Analisis campuran parasetamol salisilamida dan kafein dalam tablet secara kromatografi cair kinerja tinggi [KCKT].

(1)

INTISARI

Saat ini banyak beredar obat analgesik antipiretik dengan bahan aktif yang digunakan adalah kombinasi dari beberapa zat aktif. Salah satu kombinasi yang ada di pasaran adalah kombinasi parasetamol, salisilamida, dan kafein. Penetapan ketiga zat aktif ini masih dilakukan dengan KLT densitometri yang mana ketiga zat aktif ini harus dipisahkan terlebih dahulu. Hal tersebut yang mendasari penelitian mengenai penetapan kadar ketiga zat aktif tersebut dalam tablet tanpa pemisahan masing-masing zat aktif tersebut. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah metode KCKT dapat digunakan dalam penetapan kadar parasetamol, salisilamida, dan kafein dalam tablet dan juga mengetahui apakah kadar ketiga zat aktif tersebut sesuai dengan yang tertera pada etiket.

Penelitian ini merupakan penelitian non eksperimental deskriptif, menggunakan metode Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) fase terbalik dengan kolom C18, fase gerak metanol:aquabidest:amonia (70:29:1), kecepatan alir 1,5 ml/menit, dan detektor UV pada panjang gelombang 270 nm.

Dari hasil penelitian ini didapatkan bahwa metode KCKT dapat digunakan untuk menetapkan kadar parasetamol, salisilamida, dan kafein dalam tablet. Kadar masing-masing senyawa dalam tablet sesuai dengan yang tertera pada etiket, yaitu untuk parasetamol, salisilamida, dan kafein berturut-turut adalah (194,3 ± 2,35) mg/tablet, (196,66 ± 3,24) mg/tablet, dan (51,15 ± 0,34) mg/tablet.

Kata kunci : parasetamol, salisilamida, kafein, KCKT fase terbalik


(2)

ABSTRACT

Nowadays, analgesic antipyretic medicine which uses the combination of some active substance as its substance revolves a lot. One of the combination that is exist in the market is the combination of paracetamol, salicylamide, and caffeine. The determination of the concentration of those three active substances is still be done with thin layer chromatography-densitometry in which these three active substances have to be separated first. It becomes the basic of this research. the aims of this research are to know whether HPLC method can be used in determining the concentration of paracetamol, salicylamide, and caffeine in tablet and to know whether the concentration of these three active substances suitable with the one which is stamped in the etiquette.

This research is descriptive non experimental research. This research uses reversed phase HPLC with C18 column, mobile phase of methanol : aquabidest : ammonia (70:29:1), flow rate 1,5 ml/min, and ultraviolet detector in 270 nm.

From the result of the research, it was found that HPLC method can be used to determine the concentration of paracetamol, salicylamide, and caffeine in tablet. The concentration of each compound in tablet should be suitable with the etiquette, that are (194,3 ± 2,35) mg/tablet for paracetamol, (196,66 ± 3,24) mg/tablet for salicylamide, and (51,15 ± 0,34) mg/tablet for caffeine.

Keywords : paracetamol, salicylamide, caffeine, reversed phase HPLC


(3)

ANALISIS CAMPURAN PARASETAMOL, SALISILAMIDA, DAN KAFEIN DALAM TABLET

SECARA KROMATOGRAFI CAIR KINERJA TINGGI (KCKT)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S. Farm.)

Program Studi Ilmu Farmasi

Oleh : Lanny Setyawati NIM : 038114043

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA


(4)

ANALISIS CAMPURAN PARASETAMOL, SALISILAMIDA, DAN KAFEIN DALAM TABLET

SECARA KROMATOGRAFI CAIR KINERJA TINGGI (KCKT)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S. Farm.)

Program Studi Ilmu Farmasi

Oleh : Lanny Setyawati NIM : 038114043

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

2007


(5)

Skripsi berjudul

ANALISIS CAMPURAN PARASETAMOL, SALISILAMIDA, DAN KAFEIN DALAM TABLET

SECARA KROMATOGRAFI CAIR KINERJA TINGGI (KCKT)

oleh : Lanny Setyawati NIM : 038114043

telah disetujui oleh :

Pembimbing

Christine Patramurti, M. Si., Apt. tanggal


(6)


(7)

Bagi Dialah, yang dapat

melakukan jauh lebih banyak

dar i pada yang kit a doakan at au

pikir kan, seper t i yang t er nyat a

dar i kuasa yang beker ja di

dalam kit a, bagi Dialah

kemuliaan di dalam jemaat dan

di dalam Kr ist us Yesus t ur un

t emur un sampai

selama-lamanya. A min. (Efesus 3 :

20-21)

Kupersembahkan karyaku ini kepada :

Papa dan mama yang selalu ada bersamaku dan

menyayangiku,

Koko yang selalu mendukungku,

Sahabat-sahabatku yang berbagi suka duka bersama

Serta almamaterku yang selalu kukenang


(8)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah Bapa di Surga, hanya karena berkat dan kasih-Nyalah maka skripsi ini dapat diselesaikan oleh penulis. Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi (S. Farm.) di Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Selama penyusunan skripsi ini, banyak pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikannya, maka pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Ibu Rita Suhadi, M. Si., Apt. selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

2. Ibu Christine Patramurti, M. Si., Apt. selaku pembimbing yang telah banyak meluangkan waktunya dalam memberikan arahan dan dorongan semangatnya selama penyusunan skripsi ini.

