T2 092013003 BAB VII
T ujuh
Perilaku Sosial Orang Mbatakapidu
Kehidupan Sosial Orang M batakapidu
Sejak kedatangan penulis pada tahun 2011 silam dan 2014 masih
terlintas dengan jelas di benak akan nilai-nilai gotong royong yang
sangat kental dalam rutinitas orang M batakapidu, baik gotong royong
dengan tetangga, keluarga terdekat, kelompok tani, penyuluh
pertanian lapangan maupun pemerintah desa.
Berikut akan dipaparkan beberapa hal terkait dengan relasi orang
M batakapidu dengan program pemerintah maupun LSM , hubungan
kekerabatan, dinamika organisasi warga dan kelembagaan adat.
Dari Ketergantungan M enuju Kemandirian
Pemerintah mulai masuk dengan bantuannya sejak tahun 1996
lewat program IDT. Di sini pemerintah mengalokasikan dana buat desa
dan pihak desa tinggal melakukan musyawarah terkait dengan
peruntukkan dana tersebut. Dahulu pemerintah sediakan bahan-bahan
(pengadaannya oleh pemerintah), sedangkan usulan berasal dari
masyarakat desa M batakapidu. M ulai tahun 2000-an sampai saat ini
desa M batakapidu banyak bekerja sama dengan instansi terkait dan
LSM seperti GTZ, W VI, BP4K, YPM , PNPM M andiri dan lembaga
lainnya yang tidak bisa disebutkan satu per satu.
Terkait dengan hal ini, bapak Antonius Umbu Ndai 1 menyebut:
“Pada periode tahun 2001-2002 masuk bantuan beras dari
W VI dan GTZ. Satu kepala keluarga mendapatkan beras 50
Kg dari W VI, sedangkan bantuan dari GTZ diberikan saat
kami kerjakan bendungan di Kalihi. Setiap bulan kami terima
1
W awancara tanggal 14 September 2014
103
beras dari GTZ dan disertai juga dengan bantuan dari W VI.
Akibatnya banyak orang yang tidak kerja kebun lagi.
Bantuan ini membuat warga semakin bergantung kepada
bantuan LSM. Ekstrimnya yaitu jagung yang ada di lumbung
langsung diberikan untuk babi. Jika dalam satu rumah tangga
terdapat 2 atau 3 kepala keluarga maka asumsinya mereka
akan mendapatkan mendapatkan beras yang banyak. Oleh
karena dimanja oleh LSM maka banyak orang yang tidak
mau kerja, sehingga kebun-kebun banyak ditumbuhi kayu
kopi dan gamal dan warga semakin malas untuk
mengolahnya. Akhirnya mulai tahun 2009 hampir semua
kebun warga sudah menjadi hutan lantoro gum dan gamal,
tentu ini membuang tenaga. Di sini mereka bangga karena
lagi miliki banyak beras, tetapi kebun diabaikan. Sampai ada
warga yang menyebut lebih baik batu yang digunakan untuk
titi jagung (watu pianangu dan kalambaru) dibuang saja.
Namun setelah beras tersebut telah habis maka warga mulai
merasa kelaparan dan warga mulai beramai-ramai bersihkan
kebun mereka”.
Dari penuturan bapak Antonius Umbu Ndai tergambar bahwa
dalam periode tersebut masyarakat terlalu terlena dengan bantuan
yang datang, sehingga mereka menjadi malas dan lupa akan tanggung
jawab utama mereka untuk mengolah lahan. Hal inilah yang
seharusnya menjadi bahan perenungan bagi orang M batakapidu untuk
belajar dari pengalaman-pengalaman masa silam, sehingga bapak
Bimbu W ohangara2 menyebut:
“Sebaiknya kita sebagai orang Mbatakapidu mulai merenung
untuk sadar diri bahwa saya miskin, percaya diri bahwa saya
mampu, menganggap bantuan dari pihak lain sebagai
pelengkap atau perangsang dan merasa diri mempunyai
modal dasar seperti tenaga, tanah, bibit atau benih dan modal
uang sesuai dengan kemampuan”.
M otivasi pembangunan yang disebutkan oleh informan di atas
membuat orang M batakapidu mulai sadar akan keberadaannya,
2
W awancara tanggal 29 September 2014
104
sehingga M akambombu (2013 : 8 - 9) dan dikonfirmasi lagi oleh bapak
Yacob Tanda3 yang menyebut:
“Setelah program ini (DMPMDS) berjalan selama 1 tahun
hasilnya sudah mulai nampak. Jika pada beberapa tahun
sebelum pada sekitar bulan Desember, Januari dan Februari
ada banyak warga yang datang ke kantor desa untuk
memanfaatkan keberadaan lumbung pangan (beras), tetapi
sejak bulan Desember 2011, Januari dan Februari 2012
hampir jarang masyarakat yang datang untuk meminta
bantuan dari lumbung pangan. Ini merupakan indikator
bahwa saat ini tingkat kecukupan pangan di tengah-tengah
masyarakat sedang berada dalam kondisi aman, sehingga
tidak banyak warga yang datang membeli beras dari lumbung
pangan”.
Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2014.
Gambar 27. Bangunan Lumbung Desa di Mbatakapidu
Dari penuturan bapak Yacob Tanda dan temuan M akambombu
tergambar bahwa tingkat ketergantungan (dependency) orang
M batakapidu sudah semakin menurun. Dengan kata lain, adanya
kesadaran secara komunal yang membuat orang Mbatakapidu sedikit
demi sedikit terlepas dari ketergantungan. Hal ini sejalan dengan
3
W awancara tanggal 09 September 2014
105
pendapat Blomstrom dan Hettne (dalam Budiman, 1995 : 96 - 97)
menyebut pembangunan akan terjadi melalui proses alamiah (internal)
yang memang ada di tengah masyarakat.
Dalam relasinya dengan program pemerintah dan LSM , bapak
Hina Kapu Enda4 menyebut:
“Saat ini jika ada bantuan dari pemerintah daerah maupun
lembaga swadaya masyarakat yang masuk di desa maka kami
selalu mensikapinya secara positif. Tidak ada satupun
kegiatan yang ditolak. Masyarakat terlibat dalam programprogram tersebut. Pihak pemerintah desa berembuk dengan
masyarakat terhadap segala program yang masuk. Apabila
ada bantuan yang masuk maka masih didiskusikan melalui
musyawarah antara pemerintah desa dan segenapelemen
masyarakat, sehingga semuanya menjadi transparan dan
akuntabel. Dengan kata lain, semua kegiatan akan
disesuaikan dengan nilai-nilai yang dianut oleh orang
Mbatakapidu”.
Bapak Bimbu W ohangara5 juga menyebut:
“Hubungan kerja sama antara orang Mbatakapidu, PPL dan
LSM berjalan dengan harmonis. Apabila ada program dari
mereka maka selalu kerja sama dengan pemerintah desa dan
masyarakat. Kalau ada sosialisasi dari mereka maka
pemerintah desa akan secara langsung mengkonfirmasi
masyarakat lewat undangan secara formal maupun informal”.
Dari sisi lembaga supporting,
menyebut:
bapak Ishak Sitaniapessy6
“Kalau aspek ekonomi kami fokus di Gapoktan dengan
melakukan pelatihan, penguatan jaringan, pol-pola jaringan
dan sebagainya. Kalau tenun ikat di Gapoktan sudah sampai
ke Korea Selatan. Saat ada pameran di sana maka lewat
KEHATI membawa kain hasil tenun ke sana lalu laku 10 dan
sisa 2 lembar. Selama ini tidak ada benturan dengan
keberterimaan orang Mbatakapidu, karena saat kembangkan
W awancara tanggal 21 September 2014
W awancara tanggal 14 September 2014
6 W awancara tanggal 24 September 2014
4
5
106
segala sesuatu kami memulainya dengan kearifan lokal dari
orang Mbatakapidu. Artinya justru kami kembangkan nilainilai lokal yang sudah ada misalnya arisan rumah seng dan
pawandangu7. Yang menjadi persoalan sekarang adalah
bagaimana orang Mbatakapidu mampu me-manage waktu.
Persoalan utama adalah dalam hal me-manage waktu untuk
mulai kerja jam 06 pagi dan jam 10 sudah selesai kerja dari
kebun. Kaum ibu-ibu jauh lebih bagus dalam hal
administrasi, seperti pengelolaan dana peruntukkan dana dan
dalam melakukan pawandangu ibu-ibu sangat gesit dalam
mengorganisir anggota masyarakat yang lainnya. Dalam hal
pawandangu, masing-masing telah membawa bekal masingmasing dari rumah ke kebun, sehingga kegiatan gotong
royong ini tidak membutuhkan dana yang sangat besar”.
