Komunikasi Antarbudaya Dalam Proses Asimilasi Pada Pernikahan Campuran (Studi Kasus Tentang Komunikasi Antarbudaya Dalam Proses Asimilasi Pada Pernikahan Campuran Suku Batak Toba-Tionghoa di kota Medan)

(1)

KOMUNIKASI ANTARBUDAYA DALAM PROSES ASIMILASI

PADA PERNIKAHAN CAMPURAN

(Studi Kasus Tentang Komunikasi Antarbudaya Dalam Proses Asimilasi Pada Pernikahan Campuran Suku Batak Toba-Tionghoa di kota Medan )

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Oleh :

BINTANG OCTAVIA SIMAMORA 080904051

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2012


(2)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI Lembar Persetujuan

Skripsi ini disetujui untuk dipertahankan oleh : Nama : Bintang Octavia Simamora NIM : 080904051

Departemen : Ilmu Komunikasi

Judul : Komunikasi Antarbudaya Dalam Proses Asimilasi Pada Pernikahan Campuran (Studi Kasus Tentang Komunikasi Antarbudaya Dalam Proses Asimilasi Pada Pernikahan Campuran Suku Batak Toba-Tionghoa di kota Medan).

Medan, 02 Maret 2012

Dosen Pembimbing Ketua Departemen

Dra. Lusiana A. Lubis,M.A..Ph.D

NIP. 196704051990032002 NIP.195102191987011001 Dra. Fatma Wardy Lubis.M.A

Dekan FISIP USU

NIP. 196805251992031002 Prof. Dr. Badaruddin, M.Si


(3)

ABSTRAKSI

Penelitian ini berjudul Komunikasi Antarbudaya dalam Proses Asimilasi Pada Pernikahan Campuran Suku Batak Toba-Tionghoa di kota Medan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui komunikasi antarbudaya yang terjadi dalam proses asimilasi pernikahan campuran suku Batak Toba-Tionghoa di kota Medan.

Penelitian ini menggunakan metode studi kasus yakni metode analisis data kualitatif yang menekankan pada kasus-kasus tertentu yang terjadi pada objek analisis. Metode ini menggunakan analisis deskriptif dan pendekatan indukt if dalam menganalisa datanya serta dilengkapi oleh teknik triangulasi untuk mengembangkan validitas data. Subjek penelitiannya adalah lima pasangan pernikahan campuran suku Batak Toba-Tionghoa yang ada di kota Medan. Dan jika diperlukan akan diteliti juga anggota keluarga, pemuka agama, dan pemuka adat masing-masing suku untuk memperkuat hasil penelitian.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses komunikasi antarbudaya dapat terjalin dengan baik dan efektif diantara kelima pasangan pernikahan campuran. Namun terjadi proses penarikan diri oleh beberapa informan dari sukunya terdahulu, kecemasan tinggi akan masa depan sukunya, rasa etnosentrisme berlebihan, dan culture shock yang sempat dialami oleh beberapa informan. Keseluruhan informan berusaha untuk menghormati dan menghargai perbedaan budaya dalam pernikahan mereka . Mereka berusaha untuk membaur dan melebur dengan budaya pasangannya. Terjadi perubahan pandangan dunia (agama, nilai-nilai, dan perilaku) pada pasangan minoritas dan memilih untuk mengikuti keyakinan pasangan yang dominan. Dominasi suku dan budaya oleh kelompok dominan juga terjadi terhadap kelompok minoritas. Sifat asli kelompok minoritas terkikis oleh pengaruh yang besar dari sifat asli kelompok dominan. Terjadi proses asimilasi secara terus-menerus dan sudah berlangsung cukup lama terhadap kelompok minoritas. Bahasa, pola budaya, intensivitas pergaulan, dan pola asuh anak disesuaikan dengan kelompok dominan. Lingkungan tempat tinggal cukup mempengaruhi terjadinya proses asimilasi dalam pernikahan campuran tersebut.


(4)

KATA PENGANTAR

Dengan segala kerendahan hati, penulis mengucapkan puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

Penulisan skripsi yang berjudul “Komunikasi Antarbudaya dalam Proses Asimilasi pada Pernikahan Campuran Suku Batak Toba-Tionghoa di kota Medan” ini bertujuan untuk memenuhi salah satu persyaratan yang harus dilengkapi dalam memperoleh gelar Sarjana Sosial pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

Dalam menyelesaikan skripsi ini, tentunya merupakan hasil pelajaran yang penulis terima selama mengikuti perkuliahan di Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara. Dalam menyusun skripsi ini, penulis mendapat banyak saran, bimbingan dan arahan baik dari segi moril maupun materi serta dorongan semangat dari berbagai pihak yang sangat berguna bagi penulis.

Secara khusus penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada kedua orangtua penulis, ayahanda (Alm) Marihot Simamora dan ibunda Sumihar Roulina Sianturi yang senantiasa mendoakan, memberikan dukungan dan nasehat yang bijaksana bagi penulis. Tidak lupa penulis ucapkan terima kasih kepada nenek penulis, Lomina Sihombing atas doa beliau yang senantiasa dipanjatkan bagi penulis dan seluruh keluarga penulis yang selalu mendukung penulis. Ucapan terima kasih lainnya penulis ingin sampaikan kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Badaruddin, Msi selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Dra. Fatma Wardi Lubis, MA selaku ketua Departemen Ilmu Komunikasi. 3. Ibu Dra. Dayana, Msi selaku Sekretaris Departemen Ilmu Komunikasi atas segala


(5)

4. Ibu Lusiana A. Lubis, M.A.,Ph. D selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan, nasehat, dan saran bagi penulis selama pengerjaan skripsi ini.

5. selaku Ketua Penguji yang telah banyak memberikan saran, kritik, serta masukan pada skripsi ni hingga menjadi lebih baik.

6. selaku Penguji Utama yang telah memberikan masukan untuk perbaikan skripsi ini hingga akhirnya bisa menjadi lebih baik lagi.

7. Seluruh Dosen dan Staf pengajar yang telah mendidik dan membimbing mulai dari semester awal hingga penulis menyelesaikan perkuliahan di kampus. 8. Laboratorium Departemen Ilmu Komunikasi, Kak Yovita Sabarina Sitepu, SSos,

MSi selaku ketua serta Kak Hanim dan Kak Puan yang telah membantu penulis sehingga penulis memperoleh banyak ilmu yang bermanfaat.

9. Kak Maya, Kak Icut dan Kak Ros yang telah membantu penulis dalam memperoleh informasi tentang perkuliahan.

10.IMAJINASI FISIP USU terutama pengurus periode 2010-2011, Kak Inda Sari selaku ketua dan teman-teman pengurus lainnya yang telah memberikan wadah bagi penulis dan teman-teman yang lainnya untuk berkreatifitas dan belajar untuk berorganisasi.

11. Teman-teman Vizabinka (Sylviana Sihite, Kariza Siahaan, Bintang, dan Ika Saragih), D Princess Batak, Melisa Pangaribuan, Sondang Marpaung, Dama Paundra, Firman Silalahi, dan Dedy Syahputra yang telah memberikan persahabatan, dukungan dan semangat kepada penulis selama masa perkuliahan dan mudah-mudahan akan berlangsung selamanya.

12. Teman-teman Ilmu Komunikasi berbagai stambuk terutama teman seperjuangan stambuk 2008 yang senantiasa menjadi teman terbaik bagi penulis.

13. Teman-teman masa SMA penulis (Kokain Boemsa) yang senantiasa menyemangati penulis dan menjadi teman terbaik bagi penulis

14.Seluruh informan yang bersedia memberikan informasi yang dibutuhkan penulis untuk menyelesaikan skripsi ini serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Semoga Tuhan Yang Maha Esa membalas semua doa dan dukungan yang telah diberikan. Penulis menyadari bahwa penulisan ini jauh dari sempurna.


(6)

Untuk itu saran dan kritik dibutuhkan penulis demi perbaikan skripsi ini. Akhirnya semoga tulisan yang sederhana ini bermanfaat bagi kita semua.

Medan, Maret 2012 Penulis


(7)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

ABSTRAKSI ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... vii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

I.1 Latar Belakang Masalah... 1

I.2 Perumusan Masalah ... 8

I.3 Pembatasan Masalah ... 8

I.4 Tujuan Penelitian ... 8

I.5 Manfaat Penelitian ...9

I.6 Kerangka Teori ... 9

I.7 Kerangka Konsep ... 17

I.8 Konseptualisasi ... 18

I.9 Defenisi Operasional... 19

BAB II URAIAN TEORITIS ... 21

II.1 Komunikasi ... 21

II.1.1 Pengertian Komunikasi ... 21

II.1.2 Prinsip Komunikasi ... 22

II.2 Komunikasi Antarbudaya ... 24

II.2.1 Pengertian Komunikasi Antarbudaya ... 24

II.2.2 Tujuan Komunikasi Antarbudaya ... 25

II.2.3 Unsur-Unsur Proses Komunikasi Antarbudaya ... 27

II.2.4 Pandangan Dunia (World View) ... 30

II.3 Akulturasi dalam Pernikahan Campuran ... 32

II.3.1 Komunikasi dan Akulturasi... 33

II.3.2 Variabel-Variabel Komunikasi Dalam Akulturasi ... 35

II.3.3 Potensi Akulturasi ... 36

II.4 Asimilasi dalam Pernikahan Campuran ... 37

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 46

III.1 Metode Penelitian ... 46

III.2 Lokasi Penelitian ... 48

III.3 Subjek Penelitian ... 48

III.4 Teknik Pengumpulan Data ... 50


(8)

III.4.2 Observasi ... 52

III.4.3 Penelitian Dokumenter ... 53

III.5 Teknik Analisis Data ... 53

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN... 57

IV.1 Deskripsi Subjek Penelitian ... 57

IV. 2 Hasil Pengamatan dan Wawancara ... 62

IV. 3 Pembahasan ... 114

BAB V PENUTUP ... 132

V.1 Kesimpulan ... 132

V.2 Saran ... 133 DAFTAR PUSTAKA


(9)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman


(10)

ABSTRAKSI

Penelitian ini berjudul Komunikasi Antarbudaya dalam Proses Asimilasi Pada Pernikahan Campuran Suku Batak Toba-Tionghoa di kota Medan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui komunikasi antarbudaya yang terjadi dalam proses asimilasi pernikahan campuran suku Batak Toba-Tionghoa di kota Medan.

Penelitian ini menggunakan metode studi kasus yakni metode analisis data kualitatif yang menekankan pada kasus-kasus tertentu yang terjadi pada objek analisis. Metode ini menggunakan analisis deskriptif dan pendekatan indukt if dalam menganalisa datanya serta dilengkapi oleh teknik triangulasi untuk mengembangkan validitas data. Subjek penelitiannya adalah lima pasangan pernikahan campuran suku Batak Toba-Tionghoa yang ada di kota Medan. Dan jika diperlukan akan diteliti juga anggota keluarga, pemuka agama, dan pemuka adat masing-masing suku untuk memperkuat hasil penelitian.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses komunikasi antarbudaya dapat terjalin dengan baik dan efektif diantara kelima pasangan pernikahan campuran. Namun terjadi proses penarikan diri oleh beberapa informan dari sukunya terdahulu, kecemasan tinggi akan masa depan sukunya, rasa etnosentrisme berlebihan, dan culture shock yang sempat dialami oleh beberapa informan. Keseluruhan informan berusaha untuk menghormati dan menghargai perbedaan budaya dalam pernikahan mereka . Mereka berusaha untuk membaur dan melebur dengan budaya pasangannya. Terjadi perubahan pandangan dunia (agama, nilai-nilai, dan perilaku) pada pasangan minoritas dan memilih untuk mengikuti keyakinan pasangan yang dominan. Dominasi suku dan budaya oleh kelompok dominan juga terjadi terhadap kelompok minoritas. Sifat asli kelompok minoritas terkikis oleh pengaruh yang besar dari sifat asli kelompok dominan. Terjadi proses asimilasi secara terus-menerus dan sudah berlangsung cukup lama terhadap kelompok minoritas. Bahasa, pola budaya, intensivitas pergaulan, dan pola asuh anak disesuaikan dengan kelompok dominan. Lingkungan tempat tinggal cukup mempengaruhi terjadinya proses asimilasi dalam pernikahan campuran tersebut.


