Partisipasi Masyarakat Dalam Pengelolaan Wisata Alam Danau Toba (studi deskriptif di Kelurahan Parapat, Kecamatan Girsang Sipangan Bolon, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara)

(1)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1. Partisipasi Masyarakat

2.1.1. Pengertian Partisipasi Masarakat

Partisipasi berasal dari bahasa Inggris yaitu participation, take a part artinya peran serta atau ambil bagian dalam kegiatan bersama-sama dengan orang lain. Partisipasi masyarakat dalam pembangunan merupakan bagian yang integral yang harus ditumbuhkembangkan yang pada akhirnya akan menumbuhkan rasa memiliki (sense of belonging) rasa tanggung jawab.

Menurut Sutrisno dalam Salladien (2009) partisipasi adalah dukungan masyarakat terhadap rencana atau proyek pembangunan yang dirancang dan tujuannya ditentukan oleh perencana. Partisipasi masyarakat dalam pembangunan, merupakan kerja sama yang erat antara perencana dan rakyat dalam merencanakan, melaksanakan, melestarikan dan mengembangkan hasil pembangunan yang telah dicapai.

Jnabrota Battacharyya mengartikan partisipasi sebagai pengambilan bagian dalam kegiatan bersama. Mubyarto mendefenisikan sebagai kesediaan untuk membantu berhasilnya setiap program sesuai kemampuan setiap orang tanpa berarti mengorbankan kepentingan diri sendiri.Partisipasi berarti peran serta seseorang atau kelompok masyarakat dalam proses pembangunan baik dalam bentuk pernyataan maupun dalam bentuk kegiatan dengan memberi masukan pikiran, tenaga, waktu, keahlian,


(2)

modal dan atau materi, serta ikut memanfaatkan dan menikmati hasil -hasil pembangunan (I Nyoman Sumaryadi, 2010: 46).

Berbicara tentang partisipasi masyarakat dalam pembangunan, orang akan menemukan rumusan pengertian yang cukup bervariasi. Mikkelsen dalam Soetomo (2010), menginventarisasi adanya enam tafsiran dan makna yan berbeda tentang partisipasi. Pertama, partisipasi adalah kontribusi sukarela dari masyarakat kepada proyek tanpa ikut serta dalam pengambilan keputusan. Kedua, partisipasi adalah usaha membuat masyarakat semakin peka dalam meningkatkan kemauan menerima dan kemampuan menanggapi proyek-proyek pembangunan. Ketiga, partisipasi adalah proses yang aktif, yang mengandung arti bahwa orang atau kelompok terkait mengambil nisiatif dan menggunakan kebebasannya untuk melakukan hal itu. Keempat partisipasi adalah pemantapan dialog masyarakat setempat dengan para staf dalam melakukan persiapan pelaksanaan dan monitoring proyek agar memperoleh informasi mengenai konteks lokal dan dampak-dampak sosial. Kelima partisipasi adalah keterlibatan sukarela oleh masyarakat dalam perubahan yang ditentukannya sendiri. Keenam partisipasi adalah keterlibatan masyarakat dalam pembangunan diri kehidupan dan lingkungan mereka.

Berdasarkan beberapa pengertian partisipasi tampak bahwa kriteria yang digunakan untuk menentukan adanya partisipasi masyarakat adalah adanya keterlibatan tanpa harus mempersoalkan faktor yang melatarbelakangi dan mendorong keterlibatan tersebut. Dengan menggunakan kriteria tersebut partisipasi diartikan sebagai keterlibatan


(3)

masyarakat dalam suatu proses pembangunan yang didorong oleh determinasi dan kesadaran tentang keterlibatannya tersebut. Apabila yang muncul hanya unsur keterlibatan dan tidak didorong oleh determinsi dan kesadaran, hal tersebut tidak masuk dalam kategori partisipasi melainkan lebih tepat disebut sebagai mobilisasi (Soetomo,2010 :438)

2.1.2. Bentuk-bentuk Partisipasi Masyarakat

Menurut ahli ekonomi Mubyanto, partisipasi secara umum berarti esediaan untuk membantu keberhasilan suatu program sesuai denan emampuan setiap orang tanpa mengorbanan diri sendiri. Sedangkan menurut ahli sosiologi Santoso, partisipas meruaan keterlibata mental serta kesediaan untuk memberi sumbangan dan rasa tanggun jawab dalam suatu kegiatan untuk mencapai tujuan dari usaha yang bersangkutan.

Berdasarkan pada tingkat organisasi partisipasi dibedakan menadi dua, yaitu:

a. Partisipasi yan teroganisasikan, yaitu partisipasi yang terjadi bila suatu struktur organisasi dan seperangkat tata kerja dikembangkan atau dalam proses persiapan.

b. Partisipasi tdak terorganisasikan, yaitu partisipsi yang terjadi karena peristiwa temporer seperti bencana alam dan kebakaran.

Menurut Oakley sebagaimana dalam Jim Ife disebutkan ada perbandingan antara partisipasi sebagai cara dan partisipasi sebagai tujuan.


(4)

Tabel 2.1. Perbandingan antara partisipasi sebagai cara dan sebagai tujuan

Partisipasi sebagai cara Partisipasi sebagai tujuan • Berimplikasi pada penggunaan

partisipasi untuk mencapai tujuan atau sasaran yang ditetapkan sebelumnya. • Merupakan suatu upaya

pemanfaatan sumber daya yang ada untuk mencapai tujuan program atau proyek. • Penekanan pada mencapai

tujuan dan tidak terlalu pada aktivitas partisipasi itu sendiri. • Lebih umum dalam

program-program pemerintah, yang pertimbangan utamanya adalah untuk menggerakkan

masyarakat dan melibatkan mereka dalam meningkatkan efesiensi system penyampaian. • Partisipasi umumnya jangka

pendek.

• Partisipasi sebagai

• Berupaya memberdayakan rakyat untuk berpartisipasi dalam pembangunan mereka sendiri secara lebih berarti. • Berupaya untuk menjamin

peningkatan peran rakyat dalam inisiatif-inisiatif pembangunan.

• Fokuspada peningkatan kemampuan rakyat untuk berpartisipasi bukan sekedar mencapai tujuan-tujuan proyek yang sudah ditetapkan

sebelumnya.

• Pandangan ini relatif kurang disukai oleh badan-badan pemerintah. Pada prinsipnya LSM setuju dengan pandangan ini.

• Partisipasi dipandang sebagai suatu proses jangka panjang.


(5)

caramerupakan bentuk pasif dari partisipasi.

• Partisipasi sebagai tujuan relatif lebih aktif dan dinamis.

Partisipasi masyarakat adalah kesediaan untuk membantu berhasilnya setiap program sesuai kemampuan setiap orang tanpa berarti mengorbankan kepentingannya sendiri. Nelson (dalam Ndraha Taliziduhu hal.102) menyebut dua macam partisipasi yaitu partisipasi horizontal dan partisipasi vertikal. Partisipasi horizontal adalah partisipasi antara sesama warga atau anggota suatu perkumpulan, sedangkan partisipasi vertikal adalah partisipasi yang dilakukan oleh bawahan dengan atasan, antar klien dengan patron, atau antara masyarakat sebagai keseluruhan dengan pemerintah.

Berkaitan dengan sifat-sifat partisipasi masyarakat, beberapa pakar menyebutkan ada partisipasi otonom yang dilakukan atas kesadaran ataukah partisipasi yang dimobilisasi (mobilized participation). Adanya pembedaan dua sifat tersebut bertumpu pada kerelaan atau keterpaksaan, ini sebagaimana pendapat Myron Wiener. Namun disisi lain, pendapat berbeda yang tidak melihat sifat sukarela sebagai ukuran ada tidaknya partisipasi masyarakat dikemukakan Samuel Huntington dan Joan Nelson. Meskipun demikian, kedua sifat partisipasi masyarakat tersebut memiliki konsekwensi yang tidak berbeda, yaitu mempengaruhi proses penyelenggaraan dan proses pengambilan kebijakan dalam pemerintahan.


(6)

Dalam konteks mendorong keterlibatan masyarakat dalam sebuah kegiatan, Ife menjelaskan tentang kondisi-kondisi yang mendorong partisipasi, yaitu sebagai berikut: partisipasi masyarakat akan muncul ketika dirasa isu atau aktivitas tersebut penting; adanya anggapan bahwa aksi partisipasi mereka akan membuat perubahan; berbagai bentuk partisipasi, apapun tingkatan dan jenisnya, harus diakui dan dihargai; orang harus bisa berpartisipasi dan didukung dalam partisipasinya; dan struktur dan proses partisipasi tidak boleh mengucilkan sehingga masyarakat itu sendiri yang harus mengontrol struktur dan proses tersebut.

