Implementasi Pembangunan Sarana Sanitasi Gratis Kajian Antropologi Pembangunan (Studi Kasus di Kelurahan Belawan Bahagia, Kecamatan Medan Belawan)

(1)

BAB II

Deskripsi Lokasi Penelitian

2.1. Kondisi Lingkungan Kelurahan Belawan Bahagia

Belawan dikenal sebagai kota pelabuhan dimana aktivitas masyarakat lebih dominan pada sektor pelabuhan. Daerah pelabuhan Belawan merupakan daerah yang strategis untuk perdagangan dunia pelabuhan Belawan berada di Selat Malaka yang merupakan pusat perdagangan dunia sejak zaman penjajahan dulu. Mayoritas masyarakatnya mencari penghasilan di pelabuhan Belawan baik sebagai karyawan di usaha bongkar muat Belawan, sebagai nelayan, sebagai operator peralatan untuk jasa bongkar muat dan lain-lain.

Jika dilihat dari letak geografis, Belawan memiliki potensi yang cukup besar untuk perkembangan ekonomi. Daerah Belawan dilewati oleh dua sungai besar yang bermuara ke Pelabuhan Belawan. Dua sungai tersebut adalah Sungai Deli dan Sungai Belawan. Dua sungai tersebut sempat membawa jaya Kota Belawan dengan pusat Kerajaan Delinya. Banyak keuntungan yang di dapat dari kawasan pesisir seperti Belawan. Para investor dan perusahaan industri memanfaatkan pelabuhan Belawan sebagai jalur perdagangan. Sementara itu, masyarakat kecil memanfaatkan kawasan pesisir Belawan dengan berbagai macam aktivitas. Masyarakat bisa memanfaatkan sungai sebagai sumber mata pencaharian dan sebagai tempat untuk melakukan aktivitas yang bergantung pada kebutuhan air.


(2)

Masyarakat Kecamatan Medan Belawan merupakan masyarakat pesisir yang secara geografis memiliki tata letak dekat dengan laut. Bagi masyarakat pesisir di Belawan, laut adalah sumber kehidupan mereka dan masih sangat bergantung pada sumber daya alamnya. Namun sangat disayangkan jika melihat kondisi laut saat ini sudah tercemar akibat aktivitas manusia. Sampah rumah tangga, limbah pabrik, dan kotoran tinja dibuang ke laut tanpa ada rasa bertanggung jawab memelihara kesehatan

lingkungan. Ketika melakukan penelitian di

Kelurahan ini, saya merasa benar-benar seperti masyarakat pesisir yang harus terbiasa dengan kesulitan air. Biasanya saya bisa mencuci pakaian setiap hari dan tidak pernah kekurangan air dirumah sendiri. Berbanding terbalik saat saya tinggal di rumah Bu Asnah yang harus menghemat penggunaan air. Mencuci baju baru bisa dilakukan dua hari sekali dirumahnya. Debit air tidak tersedia setiap waktu, hanya lancar di jam tertentu. Sekitar pukul 10 malam sebelum tidur sudah wajib memastikan kondisi kran air dalam keadaan menyala. Biasanya air akan mulai mengalir sekitar jam 12 malam hingga jam 6 pagi. Pada siang hari sangat jarang tersedia air di bak, aliran air mulai macet bahkan penduduk sering mengalami krisis air selama berhari-hari. Sebelum kondisi pemukiman Belawan padat dipenuhi penduduk asli maupun pendatang, PDAM mampu mengalirkan air hingga ke daerah ini. Sekarang penduduk setempat mengandalkan sumur bor atau menampung air hujan untuk mendapatkan air bersih. Terkadang juga terpaksa menggunakan air sungai walaupun kondisinya kotor jika sama sekali tidak ada lagi sesuatu yang dapat diandalkan untuk mendapatkan air bersih.


(3)

Pengalaman tidak menyenangkan pun mulai mengusik ketenangan saya saat memutuskan untuk menginap dirumah pak junaidi. Beliau sudah lama tinggal di Kelurahan Belawan Bahagia selama kurang lebih 40 tahun. Rumah panggung yang dibangunnya di jalan Selar dihuni oleh 6 anggota keluarga. Keadaan rumahnya pun cukup sempit. Rumah mereka sangat mudah dihinggapi oleh kuman atau binatang lainnya ketika banjir rob. Cukup menyebalkan bagi saya ketika harus terbiasa sesekali melihat tikus melintas di dalam rumah pak junaidi, sementara mereka sudah sangat terbiasa dengan hal tersebut. Tak jarang sesekali tercium bau tidak sedap dari tumpukan sampah di lingkungan sekitar dan dari tempat mereka biasa membuang tinja. Tetapi itu adalah tantangan yang sangat wajar bagi saya jika harus live in di rumah warga dalam melakukan penelitian