3. Drs. Sulasmono, Apt. dan Dra. M. M. Yetty Tjandrawati, M. Si. selaku dosen penguji yang telah memberikan kritik dan saran untuk skripsi ini.

4. Seluruh staf laboratorium kimia : Pak Mukmin, Pak Prapto, Mas Parlan, dan Mas Kunto yang telah membantu penulis selama penelitian di laboratorium. 5. Natalia, sahabat dari awal kuliah sampai saat ini, makasih atas dukungan,

semangat, kebersamaan, dan doanya.

6. Mellissa, Niken, Lee-a, dan Anita, makasih atas kebersamaan, doa dan waktu yang telah dijalani bersama selama ini.


(9)

7. Teman-teman kost ‘Dewi’ : Indah, Yohana, Nophie, Renny, Eunike, C’ Maria, C’ Meta, C’ Ricka, C’ Listy, Aning, Ratih, Selvi, Chika, serta teman kost yang lain, makasih untuk bantuan, kebersamaan, canda tawa, dan doanya.

8. Teman-teman persekutuan Magelang : Jo-john, C’ Dewi , DePe, Albert, C’ Ika, koh Paul, dll, makasih atas doa dan dukungannya.

9. Nanda, mbak Dinta dan C’ Yiyin, makasih atas diskusi dan bantuannya.

10.Teman-teman di kelas A angkatan 2003 khususnya kelompok praktikum B, makasih atas kebersamaannya selama ini.

11.Tiap orang yang pernah datang dan pergi dalam hidupku, yang memberi warna dalam hidupku dan menjadikanku sebagai pribadi seperti sekarang ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi yang disusun ini masih banyak memiliki kekurangan. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran untuk perbaikan dan perkembangan selanjutnya. Akhir kata, semoga skripsi ini berguna bagi kemajuan ilmu pengetahuan.

Penulis


(10)

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, Februari 2007 Penulis

Lanny Setyawati


(11)

INTISARI

Saat ini banyak beredar obat analgesik antipiretik dengan bahan aktif yang digunakan adalah kombinasi dari beberapa zat aktif. Salah satu kombinasi yang ada di pasaran adalah kombinasi parasetamol, salisilamida, dan kafein. Penetapan ketiga zat aktif ini masih dilakukan dengan KLT densitometri yang mana ketiga zat aktif ini harus dipisahkan terlebih dahulu. Hal tersebut yang mendasari penelitian mengenai penetapan kadar ketiga zat aktif tersebut dalam tablet tanpa pemisahan masing-masing zat aktif tersebut. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah metode KCKT dapat digunakan dalam penetapan kadar parasetamol, salisilamida, dan kafein dalam tablet dan juga mengetahui apakah kadar ketiga zat aktif tersebut sesuai dengan yang tertera pada etiket.

Penelitian ini merupakan penelitian non eksperimental deskriptif, menggunakan metode Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) fase terbalik dengan kolom C18, fase gerak metanol:aquabidest:amonia (70:29:1), kecepatan alir 1,5 ml/menit, dan detektor UV pada panjang gelombang 270 nm.

Dari hasil penelitian ini didapatkan bahwa metode KCKT dapat digunakan untuk menetapkan kadar parasetamol, salisilamida, dan kafein dalam tablet. Kadar masing-masing senyawa dalam tablet sesuai dengan yang tertera pada etiket, yaitu untuk parasetamol, salisilamida, dan kafein berturut-turut adalah (194,3 ± 2,35) mg/tablet, (196,66 ± 3,24) mg/tablet, dan (51,15 ± 0,34) mg/tablet. Kata kunci : parasetamol, salisilamida, kafein, KCKT fase terbalik


(12)

ABSTRACT

Nowadays, analgesic antipyretic medicine which uses the combination of some active substance as its substance revolves a lot. One of the combination that is exist in the market is the combination of paracetamol, salicylamide, and caffeine. The determination of the concentration of those three active substances is still be done with thin layer chromatography-densitometry in which these three active substances have to be separated first. It becomes the basic of this research. the aims of this research are to know whether HPLC method can be used in determining the concentration of paracetamol, salicylamide, and caffeine in tablet and to know whether the concentration of these three active substances suitable with the one which is stamped in the etiquette.

This research is descriptive non experimental research. This research uses reversed phase HPLC with C18 column, mobile phase of methanol : aquabidest : ammonia (70:29:1), flow rate 1,5 ml/min, and ultraviolet detector in 270 nm.

From the result of the research, it was found that HPLC method can be used to determine the concentration of paracetamol, salicylamide, and caffeine in tablet. The concentration of each compound in tablet should be suitable with the etiquette, that are (194,3 ± 2,35) mg/tablet for paracetamol, (196,66 ± 3,24) mg/tablet for salicylamide, and (51,15 ± 0,34) mg/tablet for caffeine.

