Komunikasi Antarpribadi Suami Istri (Studi Kasus Kualitatif Pasangan Suami Istri Yang Menikah Tanpa Pacaran di Kota Medan)

(1)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Paradigma Kajian

Penelitian merupakan suatu upaya untuk menemukan kebenaran atau untuk lebih membenarkan kebenaran. Cara untuk mencari kebenaran dilakukan para peneliti dan praktisi melalui model yang biasa dikenal dengan perspektif. Becker mendefenisikan perspektif sebagai seperangkat gagasan yang melukiskan karakter situasi yang memungkinkan pengambilan tindakan, suatu spesifikasi jenis-jenis tindakan yang secara layak dan masuk akal dilakukan orang, standar nilai yang memungkinkan orang dapat dinilai (Mulyana,2005:5). Sedangkan Wimmer & Dominick (dalam Kriyantono, 2006: 48) menyebut pendekatan dengan paradigma, yaitu seperangkat teori, prosedur, dan asumsi yang diyakini tentang bagaimana peneliti melihat dunia. Perspektif tercipta berdasarkan komunikasi antaranggota suatu kelompok selama seseorang menjadi bagian kelompok tersebut.

Menurut Mulyana (dalam Kriyantono, 2006: 48), jenis perspektif atau pendekatan yang disampaikan oleh teoritis bergantung pada bagaimana teoritis itu memandang manusia yang menjadi objek kajian mereka. Adapun metodologi yang digunakan peneliti dalam pembahasannya adalah metode deskriptif kualitatif dengan paradigma konstruktivisme. Asumsi ontologis pada paradigma konstruktivisme menganggap realitas merupakan konstruksi sosial, kebenaran suatu realitas bersifat relatif, berlaku sesuai konteks spesifik yang dinilai relevan oleh pelaku sosial. Selain itu, realita juga dianggap sebagai hasil konstruksi mental dari individu pelaku sosial. Selain itu realita juga dianggap sebagai hasil konstruksi mental dari individu pelaku sosial, sehingga realitas dipahami secara beragam dan dipengaruhi oleh pengalaman, konteks dan waktu.

Secara epistemologis, pemahaman tentang suatu realitas atau temuan suatu penelitian merupakan produk interaksi antara peneliti dengan yang diteliti. Didalam paradigma ini, peneliti dan objek atau realitas yang diteliti merupakan kesatuan realitas yang tidak terpisahkan. Peneliti merupakan fasilitator yang menjembatani keragaman subyektivitas pelaku sosial dalam rangka merekonstruksi realitas sosial. Dari sisi aksiologis, peneliti akan memperlakukan nilai, etika, dan pilihan moral sebagai bagian integral dari penelitian dengan tujuan merekonstruksi realitas sosial secara dialektis antara peneliti dengan pelaku sosial yang diteliti.


(2)

Konstruktivisme atau constructivism mempunyai dampak yang luas sekali di bidang komunikasi. Menurut pandangan ini, para individu melakukan interpretasi dan bertindak menurut kategori-kategori konseptual di dalam pemikirannya. Realitas tidak hadir dalam bentuk apa adanya tetapi harus disaring melalui cara seseorang melihat sesuatu. Konstruktivisme sebagian didasarkan pada teori dari George Kelly (dalam Budyatna dan Ganiem, 2011:221) mengenai konsep-konsep pribadi atau personal constructs yang mengemukakan bahwa orang memahami pengalamannya dengan mengelompokkan dan membedakan peristiwa-peristiwa yang dialaminya menurut persamaan-persamaan dan perbedaan-perbedaannya. Perbedaan-perbedaan yang dipersepsikan tidaklah alamiah tetapi ditentukan oleh sejumlah hal-hal yang berlawanan di dalam sistem kognitif individu.

Kompleksitas kognitif memainkan peranan yang penting di dalam komunikasi. Konsep-konsep antarpribadi terutama penting karena Konsep-konsep-Konsep-konsep tersebut mengarahkan bagaimana kita memahami orang lain. Para individu berbeda dalam kompleksitas dengan mana mereka memandang individu lainnya. Bila seorang individu sederhana dalam arti kognitif, individu cenderung melakukan stereotip kepada orang lain, sedangkan bila individu lebih memiliki perbedaan secara kognitif, maka individu akan melakukan perbedaan-perbedaan secara lebih halus dan lebih sensitif. Secara umum, kompleksitas kognitif mengarah kepada pemahaman yang lebih besar mengenai pandangan-pandangan orang lain dan kemampuan yang lebih baik untuk membingkai pesan-pesan dalam arti dapat memahami orang lain.

Konstruktivisme pada dasarnya merupakan teori pilihan strategi atau strategy-choice theory. Prosedur-prosedur penelitian para konstruktivis biasanya menanyakan para subjek untuk memilih tipe-tipe pesan yang berbeda dan mengkalsifikasikannya yang berkenaan dengan kategori-kategori strategi (Budyatna dan Ganiem,2011:225).

2.2 Kajian Pustaka 2.2.1. Komunikasi

2.2.1.1. Pengertian Komunikasi

Menurut Stephen W. Littlejohn mengatakan bahwa : communication is difficult to define. The word is abstract and, like most terms, posses numerous meanings (komunikasi sulit untuk didefenisikan. Kata ‘komunikasi’ bersifat abstrak, seperti kebanyakan istilah, memiliki banyak arti) (Morisson&Cory,2009:).


(3)

Menurut Hovland, Janis dan Kelley (dalam Muhammad,2007:2) komunikasi adalah proses individu mengirim stimulus yang biasanya dalam bentuk verbal untuk mengubah tingkah laku orang lain. Sedangkan menurut Louis Forsdale (dalam Muhammad,2007:2) komunikasi adalah suatu proses memberikan signal menurut aturan tertentu, sehingga dengan cara ini suatu sistem dapat didirikan, dipelihara, dan diubah. Pada defenisi ini komunikasi dianggap sebagai suatu proses. Kata signal maksudnya adalah signal yang berupa verbal dan nonverbal yang mempunyai aturan tertentu. Dengan adanya aturan ini menjadikan orang yang menerima signal yang telah mengetahui aturannya akan dapat memahami maksud dari signal yang diterimanya. Tubbs dan Moss (1996:5) mendefenisikan komunikasi sebagai proses pembentukan makna di antara dua orang atau lebih. Menurut Harold D. Laswell komunikasi adalah proses penyampaian pesan oleh komunikator kepada komunikan melalui media yang menimbulkan efek tertentu (dalam Effendy,2007:10). Paradigma Laswell menyatakan : who, says what, in which channel, to whom with, what effect (siapa, mengatakan apa, melalui saluran apa, kepada siapa, dengan efek apa). Hal tersebut menunjukkan bahwa komunikasi meliputi 5 unsur yaitu :

1. Komunikator, yaitu orang yang menyampaikan pesan.

2. Pesan (message), yaitu pernyataan yang didukung oleh lambang, ide, opini, informasi dan lain sebagainya.

3. Komunikan (communicant, audience), yaitu orang yang menerima pesan

4. Saluran (media, channel), yaitu alat yang digunakan oleh komunikator untuk menyampaikan pesan.

5. Efek (effect) yaitu efek atau pengaruh kegiatan komunikasi yang dilakukan komunikator kepada komunikan.

2.2.1.2. Komponen Dasar Komunikasi

Dari bermacam-macam model komunikasi yang telah dikemukakan di atas kelihatan bahwa ada bermacam-macam komponen atau elemen dalam proses komunikasi. Adapun yang menjadi komponen dasar dalam komunikasi yaitu (Muhammad,2007:17-18):

1. Pengirim pesan, yaitu individu atau orang yang mengirim pesan. Pesan atau informasi yang akan dikirimkan berasal dari otak si pengirim pesan.

2. Pesan, yaitu informasi yang akan dikirimkan kepada si penerima. Pesan ini dapat berupa verbal ataupun nonverbal. Pesan secara verbal dapat secara tertulis seperti surat, buku, majalah, memo. Sedangkan pesan yang secara lisan dapat berupa, percakapan tatap muka, percakapan melalui telepon, radio, dan sebagainya.


(4)

4. Penerima pesan, yaitu individu yang menganalisis dan menginterpretasikan isi pesan yang diterimanya.

5. Balikan, yaitu respon terhadap pesan yang diterima yang dikirimkan kepada si pengirim pesan. Dengan diberikannya reaksi ini kepada si pengirim, pengirim akan dapat mengetahui apakah pesan yang dikirimkan tersebut diinterpretasikan sama dengan apa yang dimaksudkan oleh si pengirim. Bila arti pesan yang dimaksudkan oleh si pengirim diinterpretasikan sama oleh si penerima berarti komunikasi tersebut efektif.

2.2.1.3. Fungsi dan Tujuan Komunikasi

Fungsi utama komunikasi adalah mengendalikan lingkungan guna memperoleh imbalan-imbalan tertentu berupa fisik, ekonomi, dan sosial. Komunikasi insane atau human communication baik yang non-antarpribadi maupun yang antarpribadi semuanya mengenai pengendalian lingkungan guna mendapatkan imbalan seperti dalam bentuk fisik, ekonomi, dan sosial (Miller&Steinberg,1975). Pengendalian lingkungan dibedakan ke dalam dua tingkatan. Pertama, hasil yang diperoleh sesuai dengan apa yang diinginkan. Kedua, hasil yang diperoleh mencerminkan adanya kompromi dari keinginan semula pihak-pihak yang terlibat (dalam Budyatna dan Ganiem, 2011:27). Sedangkan menurut Effendy (2007:55) fungsi komunikasi adalah sebagai berikut :

a. Mengubah sikap

Memberikan berbagai informasi pada masyarakat dengan tujuan agar masyarakat akan berubah sikapnya.

b. Mengubah Opini

Memberikan berbagai informasi pada masyarakat dengan tujuan agar masyarakat mau berubah pendapat dan persepsinya terhadap tujuan informasi yang disampaikan.

c. Mengubah perilaku

Memberikan berbagai informasi pada masyarakat dengan tujuan agar masyarakat akan berubah perilakunya.

d. Mengubah Masyarakat

Memberikan berbagai informasi pada masyarakat, yang pada akhirnya bertujuan agar masyarakat mau mendukung dan ikut serta terhadap tujuan informasi yang disampaikan.

