Hubungan Asupan Vitamin D, Gaya Hidup dan Indeks Massa Tubuh dengan Kadar 25(OH)D Serum pada Perempuan Usia 20-50 Tahun

(1)

44

LAMPIRAN 1

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama Lengkap : Delina Sekar Arum

Jenis Kelamin : Perempuan

Tempat/Tanggal Lahir : Tebing Tinggi/15 Juli 1994

Warga Negara : Indonesia

Agama : Islam

Orang Tua : Ayah : Ir. Seno Adji

Ibu : Dra. Wisanti

Alamat : Puri Zahara I, blok B no 10, Jalan Bunga Rinte Raya,

Medan

Nomor Handphone : 081534669403

Email : Delinasekararum@ymail.com

Riwayat Pendidikan :

1. SD Negeri 101972 Kotangan, Galang (2000-2004) 2. SD Swasta Al- Azhar Medan (2004-2006) 3. SMP Negeri 2 Purworejo (2006-2009) 4. SMA Negeri 1 Purworejo (2009-2012)

5. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara (2012-Sekarang)

Riwayat Organisasi :


(2)

45

LAMPIRAN 2

LEMBAR PENJELASAN

Saya Delina Sekar Arum, saat ini saya sedang menjalani program pendidikan dokter di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Sehubungan dengan persyaratan penyelesaian studi saya untuk memperoleh gelar sarjana kedokteran, saat ini saya sedang melakukan penelitian dengan judul “Hubungan Asupan Vitamin D, Gaya Hidup, dan Indeks Massa Tubuh dengan Kadar 25(OH)D Serum pada Perempuan Usia 20- 50 Tahun”.

Pada penelitian ini, saya akan memberikan lembar untuk mencatat makanan apa saja yang sudah saudari konsumsi selama 2x 24jam terakhir, beberapa pertanyaan yang berhubungan gaya hidup saudari terkait dengan paparan sinar matahari, pemakaian tabir surya dan pemakaian hijab serta melakukan pengukuran tinggi dan berat badan saudari. Saya meminta kesediaan untuk berkenan mengikuti penelitiam ini. Partisipasi saudari dalam penelitian ini bersifat sukarela tanpa paksaan apapun. Hasil jawaban dan wawancara tidak akan disalahgunakan untuk kepentingan lain dan akan tetap dirahasiakan.

Jika selama penelitian ini terdapat hal-hal yang kurang jelas, saudari dapat menghubungi saya, Delina Sekar Arum (081534669403). Demikian lembar penjelasan ini saya buat, atas perhatian saudari saya ucapkan terima kasih.

Medan, 3 Oktober 2015 Hormat saya,


(3)

46

LAMPIRAN 3

LEMBAR PERSETUJUAN SETELAH PENJELASAN (Informed Consent)

Setelah membaca dan mendapat penjelasan serta memahami sepenuhnya tentang penelitian :

“Hubungan Asupan Vitamin D, Gaya Hidup, dan Indeks Massa Tubuh dengan Kadar 25(OH)D Serum pada Perempuan Usia 20- 50 Tahun”.

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : . .

Umur : . .

Alamat : . .

Menyatakan bersedia dengan penuh kesadaran dan tanpa paksaan untuk berpartisipasi dalam penelitian ini. Demikian surat persetujuan ini saya buat dengan penuh tanggung jawab agar dapat digunakan sebagaimana mestinya.

Medan, 3 Oktober 2015 Yang membuat pernyataan,


(4)

47

LAMPIRAN 4

No Responden

FORMULIR

FOOD RECALL 2 x 24 HOUR Nama Responden :

Umur :

Pekerjaan :

Waktu Jenis

Makanan

Bahan Makanan

Jumlah

URT Berat (gr)

Pagi

Selingan

Siang

Selingan


(5)

48

Waktu Jenis

Makanan

Bahan Makanan

Jumlah

URT Berat (gr)

Pagi

Selingan

Siang

Selingan


(6)

49

LAMPIRAN 5

KUESIONER GAYA HIDUP

Nama Responden :

Umur :

Pekerjaan :

Pendidikan terakhir : Berat Badan : Tinggi Badan :

IMT :

1. Berapa lama anda terpapar sinar matahari dalam 24 jam? a. < 60 menit

b. ≥ 60 menit

2. Apakah anda memakai sunblock/ tabir surya ketika keluar rumah? a. Ya

b. Tidak

3. Apakah anda selalu menggunakan hijab/ pakaian tertutup (bagian tubuh yang terlihat hanya pergelangan tangan dan wajah) ketika keluar rumah? a. Ya


(7)

50

LAMPIRAN 6

TABEL DISTRIBUSI FREKUENSI KARAKTERISTIK SUBJEK PENELITIAN

Usia

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid

20-29tahun 2 4.4 4.4 4.4

30-39tahun 9 20.0 20.0 24.4

40-50tahun 34 75.6 75.6 100.0

Total 45 100.0 100.0

Pendidikan

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid

tidak sekolah 29 64.4 64.4 64.4

SD 11 24.4 24.4 88.9

SMP 4 8.9 8.9 97.8

SMA 1 2.2 2.2 100.0

Total 45 100.0 100.0

Asupan Vitamin D

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid

cukup 1 2.2 2.2 2.2

kurang 44 97.8 97.8 100.0


(8)

51

Paparan Sinar Matahari

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid

cukup 36 80.0 80.0 80.0

kurang 9 20.0 20.0 100.0

Total 45 100.0 100.0

Pemakaian Sunblock

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid

tidak 35 77.8 77.8 77.8

ya 10 22.2 22.2 100.0

Total 45 100.0 100.0

Pemakaian Hijab

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid

tidak 21 46.7 46.7 46.7

ya 24 53.3 53.3 100.0

Total 45 100.0 100.0

Indeks Massa Tubuh

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid

Normal 19 42.2 42.2 42.2

Overweight 13 28.9 28.9 71.1

Obesitas 13 28.9 28.9 100.0


(9)

52

Kadar 25(OH)D Serum

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent Valid

sufisiensi 1 2.2 2.2 2.2

defisiensi-insufisiensi 44 97.8 97.8 100.0


(10)

53

LAMPIRAN 7

HASIL ANALISIS MENGGUNAKAN PROGRAM KOMPUTER SPSS

Crosstabulation Hubungan Asupan Vitamin D dengan Kadar 25(OH)D

Serum

Kadar 25(OH)D Serum Total sufisiensi

defisiensi-insufisiensi

Asupan Vit.D cukup

Count 0 1 1

% within asupanKEL 0.0% 100.0% 100.0%

% within vitDkel 0.0% 2.3% 2.2%

% of Total 0.0% 2.2% 2.2%

kurang

Count 1 43 44

% within asupanKEL 2.3% 97.7% 100.0% % within vitDkel 100.0% 97.7% 97.8%

% of Total 2.2% 95.6% 97.8%

Total

Count 1 44 45

% within asupanKEL 2.2% 97.8% 100.0% % within vitDkel 100.0% 100.0% 100.0%

% of Total 2.2% 97.8% 100.0%

Chi-Square Tests

Value df Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided)

Pearson Chi-Square .023a 1 .879

Continuity Correctionb .000 1 1.000

Likelihood Ratio .045 1 .831

Fisher's Exact Test 1.000 .978

Linear-by-Linear Association .023 1 .880

N of Valid Cases 45

a. 3 cells (75.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is .02. b. Computed only for a 2x2 table


(11)

54

Risk Estimate

Value 95% Confidence Interval Lower Upper For cohort vitDkel = defisiensi-insufisiensi 1.023 .978 1.070

N of Valid Cases 45

Crosstabulation Hubungan Gaya Hidup dengan Kadar 25(OH)D Serum

Kadar 25(OH)D Serum Total sufisiensi

defisiensi-insufisiensi

paparan

cukup

Count 1 35 36

Expected Count .8 35.2 36.0

% within vitDkel 100.0% 79.5% 80.0%

% of Total 2.2% 77.8% 80.0%

kurang

Count 0 9 9

Expected Count .2 8.8 9.0

% within vitDkel 0.0% 20.5% 20.0%

% of Total 0.0% 20.0% 20.0%

Total

Count 1 44 45

Expected Count 1.0 44.0 45.0

% within vitDkel 100.0% 100.0% 100.0%


(12)

55

Chi-Square Tests

Value df Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided)

Pearson Chi-Square .256a 1 .613

Continuity Correctionb .000 1 1.000

Likelihood Ratio .452 1 .501

Fisher's Exact Test 1.000 .800

Linear-by-Linear Association .250 1 .617

N of Valid Cases 45

a. 2 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is .20. b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate

Value 95% Confidence Interval Lower Upper For cohort vitDkel = defisiensi-insufisiensi .972 .920 1.027

N of Valid Cases 45

Crosstab

Kadar 25(OH)D Serum Total sufisiensi

defisiensi-insufisiensi

sunblock

tidak

Count 1 34 35

Expected Count .8 34.2 35.0

% within vitDkel 100.0% 77.3% 77.8%

% of Total 2.2% 75.6% 77.8%

ya

Count 0 10 10

Expected Count .2 9.8 10.0

% within vitDkel 0.0% 22.7% 22.2%

% of Total 0.0% 22.2% 22.2%

Total

Count 1 44 45

Expected Count 1.0 44.0 45.0

% within vitDkel 100.0% 100.0% 100.0%


(13)

56

Chi-Square Tests

Value df Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided)

Pearson Chi-Square .292a 1 .589

Continuity Correctionb .000 1 1.000

Likelihood Ratio .509 1 .476

Fisher's Exact Test 1.000 .778

Linear-by-Linear Association .286 1 .593

N of Valid Cases 45

a. 2 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is .22. b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate

Value 95% Confidence Interval Lower Upper For cohort vitDkel = defisiensi-insufisiensi .971 .918 1.028

N of Valid Cases 45

Crosstab

Kadar 25(OH)D Serum Total sufisiensi

defisiensi-insufisiensi

hijab

tidak

Count 1 20 21

Expected Count .5 20.5 21.0

% within vitDkel 100.0% 45.5% 46.7%

% of Total 2.2% 44.4% 46.7%

ya

Count 0 24 24

Expected Count .5 23.5 24.0

% within vitDkel 0.0% 54.5% 53.3%

% of Total 0.0% 53.3% 53.3%

Total

Count 1 44 45

Expected Count 1.0 44.0 45.0

% within vitDkel 100.0% 100.0% 100.0%


(14)

57

Chi-Square Tests

Value df Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided)

Pearson Chi-Square 1.169a 1 .280

Continuity Correctionb .005 1 .946

Likelihood Ratio 1.550 1 .213

Fisher's Exact Test .467 .467

Linear-by-Linear Association 1.143 1 .285

N of Valid Cases 45

a. 2 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is .47. b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate

Value 95% Confidence Interval Lower Upper For cohort vitDkel = defisiensi-insufisiensi .952 .866 1.048

N of Valid Cases 45

Crosstabulation Hubungan Indeks Massa Tubuh dengan Kadar 25(OH)D

Serum

Kadar 25(OH)D Serum Total sufisiensi

defisiensi-insufisiensi

IMT Baru 2 Kategori

Normal

Count 1 18 19

Expected Count .4 18.6 19.0

% within vitDkel 100.0% 40.9% 42.2% Overweight Obesitas

Count 0 26 26

Expected Count .6 25.4 26.0

% within vitDkel 0.0% 59.1% 57.8% Total

Count 1 44 45

Expected Count 1.0 44.0 45.0


(15)

58

Chi-Square Tests

Value df Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided)

Pearson Chi-Square 1.400a 1 .237

Continuity Correctionb .025 1 .873

Likelihood Ratio 1.756 1 .185

Fisher's Exact Test .422 .422

Linear-by-Linear Association 1.368 1 .242

N of Valid Cases 45

a. 2 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is .42. b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate

