Optimasi pemisahan campuran parasetamol dan ibuprofen dengan metode kromatografi cair kinerja tinggi fase terbalik - USD Repository

OPTIMASI PEMISAHAN CAMPURAN PARASETAMOL DAN

  

IBUPROFEN DENGAN METODE KROMATOGRAFI CAIR KINERJA

TINGGI FASE TERBALIK

  SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

  Memperolah Gelar Sarjana Farmasi (S. Farm) Progrram Studi Ilmu Farmasi

  Oleh: Yohanes Pungki Prabowo

  NIM : 068114070

  

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

OPTIMASI PEMISAHAN CAMPURAN PARASETAMOL DAN

  

IBUPROFEN DENGAN METODE KROMATOGRAFI CAIR KINERJA

TINGGI FASE TERBALIK

  SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

  Memperolah Gelar Sarjana Farmasi (S. Farm) Progrram Studi Ilmu Farmasi

  Oleh: Yohanes Pungki Prabowo

  NIM : 068114070

  

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

HALAMAN PERSEMBAHAN

  Tak ada kata menyerah, selama ada Dia yang selalu menyertai kita.

  Aku persembahkan karyaku ini kepada:

Bapak dan Ibu yang selalu mencintaiku dan menyayangiku,

simbah kakung dan putri yang mendukungku, adik-adikku (Irma, Tito, dan Wawan) yang kusayangi, serta almamaterku.

  

PRAKATA

  Puji syukur penullis panjatkan kepada Bapa atas berkat, anugerah dan kuasanya, sehinggaskripsi berjudul “Optimasi Pemisahan Campuran Parasetamol dan Ibuprofen dengan Metode Kromatografi Cair Kinerja Tinggi Fase Terbalik” dapat dikerjakan dengan sebaik-baiknya. Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Strata Satu Program Studi Ilmu Farmasi (S. Farm).

  Dalam menyelesaikan skripsi ini, penulis mengalami permasalahan dan kesulitan. Namun demikian dengan adanya bantuan dari berbagai pihak, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Oleh karena itu dengan segala hormat, penulis ingin mengucapkan terima kasih atas bantuan yang telah diberikan, kepada :

  1. Rita Suhadi, M. Si., Apt, selaku dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

  2. Jeffry Julianus, M.Si. selaku dosen pembimbing yang telah membimbing penulis, memberikan masukan, dan dukungan selama penyusunan skripsi ini.

  3. Christine Patramurti, M.Si., Apt. selaku penguji yang ikut mengarahkan penulis, memberikan masukan, dan memberikan dukungan selama penyusunan skripsi serta besedia menguji skripsi ini.

  4. Dra. MM. Yetty Tjandrawati,M.Si. selaku dosen penguji yang memberikan kritik dan saran untuk skripsi ini.

  5. Yohanes Dwiatmaka, S.Si., M.Si. selaku Kepala Laboratorium Fakultas

  6. Seluruh staf laboratorium di Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta terutama Mas Bimo, Pak Parlan , dan Mas Kunto yang telah membantu dan mendukung kelangsungan skripsi ini.

  7. Micell dan Angel serta Aan, Yoki, Boim, dan Toni yang telah berjuang bersama dalam menganalisis ibuprofen dan parasetamol.

  8. Jimmy, Anton, Jati, dan kos Progresif yang telah bersama-sama dalam memberikan dukungan bagi penulis.

  9. Teman-teman seperjuangan yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu namanya.

  Penulis menyadari bahwa dalam skripsi ini masih terdapat banyak kekurangan mengingat keterbatasan kamampuan dan pengetahuan penulis. Maka penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari semua pihak. Akhir kata, semoga skripsi ini berguna bagi kemajuan ilmu pengetahuan.

  Penulis

OPTIMASI PEMISAHAN CAMPURAN PARASETAMOL DAN

  

IBUPROFEN DENGAN METODE KROMATOGRAFI KINERJA TINGGI

FASE TERBALIK

  

INTISARI

  Dewasa ini telah banyak digunakan kombinasi zat aktif dalam suatu obat untuk memperoleh efek yang diharapkan. Salah satu kombinasi yang dapat dijumpai di pasaran adalah parasetamol dan ibuprofen sebagai obat antiinflamasi. Penetapan kadar campuran tersebut dilakukan dengan Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) namun digunakan fase gerak asetonitril. Dalam penelitian ini akan dicoba pemisahan campuran parasetamol dan ibuprofen dengan metode KCKT dengan fase gerak campuran metanol : aquabidest.

  Penelitian ini merupakan penelitian non eksperimental deskriptif dengan metode KCKT fase terbalik menggunakan kolom C

  18 , fase gerak metanol :

  aquabidest (90:10) pH 4 dengan penambahan asam asetat glasial, kecepatan alir 1,5 ml/menit, dan detektor Ultraviolet pada panjang gelombang 230 nm.

  Hasil penelitian ini menunjukkan campuran parasetamol dan ibuprofen dapat dipisahkan dengan metode KCKT fase terbalik. Kondisi optimal sistem KCKT yang diperoleh adalah fase gerak metanol : aquabidest (90:10) pH 4 dengan penambahan asam asetat glasial dan kecepatan alir 1,5 ml/menit; detektor UV pada panjang gelombang pengamatan 230 nm. Kata kunci: KCKT fase terbalik, parasetamol, ibuprofen, optimasi metode

  

OPTIMATION OF SEPARATION THE MIXTURE OF PARACETAMOL

AND IBUPROFEN WITH HIGH PERFORMANCE LIQUID

CHROMATOGRAPHY METHOD REVERSED PHASE

ABSTRACT

  Today has been widely used combinations of active substances in a drug to obtain the desired effect. One of the combinations that can be found in the market are paracetamol and ibuprofen as an anti-inflammatory drugs. Determination of levels of the mixture before, with High Performance Liquid Chromatography (HPLC) but used acetonitrile mobile phase. In this study, tried separation mixture of paracetamol and ibuprofen with HPLC method with the mobile phase of methanol-aquabidest.

  This study is a non-experimental descriptive research method used HPLC reversed phase C18 column, mobile phase with methanol: aquabidest (90:10) pH 4 by adding glacial acetic acid, flow rate 1.5 ml / min, and Ultraviolet detector at wavelength 230 nm.

