Pelaksanaan Pemilu Serentak 2019 dalam U

PELAKSANAAN PEMILU SERENTAK 2019 DALAM UPAYA PENGUATAN
SISTEM PRESIDENSIAL DI INDONESIA

M. Arie Herdianto, Dr. Muchammad Ali Safaat, S.H., M.H., M. Dahlan, S.H., M.H.
Fakultas Hukum Universitas Brawijaya
Email: d_toto93@yahoo.co.id

ABSTRAK
Indonesia merupakan sebuah negara yang menerapkan sistem presidensial dan
sistem multipartai secara bersama-sama. Beberapa argumentasi menyebutkan bahwa
kombinasi dari kedua sistem tersebut merupakan suatu hal yang rumit bahkan
berpotensi menyebabkan pelemahan terhadap sistem presidensial itu sendiri sehingga
berujung pada inektivitas dan instabilitas pemerintahan. Pemilu Presiden dan Wakil
Presiden serta pemilu anggota legislatif yang akan dilaksanakan secara serentak pada
tahun 2019 diyakini akan memperkuat sekaligus memurnikan sistem presidensial di
Indonesia.
Kata kunci: Pelaksanaan pemilu serentak tahun 2019, penguatan sistem presidensial
ABSTRACT
Indonesia is a state which is applicating the presidential system of government and
the multiparty system simultaneously. Some thesis mentioned that the combination of
these two systems is a complicated thing even potentially lead to the weakening of the

presidential system itself, directs to inactivity and instability government. The general
concurrent election which held in 2019 is believed to strengthen also purify the
presidential system in Indonesia, especially in Presidential authority as head of state
and head of government.
Keywords: Implementation of 2019 concurrent election, strengthening of presidential
system

A. Pendahuluan
Reformasi merupakan suatu titik balik bagi Bangsa Indonesia untuk
mengevaluasi penerapan prinsip kedaulatan rakyat yang dianggap minim semasa
rezim Orde Lama dan Orde Baru. Hal tersebut –pada puncaknya- ditandai dengan
perubahan terhadap batang tubuh Undang-undang Dasar 1945, khususnya pada
pasal-pasal yang secara spesifik mengatur tentang penguatan terhadap sistem
presidensial di Indonesia.1 Secara tidak langsung, penguatan terhadap sistem
presidensial sebagaimana disepakati oleh MPR diawal proses Perubahan UUD
1945 akan berpengaruh terhadap tata cara pemilihan Presiden dan Wakil Presiden,
dikatakan oleh Jimly Asshiddiqie bahwa dalam pelaksanaan sistem presidensial,
Presiden bertanggungjawab kepada rakyat secara langsung dan bukan melalui
MPR.2 Melalui momentum tersebut, Indonesia mengalami transformasi sistem
dari yang sebelumnya melakukan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden oleh

MPR (indirect democracy) menjadi pemilihan Presiden dan Wakil Presden secara
langsung oleh rakyat (direct democracy).
Momentum pergeseran sistem pemilu tersebut tidak serta merta
mengurangi problem ketatanegaraan di Indonesia. Pasal 6A Ayat (2) dan Pasal
22E Ayat (3) seolah memberikan hegemoni dan supremasi terhadap partai politik
mulai dari sekedar mengusulkan hingga mencalonkan pasangan Presiden dan
Wakil Presiden, calon anggota DPR, bahkan calon anggota DPRD Propinsi, serta
DPRD Kota/Kabupaten, suatu hal yang berbeda dengan peta politik pada Rezim
Orde Baru. Kondisi normatif tersebut secara konseptual membuka arus
demokratisasi pada masa transisi saat itu, namun disisi lain justru menimbulkan

1

2

MPR merumuskan 5 kesepakatan yang menjadi dasar pijakan dalam Perubahan UUD, yaitu: (1)
Pembukaan UUD 1945 tidak akan diubah; (2) Bentuk negara kesatuan akan dipertahankan; (3)
Sistem pemerintahan presidensial akan diperkuat; (4) Penjelasan UUD ditiadakan sedangkan isinya
yang bersifat normatif dijadikan isi pasal UUD; dan (5) Perubahan dilakukan dengan addendum,
dalam Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi, Menguatnya Model Legislasi Parlementer dalam

Sistem Presidensial di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, 2013, hlm. xix dan 3.
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2010,
hlm. 62-63 dan 168-169.

praktek-praktek politik pragmatis yang jauh dari nilai-nilai ideologis partai dan
hanya berorientasi untuk mencari kekuasaan belaka.
Munculnya puluhan partai pada saat pemilu justru akan menimbulkan
permasalahan baru. Pertama, hal tersebut membuka peluang terjadinya transaksi
politik akibat fragmentasi peta politik yang secara ideologis sebenarnya tidak
saling berseberangan. Salah satunya, dalam Pasal 4 dan Pasal 5 Ayat (4) Undangundang Nomor 23 Tahun 2003 3 menegaskan bahwa pilpres dilaksanakan pasca
pileg dan partai politik yang dapat mengusulkan pasangan calon Presiden dan atau
Wakil Presiden adalah partai yang telah memenuhi persyaratan ambang batas
minimal pada pencalonan Presiden dan atau Wakil Presiden dalam pilpres
(presidential threshold). Secara politis, terfragmetasinya peta politik partai
kedalam banyak sub tidak akan memunculkan satu partai dominan atau
menguasai setidak 50%+1 suara pada pileg, akibatnya koalisi partai politik
terbentuk hanya 3 bulan sebelum pelaksanaan pilpres. Hasilnya adalah koalisi
yang pragmatis tersebut.
Kedua, koalisi pragmatis tersebut pada akhirnya hanya akan terus menekan
Presiden terpilih melalui infiltrasi kepentingan partai pada berbagai kebijakan

yang hendak diambil oleh Presiden. Kebijakan yang paling awal berpeluang
untuk diintervensi adalah pembentukan kabinet yang merupakan ranah prerogatif
Presiden. Frasa dalam Pasal 17 Ayat (2) UUD NRI 1945 yang berbunyi “Menterimenteri itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.” menjadi landasan
konstitusional bagi Presiden sebagai kepala pemerintahan (head of government)
untuk mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri secara mandiri dan jauh