Value 95% Confidence Interval Lower Upper For cohort vitDkel = defisiensi-insufisiensi .947 .852 1.053


(16)

59


(17)

60


(18)

61

LAMPIRAN 10


(19)

LAMPIRAN 11

Data Induk Penelitian

No Nama Pendidikan Usia Kadar 25(OH)D Serum Asupan Vitamin D Paparan Sunblock Hijab IMT

1 A 1 3 2 2 1 2 1 1

2 B 1 3 2 2 1 1 2 2

3 C 2 3 2 2 1 1 1 1

4 D 1 2 2 2 1 1 2 2

5 E 3 2 2 2 1 2 1 1

6 F 2 2 2 2 2 1 1 1

7 G 4 3 2 2 2 1 2 2

8 H 1 3 2 2 1 2 1 2

9 I 2 2 2 2 1 1 1 2

10 J 1 3 2 2 2 2 1 2

11 K 1 3 2 2 1 1 1 2

12 L 1 3 2 2 1 1 1 1

13 M 1 3 2 2 1 1 2 1


(20)

15 O 2 3 2 2 1 1 2 2

16 P 3 1 2 2 1 2 2 2

17 Q 1 1 2 2 1 2 2 1

18 R 1 3 2 2 2 1 1 1

19 S 1 3 2 2 2 1 2 2

20 T 1 2 2 2 1 2 2 2

21 U 1 2 2 2 1 1 2 2

22 V 1 3 2 2 1 1 1 1

23 W 1 3 2 2 1 2 2 1

24 X 1 3 2 2 1 2 1 2

25 Y 1 3 2 2 2 2 1 2

26 Z 1 3 2 2 1 1 2 2

27 AA 1 3 2 2 2 1 2 2

28 BB 1 3 2 2 1 1 1 1

29 CC 1 3 2 2 1 1 2 2

30 DD 1 3 2 2 2 1 2 1

31 EE 1 3 1 2 1 1 1 1


(21)

33 GG 1 3 2 2 1 1 2 2

34 HH 1 3 2 2 1 1 2 1

35 II 1 2 2 2 1 1 2 2

36 JJ 1 3 2 2 1 1 2 2

37 KK 2 3 2 2 1 1 2 2

38 LL 2 3 2 2 1 1 2 2

39 MM 2 3 2 2 2 1 2 2

40 NN 2 3 2 2 1 1 2 1

41 OO 2 3 2 2 1 1 1 2

42 PP 2 3 2 2 1 1 1 1

43 QQ 2 3 2 2 1 1 1 2

44 RR 3 2 2 2 1 1 1 1


(22)

41

DAFTAR PUSTAKA

Almatsier S. 2010. Prinsip dasar ilmu gizi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Angka Kecukupan Gizi (AKG). 2013. Angka kecukupan gizi yang dianjurkan

bagi Bangsa Indonesia. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 75 Tahun 2013. Diunduh dari http://hukor.depkes.go.id/up_prod_kepmenkes/KMK%20No.%201142 %20ttg%20Pedoman%20Pengendalian%20Osteoporosis.pdf [diakses tanggal 19 Mei 2015].

Binkey N, Novotny R, Krueger D, Kawahara T, Daida YG, Lensmeyer G, Hollis BW, dan Drezner MK. 2007. Low vitamin D status despite abundant sun exposure. The Journal of Clinical Endocrinology & Metabolism 92(6): 2130-2135.

Dahlan MS. 2013. Besar Sampel dan Cara Pengambilan Sampel dalam Penelitian Kedokteran dan Kesehatan. Jakarta: Salemba Medika. 5: 46-60.

Enrawati R dan Sandjaja. 2011. Status vitamin D terkini anak Indonesia usia 1,0-

12,9 tahun. Diunduh dari

http://file.persagi .org/share/78%20Djoko%20Kartono%20-%20Sosialisasi%20AKG.pdf [diakses tanggal 11 Mei 2015].

Greenfield JA, Park PS, Farahani E, Malik A, Vieth R, McFarlane NA, Shepherd TG, dan Knight JA. 2012. Solar utraviolet-B radiation and vitamin D: a creoss-sectional population-based study using data from 2007 to 2009 Canadian Health Measures Survey. BMC Public Health 12: 660.

Harahap H, Widodo Y, dan Mulyati S. 2005. Penggunaan Berbagai Cut-Off Indeks Massa Tubuh Sebagai Indikator Obesitas Terkait Penyakit Degeneratif di Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Gizi dan Makanan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Depkes. Holick MF. 2007. Vitamin D deficiency. N Engl J Med. 357: 266-281.

Holmes RP dan Kummerow FA. 1983. The relationship of adequate and excessive intake of vitamin D to health and disease. J Am Coll Nutr. 2:173-176. Hossein-nezhad A dan Holick MF. 2013. Vitamin D for health: a global


(23)

42

Jaaskelainen T, Knekt P, Marniemi J, Sares-Jaske L, Mannisto S, Heliuvaara M, dan Jarvinen R. 2013. Vitamin D status is associated with sociodemographic factors, lifestyle and metabolic health. Eur J Nutr. 52(2): 513-25.

Joh H, Lim CS, dan Cho B. 2015. Lifestyle and dietary factors associated with serum 25- hydroxyvitamin D levels in korean young adults. J Korean Med Sci 30: 1110-1120.

Kennel KA, Drake MT, dan Hurley DL. 2010. Vitamin D deficiency in adults: when to test and how to treat. Mayo Clin Proc. 85(8): 752-758.

Khor GL, Chee WSS, Shariff ZM, Poh BK, Arumugam M, Rahman JA, dan Theobald HE. 2011. High prevalence of vitamin D insuficiency and its association with BMI-fir-age among primary school children in Kuala Lumpur, Malaysia. BMC Public Health. 11:95-103.

Madiyono B, Moeslichan S, Sastroasmoro S, Budiman I, dan Purwanto SH. 2014. Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis. Jakarta: CV. Sagung Seto. 17: 370-371.

Manicourt D dan Devogelaer J. 2008. Urban tropospheric ozone increases the prevalence of vitamin D deficiency among belgian postmenopausal woman with outdoor activities during summer. J Clin Endocrinol Metab. 93(10):3893–3899.

Nimitphong H dan Holick MF. 2013. Vitamin D status and sun exposure in Southeast Asia. Dermato-Endocrinology 5:1, 34-37, DOI: 10.4161/derm.24054.

Saliba W, Barnett-Griness O, dan Rennert G. 2012. The Relathionship Between Obesity and The Increase in Serum 25(OH)D Levels in Response to Vitamin D Supplementation. International Osteoporosis Foundation and National Osteoporosis Foundation 2012. DOI 10.1007/s00198-012-2129-0.

Sari DK. 2014. Vitamin D & perempuan. 2014. Medan : USU Press.

Sari DK, Damanik HA, Lipoeto NI, dan Lubis Z. 2013. Is mikro evolution in tropical country woman resulting low 25(OH)D level?: a cross sectional study in Indonesia. J Nutr Food Sci 4:1.


(24)

43

Sari DK, Damanik HA, Lipoeto NI, dan Lubis Z. 2014. Occurence of vitamin D deficiency among woman in North Sumatera, Indonesia. Mal J Nutr 20(1): 63-70.

Setiati S. 2008. Pengaruh pajanan ultraviolet B bersumber dari sinar matahari terhadap konsentrasi vitamin D (25(OH)D) dan hormon paratiroid pada perempuan usia lanjut Indonesia. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 2, No. 4.

Shirazi L, Almquist M, Malm J, Wirfalt E, dan Manjer J. 2013. Determinants of serum levels of vitamin D: a study of life-style, menopausal status, dietary intake, serum calcium, and PTH. BMC Women’s Health 13:33. Soejitno A dan Kuswardhani RAT. 2009. Defisiensi vitamin D: mekanisme,

implikasi dan terapi pada lansia. CDK 168 Vol. 36, No. 2.

Truswell S. 2014. Buku ajar ilmu gizi. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Wortsman J, Matsuoka LY, Chen TC, Lu Z, dan Holick MF. 2000. Decreased

bioavaibility of vitamin D in obesity. Am J Clin Nutr 72:690-3.

Yosephin B, Khomsan A, Briawan D, dan Rimbawan. 2014. Peranan ultraviolet B sinar matahari terhadap status vitamin D dan tekanan darah pada wanita usia subur. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 8, No. 6.


(25)

BAB 3

KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1. Kerangka Konsep

Berdasarkan tinjauan pustaka penelitian di atas maka kerangka konsep dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

Variabel Independen Variabel Dependen

Gambar 3.1. Kerangka Konsep

3.2. Definisi Operasional

Definisi operasional penelitian ini mencakup lima hal yaitu, asupan vitamin D, gaya hidup, indeks massa tubuh, kadar 25(OH)D serum, dan karakteristik demografi.

a. Asupan vitamin D adalah kebiasaan konsumsi bahan makanan yang mengandung vitamin D yang diukur dari frekuensi dan jenis bahan makanan yang dikonsumsi.

Alat ukur : Kuesioner Cara pengukuran : Wawancara Asupan Vitamin D

Gaya Hidup

Indeks Massa Tubuh

Paparan Sinar Matahari

Pemakaian Sunblock

Pemakaian Hijab


(26)

18

Skala pengukuran : Rasio

Skor untuk setiap kuesioner adalah : 1. Kurang : < 15mcg

2. Cukup : ≥ 15mcg

b. Gaya hidup meliputi lamanya paparan sinar matahari, pemakaian sunblock dan pemakaian hijab (seluruh bagian tubuh tertutup kecuali bagian wajah dan pergelangan tangan).

Alat ukur : Kuesioner Cara pengukuran : Wawancara Skala pengukuran : Ordinal Skor untuk setiap kuesioner adalah :

1. Paparan sinar matahari : Kurang : < 60 menit Cukup : ≥ 60 menit 2. Pemakaian sunblock : Ya

Tidak 3. Pemakaian hijab : Ya

Tidak

c. Indeks massa tubuh (IMT) merupakan alat atau cara yang sederhana untuk memantau status gizi orang dewasa, khususnya yang berkaitan dengan kekurangan dan kelebihan berat badan.

Alat ukur : Timbangan neraca dan microtoise

Cara pengukuran : Mengukur berat badan dan tinggi badan subjek penelitian

Skala pengukuran : Ordinal Skor untuk setiap kuesioner adalah : 1. Normal : 18,5 – 25,0 2. Overweight : 25,1 – 27,0 3. Obesitas : > 27,0


(27)

19

d. 25(OH)D serum didapatkan melalui pengambilan darah pada sampel, kemudian di periksa kadarnya di laboratorium. 25(OH)D serum adalah bentuk vitamin D terbanyak yang terdapat di sirkulasi tubuh, yang mencapai waktu paruh 2 minggu, namun dalam keadaan tidak aktif.

Alat ukur : Laboratorium

Cara Pengukuran : Pengambilan serum darah Skala Pengukuran : Rasio

Skor untuk setiap pengukuran adalah : 1. Defisiensi : < 20 ng/mL 2. Insufisiensi : 20- 29 ng/mL 3. Sufisiensi : ≥ 30 ng/mL

Penelitian ini berpayung pada penelitian Dr. dr. Dina Keumala Sari, M.Gizi, Sp.GK sehingga dalam hal ini peneliti tidak melakukan pengukuran kadar 25(OH)D serum melainkan hanya mengambil data dan kemudian dilakukan pengelompokan.

e. Karakteristik demografi meliputi usia, dan pendidikan subjek penelitian. Alat Ukur : Kuesioner

Cara Pengukuran : Wawancara Skala Pengukuran :

1. Usia : Rasio

2. Pendidikan : Ordinal

Kelompok untuk setiap pengukuran adalah :

Usia dibagi atas 3 kelompok, yaitu kelompok usia 20- 29 tahun, usia 30- 39 tahun dan usia 40- 50 tahun. Pendidikan terdiri dari kelompok tidak sekolah, sekolah dasar (SD), sekolah menengah pertama (SMP) dan sekolah menengah atas (SMA).


