
Baru. Bandung : Remaja Rosdakarya
Mulyana, D. (2007). Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar . Bandung : Remaja Rosdakarya
Mulyana, Deddy. (2013). Komunikasi Politik, Politik Komunikasi. Bandung : Remaja
Rosdakarya
Ubudiyah. (2012). Sowan dan Mencium Tangan Kyai. Diakses pada Rabu 17 Juli 2014, dari
http://m.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,10-id,39396-lang,id-c,ubudiyaht,Sowan+dan+Mencium+Tangan+Kyai-.phpx
Wafa, M. (2013). Peran Politik Kyai di Kabupaten Rembang Dalam Pemilu Tahun 19942009. Journal of Indonesian History Vol.1. Universitas Negeri Semarang, 1
KOMUNIKASI POLITIK
(Komunikasi Politik Calon Legislatif di Jawa Timur)
Muhammad Alfien Zuliansyah
Universitas Brawijaya
Abstrak
Salah satu perilaku komunikasi yang ada pada masyarakat Jawa Timur
adalah Sowan Kyai. Perilaku ini merupakan perilaku komunikasi yang penuh
dengan nilai dan norma spiritual. Nilai dan norma yang ada dalam budaya
masyarakat Islam-Jawa Timur pada akhirnya digunakan oleh para aktor politik
untuk mendapat dukungan dan kepercayaan masyarakatnya. Penelitian ini
mencoba untuk menggali pemaknaan dan pelaksanaan para pelaku Sowan Kyai
menjelang Pemilu sebagai bentuk perilaku Komunikasi Politik. Terdapat
perbedaan pemaknaan oleh para pelaku sehingga memunculkan hubungan
spiritual dan hubungan assimetris dalam perilakunya.
Key word : Sowan, Islam-Jawa, Komunikasi Politik
1. LATAR BELAKANG
Sowan, merupakan tradisi yang tetap terjaga selama beribu-ribu tahun dan
dilakukan oleh masyarakat Indonesia khususnya Jawa. Sejarah perkembangan religi
masyarakat Jawa, telah dimulai sejak zaman prasejarah dan masyarakat Jawa
memercayai adanya kekuatan gaib selain dirinya (Herusatoto, 2008, h.156). Secara
epistimologi, Sowan berasal dari bahasa Jawa yang berarti berkunjung (KBBI, 2014).
Berkunjung memberikan makna bahwa seseorang menjalin dan menjaga ikatan
antarmanusia, yang pada praktiknya untuk mewujudkan harmoni dan keseimbangan
hubungan antarumat manusia yang lebih baik. Sebagai tradisi yang telah dilakukan
turun-temurun oleh masyarakat Jawa, Sowan memiliki dimensi tersendiri dalam ilmu
komunikasi. Komunikasi yang memiliki nilai spiritual dalam hubungan antar manusia ini
telah ada bahkan sebelum agama Hindu-Budha masuk dalam wilayah Nusantara.
Sowan dalam budaya Islam adalah tradisi santri berkunjung kepada kyai dengan
harapan mendapatkan petunjuk atas sebuah permasalahan yang diajukannya, atau
mengharapkan doa dari kyai atau sekedar bertatap muka silaturahim saja (Ubudiyah,
2012). Padahal Silaturahim merupakan suatu istilah dalam Islam yang bermakna
menjaga hubungan antarsesama manusia (Abdurrahman, 2009, h.1). Dua istilah yakni
Sowan dan Silaturrahmi, akhirnya menjadi satu pemaknaan dalam masyarakat Jawa.
Hadirnya sebuah pesantren karena adanya pelaku Santri dalam pengertian Sowan,
membuat dua istilah ini menjadi satu pemaknaan.
