Proses Penyematan Ulos (Mangulosi) dalam Pernikahan Adat Suku Batak Toba” (Studi Kasus Mangulosi Dalam Perspektif Interaksi Simbolik pada Pernikahan Batak Toba di Gorga Mangampu Tua-Medan) - FISIP Untirta Repository

  

Proses Penyematan Ulos (Mangulosi) dalam

Pernikahan Adat Suku Batak Toba” (Studi Kasus Mangulosi Dalam Perspektif Interaksi Simbolik pada Pernikahan Batak Toba di Gorga Mangampu Tua-Medan)

  SKRIPSI Diajukan sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh

  Gelar Sarjana Ilmu Komunikasi pada Konsentrasi Jurnalistik Program Studi Ilmu Komunikasi

  Oleh Mutia Nurdalilah Simatupang

  6662120521

  

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA

2016

GO BIG, OR GO HOME!

  “....Allah Likes Those Who Are Thankful….” (QS Az-Zumar: 7) “...If You Are Grateful, I Will Give You More…” (QS Ibrahim: 7)

  Skripsi ini di persembahkan untuk Mamah Tersayang & Papah, Serta Keluarga Besar Sebagai Motivator Abadi dalam Hidup

  

ABSTRAK

Mutia Nurdalilah Simatupang. NIM. 6662120521. Skripsi. Proses

Penyematan Ulos (Mangulosi) dalam Pernikahan Adat Suku Batak Toba

(Studi Kasus Mangulosi Dalam Perspektif Interaksi Simbolik pada

Pernikahan Batak Toba di Gorga Mangampu Tua-Medan). Pembimbing I:

Neka Fitriyah, S. Sos., M.Si. dan Pembimbing II: Teguh Iman Prasetya,

M.Si.

  Batak Toba dikenal sebagai suku yang sangat setia melaksanakan upacara adat dalam berbagai kegiatan sedari dulu. Bagi masyarakat Toba, adat adalah bagian dari kebudayaan elemen masyarakat Batak untuk mempertinggi kualitas kehidupan mereka dan merupakan identitas budayanya. Dalam masyarakat Batak Toba, Ulos dianggap sebagai media solidaritas dalam kehidupan individu dan bermasyarakat. Sehinga Ulos sendiri memiliki kedudukan penting yang berarti dalam tatanan masyarakat Batak Toba. Dalam penelitian ini penulis membatasi konsentrasi permasalahan kepada bagaimana posisi Ulos sebagai elemen tak terpisahkan dari pernikahan adat Batak Toba sebagai media atau alat komunikasi melalui simbol yang direpresentasikan melalui Ulos dalam upacara adat tersebut. Penelitian ini menggunakan Teori Komunikasi Simbolik menurut George Herbert Mead yang terfokus pada tiga konsep utama yaitu society (masyarakat), self (diri), dan mind (pikiran). Metodologi penelitian yang digunakan adalah post-positivis dengan metode studi kasus, jenis penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Hasil penelitian ini adalah: 1. Komunkasi yang dilakukan melalui ulos adalah untuk menyampaikan doa dan harapan. 2. Adanya simbol dan makna yang muncul dan tergambar oleh komunikasi verbal ataupun komunikasi non verbal.3. Tradisi mangulosi yang murni kini mulai mengalami modifikasi dengan alasan efisiensi, bahkan beberapa kalangan justru telah meningalkan adat ini dengan berbagai macam sebab.

  

Kata kunci:Masyarakat Batak Toba, Mangulosi, Budaya, Pernikahan Adat,

Interaksi Simbolik.

  

ABSTRACT

Mutia Nurdalilah Simatupang. NIM. 6662120521. Thesis. Embedding

process Ulos (Mangulosi) in Marriage Tribe Batak Toba (Mangulosi Case

Studies In Symbolic Interaction Perspective on Marriage Mangamputua

Gorga Batak Toba-Medan). Supervisor I: Neka Fitriyah, S. Sos., M.Sc. and

Supervisor II: True Faith Prasetya, M.Sc.

  Toba Batak tribes known as a very faithfully carried out the ceremony in a variety of activities all the time. For the people of Toba, rituals are part of the cultural elements of Batak society to enhance their quality of life and a cultural identity. In Batak Toba, Ulos regarded as a medium of solidarity in the life of individuals and society. So that Ulos itself has a key position, which means in Batak Toba community. In this study the authors limited the concentration of problems to how Ulos position as an indispensable element of the wedding Batak Toba as media or communication through symbols are represented through the Ulos in traditional ceremonies. This study used Symbolic Interaction Theory by George Herbert Mead focused on three main concepts that society (masyarakat), self (diri), and mind (pikiran). The research methodology used is a post-positivist with the case study method, descriptive research with a qualitative approach. The results of this study are: 1. personal communication is done through Ulos is to deliver prayers and hopes. 2. The existence of symbols and meanings emerge and illustrated by a verbal communication or non verbal.3 communication. Mangulosi pure tradition now beginning to experience modification for reasons of efficiency, even some circles it has been customary leaving it with a variety of reasons.

  

Keywords: Community Batak Toba, Mangulosi, Culture, Traditional

Marriage, Symbolic Interaction.

KATA PENGANTAR

  AlhamdulillahiRobbil’Alamiin, segala puji dan syukur saya panjatkan

  kepada Alloh SWT karena atas berkat rahmat serta kasih-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul Proses Penyematan Ulos (Mangulosi) dalam Pernikahan Adat Suku Batak Toba (Studi Kasus Mangulosi Dalam Perspektif Interaksi Simbolik pada Pernikahan Batak Toba di Gorga Mangampu Tua - Medan).

  Tujuan penulisan skripsi ini untuk memenuhi sebagian syarat untuk meraih gelar sarjana di program studi Ilmu Komunikasi konsenterasi Jurnalistik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. Penulis menyadari bahwa penelitian ini jauh dari kata sempurna, oleh sebab itu dengan kerendahan hati penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak demi mewujudkan kesempurnaan skripsi ini.