Keywords : paracetamol, salicylamide, caffeine, reversed phase HPLC


(13)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL... ii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

HALAMAN PENGESAHAN... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

PRAKATA... vi

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... viii

INTISARI... ix

ABSTRACT... x

DAFTAR ISI... xi

DAFTAR TABEL... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xv

DAFTAR LAMPIRAN... xvii

BAB I. PENGANTAR ... 1

A. Latar Belakang ... 1

1. Permasalahan ... 2

2. Keaslian penelitian ... 3

3. Manfaat penelitian... 3

B. Tujuan Penelitian ... 4

BAB II. PENELAAHAN PUSTAKA... 5

A. Tablet ... 5

B. Parasetamol ... 6


(14)

C. Salisilamida ... 8

D. Kafein... 9

E. Spektrofotometri UV... 11

F. KCKT... 13

1. Definisi dan instrumentasi... 13

2. Pembagian jenis kromatografi ... 17

3. Kromatografi partisi ... 19

4. Pemisahan puncak dalam kromatografi ... 21

5. Analisis kualitatif dan kuantitatif ... 27

G. Keterangan Empiris... 28

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN ... 29

A. Jenis dan Rancangan Penelitian ... 29

B. Definisi Operasional ... 29

C. Bahan ... 29

D. Alat... 30

E. Tata Cara Penelitian ... 31

1. Pembuatan larutan baku parasetamol... 31

2. Pembuatan larutan baku salisilamida ... 31

3. Pembuatan larutan baku kafein ... 32

4. Pembuatan fase gerak... 32

5. Optimasi metode KCKT ... 32

6. Pembuatan larutan sampel... 33 7. Penetapan kadar parasetamol, salisilamida, dan kafein dalam


(15)

sampel ... 33

F. Analisis Hasil ... 34

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 35

A. Pemilihan dan Penyiapan Sampel ... 35

B. Penyiapan Fase Gerak ... 36

C. Pembuatan Larutan Baku ... 36

D. Optimasi Metode... 37

1. Penentuan panjang gelombang overlapping... 37

2. Pembuatan kurva baku parasetamol, salisilamida, dan kafein... 44

E. Analisis Kualitatif ... 50

F. Analisis Kuantitatif ... 51

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN... 53

A. Kesimpulan ... 53

B. Saran... 53

DAFTAR PUSTAKA ... 54

LAMPIRAN... 57

BIOGRAFI PENULIS ... 85


(16)

DAFTAR TABEL

Tabel I. Nilai indeks polaritas pelarut ... 16

Tabel II. Data kurva baku parasetamol ... 48

Tabel II. Data kurva baku salisilamida ... 49

Tabel III. Data kurva baku kafein ... 49

Tabel IV. Data waktu retensi (tR) masing-masing senyawa baku dan dalam sampel ... 51

Tabel V. Data kadar parasetamol, salisilamida, dan kafein dalam tablet .. 52


(17)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Struktur parasetamol ... 7

Gambar 2. Struktur salisilamida ... 8

Gambar 3. Struktur kafein ... 9

Gambar 4. Peralatan KCKT ... 14

Gambar 5. Mekanisme pemisahan kromatografi partisi ... 19

Gambar 6. Reaksi silanisasi ... 20

Gambar 7. Reaksi pembuatan kolom oktadesilsilan ... 20

Gambar 8. Pemisahan dua senyawa... 21

Gambar 9. Difusi eddy ... 24

Gambar 10. Transfer massa fase diam ... 25

Gambar 11. Transfer massa fase gerak ... 25

Gambar 12. Penentuan peak asymetry dan peak tailing factors... 26

Gambar 13. Distribusi analit dalam fase gerak dan fase diam... 26

Gambar 14. Gugus kromofor dan auksokrom parasetamol ... 38

Gambar 15. Gugus kromofor dan auksokrom salisilamida ... 39

Gambar 16. Gugus kromofor kafein ... 39

Gambar 17. Spektrum serapan parasetamol... 40

Gambar 18. Spektrum serapan salisilamida... 41

Gambar 19. Spektrum serapan kafein ... 42

Gambar 20. Gabungan spektrum serapan parasetamol, salisilamida, dan kafein... 43


(18)

Gambar 21. Kromatogram campuran baku parasetamol, salisilamida, dan

kafein ... 45

Gambar 22. Gugus non polar pada parasetamol, salisilamida, dan kafein ... 46

Gambar 23. Reaksi penggaraman parasetamol dengan adanya amonia ... 47

Gambar 24. Reaksi penggaraman salisilamida dengan adanya amonia... 47

Gambar 25. Kromatogram parasetamol, salisilamida, dan kafein dalam tablet ... 50


(19)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Sertifikat analisis parasetamol... 58

Lampiran 2. Sertifikat analisis salisilamida... 59

Lampiran 3. Sertifikat analisis kafein... 60

Lampiran 4. Data penimbangan bahan ... 61

Lampiran 5. Kromatogram baku parasetamol ... 62

Lampiran 6. Kromatogram baku salisilamida ... 67

Lampiran 7. Kromatogram baku kafein... 72

Lampiran 8. Kromatogram parasetamol, salisilamida, dan kafein dalam sampel ... 77