Partisipasi dapat merupakan keluaran pembangunan dan dapat juga merupakan masukan, bahkan masukan yang mutlak diperlukan. Disamping itu partisipasi dapat dianggap sebagai tolak ukur dalam menilai apakah proyek yang bersangkutan merupakan proyek pembangunan atau bukan. Jika masyarakat yang bersangkutan tidak berkesempatan untuk berpartisipasi dalam pembangunan suatu proyek, maka proyek tersebut pada hakikatnya bukanlah proyek pembangunan.

Bentuk-bentuk partisipasi ada 6 (enam) yaitu antara lain :

1. Partisipasi dalam melalui kontak dengan pihak lain (contact change) sebagai salah satu titik perubahan sosial.

2. Partisipasi dalam memperhatikan atau menyerap dan memberi tanggapan terhadap informasi, baik dalam arti menerima (menaati, memenuhi, melaksanakan), mengiakan, menerima dengan syarat, maupun dalam arti menolaknya.


(7)

3. Partisipasi dalam perencanaan pembangunan, termasuk pengambilan keputusan. Perasaan terlibat dalam perencanaan perlu ditumbuhkan sedini mungkin di dalam masyarakat. Partisipasi ini disebut juga partisipasi dalam pengambilan keputusan, termasuk keputusan politik yang menyangkut nasib mereka, dan partisipasi dalam hal yang bersifat teknis.

4. Partisipasi dalam pelaksanaan operasional pembangunan.

5. Partisipasi dalam menerima, memelihara dan mengembangkan hasil pembangunan.

6. Partisipasi dalam menilai pembangunan, yaitu keterlibatan masyarakat dalam menilai sejauh mana pelaksanaan pembangunan sesuai dengan rencana dan sejauh mana hasilnya dapat memenuhi kebutuhan masyarakat.

Partisipasi masyarakat lokal tidak hanya berupa partisipasi individu, tetapi juga berupa partisipasi kelompok. Menurut Brandon, salah satu strategi partisipasi adalah dengan mempromosikan bentuk partisipasi pada dua tingkatan yaitu secara individu dan organisasi (kelompok). Karena mengajak masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembangunan, lebih mudah jika mereka berpartisipasi melalui organisasi yang jelas.

Jika keenam bentuk partisipasi dikontruksikan secara logis, ternyata setiap bentuk partisipasi merupakan sekuen proses pembangunan suatu proyek pembangunan mulai dari bentuknya sebagai gagasan sampai pada bentuknya sebagai bangunan. Partisipasi yang dilakukan sepanjang proses tersebut dinamakan partisipasi profesional, sedangkan partisipasi


(8)

yang hanya dilakukan pada satu atau beberapa fase saja, dinamakan partisipasi parsial. Jika konsep partisipasi masyarakat ini dikaitkan dengan konsep kesadaran akan tanggung jawab terhadap (hasil) pembangunan, maka dapat disimpulkan semakin profesional partisipasi masyarakat semakin besar rasa tanggung jawab masyarakat terhadap pembangunan, dan demikian juga sebaliknya.

Konsep partisipasi mengandung makna yang amat luas dan arti yang dalam. Dalam proses pembangunan, partisipasi berfungsi sebagai masukan yaitu fase penerimaan informasi, fase pemberian tanggapan terhadap informasi, fase penerimaan kembali hasil pembangunan, fase penilaian bangunan. Sebagai masukan, partisipasi berfungsi menumbuhkan kemampuan masyarakat untuk berkembang secara mandiri. Sebagai keluaran, partisipasi dapat berfungsi sebagai keluaran proses stimulasi atau motivasi melalui berbagai upaya.

Partisipasi masyarakat pada dasarnya adalah adanya keikutsertaan ataupun keterlibatan masyarakat dalam proses pengidentifikasian potensi yang ada di masyarakat , pemilihan dan pengambilan keputusan alternatif solusi penanganan masalah, pelaksanaan upaya mengatasi masalah, dan juga keterlibatan masyarakat dalam proses mengevaluasi perubahan yang terjadi. keikutsertaan masyarakat dalam berbagai tahap perubahan ini akan membuat masyarakat menjadi lebih berdaya dan dapat semakin memiliki ketahanan dalam menghadapi perubahan.


(9)

Sebaliknya jika masyarakat tidak banyak dilibatkan dalam berbagai tahapan perubahan dan hanya bersikap pasif dalam setiap perubahan yang direncanakan oleh pelaku perubahan (misalnya, pihak lembaga pemerintah, LSM maupun sektor swasta), masyarakat cenderung akan menjadi defedent (tergantung) pada pelaku perubahan. Bila hal ini terjadi secara terus-menerus, maka ketergantungan masyarakat kepada pelaku perubahan akan semakin meningkat.

2.1.3. Hambatan-hambatan Partisipasi Masyarakat

Dalam uraian sebelumnya telah dinyatakan bahwa partisipasi masyarakat boleh dikatakan merupakan unsur yang mutlak dalam pelaksanaan strategi penelolaan sumber daya berbasis komunitas. Pendekatan tersebut diharapkan dapat merespon berbagai keluhan dalam pelaksanaan pembangunan yang sentralis dan bersifat top down. Melalui pendekatan tersebut banyak terdengar keluhan bahwa pemerintah atau penguasa seringkali terlalu memaksakan progam yang sudah dirancang secara terpusat tanpa melakukan konsultasi denan masyarakat yang akan menjadi sasaran program. Dipihak lain juga, sering dikemukakan adana kenyataan, bahwa walaupun sudah dibuka kesempatan kepada masyarakat dan diberi sarana serta media untuk melakukan partisipasi, terutama dalam perencanaan, masyarakat tidak menggunakan kesempatan dan peluang tersebut.

Sebagaimana diketahui, untuk keperluan pelaksanaan pembangunan tidak jarang pemerintah menciptakan lembaga baru dalam


(10)

masyarakat dengan harapan dapat berfungsi sebagai wadah dan media partisipasi masyarakat dalam pembangunan serta sebagai sarana komunikasi antara nstansi yang melaksanakan program dengan masyarakat. Walaupun demikian, jarang dari lembaga ini yang berhasil mengakar dalam kehidupan masyarakat, sehingga menjadi tidak dapat berfungsi sebagaimana diarapkan. Disamping itu, suasana iklim dalam forum yan diciptakan mungkin juga kurang mendukung. Suasana yang terlalu formal juga seringkali membuat komunikasi menjadi macet karena masyarakat terbiasa mengemukakan aspirasi dan pedapat daam situasi yang informal.

Faktor struktural dan kultural masyarakat yang bersangkutan seringkal juga perlu dipertimbangkan dalam mendorong munculnya partisipasi warga masyarakat terutama dalam pengambilan keputusan. Tidak jarang aspirasi, ide, pendapat dan usulan dari arga masyarakat tidak muncul dalam forum yang juga dihadiri oleh pimpinan dan elit lokal. Bukannya mereka tidak mempunyai ide dan aspirasi, tetapi suasana struktural cenderung mendorong mereka mengikuti dan menyetujui apa yang sudah disampaikan oleh elit dan pimpinannya.

Dorongan untuk berpartisipasi bagi warga masyarakat khususnya dalam proses identifikasi masalah dan kebutuhan sering dipengaruhi oleh pengalaman masa lalu. Apabila wara masyarakat memiliki kesan bahwa apa yang mereka sampaikan dalam berbagai forum untuk mengidentifikasi masalah dan kebutuhan ternyata kemudian tidak menetas menjadi program yang akan dilaksanakan, maka kenyataan itu


(11)

akan membuat warga masyarakat menjadi segan untuk berpartisipasi dalam hal yang sama untuk periode berikutnya.