(28)

20

2.3. Hipotesis

Hipotesis dari penelitian ini adalah : Terdapat hubungan antara asupan vitamin D, gaya hidup dan indeks massa tubuh terhadap kadar 25(OH)D serum.


(29)

BAB 4

METODE PENELITIAN

4.1. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian cross sectional, bersifat studi deskriptik-analitik yang menganalisis hubungan anatara asupan vitamin D, gaya hidup dan indeks massa tubuh terhadap kadar 25(OH)D serum pada perempuan usia 20-50 tahun.

4.2. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan di unit Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) Desa Aman Damai, Kecamatan Serapit, Kabupaten Langkat, Provinsi Sumatera Utara. Penelitian ini dilaksanakan pada Bulan Juli- Agustus 2015.

4.3. Populasi dan Sampel

Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah kelompok wanita tani yang bernaung dibawah pembinaan Unit PKK Desa Aman Damai yang berlokasi di Kecamatan Serapit Kabupaten Langkat Provinsi Sumatera Utara.

4.3.1. Populasi Target

Populasi target pada penelitian ini adalah wanita tani yang memiliki rentang umur 20-50 tahun di Kecamatan Serapit Kabupaten Langkat.

4.3.2. Populasi Terjangkau

Populasi terjangkaunya adalah wanita tani yang memiliki rentang umur 20- 50 tahun yang bernaung dibawah Unit PKK Desa Aman Damai di Kecamatan Serapit Kabupaten Langkat pada Bulan Oktober 2015.


(30)

22

4.3.3. Kriteria Inklusi

1. Subjek sehat secara jasmani dan rohani 2. Subjek bersedia menjadi subjek penelitian

4.3.4. Kriteria Eksklusi

1. Penderita diabetes mellitus 2. Penderita penyakit jantung

4.3.5. Besar Sampel

Perhitungan besar sampel pada penelitian ini menggunakan rumus besar sampel analitis kategorik tidak berpasangan (Madiyono et al., 2014; Dahlan, 2013)

Zα = deviat baku alfa Zβ = deviat baku beta

P2 = proporsi pada kelompok yang sudah diketahui nilainya (Sari DK, 2014) Q2 = 1 – P2

P1 = proporsi pada kelompok yang nilainya merupakan judgement peneliti

Q1 = 1 – P1

P1– P2 = selisih proporsi minimal yang dianggap bermakna P = proporsi total = (P1 + P2)/2


(31)

23

Jumlah sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah 45 orang.

4.4. Teknik Pengumpulan Data

Pada penelitian ini data diperoleh melalui data primer dengan menggunakan kuesioner yang dibagikan untuk menilai asupan vitamin D dan gaya hidup, dilakukan penimbangan berat dan pengukuran tinggi badan untuk menilai indeks massa tubuh dan pengambilan sampel darah untuk melihat kadar 25(OH)D serum kepada wanita tani di unit PKK Desa Aman Damai di Kecamatan Serapit Kabupaten Langkat yang menjadi subjek penelitian. Pengumpulan data menggunakan metode consecutive sampling.

4.5. Pengolahan dan Analisa Data

Pengolahan data dari hasil penelitian ini dilakukan dengan menggunakan program Statistical Package for Social Science (SPSS). Analisis asupan vitamin D menggunakan program Nutrisurvey 2007. Hasil penelitian ditampilkan dalam tabel distribusi frekuensi. Data yang disajikan dalam bentuk presentase dan tabel. Analisis statistik yang digunakan adalah uji Chi-Square/kai-kuadrat atau uji Fisher (bila tidak memenuhi kriteria).


(32)

24

BAB 5

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.1. HASIL PENELITIAN

5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di unit Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) Desa Aman Damai, Kecamatan Serapit, Kabupaten Langkat, Provinsi Sumatera Utara. Desa ini merupakan desa percontohan di Kabupaten Langkat yang sebagian besar penduduknya bekerja sebagai petani.

Gambar 5.1. Peta Kabupaten Langkat

Secara geografis Kabupaten Langkat berada pada 3°14’–4°13’ Lintang Utara. Seperti umumnya daerah-daerah lain yang berada di kawasan Sumatera Utara, Kabupaten Langkat termasuk daerah yang beriklim tropis. Sehingga daerah


(33)

25

ini memiliki 2 musim yaitu musim kemarau dan musim hujan. Musim kemarau dan musim hujan biasanya ditandai dengan sedikit banyaknya hari hujan dan volume curah hujan pada bulan terjadinya musim.

5.1.2. Karakteristik Subjek Penelitian

Subjek pada penelitian ini adalah wanita berusia 20-50 tahun yang tergabung dalam unit PKK Desa Aman Damai yang bekerja sebagai petani. Pengumpulan data menggunakan metode consecutive sampling yang dilakukan pada bulan Oktober 2015 di Desa Aman Damai, didapatkan 45 wanita yang memenuhi kriteria inklusi sebagai subjek penelitian. Karakteristik subjek penelitian dalam penelitian dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 5.1. Distribusi Frekuensi Subjek Penelitian Berdasarkan Usia

Rentang Usia Frekuensi(n) Persentase(%)

20-29 tahun 2 4,4

30-39 tahun 9 20

40-50 tahun 34 75,6

Total 45 100

Berdasarkan tabel diatas, jumlah subjek penelitian yang berusia 40-50 tahun memiliki persentase lebih banyak dibandingkan dengan responden yang berusia 20-39 tahun, yaitu sebesar 75,6%.

Tabel 5.2. Distribusi Frekuensi SubjekPenelitian Berdasarkan Pendidikan

Pendidikan Frekuensi(n) Persentase(%)

Tidak Sekolah 29 64,4

SD 11 24,4

SMP 4 8,9

SMA 1 2,2


(34)

26

Berdasarkan tabel 5.2. dapat dilihat bahwa sebesar 29 dari total 41 subjek penelitian tidak bersekolah dan hanya satu orang subjek penelitian yang memiliki pendidikan terakhir paling tinggi, yaitu SMA.

Tabel 5.3. Distribusi Frekuensi Subjek Penelitian Berdasarkan Asupan Vitamin D

Asupan Vitamin D Frekuensi(n) Persentase(%)

Cukup 1 2,2

Kurang 44 97,8

Total 45 100

Berdasarkan tabel di atas, 97,8% subjek penelitian memiliki asupan vitamin D yang kurang, dan hanya satu subjek penelitian yang memiliki asupan vitamin D ≥15 mcg per hari.

Tabel 5.4. Distribusi Frekuensi Subjek Penelitian Berdasarkan Paparan Sinar Matahari

Paparan Frekuensi(n) Persentase(%)

Cukup 36 80

Kurang 9 20

Total 45 100

Berdasarkan tabel 5.4 dapat dilihat bahwa subjek penelitian yang mendapatkan paparan sinar matahari yang cukup, yaitu lebih dari 1 jam paparan empat kali lebih banyak dibandingkan dengan subjek penelitian yang kurang paparan sinar matahari.


(35)

27

Tabel 5.5. Distribusi Frekuensi Subjek Penelitian Berdasarkan Pemakaian

Sunblock

Sunblock Frekuensi(n) Persentase(%)

Tidak 35 77,8

Ya 10 22,2

Total 45 100

Berdasarkan tabel 5.5. distribusi frekuensi subjek penelitian yang tidak memakai sunblock ketika keluar rumah memiliki persentase lebih banyak dibandingkan dengan subjek penelitian yang meggunakan sunblock saat keluar rumah yaitu sebesar 77,8%.

Tabel 5.6. Distribusi Frekuensi Subjek Penelitian Berdasarkan Pemakaian Hijab

Hijab Frekuensi(n) Persentase(%)

Tidak 21 46,7

Ya 24 53,3

Total 45 100

Berdasarkan tabel 5.6. distribusi frekuensi subjek penelitian yang memakai hijab ketika keluar rumah lebih banyak daripada subjek penelitian yang tidak meggunakan hijab saat keluar rumah yaitu sebesar 24 subjek.

Tabel 5.7. Distribusi Frekuensi Subjek Penelitian Berdasarkan Indeks Massa Tubuh

IMT Frekuensi(n) Persentase(%)

Normal 19 42,2

Overweight 13 28,9

Obesitas 13 28,9


(36)

28

Berdasarkan tabel 5.7. subjek penelitian yang memiliki berat badan normal memiliki persentase terbesar yaitu 42,2%, sedangkan subjek penelitian yang memiliki berat badan berlebih (overweight) dan obesitas memiliki presentase yang sama.

Tabel 5.8. Distribusi Frekuensi Subjek Penelitian Berdasarkan Kadar 25(OH)D Serum

Kadar 25(OH)D Serum Frekuensi(n) Persentase(%)

Sufisiensi 1 2,2

Defisiensi-Insufisiensi 44 97,8

Total 45 100

Berdasarkan tabel 5.8. dapat dilihat bahwa hampir keseluruhan subjek penelitian mengalami defisiensi-insufisiensi 25(OH)D dalam serum, dan hanya satu subjek penelitian dari total 45 subjek penelitian yang masuk dalam kategori sufisiensi kadar 25(OH)D serum yaitu dengan nilai ≥ 30 ng/mL.

5.1.3. Hasil Analisis

Berdasarkan data yang didapat oleh peneliti, maka diperoleh analisis hubungan asupan vitamin D, gaya hidup dan indeks massa tubuh dengan kadar 25(OH)D serum. Hubungan tersebut dapat dilihat pada tabel di bawah ini.


(37)

29

Tabel 5.9. Analisis Hubungan Asupan Vitamin D dengan Kadar 25(OH)D Serum

Asupan Vitamin

D

Kadar 25(OH)D Serum

Total

(n) p-value PR

95% C.I Sufisiensi Defisiensi-

Insufisiensi

n % n % min max

Cukup 0 0 1 2,2 1 1,000 1,02 0,98 1,07

Kurang 1 2,2 43 95,6 44 TBf

Total 45

Keterangan:

TB= Tidak Bermakna; f= uji Fisher

Tabel 5.9. menunjukkan hasil analisis hubungan asupan vitamin D dengan kadar 25(OH)D serum. Didapati hanya satu subjek yang memiliki asupan vitamin D yang cukup dan subjek tersebut termasuk dalam kelompok defisiensi-sufisiensi, sedangkan pada subjek yang memiliki kadar 25(OH)D serum yang ≥30ng/mL memiliki asupan vitamin D yang kurang. Berdasarkan analisis tersebut, didapatkan p-value sebesar 1,000 yang artinya tidak terdapat hubungan yang bermakna antara asupan vitamin D dengan kadar 25(OH)D serum.


(38)

30

Tabel 5.10. Analisis Hubungan Gaya Hidup dengan Kadar 25(OH)D Serum

Gaya Hidup

Kadar 25(OH)D Serum

Total (n)

p-value PR

95% C.I Sufisiensi Defisiensi-

Insufisiensi

n % n % min Max

Paparan

Cukup 1 2,2 35 77,8 36 1,000 0,97 0,92 1,02

Kurang 0 0 9 20 9 TBf

Sunblock

Tidak 1 2,2 34 75,6 35 1,000 0,97 0,92 1,03

Ya 0 0 10 22,2 10 TBf

Hijab

Tidak 1 2,2 20 44,4 21 0,467 0,95 0,87 1,05

Ya 0 0 24 53,3 24 TBf

Keterangan:

TB= Tidak Bermakna; f= uji Fisher

Tabel 5.10. menunjukkan hubungan gaya hidup dengan kadar 25(OH)D serum. Dalam penelitian ini, gaya hidup terdiri dari paparan sinar matahari, pemakaian sunblock dan pemakaian hijab. Dari data tersebut didapati satu subjek yang memiliki kadar 25(OH)D serum dalam kategori sufisiensi memiliki paparan sinar matahari yang cukup, tidak memakai sunblock ketika keluar rumah dan tidak menggunakan hijab. Secara keseluruhan hasil analisis didapati nilai p pada paparan sinar matahari sebesar 1,000 , nilai p pada pemakaian sunblock sebesar 1,000 dan nilai p pada pemakaian hijab sebesar 0,467, sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara gaya hidup dengan kadar 25(OH)D serum pada penelitian ini dikarenakan nilai p > 0,05.