Komunikasi sebagai ilmu dan seni, sudah tentu memiliki fungsi yang dapat dimanfaatkan oleh manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Dalam terjadinya komunikasi tidak terlepas dari bentuk dan fungsi komunikasi, dimana komunikasi yang baik, tidak jauh dari fungsi yang mendukung keefektifan komunikasi. Adapun fungsi-fungsi dari komunikasi (Effendy,2007:55) adalah sebagai berikut :


(5)

Komunikasi berfungsi dalam menyampaikan informasi, tidak hanya informasi tetapi juga pesan, ide, gagasan, opini maupun komentar. Sehingga masyarakat bisa mengetahui keadaan yang terjadi dimanapun.

b. Mendidik (to educate)

Komunikasi sebagai sarana informasi yang mendidik, menyebarluaskan kreativitas, tidak hanya sekedar memberi hiburan, tetapi juga memberikan pendidikan untuk membuka wawasan dan kesempatan untuk memperoleh pendidikan secara luas, baik untuk pendidikan formal disekolah maupun untuk di luar sekolah, serta memberikan berbagai informasi tidak lain agar masyarakat menjadi lebih baik, lebih maju, dan lebih berkembang.

c. Menghibur (to entertain)

Komunikasi juga memberikan warna dalam kehidupan, tidak hanya informasi tetapi juga hiburan. Semua golongan menikmatinya sebagai alat hiburan dalam bersosialisasi. Menyampaikan informasi dalam lagu, lirik dan bunyi maupun gambar dan bahasa.

d. Mempengaruhi (to influence)

Komunikasi sebagai sarana untuk mempengaruhi khalayak untuk memberi motivasi, mendorong untuk mengikuti kemajuan orang lain melalui apa yang dilihat, dibaca, dan didengar. Serta memperkenalkan nilai-nilai baru untuk mengubah sikap dan perilaku kea rah yang baik dan moderniasasi.

2.2.2 Komunikasi Antarpribadi

Komunikasi antarpribadi didefenisikan oleh Joseph A. Devito dalam bukunya “ The Interpersonal Communication Book” sebagai :

“ Proses pengiriman dan penerimaan pesan-pesan antara dua orang atau diantara sekelompok kecil orang-orang, dengan beberapa efek dan beberapa umpan balik seketika “ ( The process of sending and receiving messages between two person, or among a small groups of persons, with some effect and some immediate feedback) (Devito, 2007 : 4).

Komunikasi antarpribadi merupakan bentuk lain dari komunikasi seperti komunikasi interpersonal, komunikasi kelompok dan komunikasi massa. Istilah lain dari komunikasi antarpribadi adalah komunikasi interpersonal. Komunikasi antarpribadi merupakan pesan dari seseorang dan diterima oleh orang lain dengan efek dan feedback yang langsung. Menurut Barnlund (1968), komunikasi antarpribadi merupakan pertemuan antara dua orang atau mungkin empat orang yang terjadi spontan dan tidak berstruktur (dalam Hidayat,2012:41). Sedangkan menurut Kathleen S. Verderber et.al (2007) komunikasi antapribadi merupakan proses melalui mana orang menciptakan dan mengelola hubungan mereka, melaksanakan tanggung jawab


(6)

Pentingnya situasi komunikasi antarpribadi adalah karena prosesnya memungkinkan berlangsung secara dialogis. Komunikasi yang berlangsung secara dialogis selalu lebih baik daripada secara monologis. Dialog adalah bentuk komunikasi antarpribadi yang menunjukkan terjadinya interaksi. Mereka yang terlibat dalam komunikasi bentuk ini berfungsi ganda, masing-masing menjadi pembicara dan pendengar secara bergantian. Dalam proses komunikasi dialogis nampak adanya upaya dari para pelaku komunikasi untuk terjadinya pengertian bersama (mutual understanding) dan empati (Effendy,2007:60).

Secara teoritis komunikasi antarpribadi dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu komunikasi diadik (dyadic communication) yang berlangsung antara dua orang dan komunikasi triadik (triadic communication) yang berlangsung dengan tiga orang pelaku. Komunikasi diadik lebih efektif dari pada komunikasi triadik, karena komunikator memusatkan perhatiannya kepada satu komunikan, sehingga komunikator dapat menguasai frame of reference komunikan sepenuhnya. Selain itu, umpan balik yang diharapkan juga terjadi karena proses komunikasi yang berlangsung efektif (Mulyana,2005:80).

Komunikasi yang efektif dapat dicapai dengan mengusahakan accurancy yang paling tinggi derajatnya dalam setiap situasi. Untuk kesamaan dan ktidaksamaan dalam derajat pasangan komunikator dan komunikan dalam proses komunikasi, Everet M. Rogers mengetengahkan istilah homophily dan heterophily yang dapat memperjelas hubungan komunikator dan komunikan dalam komunikasi antarpribadi. Homophily adalah sebuah istilah yang menggambarkan derajat pasangan perorangan yang berinteraksi yang memiliki kesamaan dalam sifatnya, seperti kepercayaan, nilai, pendidikan, status sosial dan sebagainya. Sedangkan heterophily sebagai kebalikan dari homophily, didefenisikan sebagai derajat pasangan orang-orang yang berinteraksi yang berada dalam sifat-sifat tertentu (Effendy,2007:64).

Ada tujuh sifat yang menunjukkan bahwa suatu komunikasi antara dua orang merupakan komunikasi antarpribadi dan bukan komunikasi lainnya yang terangkum dari pendapat-pendapat Reardon (1987), Effendy (1986), Porter dan Samovar (1982). Sifat-sifat komunikasi antarpribadi itu adalah (Liliweri, 1991:31) :

1. Melibatkan di dalamnya perilaku verbal dan non verbal

2. Melibatkan pernyataan/ungkapan yang spontan, scripted, contrived 3. Komunikasi antarpribadi tidaklah statis melainkan dinamis

4. Melibatkan umpan balik pribadi, hubungan interaksi dan koherensi (pernyataan yang satu harus berkaitan dengan yang sebelumnya)


(7)

6. Komunikasi antarpribadi merupakan suatu kegiatan dan tindakan 7. Melibatkan didalamnya bidang persuasif

Komunikasi antarpribadi merupakan suatu action oriented, tindakan yang berorientasi pada tujuan tertentu. Tujuan komunikasi antarpribadi ini bermacam-macam (Suranto,2011:19) :

1. Mengungkapkan perhatian kepada orang lain. Dalam hal ini seseorang berkomunikasi dengan cara menyapa, tersenyum, melambaikan tangan, membungkukkan badan, menanyakan kabar kesehatan partner komunikasinya, dan sebagainya. Pada prinsipnya komunikasi antarpribadi hanya dimaksudkan untuk menunjukkan adanya perhatian kepada orang lain dan untuk menghindari kesan dari orang lain sebagai pribadi yang tertutup, dingin, dan cuek. Apabila diamati lebih serius, orang yang berkomunikasi dengan tujuan sekedar mengungkapkan perhatian kepada orang lain, bahkan terkesan “hanya basa-basi”. Meskipun bertanya, tetapi sebenarnya tidak terlalu berharap akan jawaban atas pertanyaan itu.

2. Menemukan diri sendiri. Seseorang melakukan komunikasi antarpribadi karena ingin mengetahui dan mengenali karakteristik diri pribadi berdasarkan informasi dari orang lain. Bila seseorang terlibat komunikasi antarpribadi dengan orang lain, maka terjadi proses belajar banyak sekali tentang diri sendiri maupun orang lain. Komunikasi antarpribadi memberikan kesempatan kepada kedua belah pihak untuk berbicara tentang apa yang disukai dan apa yang dibenci. Dengan saling membicarakan keadaan diri, minat, dan harapan maka seseorang memperoleh informasi berharga untuk mengenal jati diri atau dengan kata lain menemukan diri sendiri.

3. Menemukan dunia luar. Dengan komunikasi antarpribadi diperoleh kesempatan untuk mendapatkan berbagai informasi dari orang lain, termasuk informasi penting dan aktual. Dengan adanya informasi ini maka dapat dikenali dan ditemukan keadaan dunia luar yang sebelumnya tidak diketahui. Jadi komunikasi merupakan “jendela dunia”, karena dengan berkomunikasi dapat mengetahui berbagai kejadian di dunia luar.

4. Membangun dan memelihara hubungan yang harmonis. Sebagai makhluk sosial, salah satu kebutuhan setiap orang yang paling besar adalah membentuk dan memelihara hubungan baik dengan orang lain. Manusia tidak dapat hidup sendiri, perlu bekerja sama dengan orang lain. Semakin banyak teman yang diajak bekerja sama maka semakin lancarlah pelaksanaan kegiatan dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu setiap orang telah menggunakan banyak waktu untuk komunikasi antarpribadi yang diabdikan untuk membangun dan memelihara hubungan sosial dengan orang lain.

5. Mempengaruhi sikap dan tingkah laku. Dalam prinsip komunikasi, ketika pihak komunikan menerima pesan atau informasi, berarti komunikan telah mendapat pengaruh dari proses komunikasi. Sebab pada dasarnya, komunikasi adalah sebuah fenomena, sebuah pengalaman. Setiap pengalaman akan memberi makna pada situasi kehidupan manusia, termasuk memberi makna tertentu terhadap kemungkinan terjadinya perubahan sikap.

6. Mencari kesenangan atau sekedar menghabiskan waktu. Ada kalanya seseorang melakukan komunikasi antarpribadi sekedar untuk mencari kesenangan atau hiburan. Berbicara dengan teman mengenai acara perayaan ulang tahun, berdiskusi mengenai olahraga, bertukar cerita-cerita lucu adalah pembicaraan untuk mengisi dan menghabiskan waktu. Disamping itu juga dapat mendatangkan kesenangan, karena


(8)

komunikasi antarpribadi semacam ini dapat memberikan keseimbangan yang penting dalam pikiran yang memerlukan suasana rileks, ringan dan menghibur dari semua keseriusan berbagai kegiatan sehari-hari.

7. Menghilangkan kerugian akibat salah komunikasi. Komunikasi antarpribadi dapat menghilangkan kerugian akibat salah komunikasi dan salah interpretasi yang terjadi antara sumber dan penerima pesan karena dengan komunikasi antarpribadi dapat dilakukan pendekatan secara langsung, menjelaskan berbagai pesan yang rawan menimbulkan kesalahan interpretasi.

8. Memberikan bantuan (konseling). Dalam kehidupan sehari-hari, dikalangan masyarakat pun dapat dengan mudah diperoleh contoh yang menunjukkan fakta bahwa komunikasi antarpribadi dapat dipakai sebagai pemberian bantuan (konseling) bagi orang lain yang memerlukannya. Tanpa disadari setiap orang ternyata sering bertindak sebagai konselor maupun konseling dalam interaksi antarpribadi sehari-hari. Misalnya seorang remaja “curhat” kepada sahabatnya mengenai putus cinta. Tujuan melakukan “curhat” tersebut adalah untuk mendapatkan bantuan pemikiran sehingga didapat solusi yang baik.