Banyak literatur yang mengidentifikasi banyak faktor yang kondusif bagi partisipasi dan yang mewakili sumber daya positif bagi pekerja masyarakat.Berikut adalah faktor-faktor fasilitatif tersebut.

a. Bagi masyarakat asli, kontrol masyarakat secara penuh

b. Pengetahuan yang baik dan pemahaman yang jelas tentang kompleksitas partisipasi oleh pekerja masyarakat.

c. Kejelasan tentang kriteria yang yang digunakan dalam mengundang partisipasi untuk mengundang terhindarnya ketidakterlibatan.

d. Kejujuran dan keterbukaan kepada peserta tentang kendala dan keterbatasan partisipasi.

e. Akses kepada informasi yang relevan.

f. Legislasi (perundang-undangan) seperti undang-undang kebebasan mendapatkan informasi yang akan mengubah harapan peserta terhadap partisipasi sebagai hak mereka didukung oleh hukum.

g. Pelatihan masyarakat lokal dalam hal-hal seperti melobi dan advokasi. h. Penyediaan fasilitator pada temuan-temuan masyarakat.

i. Pelatihan ketua

j. Waktu yang cukup bagi peserta lokal untuk mewujudkan perannya k. Jejaring masyarakat dan organisasi yang kuat

l. Strategi ganda dari dan peluang bagi partisipasi


(12)

n. Membangun organisasi-organisasi masyarakat yang kuat yang dapat dikelola oleh masyarakat.

o. Apresiasi dan menghargai pengetahuan lokal, kearifan lokal dan sejarah lokal

p. Komitmen dan organisasi terhadap kemitraan dengan masyarakat

q. Harapan-harapan yang jelas dan eksplisit, yang dapat dinegosiasikan, komitmen, peran, peluang pengembangan keterampilan dan komitmen waktu

r. Umpan balik dan pengakuan terhadap kerja partisipan.

s. Identifikasi awal dan membahas setiap hambatan, konflik dan sebagainya.

Terdapat prinsip yang mendasari yang seharusnya memandu pekerja masyarakat untuk membangun proses-proses partisipasi yang kuat dan efektif, yang mempertimbangkan faktor-faktor penghambat dan kondusif.Prinsip tersebut adalah membangun hubungan yang memberdayakan dengan rakyat lokal yang berarti rakyat memiliki kapasitas untuk memengaruhi struktur dan keputusan-keputusan yang berdampak pada kehidupan mereka dan membentuk kondisi-kondisi dimana mereka hidup.Menjamin hubungan-hubungan yang memberdayakan memerlukan fleksibilitas; merasa nyaman terhadap ambiguitas dan ketidakpastian, memiliki dasar nilai keadilan sosial dan hak yang jelas, mengetahui bagaimana ini berlaku terhadap praktik dan pembagian kekuasaan pada hubungan-hubungan seseorang dengan warga lokal.


(13)

2.2. Teori Pengelolaan Sumber Daya Alam

Pengelolaan sumber daya merupakan strategi pembangunan masyarakat yang memberi peran dominan kepada masyarakat untuk mengelola proses pembangunan, khususnya dalam mengontrol dan mengelola sumber daya produktif. Dengan demikian, strategi ini mengarah pada penguatan mekanisme dalam pengelolaan sumber daya agar lebih efektif terutama dalam rangka pemenuhan kebutuhan lokal. Melalui strategi ini setiap komunitas dapat mengembangkan sistem dan mekanisme yang memungkinkan warga masyarakat memanfaatkan sumber daya lokal yang tersedia untuk memenuhi berbagai kebutuhan individu dan kebutuhan kolektif. Sumber daya lokal yang dimaksud antara lain berupa tanah, air, informasi, teknologi, energi manusia dan kreativitas.

Pengelolaan sumber daya dibagi menjadi dua yaitu pertama, strategi pembangunan konvensional yaitu dalam strategi konvensional kontrol terhadap sumber daya dan pengambilan keputusan yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya tersebut dilakukan oleh administrasi birokrasi yang terpusat. Kedua, strategi pengelolaan berbasis komunitas yaitu peranan prakarsa, kreativitas dan partisipasi masyarakat dalam keseluruhan proses pembangunan menjadi sangat sentral. Memang benar, dalam strategi pembangunan konvensional juga sering dikatakan ada unsur keterlibatan masyarakat dalam proses pembangunan, tetapi pada umumnya peranan masyarakat terbatas pada keterlibatan masyarakat dalam melaksanakan berbagai program yang sudah dirumuskan secara terpusat, dengan demikian bersifat top down. Oleh sebab itu, keterlibatan seperti ini sebetulnya kurang


(14)

tepat disebut sebagai partisipasi, tetapi lebih tepat disebut sebagai bentuk mobilisasi pembangunan. Hal ini disebabkan karena masyarakat tidak ikut mengambil keputusan dan merumuskan program, sehingga lebih berkedudukan sebagai konsumen program dari atas, tetapi dianggap berkewajiban melaksanakannya. Sementara itu, dalam strategi ini masyarakat terlibat dalam segala proses pembangunan sejak identifikasi masalah dan kebutuhan serta perumusan program. Dalam strategi ini mandat pengelolaan pembangunan, khususnya sumber daya, tidak berada pada pihak pemerintah secara terpusat, tetapi berada pada masyarakat lokal. Untuk maksud tersebut diperlukan kapasitas masyarakat lokal dalam melakukan identifikasi kebutuhan, identifikasi sumber daya, merumuskan tujuan, dan mengelola serta mendayagunakan sumber daya lokal. Sebagai konsekuensinya, diperlukan suatu proses pengembangan kapasitas tersebut melalui upaya pemberdayaan masyarakat.

2.3. Potensi Destinasi Pariwisata dan Daya Tarik Wisata

Pariwisata adalah kegiatan rekreasi diluar domisili untuk melepaskan diri dari pekerjaan rutin atau mencari suasana lain. Sebagai suatu aktifitas, pariwisata telah menjadi bagian penting dari kebutuhan dasar masyarakat maju dan sebagian kecil masyarakat negara berkembang. Hidup seolah-olah didesain untuk produksi dan pekerjaan, sehingga tidak jarang mengakibatkan orang stress. Pariwisata kemudian menjadi kanal yang tepat untuk membebaskan masyarakat dari tekanan tersebut (Janianton:2006)


(15)

Berdasarkan skala prioritas pembangunan dan pengembangan daerah tujuan wisata di Indonesia, maka diputuskan untuk membangun 10 (sepuluh) daerah tujuan wisata di berbagai provinsi, yaitu :

1. Sumatera Utara, meliputi wilayah Danau Toba dengan Pulau Samosir dan sekitar Dataran Tinggi Karo dengan Berastagi

2. Sumatera Barat, meliputi wilayah Bukittinggi dengan Danau Maninjau, Danau Singkarak, Payakumbuh, dan Batu Sangkar serta Kotamadya Padang beserta objek-objek wisata disekitarnya.

3. Jawa Barat, meliputi wilayah kota Bandung, Jabotabek,Gunung Gede, Banten, Cirebon, Tasikmalaya dan Ciamis

4. Jawa Tengah dan Yogyakarta, meliputi wilayah Merapi Merbau, Semarang, Ambarawa, Kopeng, Dieng, Solo, Yogyakarta serta lingkungan Candi Borobudur dan Candi Prambanan, termasuk Kudus dan Demak

5. Jawa Timur, meliputi wilayah kota Surabaya,Malang (Trowulan, Pandaan, Tretes) , Gunung Bromo, dan Pulu Madura serta Banyuwangi 6. Sulawesi Selatan meliputi Kotamadya Ujung Pandang, Maros, Gowa,

Jeneponto, Bulukumba, Selayar, Kabupaten Luwu dan Terutama Tanah Toraja

7. Sulawesi Utara, meliputi wilayah Kabupaten Minahasa, Air Madidi, Rembokan, Taratara dan Tasik Ria.

Syarat-syarat pariwisata memiliki 10 (sepuluh )faktor, yaitu : 1. Alam


(16)

a. Keindahan alam (topografi umum seperti flora dan faunadisekitar danau, sungai, pantai, laut, pulau-pulau, mata air panas, sumber mineral, teluk, gua, air terjun, cagar alam, hutan, dsb.)

b. Iklim (Sinar matahari, suhu udara, cuaca, angin, hujan, panas, kelembapan, dsb.)

2. Sosial Budaya

a. Adat istiadat (pakaian, makanan dan tata cara hidup daerah, pesta rakyat, kerajinan tangan dan produk-produk lokal lainnya.)

b. Seni bangunan (arsitektur tempat seperti candi, pura, mesjid, gereja, monument bangunan adat, dsb.)

c. Pentas dan pagelaran, festival (gamelan, musik, seni tari dan pecan olahraga, kompetisi dan pertandingan, dsb.)

d. Pameran pecan raya (pekan-pekan raya yang bersifat industri komersial)

3. Sejarah – Peninggalan purbakala (bekas-bekas istana, tempat peribadahan, kota tua dan bangunan-bangunan purbakala peninggalan sejarah, dongeng atau legenda.)

4. Agama – Kegiatan masyarakat (kehidupan beragama tercermin dari kegiatan penduduk setempat sehari-harinya dalam soal beribadah, upacara, pesta, dsb)

5. Fasilitas Rekreasi

a. Olahraga (berburu, memancing, berenang, main ski, berlayar, golf, naik kuda, mendaki, dsb.)


(17)

b. Edukasi (museum arkeologi dan etnologi, kebun binatang, kebun raya, akuarium, planetarium, laboratorium, dsb.)