Lain hal lagi dengan para ibu rumah tangga yang lebih senang mencuci baju di sungai. Mereka merasa lebih semangat mengerjakannya kalau bersama-sama dengan tetangga lainnya sambil bercerita. “Tak enak kalau mengerjakan apa-apa kalau gak sambil cakap-cakap” begitulah kata Bu Marlina yang tinggal di palu. Orang-orang yang tinggal di palu memang lebih sering memanfaatkan ruang terbuka di kawasan pinggiran sungai untuk kegiatan apa saja apalagi sambil bisa melakukan interaksi langsung dengan tetangga lainnya. Terlihat bahwa sungai juga merupakan ruang interaksi bagi masyarakat pesisir Kelurahan Belawan Bahagia. Biasanya penduduk yang tinggal di palu membuat sedikit celah di bagian belakang rumah yang langsung menghadap ke sungai supaya lebih mudah mendapatkan air ketika sedang mencuci atau buang air besar (BAB).


(4)

Penduduk yang tinggal di palu sangat mengandalkan sungai sebagai sumber kehidupan karena hal itu merupakan salah satu cara bertahan mereka menghadapi keterbatasan air dan ketidaktersediaan lahan yang cukup luas untuk membangun fasilitas MCK. Pola perilaku tidak bersih yang dilakukan terus berulang-ulang terbentuk karena mereka sudah terbiasa tinggal di lingkungan kotor dan tidak ada larangan membuang limbah di sungai.

Saya mengenal Pak Junaidi sebagai kader masyarakat yang dipercaya dalam mengontrol pembangunan sarana sanitasi gratis di Kelurahan Belawan Bahagia. Dalam pandangan saya, sebagai kader masyarakat seharusnya dapat memberikan contoh dalam menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat di lingkungan. Namun hal berbeda yang saya lihat pada saat itu ialah Pak Junaidi dengan sengaja membuang sampah-sampah kotak makanan seusai acara agenda pertemuan dengan para stakeholder pelaksana pembangunan. Perilaku seperti itu tentu saja mencerminkan bahwa masyarakat belum terbiasa menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat di lingkungannya. Karena hal tersebut akan mempengaruhi bagaimana sikap masyarakat dalam mengubah perilaku berhenti buang air besar sembarangan jika tidak dipicu dengan kebiasaan hal-hal kecil seperti menjaga kebersihan dengan tidak membuang

sampah sembarangan. Tingkat pertumbuhan penduduk

yang semakin meningkat tiap tahunnya ternyata memiliki pengaruh terhadap pencemaran lingkungan. Semakin banyak masyarakat yang tinggal di pesisir, maka semakin tinggi pula tingkat pencemaran sungai sebagai akibat ulah manusia itu sendiri. Tentunya perilaku masyarakat tersebut berdampak pada pencemaran sungai,


(5)

warna air sungai yang sebelumnya jernih kini berubah menjadi air keruh yang sangat kotor. Kondisi pencemaran sungai ini berpengaruh pula pada kualitas ikan yang menjadi sumber penghasilan para nelayan. Jumlah dan kualitasnya ikut menurun, ekosistem yang ada di sungai secara tidak langsung telah terkontaminasi akibat ulah manusia juga dan akhirnya perlahan berkurang. Dahulu penduduk setempat sering mengkonsumsi ikan teri nasi atau udang kecil dari laut sekedar untuk mengganjal perut jika tidak punya uang yang cukup untuk berbelanja ke pasar.

Saat ini, air sungai tidak mungkin bisa dimanfaakan lagi seperti semula oleh masyarakat. Airnya tidak lagi bisa langsung diminum tanpa diolah, jumlah ikan berkurang, kutu busuk mulai bermunculan dari sungai, dan mereka tidak lagi bisa merasakan segarnya mandi air sungai. Persoalan lingkungan kumuh di wilayah pesisir sulit diatasi jika masyarakat tidak mengubah kebiasaannya. Tak jarang saya melihat ibu-ibu melakukan aktivitas mencuci baju atau mencuci piring disungai. Sisa makanan sehabis mencuci piring pun juga dibuang ke sungai, bukan ditempat seharusnya. Jika ditanya alasannya, mereka dengan nada ringan mengatakan “sudah biasa, toh nantinya sampah ini hanyut juga dibawa arus”. Dari pernyataan tersebut sudah sangat jelas bahwa masyarakat belawan memang kurang peduli dengan kebersihan lingkungan. Saya juga tidak melihat adanya tempat pembuangan sampah umum di sekitar dekat rumah penduduk, lantas mereka memilih cara yang lebih praktis membuang sampah ke sungai. Sekitar 1000-4000 KK tinggal di Kelurahan Belawan Bahagia tinggal berdesak-desakan dengan posisi rumah yang sangat rapat dan berdempet dimana kondisi bangunan rumah mereka semi permanen.


