Tintin Marakkup Dalam Pernikahan Adat Batak Toba (Kajian Antropolinguistik)

(1)

1

TINTIN MARAKKUP

DALAM PERNIKAHAN ADAT BATAK TOBA (KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK)

SKRIPSI Oleh

RELICA ASIJA NAIBAHO 100701022

DEPARTEMEN SASTRA INDONESIA FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2015


(2)

(3)

i

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang perna diajukan dalam memperoleh gelar keserjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang perna ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang tertulis diacuh dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka. Apabila pernyataan yang saya perbuat ini tidak benar, saya bersedia menerima sangsi berupa pembatalan gelar keserjanaan yang saya peroleh.

Medan, Maret 2015

Relica A Naibaho NIM 100701022


(4)

ii

TINTIN MARAKKUP

DALAM PERNIKAHAN ADAT BATAK TOBA

(KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK)

Relica A Naibaho

Fakultas Sastra USU

ABSTRAK

Skripsi ini menganalisis umpasa (pantun) dalam bahasa Batak Toba dengan kajian antropolinguistik. Tujuannya untuk melestarikan umpasa (pantun) bahasa Batak Toba yang sudah jarang dipakai dalam pesta perkawinan. Penelitian ini menggunakan data lisan dan tulisan. Metode yang digunakan dalam pengumpulan data adalah metode cakap atau lebih sering disebut sebagai wawancara dengan teknik dasar berupa teknik pancing. Data dianalisi dengan menggunakan metode padan, yang penentunya di luar, terlepas, dan tidak menjadi bagian dari bahasa (langue) yang bersangkutan. Teknik dasarnya berupa teknik pilah unsur penentu dengan alat penentu mitra wicana. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah bahwa makna umpasa (pantun) bahasa Batak Toba ada tiga, yaitu makna nasehat, makna penyamaan, dan harapan. Berdasarkan parameter Orientasi nilai budaya dari penelitian umpasa (pantun) tercermin nilai budaya kasih sayang orang tua kepada anak, nilai ketekunan, nilai kerja keras, nilai kebersamaan/kekompakan, nilai ketelitian, nilai keterbukaan, nilai mudah menyesuaikan diri, nilai keagamaan, nilai persaudaraan, nilai kerajinan.


(5)

iii

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa dimana atas segala Kasih dan berkatNya yang telah menuntun penulis untuk menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “Tintin Marakkup dalam Pernikahan Adat Batak Toba (Kajian Antropolinguistik)”.

Penulis banyak mendapatkan bantuan dari berbagai pihak dalam menyelesaikan skripsi ini, berupa bantuan moral seperti doa, dukungan, nasihat, dan petunjuk praktis, maupun bantuan material.

Penulis tidak lupa mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu dan mendukung penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, demikian juga penulis ucapkan terimakasih kepada:

1. Dr. Syahron Lubis, M.A. selaku Dekan fakultas Ilmu Budaya, Dr. M. Husnah Lubis, M.A. selaku wakil Dekan I, Drs. Syamsul Tarigan selaku wakil Dekan II, dan Drs. Yuddi Adrian Muliadi, M.A. selaku wakil Dekan III.

2. Prof. Dr. Ikhwanuddin Nasution, M.Si., sebagai ketua Departemen Sastra Indonesia dan Drs. Haris Sultan Lubis, M.SP., sebagai sekretaris Departemen Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan dukungan kepada penulis selama mengikuti perkuliahan di Departemen Sastra Indonesia.

3. Drs. Hariadi Susilo, M.Si., selaku Dosen Pembimbing I, meluangkan waktu dalam memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

4. Drs. T. Ayub Sulaiman selaku Dosen Pembimbing II, yang telah banyak memberikan masukan dan saran kepada penulis dalam mengerjakan skripsi ini.


(6)

iv

5. Dra. Nurhayati Harahap M.Hum. selaku Dosen Penasehat Akademik yang telah banyak memberikan pengarahan dan masukan bagi penulis selama masa perkuliahan.

6. Seluruh Bapak dan ibu Staf Pengajar Departemen Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan bimbingan dan pengajaran selama penulis menjalani masa perkuliahan, serta pegawai Administrasi Kak Tika dan Bapak Slamet yang membantu penulis dalam menyelesaikan segala urusan administrasi selama perkuliahan.

7. Bapak Mangihut Situmeang, S.Sos. selaku Camat Pangururan, yang telah memberikan izin kepada penulis dalam melakukan penelitian dan pengumpulan data.

8. Bapak Obin Naibaho, Bapak Sasnaek Naibaho, Bapak Klaudius Simanjuntak, Bapak Maniur Naibaho yang telah membantu dan mengajari berbagai hal tentang umpasa (pantun) Tintin Marakkup dalam pernikahan Batak Toba, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

9. Secara khusus penulis ucapkan teristimewa kepada Ayahanda Jhonson Naibaho dan Ibunda tercinta Lusiana Simbolon, yang selalu hadir dalam setiap kehidupan, mengajari berbagai hal, motivasi setiap waktu, mendukung baik dari segi moril,materi dan doa, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Oppung ku tersayang Op.Grace br.Malau (+), dan Oppung ku Op.Lasria br.Siahaan, yang selalu memberikan dukungan, nasihat dan dana yang selalu membantu penulis, terimakasih oppungku. Kakak ku Rugun Evelina Naibaho serta abang iparku Osden Manik, abangku Rimhot Rikardo Naibaho, dan adekku Sarah Febriani Naibaho, dan dede beby kecil ku yang ganteng si


(7)

v

Heisekiel Manik yang selalu membantu dan memotivasi penulis untuk menyelesaikan skripsi ini, serta kepada Inang uda ku mama Margareth br.Malau, yang mendukung fasilitas selama penelitian.

10.Kepada seluruh Teman-teman sestambuk 2010 di departemen sastra Indonesia Universitas Sumatera Utara, teristimewa kepada inang-inang yang gokil: Sabatini Hutajulu, rika Simbolon, Rosita Simbolon, Misni Saragih, terima kasih telah menjadi sahabat yang sangat baik dan setia mendukung penulis. Serta teman ku Intan Tambunan, Osen Hutasoit, Bima Sitepu, serta teman-teman lain yang tidak dapat disebutkan namanya satu persatu, terimakasi ya teman-teman.

11.Teman spesialku, Fatra K. Simamora, yang telah banyak membantu penulis dan memberikan dukungan dan arahan serta meluangkan waktu untukku dalam menyelesaikan skripsi ini, terimakasih Gabal ku 

12.Kepada Nita Arios Gak Sombonk, yang baik hati dan rajin menabung terimakasih karena membantu penulis dalam menyelesaikan dan menyusun skripsi ini dengan baik, semoga nasib baikmu menjadi PNS ketularan padaku, amin hahaha 

13.Kapada Sahabat Setia ku, yang selalu setia menerima keluh kesah dan curahan hatiku: Teng Santi Elisa Naibaho dan Kanu Ellyn Naibaho, aku sangat menyayangi kalian, terimakasih karena hadir dalam kehidupanku.

14.Adik-adik ku yang manis, caem dan yang super heboh: Panda Naibaho, Putri Naibaho dan Cahaya Siahaan, Judika tamba terimakasih atas kegilaan nya ya dek.hahah :-D

15.Kepada teman-teman ku yang sudah saya anggap seperti keluarga : boto Welfried Naibaho (+), Yusnelly Naibaho, boto Tambun Naibaho, terimakasih karena menjadi sahabat yang baik untukku, serta mengerti akan kekuranganku,


(8)

vi

dan terimakasih untuk canda tawa dan kebersamaan yang selama ini penulis rasakan dari kalian.

16.Terimakasih untuk orang-orang yang sempat singgah dihatiku (maaf jika tidak disebutkan namanya), memberikan semangat serta dukungan penuh untukku. 17.Kepada semua anggota Kost Ganefo no.8 (k’Uli, k’Dame, Novi, Astri, Melda,

dll) dan anggota kost ganefo no.10 (b’Bekkam, b’Malango, b’Leo, b’Fance, b’Abdon, Gollit, k’Nella, k’Novlin,Mansyur, Ria, Tuti, Vera, Eva, Omb), terimakasih buat semuanya canda tawa, kebersamaan...(akka hata naso sihataon pe gabe luccu, hahahha ) tanpa kalian penulis tak akan betah tinggal di kost. 18.Kost-kost an teristimewa yang sangat istimewa, K-20 (b’Hanter, b’Okla, b’Anto,

b’jani, b’Lamhot, Rajamin, Lasro, dan sikariting Sois, dll) terimakasih ya.

19.Kepada teman-teman panitia Natal pemuda-pemudi Samosir yang seru-seru an, thak you yo.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini, masih terdapat kekurangan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran demi penyempurnaan penelitian lebih lanjut. Akhir kata penulis berharap semoga skripsi penulis ini dapat bermanfaat bagi peningkatan pengetahuan dan wawasan kita semua. Terima kasih.

Medan, 2015

Penulis

NIM.100701022 Relica Asija Naibaho


(9)

vii

DAFTAR ISTILAH

1. Sinamot : Mahar

2. Tulang : Saudara Laki-laki ibu yang disebut paman

3. Boru : Anak Perempuan

4. Bere : Keponakan

5. Umpasa : Pantun

6. Manulang : Menyulang

7. Poda : Nasehat

8. Mangalua : Kawin Lari

9. Hula-hula : Keluarga abang atau adek dari istri kita

10.Pariban : Putri dari paman kita

11.Tumpak Patujolo : Santunan, sumbangan

12.Sulang-sulang pahompu : Menyuapi, atau memberikan makanan kepada cucunya


(10)

viii

DAFTAR ISI

PERNYATAAN ... i

ABSTRAK ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISTILAH ... iv

DAFTAR ISI ... v

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 5

1.3 Batasan Masalah ... 5

1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 5

1.4.1 Tujuan Penelitian ... 5

1.4.2 Manfaat Penelitian ... 6

1.4.3 Manfaat Teoretis ... 6

1.4.4 Manfaat Praktis ... 6

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 konsep ... 7

2.1.1 Makna ... 7

2.1.2 Pantun ... 8

2.1.3 Tintin Marakkup ... 9

2.1.4 Masyarakat Batak Toba ... 9

2.2 Landasan Teori ... 11

2.2.1 Makna ... 11

2.2.2 Antropolinguistik ... 12

2.2.3 Nilai- Nilai Budaya ... 12

2.2.4 Orientasi Nilai Budaya ... 13

2.3 Tinjauan Pustaka ... 14

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 18

3.1.1 Lokasi Penelitian ... 18

3.1.2 Waktu Penelitian ... 18

3.2 Metode dan Teknik Pengumpulan Data ... 18

3.3 Metode dan Teknik Analisis Data ... 19 BAB IV PEMBAHASAN


(11)

ix

4.1 Makna Umpasa (pantun) Tintin Marakkup dalam pernikahan Batak Toba ... 23

1. Makna Membandingkan (penyamaan) ... 24

2. Makna Menasehati ... 25

3. Makna Mengharapkan Sesuatu ... 27

4.2 Nilai-nilai Budaya dalam Umpasa (pantun) Bahasa Batak Toba ... 31

1. Nilai Kasih Sayang Orang Tua Kepada Anak ... 32

2. Nilai Ketekunan ... 33

3. Nilai Kerja Keras ... 34

4. Nilai Kebersamaan/Kekompakan ... 35

5. Nilai Ketelitian ... 37

6. Nilai Keterbukaan ... 38

7. Nilai Keagamaan ... 39

8. Nilai Persaudaraan ... 41

9. Nilai Kerajinan ... 42

10. Nilai Mudah Menyesuaikan Diri ... 43

BAB V SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan ... 44

5.2 Saran ... 44 DAFTAR PUSTAKA


(12)

ii

TINTIN MARAKKUP

DALAM PERNIKAHAN ADAT BATAK TOBA

(KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK)