Hal ini yang kemudian dipertegas oleh ibu Bomba Pihu8 dengan
menyebut:
“Kami lakukan kegiatan pawandangu dengan anggota
kelompok sebanyak 11 orang, di mana kegiatan sudah harus
dimulai dari jam 07 pagi dan berakhir jam 12 siang”.
Dari penuturan bapak Hina Kapu Enda, Bimbu W ohangara,
Ishak Sitaniapessy dan ibu tergambar bahwa seiring dengan
berjalannya waktu, orang M batakapidu mengalami tranformasi dari
ketergantungan menuju kemandirian dan semakin dipertahankannya
nilai komunal seperti seperti gotong royong. Hal ini sejalan dengan
pandangan Gandhi yang menyebut perlunya semangat swadesi
(kemandirian) dalam sebuah proses pembangunan dan juga sejalan
dengan temuan Sugianto (2011 : 260) yang menyebut nilai komunal
gotong-royong yang berasal dari penghayatan spiritual mereka, yang
menjadi dasar pijak masyarakat M ondo dalam melakukan
pembangunan.
7 Kerjasama diantara masyarakat untuk menyelesaikan suatu pekerjaan tertentu seperti
parahu omangu, tanam jagung, panen jagung dan sebagainya
8 W awancara tanggal 22 September 2014
107
M andara: Antara Silaturahmi dan M enjembatani Kebutuhan
M endengar kata mandara mungkin sangat tidak asing dibenak
dan ditelinga orang Sumba khususnya bagi orang M batakapidu.
M andara sudah mulai didengungkan sejak jaman dahulu, tetapi
sebenarnya apa makna yang terkadung dibalik istilah ini? Apakah
hanya untuk mempertemukan kebutuhan ataukah jauh dari pada itu
terkandung nilai-nilai komunal yang bersifat sosial (kekerabatan)?
Oleh karena itu, secara lebih jelas dan detail akan disampaikan oleh
beberapa informan berikut:
Bapak Alexander Victor Umbu Retangu9 menyebut:
“Mandara merupakan nilai-nilai lokal peninggalan leluhur.
Madara mempunyai makna untuk mempererat hubungan
kekerabatan antara keluarga yang satu dengan keluarga yang
saling berjauhan tempat tinggalnya (masih satu klan atau
keluarga dekat). Artinya, ketika sebuah keluarga akan
berkunjung ke rumah keluarganya yang jauh maka mereka
akan membawa semacam pembawaan berupa bahan
makanan maupun barang-barang-barang seperti sarung, kain,
mamuli, lulu amahu dan sebagainya. Ketika hendak pulang
maka sang tuan rumah akan memberikan pembalasan berupa
pemberian berupa bahan makanan dan sebagainya. Ini bukan
karena adanya hubungan sebab akibat, tetapi karena
merupakan sebuah keharusan bagi si tuan rumah.
Konsekuensi logis dari pertemuan keluarga ini semakin
mempererat tali silaturahmi di antara mereka. Namun, saat
ini mandara sudah di salah artikan. Artinya, ada orang
pemalas yang memanfaatkan moment mandara dengan cara
pergi dengan tujuan bertamu di keluarganya yang jauh.
Contoh: mungkin pertama akan diberikan 2 karandi jagung,
tetapi yang kedua pasti tidak akan diberi seperti yang
pertama karena si pemberi akan berkata bahwa orang ini
hanya lontang-lanting atau tidak mau berusaha. Istilahnya
umbu tundu lindingu artinya walaupun hanya sejengkal luas
kebun yang kita miliki maka kita harus berupaya keras untuk
mengolahnya, sehingga kita tidak hidup dengan
pandiamangu (meminta-minta)”.
9
W awancara tanggal 08 Oktober 2014
108
Senada dengan penuturan bapak Alexander Victor Umbu
Retangu, maka Yacob Tanda10 juga menyebut:
“Kami orang Mbatakapidu mengenal konsep mandara.
Mandara sudah secara turun temurun dilakukan oleh orang
Mbatakapidu. Tindakan ini dilakukan untuk mengunjungi
keluarga dan menjembatani kebutuhannya. Saat berkunjung
maka kita akan bawa garam, ru menggitu (pucuk daun
lontar) dan sebagainya, yang kemudian akan dibalas dengan
makanan dan sebagainya. Kalau pergi ke rumah ana kawini
(saudari perempuan) maka kita biasanya membawa kaindan
akan dibalas dengan ternak oleh saudari perempuannya.
W alaupun nilai tukarnya tidak seimbang, tetapi inilah nilainilai lokal yang perlu dilestarikan. Jika padukan dengan
kunjungan kekeluargaan ini masih bisa ditolerir, tetapi kalau
kita mengarah pada sistem individualistis maka tidak akan
nampak nilai kekerabatan. Di sini memang mempertemukan
kebutuhan dengan kebutuhan, tetapi yang paling menonjol
adalah tali silaturahmi (kekerabatan). Dalam konsep mandara
harus dihindari adanya unsur bisnis, sehingga tidak akan ada
unsur perhitungan”.
Hal ini pun dipertegas oleh bapak Umbu Ngguti Nggandung11
dengan menyebut:
“Pada tahun 70-80an dan sampai saat ini kami sering
melakukan mandara. Saya bawa garam sebagai pembawaan
waktu itu ketika saya hendak berkunjung ke rumah keluarga.
Saat saya hendak pulang dari berkunjung, saya diberi jagung
oleh keluarga yang saya kunjungi. Memang kalau mau dinilai
maka tidak akan seimbang antara pembawaan saya bawa
dengan yang saya terima. Namun inilah budaya yang harus
dilestarikan. Yang paling utama dari kunjungan ini
sebenarnya adalah mempererat tali silaturahmi antara
keluarga”.
Dari penuturan bapak Alexander Victor Umbu Retangu, Yacob
Tanda dan Umbu Ngguti Nggandung tergambar bahwa secara agregat
pengejawantahan dari mandara adalah untuk menjembatani hubungan
kekerabatan atau mempererat tali silaturahmi di antara masyarakat
10
11
W awancara tanggal 27 September 2014
FGD tanggal 12 September 2014
109
lokal tradisional, sedangkan sisanya secara parsial untuk menjembatani
kebutuhan. Hal ini sejalan dengan temuan Jacqueline Vel (2010) dalam
penelitiannya di desa Lawonda, yang menyebut dinamika sosial yang
berbasis kekerabatan telah berakar di dalam cara berpikir dan perilaku
budaya yang masih ada sampai sekarang.
Dinamika Organisasi W arga
M akambombu (2013: 13) menyebut pencapaian desa
M batakapidu dalam beberapa tahun terakhir tidak lepas dari dinamika
berbagai kelembagaan desa yang ada saat ini, terutama kelembagaan
desa yang berada di luar struktur pemerintah desa. Peran
kelembagaan-kelembagaan yang ada ini sangat besar pengaruhnya
dalam menggerakkan pembangunan desa, salah satunya adalah
Gapoktan. Kelompok ini merupakan gabungan dari beberapa kurang
lebih 24 kelompok-kelompok tani. Setiap kelompok tani memiliki
keanggotaan sebanyak 10 - 25 anggota, sehingga jumlah keseluruhan
anggota Gapoktan mencapai lebih kurang 466 orang. Aktivitas
kelompok Gapoktan selain fokus pada pertanian namun ada beberapa
kelompok dalam gapoktan yang bergerak dibidang usaha lainnya.
Kelompok ini adalah KW T yang memiliki usaha tenun ikat.
Terkait dengan temuan M akambombu, maka ibu Korlina Konda
Ngguna12 menyebut:
“KW T ini berdiri tanggal 1 Januari 2000. Kami sebenarnya
hanya sub kelompok tenun ikat dari KW T Tappa W alla
Baddi, karena ibu Marlina selaku ketua KW T di desa pindah
ke Alor ikut suaminya, maka KW T tersebut menjadi vaccum
karena krisis kepemimpinan. Melihat kondisi tersebut
membuat kami menjadi induk KW T tersebut. Awalnya kami
melakukan usaha tenun ikat yang terdiri dari 4 orang
anggota. Kebetulan keterampilan saya adalah menenun.