  The results of this study showed a mixture of paracetamol and ibuprofen may be separated by HPLC methods reversed phase. Optimal conditions obtained HPLC system is the mobile phase of methanol: aquabidest (90:10) pH 4 by adding glacial acetic acid and flow rate 1.5 ml / min; UV detector at wavelength 230 nm observations. Keywords: inverted phase KCKT, paracetamol, ibuprofen, optimization methods

DAFTAR ISI

  HALAMAN JUDUL ii

  HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING iii HALAMAN PENGESAHAN iv

  HALAMAN PERSEMBAHAN v

  PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI vi PRAKATA vii

  PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ix

  INTISARI x

  ABSTRACT

  xi DAFTAR ISI xii

  DAFTAR TABEL xvi

  DAFTAR GAMBAR xvii

  DAFTAR LAMPIRAN xix

  BAB I. PENGANTAR

  1 A. Latar Belakang

  1

  1. Permasalahan

  3

  2. Keaslian Penelitian

  3

  3. Manfaat Penelitian

  4 BAB II. PENELAAHAN PUSTAKA

  6 A. Tablet

  6 B. Parasetamol

  7 C. Ibuprofen

  8 D. Spektrofotometri UV

  9 E. Kromatografi Cair Kinerja Tinggi

  10

  1. Definisi dan Instrumentasi

  10

  2. Kromatografi Partisi

  15

  3. Pemisahan yang Optimal dalam Kromatografi

  17 F. Landasan Teori

  24 G. Hipotesis

  26 BAB III. METODE PENELITIAN

  27 A. Jenis dan Rancangan Penelitian

  27 B. Variabel

  27 C. Definisi Operasional

  28 D. Bahan Penelitian

  28 E. Alat Penelitian

  28 F. Tata Cara Penelitian

  29

  1. Pembuatan Fase Gerak

  29

  2. Pembuatan Larutan Baku Parasetamol dan Ibuprofen untuk Spektrofotometri

  30

  3. Pembuatan Larutan Baku Parasetamol dan Ibuprofen untuk

  4. Penetapan Panjang Gelombang Maksimum Parasetamol dan Ibuprofen dengan Spektrofotometri UV

  31

  5. Optimasi Pemisahan Parasetamol dan Ibuprofen dalam Campuran Parasetamol dan Ibuprofen dengan Perbandingan 7:4 dengan KCKT Fase Terbalik

  32 BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

  35 A. Pembuatan Fase Gerak

  35 B. Pembuatan Larutan Baku

  36 C. Optimasi penentuan Panjang Gelombang Overlaping Parasetamol dan Ibuprofen dengan Spektrofotometer UV

  38 D. Optimasi Pemisahan Parasetamol dan Ibuprofen dengan KCKT Fase Terbalik

  44

  1. Fase Gerak Metanol : Aquabidest dengan Perbandingan 70:30 dengan Kecepatan Alir 1 ml/menit

  49

  2. Fase Gerak Metanol : Aquabidest dengan Perbandingan 70:30 pH 4 dengan Penambahan Asam Asetat Glasial pada Kecepatan Alir 1,5 ml/menit

  52

  3. Fase Gerak Metanol : Aquabidest dengan Perbandingan 70:30 pH 4 dengan Penambahan Asam Asetat Glasial pada Kecepatan Alir 2 ml/menit

  55

  4. Fase Gerak Metanol : Aquabidest dengan Perbandingan 90:10 pH 4 dengan Penambahan Asam Asetat Glasial pada

  5. Fase Gerak Metanol : Aquabidest dengan Perbandingan 90:10 pH 4 dengan Penambahan Asam Asetat Glasial pada Kecepatan Alir 1,5 ml/menit

  59 BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN

  65 A. Kesimpulan

  65 B. Saran

  65 DAFTAR PUSTAKA

  66 LAMPIRAN

  69 BIOGRAFI PENULIS

  99 DAFTAR TABEL Tabel 1. Nilai Indeks Polaritas Pelarut

  13 Tabel 2. Tabel Nilai Waktu Retensi (t R ) Parasetamol-Ibuprofen dan Nilai Resolusi Pemisahan Campuran Parasetamol dan Ibuprofen

  63 DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Struktur Parasetamol

  7 Gambar 2. Struktur Ibuprofen

  23 Gambar 13. Reaksi Kolom Oktadesilsilan dengan Asam Asetat

  43

  42 Gambar 17. Spektrum Serapan Gabungan Parasetamol (A) Konsentrasi 1,05 mg/100 ml dan Ibuprofen (B) Konsentrasi 0,6 mg/100 ml

  maks = 223 nm

  41 Gambar 1

  maks = 243,5 nm

  39 Gambar 15. Spektrum Serapan Parasetamol dengan λ

  36 Gambar 14. Gugus Kromofor dan Auksokrom pada Parasetamol dan Ibuprofen

  23 Gambar 12. Distribusi Analit dalam Fase Gerak dan Fase Diam

  8 Gambar 3. Peralatan KCKT

  22 Gambar 11. Penentuan Peak Asymetry dan Peak Tailing Factors

  21 Gambar 10. Pemisahan Dua Senyawa

  20 Gambar 9. Transfer Massa Fase Gerak

  19 Gambar 8. Transfer Massa Fase Diam

  17 Gambar 7. Difusi Eddy

  16 Gambar 6. Reaksi Pembuatan Kolom Oktadesilsilan

  15 Gambar 5. Reaksi Silanisasi

  11 Gambar 4. Mekanisme Pemisahan Kromatografi Partisi

6. Spektrum Serapan Ibuprofen dengan λ

  Gambar 19. Interaksi Parasetamol dengan Fase Gerak Metanol : Aquabidest

  46 Gambar 20. Interaksi Ibuprofen dengan Fase Gerak Metanol : Aquabidest 46 Gambar 21. Interaksi Ibuprofen dengan Fase Diam

  47 Gambar 22. Interaksi Parasetamol dengan Fase Diam

  48 Gambar 23. Pemisahan dari Campuran Parasetamol (A) dan Ibuprofen (B) dengan Fase Gerak Metanol : Aquabidest (70:30) Kecepatan Alir 1 ml/menit

  50 Gambar 24. Reaksi Ionisasi Ibuprofen

  51 Gambar 25. Pemisahan dari Campuran Parasetamol (A) dan Ibuprofen (B) dengan Fase Gerak Metanol : Aquabidest (70:30) pH 4 Kecepatan Alir 1,5 ml/menit

  54 Gambar 26. Pemisahan dari Campuran Parasetamol (A) dan Ibuprofen (B) dengan Fase Gerak Metanol : Aquabidest (70:30) pH 4 Kecepatan Alir 2 ml/menit

  56 Gambar 27. Pemisahan dari Campuran Parasetamol (A) konsentrasi 175 ppm dan Ibuprofen (B) konsentrasi 100 ppm dengan Fase Gerak Metanol : Aquabidest (90:10) pH 4 Kecepatan Alir 1 ml/menit

  58 Gambar 28. Pemisahan dari Campuran Parasetamol (A) dan Ibuprofen (B) dengan Fase Gerak Metanol : Aquabidest (90:10) pH 4 Kecepatan Alir 1,5 ml/menit