Relica A Naibaho

Fakultas Sastra USU

ABSTRAK

Skripsi ini menganalisis umpasa (pantun) dalam bahasa Batak Toba dengan kajian antropolinguistik. Tujuannya untuk melestarikan umpasa (pantun) bahasa Batak Toba yang sudah jarang dipakai dalam pesta perkawinan. Penelitian ini menggunakan data lisan dan tulisan. Metode yang digunakan dalam pengumpulan data adalah metode cakap atau lebih sering disebut sebagai wawancara dengan teknik dasar berupa teknik pancing. Data dianalisi dengan menggunakan metode padan, yang penentunya di luar, terlepas, dan tidak menjadi bagian dari bahasa (langue) yang bersangkutan. Teknik dasarnya berupa teknik pilah unsur penentu dengan alat penentu mitra wicana. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah bahwa makna umpasa (pantun) bahasa Batak Toba ada tiga, yaitu makna nasehat, makna penyamaan, dan harapan. Berdasarkan parameter Orientasi nilai budaya dari penelitian umpasa (pantun) tercermin nilai budaya kasih sayang orang tua kepada anak, nilai ketekunan, nilai kerja keras, nilai kebersamaan/kekompakan, nilai ketelitian, nilai keterbukaan, nilai mudah menyesuaikan diri, nilai keagamaan, nilai persaudaraan, nilai kerajinan.


(13)

1 BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bahasa adalah lambang bunyi yang digunakan oleh semua orang atau anggota masyarakat untuk bekerja sama dengan mengidentifikasikan diri dalam bentuk percakapan yang baik, tingkah laku yang baik dan sopan santun yang baik.

Kridalaksana (1984:28) mengatakan bahasa adalah sistem lambang bunyi yang arbiter, yang dipergunakan oleh para anggota masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dalam mengidentifikasikan diri; percakapan (perkataan) yang baik; tingkah laku yang baik; sopan santun.

Hidayat (dalam Sobur, 2004 : 274) mengatakan bahasa adalah percakapan, yaitu alat untuk melukiskan suatau pikiran, perasaan, atau pengalaman, alat ini terdiri dari kata-kata yang merupakan penghubung bahasa dengan dunia luar, sesuai dengan kesepakatan para pemakainya sehingga dapat salaing dimengerti.

Bahasa Batak Toba termasuk rumpun bahasa melayu. Bahasa Batak Toba salah satu bahasa di tanah air yang memiliki sistem tata bahasa sendiri. Bahasa Batak Toba adalah bahasa daerah di tanah Toba yang mencakup wilayah Kabupaten Samosir, Toba Samosir, Tapanuli Utara dan Humbang Hasundutan. Kabupaten masyarakat Batak Toba ini berbatasan dengan Provinsi D.I. Aceh di sebelah Utara, Kabupaten Dairi, Karo, Simalungun di sebelah Timur, Kabupaten Asahan, Labuhan Batu di sebelah Selatan Kabupaten Tapanuli Utara, dan Tapanuli Selatan di sebelah Barat. Kabupaten Tapanuli Utara yang bersuhu sekitar 17-29 dengan rata-rata kelembaban udara sekitar 85,04 % ini, mempunyai luas wilayah 10:605,3 km atau 1.060.530 ha termasuk perairan Danau Toba seluas 1.102,6 km atau 110.260 ha (Sibarani, 2004 : 3).


(14)

2

Suku Batak Toba adalah sub atau bagian dari suku Batak yang wilayahnya meliputi atau membagi daerah Balige, Porsea, Parsoburan, Laguboti, Ajibata, Uluan, Borbor, Lumbanjulu, Dolok Sanggul dan sekitarnya. Dalam kedudukannya sebagai bahasa daerah, bahasa Batak Toba bukan hanya berfungsi sebagai alat komunikasi dalam keluarga dan masyarakat, tetapi juga berfungsi sebagai pengawet budayanya. Hal ini terbukti dari upacara-upacara kebudayaan adat yang masih tetap menggnakan bahasa Batak Toba.

Suku Batak Toba termasuk suku yang kaya akan adat dan kebudayaannya. Sifat dan ciri alam sering dimetaforakan ke sifat perilaku bahasa. Ini merupakan perwujutan dari alam terkembang jadi guru. Hakimy (dalam Oktavianus, 2006 : 24) mengatakan bahwa filosofi alam terkembang jadi guru merupakan sumber pengetahuan yang dapat dijadikan pedoman hidup. Masyarakat Batak yang dikenal dengan Suku Bangsa Batak tedapat kebudayaan upacara adat pernikahan Tintin Marakkup.

Pernikahan adat Batak Toba merupakan salah satu kebudayaan yang memliki keunikan yaitu berupa upacara ritual adat Batak Toba. Dalam adat Batak Toba, penyatuan dua orang dari anggota masyarakat melalui pernikahan tidak bisa dilepaskan dari kepentingan kelompok masyarakat yang bersangkutan. Yang dimaksud pernikahan menurut adat Batak Toba adalah upacara pengikat janji nikah yang dirayakan atau dilaksanakan oleh dua orang dengan maksud meresmikan ikatan perkawinan secara norma agama, norma hukum, dan norma sosial. Upacara pernikahan memiliki banyak ragam dan variasi menurut tradisi suku bangsa, agama, maupun kelas sosial. Berdasarkan jenis ritual atau tata cara yang digunakan, dalam perkawinan adat Batak Toba terdapat dua acara adat ritual, yaitu : diluar pernikahan dan didalam pernikahan.


(15)

3

Diluar pernikahan dibagi menjadi dua tingkatan yaitu :

• Unjuk, artinya perkawinan yang dilaksanakan berdasarkan semua adat Batak Dalihan Na Tolu. Unjuk disebut sebagai tata upacara ritual perkawinan biasa.

• Mangadati, artinya perkawinan yang dilaksanakan tidak berdasarkan adat Batak Dalihan Na Tolu. Hal ini terjadi karena kedua pasangan mempelai melakukan mangalua atau kawin lari. Ritual untuk mangalua biasanya sebelum pasangan tersebut memiliki anak, acara mangadati ini lebih spesifik disebut pasahat sulang-sulang pahoppu.

Adapun acara ritual adat didalam pernikahan adalah tintin marakkup. Tintin Marakkup adalah upacara adat, dimana bere (keponakan) meminta restu dan memberikan sebagian sinamot (mahar) kepada tulang (paman).

Dalam upacara pernikahan dilaksanakan, pihak laki-laki yang disebut keponakan meminta izin kepada pamannya untuk meminta restu agar wanita yang dinikahinya dianggap sebagai boru (anak perempuan) dari paman tersebut. Keponakan wajib melakukan upacara ritual Tintin Marakkup ini, agar calon istrinya nanti menjadi anak perempuan pamannya. Sebagai bukti keseriusannya, keponakannya ini wajib memberikan sebagian sinamot (mahar) berupa uang dan ulos kepada paman.

Dalam upacara Tintin Marakkup terdapat umpasa (pantun) yang disampaikan ibu calon mempelai laki-laki.


(16)

4

Bidang bulung ni rimbang (lebar daun rimbang)

Bidangan bulung ni dulang (lebih lebar daun jarak)

Pandokkon ni dainang (ibu mengatakan)

Ingkon marboru ni tulang (harus menikahi anak perempuan paman)

Upacara Tintin Marakkup adalah bagian dari kajian Antropolinguistik. Antropolinguistik adalah salah satu cabang linguistik yang menelaah hubungan antara bahasa dan budaya, terutama untuk mengamati bagaimana bahasa itu digunakan sehari-hari sebagai alat dalam tindakan bermasyarakat (Lauder, 2005: 231). Kajian Antropolinguistik menelaah struktur dan hubungan kekeluargaan, konsep warna, dan pola pengasuhan anak, atau menelaah bagaimana anggota masyarakat saling berkomunikasi pada situasi tertentu seperti pada upacara adat, lalu menghubungkannya dengan konsep kebudayaannya.

Harafiah (2005 : 61) juga mengatakan bahwa Antropolinguistik menganggap bahwa faktor budaya tidak bisa ditinggalkan dalam penelitian bahasa. Bahasa merupakan faktor yang harus dipertimbangkan dalam kajian budaya dalam kehidupan manusia. Inti masalah dalam kajian Antropolinguistik adalah sistem kepercayaan, nilai moral, tingkah laku, dan pandangan atau unsur-unsur yang mencorakkan budaya suatu kumpulan masyarakat.


(17)

5 1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang penelitian diatas, yang menjadi masalah dalam penelitian ini adalah :

1. Apakah makna umpasa (pantun) Tintin Marakkup dalam pernikahan Batak Toba?

2. Apa sajakah nilai-nilai budaya yang terdapat pada upacara Tintin Marakkup

dalam pernikahan Batak Toba?

1.3 Batasan Masalah

Sebuah penelitian sangat membutuhkan batasan masalah agar peneliti tersebut terarah dan tidak terlalu meluas sehingga tujuan peneliti dapat tercapai. Masalah dalam penelitian ini dibatasi hanya menganalisis makna umpasa (pantun) serta nilai-nilai budaya yang terdapat pada upacara Tintin Marakkup dalam pernikahan masyarakat Batak Toba.

1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.4.1 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah :

1. Mendeskripsikan makna umpasa (pantun) Tintin Marakkup dalam pernikahan Batak Toba.

2. Mendeskripsikan nilai-nilai budaya yang terdapat pada upacara Tintin Marakkup


(18)

6 1.4.2 Manfaat Penelitian

Segala sesuatu yang dikerjakan harus memberikan manfaat baik untuk diri sendiri maupun orang lain. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat teoretis dan manfaat praktis.

1.4.3 Manfaat Teoretis

Adapun manfaat teoretis dalam penelitian ini, antara lain :

a. Menambah pengetahuan dan wawasan tentang makna dan nilai-nilai budaya yang tercermin dalam Tintin Marakkup dalam pernikahan adat Batak Toba. b. Menjadi sumber masukan bagi peneliti lain yang ingin mengkaji tentang

Tintin Marakkup dalam pernikahan Batak Toba dengan menggunakan teori Antropolinguistik.

1.4.4 Manfaat Praktis

Adapun manfaat praktis dalam penelitian ini, antara lain :

a. Memperkenalkan kepada pembaca bahwa Tintin Marakkup dalam

pernikahan Batak Toba dapat dikaji sebagai bahan penelitian.

b. Dapat dijadikan sebagai pelestarian, pembinaan, dan pengembangan salah satu makna dan nilai-nilai budaya Batak Toba.


