Implementasi Pembangunan Sarana Sanitasi Gratis Kajian Antropologi Pembangunan (Studi Kasus di Kelurahan Belawan Bahagia, Kecamatan Medan Belawan)

(1)

BAB I

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Kebiasaan masyarakat membuang air besar di sungai sudah sejak lama menjadi kebiasaan buruk di Kelurahan Belawan Bahagia. Kebiasaan buruk masyarakat membuang air besar sembarangan masih terbawa dari dulu hingga sekarang, sementara masyarakat juga sudah terbiasa melakukan aktivitas mencuci, mandi, dan aktivitas lainnya di sungai. Fenomena tersebut mencerminkan kepedulian masyarakat sangat rendah untuk menjaga kesehatan. Sikap dan perilaku masyarakat yang cenderung tidak peduli memelihara kesehatan lingkungan ini berdampak pada pembentukan pola perilaku generasi mereka selanjutnya.

Kecamatan Medan Belawan adalah salah satu dari sekian banyak daerah pemukiman padat di Sumatera Utara yang secara langsung terkena implikasi atas pembangunan infrastruktur dasar pelayanan publik. Pembangunan pabrik-pabrik disekitar area rumah penduduk yang juga tidak jauh dari aliran sungai menimbulkan permasalahan pencemaran lingkungan akibat dari pembuangan limbah pabrik dan rumah tangga, polusi yang dihasilkan dari produktivitas pabrik, dan aktivitas manusia lainnya yang berakibat merusak lingkungan seperti BAB (Buang Air Besar) di sungai.


(2)

Mayoritas rumah penduduk adalah rumah panggung yang dibangun di atas laut dengan fasilitas MCK (Mandi Cuci Kakus) seadanya yang tidak memenuhi standar SNI (Standar Nasional Indonesia). Setiap rumah tangga hanya memiliki WC (Water Closet) cemplung/cubluk dimana pembuangannya langsung ke aliran laut, atau kebiasaan buruk lainnya adalah mengubur tinja dengan tanah secara sembunyi-sembunyi. Lain lagi dengan WC terbang yang menunjukkan kebiasaan masyarakat membuang tinja ke sungai dengan menggunakan plastik dan apabila terjadi pasang laut maka seluruh limbah rumah tangga tersebut akan terbawa oleh arus pasang laut tersebut.

Masyarakat menganggap tindakan tersebut adalah hal yang biasa dilakukan karna tidak ada larangan yang mengahalangi mereka BAB sembarangan. Belum lagi masyarakat merasa terlalu repot untuk membangun WC/septictank dengan kondisi lahan sempit yang harus mengeluarkan biaya mahal dan tidak sesuai dengan penghasilan mereka yang mayoritas sebagai nelayan dan pedagang kaki lima. Melihat pola perilaku BAB masyarakat tersebut muncul kehawatiran pada dampak gangguan kesehatan; masyarakat akan lebih mudah terjangkit berbagai penyakit seperti diare yang umumnya sering diderita oleh anak-anak maupun orang dewasa.

Ketidaktersediaan sarana dan prasarana lingkungan di pemukiman Kelurahan Belawan Bahagia adalah salah satu penyebab masyarakat membuang air besar di sungai. Masyarakat tidak memiliki fasilitas seperti MCK atau septictank.


(3)

Padahal pada dasarnya keberadaan prasarana lingkungan merupakan kebutuhan yang paling penting secara langsung/tidak langsung berpengaruh pada kesehatan dan kesejahteraan manusia.1

Kesadaran individu mengenai lingkungan hidup dan kelestariannya merupakan hal yang amat penting dewasa ini di mana pencemaran lingkungan merupakan hal yang sulit dihindari. Kesadaran masyarakat yang terwujud dalam berbagai aktivitas lingkungan maupun aktivitas kontrol lainnya adalah hal yang sangat diperlukan untuk mendukung apa yang dilakukan pemerintah melalui kebijakan-kebijakan penyelamatan lingkungan. Pencemaran air limbah yang terjadi di Kelurahan Belawan Bahagia menunjukkan bahwa selain ketidaktersediaan lahan, masyarakat belum merasa penting untuk memiliki fasilitas MCK sebagai kebutuhan dasar perbaikan sanitasi.

“Dalam pencapaian target Millenium Development Goals (MDGs) tahun 2015, pemerintah Indonesia sejak tahun 2003 telah melaksanakan kegiatan SANIMAS (Sanitasi oleh Masyarakat). Sebuah inisiatif program yang dirancang untuk mempromosikan penyediaan prasarana dan sarana air limbah permukiman berbasis masyarakat dan juga mengedepankan pendekatan tanggap kebutuhan. Dengan harapan pada tahun 2015, tidak ada lagi masyarakat Indonesia yang tidak memiliki akses untuk memperoleh air minum dan pelayanan prasarana air limbah sebagai kebutuhan dasar hidup manusia.”2

1

(Claire; dalam Tesis Indra Gunawan, 2012)

2I dra Gu awa , Pe getahua asyarakat te ta g pe gelolaa sa itasi er asis asyarakat , (Tesis Program Magister TeknikUniversitas Diponegoro, 2012) hal 3


(4)

Upaya pemberdayaan masyarakat pada tingkat desa atau dapat dianggap sebagai masyarakat miskin harus berpedoman pada konsep bottom-up artinya pembangunan untuk masayarakat tidak semata-mata hanya untuk mengindahkan tatanan suatu daerah, namun suatu pembangunan harus memenuhi faktor kebutuhan masyarakat yang tepat guna pada waktu sekarang dan yang akan datang.3Mengutamakan masyarakat pada konsepsi nilai tentang hal yang seharusnya diinginkan karena masyarakat lebih mengetahui apa yang diinginkannya untuk memenuhi kekurangan ataupun kelemahannya.

Sejalan dengan perkembangan inovasi teknologi tepat guna bagi kebutuhan manusia, pembangunan desa di Kelurahan Belawan Bahagia yang tinggal dalam kondisi sanitasi masih buruk maka dengan melibatkan perusahaan USAID sebagai dana pemberi hibah melalui program Sanitasi Total Berbasis Masyarakat yang difasiitasi oleh IUWASH (Indonesia Urban Water Sanitation Hygiene) yaitu program pemberdayaan masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan dan kesehatan manusia dengan memperbaiki sistem sanitasi di Indonesia. Melalui program Sanitasi Berbasis Masyarakat yaitu sebuah program penyediaan sarana dan prasarana sanitasi permukiman berbasis masyarakat dengan mengedepankan pendekatan tanggap kebutuhan dengan membangun sarana fasilitas sanitasi seperti MCK, WC, dan septictank.4

3

Dalam kebijakan pembangunan desa yang ditetapkan pemerintah, dimana dikatakan ahwa eka is e pelaksa aa pe a gu a desa dilakuka de ga siste pere a aa dari bawah (bottom-up) (Marzali, 2012)

4


(5)

Upaya pembangunan jamban sehat bagi masyarakat miskin Kelurahan Belawan Bahagia merupakan salah satu program pemicuan bagi masyarakat miskin mengubah perilaku cara BAB yang tentunya memiliki tantangan dari masyarakat lokal dalam mengenalkan suatu produk baru yang menuntut proses adaptasi masyarakat untuk melakukan perubahan perbaikan sanitasi. Tidak lagi menjadikan masyarakat semata-mata hanya menjadi objek penerima manfaat proyek belaka. Pendekatan yang dipakai dalam pembangunan alternatif adalah pembangunan tingkat lokal, menyatu dengan budaya lokal, bukan memaksakan suatu model pembangunan dari luar serta sangat menyertakan partisipasi orang-orang lokal.

Tantangan yang akan dihadapi oleh pihak luar dalam upaya pembangunan jamban sehat ini adalah bagaimana mengubah cara pandang masyarakat melihat manfaat penggunaan WC/septictank yang selama ini masih belum menjadi kebutuhan dasar yang paling penting sehingga pada akhirnya mereka mengerti pentingnya perbaikan sanitasi lingkungan. Respon pemakai merupakan suatu faktor penting dalam mencapai tujuan proyek, pertimbangan sosial menjadi yang terpenting dalam keberhasilan proyek.5

Pembangunan jamban sehat bagi masayarakat Kelurahan Belawan Bahagia merupakan salah satu alternatif yang dilakukan oleh lembaga swasta untuk mendorong perubahan perilaku hidup sehat masyarakat. Hingga kini sudah terpasang septictank sebanyak 255 KK di Kelurahan Belawan Bahagia tanpa adanya

5


(6)

pemungutan biaya (dipasang secara gratis).6 Jika dilihat dari nilai fungsional, pembangunan septictank (jamban sehat) bagi masyarakat miskin tersebut sangat bernilai manfaat bagi masyarakat terutama untuk terbiasa hidup sehat dengan tidak lagi membuang air besar di sungai dan mengurangi pencemaran lingkungan.

Selain perusahaan pemberi hibah dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang terkait, partisipasi peran pemerintah dalam mendorong pembangunan merupakan bagian dari fungsi struktur sosial yang paling penting bagaimana pihak luar dapat saling bekerjasama untuk meningkatkan partisipasi masyarakat melaksanakan tujuan pembangunan berkelanjutan dalam menghadapi faktor penghambat yang dihadapi dalam melakukan pembangunan infrastruktur desa seperti rendahnya tingkat kesadaran masyarakat, sikap mental, dan faktor ekonomi masyarakat yang rendah. Peran pemerintah tidak hanya sekedar menjalankan proyek pembangunan namun, sisi lainnya ialah harus memperhatikan aspek dari dalam masyarakat yang memerlukan upaya pemberdayaan.

Dalam hal ini, studi antropologi terapan adalah suatu bidang dalam ilmu antropologi di mana pengetahuan (knowledge), keterampilan (skills), dan sudut pandang (perspective) ilmu antropologi digunakan untuk menolong mencari solusi bagi masalah-masalah praktis kemanusiaan dan memfasilitasi pembangunan. Pemikiran dari sudut pandang antropologi mampu menjelaskan kebutuhan yang tepat untuk membangun infrastruktur desa dengan memperhatikan aspek pengaruh luar,

6


(7)

struktur sosial, sistem mata pencaharian, dan lingkungan alam.7 Keberhasilan pembangunan MCK bagi masyarakat pemukiman tidak hanya dilihat dari indikator kuantitas seberapa banyak MCK yang sudah terpasang di Kelurahan Belawan Bahagia. Namun, usaha lain yang harus dipertimbangkan dalam pembangunan tersebut ialah memberikan efek jera untuk tidak lagi membuang BAB sembarangan dan masyarakat merasa perlu merawat serta memelihara MCK yang sudah dibangun agar dapat menggunakannya secara berkelanjutan untuk menjaga kesehatan.