(11)

BAB I PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang Masalah

Setiap orang membutuhkan hubungan sosial dengan orang lain dan kebutuhan ini terpenuhi melalui pertukaran pesan yang berfungsi sebagai alat untuk mempersatukan manusia-manusia yang jika tidak berkomunikasi maka akan terisolasi. Pesan-pesan itu mengemuka lewat perilaku-perilaku manusia. Bila seseorang memperhatikan perilaku kita dan memberi pemaknaan terhadap perilaku kita, maka komunikasi telah terjadi meskipun kita tidak menyadari perilaku kita tersebut. Setiap perilaku manusia memiliki potensi komunikasi. Hubungan antara individu dan kebudayaan saling mempengaruhi dan saling menentukan. Kebudayaan diciptakan dan dipertahankan melalui aktivitas komunikasi para individu anggotanya. Perilaku mereka secara bersama-sama menciptakan kebudayaan yang mengikat dan harus dipatuhi oleh individu agar dapat menjadi bagian dari kebudayaan (Djuarsa, 2007: 342). Dengan kata lain dapat disebutkan bahwa kita tidak dapat hidup jika tidak berkomunikasi/ berinteraksi dengan orang lain.

Budaya berkaitan dengan cara manusia hidup. Manusia berpikir dan bertindak sesuai dengan pola budaya yang telah melekat pada dirinya. Budaya menampakkan diri dalam setiap pola bahasa, bentuk-bentuk kegiatan, dan perilaku yang memungkinkan setiap inidvidu di dalamnya bertindak dan berkomunikasi sesuai dengan pola budaya yang dianut. Budaya dan komunikasi tidak dapat dipisahkan


(12)

karena seluruh perilaku seseorang sangat bergantung pada budaya tempat ia dibesarkan. Budaya merupakan landasan komunikasi. Semakin beraneka ragam budaya, maka semakin beraneka ragam pula praktik komunikasi.

Komunikasi dan budaya seperti dua sisi mata uang, dimana budaya menjadi bagian dari perilaku komunikasi dan komunikasi juga turut menentukan, mengembangkan, dan mewariskan suatu budaya (Andriani, 2009: 11). Situasi ini tidak dapat dihindarkan, karena sebetulnya, setiap kali seseorang melakukan komunikasi dengan orang lain mengandung potensi komunikasi antarbudaya. Hal ini dikarenakan setiap orang selalu berbeda budaya dengan orang lain, sekecil apa pun perbedaan tersebut. Budaya-budaya yang berbeda memiliki sistem-sistem nilai yang berbeda dan karenanya dapat menjadi salah satu penentu tujuan hidup yang berbeda pula. Cara setiap orang berkomunikasi sangat bergantung pada budayanya; bahasa, aturan dan norma masing-masing. Budaya memiliki tanggung jawab atas seluruh perilaku komunikatif dan makna yang dimiliki setiap orang.

Bangsa Indonesia adalah bangsa yang majemuk. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya suku bangsa di Indonesia yang mendiami berbagai pulau yang ada. Mereka tersebar di kepulauan nusantara yang berjumlah sekitar 13.677 pulau, terdiri dari 300 suku bangsa atau kelompok etnis dengan bahasa komunikasi berbeda-beda yang jumlahnya lebih dari 250 bahasa. Indonesia sebagai negara yang multietnik dengan derajat keberagaman yang tinggi mempunyai peluang besar dalam berlangsungnya pernikahan antar etnis atau antar budaya. Salah satu dampak dari bertemunya individu-individu dengan berbagai latar belakang etnik memungkinkan terjadinya pernikahan antarsuku atau antarbudaya.


(13)

Fenomena pernikahan campuran di Indonesia bukan merupakan hal baru. Sejak jaman dahulu pernikahan campuran antar etnis merupakan sarana asimilasi yang efektif. Fenomena itu dapat dijumpai pada masyarakat Betawi, dimana secara historis etnis Betawi merupakan hasil dari proses asimilasi yang berlangsung terus menerus. Secara biologis mereka yang mengaku sebagai orang Betawi adalah keturunan campuran dari aneka suku dan bangsa seperti etnis Jawa, Bali, dan Tionghoa (http://community.gunadarma.ac.id/).

Berdasarkan fenomena tersebut dapat diketahui bahwa pernikahan campuran bukan hal asing di Indonesia. Seiring dengan perkembangan pembangunan di Indonesia, terutama di kota Medan Sumatera Utara, semakin banyak orang-orang dari kota lain seperti dari Aceh, Padang bahkan etnis non pribumi, yaitu etnis Tionghoa merantau ke kota Medan dan menetap di kota Medan. Hal ini memberikan peluang terjadinya pernikahan antar etnis Batak dengan etnis Melayu ataupun dengan etnis Tionghoa di kota Medan. Pernikahan tersebut menjadi hal biasa karena merupakan proses alamiah yang terjadi pada masyarakat multietnis.

Sumatera Utara adalah salah satu daerah yang terdiri dari ragam etnis yang saling hidup berdampingan. Kerukunan umat beragama dan antar etnis di Sumatera Utara dapat terlihat dari kekondusifan kota Medan yang tetap terjaga di saat kota-kota lain mengalami konflik antar agama dan antar suku. Sumatera Utara menawarkan keberagaman antar budaya karena memiliki berbagai etnis seperti Aceh, Batak, Melayu, dan etnis non pribumi seperti Cina dan India. Keberagaman antar budaya tersebut kemudian membentuk beragam corak bahasa dan karakter. Hal ini membuat


(14)

cara orang Sumatera Utara bertutur dan berkomunikasi menjadi istimewa

Salah satu konsep yang dipakai untuk menelusuri komunikasi antar budaya masyarakat Sumatera Utara adalah konsep stereotip. Stereotip adalah pandangan umum dari suatu kelompok masyarakat terhadap kelompok masyarakat lain (Purwasito, 2003: 228). Stereotip berkaitan dengan pencitraan (image) yang telah ada dan terbentuk secara turun-temurun berdasarkan sugesti, baik positif maupun negatif. Hal ini bisa dilihat dari stereotip yang dibangun secara turun-temurun oleh masyarakat Sumatera Utara misalnya, masyarakat Batak memiliki stereotip yang kasar dan tegas, masyarakat Aceh sebagai kelompok masyarakat yang susah diatur dan etnis Tionghoa sebagai etnis yang cukup tertutup dengan suku lain

Perbendaharaan-perbendaharaan yang dimiliki orang-orang yang berbeda budaya akan berbeda pula. Hal ini dapat menimbulkan berbagai macam kesulitan. Kesulitan-kesulitan komunikasi yang dihadapi oleh individu-individu yang terlibat diakibatkan oleh perbedaan ekspektasi kultural masing-masing. Salah satu contoh kesalahpahaman komunikasi misalnya, ketika seorang Tionghoa berbicara dalam bahasa Mandarin kepada temannya, seorang pribumi yang berada di dekat mereka tersinggung karena menyangka bahwa si etnis Tionghoa membicarakan hal-hal yang negatif mengenai si pribumi. Perbedaan-perbedaan ekspektasi budaya tersebut dapat menimbulkan resiko yang fatal. Perbedaan ekspektasi dalam komunikasi Batak Toba-Tionghoa di atas dapat menyebabkan komunikasi tidak lancar, timbul perasaan tidak nyaman atau kesalahpahaman. Kesalahpahaman akan sering terjadi ketika


(15)

seseorang sering berinteraksi dengan orang dari kelompok budaya yang berbeda. Mereka akan menggunakan budayanya sebagai standarisasi untuk mengukur budaya-budaya lain.

Salah satu bentuk aktivitas komunikasi antarbudaya yang nyata terlihat dalam kehidupan pernikahan campuran. Dalam hal ini, peneliti lebih menspesifikkan kehidupan keluarga pernikahan campuran antara Batak Toba-Tionghoa. Persoalan paling mendasar dalam pernikahan campuran itu adalah latar belakang personal atau individu pelaku pernikahan berbeda etnis. Etnis Batak Toba identik dengan tutur kata kasar dan tegas namun terbuka pada siapa saja. Berbanding terbalik dengan etnis Tionghoa yang agak tertutup dan kurang mau bergaul dengan suku lain. Pasangan yang memutuskan melakukan pernikahan beda etnis harus memiliki pola pikir terbuka terhadap budaya yang dibawa oleh pasangannya, termasuk kepercayaan, nilai dan norma. Jika kedua pihak tidak memiliki pola pikir terbuka, akan terjadi pemaksaan kehendak untuk mempraktikkan kepercayaan, nilai dan norma yang dianut oleh pasangannya, sehingga kemungkinan langgengnya sebuah pernikahan ibarat jauh panggangan dari api. Semestinya setiap pasangan harus berusaha mengambil keputusan dalam pemecahan masalahnya tidak berlandaskan keputusan emosional pribadi berlatar budaya masing-masing pihak, melainkan keputusan rasional bersama yang dapat digunakan sebagai jalan keluar.

Dalam kehidupan keluarga pernikahan berbeda suku Batak Toba-Tionghoa akan terjadi suatu komunikasi antarbudaya, yang melibatkan seluruh anggota keluarga: suami, istri, anak, dan bahkan juga anggota keluarga lain yang tinggal


(16)

dalam satu rumah tersebut. Situasi ini dapat mengakibatkan munculnya kesepakatan untuk mengakui salah satu budaya yang akan mendominasi atau berkembangnya budaya lain yang merupakan peleburan dari dua budaya tersebut atau bahkan kedua budaya dapat sama-sama berjalan seiring dalam satu keluarga (proses asimilasi). Meskipun suatu keluarga pernikahan berbeda suku seringkali saling melakukan interaksi, bahkan dengan bahasa yang sama sekalipun, tidak berarti komunikasi akan berjalan mulus atau dengan sendirinya akan tercipta saling pengertian. Hal ini dikarenakan sebagian di antara individu tersebut masih memiliki prasangka terhadap kelompok budaya lain dan enggan bergaul dengan mereka (http://ums.ac.id/).

Dalam suatu pernikahan diperlukan saling pengertian dan saling menerima pasangan masing-masing dengan latar belakang keluarga dan kebiasaan yang berbeda. Hal inilah yang menjadi daya tarik peneliti untuk meneliti komunikasi antarbudaya dalam kehidupan pernikahan campuran suku Batak Toba-Tionghoa, karena dengan berkomitmen sebagai pasangan suami-istri berarti mereka harus bersedia menerima dan memasuki lingkungan sosial budaya pasangannya, sehingga diperlukan keterbukaan dan toleransi yang sangat tinggi. Orang menikah bukan hanya mempersatukan diri, tetapi juga seluruh keluarga besarnya. Penyesuaian diri merupakan suatu proses dan bukanlah keadaan yang statis, sehingga efektifitas penyesuaian diri itu sendiri ditandai dengan seberapa mampu individu dalam menghadapi situasi serta kondisi yang selalu berubah. Pada dasarnya penyesuaian diri dalam pernikahan berlangsung dan patut diusahakan secara terus-menerus sepanjang usia pernikahan. Kebanyakan orang berada dalam dua keluarga selama hidupnya: keluarga dimana mereka lahir dan keluarga yang terbentuk ketika mereka mempunyai


(17)

pasangan. Oleh karena itu, setiap pasangan dituntut untuk dapat menyesuaikan diri dengan pasangannya (Samovar, dkk, 2010: 64-65 )

Pada saat seseorang masuk ke lembaga pernikahan maka orang tersebut tidak hanya terlibat dengan pasangannya saja. Secara otomatis ia juga memperoleh sekelompok keluarga baru yaitu anggota keluarga pasangan, dimana hal ini memungkinkan adanya perbedaan usia, minat, nilai, pendidikan, tradisi, sikap, gaya hidup dan latar belakang sosial. Variasi budaya terjadi yaitu keluarga di mana ia lahir dan keluarga yang terbentuk ketika ia punya pasangan. Seseorang yang baru menikah menjadikan keluarga barunya sebagai tempat belajar dan menyatakan diri sebagai manusia sosial di dalam hubungan interaksi dengan kelompok barunya tersebut. Di dalam kehidupan keluarga baru tersebut terdapat norma-norma dan peraturan yang harus dipatuhi bersama untuk menjamin berlangsungnya interaksi yang wajar demi tercapainya tujuan bersama keluarga itu. Kekeluargaan mengikat dua keluarga menjadi sistem keluarga yang lebih kompleks. Ada dua bentuk umum keluarga yang ditemukan, yaitu keluarga inti, biasanya terdiri atas ayah, ibu, dan anak-anak serta keluarga besar, biasanya terdiri atas kakek-nenek dan kerabat (Samovar, dkk, 2010: 65-66).

Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik untuk meneliti bagaimana komunikasi antarbudaya dalam proses asimilasi pada pernikahan campuran suku Batak Toba-Tionghoa di kota Medan.

I.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut :


(18)

“Bagaimanakah komunikasi antarbudaya dalam proses asimilasi pada pernikahan campuran suku Batak Toba-Tionghoa di kota Medan?”

I.3 Pembatasan Masalah

Pembatasan masalah bertujuan untuk menetapkan batasan dari masalah penelitian yang akan diteliti agar ruang lingkup penelitian menjadi lebih sempit dan jelas. Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka pembatasan masalah dalam penelitian ini adalah :

1. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan menggunakan studi kasus.

