Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Sokhai untuk Menyelesaikan Masalah Rumah Tangga di Pulau Pantar T2 752016007 BAB IV

Bab IV
Kajian Konseling Pernikahan Sokhai Di Pulau Pantar

Berdasarkan temuan hasil penelitian diatas maka didapatkan hasil
penelitian yang akan dikaji dari perspektif konseling pernikahan:
1. Sokhai Dalam Perspektif Konseling Pernikahan
Dalam era masyarakat sekarang ini akan ada banyak hal yang mengalami
perubahan baik dari segi berpikir dan corak budaya itu sendiri. Hal ini tergambar
dari berbagai macam tarian-tarian modern yang sudah lebih banyak ada di masa
sekarang ini, seiring berjalannya waktu maka posisi tarian-tarian tradisonal akan
dilupakan dan bahkan sudah sudah tidak diminati lagi keberadaannya di masa
sekarang ini.
Demikan pula yang terjadi untuk masyarakat Pantar khususnya yang
berada di desa Bouweli perkembangan tarian modern membuat posisi tarian
tradisonal mulai tidak dipertahankan keberadaanya. Tarian sokhai awal mulanya
adalah tarian yang digunakan untuk menyambut orang-orang yang kembali dari
medan perang artinya tarian ini memiliki nilai budaya dan nilai magis yang tinggi.
Masyarakat yang hidup saat itu sangat menjunjung nilai-nilai yang ada pada
leluhurnya. Mereka hidup dengan budaya yang membentuk pola kebersamaan
mereka. Saat itu sebelum masuknya agama-agama modern masyarakat tradisional
saat itu sudah hidup dengan teritorial mereka yang sama, warisan tanah suku serta

hubungan perkawinan yang terus terjaga dengan baik hingga pada sekarang ini.

80

Hakikatnya sebuah individu itu tak pernah untuk bisa hidup sendiri. Ada
kelakuan sosial yang tidak lepas dari berbagi macam fakta-fakta moral yang
mengikat dalam sistem hidup bermasyarakat. Fakta itu berkaitan dengan cara
untuk melakukan proses relasi sosial dan bertindak dalam sistem masyarakat itu
sendiri dalam hal ini berkaitan dengan ikatan perkawinan. Hal ini menyatakan
bahwa konflik dalam tahapan perkawinan ialah yang berkaitan dengan kesulitan
untuk menerima perbedaan pada nilai-nilai, perbedaan pendapat serta kebiasaankebiasaan yang tentu saja dapat memicu konflik yang bukan saja terjadi antar lakilaki dan perempuan tetapi antar keluarga itu sendiri.1
Oleh sebab itu melihat konteks masyarakat

desa Bouweli

maka

ditemukan bahwa masyarakat tetap menjadikan tarian sokhai sebagai tarian
perdamaian antar kedua belah pihak keluarga yang berkonflik dalam proses
pembicaraan belis. Sebelum ada pada tahap pelaksanaan sokhai ada tahapantahapan yang harus dilalui oleh kedua belah pihak salah satunya adalah

perdebatan jumlah belis serta kesepakatan-ksepakatan lain agar dapat diterima
oleh pihak perempuan sehingga proses inilah yang membuat konflik dan
pertikaian antar kedua beluarga.
Tarian sokhai memiliki nilai filosofis yang tinggi yakni sokhai
digambarkan seperti sebuah cincin yang tak ada ujungnya dengan pengertian
bahwa seperti ingin membangun hubungan pernikahan maka apapun yang terjadi
dalam proses perjalanan membangun rumah tangga pada nantinya haruslah

1

Agoes Dariyo, Memahami bimbingan, konseling dan terapi perkawinan untuk pemecahan
masalah perkawinan. Jurnal Psikologi Vol. 3 No. 2, Desember 2005.

81

menjaga ikatan pernikahan itu sebaik-baiknya. Dalam arti umum, perkawinan
pada hakikatnya adalah persekutuan hidup antara pria dan wanita, atau dasar
saling mencintai untuk membentuk hidup bersama secara tetap dan memilki
tujuan yang sama, yaitu saling membahagiakan.
Melalui konseling perkawinan pasangan yang akan menikah dibantu untuk

membentuk sebuah pengakuan bahwa apakah sesungguhnya mereka sudah
matang untuk menikah atau tidak.2 Sehingga menurut Clinebell dikatakan bahwa
konseling pastoral bagi pernikahan adalah dengan menggunakan model hubungan
peran ( role relationship). Model ini menjelaskan bahwa bila dua orang menikah
maka mereka akan membangun suatu kesatuan psikologis yang baru, yakni
hubungan mereka. Kesatuan ini menjadi pusat perhatian pada konseling
pernikahan.3
Konteks masyarakat Bouweli, proses tarian sokhai mau menggambarkan
kepada kedua pasangan yang akan menikah agar menjaga kehidupan rumah
tangga pada nantiya seperti pola cincin yang ada dalam proses tarian tersebut.
Masyarakat mau menggambarkan bahwa tarian sokhai ini bukan hanya sebagai
tanda untuk menyatukan dua keluarga yang bertikai tetapi tarian ini bisa
digunakan sebagai tanda cinta dan kasih untuk kedua pasangan yang akan
menikah mengingat landasan filosofis yang ada pada tarian sokhai tersebut
sebagai dasar untuk tetap menjaga kehidupan pernikahan seperti sebuah cincin .
Proses membanghun kehidupan rumah tangga kedua pasangan tetaplah menjaga
2

Messach Krisetya,Konseling Pernikahan dan Keluarga ,( Salatiga: Fakultas Teologi
Uksw, 1999) , 25-26

3
Howard Clinebell, Types Of Pastoral Counseling, 110

82

hubungan pernikahan mereka dalam ikatan batin (psikologis) sehingga saat
terjadinya konflik maka kedua pasangan ini tetap menjaga kesatuan dengan saling
memahami karakter dan dirinya masing-masing untuk dapat meredam setiap hal
yang dapat memicu terjadinya konflik dan ikatan kesatuan dalam proses
pernikahan tersebut.
Tarian sokhai juga berbeda dengan tarian-tarian yang ada di daerah
Kabupaten Alor karena saat melakukan proses tarian posisi perempuan akan
berada didepan dan laki-laki akan berada dibelakang dengan maksud bahwa lakilaki akan selalu menjaga dan melindungi perempuan dalam keadaan apapun dari
ancaman-ancaman luar. Dari pemahaman ini seperti yang dijelaskan oleh Messach
yang mengartikan perkawinan adalah suatu relasi. Relasi ini yang akan
menentukan arah dan sasaran yang bisa dicapai oleh keluarga.4 Artinya dalam
tahap konteks masyarakat bouweli dalam proses menjalankan tarian sokhai posisi
antara laki-laki dan perempuan mau menunjukan adanya pola relasi yang sudah
ditonjolkan baik laki-laki yang akan berperan untuk menjaga, membimbing dan
menopang perempuan.