6. Fasilitas kesehatan – untuk istirahat, berobat ketenangan (spa mengandung mineral, spa air panas, sanatorium, tempat mendaki, piknik, tempat semedi,dsb.)

7. Failitas berbelanja- beli ini-itu (toko-toko souvenir, toko-toko barang kesenian dan hadiah, toko-toko keperluan sehari-hari, kelontong,dsb.) 8. Fasilitas hiburan – waktu malam (kasino, night club, disko, bioskop,

teater, sandiwara, dsb.)

9. Infrastruktur – kualitas wisata (jalan-jalan raya, taman, listrik, air, pelayanan keamanan, pelayanan kesehatan, komunikasi, kendaraan umum,dsb.)

10. Fasilitas pangan dan akomodasi – makanan dan penginapan (hotel, motel, bungalow, inn, cottage, guest house, restoran, coffeshop, rumah makan,dsb.)

Pesat tidaknya perkembangan kegiatan kepariwisataan sangat erat kaitannya dengan penyediaan sarana dan prasarana kepariwisataan sebagai penunjang.

i. Prasarana kepariwisataan

Prasarana kepariwisataan adalah semua fasilitas yang memungkinkan proses perekonomian dapat berjalan dengan lancar sedemikian rupa sehingga dapat memudahkan manusia untuk memenuhi kebutuhannya. Jadi fungsinya adalah melengkapi sarana


(18)

kepariwisataan sehingga dapat memberikan pelayanan sebagaimana mestinya. Dalam pengertian ini, yang termasuk kategori prasarana adalah :

a. Prasarana umum (general infrastructure)

Yaitu prasarana yang menyangkut kebutuhan umum bagi kelancaran perekonomian. Adapun yang termasuk dalam kelompok ini, antara lain :

- Sistem penyediaan air bersih - Pembangkit tenaga listrik

- Jaringan jalan raya dan jembatan

- Airport, pelabuhan laut, terminal, stasiun - Kapal ferry, kereta api dan lain-lain - Telekomunikasi

b. Kebutuhan masyarakat banyak (Basic Needs of Civilized life)

Yaitu prasarana yang menyangkut kebutuhan masyarakat banyak. Yang termasuk dalam kelompok ini adalah :

- Rumah sakit, klinik, puskesmas - Apotek

- Bank - Kantor Pos


(19)

- Administration offices (pemerintahan umum, polisi, pengadilan, badan-badan legislatif, dsb.)

Tanpa adanya prasarana tersebut, sulit bagi sarana-sarana kepariwisataan dapat memenuhi fungsinya dalam memberikan pelayanan bagi wisatawan.

ii. Sarana kepariwisataan

Sarana kepariwisataan terdiri dari tiga macam, dimana satu dengan yang lainnya saling melengkapi. Dalam hubungan usaha setiap negara untuk membuat wisatawan lebih banyak datang, lebih lama tinggal, lebih banyak mengeluarkan uangnya ditempat yang dikunjunginya, maka ketiga sasaran ini sangat memegang peranan penting. Ketiga sarana yang dimaksud ialah :

a. Sarana Pokok Kepariwisataan (Main Touruism Superstructure)

Sarana pokok kepariwisataan adalah perusahaan-perusahaan yang hidup dan kehidupannya sangat tergantung pada lalu lintas wisatawan. Fungsinya ialah menyediakan fasilitas pokok yang dapat memberikan pelayanan bagi kedatangan wisatawan. Adapun perusahaan-perusahaan yang dimaksud adalah:

- Perusahaan-perusahaan yang usaha kegiatannya

mempersiapkan dan merencanakan perjalanan wisatawan. Didalam literatur kepariwisataan disebut dengan “Receptive Tourism Plan”. Yang dimaksud dengan Receptive Tourism Plan ialah perusahaan yang mempersiapkan perjalanan dan


(20)

penyelenggaraan tour, sightseeing bagi wisatawan, seperti: travel agent, tour operator, tourist transportation (tourist bus, taxy, coach bus, rent-a-car, dsb.)

- Perusahaan-perusahaan yang memberikan pelayanan di daerah tujuan kemana wisatawan pergi. Dalam istilah kepariwisataan perusahaan ini biasa disebut dengan “Residental Tourist Plan” yang artinya adalah perusahaan yang memberikan pelayanan untuk menginap, menyediakan makanan dan minuman di daerah tujuan, misalnya hotel, motel, youth hostel, cottages, camping areas, caravanning taverns, dsb. Serta catering establishments, seperti bar dan restoran, coffe shop, cafetaria, grill-room, self-service, dan sebagainya. Dapat pula ditambahkan disini kantor-kantor pemerintah seperti : tourist information center, goverment tourist office dan tourist association karena mereka juga memberikan pelayanan kepada wisatawan yang datang, walaupun secara tidak langsung.

b. Sarana Pelengkap Kepariwisataan (Supplementing Tourism Superstructure)

Sarana pelengkap kepariwisataan adalah fasilitas-fasilitas yang dapat melengkapi sarana pokok sedemikian rupa, sehingga fungsinya dapat membuat wisatawan lebih lama tinggal ditempat atau daerah yang dikunjunginya. Yang termasuk dalam kelompok ini adalah : fasilitas untuk berolahraga, baik dimusim dingin atau dimusim panas (seperti ski, golf course, tennis court, swimming


(21)

pool, boating facilities, hunting safari dengan segala perlengkapannya.)

c. Sarana Penunjang Kepariwisataan (Supporting Tourism Superstructure)

Sarana penunjang kepariwisataan adalah fasilitas yang diperlukan wisatawan (khususnya businnes tourist), yang berfungsi tidak hanya melengkapi sarana pokok dan sarana pelengkap, tetapi fungsinya yang lebih penting adalah agar wisatawan lebih banyak membelanjakan uangnya di tempat yang dikunjungi tersebut. Termasuk di dalam kelompok ini adalah night club, steambath, casino, souvenir shop, cinema, opera. Sarana semacam ini perlu diadakan untuk wisatawan, namun tidaklah begitu mutlak pengadaannya, karena tidak semua wisatawan senang dengan kegiatan tersebut.

2.4. Teori Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan

Masalah dalam praktek pembangunan dalam 50 tahun terakhir justru telah menjadi serupa dengan sebuah agenda penerapan hegemonik dari suatu formulasi apriori yang mana objek-objek pembangunan tersebut tidak banyak berbicara dalam mendefenisikan dan merumuskan kontur (garis luar) pembangunannya. Agenda semacam ini membuat pembangunan menjadi aktivitas berorientasi hal lainnya dimana para pelaku pembangunan tidak menyadari bahwa aspek dan praktek pembangunan menyediakan, dan memang seharusnya menyediakankesempatan untuk belajar, pengembangan diri dan transpormasi diri, baik bagi objek maupun subjek pembangunan.


(22)

Pada konteks ini, terdapat kebutuhan untuk memikirkan kembali pembangunan sebagai sebuah inisiatif dalam pengembangan diri bagi subjek dan objek pembangunan, dan etika bukan hanya merupakan suatu perjanjian dalam kepedulian terhadap orang lain, melainkan juga sebuah perjanjian dalam kepedulian terhadap diri sendiri. Redefinisi dan konstruksi baik dari etika maupun pembangunan merupakan titik awal yang krusial bagi sebuah pemahaman baru dan penyusunan kembali pembangunan sebagai tanggung jawab manusia bersama, sebagai peluang manusia bersama.

Pembangunan yang dikaji kembali dari titik keuntungan dan praktek pengembangan diri mendesakkan sebuah pergeseran perspektif dalam diri kita: pergeseran dari pandangan pada pembangunan sebagai perbaikan keadaan orang lain kearah menganggapnya sebagai suatu prakarsa dalam pengembangan diri. Disini pengembangan diri merujuk baik pada perantara pembangunan maupun subjeknya, yang disebut sasaran dari intervensi.

Meningkatkan atau menggerakkan partisipasi masyarakat diartikan sebagai usaha untuk menggali, menggerakkan dan mengerahkan dana dan daya dari masyarakat dalam rangka mensukseskan program-program pemerintah. Dalam hal ini diungkapkan bahwa :

1. Partisipasi masyarakat secara langsung dalam setiap fase proses pembangunan yang ideal yang membedakan dari pembangunan lain (sektoral, regional, dsb). Metode pembangunan masyarakat ini mendukung wawasan tentang pembangunan terpadu dan partisipatif.


(23)

2. Partisipasi masyarakat merupakan suatu keluaran (sasaran, tujuan) pembangunan itu sendiri. Menggerakkan partisipasi masyarakat sebagai suatu keluaran tidak diartikan sebagai usaha untuk menggali dana dan daya dari masyarakat, melainkan sebagai usaha untuk menumbuhkan kemampuan masyarakat untuk berpartisipasi.

