T2 092013003 BAB VIII

D ela pa n
Perilaku Lingkungan Orang
Mbatakapidu

W ilayah M batakapidu merupakan salah kawasan konservasi di
kawasan kecamatan Kota W aingapu. Hal ini dikarenakan M batakapidu
merupakan daerah sumber mata air yang digunakan sebagai sumber air
bersih bagi masyarakat di kecamatan Kota W aingapu dan Kambera.
Pengalokasian air bersih ini dikelola oleh PDAM matawai amahu dan
juga dikelola oleh salah satu perusahaan (PT. Aguamor) yang
memproduksi air minum dalam kemasan. Di sisi lain, keberadaan
padang rumput savana di M batakapidu menjadi perhatian seluruh
orang M batakapidu dan pemerintah dalam mensikapi kejadian
kebakaran padang yang selama ini terjadi di M batakapidu.

M enjaga Rumah Air Kehidupan
Lokasi mata air yang berada di kampung Kullu merupakan salah
satu kawasan konservasi. Lokasi inilah yang mengalirkan air kehidupan
bagi masyarakat di kecamatan Kota W aingapu dan Kembera. Di lokasi
ini terdapat banyak pohon-pohon umur panjang yang berdiri tegak dan
semakin membuat lokasi ini menjadi rindang. Sejak jaman dahulu

lokasi ini dikeramatkan oleh masyarakat karena masyarakat lokal
percaya bahwa di setiap lokasi mata air dijaga oleh roh para leluhur.
Inilah yang membuat orang M batakapidu selalu menjaga lokasi mata
air dari tindakan penebangan pohon, penggunaan bahan kimia untuk
membunuh ikan, udang, kepiting dan belut.

119

Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2011.

Gambar 29. Peneliti bersama Beberapa W arga di Lokasi Mata Air di Kampung
Kullu

Terkait dengan hal ini, bapak Yacob Tanda1 menyebut:
“Kedekatan antara orang Mbatakapidu dan alam khususnya
hutan sangat tinggi. Di lokasi mata air Kullu ada pantangan
untuk memotong pohon maupun mengambil kayu bakar. Ini
merupakan nilai-nilai yang diwariskan oleh leluhur kami.
Jika pohon-pohon di sekitar mata air dipotong secara
membabi-buta maka akan mengakibatkan debit air di mata

air Kullu akan semakin berkurang. Hal ini disebabkan karena
pohon-pohon yang sejatinya harus mengikat air tanah sudah
semakin berkurang. Tentu akan memberikan ekternalitas
negatif terhadap pemenuhan akan kebutuhan air bersih.
Kedekatan orang Mbatakapidu dengan alam bukan membuat
mereka semakin tergantung dengan alam melainkan
membuat mereka semakin bersahabat dengan alam”.

Senada dengan penuturan bapak Yacob Tanda, maka Kalikit
Landjamara2 juga menyebut:

1
2

Wawancara tanggal 09 September 2014
Wawancara tanggal 10 September 2014

120

“Saya menjadi penjaga mata air Kullu mulai tahun 1999-2014

(kurang lebih 14 tahun). Saya digaji oleh PDAM matawai
amahu sebesar Rp 1.250.000,-. Sejak masa kecil dan sampai
saya dipercayakan menjadi penjaga lokasi mata air ini dan
tidak pernah ada orang Mbatakapidu yang berani mengambil
kayu bakar dan memotong pohon di lokasi mata air. Hal ini
disebabkan adanya nilai dan norma yang diyakini oleh orang
Mbatakapidu untuk tidak sembarangan mengganggu
keseimbangan ekologi di lokasi mata air”.

Hal ini kemudian dipertegas oleh bapak Alexander Viktor Umbu
Retangu3 yang menyebut:
“Karena memegang teguh nilai dan norma maka membuat
kami orang Mbatakapidu tidak berani untuk menebang
pohon dan memungut kayu bakar di kawasan mata air.
Tentunya hal ini membuat ekologi di sekitar kawasan mata
air menjadi tetap seimbang”.