Faktor teknologi tepat guna menjadi salah satu unsur pertimbangan keputusan dari pelaku pembangunan agar dapat dimanfaatkan masyarakat dalam jangka waktu yang lama. Hal ini mengacu pada apakah teknologi tersebut memberikan kemudahan-kemudahan praktis bagi masyarakat. Pasca pembangunan sarana sanitasi gratis di Kelurahan Belawan Bahagia tidak sepenuhnya dapat mengubah perilaku masyarakat berhenti membuang air besar sembarangan. Ketidaksesuaian bangunan WC yang dibangun di rumah panggung masyarakat berdampak pada beralihnya perilaku masyarakat membuang hajat dengan menggunakan WC cemplung.

7


(8)

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka rumusan masalah dari studi kasus yang akan diteiti adalah:

1. Apakah yang menjadi faktor-faktor penyebab masyarakat tidak menggunakan sarana sanitasi gratis pasca pembagunan?

1.3. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dan manfaat dalam penelitian ini adalah :

1. Mengetahui faktor penyebab masyarakat tidak menggunakan sarana sanitasi gratis dalam mendukung Program Sanitasi Berbasis Masyarakat di Kelurahan Belawan Bahagia.

1.4. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada pembaca sebagai sebuah informasi mengenai bahaya yang akan ditimbulkan jika tidak adanya perbaikan sanitasi di lingkungan pemukiman padat dan kumuh. Penelitian ini juga dapat digunakan menjadi bahan informasi/referensi untuk program penguatan atau pemberdayaan masyarakat berikutnya agar dapat berkelanjutan.


(9)

1.5. Tinjauan Pustaka 1.5.1. Pengertian Sanitasi

Upaya pembangunan sarana sanitasi telah dilakukan di Kecamatan Medan Belawan, Kelurahan Belawan Bahagia untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan perilaku hidup sehat di seluruh lapisan masyarakat dengan tujuan membentuk kesehatan masyarakat yang optimal dengan cara mengubah prilaku masyarakat agar berhenti membuang air besar sembarangan. Derajat kesehatan masyarakat yang optimal tersebut tentunya dipengaruhi oleh kondisi lingkungan, fisik, sosial, ekonomi, dan budaya hidup masyarakat.

Pengertian sehat menurut WHO adalah keadaan yang meliputi kesehatan fisik, mental, dan sosial yang tidak hanya berarti suatu keadaaan yang bebas dari penyakit dan kecacatan. Tempat pemukiman dengan segala sesuatunya dimana organismenya hidup beserta segala keadaan dan kondisi yang secara langsung maupun tidak, dapat diduga ikut mempengaruhi tingkat kehidupan maupun kesehatan dari organisme itu (Riyadi, 2004).8

Menurut Notoatmojo, sanitasi itu merupakan perilaku disengaja dalam pembudayaan hidup bersih dengan maksud mencegah manusia bersentuhan langsung dengan kotoran dan bahan buangan berbahaya lainnya dengan harapan usaha ini akan menjaga dan meningkatkan kesehatan manusia, sedangkan untuk pengertian dari

8


(10)

sanitasi lingkungan adalah status kesehatan suatu lingkungan yang mencakup perumahan,pembuangan kotoran, penyedian air bersih dan sebagainya.9

Masalah kesehatan adalah suatu masalah yang sangat kompleks dan saling berkaitan dengan masalah-masalah lain di luar kesehatan itu sendiri. Pemecahan masalah kesehatan masyarakat, tidak hanya dilihat dari kesehatannya sendiri, tapi harus dilihat dari seluruh segi yang ada pengaruhnya terhadap “sehat-sakit” atau kesehatan tersebut. Banyak faktor yang mempengaruhi kesehatan, baik kesehatan individu, maupun kesehatan masyarakat.10

Slamet mengungkapkan bahwa sanitasi lingkungan lebih menekankan pada pengawasan dan pengendalian/kontrol pada faktor lingkungan manusia seperti:11 - Penyediaan air menjamin air yang digunakan oleh manusia bersih dan sehat. - Pembuangan kotoran manusia, air buangan dan sampah.

- Individu dan masyarakat terbiasa hidup sehat dan bersih.

- Makanan (susu) menjamin makanan tersebut aman, bersih dan sehat.

- Kondisi udara bebas dari bahan-bahan yang berbahaya dari kehidupan manusia. - Pabrik-pabrik, kantor-kantor dan sebagainya bebas dari bahan kimia berbahaya kepada masyarakat sekitar.

9

Notoatmojo S, Ilmu Kesehatan Masyarakat Prinsip-Prinsip Dasar, Penerbit Rineka Cipta. Jakarta, 2003.

10

Anwar Musadad, Sanitasi rumah. sakit sebagai investasi, 2003, 11

Slamet Purwanto, Sudiharjo, Bambang Ristanto, dkk, Penyediaan Air Bersih, Proyek

Pengembangan Pendidikan Tenaga Sanitasi Pusat Pendidikan dan Latihan Pegawai, Departemen


(11)

Dalam penelitian ini, ruang lingkup sanitasi berfokus pada pengendalian pembuangan kotoran manusia yang mempengaruhi kualitas kesehatan lingkungan. Kurang memadainya prasarana lingkungan pada suatu kawasan atau lingkungan hunian dapat menimbulkan permasalahan seperti buruknya kualitas lingkungan pemukiman di daerah tersebut, karena pada dasarnya keberadaan prasarana lingkungan merupakan kebutuhan yang paling penting yang secara langsung maupun tidak langsung berimplikasi/berpengaruh terhadap kesehatan dan kesejahteraan manusia. Artinya prasarana dasar dalam satu unit lingkungan adalah syarat bagi tercipta kenyamanan hunian (Claire, dalam I.Gunawan, 20012).

Pembangunan sarana santasi gratis di pemukiman kumuh Kelurahan Belawan Bahagia melalui program sanitasi total berbasis masyarakat adalah salah satu usaha untuk melengkapi fasilitas WC individual dalam mengubah perilaku masyarakat yang selama ini membuang air besar sembarangan. Menurut Notoatmojo (2003), untuk mencegah sekurang kurangnya mengurangi kontaminasi tinja terhadap lingkungan, maka pembuangan kotoran manusia harus dikelola dengan baik, maksudnya pembuangan kotoran harus di suatu tempat tertentu atau jamban yang sehat.12

Suatu jamban disebut sehat untuk daerah pedesaan apabila memenuhi persyaratan-persyaratan sebagai berikut:

a. Tidak mengotori permukaan tanah di sekeliling jamban tersebut. b. Tidak mengotori air permukaan disekitarnya.

12

Notoatmojo S, Ilmu Kesehatan Masyarakat Prinsip-Prinsip Dasar, Penerbit Rineka Cipta. Jakarta, 2003..


(12)

c. Tidak mengotori air tanah disekitarnya. d. Tidak dapat terjangkau oleh serangga e. Tidak menimbulkan bau.

f. Mudah digunakan dan dipelihara (maintenance). g. Sederhana desainnya.

h. Murah dan dapat diterima oleh pemakainya.

1.5.2. Pembangunan Berbasis Masyarakat

Pembangunan adalah perubahan, dan kebudayaan adalah upaya manusia untuk menyempurnakan diri dalam kondisi kehidupannya. Melalui konsep pembangunan yang berkelanjutan (suistanable), diupayakan agar tercapai keselarasan antara pembangunan ekonomi dengan aspek lingkungan, sementara itu antara lingkungan dengan kebudayaan terdapat saling keterkaitan (Sahlins, 1968).13 Menurut Chambers, pemberdayaan masyarakat adalah sebuah konsep pembangunan ekonomi yang merangkum nilai-nilai sosial. Konsep ini mencerminkan paradigma baru pembangunan yang bersifat people centered, participatory, empowering, and suistainable14

Daerah pedesaan adalah tumpuan segala bentuk program pembangunan atau dengan kata lain disamping sebagai obyek juga diharapkan sebagai subyek dalam pembangunan. Sementara itu untuk tercapainya tujuan pembangunan, di desa ada

13

Hari Poerwanto.Kebudayaan & Lingkungan dalam Perspektif Antropologi.(Yogyakarta:Pustaka Pelajar ,2005)hal.158

14


(13)

potensi dan kendala yang diperhitungkan. Sebagai penduduk miskin yang memiliki keterbatasan ekonomi tentunya sangat menerima adanya pembangunan WC/septictank gratis dalam mendukung program sanitasi berbasis masyarakat yang melibatkan partisipasi mereka dengan menggali potensi lebih untuk mandiri .

Perubahan kebijakan mendorong orang untuk mengubah perilaku sesuai dengan kebijakan yang baru. Apabila perubahan ini melibatkan seluruh masyarakat maka terjadilah cultural behaviour dalam jangka waktu yang panjang akan terus membawa pengaruh pada perubahan mentalitas, pikiran, nilai dan kepercayaan.15Dengan partisipasi, maka akan lebih mempermudah proses pembangunan untuk menentukan kebijakan yang tepat dan berkelanjutan pada penguatan perubahan perilaku masyarakat agar berhenti buang air besar sembarangan serta dapat mengatasi kendala yang memungkinkan terjadinya penolakan dari kelompok masyarakat atas ketidaksesuaian bentuk pembangunan yang diusahakan oleh pihak luar.

Pembangunan berbasis masyarakat didasari oleh asumsi bahwa komunitas adalah satu kesatuan masyarakat yang hidup di satu lokasi yang memiliki kemampuan mengatur dirinya (self-regulating), mengelola sumber daya (resource management) dan bertahan atas kemampuan diri sendiri (self-sustaining)16. Lokasi tempat tinggal penduduk Kelurahan Belawan Bahagia yang jauh dari sistem

15Amri Marzali.

Antropologi & Kebijakan Publik (Jakarta:Kencana Prenada Media, 2013).hal31 16


(14)

pemerintahan kota berimplikasi pada kemandegan pembangunan di desa pinggiran kota memutuskan masyarakat untuk mengatur dirinya sendiri berdasarkan pengetahuan sendiri. Potensi atas kemampuan masyarakat yang dapat mengatur dirinya sendiri sebelum mendapatkan bantuan dari luar seharusnya dapat lebih dipicu untuk dapat memberdayakan dirinya sendiri melalui proses penyadaran masyarakat sehingga pada akhirnya mereka akan turut ikut serta dalam pembangunan. Dengan demikian, masyarakat akan mempunyai komitmen untuk merawat serta menjaga pembangunan jamban sehat dalam upaya memperbaiki sanitasi lingkungan.

Pembangunan merupakan suatu perubahan yang dimana pembangunan tersebut merupakan suatu perubahan yang bukan dilihat dari perubahan fisik tertentu saja, tetapi pembangunan juga dapat dilihat dari pembangunan dari dalam.17 Perbaikan sanitasi lingkungan tidak hanya dalam pembangunan semata tetapi bagaimana cara pemeliharaan prasarana sanitasi lingkungan itu sendiri, sehingga lingkungan permukiman kumuh dapat meningkat dan terjaga kualitasnya. Perbaikan sanitasi lingkungan permukiman kumuh, yang dicirikan oleh kondisi sanitasi yang tidak memenuhi syarat atau terbatas (Komaruddin, dalam Gunawan 2012).