3. Kemampuan masyarakat untuk berpartisipasi dapat ditumbuhkan melalui upaya perbaikan kondisi dan peningkatan taraf hidup masyarakat melalui pendekatan pemenuhan kebutuhan dasar (basic needs) masyarakat dan strategi kelompok sasaran (target groups) yaitu kelompok miskin.

4. Kemampuan masyarakat untuk berpartisipasi yang ditumbuhkan melalui pendekatan dan strategi diatas akan bermakna jika dalam masyarakat tumbuh kesediaan untuk berpartisipasi. Kesediaan tersebut dapat ditumbuhkan jika program/ proyek pembangunan mengandung atau menawarkan kesempatan bagi masyarakat untuk berpartisipasi. Mukerji berpendapat bahwa penggerakan partisipasi masyarakat tidak dimaksudkan sebagai usaha untuk meringankan beban pemerintah, juga tidak semata-mata untuk mendorong masyarakat untuk menerima teknologi baru, melainkan untuk mewujudkan bahwa semua aspek pembangunan menyangkut kepentingan dan keinginan mereka. Jadi kesediaan untuk berpartisipasi dapat ditumbuhkan melalui penerapan demokrasi dalam pembangunan.


(24)

5. Kesediaan masyarakat untuk berpartisipasi yang ditumbuhkan melalui usaha penerapan demokrasi dalam pembangunan dapat menumbuhkan kemampuan daerah (desa) untuk berkembang secara mandiri jika kepada masyarakat diberi kepercayaan untuk memegang peranan desisif atas hal-hal yang menyangkut kepentingan mereka (empowerment).

6. Prakarsa pemerintah haruslah bersifat tawaran berbentuk aneka alternatif, agar masyarakat tidak merasa seakan-akan dipaksa atau berada dibawah tekanan atau diasingkan.

7. Masyarakat haruslah bebas memilih dan memutuskan apa yang dikehendakinya, baik diantara alternatif pemerintah maupun dari alternatif masyarakat sendiri.

8. Kepada setiap anggota masyarakat diberi kesempatan yang sama dalam memilih dan menyatakan kehendaknya.

9. Setiap keputusan masyarakat sepanjang mengenai kepentingan mereka, harus dihormati dan diakui.

10. Kepada masyarakat diberi kesempatan untuk belajar dari pengalaman, baik dari keberhasilan maupun dari kegagalan program dan cara yang mereka pilih dan mereka tempuh tersebut (learning process).

Secara diagram kondisi diatas dapat dijelaskan pada gambar 2.2. sebagai berikut ini :


(25)

Gambaran pemikiran dapat digambarkan sebagai bagan 2.2.berikut :

Gambar 2.2 Masyarakat Mandiri

Perbaikan Kondisi Peningkatan Taraf Hidup Masyarakat

Upaya untuk tujuan lainnya

Upaya untuk mnggerakkan partisipasi masyarakat

Usaha

penggalian dana dari masyarakat

Partisipasi sebagai kemampuan berpartisipasi

Partisipasi masyarakat sebagai dana atau daya yang dapat disediakan untuk program pemerintah

Demokrasi di desa otonomi desa Partisipasi Vertikal

Kesediaan Masyarakat untuk berpartisipasi

Enpowerment Orientasi

Vertikal

Kebebasan memilih dan memutuskan

kesempatan yang sama bagi setiap orang

Help Me Phylosophy Kesempatan belajar dari sukses atau kegagalan


(26)

Perbaikan kondisi hidup masyarakat dan upaya memenuhi kebutuhan masyarakat dapat menggerakkan partisipasi. Agar perbaikan kondisi dan peningkatan taraf hidup masyarakat dapat menggerakkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan, yaitu :

1. Disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat yang nyata.

2. Dijadikan stimulasi terhadap masyarakat, yang berfungsi mendorong timbulnya jawaban (response) yang dikehendaki.

3. Dijadikan motivasi terhadap masyarakat, yang berfungsi membangkitkan tingkahlaku (behavior) yang dikehendaki secara berlanjut, misalnya partisipasi horizontal.

Selain cara-cara diatas partisipasi masyarakat dapat digerakkan melalui :

1. Proyek pembangunan yang dirancang sederhana dan mudah dikelola oleh masyarakat.

2. Organisasi dan lembaga kemasyarakatan yang mampu menggerakkan dan menyalurkan aspirasi masyarakat.

3. Peningkatan peranan masyarakat dalam pembangunan.

Berdasarkan hasil penelitian Goldsmith dan Blustain di Jamaica berkesimpulan bahwa masyarakat tergerak untuk berpartisipasi jika:

1. Partisipasi itu dilakukan melalui organisasi yang sudah dikenal atau yang sudah ada ditengah-tengah masyarakat yang bersangkutan. 2. Partisipasi itu memberikan manfaat langsung kepada masyarakat


(27)

3. Manfaat yang diperoleh melalui partisipasi itu dapat memenuhi kepentingan masyarakat setempat.

4. Dalam proses partisipasi itu terjamin adanya kontrol yang dilakukan oleh masyarakat. Partisipasi masyarakat ternyata berkurang jika mereka tidak atau kurang berperan dalam pengambilan keputusan.

Dalam partisipasi masyarakat berlaku juga prinsip pertukaran dasar (basic exchange principles). Salah seorang pemuka teori pertukaran (exchange theory) tersebut adalah Peter M. Blau. Ia mengatakan bahwa semakin banyak manfaat yang diduga akan diperoleh suatu pihak dari pihak lain melalui kegiatan tertentu, semakin kuat pihak itu akan terlibat dalam kegiatan itu.

Menyangkut partisipasi masyarakat dalam perencanaan pembangunan Conyers dalam Soetomo 2010:438 mengemukakan adanya lima cara untuk mewujudkan partisipasi. Kelima cara tersebut adalah (1) survai dan konsultasi lokal untuk memperoleh data dan informasi yang diperlukan, (2) memanfaatkan petugas lapangan, agar sambil melaksanaka tugasnya sebagai agen pembaharu juga menyerap berbagai informasi yan dibutuhkan dalam perencanaan, (3) perencanaan yan bersifat desentralisasi agar lebih mudah memberikan peluang yang semakin besar kepada masyarakat untuk berpartisipasi, (4) perencanaan melalui pemerintah lokal dan (5) menggunakan strategi pengembangan komunitas (community development).


(28)

Antara partisipasi masyarakat dengan kemampuan masyarakat yang bersangkutan untuk berkembang secara mandiri, terdapat kaitan yang sangat erat sekali. Kesediaan masyarakat untuk berpartisipasi merupakan tanda adanya awal masyarakat itu berkembang secara mandiri. Partisipasi masyarakat dan kemampusn masyarakat itu untuk berkembang secara mandiri ibarat dua sisi satu mata uang, tidak dapat dipisahkan tetapi dapat dan perlu dibedakan.

Gambar 2.3. Partisipasi Masyarakat Dalam Proses Pembangunan

2.5.Partisipasi Masyarakat Lokal dalam Pengelolaan Obyek Wisata Alam

Masyarakat lokal, terutama penduduk asli yang bermukim di kawasan wisata, menjadi salah satu pemain kunci dalam pariwisata, karena sesungguhnya merekalah yang akan menyediakan sebagian besar atraksi sekaligus menentukan kualitas produk wisata. Selain itu, masyarakat lokal merupakan pemilik langsung atraksi wisata yang dikunjungi sekaligus dikonsumsi wisatawan. Air, tanah hutan dan lanskap yang merupakan sumberdaya pariwisatayang dikonsumsi oleh wisatawan berada ditangan mereka. Kesenian yang menjadi salah satu daya tarik wisata juga hampir Penumbuhan kemampuan

masyarakat untuk berkembang secara

mandiri

Perbaikan kondisi dan peningkatan taraf hidup

masyarakat

Pembangkitan partisipasi masyarakat.


(29)

sepenuhnya milik mereka. Oleh sebab itu, perubahan-perubahan yang terjadi dikawasan wisata akan bersentuhan langsung dengan kepentingan mereka.

Pengelolaan lingkungan sebagai upaya pemberdayaan masyarakat pelestarian lingkungan secara edukatif ialah menegakkan keadilan sosial, mengembangkan demokrasi politik dan kebebasan budaya. Tanpa keadilan sosial (social justice) nisyaca pengelolaan lingkungan sosial dapat memberdayakan mereka sebagai mitra. Hak-hak untuk mengembangkan usaha, mengolah sumber daya dan mengelola lingkungannya secara aktif harus dipulihkan. Hak-hak masyarakat atas tempat berlindung, sumber makanan, sumber mendidik anak-anak, secara integratif maupun arena aktualisi diri harus dihormati. Karena itu tegakan kembali kedaulatan rakyat (political democracy) agar mereka dapat ikut serta dalam proses pengambilan keputusan, perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian program-program pembangunan yang menyangkut kepentingan mereka secara langsung atau tidak langsung.