Rata-rata kain dan sarung yang kami jual seharga Rp
1.000.000,- sehingga secara ekonomis sulit dijangkau oleh
pembeli yang notabene daya belinya rendah. Anggota kami
terkadang mengeluh karena seringkali kain ini belum laku
terjual (perputaran uang menjadi sangat rendah). Kalau kain
12
W awancara tanggal 27 September 2014
110
atau sarung yang pakai wanteks (pewarna kimia) cepat laku
terjual di pasaran, karena banyak masyarakat yang akan
membawanya ke acara kematian dan peminangan. Kalau
sarung motif paminni buatta yang ada gambar dan polos
harganya mencapai Rp 800.000,- sedangkan motif patola ratu
yang gambarnya banyak maka harganya Rp 1.000.000,-.
Selang satu tahun kami melakukan aktivitas ini, ternyata ada
ada apresiasi dari ibu-ibu lainnya di mana mereka mau
bergabung menjadi anggota di KW T ini. Oleh karena kita
dapat hasil yang cukup baik maka kami buat kegiatan lagi
seperti simpan pinjam. Kami memiliki 5 macam kegiatan.
Ada bidang pekarangan, pertanian, peternakan kecil dan
arisan tabungan anak. Kalau arisan ini kami mulai lakukan
sejak tahun 2005. Hasil dari kegiatan-kegiatan tersebut kita
tabung untuk masa depan anak. Hampir semua anggota kami
termasuk saya sendiri berpendidikan rendah, sehingga
berangkat dari hal ini maka kami mulai berpikir agar nasib
anak kami ke depan tidan seperti kami para orang tua.
Dengan demikian, anak akami akan dapat mengenyam
pendidikan lewat dukungan dana arisan tersebut. Sekarang
kami sudah 24 orang anggota yang aktif. Ini atas kesadaraan
masing-masing dari anggota. Siapapun yang mau belajar
dengan kami maka kami selalu membuka diri untuk belajar
bersama. Setelah itu kami bentuk UBSP dengan modal 10.000
masing-masing anggota, bunganya 500 per bulan dan sampai
sekarang kegiatan ini semakin berkembang di mana modal
semakin meningkat. Secara agregat yang paling menonjol
dari semua kegiatan di setiap bulan adalah UBSP, karena
penyetorannya cepat dan tidak macet, contohnya dengan
jalan menjual aneka jeni sayuran segar dan sebagainya.
Modal swadaya kami sudah mencapai Rp 26.000.000,-. Pada
tahun 2013 kami dapat penghargaan dari kick andy (Metro
tv) di mana selepas acara tersebut kami diberi dana apresiasi
sebesar Rp 100.0000.000,-. Kemudian kami tampil di acara
tupper ware (Trans 7) dan dapat apresiasi sebesar Rp
20.000.000,-. Kalau mereka datang dokumentasi di kelompok
maka ada dana administrasi sebesar Rp 1.000.000,- sampai Rp
2.000.000,- untuk penguatan kas kelompok. Pada tahun 2010
silam oleh dari pemerintah daerah memberikan kami dana
untuk mengurus pekarangan Rp 16.000.000,- Untuk pangan
lokal sebesar Rp 5.000.000,- Kami juga dapat dana dari
program DMPDS. W aktu itu untuk desa Mbatakapidu dapat
dana sebesar Rp 150.000.000,- dan kami di KW T diberi dana
oleh desa sebesar Rp 50.000.000,- sedangkan sisanya dibagi
kepada 27 kelompok lainnya yang tersebar di 27 RT. Kami
hanya gunakan sekitar Rp 38.000.000,- saja (sesuai dengan
kemampuan kami untuk mengelolanya), sedangkan sisanya
yang Rp 12.000.000,- kami berikan ke kelompok Sinar Kasih
111
karena kelompok ini merupakan kelompok yang kami
dampingi”.
Dalam menjalankan kegiatannya, KW T Tappawalla Baddi selalu
menginventarisir kegiatan yang kemudian dirangkum dalam tabel 17
berikut.
Tabel 17. Kegiatan KW T
Dari penuturan ibu Korlina Konda Ngguna dan tabel ini
tergambar adanya nilai-nilai kerja keras, kesederhanaan, kebersamaan
(solidaritas) dan loyalitas yang membuat KW T ini tetap eksis dan
berhasil dalam menjalankan kegiatan di KW T. Hal ini senada dengan
temuan Bellah (1992) yang menyebut kemakmuran hanya dapat
dicapai ketika seseorang atau komunitas memegang teguh dan
mengejawantahkan nilai ketekunan, kerja keras, bersungguh-sungguh,
rajin, jujur, loyal dan bertanggungjawab.
Dinamika Kelembagaan Adat
Sampai saat ini tercatat bahwa sekitar 19 suku yang menghuni
desa M batakapidu. Suku-suku ini meliputi suku Andang, M arapeti
Uma Bakul, M arapeti Pamaka, Taluara Uma Bakul, Taluara W alakeri,
Taluara Uma Hongu, M akiri Pidu Au, M akiri Uma Kakat, M akiri Aru
Nani, W ilingakaru, Palamidu, Anamburung, Mbaradita, Lenggit,
112
Katinahu, M barapapa, Kokur Pandak, Kahiku dan Kihi. Artinya di desa
ini terdapat suku sangat heterogen. Namun di antara suku yang satu
dengan suku lainnya masih saling terkait dalam hubungan
kekerabatan, seperti karena adanya perkawinan beda suku dan
sebagainya.
Eksistensi dari suku-suku ini hendaknya terakomodir dalam
sebuah wadah atau lembaga yang terstruktur dan terorganisir, sehingga
bapak Yacob Tanda13 menyebut:
“Kelembagaan adat secara struktural organisatoris baru
dicanangkan. W acananya sudah ada dan tinggal menunggu
waktu yang tepat untuk mengumpulkan semua suku yang
ada guna membentuk kelembagaan adat. Kerja sama antara
suku tetap berjalan selama ini. Kelembagaan adat ini dibuat
untuk melihat efektifitas kegiatan budaya dalam proses
pembangunan
perdesaan,
tepatnya
dalam
hal
mengalokasikan sumber daya”.
Senada dengan hal ini, bapak Bimbu W ohangara14 menyebut:
“Lembaga adat di desa ini belum terorganisir secara
terstruktur, tetapi masih dalam bentuk yang informal.
Artinya ada orang yang ditokohkan dalam satu suku. Orang
ini yang jadi panutan dalam satu suku untuk mengatur segala
kegiatan keseharian yang sedang dilangsungkan di desa”.
Dipertegas oleh bapak Hina Kapu Enda15 dengan menyebut:
“Kemarin kami sudah bentuk sebuah panitia adat, tetapi
bukan lembaga adat secara organisatoris. Hal ini kami
lakukan ketika lakukan musyawarah adat terkait dengan
ketua (C. R. Ngunju Awang), wakil ketua (Tunga Retangu)
dan sekretaris (Alexander V. U. Retangu). Kita menyepakati
bersama agar bagaimana kita bersihkan paraingu
Mbatakapidu. Secara umum kami masih akan berembuk
dengan semua suku yang ada untuk segera membentuk
kelembagaan adat yang terstruktur secara organisatoris”.
W awancara tanggal 09 September 2014
W awancara tanggal 13 September 2014
15 W awancara tanggal 21 September 2014
13
14
113
Hal ini juga sejalan dengan temuan M akambombu (2013 : 14 15) yang menyebut:
“Kendatipun kelembagaan adat di Mbatakapidu tidak
memiliki memiliki struktur dalam pemerintah desa namun
dalam praktek kesehariannya peran dari lembaga cukup
dominan. Kelembagaan sesungguhnya dikendalikan oleh
tokoh-tokoh adat yang mana peran mereka akan nampak
dalam forum-forum adat perkawinan dan kematian.
Pemerintah desa (kades) sendiri berkeinginan untuk menata
kelembagaan sebagian bagian dari upaya pelestarian dan
revitalisasi nilai-nilai budaya. Revitalisasi ini bertujuan untuk
melakukan beberapa penyesuaian dengan perkembangan
masyarakat terkini. Misalnya ketentuan hewan untuk adat
perkawinan dan jumlah hewan atau ternak yang akan
disembelih pada saat upacara kematian. Seperti dengan
kehadiran kelembagaan adat yang ada saat ini dipakai oleh
kepala desa untuk menggerakkan kegiatan ketahanan
pangan. Sebagai contoh untuk mendistribusikan berbagai
bantuan atau program yang ada dilakukan dengan cara
memberikannya melalui pimpinan-pimpinan suku dengan
catatan jumlah sumber dayanya banyak, tetapi jika program
atau bantuan tersebut tidak cukup maka sistem distribusinya
dilakukan dengan cara unit perkampung, karena satu
kampung bisa terdiri dari beberapa suku yang mendiaminya.