(39)

31

Tabel 5.11. Analisis Hubungan Indeks Massa Tubuh dengan Kadar 25(OH)D Serum

Indeks Massa Tubuh

Kadar 25(OH)D Serum

Total

(n) p-value PR 95% C.I Sufisiensi Defisiensi-

Insufisiensi

n % n % min Max

Normal 1 2,2 18 40 19 0,422 0,48 0,85 1,05

Overweigh-Obesitas 0 0 26 57,8 26 TB f

Total 45

Keterangan:

TB= Tidak Bermakna; f= uji Fisher

Tabel 5.11. menunjukkan hubungan antara indeks massa tubuh dengan kadar 25(OH)D serum. Terdapat satu subjek yang memiliki kadar 25(OH)D serum yang tergolong dalam kategori sufisiensi memiliki indeks massa tubuh yang normal, sedangkan 26 subjek yang memiliki indeks massa tubuh dalam kategori overweight dan obesitas termasuk dalam kategori defisiensi- insufisiensi kadar 25(OH)D serum. Berdasarkan data tersebut, peneliti melakukan analisis dengan Fisher’s Exact Test dikarenakan data tidak memenuhi syarat dari uji statistik Chi-square sehingga didapatkan nilai p= 0,422, karena p > 0,05 maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara indeks massa tubuh dengan kadar 25(OH)D serum.

5.2. Pembahasan

Rendahnya kadar 25(OH)D serum pada perempuan banyak dilaporkan di negara bermusim dan akhir- akhir ini semakin banyak laporan bahwa hal ini juga terjadi pada negara beriklim tropis, termasuk di Indonesia. Hal ini ditunjukkan pada penelitian yang dilakukan oleh Sari et al.(2014) pada 156 wanita di Sumatera Utara menunjukkan bahwa 95% dari subjek penelitian memiliki kadar 25(OH)D serum yang termasuk dalam kategori defisiensi-insufisiensi dengan kadar rata rata 17,71 ng/mL.


(40)

32

Berbagai faktor resiko bisa menyebabkan kurangnya kadar 25(OH)D serum pada perempuan di daerah tropis, antara lain asupan vitamin D yang kurang, perubahan gaya hidup perempuan yang cenderung menghindari matahari, dan indeks massa tubuh yang umumnya berada pada kategori overweight- obesitas pada perempuan.

5.2.1. Karakteristik Demografi

Karakteristik demografi berdasarkan lokasi penelitian didapati lokasi penelitian yaitu Kabupaten Langkat berada pada 3°14’–4°13’ Lintang Utara yang berarti paparan sinar matahari pada daerah tersebut maksimal karena dekat dengan garis ekuator 0°. Dalam hal ini peneliti berharap subjek penelitian mendapatkan paparan sinar matahari yang cukup. Akan tetapi, dalam hasil penelitian ini, walaupun 96% subjek penelitian mendapatkan paparan sinar matahari yang cukup yaitu paparan lebih dari 1 jam, sebesar 97,8% subjek penelitian mengalami defisiensi- insufisiensi kadar 25(OH)D serum.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Nimitphong dan Holick (2013), di Delhi pada 404 subjek di segala usia termasuk balita, anak-anak usia sekolah, ibu hamil dan laki laki dewasa dan 48% subjek penelitian memiliki status ekonomi menengah kebawah, berada pada daerah 28,38° Lintang Utara yang mendapatkan paparan matahari sepanjang tahun menyatakan bahwa 91% dari subjek penelitian mengalami defisiensi vitamin D dengan kadar rata-rata 25(OH)D serum yang tidak jauh berbeda antara kelompok ekonomi memengah ke atas dan kelompok ekonomi menengah kebawah, yaitu sebesar 13,6 ng/mL dan 11,6 ng/mL. Hasil yang tidak jauh berbeda didapatkan dari penelitian pada 1137 relawan yang sehat di Mumbai, daerah India bagian barat yang terletak pada 18,56° Lintang Utara yang menyatakan bahwa 70% subjek penelitian mengalami defisiensi vitamin D dengan kadar rata-rata 25(OH)D serum 17,6 ng/mL dan prevalensi 79% terbanyak pada perempuan.

Secara umum, daerah yang berada pada garis ekuator lebih mendapatkan paparan matahari sepanjang tahun, hal ini merupakan faktor pendukung untuk sintesis vitamin D. Akan tetapi, paparan sinar matahari yang berlebih pada daerah


(41)

33

ekuator menyebabkan suhu lingkukan tinggi dan menyebabkan perubahan pola hidup masyarakat yang tinggal di sekitar ekuator. Sebagai contoh adalah penggunaan sunblock, pemakaian topi atau payung, berlindung di tempat teduh dan menggunakan pakaian yang menutupi tubuh sehingga menyebabkan kurangnya paparan sinar matahari yang di dapatkan. Hal ini menjadi faktor terjadinya defisiensi vitamin D pada masyarakat yang tinggal di daerah ekuator (Nimitphong dan Holick, 2013).

Berdasarkan karakteristik demografi subjek penelitian yang telah dipaparkan sebelumnya, sebesar 75,6% subjek penelitian berusia 40-50 tahun, ini merupakan usia yang rentang terhadap resiko defisiensi kadar 25(OH)D serum dikarenakan pada usia tersebut kebanyakan perempuan memiliki masalah gizi dikarenakan sindroma pre-menopause dan juga penurunan fungsi organ tubuh sehingga sintesis vitamin D tidak optimal. Pada penelitian yang dilakukan oleh Moan et al.(2009) dalam Shirazi et al.(2013) menyatakan bahwa terdapat hubungan positif antara usia dan kadar 25(OH)D serum. Hal ini disebabkan karena pada usia lanjut terjadi penurunan produksi vitamin D pada kulit, berkurangnya proses absorbsi pada sistem pencernaan dan karena menurunnya fungsi ginjal pada lansia. Namun, menurut penelitian yang diakukan oleh Sari (2014) secara umum, defisiensi dan insufisiensi dapat terjadi di berbagai kelompok usia, tidak ada hubungan usia lanjut seperti 50 tahun atau usia muda 20 tahun, semua kelompok usia mempunyai resiko untuk mengalami defisiensi vitamin D.

Karakteristik subjek berdasarkan pendidikan yaitu sebesar 64,4% subjek tidak bersekolah, hal ini dapat mempegaruhi pengetahuan subjek mengenai sumber makanan yang mengandung vitamin D dan pola pemilihan menu makanan yang dikonsumsi oleh subjek sehari hari. Menu makanan yang kurang bervariasi dan kurangnya konsumsi sumber makanan yang mengandung vitamin D dapat dilihat ketika peneliti melakukan analisis food recall 2x24 jam.


(42)

34

5.2.2. Asupan Vitamin D

Pada hasil penelitian ini, didapati nilai rata- rata asupan vitamin D sebesar 3,40 mcg per hari. Hal ini menunjukkan asupan vitamin D pada subjek sangat jauh dari angka kecukupan gizi (AKG) harian yang dianjurkan dalam PERMENKES RI (2013) sebesar 15mcg perhari. Sebanyak 97,8% subjek memiliki asupan vitamin D yang kurang. Asupan vitamin D tertinggi pada penelitian ini sebesar 15mcg per hari dan asupan terendah sebesar 0mcg per hari. Data pada penelitian ini tidak berdistribusi normal.

Pada analisis hubungan pada penelitian ini menyatakan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara asupan vitamin D dengan kadar 25(OH)D serum (p-value= 1,000; PR= 1,02). Hasil penelitian ini bertentangan dengan penelitian yang dilakukan oleh Sari (2014) pada perempuan usia 20- 50 tahun di Kota Medan yang menyatakan bahwa terdapat hubungan antara antara asupan vitamin D dengan kadar 25(OH)D serum (p-value= 0,012; PR= 5,44) dan probabilitas seseorang mengalami defisiensi- insufisiensi dengan asupan vitamin D kategori kurang adalah sebesar 85%. Penelitian yang dilakukan oleh Shirazi et al.(2013) juga menunjukkan adanya hubungan dengan asupan vitamin D baik sehari hari dan asupan vitamin D yang bersumber dari sumplementasi memiliki hubungan dengan tingginya kadar 25(OH)D serum yang diteliti pada 727 orang perempuan di Swedia (p=0,001).

Sumber utama dari vitamin D selain paparan sinar matahari adalah asupan vitamin D, meskipun hubungan antara asupan vitamin D dan kadar 25(OH)D serum belum diteliti secara lanjut. Paparan sinar matahari dan diet mungkin dipengaruhi oleh faktor sosial ekonomi dan gaya hidup, misalnya rendahnya tingkat vitamin D, telah banyak dicatat terjadi pada kelompok yang berpenghasilan rendah (Jaaskelainen et al., 2013).

Kelemahan dalam penilaian asupan vitamin D dari penelitian ini adalah bias pada metode food recall 2x24 jam, karena kebanyakan subjek lupa atau tidak melaporkan hal yang sebenarnya. Kurangnya variasi dalam konsumsi makanan sehari- hari juga merupakan faktor yang menyebabkan rendahnya asupan vitamin D pada subjek. Kebanyakan subjek mengkonsumsi sayuran yang sama dalam satu


(43)

35

hari dan sumber vitamin D kebanyakan pada subjek hanya kuning telur, karena kuning telur cukup mudah didapat dan terjangkau secara ekonomi. Selain itu, sumber vitamin D yang dapat digolongkan susah untuk didapat di daerah pedesaan, misalnya daging, ikan, jamur, susu dan secara ekonomis tergolong mahal merupakan salah satu penyebab kurangnya asupan vitamin D pada subjek penelitian.

5.2.3. Gaya Hidup

Hasil analisis hubungan gaya hidup dengan kadar 25(OH)D serum menghasilkan nilai p= 1,000 untuk paparan sinar matahari dan pemakaian sunblock ; p=0,467 untuk pemakaian hijab. Sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara gaya hidup dengan kadar 25(OH)D serum pada subjek di penelitian ini.

Hasil penelitian untuk pemakaian sunblock dan pemakaian hijab ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Sari (2014) pada 156 perempuan sehat berusia 20- 50 tahun yang bekerja di lingkungan indoor dan outdoor di kota Medan, menyakatakan bahwa tidak ditemukannya hubungan antara pemakaian tabir surya dengan terjadinya defisiensi- insufisiensi (p= 0,680) dalam penelitian yang dilakukan oleh Sari (2014) menyatakan bahwa tidak ditemukan hubungan yang bermakna antara cara berpakaian (pemakaian hijab) dengan terjadinya defisiensi-insufisiensi (p= 1,000 dengan menggunakan analisis uji statistik Fisher). Selain itu, pada penelitian yang dilakukan oleh Binkey et al. (2007) pada 93 laki-laki dan perempuan di Honolulu, Hawai menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara paparan sinar matahari pada subjek yang tidak memakai sunblock dan paparan sinar matahari per minggu terhadap padar 25(OH)D serum (p= 0,18; r2= 0,02).