3

Penulis mengambil ketentuan dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2003 karena undang-undang
tersebut lahir pasca Perubahan UUD. Selain itu ketentuan dalam Pasal 4 dan Pasal 5 Ayat (4) sama
dengan ketentuan dalam Pasal 3 Ayat (5) dan Pasal 9 Undang-undang Nomor 42 Tahun 2008 yang
sama-sama mengatur tentang jadwal pelaksanaan pilpres pasca pileg dan ketentuan mengenai
presidential threshold.

dari intervensi dari pihak manapun, khususnya partai politik pendukung
pemerintah.4
Namun, kondisi yang terjadi menggambarkan bahwa Presiden dan Wakil
Presiden yang terpilih secara langsung melalui partai politik sebagai fasilitatornya
kerap mengalami intervensi politik dalam penyusunan anggota kabinet. Dimulai
sejak masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil

Presiden Jusuf Kalla periode 2004-2009,5 semasa Presiden

Susilo Bambang
6

Yudhoyono dan Wakil Presiden Boediono periode 2009-2014, dan terakhir pada
masa Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla.7 Akibatnya kinerja
eksekutif menjadi kurang optimal dan Presiden berada dalam kondisi yang
tersandera oleh partai pendukungnya sendiri.
Dan ketiga, menyangkut pada hubungan antara Presiden dan DPR.
Merujuk kepada pola sistem presidensial sebagaimana yang direkonseptualisasi
oleh James Madison bahwa terdapat kewenangan tumpang tindih antara cabang
eksekutif dan legislatif khususnya, hal tersebut sekaligus memberikan ruang bagi
berjalannya mekanisme checks and balances.8 Keberadaan mekanisme tersebut
secara obyektif dapat menghasilkan suatu pemerintahan yang sehat dimana
Presiden diawasi oleh DPR begitu pula sebaliknya sehingga potensi terjadinya
penyalahgunaan kewenangan dapat ditekan. Tetapi kondisi yang ada, fungsi
pengawasan yang dilakukan oleh DPR terhadap pemerintah melalui penggunaan
hak interpelasi, hak angket, maupun hak menyatakan pendapat kerap dijadikan
4


5

6

7

8

Kewenangan Presiden tersebut secara eksplisit diatur lebih lanjut dalam Pasal 3, Pasal 7, Pasal 22
Ayat (1), dan Pasal 24 Ayat (2) Undang-undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian
Negara.
Hanta Yuda AR, Presidensialisme Setengah Hati Dari Dilema ke Kompromi, PT Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta, 2010, hlm. 154.
Anonymous, 9 Mei 2009, Inilah Hasil Akhir Perolehan Suara Pemilu 2009,
http://nasional.kompas.com/read/2009/05/09/22401496/inilah.hasil.akhir.perolehan.suara.nasional.p
emilu, diakses tanggal 23 Agustus 2015.
M. Arie Herdianto, Pelaksanaan Pemilu Serentak 2019 dalam Upaya Penguatan Sistem
Presidensial di Indonesia, Skripsi tidak diterbitkan, Malang, Fakultas Hukum Universitas
Brawijaya, 2015, hlm. 67-69.

Margarito Kamis, Jalan Panjang Konstitusionalisme Indonesia, Setara Press, Malang, 2014, hlm.
16 dan 19.

sebagai ajang adu posisi tawar (bargaining position). Akibatnya, pemerintah
kembali tersandera dan terhambat –kali ini oleh DPR- untuk menerapkan sebuah
kebijakan, sedangkan DPR menjadi kurang produktif dalam menghasilkan
undang-undang karena terkonsentrasi untuk sekedar menyudutkan posisi
pemerintah.
Apabila kita tarik garis lurus, maka dukungan pragmatis pada pencalonan
Presiden pada pilpres yang disusul dengan pembentukan kabinet bermuara pada
relasi antara Presiden dan DPR. Ketiga faktor ini dianggap sebagai penyebab
inefektivitas dan instabilitas pemerintahan, termasuk pada pemerintahan Presiden
Joko Widodo.
Menjadi kajian utama dari penulis, pertama, berdasarkan permohonan
judicial review terhadap UU Pilpres oleh Effendi Gazali tersebut, MK
memutuskan bahwa Pasal 22E Ayat (1) UUD NRI 1945 menyatakan pemilu
dilaksanakan secara serentak dalam jangka waktu 5 tahun sekali. 9 Berdasarkan
original intent Pasal 22E Ayat (2) UUD NRI 1945 selama masa pembahasan
dalam Perubahan Ketiga, MK menjelaskan bahwa yang masuk dalam rezim
pemilu adalah pemilu untuk memilih anggota DPR, DPD, DPRD, Presiden dan

Wakil Presiden, salah satunya mengacu kepada pendapat Slamet Effendy Yusuf
yang menjawab pertanyaan Tjetje Hidayat dari Fraksi Kesatuan Kebangsaan
Indonesia (F-KKI), bahwa:10
“…Presiden nanti dalam pemilihan yang langsung itu diadakan di dalam
pemilihan umum yang diselenggarakan bareng-bareng ketika memilih
DPR, DPD, kemudian DPRD (Propinsi dan Kota/Kabupaten).”
9

MK menggunakan menafsirkan sesuai original intent Pasal 22E ayat (1) dan (2) UUD 1945, dapat
kita temukan ketika anggota MPR yang menyusun Perubahan UUD 1945 pada tahun 2001, dengan
jelas menyatakan bahwa Pemilihan Umum memang dimaksudkan untuk diselenggarakan lima tahun
sekali (serentak) untuk memilih (sekaligus) anggota DPR, DPD, DPRD, serta Presiden dan Wakil
Presiden. Dalam Risalah sidang-sidang Panitia Ad Hoc 1 dengan jelas muncul kata-kata “Pemilu
bareng-bareng”, “Pemilu serentak” serta istilah yang lebih spesifik “Pemilu lima kotak”, dalam
Putusan MK Nomor 14/PUU-XI/2013, hlm. 14.
10
Tim Penyusun, Naskah Komprehensif Perubahan 1999-2002 Undang-undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 (Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan), Buku V
Pemilihan Umum, Jakarta, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2010,
hlm. 602.