  61 DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1. Sertifikat Analisis Parasetamol

  70 Lampiran 2. Sertifikat Analisis Ibuprofen

  71 Lampiran 3. Data Penimbangan Bahan

  72 Lampiran 4. Spektra panjang gelombang maksimum parasetamol

  73 Lampiran 5. Spektra panjang gelombang maksimum ibuprofen

  75 Lampiran 6. Spektra panjang gelombang overlaping

  77 Lampiran 7. Perhitungan kepolaran fase gerak

  78 Lampiran 8. Kromatogram pada fase gerak metanol : aquabidest (70:30) pada kecepatan alir 1 ml/menit

  79 Lampiran 9. Kromatogram pada fase gerak metanol : aquabidest (70:30) pH 4 dengan penambahan asam asetat glasial pada kecepatan alir 1,5 ml/menit

  82 Lampiran 10. Kromatogram pada fase gerak metanol : aquabidest (70:30) pH 4 dengan penambahan asam asetat glasial pada kecepatan alir 2 ml/menit

  84 Lampiran 11. Kromatogram pada fase gerak metanol : aquabidest (90:10) pH 4 dengan penambahan asam asetat glasial pada kecepatan alir 1 ml/menit

  86 Lampiran 12. Kromatogram pada fase gerak metanol : aquabidest (90:10) pH 4 dengan penambahan asam asetat glasial pada Lampiran

  13. Contoh perhitungan resolusi pemisahan campuran parasetamol-ibuprofen (7:4)

  98

BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang Parasetamol dan ibuprofen merupakan obat analgesik yang telah umum

  digunakan. Saat ini telah dikembangkan obat dengan komposisi campuran parasetamol dan ibuprofen. Perlu dilakukan penentuan kadar dari senyawa tersebut dalam suatu obat. Hal ini dilakukan sebab dalam membuat suatu obat digunakan aturan dosis tertentu. Dosis merupakan hal yang penting dalam obat.

  Bila kadar parasetamol dan ibuprofen dalam obat kurang dari dosis maka obat tersebut tidak akan memberikan efek terapi atau sebaliknya bila kadarnya melebihi dosis yang seharusnya dapat menyebabkan terjadinya overdosis yang nantinya membahayakan pasien. Farmakope Indonesia Edisi

  IV (1995) menyebutkan batasan rentang kadar zat aktif yang diperbolehkan dari suatu bentuk sediaan.

  Kombinasi parasetamol dan ibuprofen yang tersedia di pasaran adalah dalam bentuk tablet. Menurut Farmakope Indonesia Edisi IV (1995), tablet parasetamol atau ibuprofen mengandung parasetamol atau ibuprofen tidak kurang dari 90,0% dan tidak lebih dari 110,0% dari jumlah yang tertera dari etiket. Kadar dari parasetamol dan ibuprofen tersebut dapat diketahui telah memenuhi syarat atau tidak, dilakukan dengan penetapan kadar parasetamol dan ibuprofen dalam tablet. Penetapan kadar campuran parasetamol dan ibuprofen dapat dilakukan Spektrofotometri UV, dan metode KCKT (Kromatografi Cair Kinerja Tinggi) fase terbalik. Dalam penelitian ini dipilih analisis dengan metode KCKT fase terbalik karena metode KCKT merupakan metode analisis kualitatif dan kuantitatif yang dapat digunakan untuk analisis senyawa multikomponen dalam sampel yang berupa campuran (Johnson dan Stevenson, 1978).

  Sebelum dilakukan penetapan kadar dari sampel, perlu dilakukan optimasi untuk mengetahui sistem yang optimal untuk penetapan kadar parasetamol dan ibuprofen dalam tablet. Kondisi sistem KCKT yang optimal perlu dicari agar diperoleh hasil pemisahan yang baik dari campuran parasetamol dan ibuprofen. Kondisi optimal dapat diperoleh dengan optimasi fase gerak dan kecepatan alir yang digunakan dalam sistem KCKT. Optimasi fase gerak dalam hal ini adalah optimasi komposisi dari fase gerak tersebut. Fase gerak yang digunakan adalah campuran metanol dengan aquabidest. Pemilihan campuran ini sebagai fase gerak karena belum ada penelitian yang melakukan pemisahan campuran parasetamol dan ibuprofen dengan fase gerak tersebut.

  Penelitian sebelumnya melakukan pemisahan campuran parasetamol- ibuprofen dengan fase gerak campuran asetonitril dengan buffer fosfat. Metanol memiliki sifat kepolaran yang mirip dengan asetonitril, sehingga dengan fase gerak campuran metanol dengan aquabidest diharapkan dapat dilakukan pemisahan campuran parasetamol-ibuprofen. Selain itu, fase gerak campuran metanol-aquabidest telah umum digunakan untuk pemisahan parasetamol dari suatu sediaan. Menurut Farmakope Indonesia Edisi IV (1995) parasetamol dapat dapat dipisahkan dengan fase gerak campuran air-asetonitril-asam fosfat (1340:680:1).

  Kondisi yang optimal ditentukan dari nilai resolusi pemisahan antara parasetamol dan ibuprofen serta nilai waktu retensi (t R ) yang tidak terlalu lama.

  Nilai resolusi (R) yang optimal adalah ≥ 1,5 (Sastrohamidjojo, 2002). Namun, sebisa mungkin jarak pemisahan juga tidak terlalu jauh dan waktu retensi campuran tidak terlalu lama sehingga penggunaan fase gerak untuk pemisahan lebih efisien.

  Sistem KCKT fase terbalik yang optimal digunakan untuk validasi metode dan penetapan kadar campuran parasetamol dan ibuprofen dalam tablet merk “X” yang terdapat di pasaran.

  1. Permasalahan

  a. Apakah campuran parasetamol dan ibuprofen dapat dipisahkan dengan fase gerak metanol : aquabidest? b. Bagaimana kondisi optimal dari sistem Kromatografi Cair Kinerja Tinggi untuk pemisahan campuran parasetamol dan ibuprofen terkait komposisi fase gerak dan kecepatan alirnya?

  2. Keaslian Penelitian

  Pemisahan campuran parasetamol dan ibuprofen dengan metode KCKT fase terbalik telah dilakukan oleh Prasanna Reddy Battu dan MS Reddy Oktadesilsilan (kolom C18) dan fase gerak asetonitril : bufer fosfat (60:40, v/v, pH 7,0) pada kecepatan alir 0,8 ml/menit dengan detektor Ultraviolet pada 260 nm (Prasanna Reddy Battu dan MS Reddy, 2009). Asetonitril memiliki sifat kepolaran yang mirip dengan metanol sehingga dalam penelitian ini akan dilakukan optimasi metode KCKT fase terbalik untuk pemisahan campuran parasetamol dan ibuprofen dengan fase gerak metanol : aquabidest.