Untuk hasil penelitian paparan sinar matahari dengan kadar 25(OH)D serum, sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Joh et al. (2015) pada 3.450 laki-laki dan perempuan sehat berusia 18- 29 tahun di Jepang bahwa paparan sinar matahari sebesar ≥ 30 menit per hari tidak terlalu berpengaruh (moderate) terhadap kadar 25(OH)D serum pada tubuh (p= 0,032 ; β=0,37). Sedangkan


(44)

36

menurut penelitian yang dilakukan oleh Sari et al.(2013) tidak sejalan dengan penelitian ini, pada penelitian yang dilakukan pada 156 perempuan sehat pada musim kemarau di Indonesia menyatakan bahwa paparan matahari di musim kemarau lebih dari 60 menit per hari sangat berpengaruh terhadap kadar 25(OH)D serum pada perempuan (p= 0,007; r= 0,739). Pada penelitian yang dilakukan oleh Setiati (2008) pada 74 perempuan berusia 60- 90 tahun yang tinggal di 4 panti werda di Jakarta dan Bekasi menunjukkan bahwa paparan matahari selama 25 menit tiga kali seminggu pada jam 09.00 WIB dapat memperbaiki vitamin D, hal ini terbukti dengan peningkatan kadar 25(OH)D pada kelompok yang dipajan meningkat secara bermakna (p= 0,00).

Hasil pada penelitian ini memiliki bias, karena pengukuran lamanya paparan sinar matahari berdasarkan berapa lama subjek berada pada di luar rumah, bukan merupakan hasil pemantauan dari pajanan sinar matahari langsung pada daerah tertentu seperti wajah, telapak tangan dan lengan seperti pada penelitian yang dilakukan oleh Setiati (2008). Banyak faktor yang mempengaruhi bias ini, antara lain pemakaian hijab sehingga bagian tubuh yang terpapar matahari dari subjek hanya bagian wajah dan telapak tangan, pemakaian sunblock yang mengurangi penyerapan dari sinar UV pada subjek, juga perilaku menghindar dari matahari pada perempuan, seperti berteduh dan menggunakan payung atau topi ketika akan terpapar sinar matahari langsung.

Berlidung di tempat yang teduh dan menghindari sinar matahari dapat mengurangi sinar UV sebesar 50%. Penggunaan sunblock pada perempuan dapat mengurangi sintesis vitamin D3 sebesar 92,5-99% (Hossein-nezhad dan Holick, 2013). Pada hasil penelitian ini 77,8% subjek tidak menggunakan sunblock akan tetap mereka tetap mengalami defisiensi-insufisiensi, hal ini memungkinkan bahwa walaupun subjek tidak menggunakan sunblock akan tetapi mereka tetap berusaha mengurangi paparan matahari dengan cara berlindung di tempat yang teduh ataupun menggunakan topi ketika pergi ke sawah sehingga mengurangi paparan sinar UV sebesar 50%.

Orang dengan warna kulit gelap, memiliki daya proteksi terhadap paparan sinar matahari dari melamin yang terkandung pada kulit mereka dan memiliki


(45)

37

kemampuan untuk memproduksi vitamin D 90% lebih rendah daripada orang berkulit putih (Manicourt dan Devogelaer, 2008). Pada penelitian ini, didapati 20 subjek yang tidak menggunakan hijab mengalami defisiensi-insufisiensi. Hal ini mungkin terjadi dikarenakan populasi pada penelitian termasuk ras mongoloid yang sebagian besar memiliki kulit sawo matang, sehingga memungkinkan pigmen kulit sebagai faktor pelindung sinar matahari.

Secara keseluruhan, paparan sinar matahari saja tidak cukup untuk memenuhi kadar 25(OH)D serum pada tubuh, tetapi juga harus diimbangi dengan asupan vitamin D yang adekuat, mengubah gaya hidup yang cenderung menghindari paparan sinar matahari serta dibutuhkan suplementasi vitamin D untuk memenuhi kebutuhan harian (Binkey et al., 2007).

5.2.4. Indeks Massa Tubuh

Pada penelitian yang telah dilakukan, didapati nilai P dari uji analisis Fisher pada hubungan indeks massa tubuh (IMT) dengan kadar 25(OH)D serum sebesar 0,422, karena nilai p > 0,05 maka dapat disimpulkan pada penelitian ini, tidak terdapat hubungan yang bermakna antara indeks massa tubuh (IMT) dengan kadar 25(OH)D serum.

Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Woersman et al.(2000) pada 19 subjek dengan IMT normal dan 19 subjek dengan IMT obesitas di Philadelphia menunjukkan bahwa IMT tidak berpengaruh terhadap kadar 25(OH)D serum, terbukti pada perlakuan dengan memberikan suplementasi oral kepada 2 kelompok subjek dengan IMT normal dan obesitas, didapati peningkatan kadan 25(OH)D serum yang signifikan pada kelompok obesitas, terutama setelah mendapatkan paparan sinar matahari (p= 0,003; r= 0,55). Pada penelitian yang dilakukan oleh Sari et al.(2014) pada 156 perempuan sehat selama musim kemarau di Indonesia menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara BMI dan kadar 25(OH)D serum (p= 0,700).

Namun, penelitian ini tidak sejalan pada penelitian yang dilakukan oleh Saliba et al.(2012) pada subjek yang berusia ≥ 20 tahun di Israel menunjukkan hasil korelasi negatif antara kadar 25(OH)D serum dan IMT (r2= 0,63; p < 0,01).


(46)

38

Penelitian yang dilakukan oleh Greenfield et al.(2012) pada subjek dengan rentang usia 12 sampai 79 tahun di Kanada menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara obesitas dengan rendahnya kadar 25(OH)D serum (p < 0,0001). Hal ini juga serupa dengan penelitian yang dilakukan oleh Sari, DK (2014) pada 156 perempuan berusia 20- 50 tahun yang bekerja di lingkungan outdoor dan indoor di kota Medan menyatakan bahwa terdapat hubungan yang bermakna pada kadar lemak tubuh dengan terjadinya defisiensi- insufisiensi vitaminD (p= 0,003 dengan menggunakan analisis uji statistik chi-square).

Perbedaan yang terjadi pada penelitian ini disebabkan oleh banyak faktor, antara lain rendahnya asupan makanan yang mengandung vitamin D dikarenakan tidak adanya asupan suplemen yang mengandung vitamin D, susahnya mendapatkan bahan makanan yang mengandung vitamin D, kurangnya paparan sinar matahari, sumber bahan makanan vitamin D yang tergolong mahal dan sulit dijangkau untuk kalangan ekonomi bawah dan adanya perubahan gaya hidup perempuan seperti menghindari paparan sinar matahari, pemakaian sunblock ketika keluar rumah, dan pemakaian hijab.


(47)

39

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

Dari hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan pada BAB sebelumnya, maka dalam penelitian ini dapat diambil beberapa kesimpulan: 1. Sebaran subjek penelitian berdasarkan usia dan pendidikan adalah 34 subjek

(75,6%) berusia 40-50 tahun dan 29 subjek (64,4%) tidak sekolah.

2. Sebaran subjek penelitian berdasarkan asupan vitamin D adalah 44 subjek (97,8%) memiliki asupan vitamin D yang kurang.

3. Sebaran subjek penelitian berdasarkan gaya hidup adalah 36 subjek (80%) mendapatkan paparan sunar matahari yang cukup, 35 subjek (77,8%) tidak menggunakan sunblock dan 24 subjek (53,3%) menggunakan hijab.

4. Sebaran subjek penelitian berdasarkan indeks massa tubuh adalah 26 subjek (57,8%) mengalami overweight-obesitas.

5. Sebaran subjek penelitian berdasarkan kadar 25(OH)D serum adalah 44 subjek (97,8%) mengalami defisiensi-insufisiensi.

6. Hasil analisis hubungan antara asupan vitamin D dengan kadar 25(OH)D dengan perempuan usia 20-50 tahun menunjukkan tidak ada hubungan yang bermakna antara asupan vitamin D dengan kadar 25(OH)D dengan perempuan usia 20-50 tahun (p= 1,000)

7. Hasil analisis hubungan gaya hidup dengan kadar 25(OH)D dengan perempuan usia 20-50 tahun menunjukkan tidak ada hubungan yang bermakna antara gaya hidup dengan kadar 25(OH)D dengan perempuan usia 20-50 tahun (p paparan sinar matahari= 1,000; p penggunaan sunblock 1,000; p penggunaan hijab=0,467).

8. Hasil analisis hubungan indeks massa tubuh dengan kadar 25(OH)D dengan perempuan usia 20-50 tahun menjunjukkan tidak ada hubungan yang bermakna antara indeks massa tubuh dengan kadar 25(OH)D dengan perempuan usia 20-50 tahun (p=0,422).


(48)

40

6.2. Saran

Dari seluruh proses penelitian yang telah dijalankan oleh peneliti dalam menyelesaikan penenelitian ini, peneliti menyadari masih banyak terdapat kekurangan. Karena itu ada beberapa saran yang mungkin dapat bermanfaat bagi semua pihak yang telah berperan dalam penelitian ini.

Untuk penelitian selanjutnya, diharapkan jumlah subjek yang diteliti lebih besar, penggunaan instrumen food re-call 2x24 jam perlu diperhatikan karena sering menimbulkan bias penelitian yaitu subjek lupa jenis bahan makanan dan ukuran rumah tangga (URT) dari bahan makanan yang dikonsumsi dan sebaiknya dilakukan penjelasan mengenai metode food re-call 2x24 jam seperti membawakan food model untuk penjelasan mengenai URT dari bahan pangan sebelum melakukan pencatatan agar peneliti dan subjek memiliki pemahaman yang sama.

Diharapkan kepada masyarakat untuk lebih memperhatikan asupan vitamin D dari bahan makanan sumber yang mudah didapat seperti kuning telur dan ikan lele serta tidak menghindari paparan sinar matahari secara berlebihan. Untuk petugas kesehatan diharapkan untuk lebih mensosialisasikan pentingnya peranan vitamin D untuk kesehatan dan menjelaskan kepada masyarakat tentang sumber- sumber vitamin D baik yang berasal dari sumber nabati maupun dari sumber hewani sehingga dapat membuka wawasan masyarakat luas.


(49)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Vitamin D

Vitamin D sering dikenal dengan vitamin matahari karena vitamin D dapat dibentuk tubuh dengan bantuan sinar matahari. Bila tubuh mendapat cukup sinar matahari, maka konsumsi vitamin D melalui makanan tidak dibutuhkan. Karena dapat disintesis di tubuh, vitamin D dapat dikatakan bukan vitamin, tapi suatu prohormon.

2.1.1. Definisi vitamin D

Vitamin D adalah nama generik dari dua molekul, yaitu ergokalsiferol (vitamin D2) dan kolekalsiferol (vitamin D3). Prekursor vitamin D hadir dalam fraksi sterol dalam jaringan hewan (di bawah kulit) dan tumbuh-tumbuhan berturut-turut dalam bentuk 7-dehidrokolesterol dan ergosterol. Keduanya membutuhkan radiasi sinar ultraviolet untuk mengubahnya ke dalam bentuk provitamin D3 (kolekalsiferol) dan D2 (ergokalsiferol). Kedua provitamin membutuhkan konversi menjadi bentuk aktifmya melalui penambahan dua gugus hidroksil. Terminologi vitamin D3 dan ekivalen tercantum pada Tabel 2.1. (Almatsier, 2010).