Dari penuturan bapak Yacob Tanda, Kalikit Landjamara dan
Alexander Viktor Umbu Retangu tergambar bahwa penghargaan orang
M batakapidu terhadap alam membuat mereka semakin bersahabat

dengan alam. Inilah yang membuat lokasi mata air di kampung Kullu
tetap aman dari gangguan orang-orang yang tidak bertanggung jawab.
Artinya ada kesadaran secara komunal dari orang M batakapidu untuk
menjaga ciptaan Tuhan.
Dalam mengusahakan hutan untuk kebutuhan papan, orang
M batakapidu tidak menggunakan pepohonan yang ada di sekitar lokasi
mata air. M elainkan memanfaatkan pepohonan yang berada dilokasi
tertentu dengan menjalankan aturan adat. Terkait dengan hal ini,
bapak Yacob Tanda4 menyebut:
“Jika hendak memotong kayu maka harus dilakukan
hamayangu terlebih dahulu. Ini dilakukan untuk meminta
ijin atau permisi terhadap penghuni hutan.Setelah itu baru
dimulai proses pemotongan kayu. Kayu yang dipotong juga
tidak sembarangan atau ada kayu tertentu yang disarankan
3
4

Wawancara tanggal 08 Oktober 2014
Wawancara tanggal 09 September 2014


121

oleh para tokoh adat. Setelah selesai memotong kayu maka di
atas batang pohon harus diletakkan batu. Hal ini dilakukan
dengan keyakinan bahwa setelah kita memotong kayu
tersebut maka akan ada tunggul atau tunas baru yang
tumbuh. Inilah salah satu bentuk penghargaan orang
Mbatakapidu tehadap alam”.

Senada dengan hal ini, bapak Kalikit Landjamara5 menyebut:
“Saat mau potong kayu di hutan maka harus minta kepada
pemilik. Sama halnya kalau mau masuk rumah harus ketuk
pintu, sehingga kita harus melakukan hamayangu terlebih
dahulu. Setelah dipotong, maka di atas bekas sensor (chain
saw) harus diletakkan batu agar bisa tumbuh tunas baru”.

Bapak Umbu Ngguti Nggandung6 juga menyebut:
“Kalau ambil kayu di hutan maka harus hamayangu artinya
harus minta di tuan tanah. Jika potong sembarang maka kita
bisa sakit. Tepat di atas bekas tebasan katu harus diletakkan

batu agar nantinya dapat tumbuh tunas yang baru. Inilah
nilai budaya yang harus kita lestarikan untuk menjaga
keberlanjutan lingkungan”.

Dari penuturan bapak Yacob Tanda, Kalikit Landjamara,
Alexander Viktor Umbu Retangu dan Umbu Ngguti Nggandung
tergambar bahwa ada ketaatan dari orang M batakapidu untuk tidak
secara sembarang dalam mengusahakan alam tepatnya dalam menjaga
mata air dan menggunakan hasil hutan. Hal inilah yang membuat
Schumacher (1979) berpandangan bahwa dengan menjunjung tinggi
kearifan berarti maka akan memicu terciptanya kelestarian. Kearifan
memungkinkan kita untuk tidak mengejar kepentingan-kepentingan
material dan lebih kenderung untuk mengejar tujuan spiritual. Nilai
moral dan spiritual bagaikan rambu lalu-lintas yang mampu mereduksi
sifat serakah (greed) yang bisa menghancurkan manusia itu sendiri.
Apabila manusia terus menuruti keserakahannya dan memandang
5
6

Wawancara tanggal 10 September 2014

FGD tanggal 12 September 2014

122

bahwa alam memang diciptakan untuk dikuasai maka alam akan terus
mengalami degradasi dan sangat sulit untuk dilakukan recovery.
M anusia yang merasa telah menguasai alam dan menimbulkan
kerusakan berarti secara tidak sadar menghancurkan diri sendiri
karena manusia itu merupakan bagian dari alam.