Contoh: distribusi program PLTS, di mana satu unit bisa
digunakan oleh beberapa rumah tangga. Hal ini cukup
meredam potensi-potensi terjadinya kecemburuan sosial
antar suku atau antar kampung”.
Dari penuturan bapak Yacob Tanda, Bimbu W ohangara, Hina
Kapu Enda dan temuan M akambombu tergambar bahwa kehadiran
lembaga adat yang terstruktur secara organisatoris sangat mutlak
diperlukan saat ini di desa M batakapidu. Jennifer Brick (2008)
berpendapat bahwa organisasi adat adalah sumber utama dari
keberhasilan pembangunan desa di Afghanistan. Terdapat potensi
peran produktif organisasi masyarakat lokal untuk dapat bermain
dalam proses membangun negara. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa organisasi adat masih hidup di pedesaan Afghanistan. M emang
dalam beberapa dekade mengalami pertempuran dan pengungsian.
M ereka tidak hanya bertahan, tapi mereka memberikan berbagai
114
barang publik di daerah pedesaan, termasuk yang mempengaruhi
keselamatan dan keamanan setempat. Dalam penelitiannya, Brick
berhasil mengembangkan teori yang menjelaskan empat kondisi yang
memfasilitasi pemerintahan lokal yang efektif yaitu sumber-sumber
independen lokal dari pendapatan, pemisahan otoritas lokal, checks
dan balances antara otoritas dan kehadiran pemain veto ekonomi.
Temuan Brick dipertegas oleh pandangan Berger (dalam
Bouman, 1982 : 54) yang menyebut sangat diperlukan hadirnya sebuah
lembaga adat sebagai bentuk-bentuk perbuatan dalam hubungan
kelompok yang dilestarikan oleh kultur dan transfer kultur, sehingga
menyebabkan perbuatan manusia ditekan oleh pola tertentu dan
dipaksakan bergerak melalui jalan yang dianggap sesuai dengan
keinginan masyarakat.
Dibalik Sebuah Ketokohan
Fenomena pembangunan yang terjadi di desa M batakapidu
ternyata juga disebabkan oleh faktor ketokohan desa yang digerakkan
oleh visi pembangunan yang bertumpu pada sumber daya lokal.
Kepala desa M batakapidu merupakan seorang pemimpin yang kreatif
dan inovatif dalam menjalankan pembangunan di desa (M akambombu
2013 : 15). Terlepas dari itu semua, sebenarnya dalam ketokohannya,
sang kepala desa menganut nilai-nilai lokal tertentu. Hal inipun
dibenarkan oleh bapak Yacob Tanda16 selaku kepala desa M batakapidu
yang menyebut:
“Setiap kegiatan pembangunan yang dlakukan di sini selalu
berasal dari nilai-nilai lokal yang dianut masyarakat. Sebagai
seorang kepala desa saya selalu menanamkan nilai kerja keras
dan kedisiplinan kepada seluruh masyarakat. Apalagi dalam
konteks masyarakat Mbatakapidu yang sangat kental dengan
nilai komunal gotong-royong. Nilai kerja keras saya
kombinasikan dengan nilai komunal yang ada, sehingga
menghadirkan semangat kerja yang mendukung proses
pembangunan di Mbatakapidu. Nilai kerja keras dan
kedisiplinan ini sudah mulai tertanam sejak saya kecil,
16
W awancara tanggal 09 September 2014
115
karena saya dibesarkan di lingkungan lokal tradisional yang
menjunjung tinggi etos kerja”.
Hal inipun dipertegas oleh bapak Lukas R. M alo17 selaku kepala
BP4K Kota W aingapu yang menyebut:
“Kepala desa Mbatakapidu merupakan figur yang disiplin dan
pekerja keras, sehingga beliau menjadi panutan bagi orang
Mbatakapidu. Kondisi inilah yang membuat orang
Mbatakapidu menjadi sadar akan tanggungjawabnya. Artinya
kepala desa telah memberikan contoh-contoh yang baik
sebelum
mengkoordinir
masyarakat
dalam
proses
pembangunan”.
Dari penuturan bapak Yacob Tanda dan Lukas R. M alo
tergambar bahwa ketokohan dari kepala desa M batakapidu ternyata
disebabkan oleh nilai kerja keras dan kedisiplinan yang selalu
dipraktekkan dalam menjalankan tugasnya sebagai kepala desa. Nilainilai ini berkolaborasi dengan nilai komunal yang dimiliki oleh orang
M batakapidu, sehingga hal inilah yang mendukung pembangunan di
desa M batakapidu. Hal ini diperkuat oleh hasil pengamatan penulis
tepatnya pada tahun 2011 saat melakukan kuliah kerja nyata di
M batakapidu, di mana setiap hari bapak kepala desa sudah berada di
kebun desa sejak jam 06 pagi untuk membuat bedengan dan menyiram
sayur. Artinya penulis dan rekan-rekan maupun masyarakat pada
waktu itu akan merasa bersalah atau ada beban moral ketika tidak
berbuat apa-apa saat kepala desa sudah berada di kebun. M elihat situasi
ini, penulis dan rekan-rekan langsung ke kebun desa untuk membantu
kepala desa, sedangkan masyarakat langsung turun ke kebun untuk
bekerja mengolah kebun mereka masing-masing.
Hal ini sejalan dengan temuan Sugianto (2011 : 333) yang
menyebut kombinasi antara nilai kesatria dalam kepemimpinan Tu’a
Golo berkolaborasi dengan nilai komunal gotong royong dan kerja
keras yang pada akhirnya mendukung pembangunan di kampung
17
W awancara tanggal 03 Oktober 2014
116
M ondo. Berikut adalah gambar pola hubungan antara nilai-nilai yang
dianut oleh kepala desa dan masyarakat M batakapidu dalam
pembangunan.
Kepala Desa
Masyarakat
Kerja Keras
Gotong Royong
Disiplin
Pembangunan
Kolaborasi antara nilai yang dianut
kepala desa dengan nilai komunal
dari masyarakat
Gambar 28. Pola Hubungan Antara Nilai-Nilai yang Dianut oleh Kepala
Desa dan Masyarakat Mbatakapidu dalam Pembangunan
Pembangunan yang terjadi di M batakapidu salah satunya
disebabkan oleh faktor ketokohan kepala desa yang menganut nilai
kerja keras dan kedisiplinan yang kemudian mengkoordinir
masyarakat yang notabene menjunjung tinggi nilai gotong royong
untuk perpartisipasi aktif dalam setiap kegiatan pembangunan.
Kolaborasi inilah yang membuat munculnya semangat untuk
membangun di desa M batakapidu. Hal ini diperkuat juga dengan
motivasi pembangunan untuk perenungan yang dijunjung tinggi oleh
kepala desa selaku fasilitator seperti (1) merasa diri dipercaya; (2)
komitmen atau tekad untuk berbuat; (3) merasa bersalah jika tidak
melaksanakan tugas dan (4) kerja sama dengan pihak lain.
117
Kesimpulan
Relasi antara orang M batakapidu dengan program pemerintah
dan LSM dari masa ke masa menggambarkan semakin tingginya
kesadaran secara komunal masyarakat untuk merespon segala programprogram yang masuk ke desa, karena orang M batakapidu menganggap
bantuan dari pihak lain sebagai perangsang untuk mengembangkan
segala potensi yang ada di desa M batakapidu.
M andara dimaknai sebagai sarana untuk mempererat hubungan
kekerabatan atau tali silaturahmi antara keluarga yang satu dengan
keluarga lainnya serta untuk menjembatani kebutuhan. Tentu temuan
ini berbeda dengan temuan Palekahelu (2010 : 214) yang menyebut
mandara sebagai tindakan untuk mengatasi ketidakpastian dan
ketidakamanan pangan.
Eksistensi dari organisasi atau kelembagaan warga di desa
M batakapidu seperti KW T tidak terlepas dari kekompakan, solidaritas
dan kerja keras yang tertanam dalam jiwa masing-masing anggota
kelompok. Hal inilah yang membuat KW T ini menjadi sorotan baik di
level lokal, regional maupun nasional.
Belum adanya kelembagaan adat yang terstruktur secara
organisatoris akan mampu memicu terjadinya kesenjangan sosial di
tengah masyarakat seperti dalam hal pengalokasian sumberdaya, hak
kepemilikan (individual maupun communal property) dan sebagainya.
Ketokohan kepala desa M batakapidu ternyata dipicu oleh nilai
kerja keras dan kedisiplinan yang dianutnya. Hal inilah yang
membuatnya menjadi demplot bagi orang M batakapidu untuk turut
berpartisipasi aktif dalam pembangunan.