(50)

6

Tabel 2.1. Terminologi Vitamin D3 dan Ekivalen Terminologi

Asal hewan Asal tumbuh-tumbuhan

7-dehidrokolesterol (prekursor D3) Sumber: epidermis hewan

Ergosterol (prekursor D3) Sumber: tumbuh-tumbuhan

Vitamin D3 Kolekalsiferol

Sumber: radiasi prekursor

Vitamin D2 Ergokalsiferol

Sumber: radiasi prekursor

25-hidroksi kolekalsiferol Kolekalsiferol

25(OH)D3

Sumber: perubahan di dalam hati

25-hidroksi ergokalsiferol Ergokalsiferol

25(OH)D2

Sumber: perubahan di dalam hati

Vitamin D3 (bentuk aktif)* 1,25-dihidroksi kolekalsiferol Kalsitriol

1,25(OH)2D3

Sumber: perubahan di dalam ginjal

Vitamin D2 (bentuk aktif)* 1,25-dihidroksi ergokalsiferol Erkalsitriol

1,25(OH)2D2

Sumber: perubahan di dalam ginjal

Ekivalen:

1 satuan Internasional (SI) = 0,025 μg kolekalsiferol (vitamin D3) 1 μg kolekalsiferol (vitamin D3) = 40 SI vitamin S

* kedua bentuk aktif biasanya dinamakan vitamin D3* Sumber: Almatsier: 2010

2.1.2. Fungsi vitamin D

Fungsi utama vitamin D adalah membantu pembentukan dan pemeliharaan tulang bersama vitamin A dan vitamin C, hormon-hormon paratiroid dan kalsitonin, protein kolagen, serta mineral-mineral kalsium, fosfor, magnesium dan


(51)

7

flour. Fungsi khusus vitamin D dalam hal ini adalah membantu pengerasan tulang dengan cara mengatur agar kalsium dan fosfor tersedia di dalam darah untuk diendapkan pada proses pengerasan tulang (Almatsier,2010).

Di dalam saluran cerna, kalsitriol meningkatkan absorpsi vitamin D dengan cara merangsang sintesis protein kalsium dan protein pengikat-fosfor pada mukosa usus halus. Di dalam tulang, kalsitriol bersama hormon paratiroid merangsang pelepasan kalsium dari permukaan tulang ke dalam darah. Di dalam ginjal, kalsitriol merangsang reabsorbsi kalsium dan fosfor (Almatsier,2010).

2.1.3. Defisiensi vitamin D

Vitamin D adalah vitamin larut lemak yang dibutuhkan untuk berbagai proses metabolisme di dalam tubuh. Dalam metabolisme kalsium dan tulang, fungsi utama 1,25(OH)2D3 ,metabolit aktif vitamin D, adalah mengontrol absorpsi kalsium dan fosfat usus agar dapat mempertahankan konsentrasi kalsium darah sehingga mineralisasi tulang tetap terpelihara. Defisiensi vitamin D akan berpengaruh pada homeostasis ini. Defisiensi vitamin D akan meningkatkan hormon paratiroid (parathyroid hormone, PTH) sehingga terjadi resorpsi tulang yang selanjutnya akan meningkatkan risiko terjadinya fraktur. Defisiensi vitamin D yang berat akan menyebabkan gangguan mineralisasi tulang sehingga terjadi penyakit Rickets pada anak-anak dan osteomalasia pada orang usia lanjut. Selain itu, defisiensi vitamin D juga akan menurunkan massa otot, dan meningkatkan miopati yang mengakibatkan terjadinya instabilitas postural dan membuat usia lanjut mudah jatuh. Belakangan ini diketahui pula bahwa vitamin (hormon) D berhubungan dengan berbagai penyakit seperti penyakit asma, diabetes melitus, hipertensi, artritis reumatoid, keganasan kolon, payudara, prostat, dan sebagainya (Setiati, 2008). Faktor penyebab defisiensi vitamn D tercantum pada tabel 2.2 (Kennel et al., 2010).

Kekurangan vitamin D menyebabkan kelainan tulang yang dinamakan riketsia pada anak-anak dan osteomalasia pada orang dewasa. Kekurangan pada orang dewasa juga dapat menyebabkan osteoporosis. Riketsia terjadi bila


(52)

8

pengerasan tulang pada anak-anak terhambat sehingga menjadi lemah. Kaki membengkok, ujung-ujung tulang panjang membesar (lutut dan pergelangan), tulang rusuk membengkok, pembesaran kepala karena penutupan fontanel terhambat, gigi terlambat keluar, bentuk gigi tidak teratur dan mudah rusak. Sebelum ditemukan fortifikasi makanan dengan vitamin D, riketsia banyak terdapat di negara-negara dengan empat musim. Sekarang masih terdapat pada anak anak miskin di kota-kota industri yang kurang mendapat sinar matahari (Almatsier,2010)

Osteomalasia adalah riketsia pada orang dewasa. Biasanya terjadi pada wanita yang konsumsi kalsiumnya rendah, tidak banyak mendapat paparan sinar matahari dan mengalami banyak kehamilan dan menyusui. Osteomalasia dapat pula terjadi pada mereka yang menderita penyakit saluran cerna, hati, kantung empedu atau ginjal. Tulang melembek menyebabkan gangguan dalam bentuk tulang, terutama pada kaki, tulang belakang, toraks, dan pelvis. Gejala awalnya adalah merasa rasa sakit seperti rematik dan lemah dan kadang menggamit (twitching), tulang membengkok (bentuk O atau X) dan dapat menyebabkan fraktur (Kennel et al., 2010).

Dari beberapa penelitian yang ada, prevalensi defisiensi vitamin D di Indonesia pada wanita berusia 45-55 tahun adalah sekitar 50%. Sementara temuan Setiati, pada wanita berusia 60-75 tahun menemukan defisiensi vitamin D sebesar 35,1%. Penelitian di Indonesia dan Malaysia, pada 504 wanita usia subur (WUS) berusia 18-40 tahun menemukan rata-rata konsentrasi serum 25(OH)D adalah 48 nmol/L dengan prevalensi defisiensi vitamin D sebesar 63% (Yosephin et al., 2014). Penelitian yang dilakukan di Indonesia pada anak usia 1 sampai 12,9 tahun menunjukkan bahwa 45% anak mengalami insufisiensi vitamin D. Pada penelitian yang dilakukan di empat negara, Indonesia menduduki peringkat ke empat, dengan rerata vitamin D hanya 52,7 nmol/l (Enrawati dan Sandjaja, 2011). Berbagai studi epidemiologi mengindikasikan konsentrasi 25-(OH)D <20ng/mL meningkatkan risiko kanker kolon, prostat, dan payudara antara 30 hingga 50%. Sebanyak 33% wanita usia 60-70 tahun dan 66% usia 80 tahun keatas menderita osteoporosis. Diperkirakan 47% wanita dan 22% pria berusia 50 tahun atau lebih


(53)

9

akan menderita osteporosis dan fraktur sepanjang sisa hidupnya (Soejitno dan Kuswardhani, 2009).

Tabel 2.2. Faktor Penyebab Defisiensi Vitamin D Kurangnya intake

Tidak adekuatnya asupan makanan yang mengandung vitamin D Malnutrisi

Paparan sinar matahari yang terbatas Gastrointestinal

Malabsorbsi (misalnya pada short bowel syndrome, pankreatitis, inflamatory bowel disease, amyloidosis, celiac sprue, dan malabsorptive bariatric surgery procedures)

Hepatic

Beberapa pengobatan antiepilepsi (meningkatkan aktivitas 24-hydroxylase)

Penyakit hati yang berat (menurunkan aktivitas 25-hydroxylase) Renal

Penuaan (menurunkan aktivitas 1-α hydroxylase)

Renal insufficiency, glomerular filtration rate <60% (menurunkan aktivitas 1-α hydroxylase)

Sinsroma neprotik (menurunkan tingkatan binding protein vitamin D Sumber : Kennel et al., 2010

2.2. Gaya Hidup dan Vitamin D

Gaya hidup mempengaruhi kadar vitamin D dalam tubuh. Gaya hidup terutama pada perempuan yang cenderung menghindari paparan sinar matahari, penggunaan hijab, dan penggunaan sunblock berperan dalam terjadinya defisiensi vitamin D terutama pada perempuan.


(54)

10

2.2.1. Pembentukan vitamin D

Vitamin D3, kolekalsiferol, berasal dari efek iradiasi UVB (panjang gelombang 290-315 nm) pada 7-dehidrokolesterol (kolesterol dengan ikatan rangkap pada atom karbon 7) yang merupakan pendamping tambahan kolesterol di dalam kulit. Ada susunan ulang molekul dengan terbukanya cincin B inti steroid (Gambar 2.1). Kolekalsiferol merupakan bentuk vitamin D yang terdapat secara alami pada manusia dan hewan, seperti dalam minyak hati ikan kod, ikan yang berlemak, mentega, dan hati hewan. Vitamin D2 berasal dari ergosterol (sterol fungus) melalui iradiasi senyawa tersebut dengan cahaya UV melalui rangkaian perubahan kimia yang sama dan disebut ergokalsiferol (Truswell, 2014).

Gambar 2.1. Pembentukan vitamin D3 dalam kulit Sumber : Truswell, 2014

Di daerah tropis dan subtropis dunia terdapat cukup vitamin D yang dibuat dalam kulit untuk memenuhi kebutuhan tubuh (jika orangnya tidak terus diam di rumah atau tubuhnya tidak sepenuhnya tertutup pakaian). Karena kolekalsiferol dibentuk dalam satu organ tubuh (kulit) dan diangkut oleh darah untuk bekerja


(55)

11

pada organ lain (tulang, usus, ginjal), kolekalsiferol dapat disebut sebagai hormon. Bagaimanapun, ketika orang tinggal di garis lintang yang tinggim tertutup pakaian, menghabiskan seluruh waktunya di dalam rumah, dan langit terkena polusi asap, maka pajanan sinar UV tidak cukup untuk membuat cukup vitamin D di dalam kulit. Asupan vitamin D dari makanan diperlukan sehingga kolekalsiferol yang berada dalam beberapa makanan dan ergokalsiferol dalam makanan yang difortifikasi mengambil peranan sebagai sumber vitamin (Truswell, 2014).

2.2.2. Metabolisme vitamin D

Di dalam tubuh, vitamin D tidak langsung dalam keadaan aktif sehingga vitamin D tersebut harus dimodifikasi secara kimia (mengalami hidroksilasi) sebanyak dua kali. Petunjuk pertama dari hal ini berupa hasil obaservasi adanya lag period 8 jam sebelum seseorang dapat melihat efek vitamin D yang diberikan pada hewan percobaan. Vitamin D dibawa dalam plasma dalam keadaan terikat dengan α2- globulin yang spesifik, yaitu protein yang mengikat vitamin D. Dalam mikrosom hati, ujung rantai-samping mengalami hidroksilasi untuk membentuk 25 –hidroksi-vitamin D (25(OH)D). Senyawa ini mempunyai kadar yang lebih stabil dalam darah dibandingkan kadar vitamin D yang mengalami kenaikan temporer ketika jumlah vitamin tersebut diserap atau disintesis dalam kulit (Truswell, 2014).

Senyawa 25(OH)D masih belum berupa metabolit aktif. Senyawa 25(OH)D harus mempunyai gugus hidroksil ketiga (OH) yang berada pada atom karbon 1. Reaksi penambahan gugus hidroksil ini dilakukan oleh enzim, 1α -hidroksilase, di dalam ginjal (dalam mitokondria tubulus proksimal untuk membuat 1,25-dihidroksi vitamin D (1,25(OH)2D) yang juga disebut kalsitriol (Gambar 2.2). Kadar 1,25(OH)2D plasma adalah sekitar seribu kali lebih kecil daripada kadar 25(OH)D. Aktivitas enzim 1α-hidroksilase renal dikontrol dengan ketat sehingga kecepatan produksi 1,25(OH)2D baru meningkat ketika terjadi penurunan kadar kalsium plasma atau kenaikan kadar hormon paratiroid. Senyawa


(56)

12

1,25(OH)2D merupakan salah satu dari tiga hormon yang secara normal bekerja sama untuk mempertahankan kadar kalsium agar tetap konstan (Truswell, 2014).

