Komunikasi Antarpribadi Suami Istri (Studi Kasus Kualitatif Pasangan Suami Istri Yang Menikah Tanpa Pacaran di Kota Medan)

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Konteks Masalah
Pada hakekatnya manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup seorang diri.
Dalam hubungannya sebagai makhluk sosial, terkandung makna bahwa bagaimanapun juga
manusia tidak terlepas dari individu yang lain karena akan saling melengkapi dan membutuhkan.
Komunikasi memegang peranan penting dalam kehidupan manusia. Komunikasi merupakan
suatu hubungan kontak antara manusia baik individu maupun berkelompok. Menurut Hovland,
Jains & Kelley komunikasi adalah suatu proses melalui mana seseorang (komunikator)
menyampaikan stimulus (biasanya dalam bentuk kata-kata) dengan tujuan mengubah atau
membentuk perilaku orang-orang lainnya (Fajar,2009:27).
Komunikasi merupakan medium paling penting dalam membangun suatu hubungan
dengan orang lain dan untuk membangun kontak sosial. Istilah komunikasi berasal dari bahasa
Latin yaitu communicatio, yang bersumber dari kata communis artinya “sama” dan communico
atau communication, yang berarti “membuat sama” (Effendy,2003:30). Melalui proses
komunikasi kita tumbuh dan belajar mengenal lingkungan sekitar. Sebab itu, komunikasi
merupakan kebutuhan bagi setiap manusia dalam rangka pertukaran informasi. Salah satu cara
pertukaran yaitu secara pribadi, baik itu berupa gagasan ataupun pendapat pribadi.
Hubungan interpersonal merupakan sifat alami manusia untuk membina hubungan
dengan orang lain. Hubungan tersebut bisa dalam bentuk pertemanan, hubungan kasih sayang
antara anak dengan orang tua, hubungan kasih sayang dengan pasangan, hubungan kasih sayang

dengan teman, dan sebagainya. Di dalam komunikasi antarpribadi, hubungan dapat diartikan
sebagai sejumlah harapan yang dua orang miliki bagi perilaku mereka didasarkan pada pola
interaksi mereka. Hubungan adalah perpaduan antara kedekatan emosional, komunikasi pada
berbagai tingkatan, dan perilaku sosial terhadap sesama anggota komunitas atau lingkungan
(Veere,2013:1). Hubungan yang baik adalah dimana interaksi-interaksi sifatnya memuaskan dan
sehat bagi mereka yang terlibat interaksi tersebut (Budyatna dan Ganiem, 2011:36). Salah satu
tujuan dari membina hubungan dengan orang lain adalah agar kita mendapatkan dukungan
sosial. Salah satu bentuk hubungan interpersonal adalah menikah.

Universitas Sumatera Utara

Secara emosional, komunikasi antarpribadi sangat efektif dalam membangun hubungan
dengan orang lain. Komunikasi antarpribadi menurut Joseph A. Devito dalam bukunya “The
Interpersonal Communication Book” adalah proses pengiriman dan penerimaan pesan-pesan
antara dua orang atau diantara sekelompok kecil orang-orang, dengan beberapa efek dan berapa
umpan balik seketika (Fajar,2009:78). Komunikasi antarpribadi merupakan pesan dari seseorang
dan diterima oleh orang lain dengan efek dan feedback yang langsung dalam (Hidayat,2012:41).
Lebih lanjut De Vito dalam (Liliweri,1991:13), menyatakan ada 5 ciri-ciri komunikasi
antarpribadi yaitu openees (keterbukaan), emphaty (empati), supportiveness (dukungan),
positiveness (rasa postif), dan equality (kesamaan). Dengan adanya komunikasi antarpribadi