Sang Penjaga Air Kehidupan
Keberadaan mata air tidak terlepas dari adanya sang penjaga.
Orang M batakapidu meyakini bahwa di lokasi mata air bersemayam
roh para leluhur. Sang leluhur menjaga mata air tersebut dari upaya
destruksi yang dilakukan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab.
Terkadang oknum yang bertindak di luar norma dan laranggan atau
pantangan bisa sakit atau sampai berujung pada kematian. Terkait
dengan hal ini bapak Kalikit Landjamara7 menyebut:
“Pada bulan Juli 2014 ada seorang pekerja bak di mata air
Kullu yang mati mendadak. Hal ini disinyalir bahwa beliau

telah melakukan hal yang tidak benar di lokasi mata air.
Sebelum menghembuskan nafas terakhir, almarhum sempat
memberi tahu kalau dia pernah menagkap belut satu hari
sebelumnya. Saat itu kondisinya sangat lemah, sehingga
harus dibawa ke rumah sakit. Oleh karena itu, sang pengawas
berinisiasi untuk mengantarnya ke rumah sakit dengan
menggunakan motor. Saat dalam perjalanan tepatnya di
daerah pala kanjillu, orang itu semakin tidak sadarkan diri.
Sang pengawas menjadi panik dan menurunkan dia bersama
temannya di daerah tersebut dan langsung meluncur ke toko
Nusantara untuk meminta bantuan mobil. Sesampainya di
toko, sang pengawas tidak mendapatkan mobil, sehingga
pengawas dengan tergesa-gesa pergi ke mako Brimob agar
dapat mengangkut rekannya untuk di bawa ke RSUD Umbu
Rara Meha. Saya sendiri marasa kaget karena sehari sebelum
beliau wafat, beliau dan seorang temannya datang minta
lombok di kebun belakang rumah. Mereka mendapatkan satu
kabba (tempurung kelapa yang dijadikan sebaggai mangkuk)
besar dan setelah itu mereka langsung pamit pulang ke
kemah di lokasi mata air. Sebelumnya saya telah memberi

saran kepada sang kontraktor untuk melakukan ritus
hamayangu sebelum mengerjakan bak tersebut, namun pihak
7

Wawancara tanggal 10 September 2014

123

kontraktor malah mengabaikannya. Saya sangat yakin bahwa
inilah yang mengakibatkan peristiwa tragis tersebut terjadi”.

Senada dengan penuturan bapak Kalikit Landjamara, maka
M baha Huru Landja8 juga menyebut:
“Lokasi mata air di kampung Manu Rara menyimpan
pengalaman mistis. Di tempat ini sangat dikeramatkan. Inilah
yang membuat lokasi ini tetap terjaga dari upaya eksploitasi
dari orang-orang yang tidak bertanggungjawab. Dulu ada
orang Sabu dari Padadita datang untuk tembak kelelawar di
lokasi mata air. Anehnya orang ini tetap nekad untuk masuk
kawasan mata air, padahal kami sudah memberi peringatan

kepadanya. Ketika sedang menembak beliau bertemu dengan
seorang bapak dan anak yang lagi berdiri dekat lokasi mata
air. Namun, tidak berbicara sedikitpun. Setelah selesai
menembak, orang Sabu ini langsung menanyakan dan
memberi tahu ciri-ciri kedua orang tersebut dan saya katakan
bahwa kedua orang tersebut merupakan jenasah yang baru
dikubur seminggu yang lalu di Manu Rara. Orang Sabu itu
sangat kaget dan ketakutan ketika mendengarnya. Mulai
waktu itu dan sampai sekarang orang Sabu itu tidak pernah
datang ke kampung ini tepatnya di mata air untuk berburu
kelelawar”.

Dari penuturan bapak Kalikit Landjamara dan M baha Huru
Landja tergambar bahwa adanya keyakinan dari orang M batakapidu
akan adanya roh yang mendiami suatu lokasi, sehingga di sini
membuat orang-orang menjadi segan untuk bertindak secara
sembarangan. Hal ini sejalan dengan pandangan Taylor (dalam
Hadiwijono, 2009 : 3) yang dalam tulisannya yang berjudul Primitive
Culture menyebut dalam konteks indigenous people terdapat
kepercayaan mengenai adanya roh-roh dan makhluk-makhluk halus

yang mendiami seluruh alam semesta ini. Hal ini kemudian dipertegas
oleh pandangan Keraf (2002) yang menyebut kearifan lokal sebagai
semua bentuk pengetahuan, keyakinan, pemahaman atau wawasan
serta adat kebiasaan atau etika yang menuntun perilaku manusia dalam
kehidupan di dalam komunitas ekologis
8