118
Perilaku Sosial Orang Mbatakapidu
Kehidupan Sosial Orang M batakapidu
Sejak kedatangan penulis pada tahun 2011 silam dan 2014 masih
terlintas dengan jelas di benak akan nilai-nilai gotong royong yang
sangat kental dalam rutinitas orang M batakapidu, baik gotong royong
dengan tetangga, keluarga terdekat, kelompok tani, penyuluh
pertanian lapangan maupun pemerintah desa.
Berikut akan dipaparkan beberapa hal terkait dengan relasi orang
M batakapidu dengan program pemerintah maupun LSM , hubungan
kekerabatan, dinamika organisasi warga dan kelembagaan adat.
Dari Ketergantungan M enuju Kemandirian
Pemerintah mulai masuk dengan bantuannya sejak tahun 1996
lewat program IDT. Di sini pemerintah mengalokasikan dana buat desa
dan pihak desa tinggal melakukan musyawarah terkait dengan
peruntukkan dana tersebut. Dahulu pemerintah sediakan bahan-bahan
(pengadaannya oleh pemerintah), sedangkan usulan berasal dari
masyarakat desa M batakapidu. M ulai tahun 2000-an sampai saat ini
desa M batakapidu banyak bekerja sama dengan instansi terkait dan
LSM seperti GTZ, W VI, BP4K, YPM , PNPM M andiri dan lembaga
lainnya yang tidak bisa disebutkan satu per satu.
Terkait dengan hal ini, bapak Antonius Umbu Ndai 1 menyebut:
“Pada periode tahun 2001-2002 masuk bantuan beras dari
W VI dan GTZ. Satu kepala keluarga mendapatkan beras 50
Kg dari W VI, sedangkan bantuan dari GTZ diberikan saat
kami kerjakan bendungan di Kalihi. Setiap bulan kami terima
1
W awancara tanggal 14 September 2014
103
beras dari GTZ dan disertai juga dengan bantuan dari W VI.
Akibatnya banyak orang yang tidak kerja kebun lagi.
Bantuan ini membuat warga semakin bergantung kepada
bantuan LSM. Ekstrimnya yaitu jagung yang ada di lumbung
langsung diberikan untuk babi. Jika dalam satu rumah tangga
terdapat 2 atau 3 kepala keluarga maka asumsinya mereka
akan mendapatkan mendapatkan beras yang banyak. Oleh
karena dimanja oleh LSM maka banyak orang yang tidak
mau kerja, sehingga kebun-kebun banyak ditumbuhi kayu
kopi dan gamal dan warga semakin malas untuk
mengolahnya. Akhirnya mulai tahun 2009 hampir semua
kebun warga sudah menjadi hutan lantoro gum dan gamal,
tentu ini membuang tenaga. Di sini mereka bangga karena
lagi miliki banyak beras, tetapi kebun diabaikan. Sampai ada
warga yang menyebut lebih baik batu yang digunakan untuk
titi jagung (watu pianangu dan kalambaru) dibuang saja.
Namun setelah beras tersebut telah habis maka warga mulai
merasa kelaparan dan warga mulai beramai-ramai bersihkan
kebun mereka”.
Dari penuturan bapak Antonius Umbu Ndai tergambar bahwa
dalam periode tersebut masyarakat terlalu terlena dengan bantuan
yang datang, sehingga mereka menjadi malas dan lupa akan tanggung
jawab utama mereka untuk mengolah lahan. Hal inilah yang
seharusnya menjadi bahan perenungan bagi orang M batakapidu untuk
belajar dari pengalaman-pengalaman masa silam, sehingga bapak
Bimbu W ohangara2 menyebut:
“Sebaiknya kita sebagai orang Mbatakapidu mulai merenung
untuk sadar diri bahwa saya miskin, percaya diri bahwa saya
mampu, menganggap bantuan dari pihak lain sebagai
pelengkap atau perangsang dan merasa diri mempunyai
modal dasar seperti tenaga, tanah, bibit atau benih dan modal
uang sesuai dengan kemampuan”.
M otivasi pembangunan yang disebutkan oleh informan di atas
membuat orang M batakapidu mulai sadar akan keberadaannya,
2
W awancara tanggal 29 September 2014
104
sehingga M akambombu (2013 : 8 - 9) dan dikonfirmasi lagi oleh bapak
Yacob Tanda3 yang menyebut:
“Setelah program ini (DMPMDS) berjalan selama 1 tahun
hasilnya sudah mulai nampak. Jika pada beberapa tahun
sebelum pada sekitar bulan Desember, Januari dan Februari
ada banyak warga yang datang ke kantor desa untuk
memanfaatkan keberadaan lumbung pangan (beras), tetapi
sejak bulan Desember 2011, Januari dan Februari 2012
hampir jarang masyarakat yang datang untuk meminta
bantuan dari lumbung pangan. Ini merupakan indikator
bahwa saat ini tingkat kecukupan pangan di tengah-tengah
masyarakat sedang berada dalam kondisi aman, sehingga
tidak banyak warga yang datang membeli beras dari lumbung
pangan”.
Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2014.
Gambar 27. Bangunan Lumbung Desa di Mbatakapidu
Dari penuturan bapak Yacob Tanda dan temuan M akambombu
tergambar bahwa tingkat ketergantungan (dependency) orang
M batakapidu sudah semakin menurun. Dengan kata lain, adanya
kesadaran secara komunal yang membuat orang Mbatakapidu sedikit
demi sedikit terlepas dari ketergantungan. Hal ini sejalan dengan
3
W awancara tanggal 09 September 2014
105
pendapat Blomstrom dan Hettne (dalam Budiman, 1995 : 96 - 97)
menyebut pembangunan akan terjadi melalui proses alamiah (internal)
yang memang ada di tengah masyarakat.
Dalam relasinya dengan program pemerintah dan LSM , bapak
Hina Kapu Enda4 menyebut:
“Saat ini jika ada bantuan dari pemerintah daerah maupun
lembaga swadaya masyarakat yang masuk di desa maka kami
selalu mensikapinya secara positif. Tidak ada satupun
kegiatan yang ditolak. Masyarakat terlibat dalam programprogram tersebut. Pihak pemerintah desa berembuk dengan
masyarakat terhadap segala program yang masuk. Apabila
ada bantuan yang masuk maka masih didiskusikan melalui
musyawarah antara pemerintah desa dan segenapelemen
masyarakat, sehingga semuanya menjadi transparan dan
akuntabel. Dengan kata lain, semua kegiatan akan
disesuaikan dengan nilai-nilai yang dianut oleh orang
Mbatakapidu”.
Bapak Bimbu W ohangara5 juga menyebut:
“Hubungan kerja sama antara orang Mbatakapidu, PPL dan
LSM berjalan dengan harmonis. Apabila ada program dari
mereka maka selalu kerja sama dengan pemerintah desa dan
masyarakat. Kalau ada sosialisasi dari mereka maka
pemerintah desa akan secara langsung mengkonfirmasi
masyarakat lewat undangan secara formal maupun informal”.
Dari sisi lembaga supporting,
menyebut:
bapak Ishak Sitaniapessy6
“Kalau aspek ekonomi kami fokus di Gapoktan dengan
melakukan pelatihan, penguatan jaringan, pol-pola jaringan
dan sebagainya. Kalau tenun ikat di Gapoktan sudah sampai
ke Korea Selatan. Saat ada pameran di sana maka lewat
KEHATI membawa kain hasil tenun ke sana lalu laku 10 dan
sisa 2 lembar. Selama ini tidak ada benturan dengan
keberterimaan orang Mbatakapidu, karena saat kembangkan
W awancara tanggal 21 September 2014
W awancara tanggal 14 September 2014
6 W awancara tanggal 24 September 2014
4
5
106
segala sesuatu kami memulainya dengan kearifan lokal dari
orang Mbatakapidu. Artinya justru kami kembangkan nilainilai lokal yang sudah ada misalnya arisan rumah seng dan
pawandangu7. Yang menjadi persoalan sekarang adalah
bagaimana orang Mbatakapidu mampu me-manage waktu.
Persoalan utama adalah dalam hal me-manage waktu untuk
mulai kerja jam 06 pagi dan jam 10 sudah selesai kerja dari
kebun. Kaum ibu-ibu jauh lebih bagus dalam hal
administrasi, seperti pengelolaan dana peruntukkan dana dan
dalam melakukan pawandangu ibu-ibu sangat gesit dalam
mengorganisir anggota masyarakat yang lainnya. Dalam hal
pawandangu, masing-masing telah membawa bekal masingmasing dari rumah ke kebun, sehingga kegiatan gotong
royong ini tidak membutuhkan dana yang sangat besar”.