3. Manfaat Penelitian

  Penelitian ini memberikan manfaat:

  1. Manfaat teoritis: diharapkan penelitian ini dapat memberikan sumbangan untuk ilmu pengetahuan tentang KCKT dalam pemisahan campuran parasetamol dan ibuprofen.

  2. Manfaat metodologis: diharapkan penelitian ini dapat digunakan sebagai dasar untuk melakukan analisis kuantitatif campuran parasetamol dan ibuprofen.

  3. Manfaat praktis: diharapkan penelitian ini dapat digunakan sebagai dasar penelitian penetapan kadar parasetamol dan ibuprofen dalam suatu sediaan.

B. Tujuan Penelitian Tujuan dilakukannya penelitian ini.

  1. Untuk melakukan pemisahan campuran parasetamol dan ibuprofen dengan fase gerak metanol : aquabidest dengan metode KCKT.

  2. Untuk mengetahui kondisi sistem KCKT optimal untuk pemisahan campuran parasetamol dan ibuprofen.

  

BAB II

PENELAAHAN PUSTAKA

A. Tablet

Tablet adalah suatu sediaan padat mengandung bahan obat dengan atau

  tanpa bahan pengisi. Berdasarkan metode pembuatannya, tablet dapat digolongkan tablet kempa dan tablet cetak. Tablet kempa dibuat dengan memberikan tekanan tinggi pada serbuk atau granul menggunakan cetakan baja. Tablet cetak dibuat dengan cara menekan massa serbuk lembab dengan tekanan rendah ke dalam lubang cetakan (Anonim, 1995). Keuntungan dari tablet antara lain adalah relatif murah dan relatif mudah digunakan pada masyarakat (Voight, 1984).

  Tablet merupakan bentuk sediaan yang banyak digunakan saat ini. Kebanyakan tablet digunakan dengan pemberian secara oral, dan kebanyakan ditambahkan zat warna, zat pemberi rasa, dan lapisan-lapisan dalam berbagai jenis. Tablet juga dapat digunakan secara sublingual, bukal, atau melalui vaginal. Tablet dapat berbeda-beda dalam bentuk, ukuran, berat, kekerasan, ketebalan, dan waktu hancur tergantung cara pemakaian dan pembuatannya (Ansel, 1985).

  Salah satu syarat sediaan obat adalah memiliki kandungan yang konstan dalam tiap takarannya. Sediaan farmasi berbentuk tablet harus memenuhi uji keseragaman bobot untuk menggambarkan keseragaman kandungan zat aktif yang terkandung di dalam tiap tabletnya (Aulton dan Summer, 1994).

B. Parasetamol

  Parasetamol dengan nama lain asetaminofen atau 4’- hidroksiasetanilida dengan rumus molekul C

8 H

  9 NO 2 memiliki bobot molekul 151,6 gram/mol

  (Anonim, 1995). Rumus bangun parasetamol digambarkan sebagai berikut seperti gambar 1.

  OH O N H

Gambar 1. Struktur Parasetamol

  Parasetamol mengandung tidak kurang dari 98,0% dan tidak lebih dari 101,0% C

8 H

  9 NO 2 , dihitung terhadap zat anhidrat. Parasetamol merupakan serbuk

  hablur putih, tidak berbau, dan berasa sedikit pahit (Anonim, 1995). Satu bagian parasetamol larut dalam 70 bagian air, 7-10 bagian etanol dan 13 bagian aseton, agak sukar larut dalam kloroform, praktis tidak larut dalam eter (Clarke, 1986).

  Parasetamol diindikasikan untuk sakit kepala, nyeri muskuloskeletal sementara, dismenore dan demam. Parasetamol tidak memiliki aktivitas antinflamasi yang berarti dan kurang mengiritasi lambung dibandingkan dengan asetosal (Anonim, 2000).

  Tablet parasetamol mengandung parasetamol tidak kurang dari 90,0% dan tidak lebih dari 110,0% jumlah yang tertera pada etiket. Penetapan kadar parasetamol dilakukan dengan metode Kromatografi Cair Kinerja Tinggi dengan fase gerak campuran air-metanol P (3:1) (Anonim, 1995).

C. Ibuprofen

  Ibuprofen dengan nama lain (R,S)-2-(-p-Isobutilfenil)asam propionat memilki rumus molekul C

13 H

  18 O 2 dan berbobot molekul 206,28 gram/mol

  (Anonim, 1995). Rumus bangun ibuprofen digambarkan seperti tampak pada gambar 2.

  HO O

Gambar 2. Struktur Ibuprofen

  Ibuprofen mengandung tidak kurang dari 97,0% dan tidak lebih dari 103,0% C H O dihitung terhadap zat anhidrat. Ibuprofen berupa serbuk hablur,

  13

  18

  2

  putih hingga hampir putih; berbau khas lemah. Ibuprofen praktis tidak larut dalam air, sangat mudah larut dalam etanol, dalam metanol, dalam aseton dan dalam kloroform. Ibuprofen sukar larut dalam etil asetat (Anonim, 1995).

  Tablet ibuprofen mengandung ibuprofen tidak kurang dari 90,0% dan tidak lebih dari 110,0% jumlah yang tertera pada etiket. Penetapan kadar ibuprofen dilakukan dengan metode Kromatografi Cair Kinerja Tinggi fase gerak campuran air-acetonitril P-asam fosfat P (1340:680:1) (Anonim, 1995).

D. Spektrofotometri UV

  Teknik spektroskopik merupakan salah satu teknik analisis fisiko-kimia yang mengamati interaksi atom atau molekul dengan suatu radiasi elektromagnetik (REM). Spektrofotometri ultraviolet adalah anggota teknik analisis spektroskopik yang menggunakan sumber radiasi elektromagnetik ultraviolet dekat (190-380 nm) dengan menggunakan instrument spektrofotometer. Radiasi ultraviolet jauh (100-190 nm) tidak dipakai, sebab pada daerah tersebut REM diabsorpsi oleh udara (Mulja dan Suharman, 1995).

  Molekul suatu senyawa dapat memberikan serapan radiasi elektromagnetik jika memiliki kromofor, yaitu gugus penyerap dalam molekul. Molekul yang mengandung kromofor disebut kromogen. Pada senyawa organik dikenal pula gugus auksokrom, yaitu gugus yang tidak menyerap radiasi namun bila terikat bersama kromofor dapat meningkatkan penyerapan oleh kromofor atau mengubah panjang gelombang serapan maksimum (Christian, 2004).