Perlu diingat bahwa pembangunan yang dilakukan oleh “orang luar”18

bukan sekedar membangun infrastruktur di desa namun pembangunan juga harus memperhatikan sisi potensi masyarakat yang bisa diandalkan untuk mencapai

17

Robert Chambers, Pembangunan Desa Mulai dari Belakang (Jakarta: LP3ES, 1988)hal.26 18Ora g luar adalah se uta agi ora g

-orang yang menaruh perhatian terhadap pembangunan desa tetapi dirinya bukan warga desa apalagi miskin. Kebanyakan dari mereka adalah kepala kantor dan staf lapangan dalam organisasi pemerintahan di Dunia Ketiga.


(15)

pembangunan berkelanjutan.19 Masyarakat Kelurahan Belawan Bahagia pada dasarnya memiliki modal sebagai masyarakat mandiri yang mencoba membangun MCK umum di sungai sendiri walaupun dengan pengetahuan seadanya sebelum masuknya pembangunan jamban sehat di pemukiman tersebut. Tidak jarang konsep pembangunan yang dibawa dari luar hanya memiliki perhatian khusus kepada orang-orang yang terlihat di pinggiran kota saja, orang-orang-orang-orang kumuh di pedalaman atau orang tua yang biasanya tidak aktif dalam forum pertemuan seringkali terlepas dari pandangan orang luar.

Belajar dari hasil penelitian Moore dan Wickremesinghe di Sri Lanka, sesudah melakukan pengamatan atas rumah-rumah warga desa yang miskin, yang umumnya tersembunyi dibalik rumah-rumah golongan kaya serta jarang sekali terlihat oleh pamong praja setempat. Meskipun sebagian besar penduduk desa adalah miskin dan sebagian atau seluruhnya tergantung pada upah sebagai buruh, orang mendengar kata-kata seperti “Tentu saja, penduduk di sini kebanyakan punya pekerjaan atau berdagang kecil-kecilan di Colombo. Pernyataan tersebut menyiratkan seolah-olah sebagian besar penduduk mempunyai pendapatan lain dan hidup berkecukupan. Barangkali ini benar untuk mereka yang bertempat tinggal di seputar pusat desa, yang lebih mampu, tetapi jauh dari kenyataan bagi mereka yang hidup di pinggiran desa dan hampir tidak punya hubungan ke luar. Hal kecil tersebut menjadi pelajaran bagi pelaksana proyek atas masalah kemiskinan yang tidak terlihat.20

19 Robert Chambers,

Pembangunan Desa Mulai dari Belakang (Jakarta: LP3ES, 1988)hal.30 20


(16)

Dalam perspektiif pembangunan, aksi-aksi pembangunan alternatif seperti program-program pengembangan masyarakat yang digulirkan oleh suatu organisasi memiliki relevansi dengan gagasan pembangunan sosial. Kegiatan pengembangan masyarakat memiliki kesamaan visi dan orientasi dengan pengembangan sosial, yaitu sama-sama menekankan peran aktif masyarakat.21

Merujuk pada pandangan Hollnsteiner (dalam zubaedi, 2013) program-program pengembangan masyarakat dalam tradisi LSM sejauh ini dianggap telah menerjemahkan pola pembangunan alternatif. Hal ini antara lain dapat disimak dari orientasi program-programnya dalam membangun kondisi yang memungkinkan para warga ikut berpartisipasi dalam membuat keputusan terhadap sejumlah permasalahan yang mempengaruhi kesejahteraan mereka serta dapat mengimplementasikan keputusan-keputusan itu melalui kerja sosial yang nyata.

Sebagai konsekuensi dari pendekatan pembangunan bahwa sumber segala perubahan yang terjadi berasal dari manusia dalam konteks perubahan lingkungan. Pertama, pendekatan yang bersifat manipulatif yang melihat manusia sebagai obyek dalam pengelolaan lingkungan, dan jika perlu dapat bersifat memaksa. Kedua, pendekatan yang berlandaskan pada potensi manusia guna mengembangkan pemecahan dan pengelolaan suatu lingkungan.22

21 Dr.Zubaedi,

Pengembangan Masyarakat (Jakarta: Kencana, 2013) hal 143 22


(17)

1.5.3. Inovasi untuk Pemberdayaan Masyarakat

Menurut Marvin Harris, materialisme budaya didasarkan pada dua asumsi utama tentang masyarakat. Pertama, pada berbagai bagian dari masyarakat yang saling terkait. Ketika salah satu bagian dari masyarakat berubah, bagian lain juga berubah. Kedua, materialisme budaya adalah dasar dari sistem sosiokultural bagi lingkungan. Berdasarkan klasifikasi lingkungannya meliputi infrastruktur materi yang terdiri dari teknologi dan praktek-praktek sosial dimana masyarakat cocok dengan lingkungannya.23 Pembangunan WC/septictank gratis bagi masyarakat miskin yang masuk sebagai salah satu inovasi baru yang merupakan pertimbangan apakah produk tersebut berpengaruh pada tingkat perubahan perilaku masyarakat yang sesuai untuk menghadapi lingkungannya.

Perilaku seseorang atau masyarakat tentang kesehatan ditentukan oleh pengetahuan, sikap, kepercayaan, tradisi, dan sebagainya dari orang atau masyarakat yang bersangkutan. Selain itu ketersediaan fasilitas, sikap dan perilaku para petugas kesehatan terhadap kesehatan juga akan mendukung dan memperkuat terbentuknya perilaku (Notoatmojo, dalam Gunawan 2012)

Seringali pihak luar yang ingin melakukan perubahan memandang bahwa perubahan yang dilakukannya cocok dan akan bermanfaat, sebaliknya warga masyarakat yang merupakan obyek dari perubahan (recipient) berpendapat sebaliknya. Pemaksaan untuk bersedia menerima perubahan yang diinginkan oleh


(18)

pihak luar, ada kalanya dapat mengakibatkan gagalnya tujuan yang ingin dicapai melalui suatu perubahan (H.Poerwanto,2000)

Menurut Roger Shoemaker, model difusi inovasi menegaskan para agen-agen perubahan dalam lingkungan sosial dalam sebuah model berupa tahapan atau proses pengambilan keputusan dalam suatu inovasi. Selanjutnya suatu inovasi memperhitungkan akibat apakah yang akan timbul. Apakah hanya menyebabkan perubahan pada tingkat pengetahuan yang dimiliki oleh masyarakat atau akan menyebabkan perubahan pada perilaku yang akhirnya menerima inovasi. 24

Kebijakan sengaja disusun dan dirancang untuk membuat perilaku orang banyak yang dituju (kelompok target) menjadi terpola sesuai dengan bunyi dan rumusan kebijakan tersebut. Kebijakan merupakan “model behaviour” yang berarti kebijakan merupakan suatu produk kultural. Sementara itu, perancangan dan implementasinya adalah suatu proses perubahan kultural yang dilakukan secara terencana dengan tujuan yang disadari (planned sociocultural change).25

Ada tiga klasifikasi hambatan dalam inovasi, (1) hambatan budaya, yaitu berkaitan dengan sistem nilai, perilaku, sikap, dan kepercayaan. (2) hambatan sosial terutama yang berkaitan dengan hubungan antar individu dan inovasi tersebut bertentangan dengan pranata sosial yang ada dan (3) hambatan psikologis, terutama yang berkaitan dengan cara penyampaian pesan program inovasi (Foste, dalam Poerwanto,2000)

24Ibid, hal.182 25


(19)

Teknologi yang merupakan hasil inovasi akan disebarluaskan kepada masyarakat. Dalam memperkenalkan teknologi, tidak selalu dapat diterma oleh masyarakat karena berbagai hal. Ada berbagai saluran yang dapat dipakai untuk menyebarluaskan suatu inovasi. Sumber-sumber suatu inovasi harus memperhatikan siapakah yang merupakan sasaran client dari inovasi tadi. Terutama yang berkaitan dengan tingkat pengetahuan dari individu atau kelompok sasaran. Dalam kaitan ini, ada dua bentuk model dalam menyebarluaskan inovasi; (1) model hipodermik yaitu melalui media massa. (2) model two step flow berbagai informasi tentang ide-ide baru tadi harus dikomunikasikan kepada kelompok sasaran melalui perantara, yaitu change agent misalnya penyuluh lapangan, tokoh masyarakat, dll.26

1.5.4. Budaya ABS (Asal Bapak Senang) 1.5.4.1. Pengertian Budaya ABS

Salah satu ciri manusia Indonesia yang cukup menonjol ialah hipokrit atau munafik. Berpura-pura, lain di muka, lain dibelakang. Akibat dari kemunafikan manusia Indonesia pada masa kini terkenal dengan sikap ABS27-nya (Asal Bapak Senang). Orang tambah pandai menyembunyikan kata hati yang sebenarnya, pikiran yang sebenarnya, dan malahan keyakinan yang sesungguhnya. Orang belajar mengatakan tidak dengan cara-cara yang lain, hingga kata “tidak” itu tidak lagi dapat dikenali. Sikap tidak setuju atau sikap mengkritik dan mencela, semuanya

26

Roger Shoemaker (dalam Poerwanto, 2000) 27

Menurut Mochtar Lubis, faktor yang mebuat mereka menjadi hipokrit adalah tekanan yang keras dari sistem peerintahan feodal. Sistem feodal di masa lalu yang menekan rakyat dan menindas segala inisiatif rakyat. Korupsi adalah salah satu contoh praktek ABS yang sering terjadi di Indonesia.


(20)

diselubungi dan dirumuskan secara lain. Yang berkuasa senang di-ABS-kan oleh yang diperintahnya dan yang diperintah senang meng-ABS-kan atasannya.28

Hierarki dalam organisasi memiliki banyak manfaat atau tujuan praktis yang diperoleh, namun tidak kurang pula konsekuensi negatifnya. Pada birokrasi yang hierarkis setiap pejabat bawahan hanya memiliki satu atasan. Penilaian kinerja bawahan sepenuhnya tergantung atasan sehingga nasib bawahan juga akan sangat ditentukan oleh atasan. Dalam kondisi seperti ini bawahan cenderung melakukan berbagai cara untuk memuaskan atasan (dikenal dengan istilah ABS = asal bapak senang) agar kariernya baik dan lancar (Muhammad Noor,2012).