Original intent Pasal 22E Ayat (1) dan (2) yang menghendaki pelaksanaan
pilpres dan pileg secara serentak, Mahkamah juga berpendapat bahwa kebiasaan
(desuotudo) seperti yang dilakukan saat ini yaitu dengan memisahkan antara
pelaksanaan pileg dan pilpres terlebih dahulu dengan alasan pelantikan Presiden
dan Wakil Presiden oleh MPR tidak dapat menjadi alasan konstitusionalitas yang
dapat dipersamakan dengan ketentuan konstitusi, apalagi hanya mendasarkan
pada kebiasaan yang baru dilaksanakan sekali dan pada teks konstitusi yang
sebenarnya sudah menyatakan secara tegas (expresis verbis) maupun secara
implisit sangat jelas. 11
Putusan ini disatu sisi mementahkan Pendapat Mahkamah sebelumnya
dalam Putusan

Mahkamah Konstitusi Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008 yang

menyatakan bahwa pelaksanaan pemilu --pileg dan pilpres-- secara terpisah
merupakan sebuah kebiasaan “the life of law has not been logic it has been
experience” yang telah diterima dan dilaksanakan sehingga pelaksanaan pemilu
terpisah –seperti halnya yang diatur dalam UU Pilpres—adalah konstitusional.12
Serta pada sisi lain mengamini discenting opinion yang diajukan oleh 3 hakim

konstitusi yaitu Abdul Mukthie Fadjar, Maruarar Siahaan, dan M. Akil Mochtar
terkait Putusan

Mahkamah Konstitusi Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008 yang

menyatakan bahwa:13
1. Mahkamah tidak konsisten dengan pendapatnya dalam putusan
perkara-perkara sebelumnya (misal Putusan Nomor 56/PUU-VI/2008
dan Putusan Nomor 3/PUU-VII/2009) yang melakukan penafsiran
konstitusi cenderung pada tafsir tekstual dan original intent, dikatakan
bahwa seharusnya Mahkamah mengabulkan permohonan para
Pemohon;
2. Menyatakan bahwa original intent Pasal 22E Ayat (1) dan (2) memang
menghendaki pemilu yang diadakan satu kali dalam 5 tahun sebagai
satu kesatuan sistem dan proses dalam penyelenggaraannya (electoral
laws and electoral processes) oleh “suatu komisi pemilihan umum
yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri”;

11


Putusan MK Nomor 14/…, Op. Cit., hlm. 77.
Putusan Mahkamah Konstutusi Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008, hlm. 186-187.
13
Ibid., hlm. 189-194.
12

3. Menyatakan bahwa pelantikan Presiden dan Wakil Presiden
membutuhkan MPR yang sudah dilantik sehingga memunculkan
logika bahwa pileg memang dilaksanakan sebelum pilpres dianggap
terlalu menyederhanakan masalah, alasan lain bahwa pelaksanaan
pileg tersebut merupakan konvensi (kebiasaan) ketatanegaraan di
Indonesia;
4. Menganggap bahwa mekanisme presidential threshold merupakan
akal-akalan politis, karena legitimasi Presiden dan Wakil Presiden
dalam sistem presidensial terletak pada rakyat bukan DPR atau MPR
laiknya dalam sistem parlementer, sehingga sebenarnya threshold
sudah tercantum dalam peta persebaran suara sebagaimana terdapat
dalam Pasal 6A Ayat (3) UUD NRI 1945 yang berbunyi “Pasangan
calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapatkan suara lebih
dari lima puluh persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum
dengan sedikitnya dua puluh persen suara di setiap provinsi yang
tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia, dilantik
menjadi Presiden dan Wakil Presiden.”;
5. Jika pemilu dilaksanakan secara serentak, maka secara mutatis
mutandis mekanisme presidential threshold akan kehilangan
relevansinya.
Kedua, Saldi Isra berpendapat bahwa sistem presidensial di Indonesia
masih berorientasi pada sistem parlementer.14 Berdasarkan pernyataan tersebut,
maka penulis menganggap bahwa pemilu serentak dapat dijadikan salah satu
alternatif untuk memperkuat atau memurnikan sistem presidensial berbasis sistem
multipartai seperti yang ada di Indonesia. Penguatan sistem presidensial yang
dimaksud adalah penegasan peran Presiden sebagai kepala negara sekaligus
kepala pemerintahan apabila dikaitkan pada hubungan dengan DPR, termasuk
hubungan Presiden dengan koalisi pendukung maupun hubungan dengan pihak
oposisi. Seperti dalam proses pembentukan koalisi pemenangan calon Presiden
dan Wakil Presiden, penyusunan daftar nama calon menteri yang akan diposisikan
sebagai anggota kabinet, serta hubungan kerja antara Presiden dengan DPR.

14

Saldi Isra, Loc. Cit.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas, maka penulis mengambil rumusan masalah
yaitu “bagaimana peran dari pemilu serentak terhadap penguatan sistem
pemerintahan presidensial?”.

C. Metodologi Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan oleh penulis adalah penelitian yuridis
normatif. Penelitian jenis ini menekankan kepada analisis terhadap bahan-bahan
hukum (library based, focusing on reading and analysis of the primary and
secondary materials). 15 Selain itu, penulis menggunakan 3 pendekatan dalam
menganalisis bahan-bahan yang digunakan, yaitu: 1. Pendekatan perundangundangan (statute approach); 2. Pendekatan konseptual (conceptual approach);
dan 3. Pendekatan sejarah (historical approach).