(19)

7 BAB II

KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep

Menurut KBBI (2007:482) konsep adalah gambaran mental dari suatu objek, proses, atau apapun yang ada diluar bahasa, yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal lain. Oleh karena itu, penelitian ini adalah mengenai:

2.1.1 Makna

Makna merupakan hubungan antara bahasa dengan dunia luar yang telah disepakati bersama oleh pemakai bahasa sehingga dapat dimengerti (Bolinger dalam Aminuddin, 1981:108). Dengan mempelajari suatu makna pada hakikatnya mempelajari bagaimana setiap pemakai bahasa dalam suatu masyarakat bahasa dapat saling mengerti. Tanpa adanya makna tuturan itu tidak akan berfungsi apa-apa dalam sebuah percakapan atau komunikasi. Dalam kehidupan sehari-hari manusia sering tidak berkata terus terang dalam penyampaian maksudnya, bahkan hanya menggunakan isyarat tertentu. Untuk itu, orang sering menggunakan peribahasa, pantun, ataupun ungkapan.

Peribahasa, pantun, maupun gurindam mengandung makna kias atau makna konotasi. Makna konotasi adalah aspek makna sebuah atau sekelompok kata yang didasarkan atas perasaan atau pikiran yang timbul atau ditimbulkan pada pembicara (penulis) dan pendengar (pembaca). Dengan kata lain, makna konotatif merupakan makna leksikal pemakai bahasa (Harimurti dalam Pateda, 2001:112). Makna konotasi ini tidak sesuai lagi dengan makna sebenarnya atau makna konsep yang terdapat dlam


(20)

8

sebuah kata. Intinya, makna kias itu sendiri sudah bergeser dari makna sebenarnya walaupun masih ada kaitanya dengan makna sebenarnya.

Harimurti (dalam Pateda, 2001: 232) mengatakan bahwa orang dituntut untuk memahami makna setiap kata yang membentuk peribahasa, pantun dan ungkapan, orang dituntut untuk menerka makna kiasan yang terdapat didalamnya. Makna bukan kumpulan setiap kata, tetapi makna simpulan peribahasa, pantun, dan ungkapan tersebut. Selanjutnya, orang dituntut untuk tanggap mengasosiasikannya dengan makna tersirat, dan orang pun dituntut untuk dapat membandingkan dengan kenyataan sebenarnya. 2.1.2 Pantun

Sulistino (2010:295) mengatakan pantun merupakan puisi lama yang terdiri dari empat baris tiap bait. Baris pertama dan kedua merupakan sampiran, baris ketiga dan keempat merupakan isi. Pola sajaknya a-b-c-d.

Contoh I umpasa (pantun) dalam Batak Toba :

Balintang ma pagabe (tali kayu pengikat pagar adalah penyatu)

Tumundalhon sitadoan (membelakangi kayu penahan kaki)

Ari muna do gabe (kehidupan akan sejahtera)

Molo marsipaolo-oloan (apabila seia-sekata)

Contoh II pantun dalam bahasa indonesia : Berakit-rakit ke hulu

Berenang-renang ke tepian Bersakit-sakit dahulu


(21)

9 2.1.3 Tintin Marakkup

Adat Tintin Marakkup atau titi marakkup yang disebut dengan Titi, hite, jembatan (Sitompul, 2009:59). Pada upacara Tintin Marakkup dalam pesta perkawinan Batak Toba, terdapat kedua belah pihak pengantin yang selalu memberikan sejumlah uang terhadap paman mempelai laki-laki. Tintin Marakkup berasal dari kata “Terintin Marakkup”. Dalam adat masyarakat Batak Toba, laki-laki yang akan menikah selalu lebih dahulu manulang tulang (menyulang paman) untuk memohon doa restu.

Pada acara ini biasanya paman memberikan poda (nasehat) dan memberikan ulos holong/pasu-pasu atau berkat, dan juga memberikan amplop berisi uang sebagai tumpak patujolo pada pernikahnnya kelak.

2.1.4 Masyarakat Batak Toba

Pada umumnya masyarakat Batak Toba yang tinggal di provinsi Sumatera Utara dan khususnya di daerah Toba tersebut di bagi empat Kabupaten yaitu : Kabupaten Tapanuli Utara, Kabupaten Toba Samosir, Kabupaten Humbang Hasundutan, dan Kabupaten Samosir. Dengan letak geografis 10300-2040 Lintang Utara dan 980-1000 Bujur Timur.

Masyarakat Batak Toba sangat erat hubungannya antara satu dengan yang lainnya, dimana masyarakat tersebut saling menghormati satu sama lain yang diikat oleh

Dalihan Na Tolu yaitu tiga tiang tungku. Yang termasuk Dalihan Na Tolu antara lain:

Hula-hula, Dongan Tubu, dan Boru.

Hula-hula adalah pihak keluarga dari istri. Hula-hula ini menempati posisi yang paling dihormati dalam pergaulan dan adat-istiadat Batak (semua sub suku batak).


(22)

10

Sehingga kepada semua orang batak dipesankan harus hormat kepada Hula-hula (somba marhula-hula).

Dongan tubu disebut juga dengan sabutuha yang artinya saudara laki-laki satu marga. Arti harfiahnya lahir dari perut yang sama. Mereka ini seperti batang pohon yang berdekatan, saling menopang, walaupun karena dekatnya terkadang saling gesek. Namun, pertikaian tidak membuat hubungan satu marga bisa terpisah. Diumpamakan seperti air yang dibelah dengan pisau, kendati dibelah tetapi tetap bersatu. Namun, demikian kepada semua orang batak (berbudaya Batak) dipesankan harus bijaksana kepada saudara semarga. Disebut, manat mardongan tubu.

Boru adalah pihak keluarga yang mengambil istri dari suatu marga (keluarga lain). Boru ini menempati posisi paling rendah sebagai parhobas atau pelayan baik dalam pergaulan sehari-hari maupun (terutama) dalam setiap upacara adat. Walaupun, berfungsi sebagai pelayan bukan berarti bisa diperlakukan dengan semena-mena. Pihak boru harus diambil hatinya, dibujuk, yang diistilahkan elek marboru.

Di manapun dua orang Batak bertemu di daerah perantauan. Orang Batak bila bertemu di daerah perantauan, mereka merasa seolah-olah berkerabat meskipun belum berkenalan sebelumnya. Dalam perkenalan itu apabila keduanya mempunyai marga yang sama maka hubungan itu bertumbuh dekat bagi masyarakat Batak Toba. Marga adalah simbol atau identitas masyarakat Batak Toba.

2.2 Landasan Teori

Penelitian ini menggunakan teori makna dan nilai-nilai budaya, yang diyakini mampu menjelaskan fenomena yang terdapat pada umpasa (pantun) dan nilai-nilai budaya pada upacara adat Tintin Marakkup dalam pernikahan Batak Toba.


(23)

11 2.2.1 Makna

Makna merupakan hubungan antara bahasa dengan dunia luar yang telah disepakati bersama oleh pemakai bahasa sehingga dapat dimengerti (Bolinger dalam Aminuddin,1981:108). Makna adalah arti yang tersimpul dari suatu kata. Jika suatu kata tidak bisa dihubungkan dengan bendanya, maka peristiwa atau keadaan tertentu tidak bisa memperoleh makna dari kata itu (Tjiptada, 1984:19).

Mansoer Pateda (2001:79) mengemukakan bahwa istilah makna merupakan kata-kata dan istilah yang membingungkan, makna tersebut selalu menyatu pada tuturan kata-kata maupun kalimat. Beberapa istilah yang berhubungan dengan pengertian makna, yakni makna donatif, makna konotatif, makna leksikal, makna gramatikal. Dari batasan pengertian tersebut dapat diketahui adanya tiga unsur pokok yang tercakup di dalamnya, yakni :

1. Makna adalah hasil hubungan bahasa dengan dunia luar 2. Penentuan hubungan terjadi karena kesepakatan para pemakai

3. Perwujutan makna itu dapat digunakan untuk menyampaikan informasi sehingga dapat saling mengerti.

Dengan mempelajari suatu makna pada hakikatnya mempelajari bagaimana setiap pemakai bahasa dalam suatu masyarakat bahwa dapat saling mengerti. Tanpa adanya makna tuturan ini tidak akan berfungsi apa-apa dalam sebuah percakapan atau komunikasih. Dalam kehidupan sehari-hari manusia sering tidak berkata terus terang dalam menyampaikan maksudnya, bahkan hanya menggunakan isyarat tertentu. Untuk itu, orang sering menggunakan ungkapan. Pateda (2001:230) menggolongkan makna ungkapan itu menjadi empat yaitu : (1) mengharapkan sesuatu, (2) mengejek, (3) membandingkan, dan (4) menasehati. Keempat makna peribahasa dan ungkapan di atas


(24)

12

tidak diucapkan secara terus terang, melainkan dengan menggunakan kata-kata khusus. Oleh sebab itu, orang harus tanggap menemukan makna tersirat di dalamnya.

2.2.2 Antropolinguistik

Sibarani (2004:50) mengatakan bahwa antropolinguistik secara garis besar membicarakan dua tugas utama yakni (1) mempelajari kebudayaan dari sudut bahasa dan (2) mempelajari bahasa dalam konteks kebudayaan. Antropolinguistik juga mempelajari unsur-unsur budaya yang terkandung dalam pola-pola bahasa yang dimiliki oleh penuturnya, serta mengkaji bahasa dalam hubungannya dengan budaya penuturnya secara menyeluruh.

Bahasa dan budaya memiliki hubungan yang sengat erat, saling mempengaruhi, saling mengisi, dan berjalan berdampingan. Yang paling mendasari hubungan bahasa dengan kebudayaan adalah bahasa harus dipelajari dalam konteks kebudayaan, dan kebudayaan dapat dipelajari melalui bahasa (Sibarani, 2004:51). Dengan kata lain, antropolinguistik mempelajari kebudayaan dari sumber-sumber bahasa, dan juga sebaliknya mempelajari bahasa yang dikaitkan dengan budaya.

Harafiah (2005:61) juga mengatakan bahwa antropolinguistik menganggap bahwa factor budaya tidak bisa ditinggalkan dalam penelitian bahasa. Bahasa merupakan fakta yang harus dipertimbangkan dalam kajian budaya dalam kehidupan manusia. Inti masalah dalam kajian antropolinguistik adalah sistem kepercayaan, nilai, moral, tingkah laku, dan pandangan atau unsur-unsur yang mencorakkan budaya suatu kumpulan masyarakat.


(25)

13 2.2.3 Nilai-Nilai Budaya

Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), nilai berarti harga, angka, kepandaian, kadar atau mutu banyak sedikitnya isi dan sifat-sifat yang penting dan berguna bagi kemanusiaan. Sedangkan nilai budaya adalah tingkat pertama kebudayaan ideal atau adat. Nilai budaya adalah lapisan abstrak dan luas ruang lingkupnya. Tingkat ini adalah ide-ide yang mengkonsepkan hal-hal yang paling bernilai dalam kehidupan masyarakat. Sistem nilai terdiri atas konsep-konsep yang hidup dalam alam pikiran. Berdasarkan pengertian diatas, maka nilai budaya adalah angka kepandaian kelompok masyarakat dan konsep-konsep berpikirnya hidup dan bertumbuh sehingga sistem nilai budayanya menjadi pedoman bagi tingkah laku kelompok manusia tersebut (Titus, 2013:149).

Pendapat lain yang menyangkut manusia itu sendiri sebagai subjek dikemukakan oleh Perry (dalam Djayasudarma, 1997:12) yang menyatakan bahwa nilai adalah segala sesuatu yang menarik bagi manusia sebagai subjek. Pandangan ini menegaskan bahwa manusia itu sendirilah menentukan nilai dan manusia sebagai pelaku (penilai) dari kebudayaan yang berlaku pada zamannya.