  Spektrofotometer ultraviolet lebih banyak untuk analisis kuantitatif dibandingkan kualitatif karena melibatkan energi elektronik yang cukup besar pada molekul yang dianalisis, sehingga spektrofotometer ultraviolet lebih banyak untuk analisis kuantitatif dibandingkan kualitatif. Analisis kuantitatif selalu melibatkan pembacaan absorban radiasi elektromagnetik oleh molekul, atau radiasi elektromagnetik yang diteruskan, yang disebut absorban (A) tanpa satuan dan transmitan dengan satuan persen (%T). Formula matematik yang dibuat Bouger, Lambert, dan Beer tentang hubungan antara transmitan atau absorban terhadap intensitas radiasi atau konsentrasi zat yang dianalisis dan tebal larutan yang mengabsorbsi sebagai: (1) (2)

  Keterangan : T = persen transmitan I = intensitas radiasi yang datang

  o

  I t = intesitas radiasi yang diteruskan

  • 1 -1

  = daya serap molar (Liter.mol .cm ) c = konsentrasi (mol/Liter) b = tebal larutan (cm) A = serapan (Mulja dan Suharman, 1995)

  Ikatan konjugasi merupakan ikatan rangkap yang berselang-seling dengan satu ikatan tunggal. Dalam orbital molekul, elektron pada orbital p mengalami delokalisasi lanjut dengan adanya ikatan terkonjugasi. Adanya efek delokalosasi ini akan menyebabkan penurunan tingkat energi

  • dan memberikan pengurangan karakter antiikatan. Sebagai konsekuensinya, panjang gelombang molekul yang mempunyai ikatan rangkap terkonjugasi akan mengalami pergeseran batokromik (Rohman dan Gandjar, 2007).

  π

E. Kromatografi Cair Kinerja Tinggi

1. Definisi dan Instrumentasi

  Kromatografi merupakan prosedur pemisahan senyawa campuran distribusi masing-masing senyawa di antara dua fase yang saling bersinggungan dan tidak saling campur, yang disebut sebagai fase gerak (mobile phase) yang berupa zat cair atau zat gas, dan fase diam (stationary phase) yang berupa zat cair atau zat padat (Noegrohati, 1994). Kromatografi bertujuan memisahkan komponen dari matriks sampel dan tetap dibiarkan dalam fase diam kemudian ditentukan untuk analisis (Mulja dan Suharman, 1995)

  Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) merupakan salah satu metode kromatografi cair yang fase geraknya dialirkan secara cepat dengan bantuan tekanan dan hasilnya dideteksi dengan instrument. KCKT memiliki fase diam yang lebih banyak jenisnya sehingga memungkinkan lebih banyak interaksi spesifik untuk terjadinya pemisahan senyawa (Willard, Merrit, Dean, dan Settle, 1988). Tujuan dari KCKT adalah memperoleh hasil pemisahan yang baik dalam waktu relatif singkat (Mulja dan Suharman, 1995). Berikut komponen-komponen dalam KCKT pada gambar 2.

  

Gambar 3. Peralatan KCKT (Kazakevich dan Nair, 1996) Variabel-variabel yang harus diperhatikan dalam KCKT adalah

  a. Fase gerak. Fase gerak pada KCKT sangat berpengaruh terhadap tambatan dan pemisahan senyawa (Munson, 1984). Fase gerak untuk analisis secara KCKT harus murni untuk mencegah adanya peak pengganggu yang dapat tumpang tindih dengan peak analit, tidak bereaksi atau mempengaruhi

  o

  kolom, dapat melarutkan analit, memiliki titik didih 20-50 C di atas temperatur kolom, viskositasnya rendah (tidak lebih dari 50 cP) dan memungkinkan untuk memperoleh kembali analit dengan mudah, tidak mudah terbakar dan toksisitasnya rendah, memiliki harga yang wajar (Skoog et al., 1985). Fase gerak KCKT juga harus bebas dari gas terlarut karena dapat mempengaruhi respon detektor sehingga memunculkan sinyal palsu dan akan mempengaruhi kolom (Gritter et al., 1985). Maka fase gerak perlu di- degassing untuk menghilangkan gas terlarut (Dean, 1995).

  Komposisi fase gerak yang digunakan dapat mempengaruhi variasi retensi analit untuk pemisahan yang optimal. Sehingga fase gerak dapat disesuaikan komposisinya agar diperoleh kepolaran relatif yang mirip dengan sampel untuk memperoleh pemisahan yang optimal (Willard et al., 1988).

  Kepolaran pelarut merupakan ukuran kekuatan pelarut untuk mengelusi suatu senyawa. Kepolaran pelarut dinyatakan dalam bentuk P’ (indeks polaritas). Besarnya polaritas campuran pelarut dapat dihitung dengan persamaan berikut.

  …… + (3) dengan adalah fraksi pelarut dalam campuran dan n adalah jenis pelarut yang digunakan (Skoog et al., 1988).

  Tabel 1. berikut ini menampilkan indeks polaritas beberapa pelarut yang sering digunakan : b. Fase diam. Fase diam dari KCKT berupa kolom kromatografi yang merupakan bagian penting karena pemisahan komponen-komponen sampel terjadi di dalam kolom. Keberhasilan pemisahan komponen-komponen sampel sangat bergantung pada keadaan kolom sehingga pemilihan kolom yang tepat sangatlah penting (Mulja dan Suharman, 1995).

  Kolom pada KCKT dapat berupa gelas atau baja tidak berkarat. Panjang kolom bervariasi antara 15-150 cm dengan pengisi kolom biasanya adalah silika gel, alumina dan elit (Khopkar, 1990). Diameter kolom dibuat 3- 5 mm ditujukan supaya kepekaannya lebih teliti, menghemat fase gerak, memperluas kemampuan detektor, dan mengurangi jumlah sampel yang dengan klorosilan Cl-Si-(R) n (Mulja dan Suharman, 1995). Oktadesil silika (ODS) merupakan fase diam yang paling banyak dipakai karena mampu memisahkan senyawa-senyawa dengan kepolaran yang rendah, sedang, maupun tinggi (Rohman dan Gandjar, 2007).

  c. Detektor. Detektor yang baik untuk KCKT memiliki kepekaan tinggi, rentang respon liniernya lebar, tidak dipengaruhi perubahan suhu dan aliran, memberikan hasil keterulangan yang baik, dan tidak banyak derau. Secara umum detektor dibagi menjadi 2 kategori, yaitu:

  Bulk property detectors , merupakan detektor yang mengukur

  perubahan sifat fisik fase gerak dan solut. Detektor tipe ini cenderung relatif tidak sensitif dan menghendaki temperatur yang terkendali, contohnya detektor bias.

  Solut property detectors , merupakan detektor yang hanya

  mengukur sifat fisik solut. Detektor tipe ini 1000 kali lebih sensitif dan mampu mengukur solut sampai satuan nanogram atau lebih kecil lagi. Contoh detektor jenis ini yaitu detektor fluorensensi, detektor penyerapan (UV-Vis) dan detektor elektrokimia (Munson, 1984).