Sinergitas stakeholders dalam konsep sustainable development, setidaknya mensyaratkan adanya kepercayaan (trust). Kepercayaan memainkan peran dalam memperoleh akses manfaat jaringan sosial. Bagi masyarakat lokal, kepercayaan ini akan mendorong peningkatan peluang terhadap akses sumberdaya dan hasil pembangunan. Sedangkan kepercayaan publik terhadap kinerja pemerintahan akan mempengaruhi peran dan partisipasi masyarakat secara luas. Pengakuan hak dari pemerintah untuk masyarakat lokal akan mendorong timbulnya trust dan mendukung ke arah good governance.29 Hal ini lah yang menjadi salah satu pertimbangan diterapkannya konsep desentralisasi sejak awal reformasi dulu.

28

Mochtar Lubis, Manusia Indonesia (Yayasan Pustaka Obor Indonesia:Jakarta,2012),hlm 18

29Secara substantif UU 32/2004 ini menempatkan partisipasi masyarakat sebagai instrumen penting dalam sistem pemerintahan daerah yang berguna untuk mewujudkan good governance dan mempercepat terwujudnya kesejahteraan sosial. Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam beberapa hal seluruh warga masyarakat tidak mungkin dilibatkan dalam membuat kebijakan, tetapi bagaimanapun dalam membuat


(21)

Menurut Dasgupta dan Serageldin (dalam Susanto, 2010) modal sosial berkualitas (qualified social capital) adalah serangkaian perilaku orang, kelompok orang atau masyarakat, yang ditunjukkan oleh tumbuh dan berkembangnya keterpercayaan sosial, social trust yang tinggi (tidak ada dusta di antara kita), kejujuran, kehangatan di dalam berinteraksi sosial, kepedulian kepada nasib sesama (yang menderita) dan penghargaan yang tinggi terhadap waktu, yang dapat dijadikan aset produktif, serta penghargaan tinggi pada hargadiri/martabat manusia. Ciri lain dari modal sosial tinggi adalah „demokratisasi‟ dan berkembangnya rasa keadilan dan pengakuan tinggi atas hak-hak individu. 30

Modal sosial berkualitas dan tinggi tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat madani (civil society) adalah kelompok-kelompok dalam masyarakat di luar campur-tangan pemerintahan formal, yang memiliki kemampuan melakukan tata-laksana pemerintahan (self governance) yang didasari oleh social trust dan nuansa demokratisasi yang tinggi (Fukuyama, dalam Susanto 2010).

Pengalaman selama ini kebanyakan kebijakan partisipasi untuk program pembangunan pada implementasinya masih melanggengkan praktek ABS (Asal Bapak Senang) yang dapat diartikan bahwa menjadi bos senang berarti pekerjaan bawahan akan dihargai oleh atasan. Praktek ABS diakui memberikan keuntungan bagi kedua belah pihaknya. Baik yang meng-ABS-kan atau bagi pihak yang

kebijakan yang sifatnya untuk kepentingan publik sudah seharusnya pemerintah melibatkan warga masyarakat. Jika tidak, suatu gejolak sosial akan terjadi terhadap kebijakan yang dibuat oleh pemerintah itu sendiri.


(22)

kan tetapi sama sekali tidak menguntungkan bagi masyarakat sebagai penerima manfaat yang tidak merasakan manfaat dari kebijakan pembangunan partisipatif.

1.5.4.2. Partisipasi dan Mobilisasi

Peran serta masyarakat sangat mutlak demi berhasilnya pembangunan. Tanpa peran serta masyarakat, khususnya dalam memanfaatkan hasil pembangunan, berarti masyarakat tidak menerima peningkatan kesejahteraan, padahal pembangunan bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan. Untuk itu, tanpa peran serta masyarakat, maka setiap proyek pembangunan harus dinilai tidak berhasil (Slamet M, dalam Warlan 2014)31

Partisipasi dalam pemberdayaan masyarakat menitikberatkan pada hak demokrasi.Hal tersebut selaras dengan konsep man-centered development yaitu jenis pembangunan yang lebih diarahkan demi perbaikan nasib dan tidak sekedar sebagai alat pembangunan.32 Manusia harus diutamakan pada semua tahap proyek pembangunan yang mempengaruhi mereka. Mengutamakan manusianya di dalam campur tangan pembangunan berarti memenuhi kebutuhan bagi perubahan yang mereka rasakan.33 Beberapa syarat yang diperlukan agar masyarakat dapat berpartisipasi dalam pembangunan yaitu, adanya kesempatan untuk membangun kesempatan dalam pembangunan, kemampuan untuk memanfaatkan kesempatan, dan

31

Asep Warlan Yusuf, Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan Kota yang Berkelanjutan dan Keadilan, 2014.hal 9

32Gonyers dalam Indra Gunawan, 2013 33


(23)

adanya kemauan untuk berpartisipasi.34 Membangun kesempatan dalam pembangunan yang dimaksud adalah bertujuan untuk melibatkan seluruh masyarakat sebagai penerima manfaat pembangunan dalam mengambil keputusan sehingga proses pembangunan tidak sepenuhnya hanya dikendalikan oleh stakeholders.

Cleaver mengatakan bahwa partisipasi adalah sebuah instrumen atau alat untuk mencapai hasil dan dampak program/kebijakan yang lebih baik, sedangkan dalam argumen demokratisasi dan pemberdayaan, partisipasi adalah sebuah proses untuk meningkatkan kapasitas individu-individu, sehingga menghasilkan sebuah perubahan yang positif bagi kehidupan mereka (dalam Eko Prasojo,2002). 35 Dalam perspektif instrumental, hubungan antara masyarakat sebagai sasaran program dan pengambil kebijakan atau lembaga pemberi bantuan relatif tidak terjadi. Dengan kata lain tidak ada interaksi antara kedua pihak, sehingga desain program dan kebijakan pembangunan yang dibuat lebih banyak atau bahkan sepenuhnya berada di tangan para elite (community leader).36 Sementara masyarakat penerima manfaat hanyalah terlibat seputar implementasi program bahkan hanya sebagai tukang. Masyarakat sasaran harus memiliki kesempatan untuk berpartisipasi secara langsung, sehingga mereka tahu apa yang diputuskan dan manfaat yang akan diambil pada saat program diimplementasikan dan selesai dijalankan (Parfitt,dalam Erman 2010).

34

Ida Yustina. Membentuk Pola Perilaku Manusia pembangunan(Bogor:IPB Press)hal.9 35

Eko Prasojo. People and Society Empowermen.Pers[ektif:Perspektif Membangun Partisipasi Publik, 2002.

36Hetifah Sj Sumarto

,Inovasi, Partisipasi dan Good Governance, (Jakarta : Yayasan Obor Indonesia), hlm 20.


(24)

Ada tiga alasan mengapa partisipasi masyarakat mempunyai sifat sangat penting. Pertama partispasi masyarakat merupakan suatu alat guna memperoleh informasi mengenai kondisi, kebutuhan, dan sikap masyarakat, tanpa kehadirannya program pembangunan serta proyek-proyek akan gagal, alasan kedua adalah bahwa masyarakat akan lebih mempercayai proyek atau program pembangunan jika merasa dilibatkan dalam proses persiapan dan perencanaannya, karena mereka akan mengetahui seluk beluk proyek tersebut dan akan mempunyai rasa memiliki terhadap poyek tersebut. Alasan ketiga yang mendorong adanya partisipasi umum di banyak negara karena timbul anggapan bahwa merupakan suatu hak demokrasi bila masyarakat dilibatkan dalam pembangunan masyarakat mereka sendiri. (Conyers, dalam M.Noor 2013)

Partisipasi masyarakat dalam pembangunan adalah sebuah keniscayaan yang tak terelakkan ketika sebuah proses pembangunan dilaksanakan. Masalah yang kemudian sering muncul adalah bahwa partisipasi masyarakat dalam pembangunan seringkali berwujud mobilisasi masyarakat. Katanya partisipasi masyarakat, nyatanya adalah mobilisasi masyarakat.37

Menurut Kimbal Young dan Raymond W.Mack mobilisasi adalah suatu proses dalam struktur sosial yakni pola-pola tertentu yang mengatur organisasi suatu kelompok sosial. Struktur sosial mencakup sifat hubungan antara individu dalam

37“ya sudi R“, Agus Ah ad “afe’i, Wardi Ba htiar,

Sosiologi Pembangunan Gerbang Masyarakat baru (Jakarta:UI Press, 2002), hlm 81


(25)

kelompok dan hubungan antara individu dengan kelompoknya.38 Mobilisasi sosial dalam konteks nasional dan regional merupakan proses membangkitkan keinginan masyarakat, secara aktif meneguhkan konsensus dan komitmen sosial diantara

stakeholders (pembuat kebijakan) yang memungkinkan masyarakat melakukan kegiatan secara kolektif.39 Sebagai sebuah proyek, tentu mempunyai batas waktu. Seiring dengan berakhirnya masa berbagai proyek maka berakhir pula kegiatan lainnya yang mengatasnamakan pembangunan untuk masyarakat. Dalam waktu singkat, berbagai proyek yang ada terbengkalai. Masyarkat yang tak dilibatkan dalam proses, meski proyek tersebut ”ditujukan” untuk mereka, namun akibat tak ada rasa memiliki, rakyat pun tak peduli. Adanya partisipasi masyarakat adalah sesuatu yang tidak bisa ditolak, setidaknya karena sejumlah alaan berikut : pertama, berusaha mengawinkan model pembangunan yang bersifat top-down dengan bottom up. Kedua, memberikan dorongan kepada rakyat agar mereka memiliki rasa memiliki dan bertanggung jawab (sense of responsibility) atau melu bandarbeni dalam terminologi Jawa terhadap proses dan hasil-hasil pembangunan yang sedang dijalankan.40

1.6 Metode Penelitian

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode penelitian kualitatif untuk mengumpulkan data-data penelitian. Metode etnografi dianggap mampu menggali informasi secara mendalam dengan sumber-sumber yang luas dalam penelitian

38

IL.Pasaribu & B.Simanjuntak, Sosiologi Pembangunan, (Tarsito:Jakarta, 2003), hlm72. 39 Ikayanakesmas.blogspot.com diakses tanggal 08 november 2015 pukul 15.00WIB 40


(26)

kualitatif. Etnografi menjadi sebuah metode penelitian yang unik karena mengharuskan partisipasi peneliti secara langsung dalam sebuah masyarakat atau komunitas tertentu. Seperti yang diungkap Marzali (2005) etnografi merupakan ciri khas antropologi, ini artinya etnografi merupakan metode penelitian lapangan yang asli dari antropologi. Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan peneliti untuk memperoleh data lapangan secara objektif yaitu:

1.6.1. Observasi Partisipasi

Observasi partisipasi adalah suatu proses pengamatan yang dilakukan oleh peneliti dengan ikut mengambil bagian dalam kehidupan suatu komunitas masyarakat yang akan diteliti. Tujuan utama dari observasi adalah untuk memperhatikan perilaku manusia. Sebelum melakukan observasi lebih luas, peneliti terlebih dahulu membangun rapport dengan informan. Membangun rapport adalah salah satu cara membangun hubungan kedekatan yang harmonis antara peneliti dengan informan agar tidak menimbulkan jarak antara keduanya sehingga lebih memperlancar kegiatan penelitian. Pada saat observasi, peneliti membiasakan diri mengikuti aktivitas yang biasa dilakukan masyarakat dan tinggal bersama agar dapat mengamati perilaku kesehariaan masyarakat Kelurahan Belawan Bahagia terutama dalam hal cara BAB. Dengan keterlibatan tersebut, maka pengamatan dan pemahaman yang akan muncul adalah berdasarkan pandangan orang yang diteliti (emic view).