Setiap individu mempunyai konsepsi dan persepsi tentang nilai. Ada masyarakat tanpa sistem nilai yang berlaku. Menganggap sepi peran nilai berarti mempunyai gambaran yang keliru mengenai manusia dan alam. Banyak orang suka melihat dan mencari nilai kesopanan, keadilan, cinta, kejujuran, tanggung jawab, pengabdian dalam upaya memperoleh kebenaran atau mengurangi kekejaman, kezaliman, kebencian, keburukan, dan kepalsuan.

Nilai budaya dalam penelitian ini dipahami sebagai nilai yang mengacu kepada berbagai hal (dengan pemahaman seluruh tingkah laku manusia sebagai hasil budaya), antara lain nilai dapat mengacu pada minat, kesukaan, pilihan, tugas, kewajiban


(26)

14

beragama, kebutuhan, keamanan, hasrat, keengganan, daya tarik, dan hal lain yang berhubungan dengan perasaan ( Papper dalam Djayasudarma, 1997:10).

Nilai itu sendiri dapat dipahami sebagai penelitian yang diperoleh individu dalam kehidupan bermasyarakat pada saat menanggapi berbagai rangsangan tertentu mengenai mana yang diinginkan dan mana yang tidak diinginkan. Nilai menumbuhkan sikap individu, yaitu secara kecenderungan yang dipelajari individu untuk menjawab atau menanggapi rangsangan yang hadir di sekitarnya (Mintaroga, 2000 :18)

Pepper (dalam Djayasudarma, 1997:11) mengatakan bahwa nilai adalah segala sesuatu tentang yang baik dan buruk. Rumusan luasnya adalah seluruh perkembangan dan kemungkinan unsur nilai, rumusan nilai secara sempit diperoleh dari bidang tertentu. Pendapat tersebut menyatakan bahwa di dalam nilai tersimpul yang baik dan buruk. Oleh karena itu, segala sesuatu yang baik dan buruk disebut nilai.

2.2.4 Orientasi Nilai Budaya

Orientasi nilai budaya (ONB) dalam penelitian ini akan diikuti orientasi yang berhubungan dengan masalah dasar dalam kehidupan manusia. Lima masalah pokok kehidupan manusia yangn berhubungan dengan orientasi nilai budaya, yang berhubungan dengan sistem nilai budaya dalam masyarakat. Sistem nilai budaya merupakan nilai inti dari masyarakat. Nilai inti ini diikuti oleh setiap individu atau kelompok. Nilai itu biasanya dijunjung tinggi sehingga menjadi salah satu faktor penentu dalam berperilaku.

Sistem nilai tidak tersebar secara sembarangan, tetapi mempunyai hubungan timbal balik yang menjelaskan adanya tata tertib dalam suatu masyarakat. Di dalam sistem nilai biasanya terdapat berbagai konsepsi yang hidup di alam pikiran sebagian besar warga masyarakat mengenai hal-hal yang dianggap bernilai dalam hidup. Oleh karena itu, suatu sistem nilai budaya berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi kelakuan manusia (Koentjaraningrat dalam Djayasudarma 1997:13). Sistem nilai budaya itu begitu kuat meresap dan berakar di dalam jiwa masyarakat budaya sehingga sulit diganti atau


(27)

15

diubah dalam waktu yang singkat. Nilai budaya adalah angka kepandaian kelompok masyarakat yang konsep-konsep berpikirnya hidup dan bertumbuh sehingga sistem nilai budayanya menjadi pedoman bagi tingkah laku kelompok manusia tersebut. Nilai bukan hanya yang baik saja karena nilai merupakan segala sesuatu tentang yang baik dan buruk. Dalam ungkapan bahasa Batak Toba terbagi menjadi dua bagian, yaitu nilai yang baik (dipedomani) dan nilai buruk (tidak dipedomani).

Sibarani (2004:178) membagi nilai-nilai budaya menjadi dua bagian yaitu kedamaian dan kesejahteraan. (1) kedamaian yaitu : kesopan santunan, kejujuran, kesetia kawanan sosial, kerukunan, penyesuaian konflik, komitmen, pikiran positif, rasa syukur. Kesejahteraan (2) kesejahteraan yaitu : kerja keras, disiplin, pendidikan, kesehatan, gotongroyong, pengelolaan gender, pelestarian, kreativitas budaya dan peduli lingkungan.

2.3 Tinjauan Pustaka

Berdasarkan tinjauan pustaka yang dilakukan, maka ada sejumlah sumber yang relavan untuk dikaji dalam penelitian ini, adapun sumber tersebut adalah :

Hans j.daeng (2000:56) dalam bukunya yang berjudul mengatakan bahwa kedewasaan manusia tidak lepas dan tidak dapat di pisahkan dari latar belakang sosial budaya tempat seseorang di besarkan, karena kebudayaan adalah pedoman dari tingkah laku, cara seseorang membawa diri dan menjadi bagian dari masayarakatnya. Kebudayaan diciptakan manusia yang selalu berhadapan dengan berbagai kemungkinan perubahan yang terjadi karena teknologi memberikan kematangan, kemandirian, pengetahuan, ketegasan, atau mengadakan pemilihan teradap hal-hal yang di hadapi. Kompleksitas upacara perkawinan adat Batak Toba meliputi peran subyek dan objek yang terlibat di dalamnya. Menurut Arnold van Gennep, kompleksitas upacara Walaupun


(28)

16

setiap masyarakat dan kebudayaan berbeda dalam cara mempersiapkan seseorang atau anggotanya untuk menghadapinya. Namun, ketegasan adalah perkawinan dapat dijelaskan dalam lima pokok permasalahan : dua jenis yang berbeda, garis keturunan, keluarga, suku, dan tempat tinggal.

Tampubolon (2010) dalam tesisnya “ umpasa Masyarakat Batak Toba dalam rapat adat “suatu kajian Pragmatik” membahas tiga masalah penelitian, yakni komponen tindak tutur, jenis tindak tutur, dan fungsi tindak tutur. Tampubolon menggunakan metode deskriftif dengan membuat deskripsi yang sistematis dan akurat mengenai data yang diteliti. Dalam menyelesaikan ketiga masalah tersebut Tampubolon menggunakan teori tindak tutur kempson (1984), Wijana (1996), dan Searle.

Jenis tindak tutur pada umpasa masyarakat Batak Toba dalam rapat adat hanya terdapat tiga, yaitu tindak tutur langsung, tindak tutur literal, dan tindak tutur langsung literal. Namun, fungsi tindak tutur pada umpasa masyarakat Batak Toba dalam rapat adat terdapat lima fungsi, yaitu asertif, fungsi direktif, fungsi egan tekspresif, fungsi komisif, dan fungsi deklarasi. Model analisis penelitian Tampubolon dijadikan sebagai acuan yang disesuaikan juga dengan teori yang digunakan untuk menjelaskan jenis dan fungsi tindak tutur.

Nurcahaya (2007) dalam skripsi yang judulnya “Tuturan pada upacara adat perkawinan masyarakat Batak Toba” mengkaji jenis tuturan yang terdapat pada upacara adat perkawinan masyarakat Batak Toba dan tuturan yang paling dominan digunakan dalam upacara tersebut. Nurcahaya menggunakan metode simak dengan teknik lanjutan, yaitu teknik simak bebas libat cakap dan dilanjutkan dengan teknik rekam dalam mengumpulkan data penelitiannya. Selanjutnya, data yang diperoleh dari penutur jati bahasa Batak Toba dan dari beberapa buku Batak Toba yang dianalisis dengan metode


(29)

17

padan dengan penentu mitra wicara. Teori yang digunakan adalah teori tindak tutur Searle.

Hasil penelitian Nurcahaya menemukan lima jenis tindak tutur dalam upacara perkawinan masyarakat Batak Toba, yaitu tindak tutur deklaratif, repsentatif, ekspresif, direktif, dan komisif. Disimpulkan bahwa tuturan yang paling dominal dalam upacara adat perkawinan masyarakat Batak Toba adalah tuturan direktif, yakni tuturan yang bermakna menyuruh. Penelitian ini menjadi acuan dalam pemakaian teori tindak tutur yang digunakan untuk menyelesaikan permasalahan tindak tutur.

St. R. H. P. Sitompul, Bsc dalam bukunya yang judulnya “Ulos batak tempo dulu – masa kini” membahas tentang upacara pernikahan batak toba yang di dalam nya terdapat adat tintin marakkup. Titi = hite = jembatan, yang berfungsi menghubungkan. Jadi tintin marakkup ada dua hubungan, kepada tulang atau paman dan kepada simatua atau mertua.

Sibarani (2008) dalam tesisnya “Tindak Tutur dalam Upacara Perkawinan Masyarakat Batak Toba” mengkaji tindak tutur yang digunakan hulahula ‘pemberi istri’,

dongan sabutuha ‘kerabat semarga’, dan boru ‘penerima istri’,tindak tutur apa yang dominan, bagaiman cara tindak tutur dilakukan, serta jenis dan fungsi tindak tutur dalam perkawinan masyarakat Batak Toba. Metode deskriptif digunakan Sibarani untuk mendeskripsikan data penelitian secara sistematis dan akurat, yakni menggambarkan dengan jelas objek yang diteliti secara alamiah. Teori yang digunakan Sibarani untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini adalah teori tindak tutur kempson (1984), Wijana (1996), dan Searle.

Erni sihombing (2008) juga pernah melakukan penelitian mengenai makna ungkapan dalam bahasa Batak Toba. Dalam penelitianya membahas mengenai makna ungkapan yang ada di dalam bahasa Batak Toba dan nilai-nilai budaya yang terdapat


(30)

18

dalam bahasa Batak Toba. Dia membagi makna ungkapan menjadi empat yaitu : makna nasehat, makna menyindir, makna penyamaan, dan makna harapan dan nilai-nilai budaya terbagi kedalam lima bagian yaitu : hubungan manusia dengan karya, hubungan manusia dengan waktu, hubungan manusia dengan alam, hubungan manusia dengan manusia, dan hubungan manusia dengan Tuhan.


(31)

19 BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.1.1 Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Samosir , kecamatan pangururan, tepatnya di desa pasar lama pangururan dengan mengumpulkan data dan beberapa nara sumber yang berada di lokasi penelitian.

3.1.2 Waktu Penelitian

Waktu adalah seluruh rangkaian ketika proses, perbuatan, atau keadaan berada atau langsung (Alwi, 2005: 1267). Penulis melakukan penelitian objek mulai dari tanggal 1 Februari 2015 sampai tanggal 1 Maret 2015.