Hal ini yang kemudian dipertegas oleh ibu Bomba Pihu8 dengan
menyebut:
“Kami lakukan kegiatan pawandangu dengan anggota
kelompok sebanyak 11 orang, di mana kegiatan sudah harus
dimulai dari jam 07 pagi dan berakhir jam 12 siang”.
Dari penuturan bapak Hina Kapu Enda, Bimbu W ohangara,
Ishak Sitaniapessy dan ibu tergambar bahwa seiring dengan
berjalannya waktu, orang M batakapidu mengalami tranformasi dari
ketergantungan menuju kemandirian dan semakin dipertahankannya
nilai komunal seperti seperti gotong royong. Hal ini sejalan dengan
pandangan Gandhi yang menyebut perlunya semangat swadesi
(kemandirian) dalam sebuah proses pembangunan dan juga sejalan
dengan temuan Sugianto (2011 : 260) yang menyebut nilai komunal
gotong-royong yang berasal dari penghayatan spiritual mereka, yang
menjadi dasar pijak masyarakat M ondo dalam melakukan
pembangunan.
7 Kerjasama diantara masyarakat untuk menyelesaikan suatu pekerjaan tertentu seperti
parahu omangu, tanam jagung, panen jagung dan sebagainya
8 W awancara tanggal 22 September 2014
107
M andara: Antara Silaturahmi dan M enjembatani Kebutuhan
M endengar kata mandara mungkin sangat tidak asing dibenak
dan ditelinga orang Sumba khususnya bagi orang M batakapidu.
M andara sudah mulai didengungkan sejak jaman dahulu, tetapi
sebenarnya apa makna yang terkadung dibalik istilah ini? Apakah
hanya untuk mempertemukan kebutuhan ataukah jauh dari pada itu
terkandung nilai-nilai komunal yang bersifat sosial (kekerabatan)?
Oleh karena itu, secara lebih jelas dan detail akan disampaikan oleh
beberapa informan berikut:
Bapak Alexander Victor Umbu Retangu9 menyebut:
“Mandara merupakan nilai-nilai lokal peninggalan leluhur.
Madara mempunyai makna untuk mempererat hubungan
kekerabatan antara keluarga yang satu dengan keluarga yang
saling berjauhan tempat tinggalnya (masih satu klan atau
keluarga dekat). Artinya, ketika sebuah keluarga akan
berkunjung ke rumah keluarganya yang jauh maka mereka
akan membawa semacam pembawaan berupa bahan
makanan maupun barang-barang-barang seperti sarung, kain,
mamuli, lulu amahu dan sebagainya. Ketika hendak pulang
maka sang tuan rumah akan memberikan pembalasan berupa
pemberian berupa bahan makanan dan sebagainya. Ini bukan
karena adanya hubungan sebab akibat, tetapi karena
merupakan sebuah keharusan bagi si tuan rumah.
Konsekuensi logis dari pertemuan keluarga ini semakin
mempererat tali silaturahmi di antara mereka. Namun, saat
ini mandara sudah di salah artikan. Artinya, ada orang
pemalas yang memanfaatkan moment mandara dengan cara
pergi dengan tujuan bertamu di keluarganya yang jauh.
Contoh: mungkin pertama akan diberikan 2 karandi jagung,
tetapi yang kedua pasti tidak akan diberi seperti yang
pertama karena si pemberi akan berkata bahwa orang ini
hanya lontang-lanting atau tidak mau berusaha. Istilahnya
umbu tundu lindingu artinya walaupun hanya sejengkal luas
kebun yang kita miliki maka kita harus berupaya keras untuk
mengolahnya, sehingga kita tidak hidup dengan
pandiamangu (meminta-minta)”.
9
W awancara tanggal 08 Oktober 2014
108
Senada dengan penuturan bapak Alexander Victor Umbu
Retangu, maka Yacob Tanda10 juga menyebut:
“Kami orang Mbatakapidu mengenal konsep mandara.
Mandara sudah secara turun temurun dilakukan oleh orang
Mbatakapidu. Tindakan ini dilakukan untuk mengunjungi
keluarga dan menjembatani kebutuhannya. Saat berkunjung
maka kita akan bawa garam, ru menggitu (pucuk daun
lontar) dan sebagainya, yang kemudian akan dibalas dengan
makanan dan sebagainya. Kalau pergi ke rumah ana kawini
(saudari perempuan) maka kita biasanya membawa kaindan
akan dibalas dengan ternak oleh saudari perempuannya.
W alaupun nilai tukarnya tidak seimbang, tetapi inilah nilainilai lokal yang perlu dilestarikan. Jika padukan dengan
kunjungan kekeluargaan ini masih bisa ditolerir, tetapi kalau
kita mengarah pada sistem individualistis maka tidak akan
nampak nilai kekerabatan. Di sini memang mempertemukan
kebutuhan dengan kebutuhan, tetapi yang paling menonjol
adalah tali silaturahmi (kekerabatan). Dalam konsep mandara
harus dihindari adanya unsur bisnis, sehingga tidak akan ada
unsur perhitungan”.
Hal ini pun dipertegas oleh bapak Umbu Ngguti Nggandung11
dengan menyebut:
“Pada tahun 70-80an dan sampai saat ini kami sering
melakukan mandara. Saya bawa garam sebagai pembawaan
waktu itu ketika saya hendak berkunjung ke rumah keluarga.
Saat saya hendak pulang dari berkunjung, saya diberi jagung
oleh keluarga yang saya kunjungi. Memang kalau mau dinilai
maka tidak akan seimbang antara pembawaan saya bawa
dengan yang saya terima. Namun inilah budaya yang harus
dilestarikan. Yang paling utama dari kunjungan ini
sebenarnya adalah mempererat tali silaturahmi antara
keluarga”.
Dari penuturan bapak Alexander Victor Umbu Retangu, Yacob
Tanda dan Umbu Ngguti Nggandung tergambar bahwa secara agregat
pengejawantahan dari mandara adalah untuk menjembatani hubungan
kekerabatan atau mempererat tali silaturahmi di antara masyarakat
10
11
W awancara tanggal 27 September 2014
FGD tanggal 12 September 2014
109
lokal tradisional, sedangkan sisanya secara parsial untuk menjembatani
kebutuhan. Hal ini sejalan dengan temuan Jacqueline Vel (2010) dalam
penelitiannya di desa Lawonda, yang menyebut dinamika sosial yang
berbasis kekerabatan telah berakar di dalam cara berpikir dan perilaku
budaya yang masih ada sampai sekarang.
Dinamika Organisasi W arga
M akambombu (2013: 13) menyebut pencapaian desa
M batakapidu dalam beberapa tahun terakhir tidak lepas dari dinamika
berbagai kelembagaan desa yang ada saat ini, terutama kelembagaan
desa yang berada di luar struktur pemerintah desa. Peran
kelembagaan-kelembagaan yang ada ini sangat besar pengaruhnya
dalam menggerakkan pembangunan desa, salah satunya adalah
Gapoktan. Kelompok ini merupakan gabungan dari beberapa kurang
lebih 24 kelompok-kelompok tani. Setiap kelompok tani memiliki
keanggotaan sebanyak 10 - 25 anggota, sehingga jumlah keseluruhan
anggota Gapoktan mencapai lebih kurang 466 orang. Aktivitas
kelompok Gapoktan selain fokus pada pertanian namun ada beberapa
kelompok dalam gapoktan yang bergerak dibidang usaha lainnya.
Kelompok ini adalah KW T yang memiliki usaha tenun ikat.
Terkait dengan temuan M akambombu, maka ibu Korlina Konda
Ngguna12 menyebut:
“KW T ini berdiri tanggal 1 Januari 2000. Kami sebenarnya
hanya sub kelompok tenun ikat dari KW T Tappa W alla
Baddi, karena ibu Marlina selaku ketua KW T di desa pindah
ke Alor ikut suaminya, maka KW T tersebut menjadi vaccum
karena krisis kepemimpinan. Melihat kondisi tersebut
membuat kami menjadi induk KW T tersebut. Awalnya kami
melakukan usaha tenun ikat yang terdiri dari 4 orang
anggota. Kebetulan keterampilan saya adalah menenun.