2. Subjek penelitian dikhususkan pada pasangan pernikahan campuran suku Batak Toba-Tionghoa di kota Medan. Jika diperlukan akan diteliti juga anggota keluarga dalam pernikahan campuran tersebut, pemuka adat, dan pemuka agama dari masing-masing suku.

I.4 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui latar belakang masing-masing pasangan pada pernikahan campuran suku Batak Toba-Tionghoa di kota Medan.

2. Untuk mengetahui pandangan dunia (agama/kepercayaan, nilai, dan sikap) yang dianut pasangan pernikahan campuran suku Batak Toba-Tionghoa di kota Medan.


(19)

3. Untuk mengetahui komunikasi antarbudaya yang terjadi dalam proses asimilasi pada pernikahan campuran suku Batak Toba-Tionghoa di kota Medan.

I.5 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah:

1. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi positif terhadap khasanah keilmuan Ilmu Komunikasi, khususnya mengenai Komunikasi antarbudaya dalam pernikahan campuran.

2. Secara akademis, penelitian ini diharapkan dapat melengkapi dan menambah pengetahuan serta wawasan bagi pembaca, khususnya departemen Ilmu Komunikasi.

3. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai bahan referensi bagi mahasiswa yang membutuhkan informasi yang lebih mendalam mengenai komunikasi antarabudaya dalam pernikahan campuran.

I.6 Kerangka Teori

Teori adalah abstraksi dari realitas. Teori merupakan konseptualisasi atau penjelasan logis dan empiris tentang suatu fenomena (Djuarsa, 2007). Sedangkan kerangka teori adalah penjelasan sementara terhadap gejala yang menjadi objek permasalahan (Usman, 2008: 34). Kerangka teori disusun berdasarkan tinjauan pustaka dan hasil penelitian yang relevan.


(20)

Setiap penelitian mempunyai titik tolak atau landasan berpikir dalam memecahkan atau menyoroti sebuah masalah. Untuk itu perlu disusun kerangka teori yang memuat pokok - pokok yang menggambarkan diri dari sudut mana masalah penelitian akan disoroti.

Adapun teori yang dianggap relevan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

I.6.1 Komunikasi

Istilah komunikasi berasal dari bahasa Latin, communis yang artinya sama. Maksudnya adalah bila seseorang menyampaikan pesan komunikasi kepada orang lain maka terlebih dahulu harus menyadari persamaan lambang dengan orang yang dituju sebagai sasaran komunikasi (Suwardi, 2007: 11). Komunikasi adalah proses berbagi makna melalui perilaku verbal dan non verbal. Bagi Everett Rogers, komunikasi adalah proses dimana suatu ide dialihkan dari sumber kepada satu penerima atau lebih, dengan maksud untuk mengubah tingkah laku mereka. Sedangkan menurut Carl I. Hovland, ilmu komunikasi adalah upaya yang sistematis untuk merumuskan secara tegar asas-asas penyampaian informasi serta pembentukan pendapat dan sikap (Uchjana, 2006: 10).

Komunikasi terjadi jika setidaknya suatu sumber membangkitkan respons pada penerima melalui penyampaian suatu pesan dalam bentuk tanda atau simbol, tanpa harus memastikan terlebih dahulu bahwa kedua pihak yang berkomunikasi punya sistem simbol yang sama. Simbol atau lambang adalah sesuatu yang mewakili sesuatu lainnya berdasarkan kesepakatan bersama. Menurut Geert Hofstede, simbol adalah kata, jargon, isyarat, gaya, atau objek (simbol status) yang mengandung suatu


(21)

makna tertentu yang hanya dikenali oleh mereka yang menganut suatu budaya (Mulyana, 2005: 3).

Dari pengertian komunikasi yang telah dikemukakan, maka jelas bahwa komunikasi antarmanusia hanya bisa terjadi jika ada seseorang yang menyampaikan pesan kepada orang lain dengan tujuan tertentu, artinya komunikasi hanya bisa terjadi kalau didukung oleh adanya elemen komunikasi, yaitu sebagai berikut:

1. Sumber

Dalam komunikasi antarmanusia, sumber bisa terdiri dari satu orang tetapi bisa juga dalam bentuk kelompok misalnya organisasi atau lembaga. Sumber disebut juga sebagai pengirim atau komunikator.

2. Pesan

Pesan dalam proses komunikasi adalah sesuatu yang disampaikan pengirim kepada penerima. Pesan dapat disampaikan dengan cara tatap muka atau melalui media komunikasi.

3. Media adalah alat yang digunakan untuk memindahkan pesan dari sumber kepada penerima. Media bisa bermacam-macam bentuknya yaitu, indera manusia, saluran komunikasi berupa media cetak dan elektronik, dan media komunikasi sosial seperti balai desa, kesenian rakyat, dan pesta rakyat.

4. Penerima

Penerima adalah pihak yang menjadi sasaran pesan yang dikirim oleh sumber. Penerima bisa terdiri dari satu orang atau lebih. Penerima adalah elemen penting dalam proses komunikasi, karena dialah yang menjadi sasaran komunikasi.


(22)

5. Efek

Efek adalah perbedaan antara apa yang dipikirkan, dirasakan, dan dilakukan oleh penerima sebelum dan sesudah menerima pesan. Efek bisa juga diartikan sebagai perubahan pada pengetahuan, sikap, dan tindakan seseorang sebagai akibat penerimaan pesan (Cangara, 1998: 23-25).

I.6.2 Komunikasi Antarbudaya

a. Pengertian Komunikasi Antarbudaya

Komunikasi antarbudaya adalah kegiatan komunikasi antarpribadi yang dilangsungkan di antara para anggota kebudayaan yang berbeda (Liliweri, 2001: 13). Hamid Mowlana menyebutkan komunikasi antarbudaya dengan contoh yaitu, keterlibatan suatu konferensi internasional dimana bangsa-bangsa dari berbagai negara berkumpul dan berkomunikasi satu sama lain. Sedangkan Fred E. Jandt mengartikan komunikasi antarbudaya sebagai interaksi tatap muka diantara orang-orang yang berbeda budayanya. Komunikasi antarbudaya itu dilakukan sebagai berikut:

1. Dengan negosiasi untuk melibatkan manusia di dalam pertemuan antarbudaya yang membahas satu tema (penyampaian tema melalui simbol) yang sedang dipertentangkan. Simbol tidak sendirinya mempunyai makna tetapi dia dapat berarti ke dalam satu konteks dan makna-makna itu dinegosiasikan atau diperjuangkan.

2. Melalui pertukaran sistem simbol yang tergantung daripersetujuan antarsubjek yang terlibat dalam komunikasi, sebuah keputusan dibuat untuk berpartisipasi dalam proses pemberian makna yang sama.

3. Sebagai pembimbing perilaku budaya yang tidak terprogram namun bermanfaat karena mempunyai pengaruh terhadap perilaku kita; Menunjukkan fungsi sebuah kelompok sehingga kita dapat membedakan diri dari kelompok lain dan mengidentifikasinya dengan berbagai cara.


(23)

Komunikasi antarbudaya terjadi bila produsen pesan adalah anggota suatu budaya dan penerima pesannya adalah anggota suatu budaya lainnya. Budaya mempengaruhi orang yang berkomunikasi. Budaya bertanggungjawab atas seluruh perbendaharaan perilaku komunikatif dan maksud yang dimiliki oleh setiap orang. Perbendaharaan yang dimiliki oleh dua orang yang berbeda budaya dapat menimbulkan kesulitan. Melalui pemahaman komunikasi antarbudaya, kita dapat menghilangkan kesulitan-kesulitan itu. Komunikasi antarbudaya dapat dipahami sebagai perbedaan budaya dalam mempersepsi objek-objek sosial dan kejadian-kejadian (Mulyana, 2007: 218).

Menurut Samovar dan Porter, untuk mengkaji komunikasi antarbudaya perlu dipahami hubungan antar kebudayaan dengan komunikasi. Melalui pengaruh budayalah manusia belajar berkomunikasi dan memandang dunia mereka melalui kategori-kategori dan label-label yang dihasilkan kebudayaan. Kemiripan budaya dalam persepsi memungkinkan pemberian makna yang mirip pula terhadap suatu objek atau peristiwa. Cara-cara manusia berkomunikasi, keadaan komunikasi, bahkan bahasa dan gaya bahasa yang digunakan, perilaku-perilaku non verbal merupakan respons terhadap fungsi budaya itu sendiri (dalam Liliweri, 2001: 160).

b. Pandangan Dunia dalam Komunikasi Antarbudaya

Pandangan dunia adalah orientasi budaya terhadap Tuhan, kehidupan, kematian, alam semesta, kebenaran, materi, dan isu-isu filosofis lainnya yang berkaitan dengan kehidupan. Pandangan dunia mencakup agama dan ideologi. Berbagai agama punya konsep ketuhanan dan kenabian yang berbeda-beda.


(24)

Pandangan dunia merupakan unsur penting yang mempengaruhi persepsi seseorang ketika berkomunikasi dengan orang lain, khususnya yang berbeda budaya (Mulyana, 2007: 219-220).

Menurut Mulyana, kepercayaan sebagai unsur pandangan dunia secara umum dapat dipandang sebagai kemungkinan-kemungkinan subjektif yang diyakini individu bahwa suatu objek atau peristiwa memiliki karakteristik-karakteristik tertentu. Terdapat berbagai sistem kepercayaan dan sistem nilai yang lebih spesifik yang dianut seseorang mengenai berbagai aspek realitas baik yang nyata ataupun yang abstrak. Kepercayaan pada dasarnya adalah suatu persepsi pribadi. Kepercayaan merujuk kepada keyakinan bahwa sesuatu memiliki ciri-ciri tertentu, terlepas dari apakah hal tersebut dapat dibuktikan secara logika atau tidak (Mulyana, 2007: 221).

Nilai merujuk kepada keyakinan yang relatif bertahan lama akan suatu hal, tindakan, peristiwa, dan fenomena berdasarkan kriteria tertentu. Sistem nilai budaya merupakan tingkatan paling tinggi dan paling abstrak dari suatu adat istiadat. Hal ini disebabkan karena nilai-nilai budaya adalah konsep mengenai apa yang ada dalam pikiran manusia, apa yang mereka anggap berharga, yang penting dan tidak penting sehingga sistem nilai tersebut berguna sebagai pedoman berperilaku, memberi arah, dan orientasi kepada setiap masyarakat untuk menjalankan kehidupan (Purwasito, 2003: 229). Ketika kita sudah menyerap nilai-nilai dari lingkungan kita, nilai dan norma itu menjadi standar dan kriteria untuk memandu tindakan, mengembangkan sikap terhadap objek dan situasi yang relevan, dan untuk untuk menilai tindakan dan sikap diri sendiri dan orang lain. Dengan demikian, nilai bersifat normatif karena menetapkan apa yang baik atau buruk dalam kehidupan.


(25)

Keyakinan dan nilai yang kita anut mempengaruhi cara kita berperilaku yang jika berulang-ulang akan disebut sikap, adat-istiadat atau tradisi. Sikap adalah suatu kecenderungan yang diperoleh dengan cara belajar untuk merespons suatu objek secara konsisten Tidak semua orang atau komunitas budaya menganut seperangkat kepercayaan yang sama.. Semua pesan berawal dari konteks budaya yang unik dan spesifik, dan konteks tersebut akan mempengaruhi isi dan bentuk komunikasi (Mulyana, 2005: 44-45). Budaya akan mempengaruhi setiap aspek pengalaman manusia dalam berkomunikasi. Seseorang melakukan komunikasi dengan cara-cara seperti yang dilakukan oleh budayanya.

Budaya memainkan peranan penting dalam pembentukan kepercayaan/keyakinan, nilai, dan sikap. Dalam komunikasi antarbudaya tidak ada hal benar atau hal yang salah sejauh hal-hal tersebut berkaitan dengan kepercayaan. Sedangkan nilai-nilai dalam suatu budaya terdapat dalam perilaku anggota budaya yang dituntut oleh budaya tersebut. Kepercayaan dan nilai memberi kontribusi bagi pengembangan sikap. Sikap dipelajari dalam suatu konteks budaya. Lingkungan turut membentuk sikap individu, kesiapan merespon, dan akhirnya menjadi perilaku individu tersebut (Mulyana, 2005: 26-27).

I.6.3 Akulturasi dalam Pernikahan Campuran

Akulturasi adalah proses sosial yang timbul bila suatu kelompok manusia dengan suatu kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur-unsur dari suatu kebudayaan asing dengan sedemikian rupa, sehingga unsur-unsur kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan


(26)

hilangnya kepribadian kebudayaan itu sendiri (Koentjaraningrat, 2002: 248). Tidak pernah terjadi difusi dari satu unsur kebudayaan. Unsur-unsur itu berpindah-pindah sebagai suatu gabungan yang tidak mudah dipisahkan. Lagipula sejak dulu kala, selalu ada migrasi suku-suku bangsa yang menyebabkan terjadinya pertemuan dengan kelompok kebudayaan yang lain.