  Dalam penulisan skripsi ini, penulis selalu mendapatkan bimbingan, dorongan, serta semangat dari banyak pihak. Penghargaan dan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada Ibunda tercinta Nurhayati, dan Ayahanda Ridwan Hasudungan Simatupang yang kusayangi yang telah mencurahkan segenap cinta dan kasih sayang serta perhatian moril maupun materil. Semoga Alloh selalu memberikan kesehatan, karunia dan keberkahan di dunia dan akhirat atas budi baik yang telah dilimpahkan kepada penulis. Tidak lupa juga, Peneliti mengucapkan terima kasih kepada : 1.

  Bapak Prof. Dr. Sholeh Hidayat., M.Pd. selaku Rektor Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.

  2. Bapak Dr. Agus Sjafari., M.Si. selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.

  3. Ibu Dr. Rahmi Winangsih, M.Si. selaku Ketua Jurusan Ilmu Komunikasi.

  4. Ibu Neka Fitriyah , S.Sos,. M.Si, selaku dosen pembimbing I yang telah bersedia membimbing penulis hingga skripsi ini dapat

  5. Bapak Teguh Iman Prasetya, M.Si, selaku dosen pembimbing II yang juga telah bersedia membimbing penulis hingga skripsi ini dapat terselesaikan.

  6. Ibu Mia Dwianna, S. Sos, M. Ikom, selaku dosen Ilmu Komunikasi yang juga telah membantu penulis dalam penyusunan skripsi ini.

  7. Bapak Husnan Nurjuman, S. Ag., M. Si, serta Ibu Puspita Asri Praceka, S. Sos., M.Ikom selaku dosen Ilmu Komunikasi yang juga telah memberikan banyak ilmu sekaligus sebagai sahabat yang memberi banyak arahan.

  8. Kepada seluruh dosen Ilmu Komunikasi Untirta yang telah memberikan ilmu yang bermanfaat kepada penulis, terima kasih banyak.

  9. Opung Michelle, Opung Boru Michelle, Bou Lena dan Amang Boru Naingolan, Uda Rudi dan Inang Uda, Bou Leni dan Amang Boru Nababan. Serta seluruh keluarga Siburian yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini hingga rampung. Mauliate Godang.

  10. Keluarga Soemardi: Teh Leni, Kang Wawan, Teh Ade, Mamih, Papih, Emih dan keponakan-keponakanku; Abay, Nindy, dan Kekey, yang selalu memberi motivasi kepada penulis dalam menyelesaikan penelitian ini.

  11. Terkasih yang juga sebagai sahabat, Zulhilmi Hutagalung, SE, yang selalu menamani dalam masa-masa sulit dan senantiasa memberi dukungan dalam berbagai aktivitas yang positif. Juga mendorong

  12. Sahabat yang juga sebagai keluarga Imung, Hilda, Abdul, dan juga Cita, Icha, dan Nilda. Terimakasih semangat dan dukungannya selama ini.

  13. Sahabat Seperjuangan Perbojakan United Eda Dian, Eda Yohana, Eko, Jannah, Aci, Ardi, dan Nina. Juga Awwal, Fuji, dan Caca, Diskusi harga mati!.

  14. Sahabat JURNAL12TIK yang selalu menyemangati dengan angan- angannya membentuk media yang bersih dan jujur. Terima kasih telah menjadi teman berbagi selama ini.

  15. Kawan-kawan di Lab Ilmu Komunikasi (UTV, Radio Tirta FM, Multimedia dan Fotografi) yang telah berbagi suka dan duka selama perkuliahan dan menjadi tempat pelepas penat: Teh Fingkan, Sarah, Teh Syilvi, Bang Galuh, Deni, Hanum, Cindy, Fitra, Ena, Jalal, Arif, Bang Anton, Bang Hegar, Bang Ibad, Bang Dhenim, Pipit, dan seluruh keluarga Lab. Ilmu Komunikasi yang tidak bisa disebutkan satu-persatu.

  16. Para Orangers yang sudah seperti keluarga di LPM Orange FISIP Untirta. Bang Ucup, Ka Reni, Teh Dede, Bang Ijung, Pewe, Rien, Ratih, Jesica, Bang Ichsan, Bang Tomi, dan seluruh teman-teman pejuang Orange.

  17. Keluarga Earth Hour Serang, Riffa, Ka Sitjam, Bang Raffi, Ayu, Bang Tian, Reza, Bang Santos, Emilia Johari, Mahar, Yudi, Arum, Mada, Bang Mueriece, dan seluruh kawan-kawan EH Serang. Terima kasih

  18. Keluarga KKM 43, Terima Kasih atas kebersamaannya.

  19. Semua pihak yang tidak bisa disebut satu persatu yang telah mendukung penulis dalam penyelesaian skripsi ini.

  Akhir kata semoga skripsi ini bermanfaat bagi siapapun yang memerlukan. Aamiin.

  Serang, 21 Juli 2016 Penulis,

  Mutia Nurdalilah S

  DAFTAR ISI Halaman ABSTRAK ABSTRACT LEMBAR PERSETUJUAN LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS LEMBAR PENGESAHAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN KATA PENGANTAR ............................................................................. i DAFTAR ISI ............................................................................................. v DAFTAR TABEL .................................................................................... viii DAFTAR GAMBAR ............................................................................... ix DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................... x

  BAB I PENDAHULUAN

  1.1. Latar Belakang Masalah ……………………………………………. 1

  1.2. Rumusan Masalah ………………………………………………….. 6

  1.3. Identifikasi Masalah ……………………………………………….. 6

  1.4. Tujuan Penelitian …………………………………………………... 7

  1.5. Manfaat Penelitian ………………………………………………… 8

  BAB II TINJAUAN PUSTAKA

  2.1. Makna dan Simbol …………………………………………………… 9

  2.1.2. Manusia Batak dan Budaya Batak Tob a……………….…….. 13

  A. Raja Parhata …………………………………………………… 40

  BAB IV HASIL PENELITIAN

  3.7 Jadwal Penelitian .............................................................................. 44

  3.6 Lokasi dan Waktu Penelitian ........................................................... 43

  3. 5. 1 Pengumpulan Analisis Data ................................................ 42 3. 5. 2 Reduksi Data .......................................................................... 42