Relasi yang terbentuk dalam proses tarian ini yang tentu saja dapat
menjadi landasan yang kuat untuk kaum laki-laki yang ada desa Bouweli untuk
tetap menjadi mitra dan partner yang baik untuk perempuan. Dalam proses relasirelasi yang sudah dibangun oleh masyarakat Bouweli artinya masyarakat itu
sendiri yang sudah terlebih dahulu membuat adanya proses konseling pernikahan

4

Messach Krisetya,Konseling Pernikahan dan Keluarga, ( Salatiga: Fakultas Teologi Uksw,
1999) , 25-26

83

yang terjadi lewat posisi dalam proses tarian sehingga hal ini juga dapat menjaga
persekutuan yang baik antara laki-laki dan perempuan maupun dalam lingkup
keluarga itu sendiri.
Konflik yang terjadi di Pulau Pantar adalah konflik yang berkaitan dengan
proses pembicaraan adat antara pihak dari laki-laki dan pihak perempuan untuk
menentukan harga yang cocok dengan pemberian belis untuk perempuan. Proses
pembicarannya akan berlangsung dengan lama, biasanya dalam proses
pembicaraan yang lama ini tentu saja akan menimbulkan konflik. Konflik yang

terjadi berupa kata-kata kasar serta tindakan kekerasan yang dapat membuat
pertikaian antar kedua belah pihak dalam forum adat tersebut. Sehingga menurut
Weber, konflik tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sosial terjadinya konflik
tidak terelakkan dalam suatu masyarakat disebabkan masyarakat dipandang
sebagai struktur sosial yang mencakup proses-proses asosiatif dan disosiatif
yang hanya dapat dibedakan secara analisis.5 Dalam hal ini mencakup konfik
yang terjadi dalam masyarakat desa Bouweli, persoalan adat yang dibahas dalam
forum adat tentu saja ada dalam struktur sosial dan dibangun dalam kehidupan
masyarakat itu sendiri sehingga konflik yang berkaitan dengan pembicaraan belis
antar kedua belah pihak keluarga harus dihadapi dan tidak dapat dihindari.
Dalam kaitannya dengan konteks masyarakat desa Bouweli proses konflik
yang terjadi adalah untuk meningkatkan keharmonisan hubungan yang lebih
lanjut lagi dalam bermasyarakat karena pandangan dari masyarakat dikampung ini
bahwa jika sebuah konflik tidak terjadi antar kedua belah pihak ini maka proses
5

Chandra, R.I,Konflik Dalam Kehidupan Sehari – hari, (Yogyakarta; Kanisius,1992)

84


penyelesaian dari konflik tidak akan tercapai dengan baik artinya kedua belah
pihak keluarga ingin menyatukan perbedaan-perbedaan yang dihadapi dalam
proses adat ini baik yang berkaitan dengan budaya, nilai-nilai yang dipegang serta
kendala-kendala yang dialami lewat proses konflik ini sehingga dari konflik yang
terjadi akan terciptanya proses relasi dan peningkatan keharmonisan hubungan
antar kedua keluarga.
Proses adat ini akan ada pertikaian yakni dengan melakukan tindakan
kekerasan antar kedua belah pihak tetapi akan terselesaikan terlebih dahulu
dengan proses adat lagi yakni dengan meminum tuak/sopi dari gelas yang sama
sebagai tanda sudah tidak ada persoalan sehingga proses pembicaraan adat dalam
perkawinan ini akan dilanjutkan.
Masyarakat Bouweli memahami bahwa simbol tuak/sopi memiliki makna
yang tinggi artinya minuman ini sebagai tanda perdamaian untuk kedua belah
pihak yang harus terselesaikan terlebih dahulu sebelum ada pada tahap
pelaksanaan sokhai karena jika tidak dilakukan maka akan ada konflik-konflik
internal yang akan ditimbulkan sehingga pada nantinya relasi sosial yang terjadi
antar kedua belah pihak tidak terjalin dengan baik.
Tuak/ sopi ini mau menggambarkan suatu relasi dan kesepakatan sosial
yang sudah terjalin antar kedua keluarga sehingga konflik apapun yang terjadi
kedua minuman ini tetap menjadi simbol perdamaian dan mengikat persaudaraan

antar kedua keluarga kedua belah pihak ini. Hal ini sesuai dengan yang dikatakan
oleh William Clebsech bahwa ada fungsi membimbing (Guilding) ialah

85

membantu orang yang berada dalam kebingungan dalam mengambil pilihan yang
pasti (meyakinkan diantara berbagai pikiran dan tindakan alternatif/ pilihan)
pilihan yang dipandang mempengaruhi keadaan jiwa mereka sekarang dan pada
waktu yang akan datang. Artinya dalam tahap tersebut secara tidak langsung
masyarakat sudah menciptkan adanya proses konseling yang terjadi dari
alternatif-alternatif lain yang dipandang dapat mengutuhkan dan bahkan
mempersatukan kedua keluarga yang berkonflik ini sehingga proses bimbingan
antar kedua keluarga terjadi dari simbol perdamian yakni tuak/sopi ini.
Dilihat dari konteks masyarakat Bouweli juga beberapa aspek diatas
memberikan pengaruh dalam sebuah ikatan perkawinan dan dalam proses untuk
menyelesaikan masalah antara kedua belah pihak terjadi dalam masyarakat desa
Bouweli itu sendiri. Fakor pendirian dan faktor budaya menjadi bagian yang
mencolok untuk rawan terjadi konflik dalam kelompok masyarakat ini. Karena
dalam proses pembicaraan adat akan ada perbedan pendirian untuk menentukan
harga belis dan kesepakatan-kesepakatan yang ada sehingga jika salah satu pihak

tidak menyetujui dalam hal ini berkaitan dengan jumlah moko yang banyak,
perlengkapan-perlengkapan lain yang harus segera diberikan maka dari hal-hal ini
kedua belah pihak baik dari pihak laki-laki dan perempuan akan rawan untuk
terjadinya konflik. Biasanya yang dapat menimbulkan konflik ini adalah
datangnya dari om (paman) kedua belah pihak yang tentu saja mempertahankan
pendiriannya masing-masing. Perbedaan itu ditimbulkan juga karena pihak dari
laki-laki belum bisa untuk memenuhi permintaan lanjutan dari pihak perempuan
karena terkendala pada status ekonomi dikarenakan biasanya jumlah moko yang

86

diminta disesuaikan juga dari kesepakatan yang ada dari pihak perempuan untuk
segera dipenuhi.
Oleh sebab itu menurut Fisher penyebab terjadinya konflik dalam
masyarakat ialah adanya kesalahpahaman dan ketidakcocokan karena perbedaan
budaya yang dianut. Perbedaan budaya memilki peranan yang tinggi dalam aspek
masyarakat.6 Hal ini pun berlaku dalam lingkup proses pembicaraan adat dalam
perkawinan yang ada di pulau Pantar tepatnya di desa Bouweli masyarakat yang
ada dalam forum adat adalah datang dari budayanya masing-masing.
Budaya memiliki peranannya yang tinggi dalam kehidupan masyarakat

lokal, budaya tidak hanya dipandang sebagai perbedaan budaya saja tetapi dari
pola pembentukan, cara berpikir serta bahasa-bahasa adat yang digunakan.
Sehingga hal-hal ini tentu saja dapat memicu setiap orang yang ada dalam forum
adat tersebut memiliki pendiriannya masing-masing dalam pembicaraan adat belis
kawin yang membuat perselisihan dan konflik bisa saja terjadi.
Oleh karena itu menurut Engel, konflik dalam keluarga karena perbedaan
budaya dipahami sebagai sebuah proses kemampuan seseorang untuk memahami
dan menyadari serta mengakui adanya nilai-nilai budaya dan perilaku manusia
diluar dirinya sendiri sehingga suami-isteri dan keluarga yang berkonflik akan
belajar mengenal dirinya dan memahami bahwa adanya perpektif terbatas,
memihak dan relatif pada latar belakang diri sendiri.7. Jika melihat konteks
6

S. Fisher, dkk, Mengelola Konflik: Ketrampilan dan Strategi Untuk Bertindak
,(Jakarta: The British Council,2001).
7 J. D. Engel, Konseling Pastoral dan Isu-Isu Kotemporer, (Jakarta, Bpk Gunung Mulia,
2016), 66.