(27)

interaksi sosial masyarakat antar-tetangga, kebiasaan masyarakat, dll. Kemudian hasil dari pengamatan ini dianalisa untuk mendukung data lapangan.

1.6.2. Wawancara

Teknik wawancara mendalam yang digunakan adalah wawancara mendalam

(depth interview). Burhan Bungin (2007) metode wawancara mendalam adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab, sambil bertatap muka antara pewawancara dan informan terlibat dalam kehidupan sosial yang relatif lama. Metode wawancara digunakan untuk mendapatkan kelengkapan data atas tanggapan mereka mengenai kegunaan jamban sehat yang dibangun di Kelurahan Belawan Bahagia sehingga peneliti juga mampu mengetahui dampak perubahan yang dirasakan informan sebelum dan setelah menggunakan WC/septictank yang dibangun.

Peneliti menggunakan pedoman wawancara yang disusun sebelum melakukan penelitian, selanjutnya akan ada pertanyaan berkembang berdasarkan jawaban atau tanggapan dari responden. Keseluruhan data yang diperoleh direkam dengan menggunakan alat perekam (recorder), kemudian dicatat dalam bentuk field note sebelum disempurnakan dalam bentuk laporan. Field note adalah catatan hasil wawancara maupun pengamatan yang ditemukan di lapangan sebagai acuan/pedoman dalam menulis laporan. Hal ini sangat penting bagi si peneliti dalam penelitian


(28)

kualitatif dengan melihat informasi yang telah diperoleh sebelumnya untuk melakukan analisa data dalam menyusun laporan.

1.6.3. Informan Penelitian

Selama melakukan penelitian di Kelurahan Belawan Bahagia saya sangat terbantu dengan adanya informan yang menguasai kondisi lingkungan setempat dan memahami data objek penelitian. Dalam penelitian ini, peneliti akan memperoleh informasi dari informan kunci. Lebih lanjut Bungin, mengemukakan untuk memperoleh informan penelitian melalui informan kunci digunakan apabila peneliti sudah memahami informasi awal tentang objek penelitian maupun informan penelitian, sehingga ia membutuhkan informan kunci untuk memulai melakukan wawancara atau observasi. Adapun informan kunci dalam penelitian ini, yaitu :

 Fasilitator pemicuan program pembangunan sarana sanitasi di Belawan: sebut saja Bang Roy (nama disamarkan)

 Koordinator lapangan dalam program pembangunan sarana sanitasi gratis: Bapak Junaidi.

 Informan utama yang juga mendukung penelitian ini adalah masyarakat Kelurahan Belawan Bahagia Kecamatan Medan Belawan.

1.6.4. Pengalaman Penelitian

Sebelumnya, peneliti tidak mengetahui banyak hal mengenai sanitasi ataupun merencanakan meneliti studi kasus program sanitasi di kawasan yang kumuh seperti


(29)

di Belawan. Kejelasan informasi mengenai sanitasi yang diperoleh peneliti dari tempat magang saya di IUWASH-Medan. Saya mepelajari banyak hal mengenai program mereka yang berjalan di Sumatera Utara selama 2 bulan saya magang disana. Berawal dari program magang yang diwajibkan untuk mahasiswa antropologi melakukan praktek kerja di suatu perusahaan, LSM, lembaga/instansi swasta atau negeri sesuai dengan minat mahasiswa yang bertujuan untuk mengembangkan potensi mahasiswa dalam mengaplikasikan kemampuannya tidak hanya di lapangan penelitian saja, tetapi pada kesempatan program magang ini mahasiswa harus mampu membuktikan bahwa ilmu antropologi yang masih kedengaran awam bagi kebanyakan orang juga dapat berkontribusi di perusahaan ataupun instansi negeri. Jadi, menurut saya program magang yang dilaksanakan oleh departemen antropologi membuka peluang dan membantu mahasiswanya untuk mengenal dunia kerja. Berdasarkan pengalaman magang sebelumnya, peneliti dapat mengeksplor banyak hal dengan menggunakan ilmu antropologi seperti mengetahui budaya organisasi/perusahan, mendapatkan kesempatan menjadi fasilitator, memberikan solusi terhadap program yang sedang berjalan, dan lainnya.

Pada waktu itu saya mendapatkan kesempatan magang di sebuah NGO Internasional yaitu IUWASH (Indonesia Urban Water Sanitation Hygiene)-Medan. IUWASH merupakan sebuah program pemberdayaan masayarakat dalam mengatasi permasalahan sanitasi di perkotaan dan daerah perkampungan yang didanai oleh USAID. Khusus di perkotaan, IUWASH lebih fokus pada instalansi penyambungan air limbah. Sementara itu di kawasan perkampungan yang jauh dari kota, program ini


(30)

lebih banyak menangani keterbatasan air bersih dan penyediaan sarana WC untuk menghentikan kebiasaan masyarakat membuang air besar sembarangan.

Awal mula saya mengetahui adanya program IUWASH regional Medan berkat bantuan dari dosen saya bernama bang farid. Sebelumnya, saya berkonsultasi dengan beliau perihal tempat magang yang tepat selama 2 bulan. Pada saat itu juga bang farid langsung memberikan kartu nama salah seorang karyawan IUWASH yang ia dapat dari sebuah pertemuan kegiatan bersama pihak IUWASH-Medan. Setelah itu, keesokan harinya saya dan kawan sekelompok bergegas mendatangi alamat kantor yang tertera dalam kartu nama tersebut. Lokasi kantornya cukup sulit ditemukan karena bangunannya tidak memilki plank nama kantor dan kami harus berkeliling disekitar bertanya kepada satpam yang saat itu sedang berdiri dipos.

Saat tiba di kantor, saya dan kawan-kawan menjumpai seorang karayawan yang namanya tertera dalam kartu nama tersebut. Sebut saja namanya Hana. Pada waktu itu mbak hana sangat terkejut dengan kedatangan kami. Tiga orang mahasiswa yang tiba-tiba ingin menjumpai beliau tanpa membuat janji pertemuan terlebih dahulu. Tanpa banyak basa-basi, saat itu juga saya dan kawan-kawan menjelaskan maksud dan tujuan kedatangan kami ke kantor IUWASH. Dengan pertimbangan yang cukup berat, mbak hana belum bisa memastikan izin magang kepada kami pada hari itu juga. “Sebelumnya belum pernah ada anak mahasiswa yang melamar magang di kantor kami. Baru kalian yang pertama kali kesini dan kita tidak bisa menerima anak


(31)

magang sembarangan” kata mbak Hana. Kami pun bingung menjawab pernyataan mbak Hana dan memikirkan cara agar dapat diterima magang di tempat tersebut. Namun, saya mencoba meyakinkan beliau dengan menjawab sebuah pertanyaan yang ditujukan kepada kami “Apa yang bisa kalian lakukan kalau saya menerima kalian? Ilmu antropologi yang kalian pelajari apakah cocok dengan program kami?” Sebelum mbak Hana mengajukan pertanyaan tersebut, ia sudah mempersentasekan bagaimana program sanitasi yang sudah berjalan 4 tahun di regional Sumatera Utara. Setelah itu satu persatu dari kami mencoba menjawab pertanyaan yang diajukan tadi. Kami meyakinkan beliau bahwa selama masa perkuliahan kami mempelajari tentang manusia, pemberdayaan masyarakat, dan antroplogi pembangunan. Bahkan juga sudah melakukan training of fasilitator dalam melakukan pemberdayaan masyarakat di lapangan saat semester V. Jawaban-jawaban yang kami ajukan tersebut mencoba meyakinkannya untuk menjawab kebutuhan program yang sedang berjalan pada saat itu. Pada akhirnya ada sedikit harapan dari mbak Hana saat ia menanggapi jawaban kami “Jadi seperti itu ilmu antropologi. Saya tertarik kalau kalian bisa membantu kami memfasilitasi masyarakat di lapangan. Karena kita juga sering mengadakan kegiatan-kegiatan sosial bersama masyarakat. Coba besok kalian kirim CV beserta surat permohonan magang, selanjutnya akan saya pertimbangkan dengan kantor pusat.” Hati kami pun sedikit lega mendengar jawaban beliau. Setidaknya ada sedikit harapan untuk dapat magang disana. Sepulang dari kantor, saya dan kawan-kawan langsung mempersiapkan CV sebagai bahan pertimbangan apakah kami layak untuk diterima magang selama 2 bulan di kantor


(32)

tersebut. Selang waktu seminggu, kami juga belum mendapatkan kabar kepastian izin magang dari mbak Hana. Akhirnya saya memutuskan untuk menghubungi beliau. Melalui percakapan via telefon ia menyuruh kami untuk datang ke kantor bersama dosen pembimbing untuk mendiskusikan kegiatan apa saja yang seharusnya dilakukan selama magang 2 bulan di kantor IUWASH. Agar tugas-tugas yang diberikan selama magang sesuai dengan ilmu yang dipelajari. Saat itu dosen pembimbing diwakilkan oleh Bang Farid. Singkat cerita, kesimpulan dari pertemuan waktu itu bahwa kami akan lebih banyak melakukan tugas dilapangan daripada dikantor. Saya dan kawan-kawan lainnya juga ditempatkan di kota yang berbeda-beda. Kebetulan waktu itu saya memilih kota Tebing Tinggi untuk membantu koordinator kota yang bertanggung jawab atas berjalannya program IUWASH disana. Kabar yang sangat menggembirakan bagi saya dan kawan-kawan sekelompok saat mengetahui bahwa kami dapat diterima magang di IUWASH selama 2 bulan.