tercipta suatu hubungan yang intim, salah satunya komunikasi antarpribadi dalam hubungan
pernikahan.
Menikah dan membina kehidupan rumah tangga merupakan salah satu aktivitas sentral
dari manusia yang bertujuan untuk memperoleh suatu kehidupan yang bahagia. Pernikahan
adalah suatu bentuk hubungan antara laki-laki dan perempuan yang meliputi hubungan seksual,
legitimasi untuk memiliki keturunan (memiliki anak), dan penetapan kewajiban yang dimiliki
oleh masing-masing pasangan.
Seluk beluk pernikahan di Indonesia diatur dan dilaksanakan menurut Undang-Undang
Pernikahan No. 1 tahun 1974, yang mendefenisikan pernikahan sebagai “Ikatan lahir batin
antara seorang pria dan wanita sebagai suami dan istri dengan tujuan membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Ikatan lahir
dan batin (Walgito,1984) menunjukkan bahwa suatu pernikahan tidak hanya mengandung ikatan
formal sesuai peraturan masyarakat yang ada, tetapi juga mengandung ikatan yang tidak nampak
secara langsung dan bersifat psikologis. Ikatan batin ini tercipta bila suami istri saling mencintai.
Adanya

ikatan

lahir


batin

tersebut

akan

menimbulkan

kebahagiaan

lahir

batin

(http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/23381).
Cinta merupakan kekuatan yang mampu menarik dua orang dalam satu ikatan yang tidak
terpisahkan yang dinamakan perkawinan. Dengan kata lain, perkawinan akan kuat ketika
dilandasi cinta. Berbagai jenis cinta hadir dalam masyarakat, dan banyak orang mencintai dengan
motif cinta yang berbeda-beda. Ada beberapa jenis cinta di dalam buku “Interpersonal
Comunication” yaitu Eros merupakan passionate love pengalaman cinta yang menarik seseorang

dengan tarikan yang sangat kuat dan sebuah hasrat untuk memberikan fokus yang eksklusif

Universitas Sumatera Utara

terhadap perhatian orang tersebut. Ludus menggambarkan sebagai “game playing” cinta, dimana
hubungan terlihat sebagai jalan untuk bermain dengan afeksi dan daya tarik. Storge
menggambarkan tipe cinta yang memiliki afeksi dan kedekatan utama namun tidak selalu
menggairahkan dan berhubungan dengan komiten jangka panjang dan berkualitas yang membuat
hubungan harus dipertahankan. Mania hampir sama dengan eros yang melibatkan nafsu emosi
dan obsessive focus pada salah satu pasangan cintanya, namun pada tipe ini pengalaman cinta
selalu terlihat berupa penderitaan. Pragma menggambarkan pendekatan cinta yang sangat praktis
dan pragmatik. Agape tidak meminta apapun dari pasangannya dan berorientasi pada cara
memberi bukan menerima (Beebe&Redmond,2008:282).
Cinta dan komitmen menjadi alasan utama pernikahan. Komitmen yang dimaksud adalah
komitmen pribadi dalam hubungan intim, yang salah satunya berupa pernikahan. Komitmen
adalah elemen kognitif, berupa keputusan untuk secara sinambungan dan tetap menjalankan
suatu kehidupan bersama. Komitmen yang sejati adalah komitmen yang berasal dari dalam diri,
yang tidak akan luntur walaupun mengahadapi berbagai rintangan dan ujian yang berat dalam
perjalanan kehidupan cintanya. Adanya rintangan dan godaan justru menjadi pemicu bagi
masing-masing individu untuk membuktikan ketulusan cintanya. Dengan demikian, komitmen

akan mempererat dan melanggengkan kehidupan cinta sampai akhir hayat.
Hasil penelitian telah menemukan ada tiga karakteristik umum mengenai pasangan
perkawinan yang telah berlangsung dan bertahan lebih dari lima puluh tahun (Dickson,1995).
Karakteristik yang pertama, adanya saling menghormati atau mutual respect, memperlakukan
terhadap satu sama lain dengan saling menghargai. Karakteristik yang kedua, ialah tingkat
kedekatan yang nyaman atau comfortable level of closeness – menghabiskan sejumlah waktu
yang tepat dengan teman hidupnya. Karakteristik yang ketiga ialah kehadiran sebuah rencana
atau bayangan hidup (Budyatna,2011:168).
Dalam proses menuju pernikahan, pacaran merupakan cara yang biasa dilakukan dalam
kehidupan masyarakat pada umumnya. Pacaran adalah proses dimana seseorang bertemu dengan
seorang lainnya dalam konteks sosial yang bertujuan untuk menjajaki kemungkinan sesuai atau
tidaknya orang tersebut untuk dijadikan pasangan hidup. Pacaran ditandai dengan adanya
kedekatan emosional dan daya tarik seksual terhadap lawan jenis serta perasaan cocok yang
dirasakan

oleh

kedua individu (lakilaki dan perempuan lajang).