Kemudian yang tidak kalah penting ialah memberikan kebebasan budaya (cultural freedom) untuk merangsang aktivitas kearah pembaharuan dalam menanggapi tantangan pembangunan. Berikan keleluasaan kepada masyarakat untuk mengembangkan kemampuan mengatasi kesulitan dan meningkatkan kesejahteraan dengan mengacu pada kebudayaan mereka sebagai pedoman dalam beradaptasi terhadap lingkungannya secara aktif. Dengan demikian, masyarakat lokal (terutama penduduk asli yang bermukim di kawasan wisata) menjadi salah satu pemain kunci dalam


(30)

pariwisata, karena sesungguhnya merekalah yang akan menyediakan sebagian atraksi sekaligus menentukan kualitas produk wisata. Pengelolaan lahan pertanian secara tradisional, upacara adat, kerajinan tangan dan kebersihan merupakan beberapa contoh peran yang memberikan daya tarik bagi wisatawan.

Selain itu, masyarakat lokal merupakan ‘pemilik’ langsung atraksi wisata yang dikunjungi sekaligus dikonsumsi wisatawan. Air, tanah hutan dan lanskap yang merupakan sumberdaya pariwisata yang dikonsumsi oleh wisatawan dan pelaku wisata lainnya berada ditangan mereka. Kesenian yang menjadi salah satu daya tarik wisata juga hampir sepenuhnya milik mereka. Oleh sebab itu perubahan-perubahan yang terjadi di kawasan wisata akan bersentuhan langsung dengan kepentingan mereka.

Tidak jarang masyarakat lokal ini sudah terlebih dulu terlibat dalam pengelolaan aktivitas pariwisata sebelum ada kegiatan pengembangan dan perencanaan. Oleh sebab itu, peran mereka, terutama tampak dalam bentuk penyediaan akomodasi dan jasa guiding dan penyediaan tenaga kerja (Damanik, 2006:23)

Secara evolutif, Greenwood melihat bahwa hubungan antara wisatawan dengan masyarakat lokal menyebabkan terjadinya proses komersialisasi dari keramah tamahan masyarakat lokal. Pada awalnya wisatawan dipandang sebagai ‘tamu’ dalam pengertian tradisional, yang disambut dengan keramahtamahan tanpa motif ekonomi. Dengan semakin bertambahnya jumlah wisatawan, maka hubungan berubah terjadi atas dasar


(31)

pembayaran, yang tidak lain dari proses komersialisasi, dimana masyarakat lokal sudah mulai agresif terhadap wisatawan, mengarah kepada eksploitasi dalam setiap interaksi, tanpa mempertimbangkan konsekuensi jangka panjang.

Dalam hubungan dengan evolusisikap masyarakat terhadap wisatawan, Doxey sudah mengembangkan sebuah kerangka teori yang disebut irendex (irritation index). Model Irendex dari Doxey ini menggambarkan perubahan sikap masyarakat lokal terhadap wisatawan secara linier. Sikap yang mula-mula positif berubah menjadi semakin negatif seiring dengan pertambahan jumlah wisatawan. Tahapan-tahapan sikap masyarakat terhadap wisatawan digambarkan sebagai berikut :

1. Euphoria. Kedatangan wisatawan diterima dengan baik, dengan sejuta harapan. Ini terjadi pada fase-fase awal perkembangan pariwisata pada suatu daerah tujuan wisata, dan umumnya daerah tujuan wisata tersebut belum mempunyai perencanaan.

2. Aphaty. Masyarakat menerima wisatawan sebagai suatu yang lumrah dan hubungan antara masyarakat dengan wisatawan didominasi oleh hubungan komersialisasi. Perencanaan yang dilakukan pada daerah tujuan wisata pada fase ini umumnya hanya menekankan pada aspek pemasaran.

3. Annoyance. Titik kejenuhan sudah hampir dicapai, dan masyarakat mulai terganggu dengan kehadiran wisatawan. Perencanaan umumnya berusaha meningkatkan prasarana dan sarana, tetapi belum ada usaha membatasi pertumbuhan.


(32)

4. Antagonism. Masyarakat secara terbuka sudah menunjukkan ketidak-senangannya, dan melihat wisatawan sebagai sumber masalah. Pada fase ini perencana baru menyadari pentingnya perencanaan menyeluruh (Pitana,2005:83)

Adanya berbagai kritik terhadap interaksi wisatawan dengan masyarakat lokal telah disadari oleh berbagai pihak, termasuk organisasi-organisasi pariwisata internasional. Untuk mengurangi berbagai dampak negatif dan meningkatkan dampak positif, PATA dan WTO telah mengeluarkan kode etik bagi wisatawan. WTO juga sudah mengeluarkan Kode Etik Pariwisata Global, yang sudah dijadikan resolusi PBB, yaitu resolusi No.37 tahun 2001 tertanggal 26 Oktober 2001, tentang ‘Global Code of Ethics for Tourism’ Kode etik yang dikeluarkan oleh PATA (2002) adalah sebagai berikut : PATA Traveller’s Code : Sustaining Indigenous Cultures “ Travel is a passage through other peoples’s lives and other people’s places. Perjalanan adalah menuju ketempat kehidupan orang lain dan menuju tempat orang lain.

1. Be Flexible. Are you prepared to accept cultures and practices different from your own?

(Jadilah fleksibel. Apakah anda siap menerima budaya dan praktek-praktek yang berbeda dari yang anda alami sendiri?)

2. Choose Responsibility, Have you elected to support businesses that clearly and actively address the cultural and enveronmental concerns of the locale are you visiting?


(33)

(Pilih secara bertanggung jawab, apakah anda memilih untuk mendukung bisnis yang jelas dan secara aktif mengatasi masalah budaya dan lingkungan dari lokasi yang anda kunjungi?

3. Do your homework. Have you done any research about the people and place you plan to visit so you may avoid what may innocently offend them or harm their environment?

(Kerjakan pekerjaan rumah anda. Sudah kah anda meneliti orang dan tempat-tempat yang akan anda kunjungi sehingga anda dapat menghindarkan apa yang secara tidak sengaja dapat menyinggung perasaan atau merugikan lingkungan mereka?)

4. Be Aware. Are you informed of the holidays, holidays and general religious and social customs of the places you visit?

(Sadarilah. Apakah anda di informasikan menganai liburan dan kebiasaan keagamaan serta kebiasaan sosial dari tempat-tempat yang anda kunjungi?)

5. Support local Enterprise. Have you made a commitment to contribute to the local economy by using businesses that economically support the comunity you are visiting, eating in local restaurant and buying locally made artisan crafts as remembrances of your trip?

(Dukunglah usaha lokal. Apakah anda membuat sebuah komitmen untuk memberikan kontribusi terhadap ekonomi lokal dengan menggunakan usaha yang secara ekonomis mendukung komunitas yang anda kunjungi, makan di restoran lokal dan membeli kerajinan buatan lokal sebagai kenangan dari perjalanan anda?)


(34)

6. Be Respectfull and observant.Are you willing to respect local lawsthat may include restrictions of your usage of or accsess to places and things that may harm or otherwise erode the environment or alter or run counter to the places your visit?

(Bersikaplah hormat dan jeli. Apakah anda bersedia menghargai peraturan daerah setempat yang mencakup pembatasan penggunaan atau akses ketempat-tempat yang dapat membahayakan atau merusak lingkungan atau bertentangan dengan lingkungan pada tempat-tempat yang anda kunjungi? (Pitana,2005:86)

2.6. Perubahan pada Masyarakat yang Berdomisili pada Daerah Tujuan Wisata

Pada penelitian yang dilakukan oleh I Nyoman Erawan masyarakat yang berdomisili di daerah tujuan wisata memiliki dua pengaruh, yaitu pengaruh sosial dan pengaruh ekonomi.

1. Pengaruh Sosial

Pengaruh pariwisata dalam bidang sosial yang paling penting ialah pada gaya hidup masyarakatnya atau penduduk di daerah penerima wisatawan tersebut sebagai akibat adanya kontak langsung secara terus-menerus antara penduduk setempat dengan para wisatawan tersebut. Keadaan seperti ini disebut sebagai efek demonstratif (demonstrative effect) yang dalam hal ini bisa diartikan dengan cara yang sedikit berbeda, yaitu perubahan sikap, nilai-nilai atau tingkah laku yang diakibatkan hanya karena sering-seringnya masyarakat


(35)

setempat bergaul dan melihat pola hidup wisatawan tersebut di daerah yang dikunjungi. Pengaruhnya yang paling mudah dan sering terlihat adalah pola konsumsi masyarakat lokal yang cenderung berubah dan meniru pola konsumsi para wisatawan tersebut.