  3.5. Teknik Analisis Data ……................................................................... 42

  hula)…………………………………………. 41

  C. Pemberi Ulos (Hula-

  B. Pasangan Batak yang Menikah ………………………………… 41

  3.4. Informan Penelitian ............... ………………………………………. 39

  2.1.3. Interaksionisme Simbolik ....………… ………………………17

  3.3.2 Teknik Wawancara Mendalam .......………………………... 38

  3.3.1 Teknik Observasi ……………………………..........……...... 37

  3.3. Pengumpulan Data................. ...……………………………............... 37

  3.2. Paradigma Penelitian ..........………………………………………… 36

  3.1. Metode Penelitian ………………………………………………….. 34

  BAB III METODOLOGI PENELITIAN

  2.3. Kerangka Berfikir ……………………………………………………. 32

  2.2. Penelitian Terdahulu ………………………………………………… 26

  2.1.4 Komunikas i dan Simbol………………………………………. 22

  4.1. Deskripsi Objek Penelitian …………............................................ 45

  B. Gorga Batak ..................................................................... 46

  4.1.2. Identitas Informan ................................ ............................... 48

  A. Raja Parhata …………………………………………… 48

  B. Pengantin yang diadati..................................................... 50

  C. Hula-hula na Parboru ..................................................... 52

  4.2. Proses Pernikahan Adat Batak ……………...................................... 53

  4.2.1 Proses Sebelum Pernikahan ……………................................ 53

  4.2.2 Proses Pernikahan Adat 55 ……………......................................

  4.3 Pembahasan …………….................................................................. 66

  4.3.1 Mangulosi Dalam Interaksi Simbolik ...................................... 66

  BAB V PENUTUP

  5.1. Kesimpulan ......................................................................................... 69

  5.2. Saran ................................................................................................... 72

  DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

  DAFTAR TABEL

  TABEL 1 Penelitian Terdahulu .................................................................. 29 TABEL 2 Jadwal Penelitian ....................................................................... 44

  DAFTAR GAMBAR

  GAMBAR 1 Gorga Batak .......................................................................... 46 GAMBAR 2

  Panyambutan ………............................................................. 57 GAMBAR 3 Gambar Makan Bersama Seluruh Keluarga dan Kerabat ...... 59 GAMBAR 4 Pembagian Jambar

  …………………………………............... 60 GAMBAR 5

  Ulos ………………………………………............................ 61 GAMBAR 6 Mangulosi................................................................................ 63

DAFTAR LAMPIRAN

  LAMPIRAN 1 Transkrip Wawancara Opung Michelle LAMPIRAN 2 Transkrip Wawancara dr. Loybert Nainggolan LAMPIRAN 3 Transkrip Wawancara Rudi Siburian LAMPIRAN 4 Dokumentasi LAMPIRAN 7 Riwayat Hidup Peneli

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

  Masyarakat Batak Toba belakangan ini banyak sekali melangsungkan pernikahan tanpa upacara adat, khususnya mereka yang merantau. Padahal masyarakat Batak dikenal sebagai suku yang taat adat dan memiliki hubungan erat yang tak dapat dipisahkan dengan budaya. Perubahan tersebut dipengaruhi oleh berbagai hal diantaranya agama, pernikahan beda budaya dan lain sebagainya.

  Percampuran budaya merupakan pengaruh yang besar dalam perubahan dan pergesaran nilai dalam konteks budaya. Banyaknya orang Batak yang merantau dan tersebar luas di berbagai wilayah di Indonesia bahkan dibeberapa belahan dunia, yang menyebabkan adat yang disakralkan turun temurun pada masyarakat Batak lama kelamaan memudar.

  Batak Toba merupakan suku yang berasal dari Tanah Toba yang meliputi Pulau Samosir, Tapanuli Utara, Sibolga, dan sekitarnya. Medan tidak termasuk dalam kawasan Batak Toba karena Kota Medan pada sejarahnya merupakan kota milik suku Melayu sehingga dapat dikatakan bahwa Medan merupakan tempat perantauan suku Batak.

  Batak Toba dikenal sebagai suku yang sangat setia melaksanakan upacara bagian dari kebudayaan elemen masyarakat Batak untuk mempertinggi kualitas kehidupan mereka dan merupakan identitas budayanya. Sehingga masyarakat Batak yang mempertahankan adat diakui oleh manusia Batak lainnya karena dianggap mempertahankan keteraturan leluhur sehingga tercipta hubungan secara horizontal sesama warga dan hubungan vertikal kepada leluhurnya.

  Pernikahan adat merupakan warisan budaya yang seiring dengan perkembangan zaman, pernikahan multikultur, dan atau karena masuknya budaya lain menyebabkan dihapusnya adat dalam penyatuan dua manusia yang disebut pernikahan. Perubahan zaman yang menyebabkan unsur budaya semakin hari semakin menipis merupakan fenomena yang kini acap kali menjadi penyebab pernikahan adat tidak dibudayakan lagi. Termasuk banyak fenomena Batak perantau yang tidak mempertahankan kebudayaan pernikaan adat Batak secara murni sehinga banyak orang Batak yang merantau tidak paham lagi dengan budaya yang sebenarnya begitu popular dikalangan Batak ini. Adanya perubahan adat yang disesuaikan dengan seiring berkembangnya zaman menyebabkan sedikit banyak yang berubah dalam persoalan adat. Pernikahan adat tidak diindahkan lagi, termasuk unsur didalamnya yang berhubungan dengan pernikahan adat itu sendiri yaitu mangulosi.