  Detektor UV didasarkan pada penyerapan radiasi ultraviolet oleh spesies analit yang mempunyai struktur atau gugus kromoforik. Detektor dengan panjang gelombang yang bervariasi lebih berguna karena seorang analis dapat memilih panjang gelombang dengan sensitifitas yang paling

2. Kromatografi partisi

  Prinsip dasar kromatografi partisi pada partisi analit di antara dua fase yang tidak saling campur, karena adanya perbedaan koefisien distribusi dari masing-masing senyawa. Jika solut ditambahkan ke dalam sistem yang terdiri dari dua pelarut tidak saling campur dan keseluruhan sistem dibiarkan setimbang, maka solut akan tersebar di antara kedua fase menurut persamaan :

  (4) K adalah koefisien distribusi, C s adalah konsentrasi solut dalam fase diam, dan C m adalah konsentrasi solut dalam fase gerak (Johnson dan Stevenson, 1978).

  Mekanisme pemisahan pada kromatografi partisi dapat digambarkan sebagai berikut:

  Gambar 4. Mekanisme pemisahan kromatografi partisi (Munson, 1984)

  Fase gerak yang digunakan adalah campuran metanol atau asetonitril maka analit akan mengalami ionisasi. Terbentuknya spesies yang terionisasi ini menyebabkan ikatannya dengan fase diam menjadi lemah dibandingkan jika analit dalam bentuk spesies yang tidak terionisasi, karena spesies yang terionisasi akan terelusi lebih cepat (Rohman dan Gandjar, 2007).

  Kolom yang biasa digunakan dalam kromatografi partisi fase terbalik adalah kolom dengan kemasan fase terikat yang memiliki sifat stabil karena fase diamnya terikat secara kimia pada penyangga, sehingga tidak mudah terbawa oleh fase gerak. Penyangga pada kemasan fase terikat biasanya terbuat dari silika yang sudah diseragamkan, berpori, dan umumnya partikel mempunyai diameter 3,5 atau 10 µm (Skogg et al., 1998).

  Kromatografi Cair Kinerja Tinggi partisi fase terbalik biasanya mengandung bagian organik yang terikat secara kimia dengan gugus silanol pada permukaan silika. Bagian organik tersebut umumnya hidrokarbon rantai panjang, sehingga fase gerak umumnya polar. Gugus silanol permukaan dapat direaksikan dengan berbagai cara menempelkan berbagai jenis gugus organik. Kolom dengan tipe ikatan siloksan (Si-O-Si-O) dibuat dengan mereaksikan organoklorosilan dengan gugus silanol pada permukaan silika gel sebagai berikut :

  HCl

  • O Si(CH ) R

  OH Si(CH 3 ) R Si 2 3

  • 2 Si Cl

  Gambar 5. Reaksi silanisasi Reaksi tersebut digunakan untuk membuat isian kolom oktadesililan (ODS) gugus silanol dan oktadesilklorosilan sebagai berikut :

  Si Cl 2 17 3 Si 2 17 3 + HCl

Gambar 6. Reaksi pembuatan kolom oktadesilsilan

  • OH Si (CH ) CH O Si (CH ) CH

  Pada kromatografi partisi fase terbalik dengan kemasan fase terikat, R pada siloksan biasanya berupa gugus C

  

18 atau C

8 . Panjang pendeknya rantai karbon mempengaruhi tertambatnya senyawa pada fase diam (Skoog et al., 1998).

3. Pemisahan yang optimal dalam kromatografi

  a. Efisiensi kolom. Pemisahan dari puncak-puncak dalam kromatografi berhubungan dengan efisiensi kolom. Pada efisiensi kolom terdapat dua teori yang menjelaskan mengenai pemisahan puncak kromatografi, yaitu:

  Teori lempeng menyatakan bahwa jumlah lempeng (N) yang didasarkan pada konsep lempeng teoritis pada distilasi kolom digunakan sebagai ukuran efisiensi kolom N didefinisikan sebagai berikut.

  (5) Dimana merupakan lebar setengah puncak kromatogram, t R merupakan waktu retensi (Rohman dan Gandjar, 2007).

  Suatu ukuran alternatif yang tergantung pada panjang kolom kromatografi

  (HETP = Height Equivalint Theoritical Plate). Hubungan antara HETP dan jumlah lempeng (N) serta panjang kolom (L) dapat dirumuskan dengan: (6)

  Kolom yang memberikan jumlah lempeng (N) yang besar dan nilai HETP yang kecil akan mampu memisahkan komponen-komponen dalam suatu campuran, yang berarti efisiensi kolom adalah besar (Rohman dan Gandjar, 2007)

  Teori laju dapat menggambarkan pengaruh variabel-variabel lain yang menyebabkan terjadinya pelebaran peak . Pada waktu migrasi, solut mengalami transfer antara fase diam dan fase gerak berkali-kali. Karena solut hanya dapat bergerak jika berada dalam fase gerak, migrasi di dalam kolom juga tidak teratur, dan mengakibatkan laju rata-rata solut relatif terhadap fase gerak juga sangat bervariasi, sehingga terjadi pelebaran peak solut (Noegrohati, 1994).

  Menurut teori laju ini, efisiensi kolom dinyatakan dengan persamaan van Deemter yang dapat dinyatakan sebagai berikut (Willard et al., 1988) : atau (7)

  (8) Dimana λ = tetapan ukuran ketidakteraturan kemasan dp = diameter rata-rata partikel penyangga

  D = kedifusian linarut dalam fase gerak

  µ = kecepatan alir γ = faktor koreksi kelikuan saluran dalam kolom

  Terdapat tiga variabel yang mempengaruhi efisiensi kolom, yaitu: Difusi Eddy

  , dinyatakan sebagai A (2λdp). Difusi Eddy menggambarkan ketidakhomogenan kecepatan alir dan panjang lintasan di sekitar partikel yang terpack-ing. Lintasan alir yang tidak sama pasti ditemukan dalam setiap kolom terpack-ing. Suatu molekul solut dapat melewati kolom dekat dinding kolom di mana kerapatan kolom rendah dengan cepat mencapai akhir kolom, khususnya pada kolom dengan diameter kecil.

  Sedangkan suatu molekul solut yang melewati bagian tengah kolom, akan mencapai akhir kolom lebih lambat. Hal ini menyebabkan perbedaan laju tiap molekul melalui kolom berbeda-beda. Untuk meminimalkan difusi Eddy ini, maka diameter rata-rata partikel dalam kolom harus sekecil mungkin dan seseragam mungkin.