87


masyarakat desa bouweli konflik keluarga ini bisa membuat kedua belah pihak
akan lebih mengerti dan memahami tentang nilai-nilai kebersamaan yang tinggi
baik dari segi budaya, etnis maupun agama.
Kedua belah pihak keluarga yakni pihak perempuan dan laki-laki ini
terbentuk dan datang dari budaya, nilai-nilai yang dipegang serta pemahaman
yang berbeda sehingga saat dpertemukan dalam forum adat maka akan memicu
terjadinya konflik yang berujung pada tindakan kekekerasan. Tetapi justru dengan
konflik yang terjadi dalam konteks masyarakat desa Bouweli maka secara
langsung akan muncul kesepakatan-kesepakatan yang dibangun antar kedua belah
pihak dan dapat menciptakan hubungan yang harmonis dalam masyarakat setelah
terjadinya konflik .
Pemahaman ini juga memberikan penggambaran dari penelitian yang di
dapat bahwa pada dasarnya sokhai ini adalah sebuah tarian sakral yang digunakan
untuk menyambut orang-orang yang kembali dari medan perang karena telah
memperoleh kemenangan. Tetapi untuk mempertahankan tarian ini tetap ada
maka sokhai ini sudah digunakan sebagai tarian adat untuk menyelesaikan
masalah perkawinan yang terjadi antara kedua belah pihak baik pihak laki-laki
dan perempuan dalam sebuah ikatan perkawinan. Artinya pola pergeseran makna
ini membuat masyarakat Bouweli terus mengembangkan sokhai menjadi tanda
perdamaian untuk menyatukan dua keluarga yang bertikai. Sokhai masih
dipertahankan karena sokhai dianggap sebagai warisan leluhur yang tentu saja
memiliki nilai magis yang kuat.

88

Konflik yang terjadi dalam konteks masyarakat desa Bouweli adalah
konflik yang pada nantinya akan membuat relasi sosial dan solidaritas sosial
dalam masyarakat menjadi lebih kuat dan harmonis hal ini sesuai dengan yang
dikatakan oleh Samiyono bahwa hal-hal positif yang didapatkan dari konflik jika
masyarakat dapat mengelola konflik dengan baik diantaranya adalah :
a. Membuat organisasi tetap hidup dan humoris, masing-masing
kelompok dapat melakukan adaptasi sehingga dapat terjadi perubahan dan
perbaikan.
b. Munculnya keputusan inovatif. Konflik akan mendorong orang
untuk

berpikir

lebih

hati-hati

dalam

memutuskan

sesuatu atau

mempertimbangkan dengan sebaik-baiknya.
c. Munculnya persepsi lebih kritis.
d. Meningkatnya sikap solidaritas sosial.8
Ditemukan dari hasil penelitian adalah bahwa masyarakat desa bouweli
dapat mengelola konflik dengan cara mereka sendiri yakni menggunakan model
penyelesaian konflik dari peranan tradisi-tradisi lokal yang masih dijaga kearifan
lokalnya dalam hal ini berhubungan dengan tarian sokhai sebagai tarian yang
dapat mempersatukan kedua keluarga yang bertikai serta dapat menghimpun
masyarakat agar tetap menjaga ikatan kebersamaan dan kesatuan diantara
kehidupan mereka.

David Samiyono, Diktat Lokakarya “Membangun Perdamaian didalam Masyarakat
Berbhineka Tunggal Ika;tanggal 28-29 Januari 2011

8

89

Tarian sokhai digunakan oleh masyarakat desa Bouweli sebagai
penyelesaian konflik yang telah dilakukan secara bersama-sama oleh kedua belah
pihak serta masyarakat untuk dapat memberikan solusi atas persoalan serta
pertikaian yang terjadi dalam hal ini berhubungan dengan proses pembicaraan
adat itu. Penyelesaian konflik yang digunakan oleh masyarakat di desa Bouweli
adalah proses penyelesaian konflik yang dapat menyatukan dan membangun
kebersamaan sebagai wujud dari menjaga tatanan dan keharmonisan dalam
lingkup bermasyarakat.
Dalam melihat akan hal diatas akan sesuai dengan pendekatan yang
dikemukan oleh Galtung yakni peace bulding dalam pendekatan ini mengatakan
adanya upaya untuk mencoba mengembalikan keadaan destruktif akibat kekerasan
yang terjadi dalam konflik dengan cara membangun jembatan komunikasi antara
pihak yang terlibat konflik. Melalui proses peacebuilding diharapkan negative
peace atau (the absence of violence) berubah menjadi positive peace dimana
masyarakat merasakan adanya keadilan sosial dan kesejahteraan yang sudah ada. 9
Hasil penelitian juga didapatkan bahwa untuk mengembalikan keadaan
tersebut dan menjembatani serta menjadi tanda perdamaian dalam lingkup kedua
belah pihak yang berkonflik baik dari pihak laki-laki dan perempuan maka yang
dilakukan untuk menjembatani dua pihak yang berkonflik ini dengan melakukan
tarian sokhai sebagai tarian perdamaian untuk menyatukan yang berkonflik
sehingga lewat tarian ini segala kekerasan dan bahkan konflik yang terjadi dalam
prosesi adat sudah terselesaikan dengan baik. Tarian ini juga mau menunjukan
9

Galtung John, Peace, War defense: essays in peace research: Vol 2 (Ejlers: Copenhagen, 1976).

90

bahwa apapun yang terjadi dalam kampung ini perdebaatan dan konflik yang ada
haruslah diingat untuk terus membangun kerja sama, saling menghargai, menjaga
ikatan kesatuan serta memupuk persaudaraan antar masyarakat di desa ini seperti
falsafah yang dipegang yakni “Taramiti Tominuku”.
Oleh karena itu salah satu model penyelesaian konflik yang gunakan oleh
masyarakat desa Bouweli dari hasil penelitian yang didapatkan seperti yang
dikemukan oleh Amriani ialah model penyelesaian therapeutic, artinya model
mediasi,yakni model penyelesaian konflik secara kekeluargaan sehingga kedua
pihak bisa tetap menjaga hubungan baik.10 Dalam proses penyelesaian konflik
dalam pembicaraan adat masyarakat menggunakan cara-cara secara tradisional
dengan memegang nilai-nilai yang sudah sejak dulu kala salah satunya dengan
menyelesaikan konflik menggunakan tarian yang diharapkan lewat proses
penyelesaian tersebut dapat membuat hubungan antar kedua keluarga atau dalam
lingkup masyarakat tetap terjaga dengan baik sehingga konflik tidak menjadi
penghambat untuk tetap membangun ikatan kebersamaan, kekeluargaan dan
kesatuan diantara kedua belah pihak keluarga.
Sokhai ini sebagai salah satu bentuk perdamaian yang dikembangkan
oleh masyarakat menjadi upaya berdamai yang dilakukan untuk menyatukan dua
keluarga yang bertikai karena perdebatan adat. Biasanya permasalahan itu muncul
saat adanya perbedaan-perbedaan yang terjadi semisal perdebatan tentang jumlah
moko yang harus diberikan melihat suku yang berbeda, perbedaan lingkup sosial
serta perbedaan budaya-budaya yang ada dalam setiap perdebatan tersebut, tetapi
10

S.Ronald Kraybill, „’Peace Skills “ Panduan Mediator”; (Yogyakarta : Kanisius 2002).