Selama saya mendapatkan kesempatan magang di IUWASH dan ditempatkan di Tebing Tinggi, banyak pelajaran berharga yang sebelumnya saya tidak mengenali suatu budaya kerja sebuah NGO. Mulai dari membuat rencana kerja hingga proses eksekusi di lapangan. Tentunya ada beberapa tantangan yang saya hadapi selama melakukan tugas-tugas yang diberikan. Ketika saya mendapati tugas untuk melakukan interview calon UKM Bisnis Sanitasi di 5 kelurahan tebing tinggi dalam waktu 3 hari. Interview dengan calon UKM dan hasil analisa interview harus diselesaikan dalam waktu singkat. Suatu tatangan bagi saya harus mendatangi calon ukm terpilih dan bekerjasama dengan PNPM di 5 kelurahan berbeda. Pekerjaan saya


(33)

sedikit terbantu karena seorang pekerja dari PNPM membantu saya untuk menemukan alamat dari masing-masing calon UKM tersebut. Selama 3 hari berturut-turut saya berkejaran dengan waktu agar pekerjaan tersebut dapat selesai tepat waktu. Terlebih lagi saya harus menyesuaikan jadwal interview dengan calon UKM, mengingat kesediaan waktu mereka belum tentu pasti bersedia di waktu yang saya tentukan. Dengan mencoba cara melobi dan akhirnya dihari pertama dan kedua saya dapat menyesaikan tugas interview dengan 5 calon UKM Bisnis Sanitasi di 5 kelurahan berbeda dan saat hari ketiga saya dapat menyelesaikan hasil analisa interview tersebut. Beruntung, hasil pekerjaan saya mendapatkan respon positif dari mbak Hana. Selama berada di Tebing Tinggi, saya lebih banyak fokus mengenai sanitasi perkotaan yang menangani permasalahan air. Pada saat itu program yang sedang berjalan adalah penyediaan air bersih. Beberapa kelurahan di Tebing Tinggi masih ada yang mengalami keterbatasan air bersih, sehingga IUWASH bekerjasama dengan PDAM untuk menangani masalah ini dengan membangun pipa penyambungan saluran air kerumah tangga.

Setiap regional yang ditangani oleh program IUWASH memiliki permasalahan yang berbeda-beda dalam mengatasi permasalahan sanitasi. Belawan menjadi lokasi penelitian pilihan saya untuk meneliti permasalahan sanitasi pasca pembangunan sarana sanitasi gratis. Setelah menyelesaikan masa magang selama 2 bulan di IUWASH, beruntung saya dipercaya untuk diikutsertakan membantu mereka mengerjakan beberapa project atau event yang diselenggarakan oleh pihak IUWASH. Sesekali saya diminta mereka untuk membantu project di


(34)

Medan atau Belawan. Hal ini tentu saya manfaatkan dengan baik untuk menjaga relasi hubungan kerja dengan mereka. Project pertama yang saya lakukan setelah selesai magang selama 2 bulan yaitu menjadi co-fasilitator FGD (Focus Group Discussion) Pretesting Video Sanitasi di Kecamatan Belawan Kelurahan Belawan Bahari dan Kelurahan Belawan Bahagia. Kegiatan ini bertujuan untuk mengetahui opini masyarakat menilai visualisasi dan pesan/isi video sebelum ditayangkan menjadi iklan nasional di televisi, sekaligus juga mengetahui pemahaman masyarakat tentang sanitasi melalui video yang ditampilkan. Pada kegiatan ini saya bertugas untuk membangun suatu diskusi yang menarik dengan 10 responden yang hadir pada waktu itu agar saya dapat mengetahui persepsi mereka tentang sanitasi. Kesimpulan yang saya dapatkan pada saat itu adalah mereka memahami bahwa stop BABS (Buang Air Besar Sembarangan) merupakan bentuk dari perubahan perilaku untuk mendukung program sanitasi. Tetapi masyarakat belum menganggap sarana sanitasi sebagai kebutuhan yang sangat penting, hanya sebagai alat pelengkap untuk rumah panggung mereka. Menurut saya hal lain yang harus diperhatikan daripada sekedar membangun sarana ialah bagaimana membangun rasa kebutuhan terhadap wc yang dibangun dan menumbuhkan rasa benar-benar memiliki agar wc yang dibangun tetap terawat sehingga dapat dipakai dalam jangka waktu yang lama. Setelah selesai melaksanakan kegiatan tersebut, saya dan fasilitator yang saya dampingi melakukan FGD sebut saja namanya Bang Roy berkeliling di sekitar Kelurahan Belawan Bahari dan Belawan Bahagia. Saya meminta Bang Roy untuk membawa saya berjalan menuju lingkungan yang menjadi sasaran


(35)

pembangunan sarana sanitasi gratis. Ini merupakan kali pertamanya saya mengelililngi lingkungan kumuh di Belawan. Sebelumnya, saya hanya berkunjung ke tempat-tempat wisata yang ada di Belawan saja. Sangat berbau dan sungainya dipenuhi kotoran sampah. Bahkan sesekali saya ingin muntah ditempat karena belum terbiasa dengan baunya yang menyengat. Sempat saya juga melihat seorang anak kecil tanpa rasa malu membuang air besar di selokan. Sepertinya di lingkungan ini belum terbiasa membiasakan budaya hidup bersih dan sehat. Setelah berjalan mengelilingi kelurahan yang dituju selama 1 jam lebih, saya tertarik untuk meneliti dan live in bersama masyarakat disana dengan tantangan kondisi lingkungan dan sosial yang sangat berbeda dengan lingkungan tempat tinggal saya dan Kota Tebing Tinggi yang sebelumnya menjadi penempatan tugas selama magang.

Tiga minggu kemudian saya kembali dipanggil lagi oleh pihak IUWASH untuk ikut serta sebagai enumerator monitoring dan evaluasi (MONEV) pembangunan sarana sanitasi di Kecamatan Belawan. Kesempatan kali ini saya manfaatkan untuk mengobservasi lapangan penelitian. Saya bersama ketiga kawan lainnya yang saat itu bertugas menjadi enumerator dibagi menjadi dua kelompok. Kebetulan saya bersam teman saya wisnu bertugas mengumpulkan data di Kelurahan Belawan Bahagia. Kegiatan Monev ini bertujuan untuk mengevaluasi pembangunan sarana sanitasi gratis pasca pembangunan. Kami mendata para penerima manfaat sarana sanitasi gratis di 10 lingkungan Kelurahan Belawan Bahagia. Setibanya di lokasi penelitian saya dan wisnu menjumpai dengan Pak Junaidi untuk membantu kami mencari alamat 100 responden terpilih untuk diwawancarai. Sambil berjalan


(36)

menelusuri setiap gang yang kami lewati selalu diperhatikan oleh penduduk setempat. Mereka mengira bahwa kami akan membagi-bagikan bantuan sembako untuk warga miskin. Setelah saya menjelaskan maksud dan tujuan kedatangan saat itu, mereka antusias untuk diwawancarai. Walaupun nama mereka tidak muncul secara acak pada data responden yang diwawancarai tetapi saya tetap mendekati mereka. Sambil juga saya membangun rapport dengan beberapa masyarakat agar bisa lebih akrab dan tidak canggung saat melakukan penelitian. Bermacam-macam tangaapan mereka dengan kedatangan kami di Kelurahan Belawan Bahagia membuat saya semakin komunikatif antara saya dengan penduduk setempat. Saya ingat sekali, pada waktu itu ada seorang bapak yang mengatakan “Buat apa ini dek proyek wc, gak ngerti kami. Wc aku pun udah rusak dirumah” seolah-olah ia telah menerima bantuan pembangunan wc tapi tidak tahu apa-apa tentang proyek ini. Hal semacam itu sering saya temukan di lapangan ketika menjadi enumerator dan saya menjadi sangat penasaran apa yang sebenarnya dialami dan dirasakan masyarakat pasca pembangunan. Ketika menjadi enumerator pun saya melihat langsung kondisi MCK yang dibangun apakah benar-benar terpakai atau tidak pasca pembangunan. Bukan hanya itu saja, sesekali saat jam istirahat saya suka berbincang-bincang dengan ibu-ibu yang sedang berkumpul di warung atau di rumah tetangganya.

Obrolan saya dengan mereka pada waktu itu lebih bersifat santai agar tidak terlalu kaku menerima saya sebagai orang asing yang datang ke kampung mereka. Sambil membeli jajanan di warung saya dan ibu-ibu bercerita tentang pengalaman mereka selam tinggal di Kelurahan Bahagia. Ada dari mereka yang tsudah tinggal


(37)

selama hampir 20 tahun, ada juga yang baru 5 tahun, 10 tahun, dan lainnya. Kata mereka tinggal di kampung ini ada suka dukanya “Sukanya kami disini udah kayak saudara. Kalau di kota pasti jarang ada yang kayak kami gini ibu-ibunya siang hari mau cakap-cakap di warung, gosip-gosip sama tetangga. Hidup bertetangganya lebih terasa disini dek.” Ibu lainnya pun bergantian menyambut obrolan saya “Kalau dukanya yaa cuma susah dapat duit aja (sambil bercanda). Berharap bantuan dari pemerintahan ajalah ini kami semua”. Begitulah sekilas obrolan saya di warung bersama ibu-ibu yang dengan senang hati menerima kehadiran saya. Mereka sangat ramah dengan orang baru. Begitu juga dengan usaha saya membangun kedekatan dengan Pak Junaidi. Selama 2 hari melakukan enumerator di Kelurahan Belawan Bahagia sering kali saya menanyakan bagaiamana cara bertahan hidup masyarakat disini yang jauh dari kota dan memiliki keterbatasan ekonomi. Ternyata Pak Junaidi sudah tinggal di kampung ini hamapir 40 tahun. “Saya dari sejak kecil sudah disini. Dibesarkan dikampung ini. Alhamdulillah ibu saya masih hidup dan masih tinggal disini.” katanya. Lanjut saya bertanya “Apa bapak tidak ingin tinggal di luar Belawan? Di Medan gitu pak” beliau menjawab “Sudah nyaman disini. Kalau mau tinggal di kota kan perlu duit banyak. Belum sangguplah saya beli tanah atau rumah disana”. Saat mencari rumah salah satu responden yang ingin saya jumpai, kami melewati rumah pangung Pak Junaidi yang sangat kecil tepatnya di pinggir sungai. Saya berkenalan dengan istrinya dan tidak berlama-lama kami melanjutkan perjalanan menuju rumah responden yang akan diwawancarai untuk mengisi data kuisoner.


(38)

Pengalaman saya menjadi enumerator dan beberapa kali ikut terlibat dalam kegiatan lapangan bersama tim IUWASH-Medan di Belawan membuat saya semakin bersemangat untuk mekakukan penelitian di Belawan. Kesimpulan yang dapat saya ambil setelah melakukan enumerator, ternyata dari hasil survey banyak dari mereka tidak menggunakan wc yang dibangun pasca pembangunan. Hal tersebut yang membuat saya tertarik dan semakin penasaran untuk meneliti dan mencari penyebabnya. Apakah proyek yang dibangun asal jadi, salah dari masyarakat yang terlalu apatis dengan pembangunan, faktor budaya masyarakat di Belawan atau ada hal penyebab lainnya. Pikiran saya masih menduga-duga saat itu. Hingga emosi saya ikut merasakan bingung bercampur kasihan dengan mereka yang tinggal disana. Bingung karena pikiran saya pada saat itu sepertinya sedang kepikiran mengapa proyek yang sudah mengeluarkan dana cukup besar belum juga dapat memuaskan masyarakat dengan bangunan wc yang sudah dibangun, padahal benda ini gratis untuk mereka. Perasaan kasihan dengan mereka yang tinggal disana karena setiap kali wawancara saya harus mengisi form pendapatan masyarakat yang sangat kecil, bahkan kadang mereka juga harus menahan lapar. Rata-rata pekerjaan kepala rumah tangga sebagai nelayan, kuli/tukang, pedagang kaki lima, tukang becak, dan pekerjaan serabutan lainnya yang pendapatannya juga tidak menentu. Paling kecil Rp.50.000,-/per hari. Belum lagi melihat tempat tinggal mereka yang seadanya tinggal di rumah panggung.