Lampiran 9. Contoh perhitungan kadar larutan baku parasetamol... 78

Lampiran 10. Contoh perhitungan kadar larutan baku salisilamida ... 79

Lampiran 11. Contoh perhitungan kadar larutan baku kafein ... 80

Lampiran 12. Contoh perhitungan kadar parasetamol, salisilamida, dan kafein dalam sampel ... 81

Lampiran 13. Perhitungan CV parasetamol, salisilamida, dan kafein dalam sampel ... 84


(20)

BAB I PENGANTAR

A. Latar Belakang

Saat ini, sediaan obat analgesik yang banyak beredar merupakan bentuk sediaan obat dengan kombinasi beberapa zat aktif. Kombinasi ini ditujukan untuk memperoleh efek terapetik yang lebih baik. Salah satu kombinasi yang digunakan adalah parasetamol, salisilamida, dan kafein. Kombinasi ini berkhasiat sebagai analgesik antipiretik dalam obat seperti tablet Anaflu, tablet Anarin, tablet Cold, tablet Corexin, dan tablet Refagan. Pada penelitian ini digunakan produk obat dengan perbandingan parasetamol : salisilamida : kafein adalah 4 : 4 : 1.

Dalam sediaan obat yang mengandung parasetamol, salisilamida, dan kafein diperlukan suatu metode yang dapat diacu dan digunakan untuk penetapan kadar ketiga senyawa tersebut. Suatu metode analisis yang tepat menjadi sangat penting karena sebagai alat untuk mengontrol suatu sediaan obat memenuhi persyaratan atau tidak yang dalam hal ini adalah jumlah zat aktif yang sesuai dengan yang tertera pada etiket. Penetapan kadar ketiga zat aktif tersebut dalam tablet masih dilakukan dengan metode KLT densitometri (Anonim, 1998). Dengan metode ini masih perlu dilakukan pemisahan senyawa untuk dapat ditetapkan kadar bahan aktifnya. Hal inilah yang mendasari penulis untuk mencoba menggunakan metode lain dalam penetapan kadar ketiga zat aktif tersebut dalam tablet. Selain itu, belum adanya metode resmi yang dapat diacu


(21)

untuk penetapan kadar ketiga zat aktif tersebut dalam tablet secara simultan juga merupakan masalah yang harus dipikirkan.

Pada penetapan kadar parasetamol, salisilamida, dan kafein dalam tablet ini digunakan metode KCKT (Kromatografi Cair Kinerja Tinggi). Pemilihan metode KCKT karena metode KCKT merupakan metode analisis kualitatif dan kuantitatif yang dapat digunakan untuk analisis senyawa multikomponen dalam sampel yang berupa campuran (Johnson dan Stevenson, 1978).

Pada penelitian ini, penulis mengacu dari penelitian yang telah dilakukan oleh Sugianto (2007) mengenai optimasi pemisahan campuran parasetamol, salisilamida, dan kafein dengan metode KCKT. Pada penelitian tersebut telah didapatkan bahwa metode KCKT yang digunakan telah teruji memiliki validitas yang baik dalam penetapan kadar campuran parasetamol, salisilamida, dan kafein. Hal itu yang mendasari penulis untuk melakukan penelitian mengenai penetapan kadar parasetamol, salisilamida, dan kafein dalam produk obat yang dalam hal ini adalah tablet.

1. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang yang ada, dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :

a. apakah metode KCKT dapat digunakan untuk menetapkan kadar parasetamol, salisilamida, dan kafein dalam tablet ?

b. apakah kadar parasetamol, salisilamida, dan kafein dalam tablet sesuai dengan yang tertera pada etiket ?


(22)

2. Keaslian penelitian

Metode Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) fase terbalik telah banyak dilakukan untuk menetapkan kadar dalam campuran obat. Penelitian mengenai campuran parasetamol, salisilamida, dan kafein telah dilakukan dengan metode spektrofotometri derivativ baik menggunakan aplikasi metode peak to peak (Friamata, 2006) maupun zero-crossing (Wulandari, 2006). Namun metode HPLC belum pernah dilakukan untuk penetapan kadar parasetamol, salisilamida, dan kafein dalam tablet. Penelitian ini mengacu pada penelitian dari Sugianto (2007) mengenai optimasi pemisahan campuran parasetamol, salisilamida, dan kafein dengan metode KCKT.

3. Manfaat penelitian

Penelitian ini dapat bermanfaat sebagai berikut :

a. manfaat praktis. Penelitian ini diharapkan dapat mengetahui apakah kadar parasetamol, salisilamida, dan kafein dalam tablet sesuai dengan yang tertera pada etiket.

b. manfaat metodologis. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan prosedur pengggunaan metode KCKT dalam penetapan kadar parasetamol, salisilamida, dan kafein dalam tablet.