D. Pembahasan
1. Peran Pemilu Serentak terhadap Penguatan Sistem Presidensial
Sistem pemilihan proporsional yang diimplementasikan bersamaan
dengan sistem presidensial dan sistem multipartai banyak dirasakan tidak
ideal, termasuk dalam kasus di Indonesia. Sistem proporsional menghendaki
bahwa tidak ada suara dalam partai politik yang terbuang percuma laiknya
dalam sistem distrik sehingga banyak sekali partai politik yang terakomodir
dalam parlemen – sehingga menjadikannya terfragmentasi, 16 hanya saja
dibentuk syarat ambang batas untuk membatasi jumlah partai politik efektif di
parlemen (parliamentary threshold).
15

16

Johnny Ibrahim, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia Publishing,
Malang, 2005, hlm. 46.
Jose Antonio Cheibub menyatakan bahwa divided government akan terjadi pada sistem
pemerintahan presidensial apabila: (1) jumlah parpol efektif terlalu banyak; (2) tidak menerapkan
sistem pemilu mayoritarian, melainkan menggunakan sistem pemilu proporsional untuk memilih
parlemen, dan (3) pemilihan presiden dan pemilihan parlemen tidak dilakukan bersamaan. Dalam
Ramlan Surbakti dkk., Menyederhanakan Waktu Penyelenggaraan Pemilu: Pemilu Nasional
dan Pemilu Daerah, Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan, Jakarta, 2011, hlm. 9.

Pada beberapa istilah, fragmentasi menjadi rujukan yang umum
digunakan untuk menggambarkan begitu banyaknya ragam background
politik yang terakomodir dalam parlemen, akibatnya pengambilan suara
didalamnya baik pada masing-masing kompartemen alat kelengkapan
dewan termasuk di Komisi maupun paripurna menjadi tidak efektif.
Setidaknya terdapat tiga alasan mengapa kombinasi sistem
presidensial dan sistem multipartai cenderung bermasalah, yaitu: 17
1. Sistem
presidensial
berbasis
multipartai
cenderung
mengakibatkan kebuntuan hubungan eksekutif dan legislatif
sehingga kerja pemerintahan menjadi tidak efektif;
2. Sistem multipartai cenderung menciptakan polarisasi ideologis
daripada sistem dua-partai;
3. Kombinasi kedua sistem tersebut juga berimplikasi pada
sulitnya membentuk koalisi antarpartai dalam sistem
presidensial;
Permasalahan yang terjadi dalam penentuan koalisi pilpres untuk
mengusung calon Presiden dan Wakil Presiden ada pasca penetapan kursi
legislatif yang fragmentatif. Lobi politik terjadi dimana-mana, sifat
pragmatis, dan singkat menjadi kerikil tajam yang juga kerap terjadi
dimanapun, termasuk di Indonesia. Akibatnya, pemerintah yang terpilih
menjadi tersandera baik oleh kekuatan pendukungnya sendiri dan juga
oleh pihak oposisi.
Jika pada masa Orde Baru pemerintah yang menyandera birokrat,
militer, dan Golkar dengan pork barrel politics-nya, termasuk anggota
DPR dan MPR yang diangkat oleh Presiden sehingga mereka selalu
aklamatif dalam mendukung rezim yang berkuasa. Berbanding terbalik
pada kondisi pasca Reformasi ini dimana pihak yang tersandera adalah
pemerintahnya, yakni oleh kekuatan-kekuatan politik pendukungnya
sendiri maupun oleh pihak oposisi.

17

Syamsuddin Haris, Ramlan Surbakti, dkk., Pemilu Nasional Serentak 2019 (e-book), Electoral
Research Institute-Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jakarta, 2015, hlm. 3.

Sebenarnya MPR dalam pembahasan Perubahan UUD sudah
berupaya untuk menahan agar sistem presidensial tidak direduksi atau
tereduksi baik secara alamiah melalui model diktator dan otoriter,
maupun secara politis yakni kuasa parlemen yang melebihi pemerintah
(legislative heavy). Pada pembahasan mengenai pelaksanaan pemilu,
Soewarno dari F-PDIP misalnya, menyatakan di akhir pembahasan pasal
mengenai pelaksanaan pemilu “setiap lima tahun sekali” bahwa: 18
“Pemilu itu diadakan serempak dan sekali saja, baik menyangkut
Presiden dan Wakil Presiden, menyangkut Anggota DPR Pusat,
DPRD, maupun Dewan Perwakilan Daerah. Jadi dengan demikian
akan terjadi kerja yang efisien dan juga hasilnya maksimal dan
menghindari resiko sosial dan politik yang mungkin tidak kita
inginkan…”
Secara sederhana, pernyataan tersebut berarti bahwa pemilu nasional
(general elections, dengan `s` karena sifatnya yang jamak) meliputi
pemilu Presiden serta pemilu anggota DPR dan DPD dilaksanakan secara
serentak atau dalam satu kali pelaksanaan. Berbeda halnya dengan
pemilu yang dilakukan terpisah dimana pilpres dilaksanakan sesudah
pelaksanaan pileg.
Jika kita mengacu kepada studi perbandingan mengenai sistem
pemerintahan baik dalam sistem presidensial maupun sistem parlementer
secara konvensional bahwa terdapat perbedaan pemaknaan antara Pasal 3
Ayat (5) UU Pilpres19 dengan pelaksanaan pemilu dalam sistem
presidensial pada umumnya. Sulardi mengatakan kondisi seperti itu
sebagai sistem yang serba-tanggung, dikatakan parlementer tidak tetapi
presidensial juga bukan. 20
Yusril Ihza Mahendra mengungkapkan bahwa dalam sistem
presidensial, pemilu Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan terlebih
18
19

20

Naskah Komprehensif…, Buku V Pemilihan Umum, Op. Cit., hlm. 610.
Pasal 3 Ayat (5) UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pilpres, berbunyi “Pemilu Presiden dan Wakil
Presiden dilaksanakan setelah pelaksanaan pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan DPRD.”
Sulardi, Presiden Kolegial: Sistem Ketatanegaraan Indonesia Masa Depan, UMM Press,
Malang, 2000, hlm. 7, dalam Saldi Isra, Pergeseran…, Op. Cit., hlm. 53.