Mendekati minggu terakhir bulan Mei saya mulai melakukan penelitian untuk menyelesaikan skripsi ini. Tiga hari sebelum berangkat ke Kelurahan Belawan


(39)

Bahagia, saya terlebih dahulu menghubungi bang roy (surveyor yang ikut bekerjasama saat enumerator) meminta kontak Pak Junaidi untuk janjian bertemu dengan beliau pada hari sabtu. Sedari pertama bertemu dengan Pak Junaidi, saya sudah berencana untuk menumpang tinggal di rumah beliau. Setelah mendapatkan kontaknya, saya segera menghubungi Pak Junaidi untuk meminta izin diperbolehkan menginap dirumahnya. Beruntung ia mengizinkan saya tinggal dirumahnya dan bersedia meluangkan waktu untuk bertemu saya pada hari sabtu. Sabtu siang saya tiba di rumah Pak Junaidi, namun beliau masih bekerja diluar sebagai tukang becak kata istrinya. Selang 15 menit kemudian akhirnya ia sampai juga dirumah. Wajahnya terlihat sangat lelah sepulang mencari sewa becak disaat siang hari yang panas terik waktu itu. Kami pun sedikit berbincang sambil meminum teh yang disajikan isrtrinya sambil duduk di teras rumah yang langsung berhadapan dengan sungai yang keruh. Sambil mengobrol, sesekali pandangan saya melihat ikan dan udang-udang kecil disungai yang ramai ditangkap anak-anak. Sebelum berangkat ke Belawan, dari rumah saya sudah harus berjanji untuk tidak mengeluh dengan kondisi lingkungan kumuh dan bau selama penelitian. Lingkungan tempat tinggal saya selama penelitian jauh berbeda dengan dengan tempat tinggal di kota. “Betah -betahin lah disini. Jangan-jangan kamu pun juga gak betah nanti lama-lama tinggal disini. Gak ada mall pulak kan” begitulah candaan Pak Junaidi yang menyiyir saya sebagai anak kota yang masuk kampung.

Kebetulan saat hari sabtu saya tiba di sana, pada hari itu juga kampung mereka akan kedatangan kementerian dari Bangladesh bersama rekan-rekan tim


(40)

IUWASH-Medan yang mendampingi. Saya diajak Pak Junaidi untuk ikut hadir pada waktu itu. “Acaranya dimulai pada jam 15.00 WIB. Ikut hadir saja tidak apa-apa.” kata Pak Junaidi. Saya pun merasa sedikit heran dengan informasi kedatangan para meneteri itu. Apa keperluan mereka datang ke Belawan, saya menerka apa mungkin akan ada kerjasama untuk membangun kampung ini. Tepat pukul 3 sore rombongan dari kementerian Bangladesh bersama tim IUWASH-Medan tiba dilokasi. Tempat perkumpulannya berada di musholla tidak jauh dari rumah Pak Junaidi. Tidak ada tempat pilihan lain lagi yang bisa digunakan untuk pertemuan dengan para pejabat dari Bangladesh waktu itu. Saya pun bertemu dengan bang roy yang sudah lama saya kenal sejak mengikuti agenda dengan tim IUWASH-Medan. Saya langsung menanyakan kepadanya “Apa urusan mereka mau kemari bang?” lalu bang roy menjawab “Gak ada yang terlalu penting. Bukan kerjasama. Mereka cuma mau melihat kehidupan masyarakat miskin disini, keperluan studi banding katanya mereka.” Terjawablah rasa penasaran saya dengan kedatangan para pejabat-pejabat itu. Kedatangan mereka disambut hangat oleh penduduk setempat. Lucunya, masyarakat menyapa para pejabat-pejabat itu dengan bahasa inggris yang tidak dimengerti oleh mereka. Berantakan dan bercampur-campur bahasa indonesia. Dalam forum diskusi yang berjalan selama 1 jam, IUWASH mempersantasekan program sanitasi yang sedang berjalan di Belawan dihadapan para menteri.

Setelah selesai memaparkan persentasenya, saya diminta untuk Bang Roy bersama tim lainnya dari IUWASH mendampingi para menteri Bangladesh berkeliling kampung. Saat saya mengajak mereka berkeliling di kampung sekitar,


(41)

masyarakat yang waktu itu melihat kami meminta foto bersama si pejabat layaknya seperti artis. Sambil berjalan-jalan saya yang saat itu menemani mereka berkeliling berbincang-bincang tentang tujuan mereka datang ke Kelurahan Belawan Bahagia. “Jadi, kami ingin melihat bagaimana masyarakat miskin disini dapat bertahan hidup. Kami ingin melihat mata pencaharian mereka dan potensi yang bisa dibangun. Mungkin bisa menjadi contoh yang dapat diterapkan bagi masyarakat miskin di negara kami” begitulah kata pak menteri perekonomian dari Bangladesh kepada saya. Sore itu cukup menyenangkan dan merupakan pengalaman baru bagi saya bisa bertemu dan bisa menceritakan kondisi di Belawan dengan kementerian dari Bangladesh.

Malam harinya saya diajak Pak Junaidi kerumah Ibu beliau yang tak jauh dari rumah tempat tinggal Pak Junaidi. Disana tinggal seorang ibu dan kakak perempuannya. Rumahnya bertembok dinding dan permanen, cukup bersih dan nyaman untuk saya menginap. Pak Junaidi meminta saya untuk tinggal di rumah ibunya saja karena lebih luas dan ada kamar kosong. Sementara itu di rumah Pak Junaidi padat dan sangat sempit, tidak ada lagi tempat kosong di kamar tidur. Belum lagi rumahnya ramai dengan 5 anak Pak Junaidi.

Kakak Pak Junaidi bernama Asnah. Bu Asnah sangat ramah dan menerima saya dengan senang hati. Baru pertama kali bertemu, saya sudah dianggap seperti saudara. Bahkan sepulang penelitian kami masih berhubungan melalui telfon. “Kamu panggil saja saya bude. Tidak apa-apa. Biar lebih akrab. Jangan pernah sungkan ya tinggal disini.” kata Bu Asnah. Hari demi hari selama saya tinggal disana mulai


(42)

membuat saya bisa beradaptasi dengan lingkungan yang berbeda di kota. Repotnya pada saat pasang, saya dan Bu Asnah harus membersihkan halaman rumah yang kotor. Terkadang saya harus menggulung celana seperti orang kebanjiran jika hendak berpergian keluar rumah. Bude Asnah bekerja sebagai pelayan dirumah makan. Jika hari libur, saya sering diajak bude berbelanja ke pasar dan membantunya masak.

Selama saya tinggal di Kelurahan Belawan Bahagia, lingkungan disana tak pernah sepi hingga larut malam. Sekitar jam 11 malam masih ramai anak-anak yang berkumpul dengan teman-temannya. Entah apa yang mereka lakukan, mungkin hanya sekedar bercanda dengan teman-temannya. Banyak juga bapak-bapak yang masih mengobrol di mushola, atau tetangga yang sekedar bersantai malam diteras rumah. Pagi harinya saat saya berkeliling di kampung tersebut, saya mulai banyak melihat aktivitas masyarakat yang sibuk dengan kegiatan paginya. Terdengar mesin-mesin perahu nelayan yang siap menjaring ikan dan sekelompok ibu-ibu yang mengupas udang tangkapan laut untuk dijual ke pasar.

Dalam mencari data lapangan, saya selalu dibantu dan ditemani oleh bude Asnah mewawancarai orang-orang disana. Kebetulan Bude sudah lama tinggal disana, jadi ia juga banyak mengenal penduduk disana. Sampai-sampai tukang becak pun mengenali bude yang supel dengan siapapun. Setiap kali berjalan dengan bude, saya dikenali oleh tetangganya sebagi keponakannya. Rasa senang dalam hati saya ketika saya selalu disebut-sebut sebagai keponakannya, seperti mendapatkan keluarga baru. Saya pun merasa diterima dengan baik oleh orang-orang disana. Saya perhatikan orang-orang Belawan memang cukup keras gaya bicaranya. Tetapi ketika


(43)

berbicara dengan orang baru seperti saya, mereka berubah jadi lebih lembut. Mungkin hal tersebut menunjukkan sikap sopan mereka dengan orang baru. Selama tinggal disana saya berpenampilan sesederhana mungkin agar tidak terlalu mencolok. Lebih sering menggunakan kaos dan celana tidur, memakai sandal dan tidak pernah menggunakan sepatu jika berpergian.

Awalnya saya sempat ragu untuk dapat terbiasa tinggal di lingkungan pesisir dan beradaptasi dengan kondisi sosial di Kelurahan Belawan Bahagia. Saat pertama kali tiba dirumah Pak Junaidi, tanpa sengaja saya melihat tikus masuk melintasi ruang tengah. Itu juga tidak hanya sekali saja. Ketika pasang, saya merasa risih dengan kutu busuk yang mulai bermunculan dari selokan di depan rumah bude Asnah. Tak kalah lagi dengan serbuan nyamuk yang selalu mengganggu tidur malam saya.

Bagi saya jika seseorang akan tinggal di lingkungan yang baru, maka ia harus siap beradaptasi dengan kondisi lingkungan, sosial, dan budaya itu. Perilaku saya yang tidak pernah membiasakan diri untuk menghemat air. Berbeda dengan kampung ini, di Kelurahan Belawan Bahagia masih sering kesulitan air. Biasanya saya bisa mandi 3x sehari dengan menggunakan air dirumah sesukanya. Mencuci baju, minum, atau aktivitas apapun yang menggunakan air bisa saya lakukan dengan mudah karena atidak pernah mengalami macet air. Berbanding terbalik ketika saya tinggal di rumah bude Asnah. Kamar mandinya cukup bersih tetapi sangat sempit dan kecil. Kamar mandinya tidak tertutupi dengan atap dan banyak dipenuhi ember-ember kecil.