  Mangulosi memiliki keterikatan kuat dengan Ulos. Ulos merupakan selembar

  kain tenun khas suku Batak yang diwariskan secara turun-temurun. Selain sebagai warisan secara turun-temurun, Ulos menjadi salah satu wujud hubungan direpresentasikan sebagai tindakan dalam wujud mangulosi. Pemberian ulos tersebut sudah disediakan dan ditetapkan mengenai jenis dan siapa pemberi untuk pengantin. Sehingga orang Batak yang melaksanakannya diakui oleh Batak lainnya.

  Dalam masyarakat Batak Toba, Ulos dianggap sebagai media solidaritas dalam kehidupan individu dan bermasyarakat. Sehinga Ulos sendiri memiliki kedudukan penting yang berarti dalam tatanan masyarakat Batak Toba. Kehadirannya menjadi pelengkap wajib yang tidak dapat terpisahkan dalam berbagai upacara adat, dalam hal ini termasuk pernikahan adat Batak Toba yang menjadi pusat dalam penelitian ini. Pada realitanya, perkembangannya tidak serta merta dalam posisi „aman‟ karena bergsernya zaman dan adanya pengaruh dari masuknya unsur-unsur dari luar.

  Menurut sejarahnya, Ulos adalah sebuah tanda yang bisa mengayomi dan memberikan kehangatan bagi pemakainya. Tetapi dalam hal ini, Ulos diartikan sebagai sebuah sarana pelindung yang mampu memberikan perlindungan dan kasih sayang oleh sipemberi kepada sipenerima Ulos, sehingga pada saat pemberian Ulos tersebut maksud dan tujuan sipemberi memberikan Ulos tersebut terucapkan melalui proses mangulosi tersebut.

  Pemberian Ulos pada upacara perkawinan masyarakat Batak Toba memiliki ragam macam, seperti Ulos Pansamot, Ulos Holong, Mandar Hela,

  

Ulos Bere , Ulos kepada ale-ale dan lain sebagainya. Melihat dari banyaknya

  Ulos yang diberikan sesuai dengan kondisinya secara umum mengandung arti yang hampir sama, akan tetapi yang menjadi perbedaan adalah ungkapan dari sipemberi kepada sipenerima. Misalnya, pemberian Ulos Hela tidaklah sama penyampaian dan pemberianya. Selain itu, jenis ulos yang diberikan harus sesuai dengan ketentuan adat karena memliki makna sendiri, seperti kapan Ulos tersebut digunakan, dalam upacara adat seperti apa, penyampaian Ulos atau siapa subyek penerima Ulos dan bagaimana Ulos tersebut digunakan. Tindakan pemberian Ulos ini pula merupakan wujud sakral yang memegang posisi penting dalam riual adat Batak. Pada dasarnya mangulosi adalah tindakan memberi atau menyelimutkan Ulos disertai dengan umpasa-umpasa (doa) dan dianggap sebagai pemberian restu, curahan kasih sayang, harapan, serta kebaikan-kebaikan lainnya.

  Umpasa-umpasa saat mangulosi diucapkan oleh Raja Parhata, yaitu juru

  bicara adat yang membaca doa-doa dan cita-cita keluarga atas perkawinan dalam pernikahan adat Batak Toba yang dikirim dari masing-masing kedua belah pihak pengantin sebagai pemimpin dalam pernikahan Batak Toba. Raja Parhata sendiri merupakan bukan sembarang orang yang dapat dipilih sebagai juru bicara adat, namun mereka yang dipilih dari barisan semarga dan dianggap paling paham mengenai hukum adat serta penerapannya dan paling paham mengenai dalam pernikahan adat. Raja Parhata memiliki posisi yang sangat

  mangulosi

  penting karena perannya bukan hanya saat pernikahan adat belangsung, namun dari acara sebelum pernikahan, yaitu martupol. Martupol adalah acara dimana persetujuan masing-masing keluarga. Dalam pandangan umum, martupol sama dengan tunangan dimana adanya tawar-menawar perihal sinamot, atau harga pernikahan yang diminta oleh pihak mempelai wanita kepada pihak mempelai laki-laki. Tentu saja Raja Parhata ini bukan lah orang yang sembarang. Raja Parhata dipilih karena ia merupakan orang yang paling paham dengan adat dan paling dituakan.

  Dalam penelian ini, Batak adalah suku yang menjadi pusat penelitian. Suku Batak memiliki enam sub bagian yaitu Batak Toba, Mandailing, Simalungun, Karo, Pakpak dan Angkola. Penulis fokus pada sub-suku Batak Toba sebagai titik permasalahan komunikasi dan menjadikan ulos sebagai alat untuk menyampaikan pesan dalam ranah budayanya. Suku Batak merupakan suku tertua di Sumatera Utara yang memiliki tradisi sistem kemasyarakatan, sistem religi, hukum adat, sastra, dan musik.

  Alasan penulis memilih Batak Toba sebagai sasaran studi penelitian, karena Batak merupakan suku yang unik karena merupakan suku taat adat dengan masih mempertahankan filosofi kehidupan manusia Batak yaitu Dalihan

  

na tolu, Selain itu masyarakat Batak menggunakan banyak simbol dalam

  kehidupan adatnya sehingga sangat menarik untuk dikaji dan dijadikan penelitian. Ulos yang menjadi sumber kehangatan utama selain api dan matahari menjadi menarik pula untuk dibahas sehingga peneliti tertarik untuk membahasnya lebih banyak mengenai adat mangulosi dalam penelitian ini.

  Dalam penelitian ini penulis membatasi konsentrasi permasalahan kepada bagaimana posisi Ulos sebagai elemen tak terpisahkan dari pernikahan adat Batak Toba sebagai media atau alat komunikasi melalui simbol yang direpresentasikan melalui Ulos dalam upacara adat tersebut. Dan peneliti ingin merujuk pada permasalahan fungsi ulos sebagai wujud komunikasi dalam pandangan interaksi simbolik sehingga pelaku mendapat pengakuan dan bagaimana masyarakat Batak Toba yang tidak melaksanakan proses ini dalam ritual pernikahannya karena dipengaruhi oleh hal-hal yang sebelumnya penulis bahas diatas. Kemudian penulis memilik Kota Medan sebagai tempat penelitian dikarenakan Medan adalah Kota yang memiliki ragam budaya dan etnis, memiliki masyarakat yang heterogen sehingga memiliki kemungkinan yang besar terhadap percampuran budaya, juga kota Medan merupakan salah satu kota yang modern. Selain itu Medan kerap dianggap sebagai Kota milik orang Batak, padahal secara histori jelas bukan. Dengan menggunakan teknik wawancara mendalam dan pencarian informasi kepada tokoh-tokoh paham adat Batak Toba atau kepala adat terkait wacana ulos dan komunikasi simbolik dalam upacara adat.