Proses komunikasi mendasari proses akulturasi. Akulturasi terjadi melalui identifikasi dan internalisasi lambang-lambang masyarakat asli. Kemiripan antara budaya asli dan budaya asing adalah faktor terpenting dalam potensi akulturasi. Diantara sekian banyak faktor, usia dan latar belakang pendidikan terbukti berhubungan dengan akulturasi. Pendidikan, terlepas dari konteks budaya, ternyata memperbesar kapasitas seseorang untuk menghadapi pengalaman baru dan mengatasi tantangan hidup.

I.6.4 Asimilasi dalam Pernikahan Campuran

Asimilasi adalah suatu proses sosial yang terjadi pada golongan manusia dengan latar belakang kebudayaan yang berbeda setelah bergaul secara intensif dan saling bertoleransi, sehingga sifat khas dari unsur-unsur kebudayaan golongan-golongan itu masing-masing berubah menjadi unsur-unsur kebudayaan campuran (Koentjaraningrat, 2002: 255). Dalam peristiwa itu biasanya golongan minoritas berubah mengikuti golongan mayoritas, sehingga lambat laun sifat khas dari kebudayaannya akan berubah dan menyatu dengan kebudayaan golongan mayoritas. Faktor-faktor yang mempermudah terjadinya asimilasi, antara lain:


(27)

2. Kesempatan yang sama dalam bidang ekonomi 3. Suatu sikap yang menghargai suatu kebudayaan lain

4. Sikap yang terbuka dari golongan yang berkuasa dalam masyarakat. 5. Persamaan dalam unsur-unsur kebudayaan

6. Adanya pernikahan campuran 7. Adanya musuh bersama dari luar.

Menurut para ahli, proses asimilasi belum tentu terjadi hanya dengan pergaulan antarkelompok saja, tetapi harus ada sikap toleransi dan simpati satu terhadap yang lain. Toleransi dan simpati sering terhalang oleh berbagai faktor, yaitu:

1. Kurang pengetahuan mengenai kebudayaan yang dihadapi. 2. Sifat takut terhadap kekuatan dari kebudayaan lain.

3. Perasaan superioritas pada individu-individu dari satu kebudayaan terhadap yang lain (Koentjaraningrat, 2002: 255)

Asimilasi ditandai dengan perubahan pada pola-pola budaya kelompok minoritas seperti bahasa, nilai, pakaian, makanan, dll. Adaptasi kaum imigran dengan lingkungan baru dapat menyebabkan “gegar budaya” sebagai akibat tak terhindarkan dari kontak antarbudaya kaum imigran dengan masyarakat asli (Mulyana, 2005: 163-164).

I.7 Kerangka Konsep

Konsep adalah generalisasi dari sekelompok fenomena tertentu yang dapat dipakai untuk menggambarkan berbagai fenomena yang sama (Bungin, 2001: 73). Kerangka konsep adalah hasil pemikiran rasional yang bersifat kritis dalam


(28)

memperkirakan kemungkinan hasil penelitian yang akan dicapai. Kerangka konsep dalam penelitian ini adalah :

1. Komunikasi antarbudaya

2. Proses asimilasi dalam pernikahan campuran Komunikasi Antarbudaya

Proses Asimilasi

I.8 Konseptulisasi

Berdasarkan kerangka konsep yang telah diuraikan diatas, maka konsep operasional dijadikan sebagai indikator dalam memecahkan masalah. Agar konsep operasional sesuai dengan penelitian, maka dioperasionalkan sebagai berikut:

KONSEP OPERASIONAL KONSEPTUALISASI a. Komunikasi Antarbudaya 1. Pertukaran pesan antarbudaya

2.Masalah dalam komunikasi antarbudaya:

a. Penarikan diri b. Kecemasan c. Etnosentrisme d. Culture shock

3. Pandangan dunia: agama, nilai dan sikap


(29)

b. Proses Asimilasi 1. Intensivitas pergaulan

2. Sifat-sifat khas masing-masing budaya

3. Sifat campuran dari masing-masing budaya

I.9 Definisi Operasional

Definisi operasional menyatakan bagaimana operasi atau kegiatan yang harus dilakukan untuk memperoleh data atau indikator yang menunjukkan konsep yang dimaksud. Definisi inilah yang diperlukan dalam penelitian karena definisi ini menghubungkan konsep atau konstruk yang diteliti dengan gejala empirik (Soehartono, 2008: 29). Maka variabel yang terdapat didalam penelitian ini didefinisikan sebagai berikut:

a. Komunikasi Antarbudaya:

1. Pertukaran pesan antarbudaya yang terjadi baik melalui pesan verbal maupun non verbal.

2. Masalah dalam komunikasi antarbudaya:

a. Penarikan diri: penarikan diri dari interaksi tatap muka atau dari suatu kelompok budaya tertentu.

b. Kecemasan: perasaan psikologis yang menghasilkan sebuah situasi yang kurang nyaman.


(30)

c. Etnosentrisme: menganggap kelompok budayanya yang lebih baik dari kelompok budaya lain.

d. Culture shock: kecemasan yang disebabkan oleh kehilangan tanda-tanda

dan lambang-lambang dalam pergaulan sosial. 3. Pandangan Dunia:

a. Agama: orientasi budaya terhadap Ketuhanan.

b. Nilai dan sikap: nilai adalah konsep mengenai apa yang ada dalam pikiran manusia, apa yang mereka anggap berharga, yang penting dan tidak penting sehingga sistem nilai tersebut berguna sebagai pedoman berperilaku. Sikap adalah suatu kecenderungan yang diperoleh dengan cara belajar untuk merespons suatu objek secara konsisten.

b. Proses Asimilasi

1. Latar belakang budaya yang berbeda-beda: latar belakang budaya asli dan budaya imigran.

2. Intensivitas pergaulan: rasa toleransi dan simpati dalam hubungan

3. Sifat-sifat khas masing-masing budaya: nilai-nilai budaya masing-masing pihak

4. Sifat campuran dari masing-masing budaya: tercipta unsur baru yang merupakan hasil dari keterbukaan antarbudaya.


(31)

BAB II

URAIAN TEORITIS

II.1 Komunikasi

II.1.1 Pengertian Komunikasi

Beberapa ahli menguraikan berbagai pengertian komunikasi, diantaranya adalah Samovar, dkk yang mengatakan bahwa komunikasi merupakan proses dinamis di mana orang berusaha untuk berbagi masalah internal mereka dengan orang lain melalui penggunaan simbol (Samovar, dkk, 2010: 18). Bagi Everett M. Rogers, komunikasi adalah proses di mana suatu ide dialihkan dari sumber kepada satu penerima atau lebih, dengan maksud untuk mengubah tingkah laku mereka. Sedangkan menurut Joseph A. Devito, komunikasi adalah kegiatan yang dilakukan oleh seseorang atau lebih, yakni kegiatan menyampaikan dan menerima pesan yang mendapat distorsi dari gangguan-gangguan dalam suatu konteks yang menimbulkan efek dan kesempatan untuk arus balik (Uchjana, 2006: 5).

Segala perilaku dapat disebut komunikasi jika melibatkan dua orang atau lebih. Richard dan Yoshida mengatakan bahwa komunikasi terjadi jika setidaknya suatu sumber membangkitkan respons pada penerima melalui penyampaian suatu pesan dalam bentuk tanda atau simbol, baik bentuk verbal ataupun nonverbal, tanpa harus memastikan terlebih dahulu bahwa kedua pihak yang berkomunikasi punya suatu sistem simbol yang sama (Mulyana, 2004: 3). Simbol atau lambang adalah sesuatu yang mewakili sesuatu lainnya berdasarkan kesepakatan bersama. Atau seperti yang dikatakan Geert Hofstede, simbol adalah kata, jargon, isyarat, gambar,


(32)

gaya, atau objek (simbol status) yang mengandung suatu makna tertentu yang hanya dikenali oleh mereka yang menganut suatu budaya (Mulyana, 2004: 3).

Dalam kehidupan sehari-hari, tidak peduli dimana berada, manusia selalu berinteraksi dengan orang-orang tertentu yang berasal dari kelompok, ras, etnik, atau budaya lain. Berinteraksi atau berkomunikasi dengan orang-orang yang berbeda kebudayaan merupakan pengalaman baru yang selalu dihadapi. Esensi komunikasi itu sendiri terletak pada proses, yakni suatu aktivitas yang melayani hubungan antara pengirim dan penerima pesan melampaui ruang dan waktu. Komunikasi merupakan pusat dari seluruh sikap, perilaku, dan tindakan yang terampil dari manusia. Manusia tidak bisa dikatakan berinteraksi sosial kalau dia tidak berkomunikasi dengan cara atau melalui pertukaran informasi, ide-ide, gagasan, maksud serta emosi yang dinyatakan dalam simbol-simbol dengan orang lain (Liliweri, 2003: 5).

II.1.2 Prinsip Komunikasi

Menurut Samovar, dkk, ada enam prinsip komunikasi, yaitu:

1. Komunikasi merupakan proses dinamis. Dinamis menandakan aktivitas yang

sedang dan terus berlangsung; tidak statis. Komunikasi itu seperti gambar hidup, bukan hasil jepretan. Kata atau tindakan tidak membeku ketika individu berkomunikasi, namun selalu berganti dengan kata atau tindakan yang lain. Proses dinamis mengandung arti bahwa pengiriman dan penerimaan pesan melibatkan sejumlah variabel penting yang bekerja dalam waktu yang bersamaan. Kedua belah pihak yang terlibat sama-sama melihat, mendengar atau tersenyum dalam waktu yang sama. Konsep “proses” dalam kata dinamis juga berarti bahwa seseorang dengan orang lain merupakan bagian dari suatu proses dinamis komunikasi. Seseorang dipengaruhi oleh pesan orang lain dan sebagai akibatnya seseorang tersebut berubah; pesan seseorang itu juga mengubah orang lain. Dapat dikatakan bahwa seseorang mengalami perubahan fisik dan psikologis tiada akhir hingga ia mati.

2. Komunikasi merupakan simbol. Simbol merupakan ekspresi yang mewakili


(33)

bahwa simbol tidak mempunyai hubungan langsung dengan apa yang diwakilinya, sehingga dapat berubah-ubah. Manusia menggunakan simbol bukan hanya dalam berinteraksi. Penyimbolan memungkinkan suatu budaya disampaikan dari generasi ke generasi. Gudykunst dan Kim (dalam Samovar, dkk, 2010 ) mengatakan bahwa suatu simbol menjadi simbol ketika sejumlah orang sepakat menjadikannya suatu simbol.

3. Komunikasi merupakan kontekstual. Komunikasi dikatakan kontekstual

karena komunikasi terjadi pada situasi atau sistem tertentu yang mempengaruhi apa dan bagaimana kita berkomunikasi dan apa arti dari pesan yang kita bawa. Seperti yang dikemukakan oleh Littlejohn, “komunikasi selalu terjadi dalam konteks dan sifat komunikasi sangat bergantung pada konteks ini.” Hal ini berarti bahwa tempat dan lingkungan menolong seseorang untuk menentukan kata serta tindakan yang dia hasilkan dan mengartikan simbol yang dihasilkan orang lain. Pakaian, bahasa, perilaku menyentuh, dan lainnya diadaptasikan dalam konteks.

4. Komunikasi merupakan refleksi diri. Refleksi diri menyatakan bahwa manusia mempunyai kemampuan untuk memikirkan diri sendiri, teman mereka berkomunikasi, pesan-pesan mereka, dan akibat potensial dari pesan tersebut (terjadi dalam waktu yang sama). Manusia adalah satu-satunya spesies yang dapat berada dalam posisi yang sama di waktu yang bersamaan pula. Ciri ini mengizinkan seseorang untuk memonitor tindakannya dan membuat beberapa penyesuaian penting ketika hal itu dibutuhkan.

5. Kita belajar untuk berkomunikasi. Kemampuan seseorang berkomunikasi

merupakan hubungan yang saling mempengaruhi antara apa yang ada dalam dirinya dan apa yang ia pelajari tentang komunikasi selama hidup. Seseorang dapat menerima satu fakta secara bergantian dan otaknya menyimpan fakta tersebut. Seseorang itu mungkin punya masalah mengingat, tetapi sebenarnya informasi itu tetap ada disana. Tidak semua orang memiliki pengalaman yang sama dan apa yang seseorang ketahui belum tentu diketahui orang lain. Seseorang dapat belajar banyak hal dari orang lain. Kemampuan suatu budaya terhadap suatu hal dapat dibagikan kepada budaya yang kurang informasi akan hal tersebut. Intinya tiap budaya akan semakin baik jika saling berbagi satu sama lain.