(6)

Perkembangan permukiman mengalami pertambahan jumlah penduduk setiap tahun dengan berbagai faktor diantaranya kelahiran dan perpindahan penduduk ke pusat kota. Hal tersebut berdampak pada perubahan luas lahan pemukiman yang semakin banyak dipadati oleh masyarakat di pinggiran sungai.

Pada umumnya penduduk yang bermukim di daerah seperti ini memiliki hubungan kekerabatan (saudara kandung). Dalam satu rumah bisa saja dihuni oleh lebih dari satu-dua kepala keluarga. Seperti halnya dua anak perempuan Pak Hasan yang sudah berkeluarga masih menetap dirumah beliau. Mereka dengan terpaksa tinggal satu atap dengan Pak Hasan karena kondisi perekenomian yang tidak dapat membantu mereka mencari tempat tinggal di daerah lain. Pada akhirnya tiap penduduk akan memanfaatkan setiap jengkal lahan kosong yang ada dengan membangun bilik-bilik dari material seadanya atau menumpang di rumah keluarga

sekandung. Posisi tata

letak bangunan rumah penduduk di Kelurahan Belawan Bahagia mengikuti kondisi geografis yang lahannya semakin sempit ke arah pesisir. Ketika memasuki Kelurahan Belawan Bahagia, tampak di lingkungan bagian depan jalanan masih bersih dan tidak ada bau tidak sedap yang menguap dari sungai. Barisan bagian depan dipadati oleh bangunan rumah layak huni dengan kondisi bangunan rumah permanen pada umumnya. Menuju lingkungan selanjutnya sekitar 2 km dari gardu Kelurahan , semakin tercium aroma tak sedap dan mulai tampak rumah-rumah panggung berdiri diatas sungai. Kondisi lingkungan di setiap pinggir jalan dipenuhi sampah. Jika terjadi pasang, sampah-sampah tersebut terbawa ke


(7)

daratan, dan saat air sudah mulai surut orang-orang hanya sebatas membersihkan bagian teras rumah saja. Sampah yang terlihat di halaman atau di sekitaran lorong rumah tetap dibiarkan berserakan sampai ada pemungut sampah yang sesekali akan memunguti sampah-sampah tersebut. Banyak pemuda dan anak-anak yang sering memanfaatkan air pasang untuk berenang di sungai. Mereka tidak peduli dengan warna air yang keruh, sampah-sampah yang tergenang atau kuman pembawa penyakit. Tetapi hal itu sama sekali tidak menyurutkan niat dan keberanian mereka mandi di air sungai tercemar, justru persepsi orang tua bahwa anak-anak mereka sudah dibiasakan berenang di sungai sejak umur 6 tahun agar tubuh mereka cukup

kebal/tahan banting. Begitulah kondisi

lingkungan di Kelurahan Belawan Bahagia berdasarkan pengamatan saya selama melakukan penelitian ini di lapangan. Kondisi lingkungan yang kumuh dan kotor merupakan cerminan dari perilaku masyarakatnya yang tidak terbiasa menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat baik dari ruang lingkup terkecil, yaitu keluarga. Faktor kedisiplinan sangat dituntut dalam hal mengubah perilaku hidup sehat agar mampu bertanggung jawab atas kebersihan lingkungannya.


(8)

Gambar 1.1.Kondisi rumah di Kelurahan Belawan Gambar1.2.Kondisi Mck di rumah panggung

Bahagia


(9)

2.2. Kondisi Sosial Masyarakat Kelurahan Belawan Bahagia

Penduduk Kelurahan Belawan Bahagia di huni oleh berbagai macam suku, diantaranya Melayu, Jawa, dan Batak tetapi lebih didominasi oleh suku Melayu sebagai masyarakat pesisir yang paling banyak. Etnis Tionghoa yang tinggal di wilayah tersebut pun tetap ramah hidup bertetangga dengan masyarakat pribumi lainnya, bahkan mereka tidak merasa terganggu dengan adanya rumah ibadah yang dibangun dekat dengan wilayah yang umumnya rumah masyarakat pribumi. Seperti Pak Ahong (nama akrab) tetangga Bu Asnah tempat saya menginap selama melakukan penelitian. Tak jarang setiap sore hari sepulang bekerja pak ahong meluangkan waktu bersilaturahmi dengan para tetangganya. Seringkali dia juga menawarkan bantuan material rumah dengan harga murah kepada para tetangganya jika ada yang butuh merenovasi bangunan rumah atau lainnya.