1.2 Rumusan Masalah

  Masalah penelitian adalah merupakan substansi dari penelitian itu sendiri, oleh karena itu masalah dan metode penelitian sangat ditentukan oleh objek formal dan objek material penelitian tersebut. Maka, masalah yang hendak dikaji adalah mengenai bagaimana proses penyematan Ulos (Mangulosi) dalam pernikahan adat suku Batak Toba yang diteliti dengan mengunakan teknik studi kasus dalam perspektif interaksi simbolik di Gorga Mangampu Tua, Medan?.

1.3 Identifikasi Masalah

  Dari latar belakang di atas maka dapat diidentifikasian masalah-masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana simbol-simbol dan makna yang terdapat dalam tradisi mangulosi (penyematan Ulos).

  2. Bagaimana kaitan tradisi mangulosi (penyematan Ulos) dalam upacara pernikahan adat suku Batak Toba terhadap teori interkasi simbolik? 3. Bagaimana modifikasi yang terjadi pada tradisi mangulosi?

1.4 Tujuan Penelitian

  Berdasarkan judul penelitian tentang “Proses Penyematan Ulos (Mangulosi) dalam Pernikahan Adat Suku Batak Toba”, maka dapat dirumuskan bahwa tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.

  Mengetahui simbol-simbol dan makna yang terdapat dalam tradisi mangulosi pernikahan adat Batak Toba.

2. Mengetahui hasil komunikasi dari interaksi simbolik dalam tradisi

  mangulosi pernikahan adat Batak Toba 3.

  Mengetahui modifikasi yang terjadi pada pernikahan tradisi adat batak Toba.

1.5 Manfaat Penelitian

  Berdasarkan tujuan penelitian di atas, maka penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk:

  1. Untuk mengetahui apa saja makna dari simbol yang terkandung dalam tradisi mangulosi upacara pernikahan adat Batak Toba

2. Untuk mengetahui bagaimanakah hasil interaksi simbolik yang dihasilkan dalam pernikahan adat Batak Toba.

  3. Untuk mengetahui mengapa tradisi mangulosi memiliki pernanan yang begitu penting sehingga tahu kenapa tradisi ini harus dipertahankan keberadaanya.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Makna dan Simbol

2.1.1 Pengertian Ulos

  Seni tenun merupakan salah satu sumber kekayaan budaya yang keberadaannya harus dijaga. Kekayaan akan hal ini beraneka ragam dan berangkat dari berbagai macam suku di nusantara. Salah satu seni kekayaan tersebut bernama Ulos. Ulos atau sering disebut juga kain Ulos adalah satu busana khas Indonesia khususnya masyarakat Batak, Sumatera Utara. Dari bahasa asalnya Ulos berarti kain. Pada mulanya Ulos digunakan sebagai pembungkus atau penghangat badan. Dalam perkembagannya, Ulos dipakai sebagai bagian dari tata laksana adat.

  Namun ada pula beberapa yang menolak keberadaan Ulos karena dianggap sebagai benda yang memiliki unsur magis. Sulit diterima oleh akal bagaimana Ulos dicap sebagai benda yang mengandung kuasa gelap, apalagi kini ulos dibuat dengan mesin yang seperti kebanyakan kain dibuat oleh kebanyakan manusia. Berbicara mengenai ulos, ada pula dalam tatanan prosesi adat yang dinamakan dengan Mangulosi, yaitu suatu kegiatan adat yang merupakan proses menyematkan ulos atau menyelimutkan ulos dalam rangkaian prosesi adat Batak salah satunya dalam pernikahan suku Batak Toba.

  Dikatakan oleh Vergouwen (1986) ulos adalah sejenis pakaian yang berbentuk selembar kain. Kain ini ditenun oleh perempuan Batak dengan berbagai pola. Pada awalnya bagi orang Batak menenun ulos adalah suatu tindakan yang mengandung nilai religious-magis (Niessn, 1985). Hal ini terlihat dari adanya banyak larangan yang tidak boleh diabaikan selama proses penenunan sebuah Ulos.

  Menurut leluhur batak, yang merupakan salah satu unsur yang memberikan kehidupan bagi tubuh ma nusia adalah “kehangatan”.

  Mengingat orang batak dahulu memilih hidup di dataran tinggi sehingga memiliki temperatur yang dingin.

  Ada tiga hal yang diyakini oleh para leluhur Batak yang memberi kehidupan bagi manusia yaitu: darah, nafas, dan Kehangatan. Sehingga “rasa hangat” menjadi suatu kebutuhan rakyat Batak. Sumber hangat itu berasal dari tiga hal, yaitu: Api, matahari, dan Ulos. Dan dari ketiganya Ulos-lah yang terpenting karena diyakini praktis dan dapat menghangatkan kapan saja dan di mana saja. Sehingga jadilah Ulos menjadi unsur yang penting dalam adat Batak. Salah satunya dalam pernikahan adat Batak.

  Pada dasarnya bahan utama yang digunakan dalam membuat Ulos adalah benang yang berasal dari tanaman kapas. Kapas ini kemudian diolah sedemikian rupa dengan bantuan alat-alat dan teknik yang sederhana serta didukung oleh pengetahuan yang terbatas. Kemudian setelah itu ada proses perwarnaan benang. Pada masa lampau, proses ini menggunakan bahan-bahan pewarna alami yang ada disekitarnya. Seperti daun nila, dan rerumputan. Dan kini, proses tersebut sudah langka dilakukan seiring dengan perkembangan teknologi dan pengetahuan yang lebih kaya menjadikan proses menenun dan pewarnaan pada Ulos lebih variatif. Bahkan penggunaan Ulos kini bukan hanya sebagai untuk kepentingan upacara adat saja, melainkan sudah banya beralih fungsi menjadi bahan fashion dan kepentingan ekonomi.