(23)

B. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan permasalahan yang ada, maka penelitian ini bertujuan untuk :

1.mengetahui apakah metode KCKT dapat digunakan untuk menetapkan kadar parasetamol, salisilamida, dan kafein dalam tablet.

2.mengetahui apakah kadar parasetamol, salisilamida, dan kafein dalam tablet sesuai dengan yang tertera pada etiket.


(24)

BAB II

PENELAAHAN PUSTAKA

A. Tablet

Dalam Farmakope Indonesia (1995) menyebutkan definisi dari tablet adalah suatu sediaan padat mengandung bahan obat dengan atau tanpa bahan pengisi. Tablet adalah sediaan obat padat takaran tunggal yang dicetak dari serbuk kering, kristal, atau granulat, yang umumnya dengan penambahan bahan pembantu yang pembuatannya menggunakan mesin yang sesuai dengan tekanan yang tinggi. Tablet merupakan bentuk sediaan yang banyak digunakan saat ini. Keuntungan dari bentuk tablet antara lain adalah relatif murah dan relatif mudah digunakan pada masyarakat (Voigt, 1984).

Tablet dapat berbeda-beda dalam ukuran, bentuk, berat, kekerasan, ketebalan, daya hancurnya, dan dalam aspek lainnya tergantung pada cara pemakaian tablet dan metode pembuatannya. Kebanyakan tablet digunakan pada pemberian obat secara oral, dan kebanyakan dari tablet ini dibuat dengan penambahan zat warna, zat pemberi rasa, dan lapisan-lapisan dalam berbagai jenis. Tablet lain yang penggunaannya dengan cara sublingual, bukal, atau melalui vaginal, tidak boleh mengandung bahan tambahan seperti pada tablet yang digunakan secara oral (Ansel, 1985).

Kualitas tablet dapat dipantau dari evaluasi sifat fisik tablet (Aulton dan Summer, 1994), meliputi :


(25)

1. Keseragaman kandungan. Salah satu syarat sediaan obat adalah harus memiliki sifat kandungan yang konstan dalam tiap takarannya. Sediaan farmasi berbentuk tablet harus memenuhi uji keragaman bobot untuk menggambarkan keseragaman kandungan zat aktif yang terkandung di dalam tiap tabletnya (Aulton dan Summer, 1994). Namun keragaman bobot tidak dapat menggambarkan keseragaman dosis jika sediaan obat tersebut mengandung bahan aktif dengan jumlah kurang dari 50% dari berat tablet atau sediaan obat yang mengandung bahan aktif kurang dari 50 mg (Anonim, 2005).

2. Disintegrasi atau waktu hancur. Tablet dinyatakan hancur jika mereka terlarut atau hancur menjadi partikel dalam suatu medium penguji yaitu air bersuhu tertentu (misal 37°C) (Voigt, 1984).

3. Kekerasan. Dikehendaki tablet yang cukup keras agar tablet tidak pecah saat pengemasan dan distribusi. Namun tidak terlalu keras agar tablet dapat hancur dan menimbulkan efek.

4. Kerapuhan. Benturan-benturan pada proses pengemasan dan pengangkutan

tidak cukup kuat untuk memecahkan tablet, tetapi dapat menghilangkan beberapa partikel obat dari permukaan tablet (Aulton dan Summer, 1994).

B. Parasetamol

Parasetamol yang memiliki nama lain asetaminofen atau

4’-hidroksiasetanilida memiliki bobot molekul sebesar 151,16 (Anonim, 1995). Rumus bangun parasetamol dapat dilihat pada gambar 1.


(26)

HN

OH C O

CH3

Gambar 1. Struktur Parasetamol (Anonim, 1995)

Parasetamol mengandung tidak kurang dari 98,0% dan tidak lebih dari 101,0% C8H9NO2, dihitung terhadap zat anhidrat. Parasetamol merupakan serbuk

hablur berwarna putih, tidak berbau, dan berasa sedikit pahit (Anonim, 1995). Parasetamol mempunyai titik lebur antara 169°C dan 172°C. Satu bagian parasetamol larut dalam 70 bagian air, 20 bagian air panas, 7 bagian etanol, dan 50 bagian kloroform. Parasetamol tidak larut dalam eter (Clarke, 1969).

Parasetamol memiliki serapan maksimum pada daerah ultraviolet. Parasetamol memiliki serapan maksimum pada panjang gelombang 250 nm

( = 900) dalam etanol dan pada panjang gelombang 255 nm ( = 710)

dalam larutan NaOH 0,1 N (Auterhoff, 1981). Dalam metanol, parasetamol

memiliki serapan maksimum pada panjang gelombang 249 nm ( = 900)

(Clarke, 1969). atau serapan jenis adalah serapan dari larutan 1% zat terlarut dalam sel dengan ketebalan 1 cm (Anonim, 1995).