Wawancara tanggal 11 September 2014

124

Antara Nilai dan Perilaku M enyimpang Oknum
Kejadian kebakaran padang di M batakapidu merupakan hal yang
lumrah setiap tahunnya. Pemandangan ini akan terlihat dengan jelas
saat musim kemarau. Pertanyaannya apakah ini memang merupakan
anjuran dari nilai yang dianut oleh orang M batakapidu? Ataukah ini
merupakan perbuatan oknum yang tidak bertanggungjawab? Terkait
dengan hal ini, bapak Yacob Tanda9 menyebut:
“Khusus kami di desa Mbatakapidu tidak pernah ada nilainilai lokal yang menganjurkan dan membimbing masyarakat
untuk membakar padang. Kalau memang ini akibat budaya
leluhur maka harus ada ritual untuk membakar padang.
Justru karena kedekatanya dengan lingkungan menjadi ciri
khas nilai-nilai leluhur. Kebakaran padang yang selama ini
terjadi akibat ulah oknum yang tidak bertanggungjawab.
Contoh: ada seorang pengembala ternak yang ingin
ternaknya mendapatkan rumput mapu (rumba mappu) yang
hijau pada musim kemarau maka dia harus membakar padang
dan terkadang juga ada oknum yang membuang puntung
rokok di tengah padang. Akibat ulahnya ini membuat api
menjalar membakar sebagian besar padang dan merambat
sampai ke hutan. Berbeda ketika orang hendak membakar
hasil tebasan, di mana mereka harus membakarnya pada awal
musim penghujan, sehingga dengan sendirinya hujan akan
memadamkan api tersebut dan tidak menjalar sampai ke
padang maupun hutan”.

Dari penuturan bapak Yacob Tanda tergambar bahwa
pembakaran padang yang selama ini terjadi di M batakapidu adalah
murni karena ulah oknum dan bukan dianjurkan oleh nilai-nilai lokal.
Ulah oknum cenderung menimbulkan eksternalitas negatif, sedangkan
perilaku budaya seperti membakar tebasan sesuai dengan ketentuan
adat akan menghasilkan eksternalitas yang positif.
Akibat dari perbuatan oknum yang selama ini merusak alam
khususnya padang membuat tanah menjadi rusak (hilang
kesuburannya) dan ternak orang M batakapidu mengalami luka di

9

Wawancara tanggal 09 September 2014

125

sekujur mulut yang berujung pada kematian. Hal ini dibenarkan oleh
bapak M baha Huru Landja10 yang menyebut:
“Kalau kami tidak sembarangan bakar padang. Kami
menghormati nilai-nilai budaya untuk menjaga alam. Ini
biasa dilakukan oleh orang yang tidak bertanggungjawab.
Akibatnya, tanah menjadi rusak dan ketika kuda makan
rumput maka bisa bengkak mulutnya (mbbua nguara) karena
kuda tersebut mengkonsumsi kanjirru mappu (batang
rumput mapu yang masih berdiri tegak dan tajam)”.

Dari penuturan bapak M baha Huru Landja tergambar bahwa
masyarakat di kampung M anu Rara sangat sensitif dengan tindakan
membakar padang. Apalagi yang sampai membuat tanah menjadi rusak
dan ternak terluka. Hal ini terjadi karena mereka diikat oleh nilai dan
norma yang mereka yakini. Kegiatan yang berhubungan dengan bakarmembakar hanya akan dilakukan pada bulan Oktober atau November
ketika hujan telah turun. Di mana warga akan melakukan kegiatan
membersihkan kebun lalu membakar residunya. Hal ini dilakukan agar
tetap menjaga keseburan tanah.
Pembakaran padang yang dilakukan oleh oknum ini ternyata
ditenggarai oleh adanya unsur kesengajaan dan pengaruh kecemburuan
sosial. Hal ini dibenarkan oleh bapak Alexander Viktor Umbu
Retangu11 yang menyebut:
“Seseorang (oknum) membakar padang karena adanya
kecemburuan sosial. Artinya seseorang membakar padang
agar ternak milik sesamanya bisa kekurangan pakan. Ini
semua merupakan perilaku menyimpang dari oknum dan
bukan merupakan anjuran dari nilai-nilai yang dianut orang
Mbatakapidu.
Orang (oknum)
sengaja melakukan
pembakaran padang biasanya karena dia tidak memiliki
ternak dan tidak mampu mencuri ternak milik sesamanya,
sehingga jalan pintas seperti membakar padang dianggap
pantas. Kami orang Mbatakapidu memegang teguh petuah
leluhur yang menyebut namma mbaddi lima, tunnu padangu
dangu namma uli eti djaka na laku la omangu na yappa ya
kataru, na laku la luku na huaba ya wuya (yang suka
10
11