  Arti dan fungsi Ulos sejak dahulu sampai sekarang secara essensial tidak mengalami perubahan, kecuali pada beberapa variasi yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi. Bila pada awal pembuatannya, ulos mengandung pengertian yaitu sebagai pakaian sehari-hari yang digunakan untuk menggendong dan pelindung tubuh , maka hal ini tidak berlaku lagi pada masa sekarang. Pada masa kini, nilai Ulos yang tadinya hanya sebatas barang komoditi rumah tangga, kini telah menjadi nilai sakral yang digunakan dalam upacara adat Batak Toba sehingga hal ini menunjukan pentingnya arti dan fungsi Ulos dalam kehidupan masyarakatnya.

  Telah dikemukakan sebelumnya, pada awalnya Ulos hanya alat pembungkus dan penghangat badan. Dalam perkembangannya, Ulos digunakan dalam berbagai bagian dari pelaksanaan adat.

  Belakangan ini, banyak pemberian Ulos yang menyimpang dari arti yang sebenarnya, sehingga tidak memiliki arti dan wujud pemberian makna. Ulos na marhadohoan- adat, yang diterima seseorang hanya tiga. Pertama, saat dia dikukuhkan menjadi keluarga pada saat unjuk. Pada saat itu lah seseorang “resmi menjadi orang”. Pada saat unjuk sebenarnya hanya satu ulos yang diterima oleh pengantin, yaitu ulos hela. Ulos lainnya di sebut sebagai ulos holong, yaitu ulos sebagai pemberian tak bermakna atu dalam arti lain sebagai hadiah,

  Ulos kedua, apabila seseorang mengawinkan anak laki-laki (Ulos

  

passamot). Dan yang terakhir adalah ulos tajung atau ulos sampe tua

  (bisa tak diterima langsung karena menerima ulos saput). Ulos lainnya bukan dalam rangka paradaton (adat) hanya sebagai bunga-bunga atau hiasan dari acara.

  Akan tetapi kini, prosesi pemberian Ulos tidak serta merta mengikuti aturan lama. Hal ini dapat dilihat pada praktik pemberian ulos yang dilakukan oleh sejumlah pihak kepada para pejabat pemerintahan, atau pun pihak luar masyarakat Batak itu sendiri, sehingga menimbulkan kerancuan. Berikut jenis-jenis ulos dalam paradaton yaitu sebagai berikut: a.

  Ulos passamot, diberikan suhut parboru b. Ulos hela diberikan suhut parboru c.

  Ulos tu pamarai diberikan pamarai dari parboru d. Ulos tu si hutti ampang diberikan tulang e. Ulos tu simolohon atau amanguda diberikan oleh amanguda atau simandokkon .

  Di luar yang telah disebutkan di atas, sebagaimana susuai adat Ulos dari tulang sijalo tintin marangkup dan ulos dari tulang ni pangolin diberikan terakhir, sekaligus pajabuhon bere-nya.

  Pada hakekatnya di atas, ulos merupakan simbol-simbol, atau lambang-lambang yang digunakan untuk menentukan kedudukan seseorang atau kelompok, lambang kekerabatan dan juga sebagai simbol komunikasi dalam proses penyampaian pesan, berita, atau keinginan. Hal ini juga berlaku dalam upacara pernikahan adat Batak Toba.

2.1.2 Manusia Batak dan Budaya Batak Toba

  Batak merupakan suku yang terkenal masih memegang erat budayanya hingga saat ini. Terbukti dengan masih dipakainya adat-adat yang merupakan hadiah turun-temurun dari leluhur walaupun globalisasi sudah banyak mewabah di mana-mana. Tapi manusia Batak tetap setia dengan aturan yang ada sebagai identitas mereka sebagai suatu suku. Berbicara mengenai Batak Toba, dalam Buku Manusia Batak Toba (Pdt. Saut HM Silitonga, STH. MPhil), dapat dikatakan sampai saat ini masih belum bisa dipastikan mengenai asal-usulnya. Ini disebabkan karena ketidakadaan dokumen sejarah purba yang tertulis dan diyakini dengan pasti. Adapun hasil penelitan lain menyebutkan bahwa asal mula suku Batak Toba adalah dari keturunan imigran gelombang kedua yaitu Proto Melayu, yang datang dari Cina Selatan. Dilihat dari sudut perkembangan peradaban manusa, maka suku Batak sudah ada kira-kira sejak tahun 3000 SM, demikianlah pendapat Paul Padersen (1975). Tetapi secara genealogis-antropologis, St. E. Harahap mengatakan bahwa yang dimaksud dengan suku Batak adalah penduduk asli yang berdiam dan bermukim di daerah yang benama Tapanuli, bagian utara dan barat- laut pulau Sumatera. Suku Batak terdiri dari lima sub suku atau cabang yaitu suku Toba, Karo, Pakpak atau Dairi, Simalungun, Angkola- Mandailing dan dari sub suku tersebut memiliki ciri khas masing-masing, antara lain dalam bahasa dan dialek, struktur kemasyarakatan, dan juga adat-istiadat. Mereka juga memiliki ciri khas bersama yaitu memiliki marga dan pola dasar kekerabatan yang disebut dengan Dalihan na tolu.

  Dalihan na tolu adalah ungkapan flosofi hidup kekerabatan suku

  Batak. Arti harfiah dari Dalihan na tolu adalah tungku masak yang berkaki tiga. Hubungan kekerabatan dalam kehidupan sosial ditandai oleh tiga unsur, yaitu dongan tubu, Boru, dan Hula-hula. Dalihan na tolu sebagai unsur utama yang menjadi tiang dalam filosofi kekerabatan suku Batak berhubungan dengan segala hal yang terdapat dalam unsur kebatakan, terasuk dalam pernikahan dan mangulosi yang dibahas dalam penelitian ini.