91

akan menarik untuk dilihat bahwa konflik ini sebagai upaya untuk setiap manusia
yang memiliki perbedaan –perbedaan baik secara konsep pemikiran, perbedaan
budaya dan bahasa adat untuk lebih memahami dirinya dan orang lain menjadi
lebih baik. Artinya saat sokhai ini dilangsungkan maka segala perselisihan yang
memicu untuk terjadinya konflik akan terselesaikan dalam proses tarian ini untkuk
kedua belah pihak kelurga yang bertikai ini.
B. Pelaksanaan Sokhai Dikaji dari Konseling Pernikahan
Dalam proses perkawinan, sokhai ini sudah digunakan terlebih dahulu
dalam pembicaraan adat karena saat pihak laki-laki datang kepada pihak
perempuan maka tarian sokhai akan ditarikan sebagai sebuah penyambutan dan
diiringi dengan bunyi dari gong serta tambur yang menandakan bahwa pihak lakilaki sudah datang dan memenuhi janji mereka. Bunyi gong tersebut sebagai tanda
sebuah proses adat akan segera dilaksanakan. Gong yang digunakan adalah
bukanlah benda yang di sakarlkan tetapi bunyi gong sebagai tanda untuk
menghimpun atau memanggil masyarakat yang ada di kampung tersebut. Bunyi
gong ini biasanya bukan hanya di dengar di kampung ini saja tetapi akan
terdengar di kampung sebelah dan ketukan dari bunyi gong juga sudah dipahami
sebagai tanda bahwa dikampung ini sedang di adakan sebuah prosesi adat untuk
membahas tentang perkawinan dalam hal ini pengantaran belis atau meminang
nona.
Digambarkan bahwa pembicaraan belis yang ada pada zaman dahulu
yakni belis rawan untuk dibicarakan karena akan memakan korban dan

92

menyebabkan sebuah konflik dengan terjadinya perkelahian sampai berdarahdarah. Persoalan belis seperti ini biasanya bermula saat penentuan harga belis dan
berapa banyak jumlah moko yang akan diberikan dan diminta dari pihak
perempuan. Tetapi saat sekarang ini proses pembicaraan adat hanya ada pada
saling memaki dan saling adu mulut saja tetapi tidak menutup kemungkinan akan
terjadi perkelahian dalam forum adat ini.
Jubir ini adalah kepala suku atau orang yang paling dituakan dalam
sukunya. Jubir yang bertugas harus mempersilahkan orangtua dari pihak laki-laki
untuk datang berbicara dan berdiskusi dengannya sebelum nanti akan
disampaikan kepada pihak dari keluarga perempuan karena pada saat pembicaraan
adat seperti ini orang tua kedua belah pihak tidak bisa ikut memberikan suaranya
dan juga saat pembicaraan adat perempuan tidak memiliki hak untuk memberikan
suaranya karena pamali jika ada suara-suara pemberian pendapat dari perempuan.
Dari hasil penelitian yang didapatkan diatas akan sesuai dengan pandangan dari
Clebesch bahwa ada fungsi konseling yang terjadi yakni memulihkan
(Reconciling) yaitu usaha untuk membangun hubungan-hubungan yang rusak
kembali di antara manusia dan sesama manusia dan di antara manusia dengan
Allah.11
Posisi seperti itu jubir menjadi konselor antar kedua belah pihak, jubir
yang telah dipilih dapat menempatkan diri dalam proses adat perkawinan dan
harus bisa meredakan konflik antar kedua belah pihak yang berkonflik yang

11

Donald Capps, Penggunaan Alkitab Dalam Konseling Pastoral, (Yogyakarta, Kanisius, 1999)
193

93

rawan untuk terjadinya pertikaian ditengah-tengah proses adat tersebut. Jubir juga
harus bersikap netral dengan tidak memihak kepada lain pihak sehingga seorang
jubir yang dipilih dalam proses adat ini adalah juru bicara khusus yang ada dalam
suku-suku-suku dalam masyarakat di desa bouweli yang memilki perbendaharan
kata serta mampu menghadapi dan menangani konflik-konflik seperti ini
ditengah-tengah kehidupan masyarakat.
Hal-hal ini menjadi pola yang kuat untuk proses konseling selanjutnya
kepada pihak-pihak yang berkonflik antar kedua keluarga dan bahkan proses
berelasi dan berkonflik ditengah-tengah masyarakat. Dalam proses konseling
dilakukan agar dapat menjadi landasan yang kuat untuk kedua keluarga yang
berkonflik sehingga saling memahami nilai-nilai yang sudah ada serta dapat
membuat hubungan kerjasama dan relasi sosial antar keduanya menjadi lebih
kokoh. Menurut pandangan dari Capps dikatakan bahwa dalam proses konseling
pastoral terhadap pernikahan berfokus pada “perbaikan relasi pernikahan”, bukan
kepada penanggulangan konflik kepribadian intrapsikis‟‟ (sebagaimana dalam
bidang psikoterapi). Tujuan utama pendekatan konseling pernikahan adalah
membangun relasi agar semakin saling memenuhi kebutuhan masing-masing.12
Melihat konteks untuk masyarakat Bouweli maka sokhai dapat dipandang
sebagai suatu upaya dari masyarakat untuk menjaga tradisi yang sudah ada yang
telah dijaga oleh para leluhurnya dengan pemaknaan yang berbeda, jika pada saat
dulu pemaknaan sokhai lebih bertumpu kepada suatu upacara adat untuk

12

Donald Capps, Penggunaan Alkitab Dalam Konseling Pastoral, (Yogyakarta, Kanisius, 1999)
193

94

menyambut orang-orang yang kembali dari medan perang tetapi seiring dengan
berjalannya waktu maka sokhai ini digunakan pada setiap kegiatan adat lainnya
salah satunya adalah dalam proses meminang nona dan proses pengantaran belis,
dalam proses ini akan terlihat sokhai ini memiliki pemaknaan yang masih relevan
untuk digunakan sekarang ini karena tarian sokhai mengambarkan sebuah upaya
damai yang dilakukan untuk menyelesaikan masalah rumah tangga yang terjadi di
Pulau Pantar salah satunya di desa Bouweli ini.
Dilihat dari konteks masyrakat Bouweli juga bahwa proses penyelesaian
konflik untuk menyelesaikan masalah rumah tangga di Pulau pantar adalah untuk
menjaga relasi antar kedua belah pihak keluarga yang bertikai secara khususnya
pasangan yang akan menikah sehingga fokus utamanya ada pada pola perbaikan
relasi bukan bertumpu pada konflik yang terjadi dalam forum adat tersebut.
Sehingga proses konseling pernikahan bisa terjadi antar kedua belah pihak
keluarga dan pasangan yang menikah sehingga relasi-relasi dan kesepakatan yang
telah dibuat dapat juga memenuhi kebutuhan masing-masing dari kedua pasangan
dalam membangun kehidupan rumah tangganya. Kesepkatan-kesepakatan itu bisa
berupa tanda perdamaian yang sudah melekat dalam kehidupan masyarakat
setempat yang menjadi wadah untuk perbaikan relasi antar kedua keluarga yang
akan menikah ini.
Ditemukan juga dalam kehidupan masyarakat Bouweli bahwa ternyata
ada tanda perdamaian lain yang digunakan untuk menyelesaiakan setiap
perdebatan yang dapat menyebabkan konflik itu salah satunya adalah simbol
minuman tuak/ sopi. Biasanya yang akan membawa minuman tuak/sopi ini adalah
95