6. Komunikasi memiliki konsekuensi. Inti dari prinsip ini adalah bahwa kegiatan mengirim dan menerima simbol mempengaruhi semua orang yang terlibat di dalamnya. Respons seseorang terhadap suatu pesan berbeda, baik dari segi cara maupun jenisnya. Hal ini mungkin membantu seseorang untuk mencoba menggambarkan respons potensial yang ia miliki dalam suatu rangkaian kesatuan. Di akhir setiap rangkaian ini terdapat respons terhadap pesan yang jelas dan mudah dimengerti. Salah satu implikasi penting dari prinsip ini adalah pengaruh potensial yang seseorang miliki atas orang lain. Apa yang seseorang katakan pasti berpengaruh pada orang lain: bagaimana mereka memandang diri mereka sendiri, bagaimana mereka berpikir tentang diri mereka sendiri, dan bagaimana mereka berpikir tentang orang lain (Samovar, dkk, 2010: 18-25).


(34)

II.2 Komunikasi Antarbudaya

II.2.1 Pengertian Komunikasi Antarbudaya

Charley H. Dood mengatakan bahwa komunikasi antarbudaya meliputi komunikasi yang melibatkan peserta komunikasi yang mewakili pribadi, antarpibadi, dan kelompok, dengan tekanan pada perbedaan latar belakang kebudayaan yang mempengaruhi perilaku komunikasi para peserta (dalam Liliweri, 2003: 11). Defenisi lain dari komunikasi antarbudaya diantaranya adalah Stephen Dahl yang mengartikan komunikasi antarbudaya secara spesifik, yaitu komunikasi yang terjadi didalam masyarakat yang berasal dari dua ataupun lebih kebangsaan yang berbeda, seperti perbedaan rasial dan latar belakang etnik. Sedangkan menurut Stuward L. Tubbs komunikasi antarbudaya merupakan komunikasi yang terjadi diantara dua anggota yang berasal dari latar belakang budaya yang berbeda baik secara rasial, etnik maupun sosial-ekonomi (dalam Purwasito, 2003:122-124). Dapat disimpulkan bahwa komunikasi antarbudaya adalah pertukaran makna yang berbentuk simbol yang dilakukan oleh orang-oang yang berbeda latar belakang budayanya (Liliweri, 2003: 9).

Selama masa perkembangan komunikasi antarbudaya, telah banyak para ahli yang mencoba mendefenisikan komunikasi antarbudaya. Beberapa diantaranya adalah:

1. Menurut Sitaram (1970), komunikasi antarbudaya adalah seni untuk memahami dan dipahami oleh khalayak yang memiliki kebudayaan lain.

2. Menurut Rich (1974), komunikasi bersifat budaya apabila terjadi di antara orang-orang yang berbeda kebudayaannya.


(35)

3. Menurut Stewart (1974), komunikasi antarbudaya adalah komunikasi yang terjadi dalam suatu kondisi yang menunjukkan adanya perbedaan budaya seperti bahasa, nilai-nilai, adat, dan kebiasaan.

4. Menurut Sitaram and Codgell (1976), komunikasi antarbudaya adalah interaksi antara para anggota masyarakat yang berbeda kebudayaannya.

5. Menurut Gerhard Maletzke (1976), komunikasi antarbudaya adalah proses pertukaran pikiran dan makna di antara orang-orang yang berbeda kebudayaannya.

6. Menurut Young Yung Kim (1984), komunikasi antarbudaya menunjuk pada suatu fenomena komunikasi di mana para pesertanya masing-masing memiliki latar belakang budaya yang berbeda terlibat dalam suatu kontak antara satu dengan yang lainnya, baik secara langsung atau tidak langsung (dalam Djuarsa, dkk, 2007: 332-333).

Dari defenisi-defenisi komunikasi antarbudaya diatas dapat disimpulkan bahwa semakin besar derajat perbedaan antarbudaya maka semakin besar pula kita kehilangan peluang untuk merumuskan suatu tingkat kepastian sebuah komunikasi yang efektif. Hal ini disebabkan karena ketika kita berkomunikasi dengan seseorang dari kebudayaan yang berbeda, maka kita memiliki pula perbedaan dalam sejumlah hal, misalnya derajat pengetahuan, derajat ambiguitas, kebingungan, tidak bermanfaat, bahkan terlihat tidak bersahabat. Kebudayaan yang menjadi latar belakang kehidupan akan mempengaruhi perilaku komunikasi manusia. Di saat kita berkomunikasi antarpribadi dengan seseorang dalam masyarakat yang makin majemuk, maka dia merupakan orang yang pertama dipengaruhi oleh kebudayaan kita.

II.2.2 Tujuan Komunikasi Antarbudaya

Salah satu perspektif komunikasi antarbudaya menekankan bahwa tujuan komunikasi antarbudaya adalah mengurangi tingkat ketidakpastian tentang orang lain.


(36)

Usaha untuk mengurangi tingkat ketidakpastian itu dapat dilakukan melalui tiga tahap interaksi, yakni:

1. Pra-kontak atau tahap pembentukan kesan melalui simbol verbal maupun non verbal (apakah komunikan suka berkomunikasi atau menghindari komunikasi).

2. Initial contact and impression, yakni tanggapan lanjutan atas kesan yang

muncul dari kontak awal tersebut, misalnya anda bertanya pada diri sendiri; Apakah saya seperti dia? Apakah dia mengerti saya? Apakah saya rugi waktu kalau berkomunikasi dengan dia?

3. Closure, mulai membuka diri yang semula tertutup melalui atribusi dan

pengembangan kepribadian implisit. Teori atribusi menganjurkan agar kita harus lebih mengerti perilaku orang lain dengan menyelidiki motivasi atas suatu perilaku atau tindakan dia. Pertanyaan yang relevan adalah apa yang mendorong dia berkata, berpikir, atau berbuat demikian? Kalau seseorang menampilkan tindakan yang positif maka kita akan memberikan atribusi motivasi yang positif kepada orang itu, karena dia bernilai bagi relasi kita. Sebaliknya kalau orang itu menampilkan tindakan yang negatif maka kita akan memberikan atribusi motivasi yang negatif. Sementara itu kita pun dapat mengembangkan sebuah kesan terhadap orang itu melalui evaluasi atas kehadiran sebuah kepribadian implisit. Bahwa karena anda di saat awal komunikasi/pra kontak berkesan orang itu baik maka semua sifat-sifat positif akan mengikuti dia, misalnya karena dia baik pasti jujur, setia kawan, rendah hati, suka menolong, dan lain-lain.


(37)

Tujuan komunikasi antarbudaya akan tercapai bila bentuk-bentuk hubungan antarbudaya menggambarkan upaya yang sadar dari peserta komunikasi untuk memperbaharui relasi antara komunikator dengan komunikan, menciptakan, dan memperbaharui manajemen komunikasi yang efektif (Liliweri, 2003: 19-20; 21-22).

II.2.3 Unsur-Unsur Proses Komunikasi Antarbudaya

Menurut Liliweri, ada tujuh unsur dalam proses komunikasi antarbudaya, yaitu:

1. Komunikator. Komunikator dalam komunikasi antarbudaya adalah pihak yang memprakarsai komunikasi, artinya dia mengawali pengiriman pesan tertentu kepada pihak lain yang disebut komunikan. Karakterisitik komunikator berbeda-beda setiap budaya tergantung latar belakang etnis, ras, faktor demografis seperti umur dan jenis kelamin. Perbedaan karakterisitik komunikator antarbudaya ditentukan oleh nilai dan norma, faktor-faktor makro seperti penggunaan bahasa, pandangan tentang pentingnya percakapan dalam konteks budaya, dan faktor mikro seperti dialek, aksen serta nilai dan sikap yang menjadi identitas sebuah etnik.

2. Komunikan. Komunikan dalam komunikasi antarbudaya adalah pihak yang menerima pesan tertentu. Tujuan komunikasi akan tercapai jika komunikan dapat memahami pesan dari komunikator, dan memperhatikan serta menerima pesan secara menyeluruh. Seorang komunikan ketika memahami isi pesan tergantung dari tiga bentuk pemahaman, yakni: (1) kognitif, komunikan menerima isi pesan sebagai sesuatu yang benar; (2) afektif, komunikan percaya bahwa pesan itu tidak hanya benar tetapi baik; dan (3) tindakan nyata, komunikan percaya atas pesan yang benar dan baik sehingga mendorong tindakan yang tepat.

3. Pesan. Dalam proses komunikasi, pesan berisi pikiran, ide, gagasan, atau perasaan yang dikirim komunikator kepada komunikan dalam bentuk simbol. Dalam model komunikasi antarbudaya, pesan adalah apa yang ditekankan atau yang dialihkan komunikator kepada komunikan. Setiap pesan sekurang-kurangnya berisi dua aspek utama, yakni isi dan perlakuan. Isi pesan meliputi daya tarik pesan disertai perlakuan meliputi penjelasan isi pesan oleh komunikator.

4. Media. Dalam proses komunikasi antarbudaya, media merupakan tempat atau saluran yang dilalui oleh pesan atau simbol yang dikirim melalui media tertulis, media massa, dan media elektronik. Tetapi terkadang pesan itu tidak


(38)

dikirim melalui media, terutama dalam komunikasi antarbudaya tatap muka. Para ilmuwan sosial menyepakati dua tipe saluran, yakni saluran sensoris (cahaya, bunyi, perabaan, pembauan, dan rasa). Yang kedua adalah saluran institusional, misalnya percakapan tatap muka, material cetakan, dan media elektronik. Saluran institusional juga memerlukan saluran sensoris untuk memperlancar pertukaran pesan.

5. Efek. Efek/umpan balik merupakan tanggapan balik dari komunikan kepada komunikator atas pesan-pesan yang telah disampaikan. Tanpa umpan balik atas pesan dalam komunikasi antarbudaya, maka komunikator dan komunikan tidak bisa memahami ide, pikiran, dan perasaan yang terkandung dalam pesan tersebut.

6. Suasana. Salah satu faktor yang penting dalam komunikasi antarbudaya yakni tempat, waktu, serta suasana (sosial, psikologis) ketika komunikasi antarbudaya berlangsung. Suasana itu berkaitan dengan waktu yang tepat untuk bertemu, tempat (rumah, kantor) untuk berkomunikasi, dan kualitas relasi (formal, informal) yang berpengaruh terhadap komunikasi antarbudaya. 7. Gangguan. Gangguan dalam komunikasi antarbudaya adalah segala sesuatu

yang menjadi penghambat laju pesan yang ditukar antara komunikator dengan komunikan, bahkan dapat mengurangi makna pesan antarbudaya. Gangguan terjadi bila pesan yang disampaikan berbeda dengan pesan yang diterima. Gangguan dapat bersumber dari komunikator, komunikan, pesan, dan media yang mengurangi usaha bersama untuk memberikan makna yang sama atas pesan. Gangguan dari komunikator dan komunikan misalnya karena perbedaan status sosial, latar belakang pendidikan, pengetahuan, dan kemampuan berkomunikasi. Gangguan dari pesan dapat berupa perbedaan pemberian makna pesan yang disampaikan secara verbal dan perbedaan tafsir atas pesan non verbal (isyarat tubuh). Sedangkan gangguan dari media dapat berupa salah memilih media yang tidak sesuai dengan konteks komunikasi, situasi, dan kondisi yang kurang mendukung terlaksananya komunikasi antarbudaya (Liliweri, 2003: 25-31).

Pada dasarnya manusia menciptakan budaya atau lingkungan sosial mereka sebagai suatu adaptasi terhadap lingkungan fisik dan biologis mereka. Kebiasaan-kebiasaan dan tradisi-tradisi tersebut terus hidup dan berkembang serta diwariskan oleh suatu generasi ke generasi lainnya dalam suatu masyarakat tertentu. Individu-individu tersebut cenderung menerima dan mempercayai apa yang diwariskan budaya mereka. Mereka cenderung mengabaikan atau menolak apa yang bertentangan


(39)

dengan “kebenaran” yang mereka yakini. Ini seringkali menjadi landasan bagi prasangka yang tumbuh di antara anggota kelompok tertentu terhadap kelompok lain.