% 1 1cm

A A11cm%

% 1 1cm A % 1 1cm A

Parasetamol merupakan metabolit fenasetin dengan efek antipiretik yang telah digunakan sejak tahun 1893. Efek antipiretik ditimbulkan oleh gugus aminobenzen. Parasetamol juga digunakan sebagai analgesik. Namun penggunaan parasetamol untuk meredakan demam (antipiretik) tidak seluas


(27)

penggunaannya sebagai analgesik. Efek analgesik dari parasetamol yaitu meredakan rasa nyeri ringan hingga sedang (Wilmana, 1995). Dosis oral untuk nyeri dan demam 2-3 kali sehari 0,5-1 g, maksimum 4g/hari (Tjay dan Rahardja, 2002).

Tablet parasetamol mengandung parasetamol, C8H9NO2, tidak kurang

dari 90,0% dan tidak lebih dari 110,0% dari jumlah yang tertera pada etiket (Anonim, 1995).

C. Salisilamida

Salisilamida atau 2-hidroksi benzamida memiliki bobot molekul 137,14 (Anonim, 1995). Rumus bangun salisilamida dapat dilihat pada gambar 2.

C

OH O

NH2

Gambar 2. Struktur Salisilamida (Anonim, 1995)

Salisilamida merupakan serbuk hablur berwarna putih, dan praktis tidak berbau. Salisilamida mengandung tidak kurang dari 98,0% dan tidak lebih dari 102,0% C7H7NO2, dihitung terhadap zat anhidrat (Anonim, 1995).

Salisilamida memiliki titik lebur pada suhu antara 139°C dan 142°C. Satu bagian salisilamida larut dalam 500 bagian air, lebih larut dalam air panas, 15 bagian etanol, 35 bagian eter, dan 100 bagian kloroform (Clarke, 1969).

Salisilamida dalam etanol memiliki serapan maksimum pada panjang gelombang 235 nm (A11cm% = 543) dan 302 nm (A11cm% = 295). Sedangkan dalam


(28)

larutan NaOH 0,1N, salisilamida memiliki serapan maksimum pada panjang

gelombang 242 nm ( 1% =536) dan 328 nm ( = 435) (Clarke, 1969).

1cm

A 1%

1cm

A

Salisilamida adalah amida asam salisilat yang memperlihatkan efek analgesik antipiretik mirip asetosal. Efek analgesik antipiretik salisilamida lebih lemah dari salisilat, karena salisilamida dalam mukosa usus mengalami metabolisme lintas pertama sehingga hanya sebagian kecil saja yang masuk dalam sirkulasi sebagai zat aktif. Salisilamida dapat menghambat glukuronidasi obat analgesik lain di hati seperti Na salisilat dan parasetamol, sehingga pemberian bersamaan dapat meningkatkan efek terapi dan toksisitas obat (Wilmana, 1995). Dosis yang digunakan adalah 3-4 kali sehari 0,5-1 g (Tjay dan Rahardja, 2002).

Tablet salisilamida mengandung salisilamida, C7H7NO2, tidak kurang

dari 90,0% dan tidak lebih dari 110,0% dari jumlah yang tertera pada etiket (Anonim, 2005).

D. Kafein

Kafein atau 1,3,7-trimetil xantin berbentuk anhidrat dengan bobot

molekul 194,19 atau hidrat dengan mengandung 1 molekul air dengan bobot molekul 212,21 (Anonim, 1995). Rumus bangun kafein dapat dilihat pada gambar 3.

N

N N

N O

O H3C

CH3

CH3


(29)

Kafein mengandung tidak kurang dari 98,5% dan tidak lebih dari 101,0% C8H10N4O2, dihitung terhadap zat anhidrat. Kafein merupakan serbuk putih atau

bentuk jarum mengkilat putih yang biasanya menggumpal, tidak berbau, dan berasa pahit (Anonim, 1995).

Kafein memiliki titik lebur antara 235°C dan 237°C. Satu bagian kafein larut dalam 60 bagian air, 2 bagian air panas, 130 bagian etanol, dan 7 bagian kloroform. Kafein larut dalam eter dan lebih larut dalam larutan asam (Clarke, 1969).

Kafein dalam etanol memiliki serapan maksimum pada panjang

gelombang 273 nm( = 519) dan dalam larutan NaOH 0,1N memiliki serapan

maksimum pada panjang gelombang 272 nm ( = 470) (Clarke, 1969).

% 1 1cm

A

% 1 1cm

A

Kafein merupakan golongan xantin yang menyebabkan relaksasi otot polos, terutama otot polos bronkus, merangsang sistem saraf pusat (SSP), otot jantung, dan meningkatkan diuresis (Wilmana, 1995). Parasetamol ataupun asetosal dikombinasikan dengan kafein untuk memperkuat daya analgesiknya (Anonim, 2000). Dosis yang digunakan pada rasa letih 1-3 kali sehari 100-200 mg, sebagai adjuvans bersama analgetika 50 mg 1 kali (Tjay dan Rahardja, 2002).

Tablet kafein mengandung kafein, C8H10N4O2, tidak kurang dari 90,0%


(30)

E. Spektrofotometri UV

Spektroskopi adalah salah satu teknik analisis fisiko-kimia yang mengamati tentang interaksi atom atau molekul dengan radiasi elektromagnetik (REM). Spektrofotometri ultraviolet adalah salah satu teknik analisis spektroskopi yang memakai sumber radiasi elektromagnetik ultraviolet dekat (190-380 nm) dengan memakai instrument spektrofotometer (Mulja dan Suharman, 1995).