  Gambar 7. Difusi Eddy (Willard et al., 1988) difusi longitudinal terhadap ketinggian lempeng menjadi signifikan hanya pada kecepatan fase gerak yang lambat. Kecepatan difusi dari solut yang tinggi pada fase gerak dapat menyebabkan molekul solut terdispersi secara aksial sementara dengan lambat bermigrasi melalui kolom.

  Transfer massa, dinyatakan dengan nilai C dan C . C

  stationary mobile stationary

  merupakan hasil dari ditahannya solut karena adanya fase diam. Suatu molekul bergerak lambat dalam fase diam, sementara molekul lainnya melaju melalui kolom bersama dengan fase gerak. Untuk mengatasi hal ini diperlukan fase diam yang lebih encer (tidak terlalu kental). Peristiwa ini dapat digambarkan sebagai berikut :

  Gambar 8. Transfer massa fase diam (Willard et al., 1988)

  C mobile menggambarkan adanya peristiwa dimana solute dalam fase diam bertemu dengan fase gerak yang masih baru. Hal ini dapat digambarkan sebagai berikut (Willard et al., 1988) :

  Gambar 9. Transfer massa fase gerak (Willard et al., 1988)

  b. Waktu retensi (t R ) dan resolusi. Waktu retensi (t R ) atau waktu tambat (retention time) adalah selang waktu yang diperlukan oleh analit mulai saat injeksi sampai keluar dari kolom dan sinyalnya ditangkap detektor. Selain waktu tambat analit, dikenal pula waktu tambat untuk pelarut pengembang atau pengembang campur yang dinyatakan sebagai t (Mulja dan Suharman,

  M 1995).

  Waktu tambat analit dikurang waktu tambat pelarut pengembang atau pelarut pengembang campur disebut waktu tambat yang terkoreksi yang dinyatakan sebagai t R ’ (Mulja dan Suharman, 1995). Jika harga D (perbandingan distribusi) kecil maka analit akan lebih banyak di dalam fase gerak atau (C m >C s ) yang berarti analit akan lebih lama tinggal di dalam fase gerak dan memiliki waktu retensi lebih cepat (Mulja dan Suharman, 1995).

  Faktor resolusi (R) adalah ukuran pemisahan dari dua puncak berdekatan yang dapat diukur dengan persamaan : (7) Harga t R1 dan t R2 merupakan waktu retensi senyawa yang diukur pada titik maksimum puncak, harga w

  1 dan w 2 merupakan lebar alas puncak (Johnson

  and Setevenson, 1978). Pemisahan dua senyawa dapat digambarkan sebagai berikut :

  Gambar 10. Pemisahan dua senyawa (Johnson dan Setevson, 1978)

  Harga R > 1,5 disebut baseline resolution, yaitu pemisahan sempurna dari dua puncak dengan ukuran yang sama. Dalam prakteknya, pemisahan dengan harga R = 1,0 (kedua puncak berhimpit lebih kurang 2%) dianggap memadai (Pescok et al., 1976). Untuk pemisahan yang baik R harus

  ≥ 1,5 karena berarti pemisahan kedua senyawa ≥99,7% (Sastrohamidjojo, 2002).

  Analisis KCKT mencari kondisi yang menghasilkan puncak yang simetris karena puncak yang asimetris dapat menghasilkan pengukuran bilangan lempeng ekor puncak, serta waktu retensi yang tidak reprodusibel. Parameter yang digunakan untuk menilai bentuk puncak adalah peak asymmetry factor (As), yang diukur pada 10% tinggi puncak. Puncak yang simetri memiliki nilai As sama dengan 1, sedangkan puncak dengan nilai As pada rentang 0,95-1,1 masih dikatakan baik. Parameter lain yang dapat digunakan yaitu peak tailing factor, yang diukur pada 5% tinggi puncak (Synder et al., 1997).

  

Gambar 11. Penentuan peak asymmetry dan peak tailing factors (Snyder et al.,

1997)

  Distribusi analit dalam fase gerak dan fase diam pada saat terjadi tailing dan leading dapat dilihat sebagai berikut:

  

Gambar 12. Distribusi analit dalam fase gerak dan fase diam (Kuwana, 1980)

  Gugus silanol yang tidak bereaksi karena adanya halangan sterik dapat memberikan kepolaran yang tidak dikehendaki dan menyebabkan pengekoran pada puncak kromatogram. Untuk mengurangi jumlah gugus silanol yang masih bebas, reaksi dilanjutkan dengan penambahan trimetilklorosilan yang dapat mencapai gugus silanol karena ukurannya yang lebih kecil dibandingkan organoklorosilan lain. Penambahan trimetilklorosilan dapat menutupi banyak gugus silanol yang masih bebas, namun tidak semua gugus tersebut dapat tertutupi (Skoog et al., 1998).

  Puncak kromatogram yang tidak simetri (tailing dan leading) sering dijumpai bila konsentrasi solut dalam fase gerak terlalu besar. Senyawa-senyawa polar juga berpotensi menimbulkan tailing apabila masih terdapat residu gugus silanol pada fase diam. Penyebab tailing yang lain yaitu ketidaksesuaian antara solut dan kolom, pengemasan kolom yang tidak seragam dan faktor yang terjadi di luar kolom, seperti injektor (Noegrohati, 1994).

F. LANDASAN TEORI

  Parasetamol memiliki sifat kelarutan yang baik di dalam etanol, metanol, dan aseton, demikian halnya ibuprofen. Hal ini menunjukkan bahwa kelarutan dari parasetamol dan ibuprofen hampir mirip. Dalam melakukan analisis penetapan kadar campuran, perlu dilakukan pemisahan masing-masing komponen tidaklah mudah untuk melakukan pemisahan campuran tersebut. Saat ini telah berkembang berbagai metode yang dapat dilakukan untuk pemisahan dan penepatan kadar suatu senyawa tunggal dari bentuk sediaan tertentu. Dalam kasus ini pemisahan dan penetapan kadar akan dilakukan untuk suatu campuran dua senyawa yaitu campuran parasetamol dan ibuprofen yang memiliki sifat kelarutan hampir sama. Metode untuk pemisahan campuran yang umum digunakan adalah metode Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) fase terbalik.

  Kromatografi Cair Kinerja Tinggi dapat digunakan untuk analisis kualitatif dan kuantitatif dari sampel selain untuk memisahkan senyawa dalam sampel.

  Waktu retensi akan menggambarkan identitas dari suatu senyawa yang spesifik untuk setiap senyawa. Analisis kuantitatif dilakukan dengan membandingkan tinggi atau luas puncak kromatogram senyawa dengan baku standar. KCKT juga dapat digunakan untuk pemisahan campuran dan penetapan kadar campuran dua senyawa dalam sampel.