3.2 Sumber Data

Sumber data dalam penelitian ini adalah : 1. Data primer

Data perimer adalah data yang diperoleh secara langsung dengan mewawancarai nara sumber untuk mengumpulkan data secara mendalam

2. Data sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh secara tidak langsung dari buku seperti karya St. R. H. P. Sitompul, Bsc yang judulnya “Ulos batak tempo dulu – masa kini”, dan beberapa buku Pustaha Batak yang tidak diketahui penulisnya, guna mengumpulkan informasi terkait dengan umpasa (pantun) Tintin Marakkup


(32)

20 3.3 Metode dan Teknik Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan data lisan dan data tulisan. Data lisan dikumpulkan dari beberapa informan penduduk asli Batak Toba. pengumpulan data ini menggunakan metode cakap atau lebih sering disebut sebagai wawancara dengan teknik dasar berupa teknik pancing. Kegiatan memancing bicara tersebut dilakukan dengan percakapan langsung dengan seorang informan. Wawancara tersebut dilakukan dengan menyiapkan beberapa pertanyaan pokok yang disebut sebagai wawancara semi berstruktur. Keterbatasan untuk mengingat semua hasil pembicaraan atau wawancara tersebut, maka dilakukan teknik catat. Penelitian mencatat semua data atau informasi yang diperlukan untuk bahan penelitian (Sudaryanto, 1993:137-139).

Kesempurnaan pemerolehan data penelitian belum cukup hanya dengan melakukan metode cakap atau wawancara terhadap informan. Oleh sebab itu, peneliti juga melakukan metode simak dengan menyadap pembicaraan ketika upacara adat Tintin marakkup berlangsung. Kegiatan tersebut melibatkan salah satu informan yang termasuk dalam bagian peserta upacara adat Tintin marakkup lebih muda untuk memperoleh izin menyimak acara tersebut. Dalam kegiatan ini peneliti menggunakan teknik simak bebas libat cakap. Hanya menyimak dan memperhatikan dengan tekun pembicaraan yang berlangsung antara penutur dan petutur. Kemudian dengan bantuan teman si peneliti, kegiatan tersebut direkam video agar terlihat jelas tanpa mengganggu proses upacara berlangsung (Sudaryanto, 1993:133-135)

Informan dalam penelitian ini dipilih dari kalangan pemuka adat yang terlibat dan memiliki posisi penting dalam setiap upacara adat Tintin marakkup. Tidak semua orang mampu memahami tuturan-tuturan dalam upacara adat tersebut meskipun sering mengikutinya. Informan dalam penelitian ini dipilih berdasarkan syarat-syarat berikut ini.


(33)

21 1. Berjenis kelamin pria;

2. Berusia antara 30-60 tahun;

3. Jarang atau tidak perna meninggalkan desanya; 4. Berpendidikan atau tidak berpendidikan;

5. Menguasai bahasa dan budaya Batak Toba dengan baik;

6. Memiliki kebanggaan terhadap isolek dan masyarakat isoleknya; 7. Dapat berbahasa Indonesia;

8. Sehat jasmani dan rohani (Mahsun,1995:106).

3.4 Metode dan Teknik Analisis Data

Data dianalisi dengan menggunakan metode padan, yang penentunya di luar, terlepas, dan tidak menjadi bagian dari bahasa (langue) yang bersangkutan. Teknik dasarnya berupa teknik pilah unsur penentu dengan alat penentu mitra wicana (sudaryanto, 1995:21). Metode ini digunakan untuk mengkaji nilai budaya yang ada di dalam umpasa (pantun), makna umpasa (pantun) dikaji dari segi makna Harafiah yang dilanjutkan dengan menentukan makna yang tersirat dalam data umpasa (pantun) dan dikaji secara antropolinguistik yang melibatkan masyarakat bahasa sebagai pendukung budaya pemilik umpasa (pantun) tersebut. Dalam menginterprestasikan data umpasa (pantun), penulis mengubah bahasa Batak Toba kedalam bahasa indonesia. Hal ini dilakukan agar hubungan antar kalimat yang terdapat dalam umpasa (pantun) tersebut dapat diperoleh maknanya serta dapat ditemukan nilai budaya masyarakat yang tercermin di dalamnya.


(34)

22

Contoh umpasa (pantun) Tintin Marakkup dalam pernikahan Batak Toba.

Makna harapan

Dalam umpasa (pantun) bahasa Batak Toba yang menggambarkan makna harapan seperti pada umpasa (pantun) dibawah ini.

Balintang ma pagabe (tali kayu pengikat pagar adalah penyatu)

Tumundalhon sitadoan (membelakangi kayu penahan kaki)

Ari muna do gabe (kehidupan akan sejahtera)

Molo marsipaolo-oloan (apabila seia-sekata)

Dalam umpasa (pantun) di atas, makna dari kata-kata dalam umpasa (pantun) tersebut:

Balintang adalah, sebuah tali kayu yang digunakan masyarakat Batak Toba pada umumnya sebagai pengikat pagar yang dipasang melintang.

Pagabe adalah, sebuah kata yang didasari oleh kata gabe yang bermakna jadi satu. Jadi, dalam kalimat tersebut pagabe bermakna penyatu.

Tumundalhon adalah, sebuah kata yang didasari oleh kata tundal yang bermakna membelakangi sesuatu.

Sitadoan adalah, sepotong kayu pada alat tenun tempat penahan kaki sipenenun.

Ari muna do gabe, molo marsipaolo-oloan, adalah bagian dari isi umpasa (pantun) yang maknanya menggambarkan seseorang yang harus saling memahami, saling pengertian satu sama lain agar seia-sekata dalam suka dan duka. Dimana sebuah kayu yang dijadikan sebagai pengikat pagar diibaratkan seoarang laki-laki dan perempuan yang menjadi satu. Maka mereka harus saling membantu dan saling pengertian dalam menjalankan sebuah hubungan.


(35)

23 Nilai kebersamaan / kekompakan

Nilai budaya pada umpasa (pantun) diatas yaitu, nilai budaya kebersamaan atau kekompakan, yang menggambarkan setiap orang yang sudah menikah atau didalam keluarga harus bersama-sama dan kompak untuk saling membantu dan saling menjaga hubungan mereka agar tetap rukun, dan saling pengertian dalam suka dan duka.


(36)

24

BAB IV

PEMBAHASAN

4.1 Makna Umpasa (pantun) Tintin Marakkup dalam pernikahan Batak Toba Umpasa (pantun) batak toba adalah karya sastra dalam bentuk syair/puisi yang berisi pernyataan restu, nasehat dan doa bagi orang yang mendengarnya. Umpasa (pantun) adat batak toba diperdengarkan dalam upacara adat dan ditujukan kepada muda-mudi, pasangan pengantin, upacara menyambut tamu atau berbagai acara lainnya, serta kadang kala umpasa (pantun) juga diperdengarkan dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam acara Adat Batak Toba pada acara Tintin Marakkup di pesta perkawinan, biasanya hanya ada 3 bagian umpasa yang di ungkapkan, yaitu umpasa Pembukaan, Umpasa Pemberkatan dan Nasehat, dan Umpasa Penutup atau Harapan.

Pateda (2001: 230) membagi makna ungkapan menjadi empat bagian yaitu : 1. Membandingkan (penyamaan)

2. Menasehati

3. Mengharapkan sesuatu 4. Mengejek

Dalam upacara Adat Tintin Marakkup, hanya ada tiga makna yang terkandung sesuai dengan pendapat Pateda tersebut, karena dalam umpasa (pantun) Batak Toba dalam acara Tintin Marakkup tidak ada makna mengejek.

Jadi, sesuai dengan pendapat Pateda tersebut, maka dari hasil mengamatan penulis makna umpasa (pantun) dalam Tintin Marakkup ada tiga yaitu:


(37)

25 1. Makna Membandingkan (penyamaan)

Umpasa (pantun) yang menggambarkan makna membandingkan (penyamaan) dalam acara Tintin Marakkup dapat dilihat dalam contoh data berikut ini:

Data (1). Hot pe jabu i

(walaupun rumah itu berdiri kokoh)

Sai tong do i margulangulang

( pasti rumah itu akan bergoyang)

Tung sian dia pe mangalap boru bere i

( siapapun yang dipesunting si pengantin laki-laki)

Sai hot doi boru ni tulang

(dia tetap dianggap putri paman)

Dalam umpasa (pantun) di atas, makna dari kata-kata dalam umpasa (pantun) tersebut: Hot mempunyai makna kokoh, teguh, erat, dan tak goyah.

Jabu dalam bahasa indonesia adalah rumah atau tempat tinggal,rumah Adat Batak disebut jabu Bolon ( rumah yang besar dibangun dari kayu dan diberikan berbagai ukiran Batak Toba dan beratapkan ijuk)

Margulangulang adalah jatuh dengan berguling-guling atau bergoyang-goyang.

Tung sian dia pe mangalap boru bere i, Sai hot doi boru ni tulang adalah bagian dari isi umpasa (pantun) yang maknanya menyamakan kedudukan dan hak sipengantin perempuan seperti putri dari paman sipengantin laki-laki. Dengan demikian, kalaupun pengantin laki-laki mempersunting marga yang lain selain marga pamannya itu, pengantin perempuan tetap dianggap marga yang sama dengan marga pamannya.

Data (2) Sai tong doi lubang

(rumah berlantai papan yang berlubang)

nangpe dihukkupi rere

(walaupun dititupi dengan tikar)


(38)

26

(perempuan yang tetap dianggap putri paman)

manang boru ni ise pei dialap bere

(perempuan yang dinikahi pengantin laki-laki)

Dalam umpasa (pantun) di atas, makna dari kata-kata dalam umpasa (pantun) tersebut: Dihukkupi berasal dari kata hungkup yang berarti tutup, jadi dihukkupi adalah ditutupi Rere adalah tikar yang buruk, yang rusak dan yang telah lusuh.

Sai tong doi boru ni Tulang, manang boru ni ise pei dialap bere adalah bagian dari isi umpasa (pantun) yang maknanya dalam sebuah pesta pernikahan seorang laki-laki yang menikah dengan perempuan lain, tetap di anggap sebagai putri paman pengantin laki-laki.

2. Makna Menasehati

Umpasa (pantun) yang menggambarkan makna menasehati dalam acara Tintin Marakkup dapat dilihat dalam contoh data berikut ini:

Data (3) Napuran ni parsoburan

(sirih yang berasal dari parsoburan)

tu gambir ni sitapongan

(getah kayu yang bisa dimakan)

tong-tong ma hamu nadua sauduran

(tetap satu jalan menuju yang benar)

jala masi haholongan

(satu hati membentuk rumah tangga yang bahagia)

Dalam umpasa (pantun) di atas, makna dari kata-kata dalam umpasa (pantun) tersebut: Napuran adalah sirih yang merupakan campuran dari kapur dan daun sirih

Parsoburan adalah nama tempat atau daerah

Gambir adalah getah kayu yang dapat dimakan sebagai campuran sirih

Sitapongan berasal dari kata tapongan yang berarti keranjang kecil atau bakul, jadi sitapongan adalah segalah sesuatu yang bisa dimakan yang diletakkan kedalam sebuah bakul atau keranjang kecil.


(39)

27

tong-tong ma hamu nadua sauduran, jala masi haholongan adalah bagian dari isi umpasa (pantun) yang maknanya menunjukkan pasangan pengantin tersebut agar bersama-sama menjalani kehidupan rumah tangga, dan satu hati dalam membina rumah tangga yang bahagia dan penuh cinta.

Data (4) Dangka ni arirang

(ranting dari pohon nira)

peak ni tonga ni onan

(yang terletak ditengah-tengah pasar)

badan muna naso jadi sirang

(pernikahan yang tidak bisa diceraikan)

tondimu tong-tong masigomgoman.