Ketika proses komunikasi antarbudaya telah berlangsung, seringkali ada gangguan dan terjadi kesalahpahaman karena perbedaan budaya. Gangguan-gangguan tersebut dapat menimbulkan kecemasan bagi individu-individu yang terlibat. Kecemasan tersebut mendorong individu yang terlibat komunikasi antarbudaya menganggap bahwa budayanya lebih baik dari budaya lain. Hal ini dinamakan etnosentrisme, dimana seseorang mempunyai kepercayaan bahwa budayanya jauh lebih baik dari yang lain. Ting Toomey mendefinisikan identitas kultural sebagai perasaan (emotional significance) dari seseorang untuk turut memiliki (sense of belonging) atau berafiliasi terhadap kultur tertentu (Rahardjo, 2005:1-2). Ketika manusia menggunakan cara dimana budaya yang lain berbeda dengan budayanya, mereka mungkin menganggap elemen budaya mereka sebagai yang normal, bermoral, dan lebih diinginkan dibandingkan elemen budaya lain. Sifat etnosentrisme ini dapat menghalangi individu dalam menjalin komunikasi dengan budaya lain (Samovar,dkk, 2010: 54-55).

Untuk mengurangi gangguan dalam komunikasi antarbudaya, kepekaan terhadap perbedaan budaya tersebut menjadi hal yang sangat penting. Melalui pengalaman-pengalaman lintas budaya, manusia menjadi lebih terbuka dan toleran terhadap keganjilan budaya lain. Pemahaman budaya dapat mengurangi dampak gegar budaya (culture shock). Culture shock merupakan bentuk kecemasan berlebihan akibat pergaulan dengan budaya lain dan kehilangan pergaulan sosial dengan budaya aslinya. Untuk memahami perbedaan-perbedaan budaya lebih efektif


(40)

adalah dengan meningkatkan kesadaran budaya individu secara umum. Individu harus memahami konsep dan ciri-ciri budayanya sebelum ia memperoleh studi tentang aspek-aspek budaya asing (Mulyana, 2005: 70). Kita harus dapat berperilaku dengan cara-cara yang diterima budaya lain dan juga diterima oleh budaya kita sendiri.

II.2.4 Pandangan Dunia (World View)

Menurut Ishii, Cooke, dan Klopf (dalam Samovar, dkk) cara pandang merupakan orientasi budaya terhadap Tuhan, kemanusiaan, alam, pertanyaan tentang keberadaan sesuatu, alam dan kosmos, kehidupan, moral dan alasan etis, penderitaan, kematian, dan isu filosofis lainnya yang mempengaruhi bagaimana anggotanya memandang dunia. Tujuan cara pandang adalah untuk menuntun orang menentukan gambaran dunia ini dan bagaimana mereka berperan dalam dunia tersebut. Banyak ahli yang setuju bahwa budaya mempengaruhi sebagian besar cara pandang seseorang. Cara pandang menyediakan dasar persepsi dan sifat realitas seperti yang dialami oleh mereka yang berbagi budaya yang umum. Pandangan budaya berfungsi untuk membuat pengalaman hidup yang mungkin menurut orang lain kacau dan tidak berarti menjadi dapat diterima oleh akal sehat. Cara pandang ditentukan oleh pemahaman kolektif sebagai dasar untuk menghakimi suatu tindakan yang memungkinkan kelangsungan hidup dan adaptasi (Samovar, dkk, 2010: 117-118).

Agama sebagai cara pandang telah ditemukan dalam setiap budaya selama ribuan tahun. Cara pandang erat kaitannya dengan praktik agama dan kepercayaan. Manusia percaya bahwa ada sesuatu yang lebih besar dari manusia sebagai penentu


(41)

dan pencipta budaya. Bagi kebanyakan orang di dunia ini, tradisi agama (seperti keluarga, suku atau negara) menjadi identitas mereka di dunia. Orang Kristen percaya bahwa keselamatan hanya diperoleh lewat Yesus Kristus. Sedangkan kaum Muslim percaya bahwa untuk memperoleh surga adalah keyakinan bahwa Tuhan itu satu dan tanpa sekutu dan bahwa Muhammad adalah utusanNya. Akan tetapi orang-orang yang beragama Hindu dan Budha tidak menganut kepercayaan seperti Kristen dan Islam. Agama Hindu dan Budha percaya bahwa Tuhan tidak dalam otoritas tunggal, tetapi menjelma menjadi banyak tuhan (Mulyana, 2004: 35).

Hal yang menarik dari agama adalah bahwa hal tersebut mengikat orang bersama-sama dalam dan memelihara cara pandang budaya mereka selama ribuan tahun. Baik melalui ajaran Alkitab, Alquran, Weda, Torah, dan I Ching, manusia selalu merasakan suatu kebutuhan untuk melihat keluar diri mereka sendiri akan nilai-nilai yang mereka gunakan dalam mengatur hidup mereka. Agama menyediakan dan menunjukkan nilai dari fenomena yang tidak dapat dijelaskan. Inti dari agama adalah menyediakan petunjuk mengenai bagaimana untuk memperlakukan orang lain dan memperoleh kedamaian batin (Samovar, dkk, 2010: 123-125).

Keyakinan kita tidak terbatas, misalnya Tuhan itu Esa atau Adam adalah manusia pertama di bumi. Salah satu fungsi penting dari kepercayaan/keyakinan adalah bahwa hal itu membentuk dasar nilai. Nilai adalah komponen evaluatif dari kepercayaan mencakup kegunaan, kebaikan, estetika, dan kepuasan. Jadi nilai bersifat normatif, memberitahu suatu anggota budaya mengenai apa yang baik atau buruk, benar dan salah, apa yang harus diperjuangkan, dan sebagainya. Nilai biasanya


(42)

bersumber dari isu filosofis yang lebih besar yang merupakan bagian dari lingkungan budaya, karena itu nilai bersifat stabil dan sulit berubah (Mulyana, 2007:215-216).

Keyakinan dan nilai yang dianut seseorang yang jika dilaksanakan secara terus-menerus akan disebut sikap. Keyakinan dan nilai yang dianut seseorang tidak dapat diamati langsung. Kita hanya bisa menduga bagaimana kepercayaan dan nilai seseorang berdasarkan tindakannya, terutama yang konsisten dari waktu ke waktu (sikap). Manusia telah menganut berbagai kepercayaan sejak lahir yang ditanamkan di dalam lingkungannya. Bagaimana cara berbicara, gaya berpakaian, apa yang bisa dicapai, dan apa yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut, semua diterima begitu saja dari lingkungan tanpa banyak mempersoalkannya. Pola budaya merupakan suatu sistem kepercayaan dan nilai yang terintegrasi yang bekerja sama untuk menyediakan suatu model terpadu dan konsisten. Pola tersebut berkontribusi tidak hanya pada cara manusia melihat dan berpikir mengenai dunia ini, namun juga bagaimana manusia hidup di dunia ini (Samovar,dkk, 2010: 227).

II.3 Akulturasi dalam Pernikahan Campuran II.3.1 Komunikasi dan Akulturasi

Istilah akulturasi atau acculturation mempunyai berbagai arti. Namun para sarjana antropologi sepaham bahwa akulturasi adalah proses sosial yang timbul bila suatu kelompok manusia dengan suatu kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur dari suatu kebudayaan asing dengan sedemikian rupa, sehingga unsur-unsur kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan itu sendiri (Koentjaraningrat, 2002: 248). Akulturasi merupakan proses yang dilakukan imigran


(43)

untuk menyesuaikan diri dengan dan memperoleh budaya pribumi, yang akhirnya mengarah kepada asimilasi.

Migrasi menyebabkan pertemuan-pertemuan antarkelompok manusia dengan kebudayaan yang berbeda-beda, akibatnya individu-individu dalam kelompok tersebut dihadapkan dengan unsur-unsur kebudayaan yang asing. Pada akhirnya bukan hanya sistem sosio-budaya imigran, tapi juga sosio-budaya pribumi yang mengalami perubahan sebagai akibat kontak antar budaya yang lama. Faktor yang berpengaruh atas perubahan yang terjadi pada diri imigran itu adalah perbedaan antara jumlah dan besarnya masyarakat pribumi. Juga kekuatan dominan masyarakat pribumi dalam mengontrol berbagai sumber dayanya mengakibatkan lebih banyak dampak pada kelanjutan dan perubahan budaya imigran. Kebutuhan imigran untuk beradaptasi dengan sistem sosio-budaya pribumi akan lebih besar daripada kebutuhan masyarakat pribumi untuk memasukkan unsur-unsur budaya imigran ke dalam budaya mereka.

Proses komunikasi mendasari proses akuturasi seorang imigran. Akulturasi terjadi melalui identifikasi dan internalisasi lambang-lambang masyarakat pribumi yang signifikan. Sebagaimana orang-orang pribumi memperoleh pola-pola budaya pribumi lewat komunikasi, seorang imigran juga memperoleh pola-pola budaya pribumi lewat komunikasi. Dalam banyak kasus, bahasa asli imigran sangat berbeda dengan bahasa asli masyarakat pribumi. Masalah-masalah komunikasi lainnya meliputi masalah komunikasi nonverbal, seperti perbedaan dalam penggunaan dan pengaturan ruang, jarak antarpibadi, ekspresi wajah, gerak mata, gerakan tubuh lainnya, dan persepsi tentang penting tidaknya perilaku nonverbal. Bahkan bila


(44)

seorang imigran dapat menggunakan pola-pola komunikasi verbal dan nonverbal secara memuaskan, ia mungkin masih mengalami kesulitan dalam mengenal dan merespons aturan-aturan komunikasi bersama dalam budaya yang ia masuki itu (Mulyana, 2005: 139).

Kecakapan berkomunikasi yang telah diperoleh imigran lebih lanjut menentukan seluruh akulturasinya. Kecakapan imigran dalam berkomunikasi akan berfungsi sebagai alat penyesuaian diri yang membantu imigran memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya seperti kebutuhan akan kelangsungan hidup dan kebutuhan akan “rasa memiliki”. Oleh karena itu, proses akulturasi adalah suatu proses yang interaktif dan berkesinambungan yang berkembang dalam dan melalui komunikasi seorang imigran dengan lingkungan sosio-budaya baru. Kecakapan komunikasinya pada gilirannya menunjukkan derajat akulturasi imigran tersebut (Mulyana, 2005: 140).

Penelitian-penelitian sekitar masalah akulturasi sebagian besar bersifat deskriptif, yaitu melukiskan satu peristiwa akulturasi yang konkret pada satu atau beberapa suku bangsa tertentu yang mendapat pengaruh dari kebudayaan lain. Di samping karangan-karangan deskriptif timbul pula karangan yang bersifat teori, yaitu karangan yang mengabstraksikan dari banyak peristiwa akulturasi dan beberapa konsep mengenai gejala/masalah mengenai akulturasi. Lima golongan masalah tersebut, yaitu:

1. Masalah mengenai metode-metode untuk mengobservasi, mencatat, dan melukiskan suatu proses akulturasi dalam suatu masyarakat.

2. Masalah mengenai unsur-unsur kebudayaan asing apa yang mudah diterima dan unsur-unsur kebudayaan asing apa yang sukar diterima oleh masyarakat penerima.


(45)

3. Masalah mengenai unsur-unsur kebudayaan apa yang mudah diganti atau diubah, dan unsur apa yang tidak mudah diganti atau diubah oleh unsur-unsur kebudayaan asing.

4. Masalah mengenai individu-individu apa yang suka dan cepat menerima, dan individu-individu apa yang sukar dan lambat menerima unsur-unsur kebudayaan asing.

5. Masalah mengenai ketegangan-ketegangan dan krisis sosial yang timbul sebagai akibat akulturasi (Koentjaraningrat, 2002: 251).

II.3.2 Variabel-Variabel Komunikasi Dalam Akulturasi

Menurut Mulyana, ada dua variabel komunikasi dalam akulturasi, yaitu:

1. Komunikasi persona. Komunikasi persona mengacu pada proses-proses

mental yang dilakukan orang untuk mengatur dirinya sendiri dalam dan dengan lingkungan sosio-budayanya, mengembangkan cara-cara melihat, mendengar, memahami, dan merespons lingkungan. Dalam konteks akulturasi, komunikasi persona seorang imigran dapat dianggap sebagai pengaturan pengalaman-pengalaman akulturasi ke dalam sejumlah pola respins kognitif dan afektif yang dapat diidentifikasi dan yang konsisten dengan budaya pribumi atau yang secara potensial memudahkan aspek-aspek akulturasi lainnya. Salah satu variabel komunikasi persona terpenting dalam akulturasi adalah kompleksitas struktur kognitif imigran dalam mempersepsi lingkungan pribumi. Fase awal akulturasi, perspesi seorang imgran atas lingkungan pribuminya relatif sederhana. Namun setelah imigran mengetahui budaya pribumi lebih jauh, persepsinya menjadi lebih halus dan kompleks. Faktor yang berhubungan dengan kompleksitas kognitif adalah pengetahuan imigran tentang pola-pola dan aturan-aturan sistem komunikasi pribumi. Pengetahuan tentang sistem komunikasi pribumi terbukti penting dalam meningkatkan partisipasi imigran dalam jaringan komunikasi masyarakat pribumi. Variabel lainnya dalam komunikasi persona adalah citra diri/image. Citra diri imigran yang berhubungan dengan citranya tentang masyarakat pribumi member informasi berharga tentang realitas akulturasinya yang subjektif. Perasaan terasing dan rendah diri yang diderita imigran berkaitan dengan jarak perceptual antara dirinya dengan masyarakat pribumi. Motivasi imigran untuk belajar dan berpartisipasi dalam sosio-budaya pribumi dapat meningkatkan jaringan komunikasi dengan masyarakat pribumi.