Dilihat dari sudut pandang humanistik, komunikasi antarpribadi memiliki lima karakteristik yaitu keterbukaan (openness), empati (empathy), sikap mendukung (supportiveness), sikap positif (possitiveness), dan kesetaraan (equality) (dalam Devito,1997:259) :

1. Opennes (keterbukaan) maksudnya adalah bahwa komunikasi antarpribadi akan efektif apabila terdapat keinginan untuk membuka diri terhadap lawan bicara kita, keinginan untuk bereaksi dengan jujur pada pesan yang disampaikan oleh lawan bicara kita, keinginan untuk bereaksi dengan jujur pada pesan yang disampaikan oleh lawan bicara kita, keinginan untuk menghargai bahwa perasaan dan pemikiran yang disampaikan oleh lawan bicara kita, keinginan untuk menghargai bahwa perasaan dan pemikiran yang disampaikan selama proses komunikasi berlangsung adalah kepunyaan kita sendiri (owning of feels and thought). Dalam situasi seperti ini diantara pelaku komunikasi akan tercipta keterbukaan perasaan dan pemikiran, serta masing-masing pihak bertanggungjawab atas apa yang disampaikannya. 2. Empathy (empati), yaitu ikut merasakan apa yang orang lain rasakan tanpa kehilangan

identitas diri sendiri. Melalui empati kita bisa memahami baik secara emosi maupun secara intelektual apa yang pernah dialami oleh orang lain. Empati harus diekspresikan sehingga lawan bicara kita mengetahui bahwa kita berempati padanya, sehingga dapat meningkatkan efektivitas komunikasi.

3. Supportiveness (mendukung) maksudnya adalah komunikasi interpersonal akan efektif apabila tercipta suasana yang mendukung. Nuansa dukungan akan tercipta apabila proses komunikasi


(9)

bersifat deskriptif dan tidak evaluative, serta lebih fleksibel dan tidak kaku. Jadi dalam proses penyampaian pesan gunakanlah kata-kata atau kalimat yang deskriptif dan tidak memberikan penilaian, kemudian tunjukkan bahwa masing-masing pelaku komunikasi bersedia mendengarkan pendapat lawan bicara dan bahkan mengubah pendapat kalau memang diperlukan.

4. Positiveness (sikap positif) maksudnya adalah dalam komunikasi antarpribadi yang efektif para pelaku komunikasi harus menunjukkan sikap yang positif dan menghargai keberadaan orang lain sebagai seseorang yang penting (stroking).

5. Equality (kesetaraan) maksudnya adalah penerimaan dan persetujuan terhadap orang lain yang menjadi lawan bicara. Harus disadari bahwa semua orang bernilai dan memiliki sesuatu yang penting yang bisa diberikan pada orang lain. Kesetaraan dalam komunikasi antarpribadi harus ditunjukkan dalam proses pergantian peran sebagai pembicara dan pendengar.

Evert M. Rogers (dalam Hidayat,2012:43) menyebutkan beberapa karakteristik komunikasi antarpribadi yaitu arus pesan cenderung dua arah, konteks komunikasi adalah tatap muka, tingkat umpan balik yang tinggi, kemampuan untuk mengatasi tingkat selektivitas sangat tinggi, kecepatan untuk menjangkau sasaran yang besar sangat lamban dan efek yang terjadi antara lain perubahan sikap. Namun demikian, dari sekian pendapat tentang karakteristik komunikasi antarpribadi tersebut, belum ada secara simplisit para pakar menyebutkan bahwa komunikasi antarpribadi juga melibatkan media. Selama ini yang diketahui atau yang disampaikan adalah komunikasi antarpribadi itu terjadi secara langsung dan tatap muka (face to face). Tetapi, tidak pernah terpikirkan bahwa komunikasi antarpribadi juga melibatkan media sebagai saluran komunikasi.

Kebanyakan hubungan atau mungkin semua, berkembang melalui tahap-tahap. Kita tidak menjadi kawan akrab segera setelah pertemuan terjadi. Keakraban tumbuh secara bertahap melalui serangkaian langkah atau tahap. Adapun tahap-tahap dalam pengembangan hubungan yaitu kontak, keterlibatan, keakraban, perusakan, dan pemutusan (Devito,1997:233). Tahap-tahap ini menggambarkan hubungan seperti apa adanya. Tahap-Tahap-tahap ini tidak mengevaluasi atau menguraikan bagaimana seharusnya hubungan itu berlangsung. Berikut ini adalah uraian dari tahap-tahap pengembangan hubungan, yaitu :

1. Kontak. Pada tahap pertama kita membuat kontak, ada beberapa macam persepsi alat indera. Menurut beberapa periset, selama tahap inilah dalam empat menit pertama interaksi anda


(10)

memutuskan apakah anda ingin melanjutkan hubungan ini atau tidak. Pada tahap ini penampilan fisik begitu penting, karena dimensi fisik paling terbuka untuk diamati secara mudah. Namun, kualitas-kualitas lain seperti sikap bersahabat, kehangatan, keterbukaan, dan dinamisme juga terungkap pada tahap ini.

2. Keterlibatan. Tahap keterlibatan adalah tahap pengenalan lebih jauh, ketika kita mengikatkan diri kita untuk lebih mengenal orang lain dan juga mengungkapkan diri kita.

3. Keakraban. Pada tahap keakraban, anda mengikat diri anda lebih jauh pada orang ini. Anda mungkin membina hubungan primer, dimana orang ini menjadi sahabat baik atau kekasih anda.

4. Perusakan. Pada tahap perusakan anda mulai merasa bahwa hubungan ini mungkin tidaklah sepenting yang anda pikirkan sebelumnya. Pada tahap ini tidak lagi banyak pengungkapan diri yang terjadi. Jika tahap perusakan ini berlanjut, anda memasuki tahap pemutusan.

5. Pemutusan. Tahap pemutusan adalah pemutusan ikatan yang mempertalikan kedua pihak.

Hubungan antarpribadi dapat diartikan sebagai hubungan antara seseorang dengan orang lain. Hubungan antarpribadi yang baik akan menumbuhkan derajat keterbukaan orang untuk mengungkapkan dirinya, semakin cermat persepsinya tentang orang lain dan persepsi dirinya sehingga semakin efektif komunikasi yang berlangsung diantara peserta komunikasi. Miler (dalam Hidayat, 2012:56) menyatakan bahwa :

“ Memahami proses komunikasi antarpribadi menuntut hubungan simbiosis antara komunikasi dan perkembangan relasional, dan pada gilirannya (secara serentak), perkembangan relasional mempengaruhi sifat komunikasi antara pihak-pihak yang terlibat dalam hubungan tersebut”. Rakhmat (dalam Hidayat,2012:56) memberi catatan bahwa terdapat tiga faktor dalam komunikasi antarpribadi yang menumbuhkan relasi antarpribadi yang baik, yaitu : percaya, sikap suportif, dan sifat terbuka. Berikut ini uraiannya :

1. Percaya (trust) secara ilmiah didefenisikan sebagai upaya mengandalkan perilaku orang untuk mencapai tujuan yang dikehendaki, yang pencapaiannya tidak pasti dan dalam situasi yang penuh resiko. Adapun faktor utama yang menumbuhkan sikap percaya yaitu menerima, empati dan kejujuran.

2. Suportif adalah sikap yang mengurangi sikap defensif dalam komunikasi. Orang bersikap defensif apabila ia tidak menerima, tidak jujur, dan tidak empati. Dengan sikap defensif, komunikasi antarpribadi akan gagal karena orang defensif akan lebih banyak melindungi diri dari ancaman yang ditanggapinya dalam situasi komunikasi ketimbang memahami pesan orang lain. Komunikasi defensif dapat terjadi karena faktor-faktor personal (ketakutan, kecemasan, harga diri yang rendah dan pengalaman defensif).

3. Sikap terbuka, yaitu kemauan menanggapi dengan senang hati informasi yang diterima di dalam menghadapi hubungan antarpribadi. Keterbukaan atau sikap terbuka sangat berpengaruh dalam menumbuhkan komunikasi antarpribadi yang efektif. Keterbukaan adalah pengungkapan reaksi atau tanggapan kita terhadap situasi yang sedang dihadapi serta memberikan informasi tentang masa lalu yang relevan untuk memberikan tanggapan kita di masa kini tersebut.


(11)

2.2.3. Teori Penetrasi Sosial

Menurut Alman dan Taylor (dalam Liliweri,1991:55) teori penetrasi sosial adalah teori yang menyatakan bahwa hubungan antarpribadi telah terjadi suatu penyusupan sosial. Ketika kita baru berkenalan dengan orang lain untuk pertama kalinya maka sebenarnya kita mulai dengan suatu ketidakakraban, kemudian dalam proses yang terus menerus berubah menjadi lebih akrab sehingga pengembangan hubungan mulai terjadi. Dari sinilah setiap orang mulai menghitung apa yang bisa diterima atas keuntungan apa yang akan diperoleh.

Irwin Altman dan Dalmas Taylor mengenalkan istilah penetrasi sosial. Menurut teori mereka, karena hubungan itu berkembang, komunikasi bergerak dari level yang relative sedikit dalam, tidak akrab, menuju level yang lebih dalam, lebih personal. Personalitas komunikator dapat diperlihatkan melalui lingkungan dengan lapisan dua dimensi yaitu memiliki jarak (breadth) dan kedalaman (depth). Breadth merupakan susunan yang berurutan atau keragaman topik yang merasuk ke dalam kehidupan individu. Depth adalah jumlah informasi yang tersedia pada tiap topik. Didalamnya merupakan detail privat yang meningkat mengenai kehidupan, perasaan, serta pikiran. Karena hubungan itu berkembang, partner berbagi lebih banyak atas diri, menyediakan breadth sebaik depth, melalui pertukaran informasi, perasaan dan aktivitas (Hidayat,2012:87-88).

Sebuah hubungan dapat didefenisikan sebagai hubungan yang kasual atau hubungan yang intim tergantung dari keluasan dan kedalaman informasi yang diberikan. Dalam sebuah hubungan yang kasual, keluasan subjek pembicaraan mungkin sangat baik, namun tidak mendalam. Hubungan yang lebih intim dapat menghasilkan self disclosure yang mendalam, meskipun hanya dalam satu subjek pembicaraan. Namun kebanyakan hubungan yang intim sangat baik dalam keluasan maupun kedalaman subjek pembicaraan. Altman dan Taylor melihat bahwa perkembangan sebuah hubungan sebagai sebuah progress atau kemajuan yang terjadi dalam kurun waktu tertentu. Masing-masing hubungan personal seseorang mungkin memiliki kombinasi keluasan subjek dan kedalaman pengungkapan yang berbeda-beda.

Teori penetrasi sosial dapat dilihat dengan menggunakan dua dimensi : keluasan dan kedalaman. Keluasan (breadth) merujuk kepada berbagai topik yang didiskusikan dalam suatu hubungan. Waktu keluasan (breadth time) berhubungan dengan jumlah waktu yang dihabiskan oleh pasangan dalam berkomunikasi satu sama lainnya mengenai berbagai macam topic tersebut.