Hubungan antar manusia dalam tradisi Sowan Kyai, tentu tidak akan lepas dari
kajian Ilmu Komunikasi. Silaturrahmi sebagai perilaku yang ada dalam ajaran Islam,
memerintahkan umatnya untuk tetap menjaga hubungan dengan sesama manusia dengan
janji pahala yang melimpah (Abdurrahman, 2009, h.1). Dalam hubungan sesama
manusia tersebut tentu terdapat proses interaksi dimana komunikasi memiliki fungsi
sosial (Mulyana, 2007, h.6). Adanya interaksi dan hubungan sosial dalam perilaku
Sowan Kyai, membuat perilaku Sowan Kyai memiliki dimensi komunikasi karena
adanya proses interaksi. Ilmu yang berasal dari perspektif barat ini, tentu belum
menjelaskan bagaimana dan mengapa Sowan (yang dalam prakteknya terjadi antara
orang yang dituakan dengan murid atau masyarakat lain) mampu terjadi dan terjaga
dalam masyarakat Jawa hingga saat ini.
Chu dalam Hair (2014, h.3) menjelaskan, “Teori komunikasi barat bersifat
individualistik. Hal ini bertolak belakang dengan perilaku orang-orang timur yang
cenderung kolektif.“. Adanya penjelasan tersebut, membuat perspektif teori komunikasi
barat (Western Communication Theory) tentu saja bisa berubah karena belum mampu
menjelaskan praktek komunikasi yang ada dalam kehidupan masyarakat timur khususnya
Jawa. Hadisuprapto (2010, h.66) menjelaskan bahwa konsep dan penunjukkan kasih
sayang dalam budaya Jawa berdasarkan norma dari sebuah interaksi yang tidak ada
dalam masyarakat barat, sebagai kepercayaan yang diinternalisasi melalui kasih sayang
dan interkasi satu sama lain. Adanya ikatan norma dalam hubungan interaksi sesama
manusia dalam kehidupan masyarakat Jawa tersebut, tentu belum dijelaskan dalam
konsep teori komunikasi dengan perspektif masyarakat barat.
Indonesia, yang mengalami transisi pemerintahan mulai dari Orde Lama, Orde
Baru, Reformasi dan Revolusi ini, tentu membuat banyak perubahan makna pada
perilaku berbudi luhur khusunya Sowan dalam rangka mendapatkan tujuan yang
diinginkan bagi para calon penguasa. Astuti5 (2014) mengatakan, “Mohon doa dari kiai
kharismatik sebelum bertarung di Pileg dan Pilpres condong menjadi tradisi tahun
politik di Indonesia.” Berdasarkan pengamatan pra penelitian yang dilakukan penulis,
setiap penguasa yang ada di Indonesia ini selalu memiliki kyai yang dekat bahkan
“diSowani” oleh para penguasa tersebut.
Tabel. 1
Daftar Kyai yang Dekat dan Disowani Oleh Para Calon Pemimpin
Presiden
Soekarno
Soeharto
B.J Habibie
Abdulrahman Wahid
Susilo Bambang Yudhoyono
Kyai yang dekat
Kyai Hasyim Asyari
K.H Muslim Rifai Imampurno
K.H Kosim Nurseha
Kyai Bustami
K.H Abdullah Faqih
K.H Aziz Mansyur
Sumber : Dikutip dari berbagai sumber
Data yang dikumpulkan oleh penulis dalam tabel diatas, tentu menjadi fenomena
menarik bagi penulis dalam kajian ilmiah. Fenomena komunikasi politik yang dilakukan
oleh para calon pemimpin dalam perilaku Sowan kepada Kyai, pada akhirnya menjadi
tradisi wajib ketika menjelang Pemilu. Perilaku politik dipengaruhi oleh faktor budaya
yang dianut serta proses komunikasi politik yang dilaluinya (Muhtadi, 2008, h.21).
Untuk tujuan apa hal tersebut dilakukan dan apa yang bisa ditimbulkan dan diharapkan
pengaruhnya menjadi pertanyaan yang selalu muncul ketika melihat fenomena tradisi
komunikasi politik ini masuk dalam kajian cultural studies.