Selanjutnya kadang-kadang dikatakan bahwa efek demonstratif yang terjadi pada penduduk setempat tersebut mempunyai pengaruh yang dapat menolong mereka-mereka ini untuk bekerja lebih keras, agar mereka dapat memperbaiki standar hidupnya. Namun berlawanan dengan pendapat ini dinyatakan bahwa kemakmuran atau kemewahan yang ditunjukkan oleh para wisatawan tersebut ditengah-tengah kemiskinan penduduk lokal, dapat menimbulkan rasa sakit hati atau dendam, hingga hal-hal ini sering menimbulkan tindak kejahatan. Pandangan yang lain menyatakan bahwa percampuran sosial antara wisatawan dengan penduduk lokal menimbulkan situasi harga-menghargai (goodwill) diantara bangsa-bangsa dan dapat membina saling pengertian yang lebih baik mengenai kebudayaan dan persahabatan di antara mereka. Kemungkinan ini hanya berlaku di negara-negara yang jumlah wisatawannya yang datang relatif jarang. Akan tetapi bila jumlah wisatawan yang datang kedaerah itu sudah berlebihan maka selera dan kebiasaan dari para wisatawan dapat dipandang sebagai suatu penjajahan oleh penduduk lokal, karena mereka merasa cara hidupnya dirongrong.


(36)

Tidak seperti ekspor barang-barang biasa maka pariwisata tergantung pada kedatangannya langganannya ketempat produsen atau daerah wisata tersebut. Adanya pola musiman dalam bidang pariwisata ini telah menimbulkan keadaan penuh sesak dan kemacetan-kemacetan terutama dibidang lalu lintas khususnya pada musim wisatawan ramai (peak season). Dengan semakin meningkatnya jumlah wisatawan tersebut maka keadaan seperti itu akan semakin parah, dan ini akan cenderung mengakibatkan rusaknya fasilitas-fasilitas yang sebenarnya ingin mereka lihat. Dan ini akan mengurangi nilai keindahan daerah tersebut. Di samping itu, keadaan penuh sesak tersebut dapat menimbulkan kerusakan lingkungan baik pencemaran udara, pencemaran pantai, dan lain sebagainya. Akibat yang lain adalah timbulnya pembangunan fisik yang tidak terkontrol, dan ini dapat merusak keadaan lingkungan. Namun bila pengembangan pariwisata dibina secara baik justru dapat menjadi pendorong pemeliharaan lingkungan yang baik, atau bahkan dapat memanfaatkan lingkungan alam yang terlantar. Wisatawan yang mempunyai tujuan untuk rekreasi menginginkan suasana baru yang terlepas dari kebisingan seperti yang mereka alami sehari-hari di tempat asalnya. Daerah yang diinginkan ialah suatu daerah yang tenang, pemandangannya yang asli, yang nyaman untuk keperluan istirahat. Gairah wisatawan yang demikian justru akan mendorong pemeliharaan lingkungan alam, sebab seandainya daerah tujuan atau objek wisata tersebut rusak atau tidak


(37)

terpelihara, maka wisatawan tidak akan mendatangi objek wisata itu lagi di masa-masa yang akan datang.

2.7. Penelitian Terdahulu

Berdasarkan temuan peneliti, ada beberapa penelitian yang hampir sama dengan penelitian ini diantaranya :

1. Bukit Lawang ( Studi deskriptif mengenai peran masyarakat terhadap kelestarian hutan di Desa perkebunan Bukit Lawang, Kecamatan Bahorok, Kabupaten Langkat).

Penelitian ini dilakukan oleh Minartina N. Saragih. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan hubungan masyarakat dengan hutan dan melihat peran masyarakatnya dalam menjaga kelestarian hutan. Dalam penelitian ini, metode yang digunakan adalah metode kualitatif dengan teknik pengumpulan data melalui observasi dan wawancara. Kemudian data yang diperoleh dianalisis untuk mencari hubungan atas jawaban dari informan sehingga mencapai tujuan penelitian.

Hasil penelitian menjelaskan bahwa masyarakat Bukit Lawang sangat bergantung pada hutan. Hutan yang digunakan sebagai sarana pariwisata sehingga peranan masyarakat dalam hal ini sangat dibutuhkan untuk melestarikan hutan. Adapun peranan masyarakat sekitar Bukit Lawang adalah dengan melakukan kegiatan menanam pohon di TNGL dan melakukan patroli di taman nasional bersama para ranger. Selain itu masyarakat juga memiliki kearifan lokal dengan menggantikan pohon kayu menjadi bambu untuk kebutuhan


(38)

masyarakat sehari-hari, sehingga dapat mengurangi jumlah penebvangan pohon kayu di sekitar hutan.

2. Partisipasi masyarakat dalam pembangunan pariwisata (Studi tentang pembangunan ekowisata di Kenagarian Lasi Kecamatan Candung Kabupaten Agam, Provinsi Sumatera Utara)

Penelitian ini dilakukan oleh Sartika Maifat. Tujuan dari penelitian ini secara umum adalah untuk mengetahui bagaimana partisipasi masyarakat dalam pembangunan pariwisata di nagari Lasi. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian deskriptif kualitatif, dengan tehnik pengumpulan data melalui studi kepustakaan, observasi, kuisioner dan wawancara.

Dari hasil penelitian diketahui bahwa masyarakat Nagari Lasi kurang berpartisipasi dalam pembangunan pariwisata, ini disebabkan karena adanya masyarakat Nagari Lasi yang tidak setuju dengan adanya pembangunan pariwisata di Nagari. Ditambah dengan masih rendahnya tingkat kesiapan Badan Pengelola Objek Ekowisata di LPMN sehingga pembangunan pariwisata yang dilaksanakan tidak sesuai dengan kepentingan dan keinginan masyarakat Nagari Lasi.


(1)

(Pilih secara bertanggung jawab, apakah anda memilih untuk mendukung bisnis yang jelas dan secara aktif mengatasi masalah budaya dan lingkungan dari lokasi yang anda kunjungi?

3. Do your homework. Have you done any research about the people and place you plan to visit so you may avoid what may innocently offend them or harm their environment?

(Kerjakan pekerjaan rumah anda. Sudah kah anda meneliti orang dan tempat-tempat yang akan anda kunjungi sehingga anda dapat menghindarkan apa yang secara tidak sengaja dapat menyinggung perasaan atau merugikan lingkungan mereka?)

4. Be Aware. Are you informed of the holidays, holidays and general religious and social customs of the places you visit?

(Sadarilah. Apakah anda di informasikan menganai liburan dan kebiasaan keagamaan serta kebiasaan sosial dari tempat-tempat yang anda kunjungi?)

5. Support local Enterprise. Have you made a commitment to contribute to the local economy by using businesses that economically support the comunity you are visiting, eating in local restaurant and buying locally made artisan crafts as remembrances of your trip?

(Dukunglah usaha lokal. Apakah anda membuat sebuah komitmen untuk memberikan kontribusi terhadap ekonomi lokal dengan menggunakan usaha yang secara ekonomis mendukung komunitas yang anda kunjungi, makan di restoran lokal dan membeli kerajinan buatan lokal sebagai kenangan dari perjalanan anda?)


(2)

6. Be Respectfull and observant.Are you willing to respect local lawsthat may include restrictions of your usage of or accsess to places and things that may harm or otherwise erode the environment or alter or run counter to the places your visit?

(Bersikaplah hormat dan jeli. Apakah anda bersedia menghargai peraturan daerah setempat yang mencakup pembatasan penggunaan atau akses ketempat-tempat yang dapat membahayakan atau merusak lingkungan atau bertentangan dengan lingkungan pada tempat-tempat yang anda kunjungi? (Pitana,2005:86)

2.6. Perubahan pada Masyarakat yang Berdomisili pada Daerah Tujuan Wisata

Pada penelitian yang dilakukan oleh I Nyoman Erawan masyarakat yang berdomisili di daerah tujuan wisata memiliki dua pengaruh, yaitu pengaruh sosial dan pengaruh ekonomi.