(12)

Kedalaman (depth) merujuk pada tingkat keintiman yang mengarahkan diskusi mengenai suatu topik (West dan Turner,2009:201-202). Kedalaman dan keluasan dalam teori penetrasi sosial dapat dianalogikan dengan sebuah bawang, dengan lapisan-lapisan (berbentuk lingkaran) dari sebuah bawang yang mewakili berbagai aspek dari kepribadian seseorang.

Teori penetrasi sosial memfokuskan diri pada pengembangan hubungan. Hal ini terutama berkaitan dengan perilaku antarpribadi yang nyata dalam interaksi sosial dan proses-proses kognitif internal yang mendahuluinya, menyertai dan mengikuti pembentukan hubungan. Teori ini sifatnya berhubungan dengan perkembangan di mana teori ini berkembangan dengan pertumbuhan dan pemutusan mengenai hubungan antarpribadi. Proses penetrasi sosial berlangsung secara bertahap dan teratur dari sifatnya dipermukaan ke tingkat mengenai pertukaran sebagai fungsi baik mengenai hasil yang segera maupun yang diperkirakan. Perkiraan meliputi estimasi mengenai hasil-hasil yang potensial dalam wilayah pertukaran yang lebih akrab. Faktor inilah yang menyebabkan hubungan bergerak maju dengan harapan menemukan interaksi baru yang secara potensial lebih memuaskan.

Keputusan mengenai apakah sebuah hubungan yang berpotensi terlihat memuaskan tidak dapat serta merta dilihat. Perkembangan suatu hubungan terjadi dalam sebuah cara yang sistematis, dan keputusan mengenai apakah orang berkeinginan untuk mempertahankannya biasanya tidak diambil dengan cepat. Tidak semua hubungan berjalan dengan proses ini dan hubungan yang melalui proses ini tidak selalu merupakan hubungan yang romantis. Terdapat empat tahap perkembangan hubungan dalam teori penetrasi sosial yaitu tahap orientasi (orientation,), pertukaran penjajakan afektif (exploratory affective exchange), pertukaran afektif (affective exchange) dan tahap pertukaran stabil (stable exchange) (West&Turner,2009:205).

Orientation mengandung komunikasi impersonal, dimana seseorang memberitahukan hanya informasi yang sangat umum mengenai dirinya sendiri. Pada tahap ini kecil sekali terjadinya evaluasi atau penilaian terhadap satu sama lain. Sebaliknya, para individu membuat usaha-usaha kesepakatan untuk menghindari konflik. Nada pembicaraan keseluruhannya bersifat hati-hati dan tentratif, dimana masing-masing pihak dalam hubungan itu saling mengamati sesuai dengan formula-formula kesepakatan sosial. Selama tahapan ini, pernyataan-pernyataan yang dibuat biasanya hal-hal yang klise dan merefleksikan aspek superfisial dari seorang individu. Taylor dan Altman (West dan Turner,2009:206) menyatakan bahwa orang tidak mengevaluasi


(13)

atau mengkritik selama tahap orientasi. Perilaku ini akan dipersepsikan sebagai ketidakwajaran oleh orang lain dan mungkin akan merusak interaksi selanjutnya.

Jika tahap ini menghasilkan reward yang baik dari komunikan, maka akan bergerak menuju tahap selanjutnya, the exploratory affective exchange , dimana perluasan awal informasi dan gerakan menuju level lebih dalam dari disclosure itu terjadi. Pada tahap ini aspek-aspek kepribadian yang dijaga atau ditutupi sekarang mulai dibuka secara lebih terperinci, rasa berhati-hati sudah mulai berkurang. Hubungan tahap ini umumnya lebih ramah dan santai. Hubungan romantis mencirikan tahap berikutnya (pertukaran afektif) dari interaksi sosial. Di sini, perjanjian bersifat interaktif lebih lancer dan kasual. Interaksi pada lapisan luar kepribadian menjadi terbuka dan adanya aktivitas yang meningkat pada lapis menengah kepribadian. Meskipun adanya rasa kehati-hatian, umumnya terdapat sedikit hambatan untuk penjajakan secara terbuka mengenai keakraban. Pentingnya pada tahap ini ialah bahwa rintangan telah disingkirkan dan kedua pihak belajar banyak mengenai satu sama lain. Tahap ini merupakan tahap peralihan ke tingkat yang paling tinggi mengenai pertukaran keakraban yang mungkin terjadi.

Tahap ketiga, affective exchange memusatkan pada perasaan dan kritis pada level yang lebih dalam. Terakhir adalah stable exchange adalah keakraban yang sangat tinggi dan mengizinkan partner untuk meramalkan setiap tindakan pihak lain dan menanggapinya dengan sangat baik. Pada tahap ini pengembangan dalam hubungan yang tumbuh dicirikan oleh keterbukaan yang berkesinambungan juga adanya kesempurnaan kepribadian pada semua lapisan. Baik komunikasi yang bersifat publik maupun pribadi menjadi efisien. Kedua pihak saling mengetahui satu sama lain dengan baik dan dapat dipercaya dalam menafsirkan dan memprediksi perasaan dan mungkin juga perilaku pihak lain.

Semakin hubungan itu mendekati persahabatan dan cinta, semakin besar kemungkinan bahwa jarak akrab akan terjadi. Pada hubungan yang akrab, kedua anggota akan lebih bersedia untuk membolehkan satu sama lain untuk menggunakan, mempunyai akses ke, atau mengetahui tentang keakraban dan kepemilikan yang sangat pribadi. Salah satu hal yang dipandang sebagai bagian yang penting dari pengembangan sebuah hubungan adalah konflik. Pertumbuhan hubungan terjadi selama periode adanya kecocokan atau kesesuaian dan kemunduran hubungan terjadi sebagai akibat terjadinya krisis dan tekanan jiwa lainnya. Proses-proses konflik ini diasumsikan berlangsung menurut faktor-faktor yang sama (imbalan/biaya, pribadi dan situasional) yang terdapat didalam pengembangan. Namun demikian proses-proses pertukaran


(14)

yang terjadi pada putusnya hubungan antarpribadi merupakan kebalikan apa yang terjadi pada tahap-tahap pengembangan. Proses-prose pertukaran ini berlangsung sistematis dan teratur. Prosesnya bergerak dari tingkat yang akrab ke tingkat yang tidak akrab. Dalam satu pengertian bahwa depenetrasi merupakan kegagalan dari manajemen konflik.

2.2.4 Self Disclosure

Teori self disclosure atau pengungkapan diri merupakan proses mengungkapkan reaksi atau tanggapan kita terhadap situasi yang sedang kita hadapi serta memberikan informasi guna memahami suatu tanggapan terhadap orang lain dan sebaliknya. Membuka diri berarti membagikan kepada orang lain perasaan kita terhadap suatu yang telah dikatakan atau dilakukannya atau perasaan kita terhadap suatu kejadian-kejadian yang baru saja kita saksikan (Devito,1997:231-232).

Menurut Paul Cozby (dalam Adler,2007:275-276) sebuah pengungkapan diri dalam komunikasi harus memiliki kriteria seperti : “ (1) harus mengandung informasi personal tentang si pengirim pesan atau sender. (2) pengirim pesan harus mengkomunikasikan informasi secara verbal dan (3) harus ada seseorang yang menjadi targetnya”.

Pengungkapan diri ini dapat berupa berbagai topik seperti informasi perilaku, perasaan, keinginan, motivasi dan ide yang sesuai dan terdapat didalam diri orang yang bersangkutan. Kedalaman dalam pengungkapan diri seseorang tergantung pada situasi dan orang yang diajak berinteraksi. Jika orang yang berinteraksi dengan kita menyenangkan dan membuat kita merasa aman serta dapat membangkitkan semangat maka kemungkinan bagi kita untuk lebih membuka diri amatlah besar. Sebaliknya pada beberapa orang tertentu kita dapat saja menutup diri karena merasa kurang percaya. Dalam proses pengungkapan diri nampaknya individu-individu yang terlibat memiliki kecenderungan norma timbal balik. Bila seseorang menceritakan sesuatu yang bersifat pribadi pada kita, kita akan cenderung membrikan reaksi yang sepadan. Pada umumnya kita mengharapkan orang lain memperlakukan kita sama seperti memperlakukan mereka (Dayakisni,2003:88).

Carl Rogers dalam karyanya Third Force menyatakan bahwa tujuan komunikasi adalah meneliti pemahaman diri orang lain dan pengertian hanya dapat terjadi dengan komunikasi yang benar. Menurut psikologi humanistic, pemahaman antarpribadi terjadi melalui self disclosure,feedback dan sensitivitas untuk mengenal/mengetahui orang lain. Misunderstanding


(15)

dan ketidakpuasan dalam hubungan diawali oleh ketidakjujuran, kurangnya kesamaan antara tindakan seseorang dengan perasaannya, miskin feedback, serta self disclosure yang ditahan (Hidayat,2012:84).

Personal growth (pertumbuhan personal) melekat pada komunikasi antarpribadi sebab dunia merupakan lingkungan sosial yang sangat luas. Untuk menerima perubahan seseorang itu sendiri meminta kita untuk menetapkan bahwa kita juga diterima oleh orang lain. Pertumbuhan akan sulit jika orang-orang disekitar kita tidak membuka diri terhadap penerimaan kita. Sandra Petronio meletakkan secara bersamaan serangkaian ide mengenai kompleksitas self disclosure dalam sebuah hubungan. Menurut Petronio, individu terlibat dalam hubungan secara konstan menjadi bagian dalam proses pengaturan yang membatasi antara publik dan privat, antara perasaan dan pikiran yang mereka mau berbagi dengan sang partner dengan perasaan dan pikiran yang tidak mau mereka bagi. Permainan di antara kebutuhan untuk berbagi dan kebutuhan untuk melindungi diri ini sifatnya konstan dan mendorong pasangan untuk membicarakan dan mengoordinasi batasan mereka (Hidayat,2012:85).

Meskipun pengungkapan diri dapat memperkuat rasa suka dan mengembangkan hubungan, Derlega (dalam Taylor, Peplau dan Sears,2009:336) mengungkapkan bahwa pengungkapan diri mengandung risiko. Beberapa risiko yang terjadi saat mengungkapkan diri antara lain :

1. Pengabaian. Kita mungkin berbagi sedikit informasi dengan orang lain saat mengawali suatu hubungan. Terkadang pengungkapan diri kita dibalas dengan pengungkapan diri orang lain dan hubungan pun berkembang. Tetapi terkadang kita menyadari orang lain tidak peduli pada pengungkapan diri kita dan sama sekali tidak tertarik untuk mengenal kita.

2. Penolakan. Informasi diri yang kita ungkapkan mungkin menimbulkan penolakan sosial. 3. Hilangnya kontrol. Terkadang orang memanfaatkan informasi yang kita berikan kepada

mereka untuk menyakiti kita atau untuk mengontrol perilaku kita.