2. Komunikasi sosial. Melalui komunikasi sosial individu-individu mengatur

perasaan, pikiran, dan perilaku antara yang satu dengan lainnya. Komunikasi sosial dapat dikategorikan ke dalam komunikasi antarpersona dan komunikasi massa. Komunikasi antarpersona terjadi melalui hubungan-hubungan antarpersona dengan masyarakat pribumi. Seorang imigran yang mempunyai hubungan antarpersona dengan etnik yang berkuasa dianggap kurang terakulturasi dan kurang kompeten dibandingkan dengan imigran yang


(46)

terutama berhubungan dengan masyarakat pribumi. Sedangkan fungsi akulturasi komunikasi massa bersifat terbatas dalam hubungannya dengan fungsi akulturasi komunikasi antarpersona. Meskipun dampaknya terbatas, komunikasi massa memainkan suatu peranan penting melalui surat kabar, majalah, dan berita televisi dalam memperluas pengalaman-pengalaman imigran dengan masyarakat pribumi di luar lingkungan yang dapat dijangkaunya. Terutama di fase awal akulturasi, imigran merasa frustasi dengan kontak komunikasi antarpersona. Komunikasi massa menjadi alternatif saluran yang bebas dari tekanan yang memungkinkan imigran menyerap unsur-unsur lingkungan pribumi (Mulyana, 2005: 140-144).

II.3.3 Potensi Akulturasi

Potensi akulturasi seorang imigran sebelum berimigrasi dapat mempermudah akulturasi yang dialaminya dalam masyarakat pribumi. Potensi akulturasi ditentukan oleh faktor-faktor sebagai berikut:

1. Kemiripan budaya asli dengan budaya pribumi. 2. Usia pada saat berimigrasi.

3. Latar belakang pendidikan.

4. Beberapa karakteristik kepribadian seperti suka bersahabat dan toleransi. 5. Pengetahuan tentang budaya pribumi sebelum berimigrasi (Mulyana, 2005:

146).

Memperhatikan individu-individu dari kebudayaan asing yang menyebabkan pengaruh unsur-unsur kebudayaan penerima sangat penting, karena mereka adalah agent of acculturation yang mengetahui unsur-unsur apa saja yang sudah masuk. Dalam tiap masyarakat, warga masyarakat hanya memahami sebagian dari kebudayaannya. Misalnya, kalau mereka pedagang, maka unsur kebudayaan yang dibawa adalah benda-benda kebudayaan jasmani, cara-cara berdagang, dan hal-hal yang bersangkutan dengan itu.

Ketika terjadi proses akulturasi, ada dua tipe masyarakat yang akan terbentuk. Masyarakat yang “kolot” (tidak suka dan menolak hal-hal baru) dan masyarakat yang


(47)

“progresif” (suka dan menerima hal-hal baru). Salah satu wujud penolakan terhadap pengaruh kebudayaan asing dan pergeseran sosial budaya adalah gerakan-gerakan kebatinan di mana warga “kolot” dapat mengundurkan diri dari kehidupan masyarakat yang bergeser itu dan bermimpi mengenai kejayaan kuno di masa lampau sesuai dengan kebudayaannya. Reaksi berbeda dari warga progresif dimana mereka menerima hal-hal baru yang datang. Hal ini tidak jarang mengakibatkan perpecahan masyarakat dengan berbagai konsekuensi konflik sosial politik (Koentjaraningrat, 2002: 254-255).

II.4 Asimilasi dalam Pernikahan Campuran

Kata asimilasi berasal dari kata Latin, assimilare yang artinya “menjadi sama”. Dari kata ini diturunkan kata assimilation yang diindonesiakan menjadi asimilasi, yang berarti “pembauran” (Koentjaraningrat, 2002: 255). Asimilasi didefenisikan sebagai suatu bentuk proses sosial dimana dua atau lebih individu atau kelompok saling menerima pola kelakuan masing-masing sehingga akhirnya menjadi satu kelompok baru yang terpadu. Pada proses asimilasi terjadi proses peleburan kebudayaan, sehingga pihak-pihak atau warga-warga dari dua-tiga kelompok yang tengah berasimilasi akan merasakan adanya kebudayaan tunggal yang dirasakan sebagai milik bersama. Asimilasi merupakan derajat tertinggi akulturasi yang secara teoritis mungkin terjadi. Bagi kebanyakan imigran, asimilasi mungkin merupakan tujuan sepanjang hidup (Mulyana, 2005: 139).


(48)

1. Ada perbedaan kebudayaan antara kelompok-kelompok manusia yang hidup pada suatu waktu dan pada suatu tempat yang sama.

2. Para warga dari masing-masing kelompok yang berbeda-beda itu dalam kenyataannya selalu bergaul secara intensif dalam jangka waktu yang cukup lama.

3. Demi pergaulan mereka yang telah berlangsung secara intensif itu, masing-masing pihak menyesuaikan kebudayaan mereka masing-masing-masing-masing, sehingga terjadilah proses saling penyesuaian kebudayaan di antara kelompok-kelompok itu (Narwoko, 2004: 42).

Biasanya golongan-golongan yang tersangkut dalam suatu proses asimilasi adalah suatu golongan mayoritas dan beberapa golongan minoritas. Dalam hal itu golongan minoritas itulah yang mengubah sifat khas dari kebudayaannya dan menyesuaikan diri dengan kebudayaan mayoritas sedemikian rupa sehingga lambat laun kepribadian kebudayaannya hilang dan masuk ke dalam kebudayaan mayoritas (Koentjaraningrat, 2002: 255).

Perspektif asimilasi adalah fungsional karena etnisitas akan hilang dan tidak berfungsi dalam suatu masyarakat multietnik. Dalam studi tentang adaptasi kaum imigran dengan lingkungan baru mereka, para peneliti telah memfokuskan studi pada motif-motif migrasi yang mendorong orang-orang untuk bermigrasi dan tinggal di suatu daerah baru, juga pada proses adaptasi dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Variabel-variabel seperti ciri-ciri sosial, budaya, dan ekonomi mempengaruhi atau berkorelasi dengan derajat adaptasi kaum imigran, pemeliharaan atau hilangnya budaya asli. Banyak kajian tentang adaptasi kaum imigran di daerah baru yang juga bertalian dengan konflik budaya. Salah satu konsep yang penting adalah gegar budaya. Gegar budaya sebagai akibat tak terhindarkan dari kontak


(49)

antarbudaya kaum imigran dengan masyarakat pribumi mereka (Mulyana, 2005: 163-164).

Sebelum memasuki proses pembauran, masing-masing pihak hidup berdampingan menurut pola kelakuannya sendiri. Sejak mereka memutuskan untuk menjadi satu kelompok, mereka memasuki suatu proses baru menuju penciptaan satu pola kebudayaan sebagai landasan tunggal untuk hidup bersama. Dalam merealisasi pola tersebut hingga mencapai bentuk yang kuat dan mantap, faktor waktu memainkan peranan penting. Melalui proses asimilasi, proses pembauran berbagai suku terjadi hingga membentuk kebudayaan baru yang merupakan identitas baru mereka. Proses ini akhirnya akan menghasilkan asimilasi psikologis, yaitu hilangnya identitas etnik kelompok (Mulyana, 2005: 163). Perbedaan-perbedaan yang ada akan digantikan oleh kesamaan paham budayawi, kesatuan pikiran, perilaku, dan mungkin juga tindakan.

Ada beberapa faktor yang diketahui dapat mempermudah terjadinya asimilasi, antara lain:

1. Sikap dan kesediaan menenggang. Apabila toleransi dapat dihidupkan di antara kelompok-kelompok manusia yang berbeda budaya itu, maka proses asimilasi akan mudah dilangsungkan tanpa banyak hambatan yang berarti. 2. Sikap menghadapi orang asing berikut kebudayaannya. Sikap demikian ini

akan memudahkan pendekatan-pendekatan warga dari kelompok-kelompok yang saling berbeda itu.

3. Kesempatan di bidang ekonomi yang seimbang. Kesempatan di bidang ekonomi yang seimbang begini akan memberikan kemungkinan pada setiap pihak untuk mencapai kedudukan tertentu berkat kemampuannya. Hal yang demikian jelas akan menetralisir perbedaan-perbedaan kesempatan yang terjadi akibat kebudayaan yang berlainan dan berbeda-beda, yang oleh karena itu akan memudahkan asimilasi.

4. Sikap terbuka golongan penguasa. Sikap terbuka golongan penguasa akan meniadakan kemungkinan diskriminasi oleh kelompok mayoritas terhadap


(50)

kelompok minoritas, dan tiadanya diskriminasi antar kelompok akan memudahkan asimilasi.

5. Kesamaan dalam berbagai unsur kebudayaan. Sekalipun kebudayaan masing-masing kelompok itu tidak sepenuhnya sama, namun sering kita saksikan bahwa dalam hal-hal atau unsur-unsur tertentu terdapat kesamaan. Semakin banyak unsur-unsur kebudayaan kelompok-kelompok itu yang bersamaan akan semakin mudahlah prasangka-prasangka antar kelompok itu dihilangkan, dan oleh karena itu asimilasi pun akan mudah diusahakan.

6. Perkawinan campuran. Misalnya, antara kelompok warga mayoritas dan warga kelompok minoritas, atau antara golongan-golongan penjajah dan anggota golongan terjajah. Seringkali merupakan langkah penting di dalam usaha-usaha penyelenggaraan asimilasi.

7. Musuh bersama dari luar. Ancaman musuh bersama dari luar sering pula diperkirakan akan memperkuat rasa persatuan di dalam masyarakat. Sadar akan adanya ancaman musuh bersama, golongan di dalam masyarakat sering melupakan perbedaan-perbedaannya, dan karenanya lalu mudah berasimilasi (Narwoko, 2004: 42-43).

Proses penyatuan akan lebih sulit jika berada dalam konteks pernikahan berbeda suku. Menurut Cohen (dalam Hariyono, 1993: 102), perkawinan campuran dimaksudkan sebagai sebuah perkawinan yang berlangsung antara individu dalam kelompok etnis yang berbeda, atau dengan istilah lain disebut amalgamasi. Amalgamasi ini merupakan peristiwa bertemunya sepasang suami isteri yang berlainan etnis, yang sama-sama bermaksud membentuk suatu rumah tangga (keluarga) berdasarkan kasih sayang, yang disahkan secara resmi dengan upacara tertentu.

Oleh Hariyono, perkawinan campuran dikatakan sebagai puncak dari bentuk asimilasi, yang diistilahkan sebagai asimilasi perkawinan. Asimilasi perkawinan memberi pengertian tentang bersatunya jiwa, kepribadian, sifat, dan perilaku dari dua insan (yang berlawanan jenis kelamin) yang memiliki perbedaan etnis. Segala apa yang ada pada pasangan hidupnya, dengan segala latar belakang yang berbeda dapat


(51)

diterima untuk kemudian berjalan bersamasama secara serasi menjadi teman hidup untuk selamanya dalam satu wadah rumah tangga yang sama (Hariyono, 1993: 17).

Dugan Romano dalam penelitiannya mengenai perkawinan antaretnis, atau antarbudaya, mengidentifikasikan empat kelompok dalam tipe perkawinan antaretnis tersebut, yaitu patuh/tunduk, kompromi, eliminasi, dan konsensus. Perkawinan dalam tipe patuh, individu bersedia menerima budaya pasangannya. Dan tipe inilah yang sering dijumpai dalam pasangan yang menikah antarbudaya, banyak diantaranya yang berhasil. Tipe perkawinan kedua, yaitu kompromi, lebih bermakna negatif. Hal ini dikarenakan salah satu akan mengorbankan kepentingannya, prinsip-prinsipnya demi pasangannya. Tipe eliminasi, berarti pasangan perkawinan antarbudaya tidak mau mengakui budaya masing-masing, sehingga pasangan ini dapat dikatakan sangat miskin budaya. Tipe terakhir, konsensus, memuat persetujuan dan kesepakatan dalam perkawinan antarbudaya, sehingga tidak ada nilai-nilai yang disembunyikan (http://ums.ac.id/).