Sowan Kyai yang dilakukan oleh orang-orang yang mengikuti pertarungan
Pemilu inilah yang menjadi fokus penelitian ini. Berdasarkan pengamatan peneliti, para
akademisi dan pakar komunikasi politik berargument bahwa Sowan pada Kyai sudah
menjadi tradisi Komunikasi Politik yang lama dilakukan menjelang Pemilu. Namun,
wacana ini hanya sekedar argument dan pernyataan pada media saja, tanpa ada kajian
lebih mendalam tentang perilaku komunikasi ini. Pada akhirnya tradisi ini hanya sekedar
tradisi dan hal biasa, yang menjadi rahasia umum dimasyarakat Indonesia. Hingga saat
ini, peneliti belum menemukan adanya penelitian komunikasi politik yang membahas
mengenai pelaksaan Sowan pada Kyai menjelang Pemilu. Berdasarkan uraian dari latar
belakang, maka rumusan masalah dari penelitian ini adalah Bagaimana tradisi Sowan
Kyai dalam komunikasi politik digunakan dan dimaknai oleh calon pemimpin (Calon
Anggota Legislatif) di Jawa Timur?
2. TINJAUAN PUSTAKA
Sowan Kyai sebagai perilaku komunikasi masyarakat Jawa yang tetap terjaga
hingga saat ini, nyatanya memiliki sejarah dan perkembangan yang panjang. Sowan pada
mulanya merupakan perilaku berkunjung bagi masyarakat Jawa kepada seseorang yang
dianggap lebih (dalam hal ini dukun) dengan budaya animisme-dinamismenya. Baru
setelah agama Budha-Hindu masuk, perilaku ini berubah menjadi perilaku berkunjung
kepada resi-resi di biara yang juga dilakukan oleh para raja-raja terdahulu (Lombard,
2005, 64). Ketika agama Islam masuk, maka perilaku ini juga mengalami perubahan
menjadi berkunjung kepada Kyai yang pada saat itu merupakan tokoh dan sosok yang
berpengaruh bagi perkembangan Islam di Jawa (Bashori, 2014). Hal tersebut membuat
istilah Sowan ini mengalami penambahan menjadi Sowan Kyai, karena perilaku
berkunjung yang semula kepada dukun/resi, menjadi kepada Kyai. Pengaruh Kyai yang
begitu besar dengan sebuah lembaga Pesantren yang dipimpinnya, membuat perilaku ini
juga menjadi tradisi para Santri yang ingin memohon petunjuk kepada Kyai nya.
Sekalipun Sowan merupakan budaya masyarakat Jawa, ternyata Islam melihat
budaya ini sebagai suatu perilaku yang juga diperintahkan dengan nama Silaturrahim.
Said (2014) menyatakan bahwa Sowan pada dasarnya berasal dari sabda nabi
Muhammad Shalallahu alaihiwassalam yang berbunyi :
“Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia
bersilaturahim” [H.R. Bukhari dari Abu Huraira]
Perintah tersebut merupakan sebuah perintah wajib agar setiap muslim
menyambung tali silaturrahmi dengan sesama manusianya. Hal ini pun juga dipertegas
dalam Al-Qur’an surah An-Nisa ayat 36
Sembahlah Allah dan janganlah kalian mempersekutukan-Nya dengan sesuatu
apa pun. Serta berbuat baiklah kepada kedua orangtua, karib-kerabat, anak-anak
yatim, orang-orang miskin, tetangga dekat, tetangga jauh, teman, musafir dan
hamba sahaya yang kalian miliki. Sungguh Allah tidak menyukai orang yang
sombong dan membanggakan diri (Q.S An-Nisa’:36)
Adanya perintah dalam Islam yang sesuai dengan perilaku masyarakat Jawa,
membuat perilaku Sowan Kyai mengalami sebuah akulturasi dalam perkembangannya.
Hal tersebut terjadi karena adanya pandangan masyarakat Jawa yang melihat kehidupan
orang-orang Islam menjadi lebih baik, sehingga mereka berbondong-bondong masuk
Islam dan melakukan perintah ini pula. Didukung dengan sosok Kyai yang kharismatik,
berilmu tinggi, dan dianggap sebagai seseorang yang lebih dekat dengan Tuhan pula,
Sowan Kyai menjadi sebuah budaya yang melekat kuat bagi masyarakat Islam-Jawa.