1. Pengaruh Sosial

Pengaruh pariwisata dalam bidang sosial yang paling penting ialah pada gaya hidup masyarakatnya atau penduduk di daerah penerima wisatawan tersebut sebagai akibat adanya kontak langsung secara terus-menerus antara penduduk setempat dengan para wisatawan tersebut. Keadaan seperti ini disebut sebagai efek demonstratif (demonstrative effect) yang dalam hal ini bisa diartikan dengan cara yang sedikit berbeda, yaitu perubahan sikap, nilai-nilai atau tingkah laku yang diakibatkan hanya karena sering-seringnya masyarakat


(3)

setempat bergaul dan melihat pola hidup wisatawan tersebut di daerah yang dikunjungi. Pengaruhnya yang paling mudah dan sering terlihat adalah pola konsumsi masyarakat lokal yang cenderung berubah dan meniru pola konsumsi para wisatawan tersebut.

Selanjutnya kadang-kadang dikatakan bahwa efek demonstratif yang terjadi pada penduduk setempat tersebut mempunyai pengaruh yang dapat menolong mereka-mereka ini untuk bekerja lebih keras, agar mereka dapat memperbaiki standar hidupnya. Namun berlawanan dengan pendapat ini dinyatakan bahwa kemakmuran atau kemewahan yang ditunjukkan oleh para wisatawan tersebut ditengah-tengah kemiskinan penduduk lokal, dapat menimbulkan rasa sakit hati atau dendam, hingga hal-hal ini sering menimbulkan tindak kejahatan. Pandangan yang lain menyatakan bahwa percampuran sosial antara wisatawan dengan penduduk lokal menimbulkan situasi harga-menghargai (goodwill) diantara bangsa-bangsa dan dapat membina saling pengertian yang lebih baik mengenai kebudayaan dan persahabatan di antara mereka. Kemungkinan ini hanya berlaku di negara-negara yang jumlah wisatawannya yang datang relatif jarang. Akan tetapi bila jumlah wisatawan yang datang kedaerah itu sudah berlebihan maka selera dan kebiasaan dari para wisatawan dapat dipandang sebagai suatu penjajahan oleh penduduk lokal, karena mereka merasa cara hidupnya dirongrong.


(4)

Tidak seperti ekspor barang-barang biasa maka pariwisata tergantung pada kedatangannya langganannya ketempat produsen atau daerah wisata tersebut. Adanya pola musiman dalam bidang pariwisata ini telah menimbulkan keadaan penuh sesak dan kemacetan-kemacetan terutama dibidang lalu lintas khususnya pada musim wisatawan ramai (peak season). Dengan semakin meningkatnya jumlah wisatawan tersebut maka keadaan seperti itu akan semakin parah, dan ini akan cenderung mengakibatkan rusaknya fasilitas-fasilitas yang sebenarnya ingin mereka lihat. Dan ini akan mengurangi nilai keindahan daerah tersebut. Di samping itu, keadaan penuh sesak tersebut dapat menimbulkan kerusakan lingkungan baik pencemaran udara, pencemaran pantai, dan lain sebagainya. Akibat yang lain adalah timbulnya pembangunan fisik yang tidak terkontrol, dan ini dapat merusak keadaan lingkungan. Namun bila pengembangan pariwisata dibina secara baik justru dapat menjadi pendorong pemeliharaan lingkungan yang baik, atau bahkan dapat memanfaatkan lingkungan alam yang terlantar. Wisatawan yang mempunyai tujuan untuk rekreasi menginginkan suasana baru yang terlepas dari kebisingan seperti yang mereka alami sehari-hari di tempat asalnya. Daerah yang diinginkan ialah suatu daerah yang tenang, pemandangannya yang asli, yang nyaman untuk keperluan istirahat. Gairah wisatawan yang demikian justru akan mendorong pemeliharaan lingkungan alam, sebab seandainya daerah tujuan atau objek wisata tersebut rusak atau tidak


(5)

terpelihara, maka wisatawan tidak akan mendatangi objek wisata itu lagi di masa-masa yang akan datang.

2.7. Penelitian Terdahulu

Berdasarkan temuan peneliti, ada beberapa penelitian yang hampir sama dengan penelitian ini diantaranya :

1. Bukit Lawang ( Studi deskriptif mengenai peran masyarakat terhadap kelestarian hutan di Desa perkebunan Bukit Lawang, Kecamatan Bahorok, Kabupaten Langkat).

Penelitian ini dilakukan oleh Minartina N. Saragih. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan hubungan masyarakat dengan hutan dan melihat peran masyarakatnya dalam menjaga kelestarian hutan. Dalam penelitian ini, metode yang digunakan adalah metode kualitatif dengan teknik pengumpulan data melalui observasi dan wawancara. Kemudian data yang diperoleh dianalisis untuk mencari hubungan atas jawaban dari informan sehingga mencapai tujuan penelitian.

Hasil penelitian menjelaskan bahwa masyarakat Bukit Lawang sangat bergantung pada hutan. Hutan yang digunakan sebagai sarana pariwisata sehingga peranan masyarakat dalam hal ini sangat dibutuhkan untuk melestarikan hutan. Adapun peranan masyarakat sekitar Bukit Lawang adalah dengan melakukan kegiatan menanam pohon di TNGL dan melakukan patroli di taman nasional bersama para ranger. Selain itu masyarakat juga memiliki kearifan lokal dengan menggantikan pohon kayu menjadi bambu untuk kebutuhan


(6)

masyarakat sehari-hari, sehingga dapat mengurangi jumlah penebvangan pohon kayu di sekitar hutan.

2. Partisipasi masyarakat dalam pembangunan pariwisata (Studi tentang pembangunan ekowisata di Kenagarian Lasi Kecamatan Candung Kabupaten Agam, Provinsi Sumatera Utara)

Penelitian ini dilakukan oleh Sartika Maifat. Tujuan dari penelitian ini secara umum adalah untuk mengetahui bagaimana partisipasi masyarakat dalam pembangunan pariwisata di nagari Lasi. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian deskriptif kualitatif, dengan tehnik pengumpulan data melalui studi kepustakaan, observasi, kuisioner dan wawancara.

Dari hasil penelitian diketahui bahwa masyarakat Nagari Lasi kurang berpartisipasi dalam pembangunan pariwisata, ini disebabkan karena adanya masyarakat Nagari Lasi yang tidak setuju dengan adanya pembangunan pariwisata di Nagari. Ditambah dengan masih rendahnya tingkat kesiapan Badan Pengelola Objek Ekowisata di LPMN sehingga pembangunan pariwisata yang dilaksanakan tidak sesuai dengan kepentingan dan keinginan masyarakat Nagari Lasi.


Dokumen yang terkait

Analisis Daya Dukung Sektor Pertanian Dalam Pengelolaan Obyek Wisata Di Kecamatan Girsang Sipangan Bolon Kabupaten Simalungun

4 52 149

Partisipasi Masyarakat Dalam Pengelolaan Wisata Alam Danau Toba (studi deskriptif di Kelurahan Parapat, Kecamatan Girsang Sipangan Bolon, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara)

18 120 118

Partisipasi Masyarakat Dalam Pengelolaan Wisata Alam Danau Toba (studi deskriptif di Kelurahan Parapat, Kecamatan Girsang Sipangan Bolon, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara)

7 38 118

PENGARUH KUNJUNGAN WISATAWAN TERHADAP PENGHASILAN KEGIATAN USAHA WARGA MASYARAKAT DI KAWASAN OBJEK WISATA DANAU TOBA DI KECAMATAN GIRSANG SIPANGAN BOLON PARAPAT.

0 3 26

PERAN PARTAI POLITIKDEMOKRAT DALAM MENINGKATKAN PARTISIPASI POLITIK MASYARAKAT DIKECAMATAN GIRSANG SIPANGAN BOLON KABUPATEN SIMALUNGUN.

0 2 24

Partisipasi Masyarakat Dalam Pengelolaan Wisata Alam Danau Toba (studi deskriptif di Kelurahan Parapat, Kecamatan Girsang Sipangan Bolon, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara)

0 0 7

Partisipasi Masyarakat Dalam Pengelolaan Wisata Alam Danau Toba (studi deskriptif di Kelurahan Parapat, Kecamatan Girsang Sipangan Bolon, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara)

0 0 1

Partisipasi Masyarakat Dalam Pengelolaan Wisata Alam Danau Toba (studi deskriptif di Kelurahan Parapat, Kecamatan Girsang Sipangan Bolon, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara)

0 1 11

Partisipasi Masyarakat Dalam Pengelolaan Wisata Alam Danau Toba (studi deskriptif di Kelurahan Parapat, Kecamatan Girsang Sipangan Bolon, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara)

0 0 3

Partisipasi Masyarakat Dalam Pengelolaan Wisata Alam Danau Toba (studi deskriptif di Kelurahan Parapat, Kecamatan Girsang Sipangan Bolon, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara)

0 0 3