(http://www.akademik.unsri.ac.id/paper3/download/paper/TA_07081002037.pdf).


Universitas Sumatera Utara

Pacaran dalam rangka mencari dan mendapatkan pasangan hidup kini menjadi cara yang
paling digemari. Pacaran telah menjadi tradisi yang mengakar kuat dalam masyarakat Indonesia.
Pacaran sebagai cara yang dilakukan dalam rangka penjajakan untuk mencari pasangan hidup
sudah menjadi alasan utama mereka yang menempuhnya. Penjajakan dimaksudkan untuk saling
mengenal satu sama lain, saling mengerti pribadi masing-masing dan dalam rangka mencari
kecocokan sebelum memasuki bahtera rumah tangga. Penjajakan dilakukan guna menghindari
kesalahan dalam memilih pasangan hidup. Hal ini menyebabkan timbulnya asumsi dalam
masyarakat bahwa pacaran lebih baik dalam menjunjung penyesuaian pasangan setelah menikah,
karena pacaran berfungsi sebagai sarana untuk saling mengenal, memahami, dan mengerti
kepribadian

masing-masing

calon pasangan hidup.

(http://eprints.undip.ac.id/24788/1/jurnal_MYA_WURYANDARI_M2A003044.pdf).
Dalam proses menuju perkawinan, pacaran bukan jaminan untuk melaju kejenjang

pernikahan. Ada juga pernikahan yang dilakukan tanpa melalui proses pacaran. Pernikahan tanpa
didahului proses berpacaran biasanya dilakukan karena latar belakang yang berbeda-beda.
Alasan yang sering ditemukan adalah karena faktor dijodohkan oleh orang tua, teman atau
keluarga, faktor umur yang semakin matang, dan ada yang karena faktor agama (ta’aruf), faktor
masa lalu yang membuat orang malas untuk berpacaran, dan masih banyak faktor lainnya yang
mendukung. Walaupun demikian, tidak sedikit pasangan yang memutuskan sendiri untuk
menikah tanpa melalui proses pacaran.
Pernikahan tidaklah harus selalu di dasari oleh cinta pada awalnya. Cinta dapat tumbuh
dan berkembang dengan sendirinya seiring dengan berjalannya waktu. Ikatan suci pernikahan
dan kebersamaan yang dilalui setiap harinya serta adanya niat yang tulus untuk saling menerima
kelebihan dan kekurangan pasangan satu sama lain akan menjadi pendorong untuk memberi
kemudahan dalam timbul berkembangnya rasa cinta diantara pasangan. Bahkan, rasa cinta itu
akan lebih berkesan dan bermakna karena tumbuh dalam bingkai keimanan dan dalam ikatan
suci yakni setelah pernikahan. Sehingga perasaan keduanya selalu berbunga-bunga dan serasa
seakan seperti masa bulan madu setiap harinya.
Kisah cinta fenomenal Presiden Soeharto dengan Ibu Tien, mereka di persatukan dalam
sebuah pernikahan tanpa didahului proses berpacaran dengan cara dijodohkan. Mereka berhasil
menumbuhkan

dan


memupuk

cinta

mereka

selama

hampir setengah abad. Dengan falsafah cinta mereka yang berlatar belakang Jawa berhasil memp

Universitas Sumatera Utara

ertahankan pernikahan sampai akhir hayat.(http://pelitaonline.com/untoldstories/2013/10/07/kisah-cinta-fenomenal-pak-harto-dan ibu tien#.UpNhLnCw2Vg).
Pada pasangan yang menikah tanpa melalui proses pacaran maka banyak hal bagi kedua
individu tersebut menjadi suatu hal yang sulit karena pasangan tersebut banyak belum
mengetahui dan mengerti tentang satu sama lainnya sehingga banyak hal yang harus disesuaikan
maka dari itu penyesuaian perkawinan sangat menentukan perjalanan rumah tangga yang mereka
bangun selamanya.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Universitas Ain Syams, hasilnya menunjukkan