4. Pengkhianatan. Ketika kita mengungkapkan informasi personal kepada seseorang, kita sering berasumsi, atau bahkan secara tegas meminta agar informasi itu dirahasiakan. Sayangnya, terkadang orang itu berkhianat.

Selain itu sebuah pengungkapan diri tidak terlepas dari konsep diri. Konsep diri didefenisikan sebagai gambaran dan penilaian diri kita, pandangan dan perasaan kita tentang diri kita sendiri (Rakhmat,2008:106). Konsep diri ini terbentuk dari empat sumber utama, yaitu :

1. Pandangan orang lain terhadap diri seseorang yaitu mengenai bagaimana seseorang mendapatkan gambaran dirinya dari orang-orang yang disekitarnya. Seseorang akan


(16)

mengetahui seperti apa dirinya dari bagaimana cara orang-orang di sekitarnya memperlakukannya dan bagaimana cara orang lain memandang dirinya.

2. Bagaimana seseorang tersebut membandingkan dirinya dengan orang-orang disekitarnya (social comparisons) yaitu ketika seseorang membandingkan dirinya dengan orang lain, maka orang tersebut akan melihat seberapa jauh kemampuan dan batasan dirinya akan sesuatu hal, misalnya prestasi akademis, `kemampuan bersosialisasi atau bernegosiasi, kemampuan berbicara di muka umum, kemampuan di bidang-bidang tertentu seperti olahraga, kesenian, dan sebagainya.

3. Ajaran budaya yaitu seseorang memandang dirinya seperti apa yang diajarkan oleh budayanya. Selain budaya, konsep diri seseorang terbentuk melalui nilai-nilai dan keyakinan yang telah ditanamkan, serta tingkah laku yang diajarkan padanya sejak orang tersebut masih kecil.

4. Evaluasi diri dan interpretasi yaitu konsep diri seseorang terbentuk setelah seseorang melakukan interpretasi dan evaluasi terhadap dirinya sendiri. Seseorang berbuat sesuatu, kemudian bagaimana orang tersebut bereaksi dengan tingkah lakunya, kemudian orang tersebut akan mengevaluasi tingkah lakunya dan lama kelamaan akan terbentuk konsep dirinya.

2.2.5 Teori Johari Windows

Joseph Luft dan Harrington Ingham mengembangkan konsep Johari Window sebagai perwujudan bagaimana seseorang berhubungan dengan orang lain yang digambarkan sebagai jendela. ‘Jendela’ tersebut terdiri dari matriks 4 sel, masing-masing sel menunjukkan daerah self (diri) baik yang terbuka maupun yang disembunyikan. Keempat sel tersebut adalah daerah publik, daerah buta, daerah tersembunyi dan daerah yang tidak disadari. Berikut ini disajikan gambar ke 4 sel tersebut :

Gambar : Konsep Johari Windows

Tahu tentang diri Tidak tahu tentang diri

Diketahui orang lain

Tidak diketahui orang lain

Sumber : Jalaludin Rakhmat, 2004 : 108 Daerah Publik

(public area) A

Daerah Buta (blind area)

B Daerah Tersembunyi

(hidden area) C

Daerah Yang Tidak Disadari (unconscious area)


(17)

Dari gambar di atas dapat kita lihat bahwa dalam mengungkapkan diri kepada orang lain, seseorang memiliki wilayah-wilayah dan level self disclosure yang berbeda, tergantung kepada siapa dia mengungkapkan dirinya. Pertama, yaitu “public area” atau wilayah diri seseorang yang terbuka, yaitu keadaan dimana seseorang mengetahui seperti apa dirinya sendiri dan hal tersebut juga diketahui oleh orang lain (known to self, known to others). Contohnya yaitu seseorang yang merasa senang menceritakan perasaan senangnya kepada orang lain dan menceritakan pengalamannya dengan orang lain. Kedua itu “blind area” yaitu sebuah keadaan di mana seseorang tidak mengetahui bagaimana dirinya sesungguhnya, namun orang lain dapat melihat dan menilai bagaimana dirinya (not known to self, known to others).

Ketiga yaitu “hidden area” atau wilayah yang tersembunyi, yaitu suatu keadaan di mana kita mengetahui bagaimana diri kita sesungguhnya, namun hal tersebut tidak tampak bagi orang lain. Biasanya seseorang yang wilayah konsep dirinya berada di area III ini adalah seseorang yang tertutup dan memiliki tingkat self disclosure yang rendah karena orang tersebut kurang dapat membuka dirinya dengan orang lain. Terakhir adalah ”unknown area”, yaitu suatu keadaan di mana kita tidak mengetahui siapa dan bagaimana diri kita sesungguhnya dan orang lain juga tidak mengetahui siapa dan bagaimana kita sesungguhnya. Contohnya yaitu seseorang yang tidak mengetahui bakat terpendamnya, begitu pula orang lain yang juga tidak mengetahuinya.

2.2.6 Teori Pelanggaran Harapan

Teori pelanggaran harapan (Expectancy Violations Theory) menyatakan bahwa orang memiliki harapan mengenai perilaku nonverbal orang lain. Mengenai teori pelanggaran harapan Burgoon (1978) mengintegrasikan kejadian-kejadian khusus dari komunikasi nonverbal yaitu ruang personal dan harapan orang akan jarak ketika perbincangan terjadi. Karena ruang personal merupakan konsep inti dari teori ini.

Teori Pelanggaran Harapan adalah satu dari sedikit teori yang secara khusus berfokus pada apa yang diharapkan orang dan reaksi mereka kepada orang lain dalam sebuah percakapan. Expectancy Violations Theory meningkatkan pemahaman kita akan bagaimana harapan memengaruhi jarak dalam percakapan. Teori ini menemukan apa yang terjadi didalam benak para komunikator dan bagaimana komunikator memonitor perilaku nonverbal dalam percakapan mereka (West dan Turner,2009:166).


(18)

Pelanggaran ruang merupakan bagian penting dalam teori ini, ada berbagai macam jarak spasial dalam teori pelanggaran harapan (dalam West&Turner,2006:155-157) :

1. Hubungan Ruang

Ilmu yang mempelajari penggunaan ruang seseorang disebut sebagai proksemik (proxemics), membahas cara seseorang menggunakan ruang dalam percakapan mereka dan juga persepsi orang lain akan penggunaan ruang. Penggunaan ruang dapat memengaruhi makna dan pesan. Burgoon (1978) mulai dari sebuah premis bahwa manusia memiliki dua kebutuhan yang saling bertarung : afiliasi dan ruang pribadi. Ruang personal (personal space), menurut Burgoon, dapat didefenisikan sebagai “sebuah ruang tidak kelihatan dan dapat berubah-ubah yang melingkupi seseorang, yang menunjukkan jarak yang dipilih untuk diambil oleh seseorang terhadap orang lain”. Burgoon dan peneliti pelanggaran harapan lainnya percaya bahwa manusia senantiasa memiliki keinginan untuk dekat dengan orang lain, tetapi juga menginginkan adanya jarak tertentu.

2. Zona Proksemik

Edward Hall (1966) mengklaim bahwa ada empat zona proksemik, yakni : • Jarak Intim

Zona spasial yang sangat dekat, mulai dari 0-18 inci. Hall (1966) mengamati bahwa perilaku-perilaku ini termasuk perilaku yang bervariasi mulai dari sentuhan (misalnya, berhubungan intim) hingga mengamati bentuk wajah seseorang.

• Jarak Personal

Zona spasial yang berkisar antara 18 inci-4 kaki, digunakan untuk keluarga dan teman. • Jarak Sosial

Zona spasial yang berkisar antara 4-12 kaki, digunakan untuk hubungan-hubungan yang formal seperti hubungan dengan rekan sekerja.

• Jarak Publik

Zona spasial yang berjarak 12 kaki atau lebih yang digunakan untuk diskusi yang sangat formal seperti antara seorang dosen dan mahasiswa di dalam kelas.


(19)

Kewilayahan (territoriality) atau kepemilikan seseorang terhadap suatu area atau benda. Ada tiga jenis wilayah :

• Wilayah Primer (primary territories)

Wilayah primer merupakan wilayah eksklusif seseorang. Contohnya ruang kerja seseorang atau komputer adalah wilayah primer seseorang.

• Wilayah Sekunder (secondary territories)

Menunjukkan hubungan personal seseorang dengan sebuah area atau benda. Contohnya, banyak mahasiswa pascasarjana merasakan bahwa perpustakaan kampus adalah wilayah sekunder mereka, mereka tidak memiliki bangunannya, tetapi mereka sering kali menggunakan ruang yang ada di dalam bangunan tersebut.

• Wilayah Publik (public territories)

Wilayah publik tidak melibatkan suatu afiliasi personal dan termasuk area-area yang terbuka bagi semua orang, misalnya pantai, taman, bisokop, dan transportasi umum.

Asumsi Teori Pelanggaran Harapan :

Teori Pelanggaran Harapan berakar pada bagaimana pesan-pesan ditampilkan pada orang lain dan jenis-jenis perilaku yang dipilih orang lain dalam sebuah percakapan. Terdapat tiga asumsi yang menuntun teori ini (West&Turner,2009:158) :

a) Harapan mendorong terjadinya interaksi manusia b) Harapan terhadap perilaku manusia dipelajari

c) Orang membuat prediksi mengenai perilaku nonverbal

2.2.7 Perkawinan

Di dalam komunikasi antarpribadi, hubungan dapat diartikan sebagai sejumlah harapan yang dua orang miliki bagi perilaku mereka didasarkan pada pola interaksi mereka. Hubungan antarpribadi dapat didefenisikan sebagai serangkaian interaksi antara dua individu yang saling kenal satu sama lain. Hubungan yang baik adalah dimana interaksi-interaksi sifatnya memuaskan dan sehat bagi mereka yang terlibat interaksi tersebut (dalam Budyatna dan Ganiem, 2011:36).

Hubungan pribadi atau personal relationship ialah dimana orang mengungkapkan informasi terhadap satu sama lain dan berusaha untuk memenuhi kebutuhan pribadi satu sama lain. Hubungan antarpribadi yang sehat ditandai oleh keseimbangan pengungkapan diri atau self disclosure yang tepat yaitu saling memberikan data biografis, gagasan-gagasan pribadi dan


(20)

perasaan-perasaan yang tidak diketahui oleh orang lain dan umpan balik berupa verbal dan respon-respon fisik kepada orang dan pesan-pesan mereka di dalam suatu hubungan. Didalam hubungan yang akrab sekalipun, masih terdapat batas-batas mengenai jumlah pengungkapan diri yang sesuai. Meskipun mengkomunikasikan informasi pribadi mengenai diri dan melakukan pengamatan pribadi mengenai orang lain adalah perlu bagi keakraban supaya berkembang, pada kejadian mengenai keterbukaan tanpa syarat dapat terjadi gangguan hubungan sebagai kebalikan dari hubungan baik.