Apabila suatu molekul dikenai radiasi elektromagnetik maka akan terjadi eksitasi ke tingkat energi yang lebih tinggi yang dikenal sebagai orbital elektron

antibonding. Ada empat tipe transisi elektronik yang mungkin terjadi yaitu

σÆσ*, nÆσ*, nÆπ*, dan πÆπ*. Eksitasi elektron (σÆσ*) memberikan energi

yang terbesar dan terjadi pada daerah ultraviolet jauh yang diberikan oleh ikatan tunggal, misalnya alkana. Eksitasi elektron (πÆπ*) diberikan oleh ikatan rangkap dua dan tiga, juga terjadi pada daerah ultraviolet jauh. Eksitasi elektron (nÆσ*) terjadi pada gugus karbonil (dimetil keton dan asetaldehid) yang terjadi pada daerah ultraviolet jauh (Mulja dan Suharman, 1995).

Suatu molekul dapat menyerap radiasi elektromagnetik jika memiliki kromofor, yaitu gugus penyerap dalam molekul. Molekul yang mengandung kromofor disebut kromogen. Pada senyawa organik dikenal pula gugus auksokrom, yaitu gugus yang tidak menyerap radiasi namun bila terikat bersama kromofor dapat meningkatkan penyerapan oleh kromofor atau mengubah panjang gelombang serapan maksimum (Christian, 2004).

Spektrofotometer ultraviolet melibatkan energi elektronik yang cukup besar pada molekul yang dianalisis, sehingga spektofotometer ultraviolet lebih


(31)

banyak untuk analisis kuantitatif dibandingkan kualitatif. Analisis kuantitatif selalu melibatkan pembacaan absorban radiasi elektromagnetik oleh molekul, atau radiasi elektromagnetik yang diteruskan, yang disebut absorban (A) tanpa satuan dan transmitan dengan satuan persen (%T). Bouger, Lambert, dan Beer membuat formula secara matematik hubungan antara transmitan atau absorban terhadap intensitas radiasi atau konsentrasi zat yang dianalisis dan tebal larutan yang mengabsorpsi sebagai :

b c t

I

I

T

. .

0

10

−ε

=

=

(1)

b

c

T

A

=

log

1

=

ε

.

.

(2)

Dimana T = persen transmitan

I0 = intensitas radiasi yang datang

It = intensitas radiasi yang diteruskan ε = daya serap molar (Lt.mol-1.cm-1)

c = konsentrasi (mol. Lt-1) b = tebal larutan (cm) A = serapan / absorbansi


(32)

F. KCKT 1. Definisi dan instrumentasi

Kromatografi adalah prosedur pemisahan senyawa campuran berdasarkan perbedaan kecepatan migrasi, karena adanya perbedaan koefisien distribusi masing-masing senyawa di antara dua fase yang saling bersinggungan dan tidak saling campur, yang disebut sebagai fase gerak (mobile phase) yang berupa zat cair atau zat gas, dan fase diam (stationary phase) yang berupa zat cair atau zat padat (Noegrohati, 1994). Kromatografi pertama kali ditemukan oleh TSWETT pada 1903. TSWETT telah menggunakan kromatografi untuk pemisahan senyawa yang berwarna sehingga metode tersebut dinamai

kromatografi (kroma yang berarti berwarna). Namun pembatasan untuk senyawa

berwarna tidak berlangsung lama dan hampir kebanyakan pemisahan secara kromatografi saat ini digunakan pada senyawa yang tidak berwarna (Sastrohamidjojo, 2002).

Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) merupakan salah satu metode kromatografi cair yang fase geraknya dialirkan secara cepat dengan bantuan tekanan, dan hasilnya dideteksi dengan instrument (Willard, Merritt, Dean, dan

Settle, 1988). Pada mulanya teknik kromatografi ini disebut dengan High

Pressure Liquid Chromatography karena pada instrument ini terdapat sistem pompa tekanan tinggi yang mampu mengalirkan fase gerak pada tekanan tinggi sampai 300 atmosfer dan tekanan pada bagian atas kolom kurang dari 70 atmosfer (Anonim, 1995). Pada akhir tahun 1970, perkembangan instrument ini dapat


(33)

baik sehingga sistem ini lebih dikenal dengan Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (Kromidas, 2000).

KCKT merupakan teknik analisis yang paling sering digunakan dalam analisis farmasi untuk pemisahan, identifikasi, dan determinasi dalam campuran yang kompleks (Skoog, Holler, dan Nieman, 1998). Peralatan KCKT dapat dilihat pada gambar 4.