bahwa 75% pernikahan yang dilakukan setelah proses pacaran yang romantis akan berujung pada
kegagalan total dan perceraian. Sedangkan pernikahan yang dilakukan atas dasar perjodohan,
baik dikenalkan keluarga, teman, atau tetangga, menunjukkan jumlah keberhasilan yang
mencengangkan,

melebihi

angka

95% dalam Sukmadiarti, 2007

(http://www.akademik.unsri.ac.id/paper3/download/paper/TA_07081002037.pdf).
Hasil penelitian Ardhianita (2005, h. 109) mengungkapkan bahwa kepuasan pernikahan
pasangan yang menikah tanpa pacaran berada pada nilai yang lebih tinggi dibandingkan
pasangan

yang

menikah


dengan

pacaran.

Lebih

jauh

lagi,

dalam

(http://eprints.undip.ac.id/24788/1/jurnal_MYA_WURYANDARI_M2A003044.pdf)mengungka
pkan bahwa pacaran justru memberi dampak negatif terhadap kepuasan pernikahan yang pada
akhirnya membuat pernikahan tidak stabil. Menurutnya,

orang yang berpacaran cenderung

menampilkan diri di depan pacaranya tidak secara apa adanya. Banyak hal dari sisi karakter dan
kepribadian yang ditampilkan jauh dari realitas yang sesungguhnya. Beberapa penelitian

selanjutnya kemudian membantah asumsi bahwa pacaran bukanlah satu-satunya media untuk
mengenal lebih jauh calon pasangan.
Berkebalikan dengan penelitian tersebut, studi tentang manajemen konflik rumah tangga
yang dilakukan Blood (1969) menyatakan bahwa pacaran itu dibutuhkan sebelum pernikahan.
Blood mengatakan “courtship is the entire process that leads up to marriage”. Dalam hal ini
Blood mengatakan bahwa ada suatu proses untuk menuju pernikahan dan itu dinamakan sebagai
proses courtship (pacaran). Masa courtship ini sangat penting untuk dioptimalkan dengan baik.
Menurut studi ini, fenomena cerai sebagian besar disebabkan oleh kegagalan dalam masa
courtship. Kebanyakan pasangan yang pada akhirnya memutuskan untuk bercerai disebabkan
pengalaman courtship yang tidak dimanfaatkan secara baik. Dengan kata lain, bahwa seseorang

Universitas Sumatera Utara

yang tidak mengoptimalkan masa courtship atau bahkan tidak sama sekali mengalami masa
courtship (menikah tanpa pacaran) dikatakan akan mengalami konflik. Akhir dari manajemen
konflik

yang

kurang

baik

dalam

rumah

tangga

adalah

perceraian

(http://groups.yahoo.com/neo/groups/bio38_ipb/conversations/topics/1607)
Survey terhadap 1000 orang berumur diatas 18 tahun yang dilakukan di Amerika. Dalam
survey tersebut 53% responden mengatakan ketidakmampuan berkomunikasi secara efektif
merupakan penyebab utama dari perceraian. Selain itu, sejumlah penelitian menunjukkan bahwa
hubungan antarpribadi membuat kehidupan menjadi lebih berarti. Sebaliknya hubungan yang
buruk bahkan dapat membawa efek negative bagi kesehatan. Seperti yang ditemukan oleh Patel
(Reardon;1987;159) bahwa hubungan antarpribadi dalam keluarga dan tempat kerja yang penuh
stress dapat meningkatkan kemungkinan seseorang untuk hipertensi. Sebaliknya pasangan suami
istri yang saling mencintai dan mereka memiliki jaringan teman yang menyenangkan cenderung
terhindar dari hipertensi. Apabila menyimak hasil penelitian diatas, maka jelas sekali terlihat
bahwa komunikasi suami istri yang baik merupakan kunci untuk mencapai keharmonisan rumah
tangga. Relasi antarpribadi yang sudah dibina sampai pada tingkat hubungan yang tertinggi yaitu
pernikahan harus terus dibina dengan sebuah komunikasi yang baik. Komunikasi sepertinya
merupakan hal yang mudah, apalagi untuk pasangan suami istri yang sudah berhasil mencapai
tangga defenisi hubungan yang tertinggi. Tetapi ternyata berkomunikasi antara suami istri
tidaklah semudah berkomunikasi seperti ketika berpacaran. Akan banyak sekali gangguan
(noise)

