Hubungan Asupan Vitamin D, Gaya Hidup dan Indeks Massa Tubuh dengan Kadar 25(OH)D Serum pada Perempuan Usia 20-50 Tahun

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1.

Latar Belakang
Defisiensi vitamin D sudah banyak dibicarakan sebagai masalah kesehatan

dunia yang tidak hanya berakibat pada kesehatan muskuloskeletal tetapi juga
masalah penyakit akut dan kronik (Hossein-nezhad dan Holick, 2013). Indonesia
adalah negara tropis yang sepanjang tahun disinari matahari. Dari beberapa
penelitian yang ada, prevalensi defisiensi vitamin D pada wanita berusia 45-55
tahun adalah sekitar 50%. Sementara temuan Setiati, pada wanita berusia 60-75
tahun menemukan defisiensi vitamin D sebesar 35,1%. Penelitian di Indonesia
dan Malaysia, pada 504 wanita usia subur berusia 18-40 tahun menemukan ratarata konsentrasi serum 25(OH)D adalah 48 nmol/L dengan prevalensi defisiensi
vitamin D sebesar 63% (Yosephin et al., 2014).
Data prevalensi defisiensi vitamin D pada usia lanjut di berbagai negara
Eropa, Amerika, dan Asia (Singapura, Jepang dan Hongkong) bervariasi, dari 525% pada usia lanjut yang mandiri, sampai 60-80% pada usia lanjut yang tinggal
di panti dan rumah sakit. Data status vitamin D pada populasi usia lanjut di
Indonesia sampai saat ini belum ada. Beberapa faktor yang mempengaruhi

terjadinya defisiensi vitamin D pada orang perempuan berusia lanjut meliputi
perubahan fungsi organ yang terlibat dalam proses sintesis 25(OH)D seperti kulit,
hati, ginjal, dan usus, gaya hidup yang cenderung menghindari sinar matahari dan
rendahnya asupan makanan yang mengandung vitamin D. Defisiensi vitamin D
pada populasi usia lanjut dapat diatasi dengan meningkatkan sintesis vitamin D
atau memberikan suplementasi atau fortifikasi makanan. Upaya meningkatkan
sintesis vitamin D dapat dilakukan dengan memberikan pajanan sinar matahari
atau dengan pajanan sinar ultraviolet B (UVB) buatan (Setiati, 2008).
Berbagai studi epidemiologi mengindikasikan konsentrasi 25(OH)D