Terkadang ia juga tidak keberatan jika tetangganya ingin hutang membeli material bangunan darinya. Hiruk pikuk para nelayan di laut dan para pedagang pasar meramaikan kawasan Kelurahan Belawan Bahagia.

Suara mesin kapal nelayan terdengar sangat sibuk ber- buru rezeki. Setiap hari para pedagang pasar mulai dari jam 04.00 WIB mereka mulai bergegas membereskan la- pak dagangannya dan para nelayan selalu siap sedia men- distribusikan hasil tangkapan laut kepada pemasok ikan untuk dijual ke pasar.


(10)

Mereka saling bergantung satu sama lain dalam mencari rezeki. “Kehidupan kami disini masih bisa dibilang susah, paling tidak kami cuma bisa bantu kerja mocok-mocok kalau ada yang minta tolong mencarikan pekerjaan” kata Bang Soni yang bekerja sebagai tukang becak. Rumah penduduk sangat berdekatan dengan rumah tetangga lainnya jadi sangat memudahkan bagi mereka saling berinteraksi kapan saja. Tidak ada pembatas dan waktu kerja yang menghalangi mereka saling bertatap muka. Terkadang ibu-ibu yang tidak bekerja senang sekedar berkumpul-kumpul sambil membawa makan siangnya dirumah tetangga. Mungkin hal ini sangat jarang terjadi di kota yang lebih bersifat indiviualis dan merasa lebih nyaman makan dirumah atau di restoran bersama. Kedekatan posisi rumah panggung yang tidak berjarak sangat mendukung kemudahan mereka saling berinteraksi hingga satu sama lain sangat mengenal kehidupan pribadi tetangga dekatnya.Kesulitan mendapatkan air bersih adalah masalah yang selama ini dialami oleh penduduk setempat. Beberapa kali sudah ada bantuan dari pemerintah untuk mengatasi persoalan ini. Tetapi lagi-lagi program dari pemerintah tersebut tidak memuaskan masyarakat karena air sering mati di jam-jam tertentu.

Penduduk di Belawan yang tinggal di pesisir pantai maupun di daerah laut memiliki cara berbicara yang khas, mereka agak berbeda dengan masyarakat yang tinggal di daerah perkotaan. Nada berbicara mereka agak keras atau melengking saat mereka berbicara. Memang terdengar seperti sedang marah tapi itu sudah menjadi kebiasaan mereka dan tidak mudah hilang. Mereka berbicara keras di depan orang lain tanpa merasa canggung bahkan seperti orang berteriak. Tetapi jika berinteraksi


(11)

dengan orang baru biasanya mereka berbicara dengan nada yang lebih pelan.

Menyadari bahwa penduduk setempat memiliki keterbatasan yang tidak jauh berbeda, rasa persaudaraan dan sifat saling tolong menolong masih sangat kuat di Kelurahan Belawan Bahagia. Hal ini tercermin dari kerjasama yang sering dilakukan masyarakat saat hajatan perkawinan atau lainnya. Bulan Maret lalu Ibu Rodiah membuat acara hajatan perkawinan putri bungsunya secara sederhana. Para tetangga dengan tangan terbuka membantu persiapan acara dari awal hingga akhir acara. “Disini kami hidup seperti saudara kandung, kalau ada hajatan kita saling bergantian membantu” katanya. Ada yang bersedia menyumbang kekurangan dana semampunya dan adapula yang memberikan makanan tambahan untuk hidangan malam pesta perkawinan. Mereka selalu bersedia membantu tetangganya tanpa diminta. Bentuk sosial seperti itu sudah menjadi tradisi bagi mereka. Adalah sebuah modal sosial dari masyarakat tersebut untuk dapat dilibatkan dalam sebuah proyek pembangunan dengan model partisipasi.

“Orang belawan terkenal dengan watak kerasnya, sebutannya saja sudah be-“lawan” kata pak Tugiono. Masyarakat pesisir di Belawan tidak suka hidup dengan aturan-aturan yamg memaksa. Semua orang bebas bertindak semaunya hingga tak jarang berujung pada perselisihan. Orang pesisir di Belawan merasa hidupnya sudah cukup sulit dengan keterbatasan ekonomi, jadi mereka tidak ingin hidup mereka lebih dipersulit lagi dengan hal-hal atau aturan yang tidak disenangi. Watak “keras” yang terbentuk pada masyarakat Belawan karena mereka menganggap bahwa emosi orang pesisir terbentuk karena lingkungan mereka yang tinggal di pesisir, tak jarang hal-hal


(12)

kecil seperti suhu (hawa panas) terbawa-bawa oleh perilaku. Pengaruh iklim daerah pesisir juga cukup kuat mempengaruhi karakteristik masyarakatnya, dimana penduduk cenderung bertemperamen keras dan tinggi sesuai dengan kondisi alamnya yang mengalami pasang surut akhirnya akan terbawa pada sikap dan perilaku masyarakatnya.