Seperti Mills & Clark menjelaskan (dalam Budyatna dan Ganiem, 2011:158), “berbagi dan mengemukakan informasi pribadi merupakan karakteristik hubungan komunal secara timbal balik yang kuat di mana pengungkapan diri telah diajarkan sebagai inti dari hubungan yang erat “. Teman akrab atau intimates adalah orang-orang yang berbagi hubungan yang menyangkut kedekatan, kepedulian, dan kepercayaan yang dicirikan oleh pengungkapan diri dan tanggung jawab secara timbal balik. Baik hubungan platonik maupun romantik dapat menjadi teman akrab. Hubungan platonik atau platonic relationship adalah hubungan di mana para mitra tidak tertarik secara seksual atau tidak memilih untuk bertindak atas dasar ketertarikan seksual. Sebaliknya, hubungan romantik ialah hubungan di mana para mitra bertindak atas dasar ketertarikan seksual terhadap satu sama lain. Salah satu bentuk dari hubungan romantik ini sendiri adalah perkawinan.

Seluk beluk perkawinan di Indonesia diatur dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Pernikahan No. 1 tahun 1974, yang mendefenisikan perkawinan sebagai “Ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami dan istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Ikatan lahir dan batin (Walgito,1984) menunjukkan bahwa suatu pernikahan tidak hanya mengandung ikatan formal sesuai peraturan masyarakat yang ada, tetapi juga mengandung ikatan yang tidak nampak secara langsung dan bersifat psikologis. Ikatan batin ini tercipta bila suami istri saling mencintai. Adanya ikatan lahir batin tersebut akan menimbulkan kebahagiaan lahir batin

Sejumlah besar penelitian telah diarahkan untuk memahami keakraban di dalam perkawinan dan hubungan dalam ikatan romantis jangka panjang lainnya. Hal yang paling penting dalam hubungan yang baik di antara teman hidup, orang mendapatkan kepuasan yang terbesar dalam keberadaan bersama itu. Misalnya, suatu survey terhadap lebih dari dua ribu


(21)

orang yang telah menikah di Amerika Serikat, J.D. Bloch (1980) menemukan bahwa 40% dari semua responden menganggap teman hidup sebagai sahabat mereka yang terbaik. Dalam studi yang berbeda terhadap orang-orang yang sudah menikah, 88% pria dan 78% wanita menyebut teman hidup mereka sebagai orang yang “terdekat” dengan mereka (dalam Budyatna&Ganiem,2011: 165).

Meskipun adanya kesamaan mengenai kebutuhan-kebutuhan yang nyata dalam mitra perkawinan, tidak ada cara perkawinan ideal yang tunggal. Mary Anne Fitzpatrick ilmuwan bidang perkawinan, telah mengidentifikasi karakteristik-karakteristik atau dimensi-dimensi yang mengidentifikasikan tipe-tipe pasangan yang berbeda. Pasangan-pasangan perkawinan dapat dibedakan atas dasar mengenai “ketidaktergantungan” mereka pada tingkat di mana mereka berbagi perasaan terhadap satu sama lain. Ada pasangan-pasangan yang tingkat saling ketergantungannya tinggi, bergantung kepada teman hidupnya untuk mendapatkan kenyamanan, pernyataan cinta, dan kegembiaraan. Pasangan-pasangan perkawinan lainnya bersifat pendiam, dan tidak bergantung kepada teman hidupnya untuk saling berbagi emosi dan dukungan. Dimensi yang kedua di mana pasangan perkawinan dapat dibedakan berdasarkan ideologi mereka. Ideologi merupakan keadaan di mana para mitra menganut sistem keyakinan tradisional dan nilai-nilai terutama mengenai perkawinan dan peran seks, atau menganut keyakinan nontradisional dan nilai-nilai yang toleran terhadap perubahan dan ketidakpastian dalam hubungan. Dimensi yang ketiga semula dinamakan “penghindaran konflik” atau conflict avoidance tetapi sekarang dinamakan “komunikasi” atau communication.

Menggunakan dimensi-dimensi tersebut di atas, Fitzpatrick menjelaskan tiga tipe dasar mengenai hubungan pasangan perkawinan yang langgeng yang dinamakan sebagai tradisional, bebas, dan tersendiri (Fitzpatrick,1988:78-79).

1) Pasangan perkawinan tradisional, memiliki ideologi tradisional, tetapi mempertahankan beberapa kebebasan dalam perkawinan mereka. Nilai-nilai mereka lebih mengutamakan kepada stabilitas daripada spontanitas. Mereka menganut adat istiadat tradisional: wanita menggunakan nama keluarga suaminya. Hubungan-hubungan tradisional menunjukkan saling ketergantungan yang sangat kua, ditandai oleh rasa bersama dan perkawinan tingkat tinggi dan mereka lebih suka terlibat dalam konflik daripada menghindar dari konflik.

2) Pasangan perkawinan yang bebas, berbagi ideologi yang mencakup perubahan dan ketidakpastian dalam hubungan perkawinan tetapi, seperti pasangan perkawinan tradisional mereka merasakan adanya saling ketergantungan dan lebih suka mengatasi perbedaan-perbedaan dengan melibatkan diri dalam konflik dari pada menghindarinya. Mereka lebih banyak menganut nilai-nilai nonkonvensional. Pasangan yang termasuk tipe


(22)

ini yakin bahwa hubungan tidak harus mengganggu kebebasan teman hidupnya. Teman hidup yang bebas mempertahankan atau memelihara ruang-ruang fisik secara terpisah dan adakalanya dirasakan sulit untuk mempertahankan atau memelihara jadwal harian secara teratur.

3) Pasangan perkawinan yang tersendiri, dicirikan oleh ideologi tradisional dianut secara bersama, tetapi berbeda dari dua kelompok sebelumnya pasangan ini kurang terlibat dalam berbagai emosional dan oleh karena itu kurang adanya saling ketergantungan. Sebagai tambahan, pasangan perkawinan yang tersendiri cenderung untuk menghindari konflik. Dalam masalah-masalah perkawinan dan keluarga sifatnya konvensional, tetapi seperti pasangan perkawinan yang bebas mereka menekankan pentingnya kebebasan individual. Mereka kurang sekali memiliki persahabatan dan kebersamaan dalam perkawinan mereka dibandingkan dengan perkawinan yang tradisional dan bebas. Pasangan perkawinan ini menunjukkan adanya saling ketergantungan dengan memelihara jadwal harian secara teratur.

Beragam skema akan menciptakan tipe-tipe keluarga yang berbeda. Fitzpatrick dan koleganya telah mengenali empat tipe keluarga (LittleJohn, 2009 : 289):

1. Tipe keluarga konsensual, tipe keluarga ini memiliki tingkat percakapan dan kesesuaian yang tinggi. Keluarga konsensual sering berbicara tetapi pemimpin keluarga biasanya salah satu orang tua membuat keputusan. Keluarga ini mengalami tekanan dalam menghargai komunikasi yang terbuka, sementara mereka juga menginginkan kekuasaan orang tua yang jelas. Para orang tua biasanya menjadi pendengar yang baik bagi anak-anak mereka, tetapi mengambil keputusan dan selanjutnya menjelaskannya kepada anak-anak sebagai usaha untuk membantu mereka memahami pemikiran di balik keputusan tersebut. Orang tua dalam keluarga konsensual cenderung memiliki orientasi pernikahan yang tradisional. Ini berarti mereka akan lebih konvensional dalam memandang pernikahan serta lebih menempatkan nilai pada stabilitas dan kepastian dalam hubungan peran dari pada keragaman dan spontanitas. Mereka memiliki ketergantungan yang kuat dan memiliki banyak teman. Walaupun mereka tidak bersifat tegas dalam pertentangan, mereka tidak menghindari konflik.

2. Tipe keluarga pluralitas, tipe keluarga ini tinggi dalam percakapan tetapi rendah dalam kesesuaian, disini akan memiliki kebebasan berbicara tetapi pada akhirnya setiap orang akan membuat keputusan sendiri berdasarkan pada pembicaraan tersebut. Orientasi pernikahannya mandiri. Pernikahan mandiri juga ekspresif mereka saling merespon terhadap isyarat masing-masing dan biasanya saling memahami dengan baik dan menghargai komunikasi yang terbuka.

3. Tipe keluarga protektif, tipe keluarga ini cenderung rendah dalam percakapan tetapi tinggi dalam kesesuaian akan ada banyak kepatuhan tetapi sedikit komunikasi, mereka juga tidak memberikan penjelasan kepada anak-anak tentang apa yang mereka putuskan, orang tua tipe ini cenderung digolongkan sebagai orang tua tak terpisah. Mereka nampaknya saling bertentangan dalam peran dan hubungan mereka. Orientasi pernikahannya konvensional.

4. Tipe keluarga laisssez-faire atau toleran, tipe keluarga ini rendah dan percakapan dan kesesuaian, tidak suka ikut campur dan keterlibatan yang rendah. Anggota keluarga sangat tidak peduli dengan yang dilakukan oleh anggota keluarga yang lain dan mereka benar-benar tidak mau membuang waktu untuk membicarakannya. Mereka mungkin kombinasi dari orang tua yang mandiri dan terpisah atau kombinasi yang lain.


(23)

Hasil penelitian telah menemukan ada tiga karakteristik umum mengenai pasangan perkawinan yang telah berlangsung dan bertahan lebih dari lima puluh tahun (Dickson,1995). Karakteristik yang pertama, adanya saling menghormati atau mutual respect, memperlakukan terhadap satu sama lain dengan saling menghargai. Singkatnya, perkawinan yang langgeng merupakan produk dari saling menghargai satu sama lain untuk apa dan siapa mereka. Karakteristik yang kedua, ialah tingkat kedekatan yang nyaman atau comfortable level of closeness-menghabiskan sejumlah waktu yang tepat dengan teman hidupnya. Ini tidak berarti bahwa mitra yang langgeng selalu berdua sepanjang waktu. Sedangkan ada mitra yang menginginkan kedekatan yang terus-menerus, lainnya akan merasa bahagia dengan kedekatan yang secara relatif rendah. Tetapi hal yang menentukan ialah bahwa kedua mitra memahami satu sama lain secara berkelanjutan. Kenyataannya ialah banyak pasangan perkawinan tumbuh secara terpisah dari waktu ke waktu yakni mereka berhenti mencari teman mereka masing-masing atau setuju memilih teman dari orang yang berbeda. Karakteristik yang ketiga, ialah kehadiran sebuah rencana atau bayangan hidup. Adakalanya hal ini dijalani dengan sadar. Pada saat lain terjadi begitu saja. Tetapi hal yang jelas bahwa kedua mitra setuju untuk tujuan jangka panjang mereka dan tentu saja bahwa kedua mitra itu melihat satu sama lain berada dalam rencana jangka panjang itu. Mereka selalu berbicara dengan kata “kita” bukan “saya” (dalam Budyatna&Ganiem,2011:168-167).