Sehingga Kyai dengan segala kelebihannya, sangat berpengaruh terhadap kehidupan
sosial-politik masyarakat Jawa.
Pengaruh yang begitu besar akan sosok Kyai terhadap masyarakat Jawa, tentu
menjadi perluang besar bagi dunia politik di Indonesia. Bahkan, kondisi politik pun juga
dipengaruhi oleh sosok Kyai ini. Terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia
setelah kemerdekaan 17 Agustus 1945, memunculkan banyak aktor politik-aktor politik
handal yang pada prinsipnya menggunakan segala cara untuk mendapatkan dukungan,
simpati, dan kepercayaan dari masyarakatnya. Hal ini pun juga tak lepas dari tradisi
Sowan Kyai yang juga memiliki esensi tersendiri bagi masyarakat Indonesia khususnya
Jawa. Keterlibatan para Kyai dalam proses pemilihan Kepala Daerah secara langsung
tidak bisa dihindarkan, karena mereka adalah potensi lokal yang dapat memberikan
kontribusi atau memberi warna tersendiri bagi perpolitikan (Wafa, 2012, h.64).
Komunikasi Politik sebagai bagian terpenting dalam perkembangan Politik suatu
negara, tentu memunculkan suatu perilaku-perilaku yang dilakukan oleh para pelaku
politik didalamnya. Sumarno dalam Kasyfurrahman (2009, h.28) mengatakan bahwa
Komunikasi politik adalah suatu sikap dan perilaku politik yang terintegrasi ke dalam
suatu sistem politik dengan menggunakan simbol-simbol yang berarti. Dengan
menggunakan simbol-simbol dan perilaku yang terintegrasi tersebut, juga memunculkan
suatu budaya dan tradisi yang dianggap efektif dan efisien untuk mendapatkan dukungan
dan kepercayaan masyarakat. Sedangkan Susanto dalam Muhtadi (2008, h.30)
mendefinisikan Komunikasi Politik sebagai komunikasi yang diarahkan kepada
pencapaian suatu pengaruh sedemikian rupa, sehingga dapat mengikat semua warganya.
Sowan sebagai budaya yang ada dimasyarakat, dengan besarnya pengaruh kyai pada
masyarakat Indonesia khususnya Jawa, membuat budaya ini juga digunakan para pelaku
politik untuk mendapatkan dukungan tersebut. Sehingga, Sowan dalam perilaku politik
juga menjadi tradisi yang terus dilakukan hingga saat ini. Lebih lanjut Kasyfurrahman
(2009, h.28) menjelaskan bahwa komunikasi politik pada dasarnya merupakan bagian
dari, dan dipengaruhi oleh, budaya politik suatu masyarakat. Pada saat yang sama,
komunikasi politik juga dapat melahirkan, memelihara dan mewariskan budaya politik.
Sehingga dengan memperhatikan struktur pesan serta pola-pola komunikasi politik yang
diperankan masyarakat, maka dapat dianalisis budaya poltik suatu masyarakat
(Kasyurrahman, 2009, h.30).
Budaya yang ada dalam komunikasi politik tersebut, tentu tidak akan lepas dari
suatu tujuan untuk mendapatkan simpati, kepercayaan, dan dukungan masyarakat.
Manajemen Komunikasi Politik sebagai komponen penting, tentu juga diharapkan
membentuk kesan yang akan muncul pada masyarakat. Perilaku Sowan Kyai yang
dilakukan para calon pemimpin untuk maju dalam pemilu, merupakan sebuah simbol
yang semata-mata untuk memperoleh kesan dimasyarakat bahwa sosok tersebut telah
diakui oleh Kyai sebagai sosok yang amanah. Banyak orang di Indonesia (terutama
pejabat), yang memandang kekuasaan sebagai riil, nyata, objektif, bagaikan barang nyata
yang bisa dipindah-pindah, atau diwariskan, seperti dalam kekuasaan raja-raja di Jawa,
sehingga banyak orang memperebutkan kekuasaan tersebut dengan berbagai cara
(Mulyana, 2013, h.7).