para ibu-ibu yang berada dibelakang forum adat. Ini bukan untuk menciptakan
mabuk-mabukan tetapi justru minuman ini sebagai tanda dan simbol damai antara
kedua belah pihak, menjadi hal yang menarik karena saat meminum minuman ini
maka gelas yang dipakai adalah satu gelas yang dituangkan untuk kemudian
diedarkan kepada kedua belah pihak baik dari pihak laki-laki dan perempuan
sebagai tanda bahwa saat mereka sudah meminumnya maka segala perdebatan,
kemarahan dan apapun itu telah di damaikan terlebih dahulu dengan simbol
minuman tersebut.
Hal ini juga mau menggambarkan bahwa saat sudah meminum minuman
tuak/sopi maka sudah terjalian rasa kekeluargaan dan kebersamaan antar kedua
belah pihak yang berkonflik artinya lewat proses perkawinan ini sudah
membentuk keluarga yang luas dan minuman ini sebagai simbol bahwa semua
adalah satu keluarga yang terikat melalui proses perkawinan ini. Simbol ini juga
memberitahu bahwa sudah terjadinya proses konseling antar kedua belah pihak
dan ibu-ibu yang membawa minuman ini adalah sebagai konselor untuk dapat
menyatukan kedua belah pihak yang berkonflik dalam forum adat ini. Sehingga
proses konseling tercipta dari pemberdayaan yang sudah justru terlebih digagas
oleh masyarakat itu sendiri.
Proses pelaksanan sokhai dalam masyarakat Pantar ialah sebuah proses
yang paling dinantikan karena dalam proses ini menandakan bahwa sudah terjadi
sebuah upaya damai yang telah tercipta antara kedua belah pihak. Dalam proses
pelaksanaan sokhai ini maka pihak perempuan akan mempersilahkan pihak lakilaki untuk menuju ke tempat adat yakni rumah adat untuk melakukan proses tarian
96

sokhai secara bersama-sama. Tarian ini akan menarikan dengan gerakan
menghentakan kaki dan mengelingi mezbah adat (yerget) sebanyak 12 kali. Dalam
tradisi masyarakat yang ada dikampung ini proses pelaksanaan sokhai akan
ditandakan dengan pemukulan gong yang menandakan bahwa tarian sokhai akan
segera ditarikan oleh kedua belah pihak.
Proses pelaksanan sokhai ini bukanlah hanya diihat sebagai sebuah proses
untuk menari secara bersama-sama tetapi lebih daripada itu tarian sokhai adalah
tarian yang dianggap sebagai tarian sakral karena saat pelaksanaan sokhai ini akan
ada pantun-pantun serta wejangan-wejangan yang dikeluarkan sebagai pedoman
hidup untuk laki-laki dan perempuan yang akan menikah. Sehingga menurut
Brammer dan

Shostrom

mengemukakan

bahwa

konseling perkawinan

dimaksudkan agar membantu klien-kliennya untuk dapat mengaktualkan diri
dari yang menjadi perhatian pribadi menjadi perhatian bersama.13 Dalam proses
menyampaikan wejangan-wejangan itu tetua adat ingin mengatakan bahwa jika
sudah menikah maka harus tetap menjaga ikatan pernikahannya sekalipun ada
konflik tetap harus diselesaikan dengan baik. Lewat penyampaian wejangan itu
pun bisa dikatakan bahwa jika sudah menikah maka kedua pasangan tidak akan
hidup untuk dirinya saja tetapi sudah hidup bersama sehingga susah dan senang
haruslah tetap dijalani dan diselesaikan secara baik dalam membina rumah tangga.
Hal ini sesuai dengan pandangan dari Gladding yang menyebutkan bahwa
konseling

adalah

hubungan pribadi

antara

konselor

dan

klien. Dalam

13 Faizah Noer Laela, Konseling Perkawinan sebagai Salah Satu Upaya Membentuk Keluarga
Bahagia, 2.

97

hubungan pribadi tersebut, terapis atau konselor membantu klien untuk
memahami diri sendiri disetiap keadaan, baik sekarang dan dimasa yang
akan datang, dengan menggunakan potensi-potensi yang dimilikinya untuk
kesejahteraan pribadi

maupun masyarakat.14

Dalam proses pelaksanannya

tarian sokhai yang berperan menjadi konselor adalah tetua adat dengan pengertian
bahwa selama menyampaikan wejangan-wejangan ini maka tetua adat telah
mempersiapkan kedua pasangan agar bisa memahami dan mengerti tentang
dirinya dan pasangannya dengan baik untuk keadaan sekarang dan nantinya
sehingga saat menghadapi persoalan dalam rumah tangga dapat saling menopang
dan membimbing satu dengan yang lainnya secara baik.
Pelaksanan sokhai ini menjadi wadah untuk terjadinya proses konseling
pernikahan secara budaya yang dilakukan oleh konselor budaya yakni tetua adat
dengan proses konseling yang dilakukan secara budaya lewat nasehat-nasehat
yang disampaikan berupa pantun dengan menggunakan bahasa adat yang sarat
akan makna untuk laki-laki dan perempuan yang akan menikah dan membina
kehidupan rumah tangganya.
Pantun yang diberikan yakni (bahasa daerahnya). Ya“oaa oaa watasi
wanana, oaa lei lei ee eta wena ee. Oaa oaa watasi wanana katasi wanana ee
yang berarti

“ apapun yang terjadi kedua pasangan ini yakni laki-laki dan

perempuan yang akan menikah baik susah dan senang harus bersama-sama dan
sekalipun ada persoalan haruslah diselesaikan dengan cara yang baik-baik”.

14

Selviana Lia, Layanan konseling perkawinan pada pasangan suami istri di BP4 .(Kota
Yogyakarta), 15

98

Dengan memilki pemahaman bahwa untuk mencapai tujuan perkawinan dalam
jangka panjang diharapkan agar pasangan yang menikah untuk meningkatkan
kesadaran

terhadap

dirinya dan

dapat saling berempati, meningkatkan

kesadaran

tentang kekuatan dan potensinya masing-masing, saling membuka

diri, meningkatkan hubungan yang saling intim, mengembangkan keterampilan
komunikasi, pemecahan masalah, dan mengelola konfliknya.15
Jika dikaji dari pandangan masyarakat Bouweli pantun yang diberikan
oleh tetua ada ini memiliki makna jangka panjang dalam membangun pernikahan
untuk kedua pasangan. Artinya pasangan yang menikah dituntut untuk dapat bisa
saling memahami satu dengan yang lain, dapat bisa untuk mengelola konflik yang
bisa saja terjadi dalam membangun kehidupan rumah tangganya serta dapat
mengetahui potensi-potensi yang ada dalam diri pasangannya sehingga pantunpantun yang diberikan sudah menjadi wadah untuk terjadinya proses konseling
agar dapat mempersiapakan kedua pasangan yang akan menikah secara lahir dan
batin untuk masuk dalam tahapan pernikahan dan membangun rumah tangganya.
Pantun yang diberikan kepada kedua pasangan yang akan menikah juga
memiliki makna yang tinggi artinya pantun yang diberikan akan diulang sebanyak
12 kali dalam pengulangan itu artinya tetua adat menempatkan dirinya sebagai
seorang konselor yang hadir untuk membimbing kedua pasangan agar memasuki
dan mempersiapkan diri yang baik untuk membina hubungan rumah tangga ke
depannya dengan persiapan yang matang. Proses penyampaian pantun juga

15

Selviana Lia, Layanan konseling perkawinan pada pasangan suami istri di Bp4 , (Kota
Yogyakarta), 17.