(hati dan jiwa yang saling merangkul)

Dalam umpasa (pantun) di atas, makna dari kata-kata dalam umpasa (pantun) tersebut: Dangka yang artinya ranting, cabang, dan dahan dari suatu pohon

Arirang adalah pohon nira yang dibuat irisan untuk mendapatkan tuak Peak adalah terletak, terbaring, dan tertidur

Onan adalah pasar pusat perbelanjaan.

badan muna naso jadi sirang, tondimu tong-tong masigomgoman adalah bagian dari isi umpasa (pantun) yang maknanya pengantin harus berjanji untuk tidak bercerai kecuali di pisahkan oleh kematian. Pengantin juga harus saling melengkapi satu sama lain agar terjalin hubungan yang harmonis.

Data (5) Jumpang na niluluan

(menemukan sesuatu yang dicari)

Dapot na jinalahan

(mendapatkan apa yang dijalani)

I ma dongan sahaholongan

(satu cinta yang abadi)

Dohot dongan sapanghilalaan

(satu perasaan dan satu pemikiran)

Dalam umpasa (pantun) di atas, makna dari kata-kata dalam umpasa (pantun) tersebut: Jumpang yang artinya jumpa atau menemukan sesuatu


(40)

28 Niluluan berarti sesuatu yang dicari

Jinalahan adalah kehidupan yang sedang dijalani

Sahaholongan berasal dari kata holong, yang artinya cinta atau kasih sayang Sapanghilalaan berasal dari kata hilala, yang artinya rasa atau perasaan.

I ma dongan sahaholongan, Dohot dongan sapanghilalaan adalah bagian dari isi umpasa (pantun) yang maknanya menggambarkan seseorang yang harus saling memahami, saling pengertian satu sama lain agar seia-sekata dalam suka dan duka, dan menjadi pasangan yang satu perasaan dan satu pemikiran.

3. Makna Mengharapkan Sesuatu Data (6) Rumah ijuk di jolo ni sopo gorga

(Rumah beratap ijuk di depan lumbung yang berukir)

Asi ni roha ni Amanta Debata

(kasih dari Tuhan yang Maha Esa)

Sai dilehon ma dihamu

(Semoga diberi kepada kalian)

Anak na bisuk dohot boru namarroha

(Putera yang cerdik dan puteri yang bijaksana)

Dalam umpasa (pantun) di atas, makna dari kata-kata dalam umpasa (pantun) tersebut: Sopo yang berarti lumbung padi atau berupa ruangan terbuka untuk menyimpan sesuatu atau tempat berkumpul untuk menerima tamu

Gorga artinya ukiran atau lukisan berupa pahatan

Bisuk berarti Pandai, cerdik dan cerdas, serta punya banyak akal.

Sai dilehon ma dihamu, Anak na bisuk dohot boru namarrohaadalah bagian dari isi umpasa (pantun) yang maknanya sebuah harapan bagi pengantin agar setelah menikah segera mendapatkan momongan, putera-puteri yang berbudi baik, cerdas dan bijaksana.

Data (7) habinsaran hapoltakan ni matani ari

(matahari terbit dari timur)


(41)

29 (bulan terbit dari barat)

Sai tubu ma anak na malo mansari

(semoga lahir anak yang giat bekerja mencari nafkah)

Dohot boru na boi paulaean

(dan anak perempuan yang murah hati)

Dalam umpasa (pantun) di atas, makna dari kata-kata dalam umpasa (pantun) tersebut: Habinsaran adalah tempat matahari terbit yaitu arah timur

Hapoltakan adalah tempat terbitnya matahari dan bulan

Hasundutan adalah tempat bulan terbit yaitu terbit di arah barat Tubu yang artinya lahir

Mansari yang artinya pintar mencari nafka

Paulaean yang artinya sikap sesorang yang murah hati dan pengasih.

Sai tubu ma anak na malo mansari, Dohot boru na boi paulaean adalah bagian dari isi umpasa (pantun) yang maknanya sebuah kalimat harapan yang berharap agar pengantin kelah melahirkan anak laki-laki yang pandai mencari nafkah, menjadi pemimpin rumah tangga yag bijaksana, dan anak perempuan yang murah hati dan pengasih, menjadi anak perempuan yang penyayang dan dapat di andalkan.

Data (8) Mandurung di aek Sihoru-horu

(menjala ikan di sungai yang deras)

manjala di aek Sigura-gura

(menjala di sungai Sigura-gura)

Udur ma hamu jala leleng mangolu

(berkumpul dalan kehidupan yang panjang umur)

hipas matua sonang sora mahua

(sehat sentosa hingga beranak cucu)

Dalam umpasa (pantun) di atas, makna dari kata-kata dalam umpasa (pantun) tersebut: Mandurung artinya menangkap ikan menggunakan sebuah alat yang terbuat dari kain ataupun jala.

Aek artinya air

Manjala berarti menangkap ikan menggunakan jala Sigura-gura adalah nama suatu tempat atau lokasi Udur berarti berkumpul, bersama-sama dan beriringan Hipas artinya sehat walafiat lahir dan batin.


(42)

30

Udur ma hamu jala leleng mangolu, hipas matua sonang sora mahua adalah bagian dari isi umpasa (pantun) yang bermakna sebuah harapan agar kelak pengantin membina keluarga yang selalu panjang umur, terberkati dan berkumpul dalam suatu ikatan kekeluargaan yang baik dan hidup damai hingga beranak cucu.

Data (9) Bintang na rumiris

(bintang dilangit yang berlimpah ruah)

Ombun nasumorop

(embun pagi yang sejuk)

Anak pe riris

(melahirkan banyak anak laki-laki)

Boru pe torop

(dan melahirkan anak perempuan yang banyak juga)

Dalam umpasa (pantun) di atas, makna dari kata-kata dalam umpasa (pantun) tersebut: Rumiris berasal dari kata riris yang artinya banyak, berlimpah-ruah, dan berjejer Ombun artinya embun, atau awan

Torop artinya banyak atau ramai.

Anak pe riris, Boru pe torop adalah bagian dari isi umpasa (pantun) yang bermakna sebuah harapan agar kelak pengantin mendapatkan anugerah dan melahirkan banyak anak laki-laki dan banyak anak perempuan yang membawa rejeki bagi mereka, dan menjadi keluarga yang besar dan terpandang.

Data (10) Harbangan dalan tu huta

(Pintu masuk kesuatu kampung)

Balatuk dalan tu jabu

(tangga jalan menuju kerumah)

Sai hatop ma hamu mangabing-abing

(semoga cepat dikaruniai anak)

Jala anak buha baju

(dan anak pertama yang lahir adalah laki-laki pembawa marga)

Dalam umpasa (pantun) di atas, makna dari kata-kata dalam umpasa (pantun) tersebut: Harbangan artinya pintu gerbang atau pintu masuk


(43)

31 Balatuk artinya anak tangga rumah adat batak Toba Dalan berarti jalan

Hatop artinya cepat atau segera

Mangabing-abing artinya menggendong atau menimang

Jala, dalam kalimat diatas merupakan sebuah kata penghubung, yang artinya Serta atau Dan

Buha baju artinya anak pertama atau anak sulung

Sai hatop ma hamu mangabing-abing, Jala anak buha baju adalah bagian dari isi umpasa (pantun) yang bermakna sebuah harapan agar pengantin segera mendapatkan anak, dan melahirkan anak sulung yang berjenis kelamin laki-laki sebagai pembawa nama, marga dan garis keturunan dalam keluarga suku batak Toba.

4.2 Nilai-nilai Budaya yang terdapat pada upacara Tintin Marakkup dalam pernikahan Batak Toba

Umpasa (pantun ) dalam pernikahan Adat Batak Toba memiliki makna yang mengandung nilai budaya. Menurut Kamus Besar Indonesia (KUBI), nilai berarti harga, angka, kepandaian, kadar mutu, banyak sedikitnya isi dan sifat-sifat yang penting dan berguna bagi kemanusiaan. Sedangkan nilai budaya adalah tingkat pertama kebudayaan ideal atau Adat. Nilai budaya adalah lapisan paling abstrak dan luas ruang lingkupnya. Berdasarkan pengertian di atas, maka nilai budaya adalah angka kepandaian kelompok masyarakat yang konsep-konsep berpikirnya hidup dan bertumbuh sehingga sistem nilai budayanya menjadi pedoman bagi tingkah laku kelompok manusia tersebut. Nilai bukan hanya yang baik saja karena nilai merupakan segala sesuatu tentang yang baik dan buruk.

Sibarani (2014:178) membagi nilai-nilai budaya kearifan lokal menjadi dua bagian yaitu kedamaian dan kesejahteraan. Kedamaian yaitu kesopansantunan, kejujuran, kesetiakawanan sosial, kerukunan dan penyelesaian konflik, komitmen, pikiran positif, rasa syukur. Sedangkan kesejahteraan yaitu kerja keras, displin,


(44)

32

pendidikan, kesehatan, gotong royong, pengelolahan gender, pelestarian dan kreativitas budaya, dan peduli lingkungan.

Umpasa (pantun) dalam upacara Tintin Marakkup hanya memiliki nilai yang baik bagi manusia, nilai-nilai yang terkandung dalam isi dari umpasa (pantun) tersebut berisikan nilai kasih sayang orang tua kepada anak, nilai ketekunan, nilai kerja keras, nilai kebersamaan/kekompakan, nilai ketelitian, nilai keterbukaan, nilai keagamaan, nilai persaudaraan, nilai kerajinan, dan nilai mudah menyusaikan diri.

1. Nilai kasih sayang orang tua kepada anak

Umpasa (pantun) Batak Toba dalam upacara Adat Tintin Marakkup yang menunjukkan adanya nilai budaya kasih sayang orang tua kepada anak, dapat dilihat dari data (6), (7), dan (10).

Data (6) Rumah ijuk di jolo ni sopo gorga

(Rumah beratap ijuk di depan lumbung yang berukir)

Asi ni roha ni Amanta Debata

(kasih dari Tuhan yang Maha Esa)

Sai dilehon ma dihamu

(Semoga diberi kepada kalian)

Anak na bisuk dohot boru namarroha

(Putera yang cerdik dan puteri yang bijaksana)

Data (6) isi dari umpasa (pantun) yang menyatakan “Sai dilehon ma dihamu,

Anak na bisuk dohot boru namarroha”menunjukkan sebuah harapan orang tua kepada anaknya agar pengantin segera memiliki kehidupan yang baik, yang selalu diharapkan oleh setiap orang tua kepada anaknya. Berdasarkan dari isi umpasa (pantun) diatas disimpulkan bahwa pantun tersebut mengandung nilai budaya kasih sayang orang tua


(45)

33

kepada anak, karena setiap orang tua selalu berharap dengan penuh kasih sayang dan selalu berdoa agar anaknya hidup bahagia hingga beranak cucu.

Data (7) habinsaran hapoltakan ni matani ari

(matahari terbit dari timur)

Hasundutan hapoltakan ni bulan

(bulan terbit dari barat)

Sai tubu ma anak na malo mansari

(semoga lahir anak yang giat bekerja mencari nafkah)

Dohot boru na boi paulaean

(dan anak perempuan yang murah hati)

Data (7) isi dari umpasa (pantun) itu juga memiliki nilai budaya kasih sayang orang tua kepada anak, dimana umpasa (pantun) tersebut menyatakan “Sai tubu ma anak na malo mansari, Dohot boru na boi paulaean” memiliki sebuah makna yang sangat dalam, dimana setiap orang tua berharap anaknya diberikan anak laki-laki dan anak perempuan yang pintar dan murah hati yang sesuai dengan harapan orang tuanya.