Gambaran mengenai kondisi sosial masyarakat Kelurahan Belawan Bahagia memperlihatkan adanya watak atau karakter masyarakat yang bisa dijadikan modal sosial untuk mendukung keberhasilan suatu program pembangunan. Budaya tolong-menolong yang bisa diterapkan kepada sesama tetangga dapat dibentuk sebagai suatu kelompok gotong-royong jika diikutsertakan dalam program pemberdayaan. Seperti misalnya pembangunan sumur bor yang merupakan suatu kebutuhan mendesak bagi penduduk agar bisa mendapatkan saluran air. Karena dipicu oleh rasa kebutuhan tersebut maka mereka tergerak untuk merencanakan dan menciptakan sarana baru untuk kebutuhan bersama.


(13)

1.3. Kepedulian PHBS (Perilaku Hidup Bersih dan Sehat) Masih Rendah. Penyebab terjadinya perubahan perilaku tergantung kepada kualitas rangsang (stimulus) yang berkomunikasi atau berinteraksi dengan organisme. Artinya, kualitas dari sumber komunikasi, misalnya kredibilitas, kepemimpinan, gaya bicara, sabar dan ulet sangat menentukan keberhasilan perubahan perilaku seseorang (Nico Frijda, dalam Thoby 2007). Perlu pendampingan secara berulang-ulang untuk mengubah perilaku buruk masyarakat yang sudah menjadi suatu kebiasaan lama. Masyarakat yang tidak berdaya secara naluri membutuhkan seorang fasilitator yang tidak hanya mentransfer pengetahuan. Tetapi, dalam hal ini seorang fasilitator harus bisa menjadi sahabat/teman cerita bagi masyarakat. Pendekatan komunikasi yang dibangun antara fasilitator dan masyarakat sangat mempengaruhi keberhasilan suatu program pembangunan. Dengan begitu masyarakat akan lebih paham dengan siapa dia harus mempercayai sumber pengetahuan yang diperoleh.

Perubahan perilaku individu tergantung kepada kebutuhan. Stimulus yang dapat mengakibatkan perubahan perilaku seseorang adalah apabila stimulus tersebut dapat dimengerti dalam konteks kebutuhan orang yang bersangkutan. Seseorang dapat bertindak (berperilaku) positif terhadap obyek demi pemenuhan kebutuhannya. Sebaliknya bila obyek tidak dapat memenuhi kebutuhannya maka ia akan berperilaku negatif.

Mental instan dan praktis memang sudah menjadi kebiasaan yang mendarah daging pada msyarakat Belawan. Perspektif kognitif menekankan pada pandangan


(14)

bahwa kita tidak bisa memahami perilaku seseorang tanpa mempelajari proses mental mereka. Perilaku mereka tergantung pada bagaimana mereka berpikir dan mempersepsi lingkungannya. Masyarakat pesisir di Belawan mempersepsikan lingkungannya yang dekat sungai/laut sebagai ruang bebas tempat mereka melakukan aktivitas apa saja. Ibu-ibu bisa mencuci pakaian, kepala keluarga mendapat sumber penghasilan dari melaut, hingga mereka bisa dengan bebas membuang hajat di sungai tanpa larangan dari siapapun. Aktivitas-aktivitas tersebut akan terus berlanjut selama pengalaman mereka belum pernah mengalami ancaman yang akan merugikan atas

perilaku tersebut. Pada hakikatnya membangun

suatu bangsa atau masyarakat tidak hanya menyangkut pembangunan yang berupa fisik melainkan juga yang bersifat non-fisik. Hal inilah yang harus mendapatkan perhatian agar tercipta adanya keselarasan dan keseimbangan yang saling mendukung (Koentjaraningrat, dalam Naniek 2005).Pembangunan nonfisik berhubungan dengan kesiapan mental masyarakat menerima suatu teknologi baru yang sebelumunya tidak pernah dipakai oleh masyarakat. Peralihan dari WC cemplung ke jamban individual