Gambar 2.2. Aktivasi vitamin D Sumber: Truswell, 2014

Vitamin D dibentuk lebih sedikit dalam kulit yang berwarna gelap dibandingkan kulit yang berwarna putih karena melanin dalam kulit menyerap sinar UV. Orang tua juga membentuk lebih sedikit vitamin D setelah mereka terpajan dengan sinar UV gelombang pendek; kulit mereka mengandung materi awal 7-dehidrokolesterol yang lebih sedikit. Vitamin D yang dikonsumsi kemudian akan dicerna, diserap, dan diangkut dari usus halus bagian proksimal dalam kilomikron (Gambar 2.3). Seperti lemak lainnya, penyerapan dapat terganggu pada penyakit kronis dalam sistem empedu atau pada penyakit usus dengan malabsorbsi. Ekskresi vitamin D ke dalam getah empedu, terutama sebagai metabolit yang lebih polar (Truswell, 2014).


(57)

13

Gambar 2.3. Metabolisme dan fungsi vitamin D Sumber: Almatsier, 2010

2.3. Indeks Massa Tubuh dan Vitamin D

Penderita obesitas memiliki kadar 25(OH)D yang lebih rendah dibandingkan dengan yang tidak obesitas (Wortsman et al., 2000). Kasus obesitas berperan dalam peningkatan prevalensi dari defisiensi 25(OH)D serum pada saat ini. Rendahnya konsentrasi kadar 25(OH)D serum disebabkan karena meningkatnya serum 25(OH)D yang diserap dalam jaringan lemak, peningkatan basal metabolik, dan gaya hidup dari penderita obesitas yang cenderung kurang menyukai aktifitas di luar rumah serta kurangnya paparan sinar matahari (Saliba et al., 2012). Penyebab lain dari rendahnya kadar 25(OH)D serum pada penderita obesitas adalah kadar lemak yang tinggi menyebabkan bioavailabilitas vitamin D menurun dan kadar 25(OH)D serum terdeteksi rendah di dalam darah (Khor et al.,2011). Batas indeks massa tubuh tercantum pada tabel 2.3.


(58)

14

Tabel 2.3. Batas Indeks Massa Tubuh untuk Orang Eropa, Asia, dan Indonesia

Eropa Asia Indonesia

Keadaan Gizi

IMT (Kg/m2)

Keadaan Gizi

IMT (Kg/m2)

Keadaan Gizi

IMT (Kg/m2) Kurus

sekali < 17,0

Kurus ≤ 18,5 Kurus ≤ 18,5 Kurus 17,0 – 18,4

Normal 18,5 – 24,9 Normal 18,5 – 22,9 Normal 18,5 – 25,0

Kegemukan ≥ 25 Kegemukan ≥ 23 Gemuk 25,1 – 27,0

Pre obes 25,0 – 29,9 Pre obes 23,0 – 24,9 Gemuk

sekali > 27,0 Obes I 30,0 – 34,9 Obes I 25,0 – 29,9

Obes II 35,0 – 39,9 Obes II ≥ 30,0 Obes III ≥ 40,0

Sumber : Harahap et al., 2005

2.4. Asupan Vitamin D

Sumber utama vitamin D adalah paparan sinar matahari, asupan bahan makanan sumber, suplementasi, asupan makanan fortifikasi. Diet dengan tinggi minyak ikan dapat mencegah defisiensi vitamin D. Paparan sinar matahari berupa radiasi UVB dengan panjang gelombang 290-315 (sumber lain menyebutkan 280-320nm) dapat menjadi sumber yang sangat baik terutama di daerah tropis. Sinar matahari tersebut akan menembus kulit dan mengkonversi 7-dehydrocholesterol menjadi previtamin D3setelah paparan 30 menit, dan secara cepat akan dikonversi menjadi vitamin D3. banyaknya previtamin D3 atau vitamin D3 akan dipecah oleh sinar matahari, kelebihan paparan sinar matahari tidak menyebabkan intoksikasi vitamin D3 (Holick, 2007).

Bahan makanan sumber vitamin D yang berasal dari hewani diperkirakan mempunyai bioavailabilitas 60% dibandingkan suplemen vitamin. Bahan makanan sumber susu mempunyai bioavailabilitas 3-10 kali lebih baik


(59)

15

bioavailabilitas dalam susu tersebut dipengaruhi oleh faktor yang bersifat stimulator yaitu fraksi laktalbumin susu (Holmes dan Kummerow, 1983).

Secara alami sangat sedikit makanan yang mengandung atau difortifikasi vitamin D, termasuk vitamin D2 dan D3. Vitamin D2 diproduksi melalui irradiasi sinar ultra violet ergosterol dari jamur, dan vitamin D3 melalui irradiasi 7-dehidroksikolesterol dari lanolin. Kedua bahan tersebut digunakan untuk membuat suplemen vitamin D (Holick, 2007). Bahan makanan sumber dan kandungan vitamin D tercantum pada tabel 2.5.

Kecukupan vitamin D tidak hanya penting untuk kesehatan tulang saja tetapi juga untuk fungsi optimal organ dan jaringan seluruh tubuh. Kebutuhan meningkat seiring pertumbuhan usia, masa remaja adalah masa yang paling tinggi kebutuhan akan vitamin D sesuai dengan Angka Kecukupan Gizi (AKG) untuk vitamin D. Angka kecukupan gizi vitamin D yang dianjurkan untuk orang Indonesia berdasarkan PERMENKES RI tahun 2013 tercantum pada tabel 2.4.

Tabel 2.4. Angka Kecukupan Gizi Vitamin D yang Dianjurkan

Golongan umur (tahun) Angka Kecukupan Gizi (mcg) 16-18

19-29 30-49 50-64 65-80 Lebih dari 80

15 15 15 15 20 20 Sumber: PERMENKES RI, 2013


(60)

16

Tabel 2.5. Bahan Makanan Sumber, Suplemen, dan Sumber Bahan Farmasi Vitamin D2 dan D3

Sumber Kandungan vitamin D

Sumber alami: Salmon

Segar, di alam Segar, ternak Kalengan Sarden, kalengan Mackerel, kalengan Tuna, kalengan Minyak ikan kod Ikan berlemak Jamur shiitake Jamur kancing Kuning telur

Paparan sinar matahari, radiasi UV B

600-1000 SI (D3) 100-250 SI (D3 dan D2) 300-600 SI (D3)

300 SI (D3) 250 SI (D3) 230 SI (D3) 400-1000 SI (D3) 1000 SI (D3) 100-1600 SI (D2) 40 SI (D2)

20 SI (D3 dan D2) 3000 SI (D3) Makanan fortifikasi

Susu Jus jeruk

Formula susu bayi Yoghurt

Mentega Margarin Keju

Sereal sarapan pagi

100 SI /240 mL (D3) 100 SI /240 mL (D3) 100 SI /240 mL (D3) 100 SI /240 mL (D3) 50 SI /100 gr (D3) 430 SI /100 gr (D3) 100 SI /85 gr (D3) 100 SI /porsi (D3) Suplemen

Bentuk resep

Vitamin D2 (Ergocalciferol)

Drisdol (vitamin D2) suplemen cairan Multivitamin

Vitamin D3

50.000 SI /kapsul 8000 SI /mL 400 SI

400, 800, 1000, dan 2000 SI Sumber: Holick, 2007 ; Almatsier 2010


(61)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Defisiensi vitamin D sudah banyak dibicarakan sebagai masalah kesehatan dunia yang tidak hanya berakibat pada kesehatan muskuloskeletal tetapi juga masalah penyakit akut dan kronik (Hossein-nezhad dan Holick, 2013). Indonesia adalah negara tropis yang sepanjang tahun disinari matahari. Dari beberapa penelitian yang ada, prevalensi defisiensi vitamin D pada wanita berusia 45-55 tahun adalah sekitar 50%. Sementara temuan Setiati, pada wanita berusia 60-75 tahun menemukan defisiensi vitamin D sebesar 35,1%. Penelitian di Indonesia dan Malaysia, pada 504 wanita usia subur berusia 18-40 tahun menemukan rata-rata konsentrasi serum 25(OH)D adalah 48 nmol/L dengan prevalensi defisiensi vitamin D sebesar 63% (Yosephin et al., 2014).

Data prevalensi defisiensi vitamin D pada usia lanjut di berbagai negara Eropa, Amerika, dan Asia (Singapura, Jepang dan Hongkong) bervariasi, dari 5-25% pada usia lanjut yang mandiri, sampai 60-80% pada usia lanjut yang tinggal di panti dan rumah sakit. Data status vitamin D pada populasi usia lanjut di Indonesia sampai saat ini belum ada. Beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya defisiensi vitamin D pada orang perempuan berusia lanjut meliputi perubahan fungsi organ yang terlibat dalam proses sintesis 25(OH)D seperti kulit, hati, ginjal, dan usus, gaya hidup yang cenderung menghindari sinar matahari dan rendahnya asupan makanan yang mengandung vitamin D. Defisiensi vitamin D pada populasi usia lanjut dapat diatasi dengan meningkatkan sintesis vitamin D atau memberikan suplementasi atau fortifikasi makanan. Upaya meningkatkan sintesis vitamin D dapat dilakukan dengan memberikan pajanan sinar matahari atau dengan pajanan sinar ultraviolet B (UVB) buatan (Setiati, 2008).

Berbagai studi epidemiologi mengindikasikan konsentrasi 25(OH)D <20ng/mL meningkatkan risiko kanker kolon, prostat, dan payudara antara 30 hingga 50%. Sebanyak 33% wanita usia 60-70 tahun dan 66% usia 80 tahun


(62)

2

keatas menderita osteoporosis. Diperkirakan 47% wanita dan 22% pria berusia 50 tahun atau lebih akan menderita osteporosis dan fraktur sepanjang sisa hidupnya. Defisiensi vitamin D memicu osteoporosis pada lansia melalui proses demineralisasi matriks kolagen tanpa adanya proses remineralisasi yang seimbang. Disamping itu, kekurangan vitamin D berdampak negatif pada kekuatan otot karena mempengaruhi maturasi sel dan adanya reseptor vitamin D pada sel otot yang membutuhkan vitamin D untuk aksi optimal. Beberapa studi mendukung hipotesis bahwa defisiensi vitamin D menyebabkan gangguan neuromuskuler, mempengaruhi keseimbangan dan fungsi kontrol postur pada lansia. Kedua faktor ini (osteoporosis dan gangguan neuromuskuler) meningkatkan risiko jatuh dan fraktur terkait jatuh, meliputi fraktur tulang pinggul dan fraktur nonvertebral (Soejitno dan Kuswardhani, 2009).

Wanita usia subur perlu mendapatkan perhatian karena rentan terhadap masalah gizi disebabkan peran fisiologis melahirkan dan menstruasi. Selain itu, wanita jarang terpapar sinar matahari. Hal ini terkait dengan gaya hidup yang cenderung menghindari matahari, penggunaan tabir surya, asupan makanan kaya vitamin D rendah. Defisiensi vitamin ini dapat diatasi dengan meningkatkan sintesis vitamin D melalui fortifikasi, suplementasi vitamin D dan melalui paparan sinar matahari. Paparan sinar matahari merupakan sumber vitamin D yang paling baik dan tidak terdapat kasus intoksikasi vitamin D akibat oleh paparan sinar matahari berlebihan. Orang-orang yang tinggal dekat ekuator yang terpapar sinar matahari tanpa menggunakan pelindung sejenis sunblock/tabir surya mempunyai konsentrasi serum 25(OH)D di atas 30 ng/mL (Yosephin et al., 2014). Kadar lemak yang tinggi juga dapat menyebabkan rendahnya kadar vitamin D dalam sirkulasi akibat terperangkapnya vitamin D di dalam sel lemak (Khor et al., 2011). Berbagai penelitian juga menunjukkan manfaat vitamin D dalam menurunkan risiko kanker, penyakit infeksi dan autoimun, serta kardiovaskuler. Namun defisiensi vitamin D sangat umum dijumpai hingga prevalensi diperkirakan mencapai 1 miliar penduduk dunia. Pada lansia, defisiensi sering ditemukan pada pasien rawat jalan maupun mobilitas terbatas (housebound) yang meningkatkan insiden jatuh dan fraktur. Defisiensi vitamin D didefinisikan


(63)

3

sebagai konsentrasi serum 25-hidroksivitamin D (25(OH)D) < 20 ng/mL (50 nmol/L) dan 21-29 ng/mL (52-72 nmol/L) dinyatakan sebagai insufisiensi vitamin D (Soejitno dan Kuswardhani, 2009).