Data (10) Harbangan dalan tu huta

(Pintu masuk kesuatu kampung)

Balatuk dalan tu jabu

(tangga jalan menuju kerumah)

Sai hatop ma hamu mangabing-abing

(semoga cepat dikaruniai anak)

Jala anak buha baju

(dan anak pertama yang lahir adalah laki-laki pembawa marga)

Data (10) isi dari umpasa itu juga memiliki nilai budaya kasih sayang orang tua kepada anak, dimana umpasa (pantun) tersebut menyatakan “Sai hatop ma hamu


(46)

34

mangabing-abing, Jala anak buha baju”. Dimana orang tua berharap agar anaknya memiliki garis keturunan, sebagai pembawa marga bagi keluarga mereka.

2. Nilai ketekunan

Umpasa (pantun) Batak Toba dalam upacara Adat Tintin Marakkup yang menunjukkan adanya nilai budaya ketekunan, dapat dilihat dari data (3) dan (5).

Data (3) Napuran ni parsoburan

(sirih yang berasal dari parsoburan)

tu gambir ni sitapongan

(getah kayu yang bisa dimakan)

tong-tong ma hamu nadua sauduran

(tetap satu jalan menuju yang benar)

jala masi haholongan

(satu hati membentuk rumah tangga yang bahagia)

Data (3) isi dari umpasa (pantun) yang menyatakan “tong-tong ma hamu nadua sauduran, jala masi haholongan” memiliki arti bahwa bagi pasangan suami-istri harus tekun dan tetap seia sekata, tong-tong berarti tetap atau selalu menggambarkan suatu sikap yang terus menerus untuk saling melengkapi dengan kasih dan sayang.

Data (5) Jumpang na niluluan

(menemukan sesuatu yang dicari)

Dapot na jinalahan

(mendapatkan apa yang dijalani)

I ma dongan sahaholongan

(satu cinta yang abadi)

Dohot dongan sapanghilalaan

(satu perasaan dan satu pemikiran)

Data (5) isi dari umpasa itu juga memiliki nilai budaya ketekunan, dimana umpasa (pantun) tersebut menyatakan “I ma dongan sahaholongan, Dohot dongan


(47)

35

sapanghilalaan” menegaskan agar selalu tekun dan bersungguh-sungguh dalam mengerjakan suatu pekerjaan yang dilakukan bersama-sama dalam suka maupun duka.

3. Nilai Kerja Keras

Umpasa (pantun) Batak Toba dalam upacara Adat Tintin Marakkup yang menunjukkan adanya nilai kerja keras, dapat dilihat dari data (3) dan (8).

Data (3) Napuran ni parsoburan

(sirih yang berasal dari parsoburan)

tu gambir ni sitapongan

(getah kayu yang bisa dimakan)

tong-tong ma hamu nadua sauduran

(tetap satu jalan menuju yang benar)

jala masi haholongan

(satu hati membentuk rumah tangga yang bahagia)

Data (3) berisikan sebuah makna yang mencerminkan nilai budaya pekerja keras. Dimana kata “sauduran” juga memiliki makna yang mendalam, dimana ketika sepasang suami isteri harus saling bersama-sama dan bekerja keras untuk membina sebuah rumah tangga.

Data (8) Mandurung di aek Sihoru-horu

(menjala ikan di sungai yang deras)

manjala di aek Sigura-gura

(menjala di sungai Sigura-gura)

Udur ma hamu jala leleng mangolu

(berkumpul dalan kehidupan yang panjang umur)

hipas matua sonang sora mahua

(sehat sentosa hingga beranak cucu)

Data (8) tersebut di atas, juga memiliki nilai kerja keras karena terdapat kata “udur” yang makna juga selalu bersama-sama dan bekerja keras dalam membina sebuah rumah tangga yang harmonis sampe mempunyai cucu.


(48)

36 4. Nilai kebersamaan/kekompakan

Umpasa (pantun) Batak Toba dalam upacara Adat Tintin Marakkup yang menunjukkan adanya nilai kebersamaan/kekompakan, dapat dilihat dari data (3), (4), (5), dan (8).

Data (3) Napuran ni parsoburan

(sirih yang berasal dari parsoburan)

tu gambir ni sitapongan

(getah kayu yang bisa dimakan)

tong-tong ma hamu nadua sauduran

(tetap satu jalan menuju yang benar)

jala masi haholongan

(satu hati membentuk rumah tangga yang bahagia)

Data (3) mempunyai nilai kebersamaan/kekompakan, dimana kata “hamu nadua” (kelian berdua) memiliki arti suami isteri harus memiliki kekompakan dalam berumah tangga dan melakukan apapun baik suka dan duka.

Data (4) Dangka ni arirang

(ranting dari pohon nira)

peak ni tonga ni onan

(yang terletak ditengah-tengah pasar)

badan muna naso jadi sirang

(pernikahan yang tidak bisa diceraikan)

tondimu tong-tong masigomgoman.

(hati dan jiwa yang saling merangkul)

Data (4) tersebut di atas, juga memiliki nilai budaya kebersamaan/kekompakan, yang berisikan kata “tondimu tong-tong masigomgoman” memiliki arti selalu bersama. Disini dijelaskan bahwa pasangan suami isteri telah menjadi satu bagian, dan terus tetap


(49)

37

bersama-sama dan tidak boleh bercerai walaupun ada masalah yang besar, kecuali mereka dipisahkan oleh kematian.

Data (5) Jumpang na niluluan

(menemukan sesuatu yang dicari)

Dapot na jinalahan

(mendapatkan apa yang dijalani)

I ma dongan sahaholongan

(satu cinta yang abadi)

Dohot dongan sapanghilalaan

(satu perasaan dan satu pemikiran)

Data (5) berisikan umpasa (pantun) “I ma dongan sahaholongan, Dohot dongan sapanghilalaan” mempunyai nilai kebersamaan, karena menyiratkan sebuah perintah agar pasangan suami isteri selalu bersama-sama dan selalu kompak dalam situasi kehidupan apapun.

Data (8) Mandurung di aek Sihoru-horu

(menjala ikan di sungai yang deras)

manjala di aek Sigura-gura

(menjala di sungai Sigura-gura)

Udur ma hamu jala leleng mangolu

(berkumpul dalan kehidupan yang panjang umur)

hipas matua sonang sora mahua

(sehat sentosa hingga beranak cucu)

Data (8) pada bagian isi umpasa (pantun) “Udur ma hamu” menerangkan sebuah harapan agar pasangan suami isteri selalu kompak, selalu bersama-sama, dan selalu setia selama hidup hingga maut memisahkan.


(50)

38 5. Nilai ketelitian

Umpasa (pantun) Batak Toba dalam upacara Adat Tintin Marakkup yang menunjukkan adanya nilai kebersamaan/kekompakan, dapat dilihat dari data (4)

Data (4) Dangka ni arirang

(ranting dari pohon nira)

peak ni tonga ni onan

(yang terletak ditengah-tengah pasar)

badan muna naso jadi sirang

(pernikahan yang tidak bisa diceraikan)

tondimu tong-tong masigomgoman.

(hati dan jiwa yang saling merangkul)

Data di atas menunjukkan bahwa nasihat-nasihat orang Batak Toba mengandung nilai budaya ketelitian. Kalimat “badan muna naso jadi sirang, tondimu tong-tong masigomgoman” menegaskan bahwa ketika sepasang suami isteri telah mengikat janji suci, maka mereka harus telitih dalam menjaga hubungan suami isteri agar terbina suatu hubungan yang harmonis.

6. Nilai keterbukaan

Umpasa (pantun) Batak Toba dalam upacara Adat Tintin Marakkup yang menunjukkan adanya nilai keterbukaan, dapat dilihat dari data (1) dan (2).

Data (1) Hot pe jabu i

(walaupun rumah itu berdiri kokoh)

Sai tong do i margulangulang

( pasti rumah itu akan bergoyang)

Tung sian dia pe mangalap boru bere i

( siapapun yang dipesunting si pengantin laki-laki)

Sai hot doi boru ni tulang


(51)

39

Data (1) data tersebut di atas mencerminkan nilai budaya masyarakat Batak Toba, yang bersifat dan berjiwa terbuka. Isi kalimat “Tung sian dia pe mangalap boru bere I, Sai hot doi boru ni tulang” menggambarkan sifat orang Batak Toba yang terbuka untuk menerima orang lain dan menganggapnya sebagai saudara kandung. Data (2) Sai tong doi lubang

(rumah berlantai papan yang berlubang)

nangpe dihukkupi rere

(walaupun dititupi dengan tikar)

Sai tong doi boru ni Tulang

(perempuan yang tetap dianggap putri paman)

manang boru ni ise pei dialap bere

(perempuan yang dinikahi pengantin laki-laki)

Data (2) isi umpasa (pantun) yang menyatakan “Sai tong doi boru ni Tulang,

manang boru ni ise pei dialap bere” juga memiliki nilai budaya keterbukaan, yang menggambarkan sifat orang Batak Toba yang terbuka untuk menerima orang lain menjadi bagian dari keluarganya dan menganggap putri pamannya sendiri.

7. Nilai keagamaan

Umpasa (pantun) Batak Toba dalam upacara Adat Tintin Marakkup yang menunjukkan adanya nilai keagamaan, dapat dilihat dari data (6), (7), dan (10).

Data (6) Rumah ijuk di jolo ni sopo gorga

(Rumah beratap ijuk di depan lumbung yang berukir)

Asi ni roha ni Amanta Debata

(kasih dari Tuhan yang Maha Esa)

Sai dilehon ma dihamu

(Semoga diberi kepada kalian)

Anak na bisuk dohot boru namarroha


(52)

40

Data (6) kalimat pada umpasa (pantun) yang berisikan “Sai dilehon ma dihamu,

Anak na bisuk dohot boru namarroha”, mencerminkan nilai budaya keagamaan. Dalam makna kalimat tersebut mengandung makna yang mengunggapkan sebuah permintaan kepada Tuhan Yang Maha Esa agar pengantin atau pasangan suami isteri dikaruniai anak.

Data (7) habinsaran hapoltakan ni matani ari

(matahari terbit dari timur)

Hasundutan hapoltakan ni bulan

(bulan terbit dari barat)

Sai tubu ma anak na malo mansari

(semoga lahir anak yang giat bekerja mencari nafkah)

Dohot boru na boi paulaean

(dan anak perempuan yang murah hati)

Data (7) menggambarkan nilai budaya keagamaan, karena mempunyai isi umpasa (pantun) “Sai tubu anak na malo mansari, Dohot boru na boi paulaean”, mengandung makna sebuah permohonan kepada Tuhan Yang Maha Esa agar pasangan suami isteri mendapat karunia agar segera memiliki keturunan.

Data (10) Harbangan dalan tu huta

(Pintu masuk kesuatu kampung)

Balatuk dalan tu jabu

(tangga jalan menuju kerumah)

Sai hatop ma hamu mangabing-abing

(semoga cepat dikaruniai anak)

Jala anak buha baju


(53)

41

Data (10) umpasa (pantun) diatas juga mengungkapkan sebuah keyakinan umat beragama, berupa permintaan kepada Tuhan Yang Maha Esa agar segera mendapatkan garis keturunan.