Rata-rata kain dan sarung yang kami jual seharga Rp
1.000.000,- sehingga secara ekonomis sulit dijangkau oleh
pembeli yang notabene daya belinya rendah. Anggota kami
terkadang mengeluh karena seringkali kain ini belum laku
terjual (perputaran uang menjadi sangat rendah). Kalau kain
12
W awancara tanggal 27 September 2014
110
atau sarung yang pakai wanteks (pewarna kimia) cepat laku
terjual di pasaran, karena banyak masyarakat yang akan
membawanya ke acara kematian dan peminangan. Kalau
sarung motif paminni buatta yang ada gambar dan polos
harganya mencapai Rp 800.000,- sedangkan motif patola ratu
yang gambarnya banyak maka harganya Rp 1.000.000,-.
Selang satu tahun kami melakukan aktivitas ini, ternyata ada
ada apresiasi dari ibu-ibu lainnya di mana mereka mau
bergabung menjadi anggota di KW T ini. Oleh karena kita
dapat hasil yang cukup baik maka kami buat kegiatan lagi
seperti simpan pinjam. Kami memiliki 5 macam kegiatan.
Ada bidang pekarangan, pertanian, peternakan kecil dan
arisan tabungan anak. Kalau arisan ini kami mulai lakukan
sejak tahun 2005. Hasil dari kegiatan-kegiatan tersebut kita
tabung untuk masa depan anak. Hampir semua anggota kami
termasuk saya sendiri berpendidikan rendah, sehingga
berangkat dari hal ini maka kami mulai berpikir agar nasib
anak kami ke depan tidan seperti kami para orang tua.
Dengan demikian, anak akami akan dapat mengenyam
pendidikan lewat dukungan dana arisan tersebut. Sekarang
kami sudah 24 orang anggota yang aktif. Ini atas kesadaraan
masing-masing dari anggota. Siapapun yang mau belajar
dengan kami maka kami selalu membuka diri untuk belajar
bersama. Setelah itu kami bentuk UBSP dengan modal 10.000
masing-masing anggota, bunganya 500 per bulan dan sampai
sekarang kegiatan ini semakin berkembang di mana modal
semakin meningkat. Secara agregat yang paling menonjol
dari semua kegiatan di setiap bulan adalah UBSP, karena
penyetorannya cepat dan tidak macet, contohnya dengan
jalan menjual aneka jeni sayuran segar dan sebagainya.
Modal swadaya kami sudah mencapai Rp 26.000.000,-. Pada
tahun 2013 kami dapat penghargaan dari kick andy (Metro
tv) di mana selepas acara tersebut kami diberi dana apresiasi
sebesar Rp 100.0000.000,-. Kemudian kami tampil di acara
tupper ware (Trans 7) dan dapat apresiasi sebesar Rp
20.000.000,-. Kalau mereka datang dokumentasi di kelompok
maka ada dana administrasi sebesar Rp 1.000.000,- sampai Rp
2.000.000,- untuk penguatan kas kelompok. Pada tahun 2010
silam oleh dari pemerintah daerah memberikan kami dana
untuk mengurus pekarangan Rp 16.000.000,- Untuk pangan
lokal sebesar Rp 5.000.000,- Kami juga dapat dana dari
program DMPDS. W aktu itu untuk desa Mbatakapidu dapat
dana sebesar Rp 150.000.000,- dan kami di KW T diberi dana
oleh desa sebesar Rp 50.000.000,- sedangkan sisanya dibagi
kepada 27 kelompok lainnya yang tersebar di 27 RT. Kami
hanya gunakan sekitar Rp 38.000.000,- saja (sesuai dengan
kemampuan kami untuk mengelolanya), sedangkan sisanya
yang Rp 12.000.000,- kami berikan ke kelompok Sinar Kasih
111
karena kelompok ini merupakan kelompok yang kami
dampingi”.
Dalam menjalankan kegiatannya, KW T Tappawalla Baddi selalu
menginventarisir kegiatan yang kemudian dirangkum dalam tabel 17
berikut.
Tabel 17. Kegiatan KW T
Dari penuturan ibu Korlina Konda Ngguna dan tabel ini
tergambar adanya nilai-nilai kerja keras, kesederhanaan, kebersamaan
(solidaritas) dan loyalitas yang membuat KW T ini tetap eksis dan
berhasil dalam menjalankan kegiatan di KW T. Hal ini senada dengan
temuan Bellah (1992) yang menyebut kemakmuran hanya dapat
dicapai ketika seseorang atau komunitas memegang teguh dan
mengejawantahkan nilai ketekunan, kerja keras, bersungguh-sungguh,
rajin, jujur, loyal dan bertanggungjawab.
Dinamika Kelembagaan Adat
Sampai saat ini tercatat bahwa sekitar 19 suku yang menghuni
desa M batakapidu. Suku-suku ini meliputi suku Andang, M arapeti
Uma Bakul, M arapeti Pamaka, Taluara Uma Bakul, Taluara W alakeri,
Taluara Uma Hongu, M akiri Pidu Au, M akiri Uma Kakat, M akiri Aru
Nani, W ilingakaru, Palamidu, Anamburung, Mbaradita, Lenggit,
112
Katinahu, M barapapa, Kokur Pandak, Kahiku dan Kihi. Artinya di desa
ini terdapat suku sangat heterogen. Namun di antara suku yang satu
dengan suku lainnya masih saling terkait dalam hubungan
kekerabatan, seperti karena adanya perkawinan beda suku dan
sebagainya.
Eksistensi dari suku-suku ini hendaknya terakomodir dalam
sebuah wadah atau lembaga yang terstruktur dan terorganisir, sehingga
bapak Yacob Tanda13 menyebut:
“Kelembagaan adat secara struktural organisatoris baru
dicanangkan. W acananya sudah ada dan tinggal menunggu
waktu yang tepat untuk mengumpulkan semua suku yang
ada guna membentuk kelembagaan adat. Kerja sama antara
suku tetap berjalan selama ini. Kelembagaan adat ini dibuat
untuk melihat efektifitas kegiatan budaya dalam proses
pembangunan
perdesaan,
tepatnya
dalam
hal
mengalokasikan sumber daya”.
Senada dengan hal ini, bapak Bimbu W ohangara14 menyebut:
“Lembaga adat di desa ini belum terorganisir secara
terstruktur, tetapi masih dalam bentuk yang informal.
Artinya ada orang yang ditokohkan dalam satu suku. Orang
ini yang jadi panutan dalam satu suku untuk mengatur segala
kegiatan keseharian yang sedang dilangsungkan di desa”.
Dipertegas oleh bapak Hina Kapu Enda15 dengan menyebut:
“Kemarin kami sudah bentuk sebuah panitia adat, tetapi
bukan lembaga adat secara organisatoris. Hal ini kami
lakukan ketika lakukan musyawarah adat terkait dengan
ketua (C. R. Ngunju Awang), wakil ketua (Tunga Retangu)
dan sekretaris (Alexander V. U. Retangu). Kita menyepakati
bersama agar bagaimana kita bersihkan paraingu
Mbatakapidu. Secara umum kami masih akan berembuk
dengan semua suku yang ada untuk segera membentuk
kelembagaan adat yang terstruktur secara organisatoris”.
W awancara tanggal 09 September 2014
W awancara tanggal 13 September 2014
15 W awancara tanggal 21 September 2014
13
14
113
Hal ini juga sejalan dengan temuan M akambombu (2013 : 14 15) yang menyebut:
“Kendatipun kelembagaan adat di Mbatakapidu tidak
memiliki memiliki struktur dalam pemerintah desa namun
dalam praktek kesehariannya peran dari lembaga cukup
dominan. Kelembagaan sesungguhnya dikendalikan oleh
tokoh-tokoh adat yang mana peran mereka akan nampak
dalam forum-forum adat perkawinan dan kematian.
Pemerintah desa (kades) sendiri berkeinginan untuk menata
kelembagaan sebagian bagian dari upaya pelestarian dan
revitalisasi nilai-nilai budaya. Revitalisasi ini bertujuan untuk
melakukan beberapa penyesuaian dengan perkembangan
masyarakat terkini. Misalnya ketentuan hewan untuk adat
perkawinan dan jumlah hewan atau ternak yang akan
disembelih pada saat upacara kematian. Seperti dengan
kehadiran kelembagaan adat yang ada saat ini dipakai oleh
kepala desa untuk menggerakkan kegiatan ketahanan
pangan. Sebagai contoh untuk mendistribusikan berbagai
bantuan atau program yang ada dilakukan dengan cara
memberikannya melalui pimpinan-pimpinan suku dengan
catatan jumlah sumber dayanya banyak, tetapi jika program
atau bantuan tersebut tidak cukup maka sistem distribusinya
dilakukan dengan cara unit perkampung, karena satu
kampung bisa terdiri dari beberapa suku yang mendiaminya.