  Prinsip dasar hubungan ketiga unsur kekerabatan itu adalah keseimbangan. Keseimbangan hubungan, sebagaimana tungku masak membutuhkannya agar beban sama dan tidak berakibat runtuhnya tungku dan menumpahkan bebannya. Harus ada kesadaran bahwa semua orang Batak akan berada dalam semua unsur tatanan tersebut supaya keseimbangan menjadi nyata.

  Mengenai Penamaan Batak dan artinya, terdapat sejumlah tafsiran dan pandangan. Salah satu di antaranya, kata Batak bermakna penunjukan satu suku di Pulau Sumatera. Makna lain, berdasarkan kamus dewan 1998, adalah berarti “mengembara”, “merompak”, “menyamun”, dan “merampas”. Dalam hal ini menurut agama Malim (suatu keyakinan leluhur Batak) mempercayai semua manusia di dunia pada mulanya berasal dari Sianjur Mulamula yang letaknya di kaki gunung Pusuk Buhit, sebuah nama kampung (huta) yang berarti bukit tertinggi yang berada di Tanah Batak (sebutan daerah asal suku Batak yaitu Tapanuli).

  Menurut yang dituturkan oleh Deddy Mulyana dalam bukunya yaitu Komunkasi Antara Budaya, Budaya berkenaan dengan cara manusia hidup. Manusia belajar berfikir, merasa mempercayai dan mengusahakan apa yang patut menurut budayanya. Bahasa, kebiasaan, makan, peraktik komunikasi, tindakan-tindakan , kegiatan-kegiatan ekonomi dan politik, dan teknologi itu berdasarkan pola budaya. Budaya adalah suatu konsep yang membangkitkan minat. Secara formal budaya didefenisikan sebagai tatanan pengetahuan, pengalaman, kepercayan, nilai, sikap, makna, hirarki, agama, waktu, peranan, hubungan, ruang, konsep alam semesta, objek-objek materi yang diperoleh sekelompok besar dari generasi ke generasi melalui usaha individu atau usaha kelompok.

  Budaya kita secara pasti mempengaruhi kita sejak dalam kandungan hingga mati, dan bahkan setelah mati pun kita dikuburkan dengan cara-cara yang sesuai dengan budaya kita. Budaya dan komunikasi tak dapat dipisahkan, oleh karena budaya tidak hanya menentukan siapa bicara dengan siapa, tentang apa, dan bagaimana orang menyandi pesan, makna yang ia miliki untuk pesan dan kondisinya untuk mengirim, memperhatikan, dan mengartikan pesan.

  Pada dasarnya adat Batak merupakan rangkaian peraturan yang tidak tertulis yang mengatur segala ospek kehidupan orang perorangan, keluarga atau rumah tangga dan masyarakat Batak secara keseluruhan (Vergouwen, 1986). Rangkaian tersebut membentuk suatu siklus kehidupan sehingga harus dilewati atau dilalui dalam upacara adat Batak Toba.

  Secara umum konsep adat diartikan sebagai kebiasaan atau tata cara. Bertolak dari pengertian itu maka orang Batak Toba membagi atas tiga tingkatan yaitu inti, adat na taradat, dan adat niadathon (Schereiner,2003). Adat adalah inti seluruh kehidupan yang terjadi pada permulaan penciptaan dunia oleh Dewata Mulajadi Nabolon dan bersifat konservatif serta tidak berubah.

  Dalam peristiwa perkawinan, ada dua suhut, yaitu suhut dari pihak hula-hula dan suhut dari pihak boru. Bagi upacara pernikahan adat Batak Toba baik dari pihak laki-laki maupun perempuan merupakan

  

suhut . Hal ini karena masing-masing keduanya merupakan pihak yang

mengundang kerabat masing-masing.

  Selama proses upacara pernikahan adat berlangsung, mempelai akan menerima hadiah (tumpak) dari para tamu undangan dan kerabat berupa Ulos, dekke (ikan), uang, dan beras. Dalam pernikahan Batak Toba pemberian Ulos ataupun beras memiliki pesan simbolik. Mereka yang memberikan uang berlaku sebagai pihak yang ikut dalam proses “pembelian” mempelai perempuan. Sementara bagi yang memberikan beras, dekke (ikan) dan ulos adalah mereka yang mendapat hak atas penerimaan uang dari pihak yang menikahi anak perempuannya, (Vergouwen, 2004).

2.1.3 Interaksionisme Simbolik

  Sebagian pakar-pakar terkemuka berpendapat bahwa teori interaksi simbolik khususnya teori dari George Harbert Mead, sebenarnya berada di bawah bayang-bayang teori tindakan sosial yang dikemukakan oleh filosof dan sekaligus sosiolog dari Jerman yaitu Max Weber (1864-

  Simbolik mewarisi tradisi dan posisi intelektual yang bekembang di Eropa dan memiliki kemiripan dengan teori Weber sehingga hal tersebut membuktikan bahwa Mead terilhami oleh Weber.

  Dalam teori ini, Mead mengemukakan bahwa makna muncul sebagai interaksi di antara manusia, baik secara verbal maupun nonverbal. Melalui aksi dan respons yang terjadi, kita memberikan makna ke dalam kata-kata atau tindakan, dan karenanya kita dapat memahami suatu peristiwa dengan cara tertentu Dalam deskripsi Mead, proses “pengambilan peran” menduduki tempat penting. Interaksi berarti bahwa para peserta masing-masing memindahkan diri mereka secara mental kedalam posisi orang lain. Dengan berbuat demikian mereka mencoba mencari maksud dari aksi yang diberikan oleh pihak lain, sehingga komunikasi dan interaksi dimungkinkan. Jadi interaksi tidak hanya berlangsung melalui gerak-gerak saja, melainkan terutama simbol- simbol yang perlu dipahami dan dimengerti maknanya. Artinya, geraklah yang menentukan. Dalam interaksi simbolik, orang mengartikan dan menafsirkan gerak-gerak orang lain dan bertindak sesuai dengan arti itu.