2.2.7.1 Pola-pola Hubungan Interaksi

Hubungan bukanlah entitas statis yang tidak pernah berubah, kita terus mengubah apa yang kita lakukan dan apa yang kita katakan berdasarkan reaksi orang lain dan seiring waktu hubungan tersebut berjalan. Para akademis komunikasi yang melakukan penelitian tentang teori ini dikenal dengan sebutan Palo Alto Group. Teori ini menjelaskan tentang hubungan-hubungan yang timbul setelah kita melakukan interaksi, jika kita menerima suatu pesan maka pada saat bersamaan kita juga akan memperoleh pesan hubungan yang berkaitan dari pesan tersebut. Sebagai contoh jika dosen mengatakan bahwa dalam waktu dekat ini kita akan mengadakan ujian, maka pesan hubungan yang dibangun dapat ia ucapkan seperti : “ saya ingin peningkatan nilai kalian dari ujian sebelumnya maka bacalah materi-materi yang sudah saya beri”.

Ada dua tipe pola yang penting bagi Palo Alto Group untuk menggambarkan gagasan ini. Jika dua orang saling merespon dengan cara yang sama, mereka dikatakan terlibat dalam sebuah


(24)

hubungan simetris (symmetrical relationship), pertentangan kekuasaan tepatnya seperti ini : Salah satu lawan bicara menonjolkan kendali; yang lain menanggapinya dengan memaksakan kendali juga. Orang pertama merespon lagi dengan cara yang sama, sehingga terjadilah pertentangan. Namun, hubungan simetris tidak selalu berupa pertentangan kekuasaan. Kedua pelaku dapat saja memberi tanggapan pasif, tanggapan balasan, atau malah keduanya bersikap saling menjaga.

Tipe hubungan yang kedua adalah pelengkapan (complementary). Dalam hubungan ini, pelaku komunikasi merespon dengan cara yang berlawanan. Ketika seseorang bersifat mendominasi, yang lain mematuhinya; ketika seseorang bersifat argumentatif yang lainnya diam; ketika seseorang menjaga, yang lainnya menerima (LittleJohn, 2009 : 286).

L. Edna dan Rogers menunjukkan bagaimana sebuah kendali hubungan merupakan sebuah proses sibernatika. Kendali dari sebuah hubungan tidak hanya bergantung pada tindakan satu orang melainkan melihat pola-pola perilaku lawan bicara. Kendali hubungan terdiri dari tiga jenis respon, yaitu :

1. One Down : Merespon dengan cara menerima

2. One Up : Merespon dengan cara menyanggah atau menolak dan membuat pernyataan balasan.

3. One Across : Merespon dengan menerima atau menolak kendali orang pertama dan memberi tanggapan tanpa mengakui kendali lainnya.

2.2.8 Perbedaan-Perbedaan Gender Dalam Keakraban

Penelitian yang dilakukan melanjutkan dukungan mengenai pandangan bahwa hubungan-hubungan pria ditentukan dalam arti mengenai aktivitas bersama dan wanita dalam arti berbagi pikiran dan perasaan (Reis,1988). Demikian pula pandangan pria mengenai keakraban agaknya agaknya berhubungan dengan kedekatan fisik. Jadi, bagi pria keakraban didasarkan pada aktivias bersama dalam hubungan pria dan seksualitas dalam hubungan pria wanita. Sebaliknya, keakraban wanita didasarkan pada berbicara dan kasih sayang, baik kepada teman wanita maupun pria (Reis,1988). Kecuali adanya perbedaan-perbedaan yang jelas dalam perilaku, Reis lebih lanjut mengatakan baik pria maupun wanita mengartikan keakraban dengan menggunakan kata yang sama, keramahtamahan, pengungkapan perasaan pribadi, dan aktivitas bersama (Budyatna&Ganiem,2011:163).


(25)

2.2.8.1 Hubungan Pria Wanita

Oleh karena pria dan wanita cenderung berusaha mendapatkan keakraban hubungan melalui cara-cara yang berbeda, maka cara-cara tersebut menjadi penting bagi gaya masing-masing, dan frustasi dapat terjadi dalam hubungan beda gender. Wanita sering kali mengkritik pria karena kurang mampu mengekspresikan perasaan mereka. Pria perlu mengerti bahwa bagi wanita keakraban diartikan sebagai berbagi informasi, perasaan, rahasia, dan pengertian melalui semacam pernyataan-pernyataan pengungkapan diri seperti “Hubungan kita benar-benar penting bagi saya. Hidup saya bagaikan hampa tanpa Anda”.

Di masa lalu, masyarakat Amerika Serikat preferensi feminine bagi pengungkapan verbal sebagai ukuran keakraban, sekarang ini perhatian telah lebih diarahkan pada kecenderungan pria terhadap aktivitas instrumental sama pentingnya dalam menentukan keakraban (Wood&Inman,1993). Ada yang mengatakan bahwa gaya ekspresif wanita dan gaya instrumental merupakan pendektan yang saling melengkapi dapat bekerja sama dengan baik (Budyatna&Ganiem,2011:164).

2.3 Model Teoritik

Dalam penelitian ini, penelitian membuat model teoritik dengan memahami keterkaitan antara beberapa teori, yaitu pengolahan informasi dalam teori komunikasi antarpribadi, teori penetrasi sosial, self disclosure, Johari Windows, teori pelanggaran harapan, dan perkawinan. Keterkaitan antar teori ini menjadi rangkaian yang berkesinambungan, berikut model teoritik yang peneliti gambarkan untuk menjelaskan keterkaitan antar teori yang menjadi rangkaian berkesinambungan tersebut :

Gambar 1.

Bagan Model Teoritik Penelitian Komunikasi Antarpribadi Pada Pasangan Suami Istri Yang Menikah Tanpa Pacaran


(26)

Komunikasi Antarpribadi Teori Penetrasi Sosial

Self Disclosure Teori Pelanggaran

Harapan Perkawinan Pola Hubungan

Interaksi Perbedaan Gender Dalam Keakraban Hubungan Pria Wanita

Pasangan Suami Istri

- Komunikasi antarpribadi pada pasangan suami istri yang menikah tanpa pacaran.

- Perkembangan hubungan suami istri yang menikah tanpa pacaran.


(1)

orang yang telah menikah di Amerika Serikat, J.D. Bloch (1980) menemukan bahwa 40% dari semua responden menganggap teman hidup sebagai sahabat mereka yang terbaik. Dalam studi yang berbeda terhadap orang-orang yang sudah menikah, 88% pria dan 78% wanita menyebut teman hidup mereka sebagai orang yang “terdekat” dengan mereka (dalam Budyatna&Ganiem,2011: 165).

Meskipun adanya kesamaan mengenai kebutuhan-kebutuhan yang nyata dalam mitra perkawinan, tidak ada cara perkawinan ideal yang tunggal. Mary Anne Fitzpatrick ilmuwan bidang perkawinan, telah mengidentifikasi karakteristik-karakteristik atau dimensi-dimensi yang mengidentifikasikan tipe-tipe pasangan yang berbeda. Pasangan-pasangan perkawinan dapat dibedakan atas dasar mengenai “ketidaktergantungan” mereka pada tingkat di mana mereka berbagi perasaan terhadap satu sama lain. Ada pasangan-pasangan yang tingkat saling ketergantungannya tinggi, bergantung kepada teman hidupnya untuk mendapatkan kenyamanan, pernyataan cinta, dan kegembiaraan. Pasangan-pasangan perkawinan lainnya bersifat pendiam, dan tidak bergantung kepada teman hidupnya untuk saling berbagi emosi dan dukungan. Dimensi yang kedua di mana pasangan perkawinan dapat dibedakan berdasarkan ideologi mereka. Ideologi merupakan keadaan di mana para mitra menganut sistem keyakinan tradisional dan nilai-nilai terutama mengenai perkawinan dan peran seks, atau menganut keyakinan nontradisional dan nilai-nilai yang toleran terhadap perubahan dan ketidakpastian dalam hubungan. Dimensi yang ketiga semula dinamakan “penghindaran konflik” atau conflict avoidance tetapi sekarang dinamakan “komunikasi” atau communication.

Menggunakan dimensi-dimensi tersebut di atas, Fitzpatrick menjelaskan tiga tipe dasar mengenai hubungan pasangan perkawinan yang langgeng yang dinamakan sebagai tradisional, bebas, dan tersendiri (Fitzpatrick,1988:78-79).

1) Pasangan perkawinan tradisional, memiliki ideologi tradisional, tetapi mempertahankan beberapa kebebasan dalam perkawinan mereka. Nilai-nilai mereka lebih mengutamakan kepada stabilitas daripada spontanitas. Mereka menganut adat istiadat tradisional: wanita menggunakan nama keluarga suaminya. Hubungan-hubungan tradisional menunjukkan saling ketergantungan yang sangat kua, ditandai oleh rasa bersama dan perkawinan tingkat tinggi dan mereka lebih suka terlibat dalam konflik daripada menghindar dari konflik.

2) Pasangan perkawinan yang bebas, berbagi ideologi yang mencakup perubahan dan ketidakpastian dalam hubungan perkawinan tetapi, seperti pasangan perkawinan tradisional mereka merasakan adanya saling ketergantungan dan lebih suka mengatasi perbedaan-perbedaan dengan melibatkan diri dalam konflik dari pada menghindarinya. Mereka lebih banyak menganut nilai-nilai nonkonvensional. Pasangan yang termasuk tipe


(2)

ini yakin bahwa hubungan tidak harus mengganggu kebebasan teman hidupnya. Teman hidup yang bebas mempertahankan atau memelihara ruang-ruang fisik secara terpisah dan adakalanya dirasakan sulit untuk mempertahankan atau memelihara jadwal harian secara teratur.

3) Pasangan perkawinan yang tersendiri, dicirikan oleh ideologi tradisional dianut secara bersama, tetapi berbeda dari dua kelompok sebelumnya pasangan ini kurang terlibat dalam berbagai emosional dan oleh karena itu kurang adanya saling ketergantungan. Sebagai tambahan, pasangan perkawinan yang tersendiri cenderung untuk menghindari konflik. Dalam masalah-masalah perkawinan dan keluarga sifatnya konvensional, tetapi seperti pasangan perkawinan yang bebas mereka menekankan pentingnya kebebasan individual. Mereka kurang sekali memiliki persahabatan dan kebersamaan dalam perkawinan mereka dibandingkan dengan perkawinan yang tradisional dan bebas. Pasangan perkawinan ini menunjukkan adanya saling ketergantungan dengan memelihara jadwal harian secara teratur.