3. METODE
Penelitian ini menggunakan paradigma Kritis dengan metodologi Etnografi
Komunikasi. Subjek penelitian merupakan para Calon Legislatif yang melakukan Sowan
Kyai sebelum maju dalam Pemilu. Fokus dari penelitian ini adalah pemaknaan perilaku
Sowan Kyai menjelang Pemilu dari masing-masing pelaku. Cakupan penelitian berada
pada wilayah Jawa Timur karena organisasi Islam terbesar di Indonesia muncul pada
daerah ini. Subjek penelitian dipilih menggunakan teknik purposive sampling dan
bersifat snowball sampling. Teknik pengumpulan data menggunakan wawancara
mendalam. Instrumen dalam penelitian ini berupa recorder untuk wawancara, catatan
lapangan, dan beberapa literatur pendukung terkait penelitian. Teknik keabsahan data
dalam penelitian ini menggunakan Trustworthiness. Sedangkan Teknik analisis data
menggunakan model analisis Spradley.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil dari penelitian Sowan Kyai menjelang Pemilu menunjukkan adanya perbedaan
pemaknaan para Caleg dengan para Kyai yang di Sowani. Para Caleg memaknai perilaku
ini sebagai bentuk pencarian dukungan karena adanya pengaruh sosok Kyai yang besar
di masyarakat. Dalam praktiknya, Sowan Kyai yang digunakan untuk mendapatkan
dukungan dilakukan dengan berbagai etika dan tata cara layaknya seorang Santri.
Sehingga dalam Sowan Kyai ini, perilaku untuk mendapat dukungan berjalan bersama
dengan aturan, nilai dan norma yang ada didalamnya(dalam hal ini Islam). Terdapat
berbagai aspek pemaknaan yang ada dalam pemaknaan para Caleg ini, yakni adanya
sebuah ikatan budaya dimasyarakatnya, sebuah penentu kemenangan, kepercayaankepercayaan yang bersifat ketokohan dan mistisme Islam, sebagai modal untuk
kampanye dan perlawanan black campaign, dan sebagai persiapan mental dan spiritual.
Nilai,norma, dan aturan-aturan dalam perilaku Sowan Kyai ini menunjukkan adanya
sebuah hubungan assimetris bagi para pelakunya. Sehingga dalam praktiknya, terdapat
sebuah hubungan yang lebih tinggi dan lebih rendah.
Para Kyai sebagai sosok yang lebih tinggi dan diagungkan, memiliki pemaknaan yang
berbeda dalam perilaku Sowan Kyai ini. Para Kyai memaknai perilaku ini sebagai
sebuah perilaku ibadah karena adanya nilai-nilai yang juga diperintahkan dalam ajaran
Islam. Kyai sebagai seseorang yang ilmu agamanya lebih tinggi dari masyarakatnya,
tentu akan berperilaku dengan niat untuk menjalankan nilai-nilai agamanya. Sowan Kyai
yang diidasarkan pada nilai-nilai Islam, tetap dijalankan oleh para Kyai meskipun
terdapat kepentingan-kepentingan politik didalamnya. Kepentingan-kepentingan politik
yang ada dalam Sowan Kyai menjelang Pemilu tersebut dihiraukan dan nilai-nilai agama
dijadikan sebagai acuan dalam berperilaku. Sehingga dalam perilaku ini terdapat sebuah
hubungan spiritual sekalipun untuk kepentingan politik.
Komunikasi Politik sebagai sebuah perilaku komunikasi untuk tujuan-tujuan politik,
pada akhirnya sangat dipengaruhi oleh budaya yang ada dalam masyarakatnya. Islam
sebagai agama yang berpengaruh bagi masyarakat Jawa, juga mempengaruhi perilakuperilaku masyarakatnya terutama Sowan Kyai. Para Calon Legislatif di Jawa Timur
sebagai pelaku, memaknai perilaku Sowan Kyai ini sebagai bentuk pencarian dukungan
sekaligus mencari doa dan keberkahan dari Kyai.