  Kromatografi Cair Kinerja Tinggi dapat memisahkan senyawa dengan sifat kelarutan yang mirip seperti parasetamol dan ibuprofen. Sebelum memperoleh pemisahan yang baik, perlu dilakukan optimasi kondisi dari sistemnya termasuk komposisi fase geraknya terlebih dahulu.Terdapat penelitian yang melakukan pemisahan campuran parasetamol dan ibuprofen dari suatu tablet, akan tetapi belum ada yang melakukan penelitian tentang pemisahan campuran parasetamol dan ibuprofen dengan metode KCKT fase terbalik menggunakan fase gerak campuran metanol dengan aquabidest. Penelitian ini campuran parasetamol dan ibuprofen dengan fase gerak campuran metanol dan aquabidest. Hasil dari penelitian ini nantinya dapat digunakan untuk penetapan kadar campuran parasetamol dan ibuprofen dari sediaan tablet merk “X” yang terdapat di pasaran. Kandungan yang tertera di etiket tablet merk “X” tersebut 350 mg parasetamol dan 200 mg ibuprofen. Perbandingan ini menunjukkan bahwa campuran parasetamol dan ibuprofen adalah 7:4. Dalam analisis ini akan digunakan campuran parasetamol-ibuprofen dengan perbandingan 7:4 untuk menyesuaikan dengan sampel yang ada di pasaran.

G. HIPOTESIS 1.

  Pemisahan campuran parasetamol dan ibuprofen dapat dilakukan dengan metode KCKT fase terbalik menggunakan fase gerak campuran metanol dan aquabidest.

2. Pemisahan campuran parasetamol dan ibuprofen dilakukan pada kondisi optimal sistem KCKT fase terbalik.

  

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Rancangan Penelitian

Jenis rancangan penelitian berjudul “Optimasi Metode Penetapan Kadar Campuran Parasetamol dan Ibuprofen dalam Tablet Merk “X” dengan Metode Kromatografi Cair Kinerja Tinggi Fase Terbalik” bersifat noneksperimental

  deskriptif. Penelitian dilakukan di Laboratorium Kimia Analisis Instrumental dan Kimia Organik Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma.

B. Variabel

  Variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian :

  1. Variabel bebas yang ditentukan adalah perbandingan fase gerak dan kecepatan alir (flow rate) sistem KCKT.

  2. Variabel tergantung yang ditentukan adalah pemisahan campuran parasetamol dan ibuprofen dengan parameter nilai resolusi dan waktu retensi.

C. Definisi Operasional

  1. Campuran parasetamol dan ibuprofen adalah campuran antara parasetamol dan ibuprofen dengan perbandingan 7 : 4.

  2. Sistem Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) fase terbalik yang digunakan adalah KCKT dengan fase diam kolom C dengan fase gerak

  18 metanol : aquabidest pH 4 dengan perbandingan optimal.

  3. Kadar parasetamol dan Ibuprofen dalam ppm dan mg/100 ml.

D. Bahan Penelitian

  Parasetamol (Working Standard dari PT. Konimex), ibuprofen (Working

Standard dari PT. Konimex), metanol pro analysi (E. Merck), Aquabidest (PT.

  Ikapharmindo Putranas, Pharmaceutical Laboratories), asam asetat glasial (E. Merck).

E. Alat Penelitian

  Spektrofotometer UV/Vis merk Optima SP 3000 F, sistem KCKT (yang terdiri dari pompa merk Shimadzu model LC-10 AD No. C20293309457 J2, detektor UV-Vis merk Shimadzu model SPD-10AV No. C20343502697 KG, injektor jenis katup suntik, model 7725i, kolom oktadesilsilan (C

  18 ) merk

KNAUER, CBM-101 merk Shimadzu, Cat No.223-03750-94, serial No.

  C50363502311 SA, seperangkat komputer merk ACER POWER), UPS ICA

  

CT1382B , printer Canon BJC-1000SP, syringe No. 046-00038-01, jarum syringe

  

Retsch Tipe T 460 No. V935922013 EY, vakum merk Gast, model DOA-P104-

  BN, penyaring Whatman, indikator pH, penyaring Millipore, mikropipet Socorex, neraca Analitik merk Scaltec max 60/210 g; d = 0,01/0,1 mg; e = 1 mg, seperangkat alat gelas merk Pyrex.

F. Tata Cara Penelitian

1. Pembuatan fase gerak

  a. Fase gerak metanol : aquabidest dengan perbandingan 70:30, dibuat dengan metanol sebanyak 350,0 ml dimasukkan dalam labu takar 500,0 ml dicampur dengan aquabidest ad hingga tanda batas.

  b. Fase gerak metanol : aquabidest dengan perbandingan 70:30 pH 4, dibuat dengan metanol sebanyak 350,0 ml dimasukkan dalam labu takar 500,0 ml dicampur dengan aquabidest ad hingga tanda batas. Ditambahkan asam asetat glasial hingga pH 4.

Dokumen yang terkait

Validasi metode analisis alopurinol dalam tablet secara spektrofotometri dan jamu secara kromatografi cair kinerja tinggi fase terbalik serta aplikasinya.

3 12 143

Optimasi metode bioanalisis kafein dalam sampel darah orang Jawa dengan metode kromatogafi cair kinerja tinggi fase terbalik

0 4 78

Optimasi pemisahan dan penetapan kadar campuran parasetamol dan natrium fenobartial dengan metode kromatografi cair kinerja tinggi fase terbalik.

3 10 129

Analisis campuran parasetamol salisilamida dan kafein dalam tablet secara kromatografi cair kinerja tinggi [KCKT].

3 34 104

Validasi metode analisis alopurinol dalam tablet secara spektrofotometri dan jamu secara kromatografi cair kinerja tinggi fase terbalik serta aplikasinya

4 20 141

Optimasi pemisahan dan penetapan kadar campuran parasetamol dan natrium fenobartial dengan metode kromatografi cair kinerja tinggi fase terbalik - USD Repository

0 0 127

Validasi penetapan kadar campuran parasetamol, propifenazon, dan kafein dengan metode kromatografi cair kinerja tinggi fase terbalik...[abstrak tidak bisa diupload] - USD Repository

0 3 130

Optimasi pemisahan campuran hidrokortison asetat dan kloramfenikol dalam krim merek X menggunakan metode kromatografi cair kinerja tinggi fase terbalik - USD Repository

0 0 146

Penetapan kadar asam ursolat dalam ekstrak daun binahong (Anredera cordifolia (Ten.) Steenis dengan metode kromatografi cair kinerja tinggi fase terbalik - USD Repository

0 1 78

Penetapan kadar aspartam dalam minuman serbuk beraoma merek ``X`` secara kromatografi cair kinerja tinggi fase terbalik - USD Repository

0 0 83