99

memiliki makna yang karena taria itu adalah tarian magis dan pantun itu hanya
bisa disampaikan oleh tetua adat artinya tetua adat memilki peran penting untuk
persiapan dan kestabilan persiapan pernikahan dari kedua pasangan yang akan
menikah di desa bouweli ini.
Dalam lingkup masyarakat di desa bouweli sudah tercipta sebuah proses
konseling dimana satu diantara mereka sudah menjadi konselor untuk
menuntaskan persoalan yang menimbulkan konflik adat ini. Melihat sokhai ini
dari sebuah titik tolak perspektif maka konseling pernikahan diperlukan untuk
menyikapi segala perbedaan-perbedaan yang dialami oleh dua pribadi yang
berbeda secara karakter serta budaya untuk dapat saling memahami dan menerima
satu dengan yang lain. Dalam hal ini perbedaan itu akan mencolok kepada dua
pribadi yakni kepada laki-laki dan perempuan yang kemudian memerlukan sebuah
konseling yang hadir untuk memberikan pemahaman baru yakni sebuah konseling
pernikahan.16
Pemahaman diatas memberikan gambaran untuk konteks masyarakat
Bouweli bahwa proses pelaksanan sokhai ini adalah sebagai upaya dari
masyarakat sendiri untuk menciptakan budaya damai lewat setiap perbedaanperbedaan yang dapat ditimbulkan oleh kedua belah pihak. Ini sebagai bukti dari
konseling yang telah diciptakan oleh masyarakat. Biasanya menurut bapak waang
dalam proses perdebatan dalam forum adat tersebut langsung segera dicarikan
jalan solusinya yang terbaik karena ini menyangkut dengan kehidupan rumah

16

Faizah Noer Laela, Konseling Perkawinan sebagai Salah satu Upaya Membentuk Keluarga
Bahagia, 2.

100

tangga yang akan dibangun oleh laki-laki dan perempuan yang akan menikah ini,
karena ketika semakin diperhambat maka tentu saja akan menambah beban sendiri
kepada kedua calon mempelai yang akan menikah. Dicontohkan bahwa ketika
laki-laki dapat membayar belis yang diminta maka saat sudah menikah nanti
biasanya akan konflik-konfilk baru dalam hal ini berkaitan dengan bahasa-bahasa
secara verbal yakni mengeluarkan kata-kata kasar dan bahkan tindakan-tindakan
yang dilakukan untuk menyakiti hati perempuan seperti kata-kata kasar dan
tindakan pemukulan.
Oleh karena itu salah satu pendekatan konseling pernikahan yang
digunakan terhadap hal diatas adalah pendekatan sistem keluarga yakni
pendekatan yang tidak berfokus pada satu orang saja tetapi dalam hal ini pada
suami- isteri serta tingkah laku yang mempengari keduanya. Adapun tujuannya
untuk merubah pola-pola tingkah laku antara keduanya.17 Maka jika melihat
dalam konteks masyarakat Bouweli untuk menghindarinya maka saat proses
pembicaraan belis dan memicu terjadinya konflik akan dengan segera dicarikan
solusi mengingat menurut pandangan masyarakat Bouweli jika tidak terselesaikan
dengan tuntas maka akan membawa beban adat tersendiri untuk kedua pasangan
yang akan menikah dan kelangsungan kehidupan keluarganya kelak. Sehingga
saat berkonflik masing-masing tidak berfokus pada dirinya sendiri tetapi pada diri
bersama yang sekalipun ada perbedaan dapat dihadapi juga secara bersama-sama.

17

Latipun. 2006. Psikologi Konseling ,( Malang, UPT Penerbitan Universitas Muhamadiyah
Malang

101

Mengingat bahwa konseling perkawinan itu penting maka menurut
Messach perkawinan bersifat kemitraan yang saling percaya dimana suatu pilihan
yang didasarkan oleh cinta serta didasarkan oleh hubungan mesra yang dibentuk
oleh kedua pasangan yang yang ingin menikah.18 Jika dikaji dari pandangan
masyarakat desa Bouweli bahwa saat sudah dilaksanakan sebuah tarian sokhai
artinya dalam proses itu sudah ada wejangan-wejangan yang diberikan sebagai
tanda kepada dua pasangan yang akan menikah dan proses konseling sudah
terjadi. Sehingga ditemukan bahwa yang menjadi konselor antar kedua pasangan
yang akan menikah datangnya dari konselor yang terbentuk dalam tradisi lokal ini
yakni tetua adat, oleh karena itu tetua adat memilki peranan yang penting untuk
dapat membimbing, mengarahkan serta memberikan nasehat-nasehat kepada lakilaki dan perempuan yang akan menikah sebagai landasan yang kuat dalam
membangun kehidupan rumah tangganya.
C. Fungsi Sokhai sebagai Konseling Pernikahan
Berdasarkan pada pemahaman diatas maka penulis menemukan beberapa
hal yang berkaitan dengan sokhai dalam kaitannya dalam proses penyelesaian
masalah perkawinan di pulau Pantar dalam hal ini berkaitan dengan konseling
pernikahan yakni:
1.

Sokhai berisi tentang wejangan-wejangan.
Proses pelaksanan sokhai dalam ikatan pernikahan yang ada di Pulau

pantar bukanlah dipandang sebagai sebuah tarian yang hadir untuk menyelesaikan
18

Krisetya Messach, Konseling Pernikahan dan Keluarga ( Salatiga: Fakultas Teologi Uksw,
1999) , 25-26.

102

masalah pernikahan setelah proses pembicaraan adat yang telah terjadi. Tetapi
sebelum ada pada tahap akhir ini maka terlebih dulu sokhai sudah ditarikan
terlebih dahulu yakni digunakan untuk menyambut pihak laki-laki yang datang
dan memenuhi janji mereka kepada pihak perempuan dimana kesepakatan adat
sudah dilakukan saat dalam proses terang kampung yang telah terlebih dahulu
dilakukan oleh perwakilan dari kedua belah pihak.
Proses tarian tersebut para tetua adat dan para orangtua melantunkan
wejangan-wejangan yang berkaitan dengan kesiapan diri dan hati dari kedua belah
pihak yang akan menikah. Hal ini seperti yang digambarkan bahwa konseling
hadir untuk membimbing, membina maupun mengarahkan perilaku klien agar
menjadi sehat sejahtera secara psikologis.19 Artinya tahapan yang dilakukan oleh
tetua adat adalah tahapan proses konseling yang diberikan agar dapat
mempersiapkan pasangan yang akan menikah baik secara fisik dan mental untuk
bisa membangun rumah tangga kedepannya dengan baik. Tetua adat telah
menjalankan fungsi konseling yakni dengan membimbing, mengarahkan dan
menasehati laki-laki dan perempuan dalam balutan nasehat-nasehat yang
dirangkai dalam pantun adat yang sarat akan makna dalam persiapan membangun
rumah tangga. Sehingga dalm proses ini

tetua adat memeberikan cara yang

humanis agar pasangan yang akan menikah dapat menemukan potensi yang ada
dalam dirinya sehingga saat sudah menikah dapat mengelola konflik dan
permasalahan sekarang maupun yang akan datang.