dahulu baru setelah itu pemilihan anggota legislatif. 21 Sedangkan dalam
sistem parlementer, pemilihan anggota parlemen dilaksanakan terlebih
dahulu, baru kemudian partai politik atau koalisi terbesar di parlemen
mengusulkan calon Perdana Menteri kepada kepala negara.22
Sebagai negara yang menganut sistem presidensial, antarcabang
kekuasaan tidak dapat saling menjatuhkan satu dengan yang lainnya, 23
upaya yang bisa dilakukan sebatas checks and balances karena sifat
antarcabang yang horizontal bukan vertikal. Sebagaimana yang
diungkapkan oleh Yusril Ihza Mahendra, frasa “…lima tahun sekali…”
dalam Pasal 22E Ayat (1) yang berbunyi:

“Pemilihan umum

dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil
setiap lima tahun sekali.” mengandung makna bahwa tidak ada dua, tiga,
atau lebih pemilu dalam rentang lima tahun kecuali satu kali. 24 Dapat kita
pahami bahwa pemilu yang dilaksanakan terpisah seperti yang diterapkan
di Indonesia saat ini tidak membawa perubahan yang signifikan, kecuali
yang terkait dengan inefektivitas anggaran dan waktu serta instabilitas
kondisi politik.
Pertama, pemilu yang terpisah menjadi salah satu sumber
permasalahan yang ada. Satu contoh yakni politik transaksional yang
dikatakan oleh Effendi Gazali sebagai salah satu penghambat kemajuan
Indonesia. 25 Pada permohonan uji materiil yang diajukannya, Effendi
Gazali menyatakan bahwa “POLITIK TRANSAKSIONAL yang terjadi
berlapis-lapis (bertingkat-tingkat), umumnya antara Partai Politik
dengan Individu yang berniat menjadi Pejabat Publik, serta antara
Partai Politik untuk pengisian posisi Pejabat Publik tertentu. Dikaitkan
21

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 108/PUU-XI/2013, hlm. 10.
Ibid.
23
Menurut Alfred Stefan dan Cindy Skach utamanya pada cabang kekuasaan eksekutif dan legislatif
karena keduanya mendapatkan mandat langsung dari pemilih melalui pemilu, dalam Saldi Isra,
Pergeseran…, Op. Cit., hlm.41.
24
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 108/…, Op.Cit., hlm. 11.
25
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/…, Op. Cit., hlm. 6.
22

dengan Pemilihan Umum Anggota Legislatif dan Pemilihan Umum
Presiden & Wakil Presiden), POLITIK TRANSAKSIONAL BISA
TERJADI 4 SAMPAI 5 KALI, yakni: a) Pada saat mengajukan Caloncalon Anggota Legislatif; b) Pada saat mengajukan Calon Presiden &
Calon Wakil Presiden karena ketentuan Presidential Threshold; c)
Setelah diketahuinya hasil Putaran Pertama Pemilihan Umum Presiden
(jika dibutuhkan Putaran Kedua); d) Pada saat pembentukan kabinet; e)
Pada saat membentuk semacam koalisi di Dewan Perwakilan Rakyat
yang kemudian menjadi sejenis prototype untuk koalisi di Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (tingkat I dan II), antara lain untuk alokasi
jabatan dan sebagainya;”26
Politik transaksional tentu menjadi sebuah ganjalan kronis bagi
proses demokratisasi pemilu dalam upaya untuk menciptakan legitimate
government serta dapat dipastikan terjadi pada setiap penyelenggaraan
pemilu. Bahkan Effendi Gazali mengatakan bahwa politik transaksional
bisa terjadi 4 sampai 5 kali dalam pelaksanaan pemilu, yaitu pada saat: a)
Mengajukan Calon-calon Anggota Legislatif; b) Mengajukan Calon
Presiden & Calon Wakil Presiden karena ketentuan Presidential
Threshold; c) Diketahuinya hasil Putaran Pertama Pemilihan Umum
Presiden (jika dibutuhkan Putaran Kedua); d) Pembentukan kabinet; e)
Membentuk semacam koalisi di Dewan Perwakilan Rakyat yang
kemudian menjadi sejenis prototype untuk koalisi di Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (tingkat I dan II), antara lain untuk alokasi jabatan dan
sebagainya. 27
Argumentasi diatas diperkuat oleh penelitian Ibrahim Fahmy
Badoh dan Luky Djani (2006) mengenai praktek korupsi pemilu pada
tahun 2004 dimana dari 25 pola pemilu –yang dikualifikasikan dalam 7
kategori—yakni: a) Pendaftaran pemilih; b) Pendaftaran dan penetapan
26
27

Ibid.
Ibid.

peserta pemilu; c) Penetapan daerah pemilihan dan jumlah kursi; d)
Pencalonan dan penetapan calon anggota legislatif; e) Kampanye; f)
Pendaftaran pemilih; serta g) Pemungutan, perhitungan, dan penetapan
suara, pelaku utamanya adalah perorangan calon anggota legislatif, partai
politik sebagai peserta pemilu, simpatisan, termasuk petugas di
lapangan. 28 Baik Effendi Gazali maupun Ibrahim Fahmy Badoh dan
Luky Djani sama-sama memfokuskan pada peserta pemilu yang
berorientasi kepada kekuasaan dan faktor-faktor materialistis.
Kedua, mekanisme pencalonan Presiden dan atau Wakil Presiden
oleh partai politik atau gabungan partai politik yang didasarkan pada
syarat presidential threshold. Premis kedua ini menjadi argumentasi
pendukung bahwa pemilu yang terpisah memang berpotensi besar untuk
menimbulkan politik pragmatis yang hanya berorientasi pada kekuasaan
belaka.

1. Pemilu terpisah

Pemilu
anggota DPR

!

Pemilu
Presiden dan
Wakil Presiden

Pragmatisme politik, sebab terbesarnya
adalah standar nilai presidential threshold
yang besar

28

Ibrahim Fahmy Badoh dan Luky Djani, Korupsi Pemilu, Penerbit Indonesia Corruption Watch
(ICW), Jakarta, 2006, hlm. 132-133.