Beulah Rohrlich (Dodd, 1998: 71) menyatakan, bahwa dalam keluarga kawin campur, komunikasi merupakan isu utama yang lazim muncul. Karena itu, Rohrlich memberikan beberapa alternatif dalam upaya penyesuaian:

1. Penyesuaian satu arah (one way adjustment): salah satu mengadopsi pola budaya pasangannya.

2. Penyesuaian alternatif (alternative adjustment): pada satu kesempatan salah satu budaya diterapkan, tapi pada kesempatan lain budaya lainnya diterapkan. 3. Kompromi midpoin (midpoint compromise): kedua pihak sepakat untuk

menentukan posisi masing-masing sebagai jalan keluar.

4. Penyesuaian campuran (mixing adjustment): kombinasi dari dua budaya yang sepakat untuk diadaptasi.

5. Penyesuaian kreatif (creative adjustment): kedua pihak memutuskan untuk tidak mengadopsi budaya masing-masing tetapi mencari pola perilaku yang baru.


(1)

P : Wujud konkret/perilaku seperti apa yang anda lakukan untuk menunjukkan identitas anda sebagai penganut agama tersebut?

I : Menjadi pengkikut setia dan melayani umatNya.

P : Identitas anda sebagai suku Batak Toba/Tionghoa bermakna apa bagi anda?

I : Suku Cina itu suku yang mendunia lah kalo saya bilang. Dimana-mana ada orang Cina kan. Bahkan ada daerah tertentu di suatu negara yang khusus tempat bermukimnya orang Cina. Jadi ga takut kita kalo misalnya tersesat di suatu negara. Tinggal cari aja pemukiman orang Cina, udah selamat kita. Hehehe.

: Nilai-nilai seperti apa yang anda peroleh dari kebudayaan suku anda tersebut?

I : Rasa persaudaraannya yang kuat lah saya rasa bisa dicontoh. B. APA YANG TERJADI SAAT MEREKA BERINTERAKSI

P : Bagaimana awal pertemuan anda dengan pasangan anda dan akhirnya memutuskan untuk menikah?

I : Kami ketemu di Medan.

P : Apakah ada pertentangan dari masing-masing keluarga?

I : Waktu itu saya udah pasrahlah. Pokoknya setuju ga setuju bapak saya, harus tetap minta restu suami saya ini sama dia. Ya walaupun ga ditanggapi, setidaknya suami sudah menghadap bapak secara gentleman kan. Itulah yang bulatkan tekad saya untuk menikah dengan Pak Hutajulu ini.

P : Bagaimana usaha anda untuk meyakinkan keluarga anda/ keluarga suami anda?

I : Bermohonlah aku sama orangtua kan. Saya minta keluarga Hutajulu memohon restu kepada Bapak saya meskipun ditolak oleh Bapak saya waktu itu. P : Seperti apa penilaian anda terhadap budaya dan agama pasangan anda?

I : Aku dulunya kan tinggal di lingkungan Batak juga. jadi udah terbiasalah gitu.

P : Apakah terjadi perubahan penilaian akan suku dan agama anda sendiri? Atau justru anda mengabaikan suku budaya dan agama anda dan mengikuti budaya dan agama pasangan anda?

I : Semenjak nikah dan dijadikan sebagai Batak, ya aku lama-lama jadi menyatu juga sama orang Batak. Jaranglah sekarang aku ikut-ikut tradisi orang Cina lagi.

P : Seperti apa hasil interaksi anda tersebut?

I : Lebih sering bergaul dengan orang Batak lah. Uda mengalir darah batak ini di tubuhku kurasa.

P : Apa yang menjadi masalah bagi anda selama berinteraksi dengan pasangan dan keluarga pasangan anda?

I : Ga ada masalah lah. Udah terbiasa juga.


(2)

I : Ga ada sih. Aku ngerti bahasa batak, dan kadang ngomong pake bahasa batak juga.

P : Apakah anda mengalami culture shock? Mengapa hal tersebut terjadi? reaksi seperti apa yang terjadi sebagai wujud culture shock tersebut?

I : Tidak pernah. Mungkin karena lingkungan dari kecil udah terbiasa bergaul sama orang batak kali ya.

: Apakah anda berusaha mencari kesamaan anda dengan pasangan anda? Misalnya dengan berkumpul bersama dengan keluarga pasangan anda, apakah anda sering terlibat dalam perkumpulan tersebut?

I : Ya rajin aku ikut-ikut acara Batak. Lagian kan memang aku akrab sama keluarga besar suami.

C. APA YANG HARUS DILAKUKAN UNTUK MENGATASI MASALAH KOMUNIKASI ANTARBUDAYA

P : Apa yang anda lakukan untuk mengatasi culture shock?

I : Ga pernah ngalamin kebingungan budaya. Ya cuma kami mendidik anak-anak ini secara demokratislah.

P : Apa yang anda lakukan untuk mengatasi kesalahpahaman yang terjadi antara budaya anda dengan budaya pasangan anda?

I : Jarang terjadi salahpaham antara kami. Palingan dulu karena Bapak saya sempat ga setuju. Tapi kan sekarang udah baik-baik aja.

P : Apakah anda merasa perlu kesadaran/pemahaman mengenai komunikasi efektif yang anda dengan pasangan dan keluarga pasangan anda lakukan untuk mencapai cita-cita keluarga harmonis?

I : Samalah kaya dibilang Bapak. Yang pasti harus berasaskan ajaran Tuhan dan masing-masing pihak dapat saling memahami serta menghargai satu sama lain.

Wawancara Dengan Pemuka Agama dan Pemuka Adat 1. Pemuka agama Kristen (Bapak R. Hutabarat)

P : Makna dan nilai-nilai apa saja yang terkandung dalam Kristen?

I : Kristen itu berarti pengikut Kristus. Sebagai pengikut Kristus, tentu kita harus bisa menjalankan nilai-nilai kekristenan yang sudah diajarkan pada kita. Karena iman tanpa perbuatan tentulah hal yang sia-sia saja. Iman, pengharapan dan kasih adalah nilai-nilai yang harus dilaksanakan umat Kristen.

P : Apakah dalam agama Kristen diperkenankan menikah dengan agama lain?

I : Sebenarnya tidak masalah kalo ada pasangan yang berbeda agama ingin menikah. Cuma, jika mereka mau menikah secara Kristen, tentunya pasangannya yang non Kristen itu harus dibaptis dulu menjadi Kristen. Setelah itu barulah pernikahan mereka bisa disahkan oleh pihak gereja.”


(3)

P : Apakah pihak gereja tetap menerima jemaatnya yang menikah dengan agama lain?

I : Secara sah, jemaat yang berpindah keyakinan dari Kristen akan dikeluarkan dari gereja. Hal ini dilakukan karena ia bukan lagi pengikut Kristus sehingga ia bukanlah jemaat gereja lagi.

2. Pemuka adat Batak Toba (Bapak B. Simamora)

P : Apakah dalam suku Batak Toba diperkenankan pernikahan berbeda suku?

I : Suku Batak Toba harus tetap berpedoman pada filsafat leluhur karena suku Batak Toba adalah salah satu etnis di Sumatera Utara yang hingga kini selalu menempuh kebudayaannya menurut kepribadiannya sendiri. Untuk mempertahankan kebudayaannya tersebut, beliau mengatakan bahwa seharusnya suku Batak Toba berinteraksi dan menjalin hubungan dengan sesama sukunya.

P : Bagaimana suku Batak Toba menyikapi pernikahan berbeda suku tersebut?

I : Ya kalau memang sudah tekad menikah, harus dilaksanakan adat bataknya. Mau tidak mau harus pakai adat Batak Toba. Itu sudah kewajiban orang batak. Harus dibuat dulu marganya, lalu pernikahannya pun dilaksanakan sesuai prosedur adat batak. Barulah pernikahan mereka dianggap sah secara batak. Kalo tidak dilaksanakan adat bataknya, biasanya akan menjadi sesuatu yang tidak baik untuk pernikahan mereka.

P : Apakah ada ritual adat yang wajib dilakukan bagi pasangan berbeda suku tersebut?

I : Pemberian marga dan adat-istiadat pernikahan Batak Toba yang harus dijalani oleh mempelai.

3. Keturunan Asli Suku Tionghoa (Ibu AW)

P : Apa makna yang terkandung dalam ajaran Budha?

I : Agama Budha sangat baik lo bagi Cici karna memberikan ketenangan batin Cici. Ketenangan Cici dapat dari meditasi yang sering Cici lakukan.

P : Apakah dalam suku Tionghoa diperkenankan pernikahan berbeda suku?

I : Tiap orang maunya hubungan sama sesamanya ya. Lu orang batak juga begitu ya. Tapi kalau sudah cinta, ya mau gimana lagi lo. Mau tidak mau ya harus diterima. Cuma ada juga lo beberapa orang kita Cina yang Cici tau memutuskan hubungan dengan anaknya karna nikah sama suku lain lo.

P : Bagaimana suku Tionghoa menyikapi pernikahan berbeda suku tersebut?

I : Kalau menikah ya sama seperti batak lo. Harus ada lo adatnya. Tapi kalo Cici liat sekarang sudah banyak unsur yang dibuang ya. Cici rasa mungkin karna rumit lo kita punya adat.


(4)

DOKUMENTASI

Keluarga Bapak Akiet (+)/ Ibu

N. Tambunan

Pasangan Bapak Simangunsong/ Pemuka Adat BatakToba Nining Aw Yang (Simanjuntak) (Bapak B. Simamora)


(5)


(6)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

NAMA : BINTANG OCTAVIA SIMAMORA

TEMPAT/TANGGAL LAHIR : MEDAN, 24 OKTOBER 1990

JENIS KELAMIN : PEREMPUAN

AGAMA : KRISTEN

ALAMAT : JLN. SEHATI GG. SABAR NO. 9, MEDAN

NAMA ORANGTUA : M. SIMAMORA

R. SIANTURI

ALAMAT ORANGTUA : JLN. SEHATI GG. SABAR NO. 9, MEDAN

PENDIDIKAN : SD RK SETIA BUDI MEDAN

SLTP BUDI MURNI 1 MEDAN SMA BUDI MURNI 1 MEDAN


Dokumen yang terkait

Komunikasi Masyarakat Batak Toba Dalam Upacara Pernikahan Adat (Studi Kasus Tentang Proses Komunikasi Antarbudaya Dalam Upacara Pernikahan Adat Batak Toba Pada Masyarakat di Kelurahan Lestari Kecamatan Kisaran Timur Kabupaten Asahan Sumatera Utara)

9 129 118

Aktivitas Komunikasi dalam Upacara Pernikahan Adat Batak Toba (Studi Etnografi Komunikasi Mengenai Aktivitas Komunikasi Dalam Upacara Pernikahan Adat Batak Toba di Kota Bandung)

5 44 112

KOMUNIKASI ANTARBUDAYA DALAM PROSES AKULTURASI WARGA JEPANG DI SURAKARTA (Studi Deskriptif Kualitatif Tentang Peran Komunikasi Antarbudaya dalam Proses Akulturasi Warga Jepang di Surakarta)

1 17 181

KOMUNIKASI ANTARBUDAYA DALAM PROSES ASIMILASI PERNIKAHAN JAWA DAN MINANGKABAU Komunikasi Antarbudaya Dalam Proses Asimilasi Pernikahan Jawa Dan Minangkabau (Studi Deskriptif Kualitatif Komunikasi Antarbudaya Dalam Proses Pernikahan Jawa dan Minangkabau).

0 3 12

PENDAHULUAN Komunikasi Antarbudaya Dalam Proses Asimilasi Pernikahan Jawa Dan Minangkabau (Studi Deskriptif Kualitatif Komunikasi Antarbudaya Dalam Proses Pernikahan Jawa dan Minangkabau).

0 2 24

KOMUNIKASI ANTARBUDAYA DALAM PROSES ASIMILASI PERNIKAHAN JAWA DAN MINANGKABAU Komunikasi Antarbudaya Dalam Proses Asimilasi Pernikahan Jawa Dan Minangkabau (Studi Deskriptif Kualitatif Komunikasi Antarbudaya Dalam Proses Pernikahan Jawa dan Minangkabau).

0 3 13

KOMUNIKASI ANTAR BUDAYA DALAM MANGAIN MARGA (Studi Kasus Tentang Komunikasi Antar Budaya Dalam Mangain Marga Pada Pernikahan Campuran Suku Batak dan Jawa di Soloraya).

0 0 16

Proses Komunikasi antarbudaya dalam proses

0 0 5

Komunikasi Antarbudaya Etnis Tionghoa dan Pribumi di Kota Medan

0 0 15

Proses Penyematan Ulos (Mangulosi) dalam Pernikahan Adat Suku Batak Toba” (Studi Kasus Mangulosi Dalam Perspektif Interaksi Simbolik pada Pernikahan Batak Toba di Gorga Mangampu Tua-Medan) - FISIP Untirta Repository

0 0 117