(septictank biofilter) dengan tujuan mengubah perilaku masyarakat tidak lagi sembarangan membuang air besar di ruang terbuka tidak cukup dengan sosialisasi dan penyuluhan pentingnya sanitasi lingkungan di permukiman kumuh. Saat saya mendapat kesempatan mengikuti forum FGD Video Sanitasi di Belawan yang diawali dengan penjelasan latar belakang program sanitasi berbasis masyarakat oleh fasilitator, forum diselingi tanya jawab dengan audiens mengenai sanitasi dan kebiasan perilaku hidup sehat. Salah satu ibu menjawab “Sanitasi itu usaha


(15)

memperbaiki kebiasaan perilaku masyarakat menjaga lingkungan bersih” dan ketika ditanya apakah sudah membiasakan diri menerapkan kebiasaan perilaku bersih mereka menjawab belum membiasakan diri membuang hajat di jamban ataupun menjawab dengan pernyataan kadang-kadang saja. Alasan mereka pun bermacam-macam, ada yang tidak mau menggunakannya karena tidak ada air, WC sering mengeluarkan bau tidak sedap sehabis dipakai, dan yang lainnya menjawab belum terbiasa. Dari pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa mentransfer pengetahuan tentang sanitasi saja tidak cukup untuk mengubah perilaku hidup bersih masyarakat.

Membiasakan perilaku hidup sehat berarti tidak sekedar urusan mengubah perilaku masyarakat yang terbiasa sembarangan terbiasa membuang air besar saja. Tetapi perlu diperhatikan bahwa kebiasaan buruk masyarakat di Kelurahan Belawan Bahagia seperti tidak membiasakan diri cuci tangan. Pandangan Knauft (dalam Hari Poerawanto, 2005) menjelaskan bahwa jika kita menggunakan pendekatan ekologi manusia, maka perilaku manusia itulah yang menjadi sasaran utama untuk dibenahi semaksimal mungkin.

Misalnya, saat pada hari sabtu siang saya diajak singgah ke rumah Pak Norman sekedar untuk bersilaturahmi sekaligus makan siang bersama. Awalnya sedikit ragu untuk menyantap makanan itu karna pandangan saya tidak sengaja tertuju dengan bilik kamar mandi yang terbuka. Sugesti dalam pikiran saya pada kemungkinan makanan yang tidak dimasak dengan sehat karena dapur belakang berdekatan dengan sarana MCK. Kondisi kamar mandinya cukup kotor dan tidak beratap. Saya juga memperhatikan Pak Norman yang tidak membiasakan diri


(16)

mencuci tangan sebelum makan. Dengan kondisi rumah yang sempit dan tidak banyak ruang didalamnya, kamar mandi mereka digunakan untuk tempat mencuci piring, mencuci baju dimana pembuangan limbahnya langsung ke sungai. Air yang digunakan berasal dari sumur bor. Itu pun aliran airnya sering macet ke rumah penduduk. Jika mereka tidak mendapatkan air bersih, dengan terpaksa harus menggunakan air sungai untuk kebutuhannya. Dari cerita Pak Junaidibahwa masyarakat setempat tidak begitu antusias dengan kegiatan gotong royong membersihkan lingkungan tempat tinggal mereka. Sewaktu itu, pak kepling sempat berinisiatif mengajak warga melakukan gotong royong setiap hari minggu. Tetapi tidak berjalan efektif karena masyarakat semakin tidak bersemangat mengikuti agenda tersebut. “Awalnya bapak-bapak disini mau diajak gotong royong tapi lama kelamaan mereka jadi malas” katanya. Menurut Sudayasa (2009), Perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) adalah semua perilaku kesehatan yang dialakukan atas kesadaran sehingga anggota keluarga atau keluarga dapat menolong dirinya sendiri di bidang kesehatan dan dapat berperan aktif dalam kegiatan-kegiatan kesehatan di masyarakat.41 Potret kehidupan sanitasi di Belawan merupakan salah satu contoh rendahnya kualitas kesehatan di lingkungan tersebut. Pembangunan sarana sanitasi gratis adalah suatu upaya yang dilakukan untuk membantu masyarakat agar tidak mengulang perilaku BABS (Buang Air Besar Sembarangan). Stimulan kesadaran kepada masayarakat harus dibantu oleh fasilitator melalui proses pemicuan dan pengetahuan mengenai pentingnya melakukan aksi

41


(17)

perubahan perilaku hidup bersih untuk menjaga kesehatan. Sehungga program Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM) dapat membawa pengaruh perubahan perilaku bagi setiap anggota keluarga.