2. Pemilu serentak

Pemilu Presiden dan
Wakil Presiden

Presiden
+
DPR

+
Pemilu anggota DPR

Gambar D.1
Skema Perbandingan
Pemilu Terpisah dan Pemilu Serentak

Pemilu serentak seperti yang digambarkan diatas (Gambar D.1)
mampu menempatkan satu golongan partai politik dengan suara
mayoritas mutlak atau gabungan beberapa partai politik sebagai
mayoritas baik dalam pemerintahan maupun di DPR. Persamaan latar
belakang politik partai baik di pemerintahan maupun di DPR menjadi
salah satu –meminjam istilah E.D. Raile, the executive toolbox-keuntungan bagi pemerintah atas dukungan yang diberikan oleh DPR. 29
Meski harus diakui pula bahwa pemilu serentak tidak menutup
kemungkinan terjadinya intrik-intrik politik tertentu.
Sebagai contoh, hasil yang ‘sebenarnya diharapkan’ pada
pelaksanaan pemilu serentak 2019 ada pada pemerintahan Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Boediono (Pemilu
2009) dimana Partai Demokrat berhasil memperoleh suara tertinggi
dalam pileg dengan 21.655.295 suara (20,81%) atau 148 kursi di DPR,
kemudian disusul berurutan oleh Partai Golkar (106 kursi) dan PDIP (94
kursi). Secara politis, hal tersebut berpengaruh terhadap konstelasi politik
29

Djayadi Hanan, Menakar Presidensialisme Multipartai di Indonesia : Upaya Mencari Format
Demokrasi yang Stabil dan Dinamis dalam Konteks Indonesia, Al-Mizan, Bandung, 2014, hlm.
70.

baik sebelum pilpres --yang memenangkan pasangan Susilo Bambang
Yudhoyono-Boediono—maupun

setelah

Pilpres.30

Namun

diluar

konstelasi politik yang ada, secara konseptual pemilu serentak memang
menghendaki adanya kesamaan pandangan politik –termasuk kesamaan
platform partai politik maupun koalisi—antara Presiden dengan DPR.
Akibat yang ditimbulkan dari banyaknya kesamaan-kesamaan cara
pandang antara Presiden dengan DPR adalah jaminan efektivitas kinerja
pemerintahan. Djayadi Hanan mengungkapkan bahwa aktor utama yang
berpengaruh dalam proses-proses pengambilan keputusan di DPR hanya
terletak pada segelintir saja, yakni pada pimpinan fraksi dan pada
pimpinan komisi. 31 Sebagai catatan bahwa Partai Demokrat dan koalisi
pemerintah di DPR menguasai 421 kursi (75,2%), sedangkan pihak
oposisi yakni PDIP, Partai Gerindra, dan Partai Hanura hanya menguasai
138 kursi (24,8%), itu pun belum ditambah dengan perbedaan cara
pandang pada internal misalnya PDIP antara Megawati Soekarnoputri
dengan Taufik Kiemas. 32
Jumlah kursi mutlak yang diperoleh oleh koalisi pemerintah di
DPR juga berimbas terhadap putusan-putusan DPR yang cenderung
yesman terhadap kebijakan pemerintah. 33 Akhirnya, baik pemerintah

30

Pengumuman hasil pilpres oleh KPU tentu berimbas terhadap susunan kabinet (di pemerintahan)
maupun susunan koalisi fraksi dan penentuan posisi-posisi alat kelengkapan dewan di DPR.
31
Djayadi Hanan, Op. Cit., hlm. 141. Sebagai komposisi dari Alat Kelengakapan Dewan (AKD) di
DPR, peran pimpinan DPR dan pimpinan komisi menjadi sangat signifikan, Partai Demokrat
menjadi partai terbesar yang mengisi kedua AKD tersebut yaitu Ketua DPR, Ketua Komisi III, VII,
dan X, serta sebagai Wakil Ketua Komisi pada Komisi I, II, IV, V, VI, VIII, IX, dan XI, dalam
Syamsuddin Haris, Partai, Pemilu, dan Parlemen Era Reformasi, Yayasan Obor Indonesia,
Jakarta, 2014, hlm. 132.
32
Ibid., hlm. 133.
33
Syamsuddin Haris menyebutkan bahwa kondisi ini memang cenderung transaksional-kolutif atau
transaksional-konspiratif karena hubungan antara eksekutif dan legislatif cenderung bersifat
pragmatis sehingga abai terhadap mekanisme checks and balances, dalam Ibid., hlm. 134. Namun
harus diakui bahwa akibat adanya `destruktifikasi` sistem ini potensi kebuntuan (deadlock) antara
Presiden dan DPR dapat ditekan, D. J. Baudreaux dan D. R. Lee (1997) mengungkapkan bahwa
mustahil politik dapat berjalan tanpa adanya keinginan untuk berkompromi, dalam Djayadi Hanan,

maupun DPR dapat saling berkompromi dan `bermufakat` mengenai
kebijakan-kebijakan yang ada. Meski pada sisi lain, konsep seperti itu
pada akhirnya melahirkan ciri politik kartel.
Kuskridho Ambardi menyatakan bahwa ketiadaan oposisi yang
efektif sebagai penjelmaan dari mekanisme checks and balances menjadi
salah satu ciri keberadaan politik kartel, selain ciri 1) Hilangnya ideologi
partai yang menentukan arah koalisi; 2) Sikap permisif (serba boleh)
dalam pembentukan koalisi; 3) Hasil pemilu yang tidak berpengaruh
dalam menentukan perilaku politik partai; dan 4) Kuatnya kecenderungan
partai untuk bertindak sebagai suatu kelompok,34 misalnya sikap politik
PKB ditentukan oleh sikap KIH secara kolektif.
Ilustrasi politik semasa pemerintahan Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono Jilid II sebagaimana yang telah dijelaskan diatas tentu
menjadi

salah

satu

kehendak

yang

dapat

diwujudkan

dari

diaplikasikannya pelaksanaan pemilu serentak yakni kesamaan partai
atau platform partai politik antara pemerintah dan DPR, namun tidak dari
sisi kompromistisnya meski dapat diyakini pula bahwa kompromi politik
juga akan tercipta bagaimanapun sistemnya hanya saja rekayasa sistem
dapat dilakukan untuk menekan titik potensi terjadinya kompromi yang
menjurus pada pragmatisme politik.
Selain kesamaan platform politik, pemilu serentak juga diharapkan
dapat menekan adanya transaksionalitas pemilu sebagaimana yang
diharapkan pula oleh Effendi Gazali yang disebabkan oleh jeda waktu
antara pileg dan pilpres. Adanya jeda 3 bulan antara pileg dan pilpres35