Wawancara tanggal 17 September 2014
Wawancara tanggal 08 Oktober 2014

126

mencuri, bakar padang dan tinggi hati jika dia pergi ke hutan
akan digigit oleh ular dan kalau dia pergi ke sungai akan
ditelan oleh buaya)”.

Dari penuturan bapak Alexander Viktor Umbu Retangu
tergambar bahwa kecemburuan sosial telah membuat seseorang
bertindak di luar nilai dan norma, sedangkan nilai dan norma yang
dianut orang oleh orang M batakapidu mengatur agar tidak merusak
alam khususnya padang tempat penggembalaan ternak.
Terkadang juga akibat faktor malas dari seseorang oknum
membuat padang menjadi terbakar. Hal ini dibenarkan oleh bapak
Hina Kapu Enda12 yang menyebut:
“Ada orang Mbatakapidu (oknum) yang ketika pulang dari
paranggangu (pasar tradisional) di desa Pambotandjara
membawa banyak barang bawaan di atas kuda. Oleh karena
bebanya terlalu berat maka di tengah perjalanan orang
tersebut menurunkan sebagian barangnya dan karena tidak
ada pilihan lain dia membakar sebagian barang tersebut di
tengah padang. Hal ini yang menyebabkan padang menjadi
terbakar dan menjalar sampai ke hutan. Inilah ulah dari
manusia yang tidak bertanggungjawab. Nilai dan norma yang
diajarkan oleh leluhur orang Mbatakapidu sangat
bertentangan dengan tindakan oknum tersebut”.

Dari penuturan bapak Hina Kapu Enda tergambar bahwa sikap
malas dari seorang oknum mampu mengakibatkan suatu padang
penggembalaan dan hutan bisa terbakar. Hal ini terjadi karena dalam
diri oknum tersebut sudah tidak ditanamkannya lagi nilai dan norma
yang sejatinya menjadi menjadi self control agar tidak melakukan
perilaku menyimpang.
Dari penuturan bapak Yacob Tanda, M baha Huru Landja,
Alexander Viktor Umbu Retangu dan Hina Kapu Enda dapat tergambar
bahwa kebakaran padang yang selama ini terjadi murni karena ulah
oknum dan bukan anjuran nilai dan norma yang diyakini oleh orang
12

Wawancara tanggal 21 September 2014

127

M batakapidu. Hal ini sejalan dengan pandangan Schumacher (1979)
yang menyebut keserakahan, iri hati dan perilaku menyimpang lainnya
membuat manusia cenderung mengabaikan kearifan lokal (local
wisdom).

Kesimpulan
Kepercayaan orang M batakapidu bahwa di lokasi mata air dan
hutan terdapat roh yang mendiaminya merupakan suatu bentuk local
wisdom yang membuat mereka segan dan sensitif untuk melakukan
tindakan yang sejatinya destruktif bagi eksistensi mata air dan hutan.
Hal inilah yang membuat orang M batakapidu menjadikan alam sebagai
sahabat, bukan untuk mengeksploitasinya secara tidak bertanggungjawab, tetapi menjaga keberlanjutan alam dengan pengetahuan lokal
tradisional yang mereka miliki.
Tindakan membakar padang yang selama ini terjadi ternyata
dimobilisasi oleh oknum dan bukan atas anjuran nilai-nilai lokal yang
selama ini diyakini oleh orang M batakapidu. Banalitas (kesalahkaprahan) seperti inilah yang harus diluruskan dan dijadikan sebagai
pendidikan kearifan lokal bagi generasi muda saat ini dan yang akan
datang.

128