19

Selviana lia, Layanan konseling perkawinan pada pasangan suami istri di BP4 ,(Kota
Yogyakarta), 15

103

2.

Sokhai menjadi upaya berdamai antar kedua keluarga yang bertikai
Sokhai dalam hal ini mengambil peranan yang penting untuk membentuk

sebuah budaya damai yang diciptakan oleh masyarakat setempat. Budaya ini telah
melekat dalam diri masyarakat yang ada di kampung ini sejak dulu kala yang
kemudian seiring berjalannya waktu menjadi pergeseran makna untuk digunakan
dalam proses penyelesaian masalah adat yang berkaitan dengan perkawinan itu
sendiri. Hal ini sesuai dengan yang dikemukan oleh Clebesch bahwa adanya
fungsi memulihkan yaitu (Reconciling) yaitu usaha untuk membangun hubunganhubungan yang rusak kembali di antara manusia dan sesama manusia dna di
antara manusia dengan Allah.20
Dalam konteks ini masyarakat yang ada di desa Bouweli menunjukan
bahwa untuk menyelesaikan suatu masalah yang terjadi di kampung maka salah
satu hal yang ditempuh adalah dengan menggunakan kearifan lokal dalam hal ini
tarian budaya yakni tarian sokhai yang dapat dengan mudah mempersatukan
masyarakat dan kedua belah pihak yakni pihak laki-laki dan perempuan yang
bertikai karena perdebatan adat ini. Walaupun melihat dari tingkat pendidikan dan
pekerjaan yang ada di desa ini relatif bekerja sebagai petani dan sebagian besar
hanyalah menamatkan diri pada sekolah dasar tetapi dalam sebuah perwujudan
upaya damai masyarakat sendiri yang telah menjadikan tarian sokhai sebagai
tarian perdamaian untuk menyatukan dua keluarga yang bertikai. Masyarakat desa

20

Howard Clinebell, Tipe-Tipe Dasar Pendampingan dan Konseling Pastoral , (Yogyakarta, 2002,
Kanisius), 53-54

104

jauh lebih maju untuk mengembangkan sendiri tradisi lokal sebagai warisan dari
leluhur untuk tetap dijaga dan dilestarikan hingga sekarang ini.
3.

Sokhai menjadikan solidaritas masyarakat menjadi kuat
Solidaritas sosial yang dibangun yang berdasarkan pada nilai filosofis dari

tarimiti tominuku yaitu memupuk ikatan persaudaraan, membangun kerja sama,
saling menghargai dan menjaga kesatuan. Dalam proses adat itu didapati proses
percakapan-percakapan adat antara tetua adat dengan pihak yang berkonflik
didesa tersebut. Kehadiran dari tetua-tetua adat dapat membuat konflik yang
terjadi dapat diredam dengan baik. Dalam percakapan-percakaan adat itu tetua
adat dapat menopang dan memulihkan keadaan yang sedang berkonfik untuk
dapat diatasi secara baik.
Resolusi konflik hadir untuk dapat menyelesaikan konflik dengan tidak
menggunakan kekerasan. Dalam proses penyelesaian konflik itu dapat diberikan
strategi-strategi kepada masyarakat agar dapat menyelesaikan konflik dengan
wujud kebersamaan untuk dapat menemukan solusi dari permasalahan yang ada
tanpa melalui tindakan kekerasan sehingga tidak merusak tatanan kehidupan
bermasyarakat yang sudah ada.21 Melihat pada konteks masyarakat Bouweli,
pihak-pihak yang berkonflik secara langsung dapat mengontrol tindakan dan sikap
mereka untuk mau dibimbing agar dapat menyelesaikan konflik yang ada. Setiap
proses yang dilakukan adalah untuk membangun solidaritas sosial menjadi lebih
baik lagi sehingga proses penyelesaian adat yang dilakukan dapat teratasi dengan
21

Fera Nugroho, Pradjarto Dirdosanjoto, Nico L Kana (ed), Konflik dan Kekerasan
Lokal(Salatiga:Pustaka Pelajar, 2004) 85.

105

baik. Maka pihak yang berkonflik dalam proses pembicaraan adat itu tidak
melakukan berbagai tindakan-tindakan kekerasan yang dapat membuat ikatan
persauaraan menjadi rusak tetapi dengan konflik yang ada dapat membuat proses
membangun hubungan antar masyarakat menjadi lebih kuat dan terjaga
keharmonisannnya.
4. Sokhai Membuat Adanya Kesepakatan Sosial dalam Masyarakat
Kesepakatan sosial digunakan untuk menyelesaikan segala pertikaian yang
dapat memicu menjadi konflik yang lebih besar lagi. Dalam hal ini diperlukan
peran dari tetua-tetua adat, aparatur desa serta para pemuka agama untuk dapat
mengambil bagian dalam konflik yang terjadi. Pendekatan ini dapat menjadi suatu
model pendampingan terhadap masyarakat yang ada di desa ini untuk tetap dapat
mempertahankan budaya damai agar menjaga proses kelangsungan hidup
bermasyarakat yang sudah ada dan dijaga sejak dulu kala. Kesepakatan sosial itu
dapat diwujudkan dengan cara melakukan proses budaya damai lewat tarian yang
sudah ada sejak dulu dan menjadi sumber kearifan lokal di desa ini yakni tarian
sokhai.
5. Pengembangan Budaya Lokal
Sokhai adalah tarian yang terus dijaga eksistensinya ditengah-tengah
kehidupan moderan sekarang ini. Mengembangkan tradisi lokal yang telah ada
serta menjadikan tarian ini sebagai sumber pijakan untuk masyarakat di desa
bouweli. Dalam proses pengembangan budaya lokal ini ada banyak cara yang
dilakukan oleh tokoh-tokoh adat yakni dengan pelestarian budaya dalam budaya

106

yang dilakukan dengan menjadikan tarian sokhai sebagai tarian perdamaian,
menggunakan bahasa-bahasa adat sebagai wejangan-wejangan untuk yang akan
menikah serta wejangan-wejangan digunakan pula dalam proses-proses adat
lainnya yang sudah ada ditengah-tengah kehidupan masyarakat.
Pengembangan budaya lokal perlu dijaga dan lestarikan mengingat zaman
sekarang ini sudah mulai tergesernya tradisi lokal yang sudah ada sejak dulu
sehingga tergantikan dengan budaya-budaya modern dalam hal ini berkaitan
dengan tari-tarian, oleh karena itu sasaran yang ingin dicapai dalam pendekatan
ini adalah pelesatarian budaya dalam konteks masyarakat di desa bouweli.
Hal ini memberikan penggambaran bahwa konseling pernikahan tidak
terlepas juga dari kebudayaan-kebudayaan yang telah ada di tengah-tengah
kehidupan masyarakat. Budaya dikenal pada sebuah tataran subkutural yang
meliputi ilmu pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat
serta kebiasaan yang mempengaruhi antarindividu yang terjadi dalam lingkup
keluarga, adat istiadat dan kebiasaan-kebiasaan yang dapat mempengaruhi serta
dipengaruhi dalam masyarakat itu. Dengan memiliki pengertian bahwa setiap
manusia mempunyai sikap yang berbeda karena keadaannya, pengalamannya dan
kepribadiannnya yang selalu unik.
Penjelasan ini memberikan pengertian bahwa setiap manusia yang ada
datang dan terbentuk dari budayanya masing-masing serta pola kebiasaan yang
membentuknya. Sehingga jika bertemu dalam satu forum yang diadakan maka
kepribadian-kepribadian dalam pribadi tiap orang dapat terlihat perbedaannya.