Op. Cit., hlm. 85. Baca Djayadi Hanan, Ibid., hlm. 352-357 untuk melihat hasil kompromi antara
pemerintah dengan DPR.
34
Kuskridho Ambardi, Mengungkap Politik Kartel: Studi tentang Sistem Kepartaian di Indonesia
Era Reformasi, Penerbit Kepustakaan Populer Gramedia (KPG), Jakarta, 2009, hlm. 3.
35
Pasal 14 Ayat (2) dan Pasal 112 UU No. 42 Tahun 2008 memang memberikan celah bagi partai
politik untuk membangun koalisi.

semakin membuka peluang bagi partai politik untuk menimbang untungrugi berkoalisi dengan partai A, B, C, dst.
Pemilu serentak juga mencoba me-redesign tatanan koalisi partai
politik yang ada kedalam bentuk yang lebih solid, fundamentalis,
berbasis kesamaan visi misi, dan pertemuan chemistry. Hal tersebut tidak
dapat dibentuk dalam waktu yang singkat laiknya yang disebutkan dalam
Pasal 14 Ayat (2) dan Pasal 112 UU Pilpres, melainkan hubungan yang
dibangun melalui proses yang panjang.
Guna mendukung terciptanya koalisi yang solid maka partai politik
diharapkan membangun koalisi –karena dalam sistem multipartai yang
dikombinasikan dengan sistem proporsional seperti di Indonesia tidak
dimungkinkan adanya partai mayoritas dan sederhana layaknya pada
sistem distrik— lebih awal atau jauh sebelum dilaksanakannya pemilu.
Diskursus pada pelaksanaan pemilu tahun 2019, bahwa hasil Pemilu
2014 dan koalisi yang berada didalamnya tentu menjadi keuntungan
tersendiri bagi pelaksanaan pemilu serentak tersebut. Bahwa keberadaan
dari KIH maupun KMP yang menyebabkan polarisasi perpolitikan
Indonesia pada dua kutub besar tentu menjadi desain yang `sebenarnya`
diharapkan. 36
Jika kita flashback pasca penetapan hasil Pileg 2014 yang lalu,
maka terdapat dua kutub koalisi besar yakni KIH dan KMP yang
cenderung seimbang. Andai kedua koalisi besar tersebut berupa dua buah
partai seperti Republik dan Demokrat di Amerika Serikat maupun
Konservatif dan Buruh di Inggris, maka transaksionalitas politik
termasuk didalamnya politik dua kaki dapat benar-benar ditekan.
Sampai sejauh ini, posisi KIH dan KMP memang masih jelas,
yakni sebagai ruling party dan opposition side sehingga keberadaan
36

Penulis analogikan kondisi tersebut seperti fusi partai politik yang terjadi pada tahun 1973 dimana
hanya terdapat 2 `koalisi` partai politik yaitu PPP yang berorientasi Islam dan PDI yang berideologi
nasionalis. Begitu pun dengan KMP dan KIH yang tersusun atas koalisi partai-partai meski tidak
berorientasi pada ideologi yang berlainan.

fragmentasi partai politik dapat disederhanakan dengan keberadaan
koalisi –yang sangat diharapkan bertahan hingga lebih kurang 5 tahun
kedepan— membuahkan jalinan politik yang memang berdasarkan pada
common platform politik partai, visi misi calon, persamaan isu strategis,
dan memprioritaskan rakyat.

E. Penutup
1. Kesimpulan
Konsep pemilu serentak sebagaimana yang telah dijelaskan diatas
diterapkan untuk menekan potensi terjadinya pelemahan terhadap sistem
presidensial di Indonesia, khususnya pada kekuasaan presiden sebagai kepala
negara dan kepala pemerintahan. Melalui banyak argumen diatas, dapat
diambil hipotesis bahwa terpolarisasinya peta politik pasca pelaksanaan
pemilu anggota legislatif menjadi salah satu penyebabnya, tepatnya pada
penerapan mekanisme presidential threshold sebagaimana yang diatur dalam
Pasal 9 Undang-undang Nomor 42 Tahun 2008. Prosentase ambang batas
minimal yang didesain untuk menekan jumlah partai politik efektif yang
berpeluang untuk mencalonkan Presiden dan atau Wakil Presiden justru
menjadi prasyarat yang mengharuskan partai politik untuk berkoalisi.
Implikasi dari keharusan untuk membentuk koalisi guna mendukung
pemenangan calon Presiden dan Wakil Presiden adalah tersanderanya
Presiden dan Wakil Presiden terpilih oleh partai politik pendukungnya sendiri,
salah satunya melalui desakan partai politik untuk memasukkan nama-nama
bakal calon menteri atau anggota kabinet kepada Presiden, akibatnya kinerja
pemerintahan kerap mengalami pergolakan politik serta menjadi tidak efektif.
Selain itu, kebuntuan hubungan (deadlock) antara Presiden dengan
DPR

dapat ditekan seiring dengan keberadaan koalisi yang solid dan

terbentuk jauh sebelum pelaksanaan pemilu. Salah satu alasannya, Presiden
dan DPR dalam sistem presidensial merupakan dua lembaga yang sama-sama
memperoleh legitimasi dari rakyat serta terdapat pemisahan kekuasaan yang