  Tiga konsep utama menurut Mead dalam teori ini adalah Masyarakat (Society), diri sendri (self), dan pikiran (mind). Mead mendefinisikan masyarakat (society) sebagai jaringan hubungan yang diciptakan manusia. Individu-individu terlibat di dalam masyarakat melalui prilaku yang mereka pilih secara aktif dan sukarela. Jadi yang terus disesuaikan oleh individu-individu. Masyarakat ada sebelum individu tetapi juga diciptakan dan dibentuk oleh individu (self), dengan melakukan tindakan sejalan dengan orang lain.

  Mead mendefenisikan pikiran (mind) sebagai kemampuan untuk menggunakan simbol yang mempunyai makna yang sama. Mead percaya bahwa manusia harus mengembangkan pikiran melalui interaksi dengan orang lain.

  Esensi interaksi simbolik adalah suatu aktivitas yang merupakan ciri khas manusia, yakni komunikasi atau pertukaran simbol yang diberi makna (Mulyana, 2001:68). Pertama, konsep diri. Menurut Blumer, manusia bukan semata-mata organisme yang bergerak dibawah pengaruh perangsang-perangsan g dari luar maupun dalam, melainkan “organisme yang sadar akan dirinya”. Dikarenakan ia seorang diri, ia mampu memandang diri sebagai objek pikirannya dan bergaul atau berinteraksi dengan diri sendiri.

  Kedua, konsep perbuatan (action).Dalam pandangan Blumer, karena perbuatan manusia dibentuk dalam dan melalui proses interaksi dengan diri sendiri, maka perbuatan itu berlainan sekali dari gerak mahluk yang bukan manusia. Manusia menghadapkan diri pada macam- macam kebutuhan, perasaan, tujuan, perbuatan orang lain, pengharapan, dan tuntunan orang lain, peraturan-peraturan masyarakatnya, situasinya,

  self image -nya, ingatannya dan cita-citanya untuk masa depan.

  Ketiga, konsep objek. Menurut Blumer manusia hidup ditengah objek-objek. Kata objek dimengerti dalam arti luas dan meliputi semua yang menjadi sasaran perhatian aktif manusia. Kata Blumer, objek dapat bersifat fisik seperti kursi, atau khayalan, kebendaan, ataupun hal yang bersifat abstrak seperti konsep kebebasan.

  Keempat, konsep interaksi sosial dalam pandangan Blumer aalah bahwa para peserta masing-masing memindahkan diri mereka secara mental kedalam posisi orang lain. Oleh penyesuaian timbal-balik, proses interaksi dalam keseluruhannya menjadi suatu proses yang melebihi jumlah total unsur-unsurya berupa maksud, tujuan, dan sikap masing- masing individu.

  Kelima, Keep Joint Action, pada konsep ini Blumer mengganti istilah sosial art dari Mead dengan istilah Joint Action. Artinya aksi kolektif yang mahir dimana perbuatan-perbuatan masing-masing peserta dicocokan dan diserasikan satu sama lain. Sebagai contoh, Blumer menyebutkan, transaksi dagang, makan bersama keluarga, upacara perkawinan, dan sebagainya, realitas sosial dibentuk dari Joint Action dan merupakan konsep sosiologi sebenarnya.

  Blumer berhasil mengembangkan teori interaksionisme simbolik pada tingkat metode yang cukup rinci. Teori interaksionisme simbolik yang dimaksud adalah bertumpu pada tiga premis utama, yaitu:

  1. Manusia bertindak terhadap sesuatu berdasarkan makna yang ada pada sesuatu itu bagi mereka.

Dokumen yang terkait

Tintin Marakkup Dalam Pernikahan Adat Batak Toba (Kajian Antropolinguistik)

27 272 65

Komunikasi Antarbudaya Dalam Proses Asimilasi Pada Pernikahan Campuran (Studi Kasus Tentang Komunikasi Antarbudaya Dalam Proses Asimilasi Pada Pernikahan Campuran Suku Batak Toba-Tionghoa di kota Medan)

17 176 147

Komunikasi Masyarakat Batak Toba Dalam Upacara Pernikahan Adat (Studi Kasus Tentang Proses Komunikasi Antarbudaya Dalam Upacara Pernikahan Adat Batak Toba Pada Masyarakat di Kelurahan Lestari Kecamatan Kisaran Timur Kabupaten Asahan Sumatera Utara)

9 129 118

Makna Simbolik Umpasa, Sinamot, Dan Ulos Pada Adat Perkawinan Batak Toba

2 122 8

Makna Simbolik dalam Pemberian Ulos pada Upacara Perkawinan Adat Batak Toba: Kajian Antropolinguistik

11 170 68

Prosesi Pernikahan Suku Adat Atoni Dalam Perspektif Hukum Islam

0 6 93

Aktivitas Komunikasi dalam Upacara Pernikahan Adat Batak Toba (Studi Etnografi Komunikasi Mengenai Aktivitas Komunikasi Dalam Upacara Pernikahan Adat Batak Toba di Kota Bandung)

5 44 112

Aktivitas Komunikasi Dalam Upacara Adat Pernikahan Batak Karo (Studi Etnografi Komunikasi Mengenai Aktivitas Komunikasi Dalam Upacara Adat Pernikahan Batak Karo di Kota Bandung)

7 36 104

Tintin Marakkup Dalam Pernikahan Adat Batak Toba (Kajian Antropolinguistik)

1 2 11

Persepsi Masyarakat Suku Batak Toba Dan Batak Karo Dalam Konteks Komunikasi Antarbudaya (Studi Kasus Masyarakat Suku Batak Toba di Desa Unjur Dan Masyarakat Batak Karo di Desa Surbakti Terhadap Suku Batak Toba Dalam Mempersepsi Nilai-Nilai Perkawinan Anta

0 1 12