Gambar1.7 Seorang pemuda memanfaatkan air sungai untuk mandi saat pasang

Gambar 1.8 Seorang ibu memanfaatkan air sungai untuk mencuci piring. Air kotoran dan limbahnya dibuan kesungai


(1)

kecil seperti suhu (hawa panas) terbawa-bawa oleh perilaku. Pengaruh iklim daerah pesisir juga cukup kuat mempengaruhi karakteristik masyarakatnya, dimana penduduk cenderung bertemperamen keras dan tinggi sesuai dengan kondisi alamnya yang mengalami pasang surut akhirnya akan terbawa pada sikap dan perilaku masyarakatnya.

Gambaran mengenai kondisi sosial masyarakat Kelurahan Belawan Bahagia memperlihatkan adanya watak atau karakter masyarakat yang bisa dijadikan modal sosial untuk mendukung keberhasilan suatu program pembangunan. Budaya tolong-menolong yang bisa diterapkan kepada sesama tetangga dapat dibentuk sebagai suatu kelompok gotong-royong jika diikutsertakan dalam program pemberdayaan. Seperti misalnya pembangunan sumur bor yang merupakan suatu kebutuhan mendesak bagi penduduk agar bisa mendapatkan saluran air. Karena dipicu oleh rasa kebutuhan tersebut maka mereka tergerak untuk merencanakan dan menciptakan sarana baru untuk kebutuhan bersama.


(2)

1.3. Kepedulian PHBS (Perilaku Hidup Bersih dan Sehat) Masih Rendah. Penyebab terjadinya perubahan perilaku tergantung kepada kualitas rangsang (stimulus) yang berkomunikasi atau berinteraksi dengan organisme. Artinya, kualitas dari sumber komunikasi, misalnya kredibilitas, kepemimpinan, gaya bicara, sabar dan ulet sangat menentukan keberhasilan perubahan perilaku seseorang (Nico Frijda, dalam Thoby 2007). Perlu pendampingan secara berulang-ulang untuk mengubah perilaku buruk masyarakat yang sudah menjadi suatu kebiasaan lama. Masyarakat yang tidak berdaya secara naluri membutuhkan seorang fasilitator yang tidak hanya mentransfer pengetahuan. Tetapi, dalam hal ini seorang fasilitator harus bisa menjadi sahabat/teman cerita bagi masyarakat. Pendekatan komunikasi yang dibangun antara fasilitator dan masyarakat sangat mempengaruhi keberhasilan suatu program pembangunan. Dengan begitu masyarakat akan lebih paham dengan siapa dia harus mempercayai sumber pengetahuan yang diperoleh.

Perubahan perilaku individu tergantung kepada kebutuhan. Stimulus yang dapat mengakibatkan perubahan perilaku seseorang adalah apabila stimulus tersebut dapat dimengerti dalam konteks kebutuhan orang yang bersangkutan. Seseorang dapat bertindak (berperilaku) positif terhadap obyek demi pemenuhan kebutuhannya. Sebaliknya bila obyek tidak dapat memenuhi kebutuhannya maka ia akan berperilaku negatif.

Mental instan dan praktis memang sudah menjadi kebiasaan yang mendarah daging pada msyarakat Belawan. Perspektif kognitif menekankan pada pandangan


(3)

bahwa kita tidak bisa memahami perilaku seseorang tanpa mempelajari proses mental mereka. Perilaku mereka tergantung pada bagaimana mereka berpikir dan mempersepsi lingkungannya. Masyarakat pesisir di Belawan mempersepsikan lingkungannya yang dekat sungai/laut sebagai ruang bebas tempat mereka melakukan aktivitas apa saja. Ibu-ibu bisa mencuci pakaian, kepala keluarga mendapat sumber penghasilan dari melaut, hingga mereka bisa dengan bebas membuang hajat di sungai tanpa larangan dari siapapun. Aktivitas-aktivitas tersebut akan terus berlanjut selama pengalaman mereka belum pernah mengalami ancaman yang akan merugikan atas

perilaku tersebut. Pada hakikatnya membangun

suatu bangsa atau masyarakat tidak hanya menyangkut pembangunan yang berupa fisik melainkan juga yang bersifat non-fisik. Hal inilah yang harus mendapatkan perhatian agar tercipta adanya keselarasan dan keseimbangan yang saling mendukung (Koentjaraningrat, dalam Naniek 2005).Pembangunan nonfisik berhubungan dengan kesiapan mental masyarakat menerima suatu teknologi baru yang sebelumunya tidak pernah dipakai oleh masyarakat. Peralihan dari WC cemplung ke jamban individual (septictank biofilter) dengan tujuan mengubah perilaku masyarakat tidak lagi sembarangan membuang air besar di ruang terbuka tidak cukup dengan sosialisasi dan penyuluhan pentingnya sanitasi lingkungan di permukiman kumuh. Saat saya mendapat kesempatan mengikuti forum FGD Video Sanitasi di Belawan yang diawali dengan penjelasan latar belakang program sanitasi berbasis masyarakat oleh fasilitator, forum diselingi tanya jawab dengan audiens mengenai sanitasi dan kebiasan perilaku hidup sehat. Salah satu ibu menjawab “Sanitasi itu usaha