Pada saat ini penelitian tentang hubungan asupan vitamin D dan paparan sinar matahari dengan kadar 25(OH)D serum pada perempuan usia 20-50 tahun di daerah pedesaan belum pernah dilakukan di Sumatera Utara, sehingga perlu dilakukan penelitian ini. Penelitian ini dilakukan dengan pengisian kuesioner food recall 2x24 jam untuk asupan vitamin D, kuesioner untuk mengetahui gaya hidup subjek penelitian dan pengukuran indeks massa tubuh subjek penelitian.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah di atas, dapat dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut: Apakah terdapat hubungan antara asupan vitamin D, gaya hidup dan indeks massa tubuh dengan kadar 25(OH)D serum pada perempuan usia 20-50 tahun?

1.3. Hipotesis

Terdapat hubungan antara asupan vitamin D, gaya hidup dan indeks massa tubuh dengan kadar 25(OH)D serum pada perempuan usia 20-50 tahun

1.4. Tujuan Penelitian

1.4.1. Tujuan Umum

Melihat pengaruh asupan vitamin D, gaya hidup dan indeks massa tubuh dengan kadar 25(OH)D serum pada perempuan usia 20-50 tahun.

1.4.2. Tujuan Khusus

1. Diketahuinya sebaran subjek penelitian berdasarkan karakteristik demografi meliputi usia dan pendidikan subjek penelitian

2. Diketahuinya sebaran subjek penelitian berdasarkan asupan vitamin D pada perempuan usia 20-50 tahun


(64)

4

3. Diketahuinya sebaran subjek penelitian berdasarkan gaya hidup pada perempuan usia 20-50 tahun

4. Diketahuinya sebaran subjek penelitian berdasarkan indeks massa tubuh pada perempuan usia 20-50 tahun

5. Diketahuinya sebaran subjek penelitian berdasarkan kadar 25(OH)D serum pada perempuan usia 20-50 tahun

6. Diketahuinya hubungan antara asupan vitamin D dengan kadar 25(OH)D dengan perempuan usia 20-50 tahun

7. Diketahuinya hubungan gaya hidup dengan kadar 25(OH)D dengan perempuan usia 20-50 tahun

8. Diketahuinya hubungan indeks massa tubuh dengan kadar 25(OH)D dengan perempuan usia 20-50 tahun

1.5. Manfaat Penelitian

1.5.1. Bidang Penelitian:

Hasil penelitian diharapkan dapat dipakai sebagai data dasar untuk penelitian lebih lanjut mengenai hubungan antara asupan vitamin D, gaya hidup dan indeks massa tubuh dengan kadar 25(OH)D serum pada perempuan usia 20-50 tahun.

1.5.2. Bidang Pendidikan

Penelitian ini diharapkan sebagai sarana untuk melatih berfikir secara logis dan sistematis serta mampu menyelenggarakan suatu penelitian berdasarkan metode yang baik dan benar.

1.5.3. Bidang Pelayanan Masyarakat

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi yang benar bagi masyarakat tentang pengaruh asupan vitamin D baik dari sumber nabati ataupun hewani, dan paparan sinar matahari sebagai sumber vitamin D sangatlah penting untuk mencegah defisiensi vitamin D khususnya pada perempuan.


(65)

ii

ABSTRAK

Latar Belakang : Defisiensi vitamin D sudah banyak dibicarakan sebagai masalah kesehatan dunia. Indonesia adalah negara tropis yang sepanjang tahun

disinari matahari akan tetapi angka defisiensi-insufisiensi vitamin D masih tinggi dan belum banyak penelitian tentang vitamin D di Indonesia.

Tujuan : Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan asupan vitamin D, gaya hidup dan indeks massa tubuh dengan kadar 25(OH)D serum pada perempuan usia 20-50 tahun.

Metode : Penelitian cross sectional dilakukan pada 45 subjek penelitian di Desa Aman Damai, Kecamatan Serapit, Kabupaten Langkat dengan metode consecutive sampling. Penilaian asupan vitamin D melalui food re-call 2x24 jam, gaya hidup melalui kuesioner dan penimbangan berat serta pengukuran tinggi badan untuk menilai indeks massa tubuh.

Hasil : Didapati kadar rerata 25(OH)D serum 20,4 ng/mL, rerata asupan vitamin D 3,4 mcg/hari, rerata IMT 25,9 kg/m2 dan rerata subjek penelitian berumur 40-50 tahun (75,6%). Berdasalkan hasil analisis hubungan antara asupan vitamin D, gaya hidup dan indeks massa tubuh dengan kadar 25(OH)D serum dengan menggunakan uji Fisher’s Exact Test, didapati nilai p untuk asupan vitamin D =1,00, nilai p untuk gaya hidup yang meliputi paparan sinar matahari =1,00, nilai p penggunaan sunblock =1,00 dan nilai p penggunaan hijab =0,47 serta nilai p untuk Indeks Massa Tubuh =0,42.

Kesimpulan : Dari hasil tersebut, disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara asupan vitamin D, gaya hidup dan indeks massa tubuh dengan kadar 25(OH)D serum pada perempuan usia 20-50 tahun.


(66)

iii

ABSTRACT

Background : Vitamin D deficiency has been much discussed as a global health. Indonesia is a tropical country that is exposed to the sun all year round but numbers insufficiency of vitamin D is still high and has not been much research on vitamin D in Indonesia.

Objective : The purpose of this study was to determine the relationship between vitamin D intake, lifestyle and body mass index with 25(OH)D serum levels in women aged 20-50 years.

Method : Cross-sectional study was conducted on 45 subjects in Desa Aman Damai, Kecamatan Serapit, Kabupaten Langkat using consecutive sampling method. Vitamin D intake assessment through 2x24 hours food recall, lifestyle assessment through questionaires followed by weighing and height measurement to identify the body mass index values.

Result : Average levels of 25(OH)D serum was 20,4 ng/mL, average intake of vitamin D was 3,4 mcg/day, average BMI 25,9 kg/m2 and most study subjects was 40-50 years old (75,6%). Based on the results of the analysis between vitamin D intake, lifestyle and body mass index with 25(OH)D serum levels using Fisher’s Exact Test, p value for the intake of vitamin D =1,00, p value for a lifestyle that includes exposure to sunlight =1,00, p value for sunblock usage =1,00, p value for hijab usage =0,47 and p value for body mass index =0,42.

Conclusion : From these results it can be concluded that there is no significant relationship between vitamin D intake, lifestyle and body mass index with 25(OH)D serum levels in women aged 20-50 years.


(67)

HUBUNGAN ASUPAN VITAMIN D, GAYA HIDUP DAN INDEKS MASSA TUBUH DENGAN KADAR 25(OH)D SERUM PADA

PEREMPUAN USIA 20-50 TAHUN

OLEH:

DELINA SEKAR ARUM 120100144

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2015


(1)

vi

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN PENGESAHAN ... i

ABSTRAK ... ii

ABSTRACT ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL... ix

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 3

1.3. Hipotesis ... 3

1.4. Tujuan Penelitian ... 3

1.5. Manfaat Penelitian ... 4

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1. Vitamin D ... 5

2.1.1. Definisi Vitamin D ... 5

2.1.2. Fungsi Vitamin D ... 6

2.1.3. Defisiensi Vitamin D ... 7

2.2. Gaya Hidup dan Vitamin D ... 9

2.2.1. Pembentukan Vitamin D ... 10

2.2.2. Metabolisme Vitamin D ... 11

2.3. Indeks Massa Tubuh dan Vitamin D ... 13


(2)

vii

BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFENISI OPERASIONAL ... 17

3.1. Kerangka Konsep ... 17

3.2. Definisi Operasional ... 17

3.3. Hipotesis ... 20

BAB 4 METODE PENELITIAN ... 21

4.1. Jenis Penelitian ... 21

4.2 .Waktu dan Tempat Penelitian ... 21

4.3. Populasi dan Sampel ... 21

4.3.1. Populasi Target ... 21

4.3.2. Populasi Terjangkau ... 21

4.3.3. Kriteria Inklusi ... 22

4.3.4. Kriteria Eksklusi ... 22

4.3.5. Besar Sampel ... 22

4.4. Teknik Pengumpulan Data ... 23

4.5. Pengolahan dan Analisa Data ... 23

BAB 5 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 24

5.1. Hasil Penelitian ... 24

5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian ... 24

5.1.2. Karakteristik Subjek ... 25

5.1.3. Hasil Analisis ... 28

5.2. Pembahasan ... 31

5.2.1. Karakteristik Demografi ... 32

5.2.2. Asupan Vitamin D ... 34

5.2.3. Gaya Hidup ... 35

5.2.4. Indeks Massa Tubuh... 37

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN ... 39

6.1. Kesimpulan ... 39

6.2. Saran ... 40


(3)

viii

DAFTAR PUSTAKA ... 41


(4)

ix

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

2.1. Terminologi Vitamin D3 dan Ekivalen 6

2.2. Faktor Penyebab Defisiensi Vitamin D 9

2.3. Batas Indeks Massa Tubuh untuk Orang Eropa, Asia, dan Indonesia

14

2.4. Angka Kecukupan Gizi Vitamin D yang Dianjurkan 15 2.5. Bahan Makanan Sumber, Suplemen, dan Sumber Bahan

Farmasi Vitamin D2 dan D3

16

5.1. Distribusi Frekuensi Subjek Penelitian Berdasarkan Usia 25 5.2. Distribusi Frekuensi Subjek Penelitian Berdasarkan

Pendidikan

25

5.3. Distribusi Frekuensi Subjek Penelitian Berdasarkan Asupan Vitamin D

26

5.4. Distribusi Frekuensi Subjek Penelitian Berdasarkan Paparan Sinar Matahari

26

5.5. Distribusi Frekuensi Subjek Penelitian Berdasarkan Pemakaian Sunblock

27

5.6. Distribusi Frekuensi Subjek Penelitian Berdasarkan Pemakaian Hijab

27

5.7. Distribusi Frekuensi Subjek Penelitian Berdasarkan Indeks Massa Tubuh

27

5.8. Distribusi Frekuensi Subjek Penelitian Berdasarkan Kadar 25(OH)D Serum

28

5.9. Analisis Hubungan Asupan Vitamin D dengan Kadar 25(OH)D Serum

29

5.10. Analisis Hubungan Gaya Hidup dengan Kadar 25(OH)D Serum

30

5.11. Analisis Hubungan Indeks Massa Tubuh dengan Kadar 25(OH)D Serum

31


(5)

x

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

2.1. Pembentukan Vitamin D3 Dalam Kulit 10

2.2. Aktivasi Vitamin 12

2.3. Metabolisme dan Fungsi Vitamin D 13

3.1. Kerangka Konsep 18


(6)

xi

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

1 Daftar Riwayat Hidup 44

2 Lembar Penjelasan 45

3 Lembar Persetujuan Setelah Penjelasan 46

4 Formulir Food Recall 2x24 Jam 47

5 Kuesioner Gaya Hidup 49

6 Tabel Distribusi Frekuensi Karakteristik Subjek

Penelitian 50

7 Hasil Analisis Menggunakan Program Komputer

SPSS 53

8 Surat Ethical Clearance 59

9 Surat Keterangan Telah Melakukan Penelitian di

Desa Aman Damai 60

10 Dokumentasi Penelitian 61

11 Data Induk Penelitian 62