Pada ketiga data tersebut diatas, disimpulkan bahwa orang Batak Toba memiliki nilai agama atas kepercayaan kepada Tuhan agar selalu diberkati dan dikaruniai anak.

8. Nilai persaudaraan

Umpasa (pantun) Batak Toba dalam upacara Adat Tintin Marakkup yang menunjukkan adanya nilai keagamaan, dapat dilihat dari data (8) dan (9).

Data (8) Mandurung di aek Sihoru-horu

(menjala ikan di sungai yang deras)

manjala di aek Sigura-gura

(menjala di sungai Sigura-gura)

Udur ma hamu jala leleng mangolu

(berkumpul dalan kehidupan yang panjang umur)

hipas matua sonang sora mahua

(sehat sentosa hingga beranak cucu)

Data (8) bagian isi umpasa (pantun) yang menyatakan “Udur ma hamu” yang berarti setiap orang harus bersama-sama menjalin rasa persaudaraan. Isi umpasa (pantun) tersebut menggambarkan kehidupan pasangan suami isteri harus mempunyai suatu rasa persaudaraan dan rasa kekeluargaan, agar tercipta sebuah keluarga yang penuh rasa cinta dan kasih sayang.

Data (9) Bintang na rumiris

(bintang dilangit yang berlimpah ruah)

Ombun nasumorop

(embun pagi yang sejuk)


(54)

42 (melahirkan banyak anak laki-laki)

Boru pe torop

(dan melahirkan anak perempuan yang banyak juga)

Data (9) isi dari umpasa (pantun) itu juga memiliki nilai budaya persaudaraan, yang berisika kalimat “Anak pe riris, Boru pe torop”

menggambarkan suatu kehidupan dalam keluarga yang memiliki banyak putra dan putri, harus menjalani hidup rukun dan rasa persaudaraan yang erat sebagai saudara kandung.

9. Nilai kerajinan

Umpasa (pantun) Batak Toba dalam upacara Adat Tintin Marakkup yang menunjukkan adanya nilai keagamaan, dapat dilihat dari data (6) dan (7).

Data (6) Rumah ijuk di jolo ni sopo gorga

(Rumah beratap ijuk di depan lumbung yang berukir)

Asi ni roha ni Amanta Debata

(kasih dari Tuhan yang Maha Esa)

Sai dilehon ma dihamu

(Semoga diberi kepada kalian)

Anak na bisuk dohot boru namarroha

(Putera yang cerdik dan puteri yang bijaksana)

Data (6) pada bagian isi umpasa (pantun) yang menyatakan “Anak na bisuk dohot boru namarroha” menggambarkan suatu kehidupan Batak Toba yang rajin dan giat bekerja, dimana anak laki-laki dalam masyarakat Batak Toba harus dapat menjadi pemimpin serta anak perempuan yang bijaksana dalam segala hal.

Data (7) habinsaran hapoltakan ni matani ari

(matahari terbit dari timur)


(55)

43 (bulan terbit dari barat)

Sai tubu ma anak na malo mansari

(semoga lahir anak yang giat bekerja mencari nafkah)

Dohot boru na boi paulaean

(dan anak perempuan yang murah hati)

Data (7) isi kalimat dalam umpasa (pantun) “Anak na malo mansari, Dohot boru na boi paulaean” mengandung nilai budaya kerajinan, bahwa masyarakat Batak Toba selalu menginginkan dan mengajarkan serta mendidik anak-anaknya agar menjadi anak yang rajin dan giat bekerja dalam mencari nafkah dan mampu bertanggung jawab.

10.Nilai mudah menyesuaikan diri

Umpasa (pantun) Batak Toba dalam upacara Adat Tintin Marakkup yang menunjukkan adanya nilai keagamaan, dapat dilihat dari data (1).

Data (1) Hot pe jabu i

(walaupun rumah itu berdiri kokoh)

Sai tong do i margulangulang

( pasti rumah itu akan bergoyang)

Tung sian dia pe mangalap boru bere i

( siapapun yang dipesunting si pengantin laki-laki)

Sai hot doi boru ni tulang

(dia tetap dianggap putri paman)

Data (10) isi dari umpasa (pantun) memiliki nilai budaya menyesuaikan diri pada kalimat “Tung sian dia pe mangalap boru bere I, Sai hot doi boru ni tulang” menyatakan bahwa pengantin perempuan harus bisa menyesuaikan diri agar menjadi suatu keluarga dengan keluarga paman pengantin pria. Dalam hal ini digambarkan bahwa masyarakat Batak Toba mampu dengan mudahnya menyesuaikan diri dalam suatu suasana atau keluarga yang baru. Jadi, dapat disumpulkan bahwa dalam kehidupan masyarakat Batak


(56)

44

Toba tekandung nilai budaya yang mudah menyesuaikan diri pada situasi dan kondisi apapun.


(57)

45

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan

Adapun yang menjadi simpulan dari penelitian ini adalah:

1. Dalam data umpasa (pantun) pernikahan Adat Batak Toba terdapat tiga makna umpasa (pantun) yaitu:

1. Membandingkan (penyamaan) 2. Menasehati

3. Mengharapkan sesuatu

2. Berdasarkan penelitian yang dilakukan terhadap makna umpasa (pantun) bahasa Batak Toba dapat disimpulkan adanya nilai-nilai budaya yang terdapat pada masyarakat Batak Toba yang bernilai baik seperti: nilai kasih sayang orang tua kepada anak, nilai ketekunan, nilai kerja keras, nilai kebersamaan/kekompakan, nilai ketelitian, nilai keterbukaan, nilai keagamaan, nilai persaudaraan, nilai kerajinan, nilai menyusaikan diri.

5.2 Saran

Peneliti berharap agar peneliti-peneliti lain melakukan penelitian sejenis dalam suku/etnik lain. Untuk mendukung suksesnya peneliti lanjutan, kiranya pihak pemerintah turut berpartisipasi mendukung penelitian setiap budaya yang ada dalam masyarakat agar budaya itu sendiri tidak punah, khusunya untuk masyarakat Batak Toba agar tetap memakai dan mempertahankan umpasa (pantun) dengan cara sering mengucapkan umpasa (pantun) tersebut dalam kehidupan sehari-hari.


(58)

46

DAFTAR PUSTAKA

Alwi, Hasan. 2003. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pusataka

Aminunddin. 1981. Semantik Pengantar Studi Tentang Makna. Bandung: Sinar Baru Algesindo.

Daeng J, Hans. 2000. “Kompleksitas Upacara Perkawinan”.

Depertemen Pendidikan Nasional. 1995. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka

Djajasudarma, Fatimah dkk. 1997. Nilai Budaya Dalam Ungkapan dan Pribahasa Sunda. Jakarta :DEPDIKBUD

Hutapea, Vera Nurcahaya. 2007. “Tuturan pada Upacara Adat perkawinan Masyarakat Batak Toba”. (skripsi). Medan: Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara. Koentjaraningrat,2009. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta :Rineka Cipta

Kridalaksana, Harimurti. 1982. Kamus Linguistik. Jakarta :Gramedia Pustaka

Mintarago, Bambang. 2000. Tinjauan Manusia dan Nilai Budaya. Jakarta: Universitas Trisakti

Pateda, Mansoer. 2001. Semantik Leksikal. Jakarta :Rineka Cipta.

Pekei, Titus.2013. menggali nilai budaya tradisi lisan dari papua. Jakarta: Direktorat sejarah dan Nilai Budaya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Sibarani, Robert. 2004. Antropolinguistik. Medan: Poda.

Sihombing, Erni. 2008. Makna Ungkapan dalam Bahasa Karo (skripsi). Fakultas Sastra USU.

Sulistiono dkk. 2013. Seri Bahasa Indonesia. Medan: Aneka Ilmu.

Sitompul, st, R. H. P.2009. ”Ulos Batak Tempo Dulu-Masa Kini.”:KERABAT (Kerukunan Masyarakat Batak Jakarta)


(59)

47

Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisi Bahasa. Yogyakarta: Dutawacana University Press


(60)

48

DATA INFORMAN

Informan 1

Nama : Sasnaek Naibaho

Umur : 44 tahun

Pekerjaan : Wiraswasta

Alamat : Lbn. Siagian, Kelurahan Pasar Pangururan

Lama menjabat sebagai Raja Adat : ± 10 Tahun

Lama berdomisili : 44 tahun ( Sejak Lahir)


(61)

49 Informan 2

Nama : Maniur Naibaho

Umur : 50 tahun

Pekerjaan : Bertani

Alamat : Kelurahan Pasar Pangururan

Lama menjabat sebagai Raja Adat : ± 23 Tahun

Lama berdomisili : 25 Tahun


(62)

50 Informan 3

Nama : Klaudius Jausen Simanjuntak

Umur : 80 tahun

Pekerjaan : Pensiunan Pegawai Negeri

Alamat : Jln. Sisingamangaraja No.77 Kelurahan Pasar

Pangururan Lama menjabat sebagai Raja Hata : ± 46 Tahun

Lama berdomisili : 45 Tahun


(63)

51 Informan 4

Nama : Obin Naibaho

Umur :50 tahun

Pekerjaan : Wiraswasta

Alamat : Jln. Patuan Anggi No 15.Kelurahan Pasar

Pangururan

Lama menjabat sebagai Raja Adat : ± 21 Tahun

Lama berdomisili : 20 Tahun


(64)

52

LAMPIRAN FOTO

03 Februari 2015

(Wawancara dengan Bapak Sasnaek Naibaho)

11 Februari 2015

(Wawancara dengan Bapak Maniur Naibaho)


(65)

53

19 Februari 2015

(Wawancara dengan Oppung Kladius Simanjuntak)

23 Februari 2015

(Wawancara dengan Bapak Madius naibaho)


(1)

48

Informan 1

Nama : Sasnaek Naibaho

Umur : 44 tahun

Pekerjaan : Wiraswasta

Alamat : Lbn. Siagian, Kelurahan Pasar Pangururan Lama menjabat sebagai Raja Adat : ± 10 Tahun

Lama berdomisili : 44 tahun ( Sejak Lahir) Poto diri


(2)

49

Informan 2

Nama : Maniur Naibaho

Umur : 50 tahun

Pekerjaan : Bertani

Alamat : Kelurahan Pasar Pangururan Lama menjabat sebagai Raja Adat : ± 23 Tahun

Lama berdomisili : 25 Tahun Poto diri


(3)

50

Nama : Klaudius Jausen Simanjuntak

Umur : 80 tahun

Pekerjaan : Pensiunan Pegawai Negeri

Alamat : Jln. Sisingamangaraja No.77 Kelurahan Pasar Pangururan

Lama menjabat sebagai Raja Hata : ± 46 Tahun Lama berdomisili : 45 Tahun Poto diri


(4)

51

Informan 4

Nama : Obin Naibaho

Umur :50 tahun

Pekerjaan : Wiraswasta

Alamat : Jln. Patuan Anggi No 15.Kelurahan Pasar Pangururan

Lama menjabat sebagai Raja Adat : ± 21 Tahun Lama berdomisili : 20 Tahun Poto diri


(5)

52

03 Februari 2015

(Wawancara dengan Bapak Sasnaek Naibaho)

11 Februari 2015

(Wawancara dengan Bapak Maniur Naibaho)


(6)

53

19 Februari 2015

(Wawancara dengan Oppung Kladius Simanjuntak)

23 Februari 2015

(Wawancara dengan Bapak Madius naibaho)