Beragam skema akan menciptakan tipe-tipe keluarga yang berbeda. Fitzpatrick dan koleganya telah mengenali empat tipe keluarga (LittleJohn, 2009 : 289):

1. Tipe keluarga konsensual, tipe keluarga ini memiliki tingkat percakapan dan kesesuaian yang tinggi. Keluarga konsensual sering berbicara tetapi pemimpin keluarga biasanya salah satu orang tua membuat keputusan. Keluarga ini mengalami tekanan dalam menghargai komunikasi yang terbuka, sementara mereka juga menginginkan kekuasaan orang tua yang jelas. Para orang tua biasanya menjadi pendengar yang baik bagi anak-anak mereka, tetapi mengambil keputusan dan selanjutnya menjelaskannya kepada anak-anak sebagai usaha untuk membantu mereka memahami pemikiran di balik keputusan tersebut. Orang tua dalam keluarga konsensual cenderung memiliki orientasi pernikahan yang tradisional. Ini berarti mereka akan lebih konvensional dalam memandang pernikahan serta lebih menempatkan nilai pada stabilitas dan kepastian dalam hubungan peran dari pada keragaman dan spontanitas. Mereka memiliki ketergantungan yang kuat dan memiliki banyak teman. Walaupun mereka tidak bersifat tegas dalam pertentangan, mereka tidak menghindari konflik.

2. Tipe keluarga pluralitas, tipe keluarga ini tinggi dalam percakapan tetapi rendah dalam kesesuaian, disini akan memiliki kebebasan berbicara tetapi pada akhirnya setiap orang akan membuat keputusan sendiri berdasarkan pada pembicaraan tersebut. Orientasi pernikahannya mandiri. Pernikahan mandiri juga ekspresif mereka saling merespon terhadap isyarat masing-masing dan biasanya saling memahami dengan baik dan menghargai komunikasi yang terbuka.

3. Tipe keluarga protektif, tipe keluarga ini cenderung rendah dalam percakapan tetapi tinggi dalam kesesuaian akan ada banyak kepatuhan tetapi sedikit komunikasi, mereka juga tidak memberikan penjelasan kepada anak-anak tentang apa yang mereka putuskan, orang tua tipe ini cenderung digolongkan sebagai orang tua tak terpisah. Mereka nampaknya saling bertentangan dalam peran dan hubungan mereka. Orientasi pernikahannya konvensional.

4. Tipe keluarga laisssez-faire atau toleran, tipe keluarga ini rendah dan percakapan dan kesesuaian, tidak suka ikut campur dan keterlibatan yang rendah. Anggota keluarga sangat tidak peduli dengan yang dilakukan oleh anggota keluarga yang lain dan mereka benar-benar tidak mau membuang waktu untuk membicarakannya. Mereka mungkin kombinasi dari orang tua yang mandiri dan terpisah atau kombinasi yang lain.


(3)

Hasil penelitian telah menemukan ada tiga karakteristik umum mengenai pasangan perkawinan yang telah berlangsung dan bertahan lebih dari lima puluh tahun (Dickson,1995).

Karakteristik yang pertama, adanya saling menghormati atau mutual respect, memperlakukan terhadap satu sama lain dengan saling menghargai. Singkatnya, perkawinan yang langgeng merupakan produk dari saling menghargai satu sama lain untuk apa dan siapa mereka.

Karakteristik yang kedua, ialah tingkat kedekatan yang nyaman atau comfortable level of closeness-menghabiskan sejumlah waktu yang tepat dengan teman hidupnya. Ini tidak berarti bahwa mitra yang langgeng selalu berdua sepanjang waktu. Sedangkan ada mitra yang menginginkan kedekatan yang terus-menerus, lainnya akan merasa bahagia dengan kedekatan yang secara relatif rendah. Tetapi hal yang menentukan ialah bahwa kedua mitra memahami satu sama lain secara berkelanjutan. Kenyataannya ialah banyak pasangan perkawinan tumbuh secara terpisah dari waktu ke waktu yakni mereka berhenti mencari teman mereka masing-masing atau setuju memilih teman dari orang yang berbeda. Karakteristik yang ketiga, ialah kehadiran sebuah rencana atau bayangan hidup. Adakalanya hal ini dijalani dengan sadar. Pada saat lain terjadi begitu saja. Tetapi hal yang jelas bahwa kedua mitra setuju untuk tujuan jangka panjang mereka dan tentu saja bahwa kedua mitra itu melihat satu sama lain berada dalam rencana jangka panjang itu. Mereka selalu berbicara dengan kata “kita” bukan “saya” (dalam Budyatna&Ganiem,2011:168-167).

2.2.7.1 Pola-pola Hubungan Interaksi

Hubungan bukanlah entitas statis yang tidak pernah berubah, kita terus mengubah apa yang kita lakukan dan apa yang kita katakan berdasarkan reaksi orang lain dan seiring waktu hubungan tersebut berjalan. Para akademis komunikasi yang melakukan penelitian tentang teori ini dikenal dengan sebutan Palo Alto Group. Teori ini menjelaskan tentang hubungan-hubungan yang timbul setelah kita melakukan interaksi, jika kita menerima suatu pesan maka pada saat bersamaan kita juga akan memperoleh pesan hubungan yang berkaitan dari pesan tersebut. Sebagai contoh jika dosen mengatakan bahwa dalam waktu dekat ini kita akan mengadakan ujian, maka pesan hubungan yang dibangun dapat ia ucapkan seperti : “ saya ingin peningkatan nilai kalian dari ujian sebelumnya maka bacalah materi-materi yang sudah saya beri”.

Ada dua tipe pola yang penting bagi Palo Alto Group untuk menggambarkan gagasan ini. Jika dua orang saling merespon dengan cara yang sama, mereka dikatakan terlibat dalam sebuah


(4)

hubungan simetris (symmetrical relationship), pertentangan kekuasaan tepatnya seperti ini : Salah satu lawan bicara menonjolkan kendali; yang lain menanggapinya dengan memaksakan kendali juga. Orang pertama merespon lagi dengan cara yang sama, sehingga terjadilah pertentangan. Namun, hubungan simetris tidak selalu berupa pertentangan kekuasaan. Kedua pelaku dapat saja memberi tanggapan pasif, tanggapan balasan, atau malah keduanya bersikap saling menjaga.

Tipe hubungan yang kedua adalah pelengkapan (complementary). Dalam hubungan ini, pelaku komunikasi merespon dengan cara yang berlawanan. Ketika seseorang bersifat mendominasi, yang lain mematuhinya; ketika seseorang bersifat argumentatif yang lainnya diam; ketika seseorang menjaga, yang lainnya menerima (LittleJohn, 2009 : 286).

L. Edna dan Rogers menunjukkan bagaimana sebuah kendali hubungan merupakan sebuah proses sibernatika. Kendali dari sebuah hubungan tidak hanya bergantung pada tindakan satu orang melainkan melihat pola-pola perilaku lawan bicara. Kendali hubungan terdiri dari tiga jenis respon, yaitu :

1. One Down : Merespon dengan cara menerima

2. One Up : Merespon dengan cara menyanggah atau menolak dan membuat pernyataan balasan.

3. One Across : Merespon dengan menerima atau menolak kendali orang pertama dan memberi tanggapan tanpa mengakui kendali lainnya.

2.2.8 Perbedaan-Perbedaan Gender Dalam Keakraban

Penelitian yang dilakukan melanjutkan dukungan mengenai pandangan bahwa hubungan-hubungan pria ditentukan dalam arti mengenai aktivitas bersama dan wanita dalam arti berbagi pikiran dan perasaan (Reis,1988). Demikian pula pandangan pria mengenai keakraban agaknya agaknya berhubungan dengan kedekatan fisik. Jadi, bagi pria keakraban didasarkan pada aktivias bersama dalam hubungan pria dan seksualitas dalam hubungan pria wanita. Sebaliknya, keakraban wanita didasarkan pada berbicara dan kasih sayang, baik kepada teman wanita maupun pria (Reis,1988). Kecuali adanya perbedaan-perbedaan yang jelas dalam perilaku, Reis lebih lanjut mengatakan baik pria maupun wanita mengartikan keakraban dengan menggunakan kata yang sama, keramahtamahan, pengungkapan perasaan pribadi, dan aktivitas bersama (Budyatna&Ganiem,2011:163).


(5)

2.2.8.1 Hubungan Pria Wanita

Oleh karena pria dan wanita cenderung berusaha mendapatkan keakraban hubungan melalui cara-cara yang berbeda, maka cara-cara tersebut menjadi penting bagi gaya masing-masing, dan frustasi dapat terjadi dalam hubungan beda gender. Wanita sering kali mengkritik pria karena kurang mampu mengekspresikan perasaan mereka. Pria perlu mengerti bahwa bagi wanita keakraban diartikan sebagai berbagi informasi, perasaan, rahasia, dan pengertian melalui semacam pernyataan-pernyataan pengungkapan diri seperti “Hubungan kita benar-benar penting bagi saya. Hidup saya bagaikan hampa tanpa Anda”.

Di masa lalu, masyarakat Amerika Serikat preferensi feminine bagi pengungkapan verbal sebagai ukuran keakraban, sekarang ini perhatian telah lebih diarahkan pada kecenderungan pria terhadap aktivitas instrumental sama pentingnya dalam menentukan keakraban (Wood&Inman,1993). Ada yang mengatakan bahwa gaya ekspresif wanita dan gaya instrumental merupakan pendektan yang saling melengkapi dapat bekerja sama dengan baik (Budyatna&Ganiem,2011:164).

2.3 Model Teoritik

Dalam penelitian ini, penelitian membuat model teoritik dengan memahami keterkaitan antara beberapa teori, yaitu pengolahan informasi dalam teori komunikasi antarpribadi, teori penetrasi sosial, self disclosure, Johari Windows, teori pelanggaran harapan, dan perkawinan. Keterkaitan antar teori ini menjadi rangkaian yang berkesinambungan, berikut model teoritik yang peneliti gambarkan untuk menjelaskan keterkaitan antar teori yang menjadi rangkaian berkesinambungan tersebut :

Gambar 1.

Bagan Model Teoritik Penelitian Komunikasi Antarpribadi Pada Pasangan Suami Istri Yang Menikah Tanpa Pacaran


(6)

Komunikasi Antarpribadi Teori Penetrasi Sosial

Self Disclosure Teori Pelanggaran

Harapan Perkawinan Pola Hubungan

Interaksi Perbedaan Gender Dalam Keakraban Hubungan Pria Wanita

Pasangan Suami Istri

- Komunikasi antarpribadi pada pasangan suami istri yang menikah tanpa pacaran.

- Perkembangan hubungan suami istri yang menikah tanpa pacaran.