dalam

kegiatan

yang

akan

menjadi

batu

sandungan

dalam sebuah rumah tangga. (http://meriaoctavianti.wordpress.com/2010/06/25/komunikasisuami-istri-usaha-memahami-kehidupan-bersama-pendahuluan/).
Permasalahan dalam pernikahan merupakan hal yang biasa bagi setiap masyarakat, dan
hal ini bisa terjadi di mana saja. Kota Medan sebagai salah satu kota terbesar di Indonesia dan
merupakan kota terbesar di pulau Sumatera Utara. Kota Medan memiliki masyarakat yang
majemuk, dan secara geografis permasalahan dalam pernikahan ini bisa terjadi dimana saja dan
tidak memandang tempat.
Setiap tahun kasus perceraian mengalami peningkatan di Kota Medan. Untuk bulan
Januari-Agustus 2013 mencapai 1481 kasus yang telah diputus di Pengadilan Agama Medan.
Dari kasus tersebut, kaum istri saat ini lebih banyak menuntut perceraian dibandingkan suami.
Perkara yang ditangani Pengadilan Negeri Agama tiap tahunnya terus mengalami kenaikan, tidak

Universitas Sumatera Utara

pernah mengalami trend penurunan. Ini berarti menunjukkan ada permasalahan yang terjadi di
tengah

masyarakat,

khususnya masalah menyangkut rumah tangga maupun keluarga

(http://www.waspada.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=234759:tingkatperceraian-di-medan-meningkat&catid=14:medan&Itemid=27).
Melihat fenomena yang terjadi dalam penyesuaian dan pertumbuhan dalam pernikahan,
peneliti tertarik untuk melakukan penelitian yang belum pernah diteliti sebelumnya yakni
mengurai proses komunikasi antarpribadi pada pasangan yang menikah tanpa proses berpacaran.
Karena kita tahu, dalam memulai sebuah hubungan pernikahan itu ada unsur cinta, keintiman,
dan keterbukaan satu sama lain.
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka peneliti ingin mengetahui bagaimana
proses komunikasi antarpribadi pada pasangan suami istri yang menikah tanpa proses pacaran, di
mana dalam hal ini peneliti memfokuskan penelitian terhadap pasangan suami istri yang
menjalin hubungan pernikahan tanpa proses pacaran.

1.2 Fokus Masalah
Fokus masalah merupakan upaya untuk menyatakan secara tersurat pertanyaan-pertanyaan
yang hendak dicari jawabannya. Dapat juga dinyatakan bahwa perumusan masalah merupakan
pernyataan yang lengkap dan terinci mengenai ruang lingkup masalah yang akan diteliti
berdasarkan identifikasi dan pembatasan masalah (Syafruddin Pohan, dkk, 2012:10). Fokus
masalah dalam penelitian ini adalah “Bagaimana komunikasi antarpribadi pada pasangan yang
menikah tanpa pacaran di Kota Medan?”
1.3 Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan penelitian adalah :
1. Bertujuan untuk mengetahui komunikasi antarpribadi pada pasangan suami istri yang
menikah tanpa proses pacaran di Kota Medan.
2. Bertujuan untuk mengetahui perkembangan hubungan suami istri yang menikah tanpa proses
pacaran di Kota Medan.
1.4 Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian ini yaitu sebagai berikut :
1. Manfaat Akademis

Universitas Sumatera Utara

Penelitian ini diharapkan mampu memperluas atau menambah khasanah penelitian
komunikasi dan menambah pengetahuan dan pengalaman ilmu mahasiswa di Departemen
Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.
2. Manfaat Teoritis
Penelitian ini untuk menerapkan ilmu yang didapat selama menjadi mahasiswa Departemen
Ilmu Komunikasi FISIP USU serta menambah cakrawala dan wawasan peneliti yang
berkaitan dengan komunikasi antarpribadi dalam suatu hubungan pernikahan tanpa pacaran.
3. Secara Praktis
Melalui penelitian ini, diharapkan bisa memberikan pandangan dan pengetahuan tentang
komunikasi antarpribadi kepada siapa saja, apabila suatu saat nanti pembaca mengalami
pernikahan tanpa pacaran.

Universitas Sumatera Utara