(44)

Rata-rata setiap rumah yang ada disana membuat kamar mandinya tidak tertutup atap agar lebih mudah menampung air hujan ketika mereka kesulitan air. Jarang sekali saya mendengar aliran kran air mengalir deras. Bak mandinya juga tidak selalu penuh terisi air. Saya sadar diri harus menghemat air untuk keperluan Bude Asnah, Nek Imah (ibu dari bude), dan juga saya. Mandi pun hanya sekali dalam sehari. Tetapi kalau sedang ada persediaan air, cukup untuk 2 kali mandi. Begitu juga jika saya ingin mencuci baju. Mengurangi pemakaian air cucian yang terlalu berlebihan dan mencuci baju selama 2 hari sekali. Begitulah pengalaman saya selama melakukan penelitian di Kelurahan Belawan Bahagia. Mulai dari membangun rapport, berbaur, beradaptasi hingga dapat diterima dengan baik oleh masyarakat. Pelajaran yang saya ambil dari kegiatan ini bukan hanya sekedar mendapatkan data lalu pulang. Tetapi membuat saya belajar lebih peka dengan sekitar.

1.7. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian ini dilakukan di Kelurahan Belawan Bahagia Kecamatan Medan Belawan Kota Medan. Lokasi ini tepatnya di sebelah selatan Kelurahan Belawan Bahari. Lokasi ini menjadi pilihan karena merupakan salah satu Kelurahan sasaran pembangunan sarana sanitasi gratis.

1.8. Objek Penelitian

Sasaran kajian objek penelitian ini adalah masyarakat Kelurahan Belawan Bahagia sebagai penerima manfaat pembangunan MCK/Jamban Individual. Peneliti


(45)

mencoba melihat perubahan sebelum dan sesudah pembangunan yang menunjukkan adanya pengaruh perubahan perilaku hidup bersih dan sehat oleh masyarakat.


(1)

IUWASH-Medan yang mendampingi. Saya diajak Pak Junaidi untuk ikut hadir pada waktu itu. “Acaranya dimulai pada jam 15.00 WIB. Ikut hadir saja tidak apa-apa.” kata Pak Junaidi. Saya pun merasa sedikit heran dengan informasi kedatangan para meneteri itu. Apa keperluan mereka datang ke Belawan, saya menerka apa mungkin akan ada kerjasama untuk membangun kampung ini. Tepat pukul 3 sore rombongan dari kementerian Bangladesh bersama tim IUWASH-Medan tiba dilokasi. Tempat perkumpulannya berada di musholla tidak jauh dari rumah Pak Junaidi. Tidak ada tempat pilihan lain lagi yang bisa digunakan untuk pertemuan dengan para pejabat dari Bangladesh waktu itu. Saya pun bertemu dengan bang roy yang sudah lama saya kenal sejak mengikuti agenda dengan tim IUWASH-Medan. Saya langsung menanyakan kepadanya “Apa urusan mereka mau kemari bang?” lalu bang roy menjawab “Gak ada yang terlalu penting. Bukan kerjasama. Mereka cuma mau melihat kehidupan masyarakat miskin disini, keperluan studi banding katanya mereka.” Terjawablah rasa penasaran saya dengan kedatangan para pejabat-pejabat itu. Kedatangan mereka disambut hangat oleh penduduk setempat. Lucunya, masyarakat menyapa para pejabat-pejabat itu dengan bahasa inggris yang tidak dimengerti oleh mereka. Berantakan dan bercampur-campur bahasa indonesia. Dalam forum diskusi yang berjalan selama 1 jam, IUWASH mempersantasekan program sanitasi yang sedang berjalan di Belawan dihadapan para menteri.

Setelah selesai memaparkan persentasenya, saya diminta untuk Bang Roy bersama tim lainnya dari IUWASH mendampingi para menteri Bangladesh berkeliling kampung. Saat saya mengajak mereka berkeliling di kampung sekitar,


(2)

masyarakat yang waktu itu melihat kami meminta foto bersama si pejabat layaknya seperti artis. Sambil berjalan-jalan saya yang saat itu menemani mereka berkeliling berbincang-bincang tentang tujuan mereka datang ke Kelurahan Belawan Bahagia. “Jadi, kami ingin melihat bagaimana masyarakat miskin disini dapat bertahan hidup. Kami ingin melihat mata pencaharian mereka dan potensi yang bisa dibangun. Mungkin bisa menjadi contoh yang dapat diterapkan bagi masyarakat miskin di negara kami” begitulah kata pak menteri perekonomian dari Bangladesh kepada saya. Sore itu cukup menyenangkan dan merupakan pengalaman baru bagi saya bisa bertemu dan bisa menceritakan kondisi di Belawan dengan kementerian dari Bangladesh.

Malam harinya saya diajak Pak Junaidi kerumah Ibu beliau yang tak jauh dari rumah tempat tinggal Pak Junaidi. Disana tinggal seorang ibu dan kakak perempuannya. Rumahnya bertembok dinding dan permanen, cukup bersih dan nyaman untuk saya menginap. Pak Junaidi meminta saya untuk tinggal di rumah ibunya saja karena lebih luas dan ada kamar kosong. Sementara itu di rumah Pak Junaidi padat dan sangat sempit, tidak ada lagi tempat kosong di kamar tidur. Belum lagi rumahnya ramai dengan 5 anak Pak Junaidi.

Kakak Pak Junaidi bernama Asnah. Bu Asnah sangat ramah dan menerima saya dengan senang hati. Baru pertama kali bertemu, saya sudah dianggap seperti saudara. Bahkan sepulang penelitian kami masih berhubungan melalui telfon. “Kamu panggil saja saya bude. Tidak apa-apa. Biar lebih akrab. Jangan pernah sungkan ya tinggal disini.” kata Bu Asnah. Hari demi hari selama saya tinggal disana mulai


(3)

membuat saya bisa beradaptasi dengan lingkungan yang berbeda di kota. Repotnya pada saat pasang, saya dan Bu Asnah harus membersihkan halaman rumah yang kotor. Terkadang saya harus menggulung celana seperti orang kebanjiran jika hendak berpergian keluar rumah. Bude Asnah bekerja sebagai pelayan dirumah makan. Jika hari libur, saya sering diajak bude berbelanja ke pasar dan membantunya masak.

Selama saya tinggal di Kelurahan Belawan Bahagia, lingkungan disana tak pernah sepi hingga larut malam. Sekitar jam 11 malam masih ramai anak-anak yang berkumpul dengan teman-temannya. Entah apa yang mereka lakukan, mungkin hanya sekedar bercanda dengan teman-temannya. Banyak juga bapak-bapak yang masih mengobrol di mushola, atau tetangga yang sekedar bersantai malam diteras rumah. Pagi harinya saat saya berkeliling di kampung tersebut, saya mulai banyak melihat aktivitas masyarakat yang sibuk dengan kegiatan paginya. Terdengar mesin-mesin perahu nelayan yang siap menjaring ikan dan sekelompok ibu-ibu yang mengupas udang tangkapan laut untuk dijual ke pasar.

Dalam mencari data lapangan, saya selalu dibantu dan ditemani oleh bude Asnah mewawancarai orang-orang disana. Kebetulan Bude sudah lama tinggal disana, jadi ia juga banyak mengenal penduduk disana. Sampai-sampai tukang becak pun mengenali bude yang supel dengan siapapun. Setiap kali berjalan dengan bude, saya dikenali oleh tetangganya sebagi keponakannya. Rasa senang dalam hati saya ketika saya selalu disebut-sebut sebagai keponakannya, seperti mendapatkan keluarga baru. Saya pun merasa diterima dengan baik oleh orang-orang disana. Saya perhatikan orang-orang Belawan memang cukup keras gaya bicaranya. Tetapi ketika


(4)

berbicara dengan orang baru seperti saya, mereka berubah jadi lebih lembut. Mungkin hal tersebut menunjukkan sikap sopan mereka dengan orang baru. Selama tinggal disana saya berpenampilan sesederhana mungkin agar tidak terlalu mencolok. Lebih sering menggunakan kaos dan celana tidur, memakai sandal dan tidak pernah menggunakan sepatu jika berpergian.

Awalnya saya sempat ragu untuk dapat terbiasa tinggal di lingkungan pesisir dan beradaptasi dengan kondisi sosial di Kelurahan Belawan Bahagia. Saat pertama kali tiba dirumah Pak Junaidi, tanpa sengaja saya melihat tikus masuk melintasi ruang tengah. Itu juga tidak hanya sekali saja. Ketika pasang, saya merasa risih dengan kutu busuk yang mulai bermunculan dari selokan di depan rumah bude Asnah. Tak kalah lagi dengan serbuan nyamuk yang selalu mengganggu tidur malam saya.

Bagi saya jika seseorang akan tinggal di lingkungan yang baru, maka ia harus siap beradaptasi dengan kondisi lingkungan, sosial, dan budaya itu. Perilaku saya yang tidak pernah membiasakan diri untuk menghemat air. Berbeda dengan kampung ini, di Kelurahan Belawan Bahagia masih sering kesulitan air. Biasanya saya bisa mandi 3x sehari dengan menggunakan air dirumah sesukanya. Mencuci baju, minum, atau aktivitas apapun yang menggunakan air bisa saya lakukan dengan mudah karena atidak pernah mengalami macet air. Berbanding terbalik ketika saya tinggal di rumah bude Asnah. Kamar mandinya cukup bersih tetapi sangat sempit dan kecil. Kamar mandinya tidak tertutupi dengan atap dan banyak dipenuhi ember-ember kecil.


(5)

Rata-rata setiap rumah yang ada disana membuat kamar mandinya tidak tertutup atap agar lebih mudah menampung air hujan ketika mereka kesulitan air. Jarang sekali saya mendengar aliran kran air mengalir deras. Bak mandinya juga tidak selalu penuh terisi air. Saya sadar diri harus menghemat air untuk keperluan Bude Asnah, Nek Imah (ibu dari bude), dan juga saya. Mandi pun hanya sekali dalam sehari. Tetapi kalau sedang ada persediaan air, cukup untuk 2 kali mandi. Begitu juga jika saya ingin mencuci baju. Mengurangi pemakaian air cucian yang terlalu berlebihan dan mencuci baju selama 2 hari sekali. Begitulah pengalaman saya selama melakukan penelitian di Kelurahan Belawan Bahagia. Mulai dari membangun rapport, berbaur, beradaptasi hingga dapat diterima dengan baik oleh masyarakat. Pelajaran yang saya ambil dari kegiatan ini bukan hanya sekedar mendapatkan data lalu pulang. Tetapi membuat saya belajar lebih peka dengan sekitar.

1.7. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian ini dilakukan di Kelurahan Belawan Bahagia Kecamatan Medan Belawan Kota Medan. Lokasi ini tepatnya di sebelah selatan Kelurahan Belawan Bahari. Lokasi ini menjadi pilihan karena merupakan salah satu Kelurahan sasaran pembangunan sarana sanitasi gratis.

1.8. Objek Penelitian

Sasaran kajian objek penelitian ini adalah masyarakat Kelurahan Belawan Bahagia sebagai penerima manfaat pembangunan MCK/Jamban Individual. Peneliti


(6)

mencoba melihat perubahan sebelum dan sesudah pembangunan yang menunjukkan adanya pengaruh perubahan perilaku hidup bersih dan sehat oleh masyarakat.