Contoh: distribusi program PLTS, di mana satu unit bisa
digunakan oleh beberapa rumah tangga. Hal ini cukup
meredam potensi-potensi terjadinya kecemburuan sosial
antar suku atau antar kampung”.
Dari penuturan bapak Yacob Tanda, Bimbu W ohangara, Hina
Kapu Enda dan temuan M akambombu tergambar bahwa kehadiran
lembaga adat yang terstruktur secara organisatoris sangat mutlak
diperlukan saat ini di desa M batakapidu. Jennifer Brick (2008)
berpendapat bahwa organisasi adat adalah sumber utama dari
keberhasilan pembangunan desa di Afghanistan. Terdapat potensi
peran produktif organisasi masyarakat lokal untuk dapat bermain
dalam proses membangun negara. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa organisasi adat masih hidup di pedesaan Afghanistan. M emang
dalam beberapa dekade mengalami pertempuran dan pengungsian.
M ereka tidak hanya bertahan, tapi mereka memberikan berbagai
114
barang publik di daerah pedesaan, termasuk yang mempengaruhi
keselamatan dan keamanan setempat. Dalam penelitiannya, Brick
berhasil mengembangkan teori yang menjelaskan empat kondisi yang
memfasilitasi pemerintahan lokal yang efektif yaitu sumber-sumber
independen lokal dari pendapatan, pemisahan otoritas lokal, checks
dan balances antara otoritas dan kehadiran pemain veto ekonomi.
Temuan Brick dipertegas oleh pandangan Berger (dalam
Bouman, 1982 : 54) yang menyebut sangat diperlukan hadirnya sebuah
lembaga adat sebagai bentuk-bentuk perbuatan dalam hubungan
kelompok yang dilestarikan oleh kultur dan transfer kultur, sehingga
menyebabkan perbuatan manusia ditekan oleh pola tertentu dan
dipaksakan bergerak melalui jalan yang dianggap sesuai dengan
keinginan masyarakat.
Dibalik Sebuah Ketokohan
Fenomena pembangunan yang terjadi di desa M batakapidu
ternyata juga disebabkan oleh faktor ketokohan desa yang digerakkan
oleh visi pembangunan yang bertumpu pada sumber daya lokal.
Kepala desa M batakapidu merupakan seorang pemimpin yang kreatif
dan inovatif dalam menjalankan pembangunan di desa (M akambombu
2013 : 15). Terlepas dari itu semua, sebenarnya dalam ketokohannya,
sang kepala desa menganut nilai-nilai lokal tertentu. Hal inipun
dibenarkan oleh bapak Yacob Tanda16 selaku kepala desa M batakapidu
yang menyebut:
“Setiap kegiatan pembangunan yang dlakukan di sini selalu
berasal dari nilai-nilai lokal yang dianut masyarakat. Sebagai
seorang kepala desa saya selalu menanamkan nilai kerja keras
dan kedisiplinan kepada seluruh masyarakat. Apalagi dalam
konteks masyarakat Mbatakapidu yang sangat kental dengan
nilai komunal gotong-royong. Nilai kerja keras saya
kombinasikan dengan nilai komunal yang ada, sehingga
menghadirkan semangat kerja yang mendukung proses
pembangunan di Mbatakapidu. Nilai kerja keras dan
kedisiplinan ini sudah mulai tertanam sejak saya kecil,
16
W awancara tanggal 09 September 2014
115
karena saya dibesarkan di lingkungan lokal tradisional yang
menjunjung tinggi etos kerja”.
Hal inipun dipertegas oleh bapak Lukas R. M alo17 selaku kepala
BP4K Kota W aingapu yang menyebut:
“Kepala desa Mbatakapidu merupakan figur yang disiplin dan
pekerja keras, sehingga beliau menjadi panutan bagi orang
Mbatakapidu. Kondisi inilah yang membuat orang
Mbatakapidu menjadi sadar akan tanggungjawabnya. Artinya
kepala desa telah memberikan contoh-contoh yang baik
sebelum
mengkoordinir
masyarakat
dalam
proses
pembangunan”.
Dari penuturan bapak Yacob Tanda dan Lukas R. M alo
tergambar bahwa ketokohan dari kepala desa M batakapidu ternyata
disebabkan oleh nilai kerja keras dan kedisiplinan yang selalu
dipraktekkan dalam menjalankan tugasnya sebagai kepala desa. Nilainilai ini berkolaborasi dengan nilai komunal yang dimiliki oleh orang
M batakapidu, sehingga hal inilah yang mendukung pembangunan di
desa M batakapidu. Hal ini diperkuat oleh hasil pengamatan penulis
tepatnya pada tahun 2011 saat melakukan kuliah kerja nyata di
M batakapidu, di mana setiap hari bapak kepala desa sudah berada di
kebun desa sejak jam 06 pagi untuk membuat bedengan dan menyiram
sayur. Artinya penulis dan rekan-rekan maupun masyarakat pada
waktu itu akan merasa bersalah atau ada beban moral ketika tidak
berbuat apa-apa saat kepala desa sudah berada di kebun. M elihat situasi
ini, penulis dan rekan-rekan langsung ke kebun desa untuk membantu
kepala desa, sedangkan masyarakat langsung turun ke kebun untuk
bekerja mengolah kebun mereka masing-masing.
Hal ini sejalan dengan temuan Sugianto (2011 : 333) yang
menyebut kombinasi antara nilai kesatria dalam kepemimpinan Tu’a
Golo berkolaborasi dengan nilai komunal gotong royong dan kerja
keras yang pada akhirnya mendukung pembangunan di kampung
17
W awancara tanggal 03 Oktober 2014
116
M ondo. Berikut adalah gambar pola hubungan antara nilai-nilai yang
dianut oleh kepala desa dan masyarakat M batakapidu dalam
pembangunan.
Kepala Desa
Masyarakat
Kerja Keras
Gotong Royong
Disiplin
Pembangunan
Kolaborasi antara nilai yang dianut
kepala desa dengan nilai komunal
dari masyarakat
Gambar 28. Pola Hubungan Antara Nilai-Nilai yang Dianut oleh Kepala
Desa dan Masyarakat Mbatakapidu dalam Pembangunan
Pembangunan yang terjadi di M batakapidu salah satunya
disebabkan oleh faktor ketokohan kepala desa yang menganut nilai
kerja keras dan kedisiplinan yang kemudian mengkoordinir
masyarakat yang notabene menjunjung tinggi nilai gotong royong
untuk perpartisipasi aktif dalam setiap kegiatan pembangunan.
Kolaborasi inilah yang membuat munculnya semangat untuk
membangun di desa M batakapidu. Hal ini diperkuat juga dengan
motivasi pembangunan untuk perenungan yang dijunjung tinggi oleh
kepala desa selaku fasilitator seperti (1) merasa diri dipercaya; (2)
komitmen atau tekad untuk berbuat; (3) merasa bersalah jika tidak
melaksanakan tugas dan (4) kerja sama dengan pihak lain.
117
Kesimpulan
Relasi antara orang M batakapidu dengan program pemerintah
dan LSM dari masa ke masa menggambarkan semakin tingginya
kesadaran secara komunal masyarakat untuk merespon segala programprogram yang masuk ke desa, karena orang M batakapidu menganggap
bantuan dari pihak lain sebagai perangsang untuk mengembangkan
segala potensi yang ada di desa M batakapidu.
M andara dimaknai sebagai sarana untuk mempererat hubungan
kekerabatan atau tali silaturahmi antara keluarga yang satu dengan
keluarga lainnya serta untuk menjembatani kebutuhan. Tentu temuan
ini berbeda dengan temuan Palekahelu (2010 : 214) yang menyebut
mandara sebagai tindakan untuk mengatasi ketidakpastian dan
ketidakamanan pangan.
Eksistensi dari organisasi atau kelembagaan warga di desa
M batakapidu seperti KW T tidak terlepas dari kekompakan, solidaritas
dan kerja keras yang tertanam dalam jiwa masing-masing anggota
kelompok. Hal inilah yang membuat KW T ini menjadi sorotan baik di
level lokal, regional maupun nasional.
Belum adanya kelembagaan adat yang terstruktur secara
organisatoris akan mampu memicu terjadinya kesenjangan sosial di
tengah masyarakat seperti dalam hal pengalokasian sumberdaya, hak
kepemilikan (individual maupun communal property) dan sebagainya.
Ketokohan kepala desa M batakapidu ternyata dipicu oleh nilai
kerja keras dan kedisiplinan yang dianutnya. Hal inilah yang
membuatnya menjadi demplot bagi orang M batakapidu untuk turut
berpartisipasi aktif dalam pembangunan.
118