menyebabkan satu dengan yang lainnya tidak dapat saling membubarkan.
Sehingga, kewenangan konstitusional presiden tidak dapat dipengaruhi oleh
kekuatan politik yang ada di DPR, begitu pula sebaliknya. Desain pemilu
serentak yang membuat mekanisme presidential threshold menjadi tidak
relevan untuk diaplikasikan membuat DPR menjadi lebih obyektif dalam
melakukan fungsi pengawasan terhadap pemerintah sehingga checks and
balances akan lebih optimal, karena rakyat yang akan menentukan calon mana
yang pantas untuk dipilih atau tidak dipilih kembali pada pemilu selanjutnya.
Jadi, berdasarkan uraian sebagaimana telah dijabarkan diatas penulis
berkesimpulan bahwa pemilu serentak dapat memperkuat sistem presidensial
di Indonesia melalui keberadaan koalisi yang solid dan berdasarkan common
platform partai politik serta tidak dibangun semata-mata untuk memenuhi
persyaratan ambang batas yang pragmatis.
2. Saran
Diakhir penulisan ini, penulis memberikan beberapa saran kepada
pemerintah, penyelenggara pemilu, dan masyarakat, terutama kepada partai
politik sebagai peserta pemilu, antara lain:
1. Pelaksanaan pemilu serentak membutuhkan persiapan yang matang oleh
partai politik sebagai peserta pemilu (Pasal 6A Ayat (2) dan Pasal 22E
Ayat (3) UUD NRI 1945), yang meliputi mekanisme pencalonan bakal
calon anggota legislatif DPR, DPRD Propinsi, dan DPRD Kota/Kabupaten
serta bakal calon Presiden dan Wakil Presiden;
2. Persiapan

yang

matang

hendaknya

dimulai

sejak

berjalannya

pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla
(2014-2019) yakni melalui konsistensi sikap dari partai politik dalam
Koalisi Indonesia Hebat (KIH) maupun Koalisi Merah Putih (KMP)
sehingga terdapat langkah antisipatif guna menghadapi pencalonan baik
anggota legislatif maupun calon Presiden dan Wakil Presiden pada pemilu
serentak tahun 2019;

3. Partai politik yang tergabung dalam KIH maupun KMP diharapkan
mampu menggali chemistry yang ada diantara mereka, hal tersebut dapat
berdampak pada kesolidan dan konsistensi peran masing-masing koalisi
dan partai politik yang bergabung didalamnya pasca pelaksanaan Pilpres
2019, apakah peran sebagai partai pendukung pemerintah atau sebagai
partai opisisi, sehingga diharapkan muncul konfigurasi politik pasca
Pilpres 2019 yang stabil hingga menjelang pergantian pemimpin pada
Pilpres 2024;
4. Diharapkan muncul suatu produk undang-undang yang komprehensif dan
menyeluruh mengenai pemilu, jika perlu dilakukan kodifikasi pada
undang-undang yang mengatur tentang pemilu, seperti undang-undang
tentang penyelenggara pemilu, undang-undang tentang pilpres dan pileg,
serta undang-undang tentang partai politik;
5. Salah satu pokok bahasan penting yang perlu diatur secara formil yaitu
ketentuan mengenai pembatasan terhadap pencalonan Presiden dan Wakil
Presiden oleh partai politik jika mekanisme presidential threshold
dihapuskan, sehingga proses pencalonan menghasilkan calon-calon yang
ideal bagi pilpres.

F. Daftar Pustaka
Djayadi Hanan, Menakar Presidensialisme Multipartai di Indonesia :
Upaya Mencari Format Demokrasi yang Stabil dan Dinamis dalam
Konteks Indonesia, Al-Mizan, Bandung, 2014
Hanta Yuda AR, Presidensialisme Setengah Hati Dari Dilema ke
Kompromi, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2010
Ibrahim Fahmy Badoh dan Luky Djani, Korupsi Pemilu, Penerbit Indonesia
Corruption Watch (ICW), Jakarta, 2006
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Sinar
Grafika, Jakarta, 2010

Johnny Ibrahim, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif,
Bayumedia Publishing, Malang, 2005
Kuskridho Ambardi, Mengungkap Politik Kartel: Studi tentang Sistem
Kepartaian di Indonesia Era Reformasi, Penerbit Kepustakaan Populer
Gramedia (KPG), Jakarta, 2009
Margarito Kamis, Jalan Panjang Konstitusionalisme Indonesia, Setara
Press, Malang, 2014
Ramlan Surbakti dkk., Menyederhanakan Waktu Penyelenggaraan
Pemilu: Pemilu Nasional dan Pemilu Daerah, Kemitraan bagi
Pembaruan Tata Pemerintahan, Jakarta, 2011
Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi, Menguatnya Model Legislasi
Parlementer dalam Sistem Presidensial di Indonesia, Rajawali Pers,
Jakarta, 2013
Syamsuddin Haris, Partai, Pemilu, dan Parlemen Era Reformasi, Yayasan
Obor Indonesia, Jakarta, 2014
Syamsuddin Haris, Ramlan Surbakti, dkk., Pemilu Nasional Serentak 2019
(e-book), Electoral Research Institute-Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia, Jakarta, 2015
Tim Penyusun,

Naskah Komprehensif Perubahan 1999-2002 Undang-

undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Latar
Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan), Buku V Pemilihan Umum,
Jakarta, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi,
2010

Skripsi
M. Arie Herdianto, Pelaksanaan Pemilu Serentak 2019 dalam Upaya
Penguatan Sistem Presidensial di Indonesia, Skripsi tidak diterbitkan,
Malang, Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, 2015

Undang-undang dan Putusan
Undang-undang Nomor 38 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara,
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 166, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4916
Undang-undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden
dan Wakil Presiden, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008
Nomor 176, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4924
Putusan Mahkamah Konstutusi Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 108/PUU-XI/2013

Internet
Anonymous, 9 Mei 2009, Inilah Hasil Akhir Perolehan Suara Pemilu
2009,http://nasional.kompas.com/read/2009/05/09/22401496/inilah.hasil.a
khir.perolehan.suara.nasional.pemilu, diakses tanggal 23 Agustus 2015