5. SIMPULAN
Sowan Kyai sebagai perilaku komunikasi masyarakaat Jawa, memiliki perbedaan
pemaknaan dari para pelaku Sowan Kyai ketika dilakukan pada masa Pemilu (yakni para
calon pemimpin dan para Kyai). Para Calon Pemimpin memaknai perilaku ini sebagai
suatu bentuk pencarian dukungan, dengan tetap mengakomodasi aspek etika, norma, dan
nilai-nilai spiritual dalam Islam dan Jawa. Sedangkan para Kyai memaknai perilaku ini
sebagai bentuk perilaku ibadah, dengan dasar ajaran Islam untuk menyambung tali
silaturrahmi. Dari hasil penelitian Sowan Kyai menjelang Pemilu ini, menghasilkan dua
proposisi tentang konsep Sowan Kyai menjelang Pemilu. Proposisi pertama, terdapat
hubungan spiritual pada perilaku Sowan Kyai dalam konteks Komunikasi Politik.
Sedangkan proposisi kedua, terdapat dimensi hubungan assimetris antara seseorang
dengan orang yang ilmu spiritualnya lebih, sehingga memunculkan simbol-simbol
tertentu dalam perilaku Sowan Kyai menjelang Pemilu ini. Seseorang yang
memposisikan lebih rendah dari orang yang lebih tua dan ilmu spiritualnya lebih,
menjadi suatu dimensi yang kuat dalam perilaku Sowan Kyai ini.
Daftar Pustaka
Abdurrahman, Syaikh Khalid bin Husain bin. (2009). Silaturahim, Keutamaan, dan Anjuran
Melaksanakannya . (M.I Ghazali, Terjemahan). Indonesia : Islamhouse
Al – Qur’an Terjemah. (2005). Jakarta : Al – Huda
Astuti. (2014, 24 April). Minta Doa Kiai, Kalau Betul – Betul “Nyalon” Bismillah. Jakarta.
Diakses pada Senin 11 Agustus 2014, dari http://www.nefosnews.com/post/beritaanalisa/minta-doa-kiai-kalau-betul-betul-nyalon-bismillah
Hadisuprapto, P. (2010). Attachment and Deliquency in Javanese Society. Universitas
Diponegoro Semarang, 66
Hair, A. (2014). Taqqiyah, Strategi Komunikasi dalam Penghindaran Isolasi (Skripsi,
Universitas Brawijaya, 2014)
Herusatoto, B. (2008). Simbolisme Jawa . Yogyakarta : Ombak
Kamus Besar Bahasa Indonesia . (2014). Jakarta : Indonesia, tersedia dalam :
http://kbbi.web.id/sowan
Kasyfurrahman, Z. (2009). Komunikasi Politik Kyai (Skripsi, Universitas Islam Negeri
Malang, 2009)
Lombard, D. (2008). Nusa Jawa:Silang Budaya (Bagian III:Warisan Kerajaan – Kerajaan
Konsentris). Jakarta : Gramedia
Muhtadi, A. (2008). Komunikasi Politik Indonesia : Dinamika Islam Politik Pasca Orde
Baru. Bandung : Remaja Rosdakarya
Mulyana, D. (2007). Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar . Bandung : Remaja Rosdakarya
Mulyana, Deddy. (2013). Komunikasi Politik, Politik Komunikasi. Bandung : Remaja
Rosdakarya
Ubudiyah. (2012). Sowan dan Mencium Tangan Kyai. Diakses pada Rabu 17 Juli 2014, dari
http://m.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,10-id,39396-lang,id-c,ubudiyaht,Sowan+dan+Mencium+Tangan+Kyai-.phpx
Wafa, M. (2013). Peran Politik Kyai di Kabupaten Rembang Dalam Pemilu Tahun 19942009. Journal of Indonesian History Vol.1. Universitas Negeri Semarang, 1