107

Dengan demikin jika dikaitkan dengan persoalan ini maka akan terlihat bahwa
antar kedua individu yang akan menikah tentu saja datang dari budaya serta
proses pembentukan kebiasaannya yang berbeda sehinggga saat sudah ada
perbedaan dan akhirnya dalam perbedaan itu mencipatkan sebuah konflik dan
dapat menimbulkan sampai bertikai maka hal yang dilakukan adalah
mengupayakan adanya sebuah budaya damai.
Budaya damai yang diupayakan datangnya dari budaya lokal yang telah
menjadi tradisi masyarakat yang mendiami kampung tersebuat budaya itu yakni
menggunakan tarian sokhai. Tarian ini digunakan karena tarian ini mengambarkan
kesatuan dan kebersamaan yang dapat mengikat semua aspek lapisan dalam
masyarakat. Tarian ini menjadi tarian persaudaraan yang dapat menghimpun
semua masyarakat baik yang berbeda suku, bahasa dan agama untuk ikut dan
bersama-sama melakukan tarian yang dilakukan untuk mencipatkan sebuah
budaya damai. Tarian ini juga menjadi bukti bahwa segala persoalan adat yang
berkaitan dengan perkawinan akan mengupayakan budaya damai untuk kedua
keluarga yang bertikai karena persoalan adat.
6. Sokhai menjadi pengikat tanda perdamaian dan menjalin kerja sama
dalam masyarakat
Tarian sokhai menjadi tanda untuk membangun sebuah relasi yang baru
yakni sebuah relasi kerja sama yang baik untuk menyelesaikan setiap konflik yang
ada di desa bouweli ini. Masyarakat menyadari bahwa dalam proses membangun
damai itu tentu saja harus datang dari keinginan dalam diri setiap individu untuk

108

menciptakan pola damai tersebut. Realitas yang ada bahwa jauh sebelum adanya
setiap pola budaya damai yang berkembang saat ini masyarakat setempat sudah
menerapkan sikap budaya damai untuk menyelesaikan setiap persoalan yang ada
dikampun ini dengan kearifan lokal yang sudah ada ditengah-tengah kehidupan
mereka yakni tarian sokhai. Masyarakat desa Boeweli meyakini bahwa tarian
sokhai adalah tarian yang dapat mempersatukan dan menstabilkan kehidupan
bermasyarakat di kampung ini.
Hal lain yang ditonjolkan adalah dengan menciptakan perdamaian yakni
dengan mendorong masyarakat agar dapat memberdayakan dirinya sendiri.
Artinya bahwa pemberdayaan ini lebih mengarah pada proses pembentukan dari
diri setiap individu agar mampu mengubah dan terus memperbaiki situasi yang
sedang terjadi dalam hal ini berkaitan dengan konflik dalam proses perkawinan
tersebut. Dalam proses ini dapat diwujudkan jika masyarakat dalam hal ini baik
kelompok dan individu dapat berpartisipasi untuk dapat melakukan tindakan
pemberdayaan diri ini.
Konseling yang terjadi juga dapat dilakukan oleh masyarakat itu sendiri
dalam hal ini konseling dapat tercipta dari tradisi-tradisi lokal dalam kehidupan
masyarakat, melihat akan konteks diatas maka yang dapat menjadi konselor
adalah tetua adat untuk dapat memberikan wejangan-wejangan sebagai fungsi
untuk membimbing dan menopang kedua pasangan ini baik laki-laki adan
perempuan.

109

Saat terjadi konflik dalam forum adat jubir yang telah dipilih dapat
berfungsi juga sebagai seorang konselor untuk ada ditengah-tengah kedua belah
pihak agar dapat menjadi pihak ketiga yang hadir untuk meredam konflik
sehingga tidak berujung pada pertikaian yang lebih besar lagi. Tarian sokhai yang
hadir menjadi jembatan komunikasi untuk kedua belah pihak sehingga saat sokhai
sudah diadakan maka setiap konflik yang terjadi dalam forum adat, setiap
kemarahan dan pertikaian yang dilakukan oleh kedua belah pihak telah
didamaikan dan disatukan dengan tarian sokhai. Karena tarian ini menghimpun
masyarakat agar menari bersama-sama dan menjaga ikatan kebersamaan dan
kesatuan antar kedua belah pihak keluarga serta dalam kehidupan bermasyarakat
yang ada.

D. Rangkuman
Berdasarkan pada uraian analisi diatas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa:
1. Sokhai menjadi simbol perdamaian untuk menyatukan kedua keluarga yang
bertikai karena persoalan adat dalam sebuah proses ikatan perkawinan.
2. Sokhai menjadi sebuah pendekatan dalam konseling pernikahan karena telah
menjadi tarian adat yang dijaga kearifan lokal serta dikembangkan untuk
menjadi sebuah tarian dalam proses budaya damai yang digunakan untuk
masyarakat setempat dalam menyelesaikan konflik yang ada.

110

4. Proses pembicaraan adat akan terjadinya konflik maka dalam ini jubir (juru
bicara) menjadi jembatan komunikasi yang baik antara kedua belah pihak.
Jubir sekaligus dapat menjadi konselor dan mediator untuk kedua belah pihak
keluarga bertikai sehingga secara langsung jubir dapat mendamaikan kedua
belah pihak saat sudah mulai terjadinya perdebatan dan bahkan pertikaian
dalam proses adat ini sehingga proses mediasi antar kedua belah pihak dapat
diatasi dan pertikaian dapat terhindarkan.
5. Penyampaian wejangan-wejangan dalam proses tarian akan dilakukan oleh
tetua adat artinya dalam tahap ini tetua adat sudah menjadi konselor untuk lakilaki dan perempuan yang akan menikah. Karena dengan memberikan
wejangan-wejangan maka tetua adat sudah menempatkan posisinya untuk
menopang dan membimbing kedua mempelai yang akan menikah tersebut.

111

Dokumen yang terkait

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Christian Entrepreneurship T2 912010027 BAB IV

0 1 50

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Dalihan Na Tolu untuk Menyelesaikan Masalah Orang Batak Toba di Kota Tegal dari Perspektif Konseling Multikultural T2 752015002 BAB IV

0 0 14

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Sokhai untuk Menyelesaikan Masalah Rumah Tangga di Pulau Pantar

0 0 11

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Sokhai untuk Menyelesaikan Masalah Rumah Tangga di Pulau Pantar T2 752016007 BAB V

0 0 4

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Sokhai untuk Menyelesaikan Masalah Rumah Tangga di Pulau Pantar T2 752016007 BAB II

0 0 33

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Sokhai untuk Menyelesaikan Masalah Rumah Tangga di Pulau Pantar T2 752016007 BAB I

0 0 13

T2__BAB IV Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Evidence dalam Membuktikan Adanya Kartel di Indonesia T2 BAB IV

0 0 4

T2__BAB IV Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kebijakan Transmigrasi Lokal Pemerintah Provinsi Papua T2 BAB IV

0 1 4

T2__BAB IV Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Strategi Bersaing Untuk Meningkatkan Daya Saing STT Simpson Ungaran T2 BAB IV

0 1 25

T2__BAB IV Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Magister Manajemen Pendidikan Program Pascasarjana FKIPUKSW T2 BAB IV

0 0 34