(4)

memperbaiki kebiasaan perilaku masyarakat menjaga lingkungan bersih” dan ketika ditanya apakah sudah membiasakan diri menerapkan kebiasaan perilaku bersih mereka menjawab belum membiasakan diri membuang hajat di jamban ataupun menjawab dengan pernyataan kadang-kadang saja. Alasan mereka pun bermacam-macam, ada yang tidak mau menggunakannya karena tidak ada air, WC sering mengeluarkan bau tidak sedap sehabis dipakai, dan yang lainnya menjawab belum terbiasa. Dari pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa mentransfer pengetahuan tentang sanitasi saja tidak cukup untuk mengubah perilaku hidup bersih masyarakat.

Membiasakan perilaku hidup sehat berarti tidak sekedar urusan mengubah perilaku masyarakat yang terbiasa sembarangan terbiasa membuang air besar saja. Tetapi perlu diperhatikan bahwa kebiasaan buruk masyarakat di Kelurahan Belawan Bahagia seperti tidak membiasakan diri cuci tangan. Pandangan Knauft (dalam Hari Poerawanto, 2005) menjelaskan bahwa jika kita menggunakan pendekatan ekologi manusia, maka perilaku manusia itulah yang menjadi sasaran utama untuk dibenahi semaksimal mungkin.

Misalnya, saat pada hari sabtu siang saya diajak singgah ke rumah Pak Norman sekedar untuk bersilaturahmi sekaligus makan siang bersama. Awalnya sedikit ragu untuk menyantap makanan itu karna pandangan saya tidak sengaja tertuju dengan bilik kamar mandi yang terbuka. Sugesti dalam pikiran saya pada kemungkinan makanan yang tidak dimasak dengan sehat karena dapur belakang berdekatan dengan sarana MCK. Kondisi kamar mandinya cukup kotor dan tidak beratap. Saya juga memperhatikan Pak Norman yang tidak membiasakan diri


(5)

mencuci tangan sebelum makan. Dengan kondisi rumah yang sempit dan tidak banyak ruang didalamnya, kamar mandi mereka digunakan untuk tempat mencuci piring, mencuci baju dimana pembuangan limbahnya langsung ke sungai. Air yang digunakan berasal dari sumur bor. Itu pun aliran airnya sering macet ke rumah penduduk. Jika mereka tidak mendapatkan air bersih, dengan terpaksa harus menggunakan air sungai untuk kebutuhannya. Dari cerita Pak Junaidibahwa masyarakat setempat tidak begitu antusias dengan kegiatan gotong royong membersihkan lingkungan tempat tinggal mereka. Sewaktu itu, pak kepling sempat berinisiatif mengajak warga melakukan gotong royong setiap hari minggu. Tetapi tidak berjalan efektif karena masyarakat semakin tidak bersemangat mengikuti agenda tersebut. “Awalnya bapak-bapak disini mau diajak gotong royong tapi lama

kelamaan mereka jadi malas” katanya. Menurut Sudayasa

(2009), Perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) adalah semua perilaku kesehatan yang dialakukan atas kesadaran sehingga anggota keluarga atau keluarga dapat menolong dirinya sendiri di bidang kesehatan dan dapat berperan aktif dalam kegiatan-kegiatan kesehatan di masyarakat.41 Potret kehidupan sanitasi di Belawan merupakan salah satu contoh rendahnya kualitas kesehatan di lingkungan tersebut. Pembangunan sarana sanitasi gratis adalah suatu upaya yang dilakukan untuk membantu masyarakat agar tidak mengulang perilaku BABS (Buang Air Besar Sembarangan). Stimulan kesadaran kepada masayarakat harus dibantu oleh fasilitator melalui proses pemicuan dan pengetahuan mengenai pentingnya melakukan aksi

41


(6)

perubahan perilaku hidup bersih untuk menjaga kesehatan. Sehungga program Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM) dapat membawa pengaruh perubahan perilaku bagi setiap anggota keluarga.

Gambar1.7 Seorang pemuda memanfaatkan air sungai untuk mandi saat pasang

Gambar 1.8 Seorang ibu memanfaatkan air sungai untuk mencuci piring. Air kotoran dan limbahnya dibuan kesungai