Gambar 4. Peralatan KCKT (Kazakevich dan Nair,1996)

Ada tiga variabel utama pada sistem KCKT yang harus diperhatikan, yaitu :

a. Fase gerak

Kemampuan KCKT untuk memisahkan banyak senyawa terutama tergantung pada keanekaragaman fase gerak. Fase gerak pada KCKT sangat berpengaruh pada tambatan dan pemisahan senyawa (Munson, 1984). Fase gerak untuk analisis secara KCKT harus bersifat murni, tanpa cemaran, tidak bereaksi dengan kemasan, dapat melarutkan cuplikan (solut), viskositas rendah, memungkinkan memperoleh kembali cuplikan dengan mudah (jika diperlukan), dan harganya wajar (Johnson dan Stevenson, 1978). Fase gerak KCKT harus bebas dari gas terlarut karena dapat mempengaruhi respon


(34)

detektor, sehingga menghasilkan sinyal palsu, dan mempengaruhi kolom (Gritter, Bobbit, dan Schwarting, 1985).

Kepolaran pelarut merupakan ukuran kekuatan pelarut untuk mengelusi suatu senyawa. Kandungan utama fase gerak pada kromatografi fase terbalik adalah air. Kecenderungan air untuk melarutkan sampel dapat diubah dengan menambahkan garam untuk menimbulkan pengaruh penggaraman, asam, basa, dapar untuk melarutkan atau mengendapkan asam atau basa, pereaksi pengompleks untuk menimbulkan jenis pengaruh pelarutan yang khas untuk gugus fungsi tertentu atau golongan senyawa tertentu, atau pelarut organik yang dapat bercampur dengan air. Pemodifikasi organik yang banyak digunakan adalah metanol, asetonitril, dan tetrahidrofuran (Gritter et al., 1985; Munson, 1984).

Kepolaran pelarut dinyatakan dalam bentuk P’ (indeks polaritas). Besarnya polaritas campuran pelarut dapat dihitung dengan persamaan berikut:

Pcamp =

= Ф

=

n

i

P

1

'

φ 1P1’ + Ф2P2’ …+ ФnPn’ (3)

dengan Ф adalah fraksi pelarut dalam campuran dan n adalah jenis pelarut yang digunakan (Skoog et al., 1998).

Berikut ini ditampilkan beberapa nilai indeks polaritas dari beberapa pelarut yang sering digunakan :


(35)

Tabel 1. Nilai indeks polaritas pelarut Eluotropic Values

Solvent Index

Polarity

Alumina C18 Silica

UV Cut off (nm)

Hexane 0,1 0,01 - 0,00 195

Cyclohexane 0,2 0,04 - - 200

Toluene 2,4 0,29 - 0,22 284

Tetrahydrofuram 4,0 0,45 3,7 0,53 212

Ethyl acetate 4,4 0,58 - 0,48 256

Acetone 5,1 0,56 8,8 0,53 330

Methanol 5,1 0,95 1,0 0,7 205

Acetonitrile 5,8 0,65 3,1 0,52 190

Dimethylformamide 6,4 - 7,6 - 268

Dimethylsulfoxide 7,2 0,62 - - 268

Water 10,2 - - - 190

(Snyder, Kirkland, dan Glajch, 1997)

Tabel di atas menunjukkan bahwa semakin besar eluotropic values

dari pelarut menunjukkan semakin mudah untuk mengelusi sampel. Semakin besar indeks polaritas yang dimiliki oleh pelarut maka semakin bersifat polar pelarut yan digunakan (Snyder et al., 1997).

b. Fase diam

Kolom merupakan bagian yang sangat penting dalam pemisahan komponen-komponen sampel. Keberhasilan pemisahan komponen sampel bergantung pada keadaan kolom (Mulja dan Suharman, 1995). Kolom dapat dibagi menjadi dua kelompok berdasarkan diameternya, yaitu :

1) Kolom analitik, memiliki diameter pada bagian dalam 2-6 mm. Panjang


(36)

biasanya 50-100 cm dan untuk kemasan mikropartikel berpori biasanya 10-30 cm.

2) Kolom preparatif, dengan diameter 6 mm atau lebih dan panjang kolom

25-100 cm (Johnson dan Stevenson, 1978). c. Detektor

Detektor yang baik hendaknya memiliki kepekaan tinggi, rentang respon liniernya lebar, tidak dipengaruhi perubahan suhu dan aliran, memberikan hasil dengan keterulangan yang baik, dan tidak banyak derau. Secara umum, detektor dibagi menjadi 2 kategori, yaitu :

1) Bulk property detectors, merupakan detektor yang mengukur perubahan sifat fisik fase gerak dan solut. Detektor tipe ini cenderung relatif tidak sensitif dan menghendaki temperatur yang terkendali. Contoh detektor jenis ini yaitu detektor indeks bias.

2) Solute property detectors, merupakan detektor yang hanya mengukur sifat fisik solut. Detektor tipe ini 1000 kali lebih sensitif dan mampu mengukur solut sampai satuan nanogram atau lebih kecil lagi. Contoh detektor jenis ini yaitu detektor fluoresensi, detektor penyerapan (UV-Vis), dan detektor elektrokimia (Munson, 1984; Willard et al., 1988).

2. Pembagian jenis kromatografi


(37)

a. Kromatografi cair-cair atau kromatografi partisi

Pada kromatografi partisi, fase diam dapat polar atau non polar. Bila fase diam polar dan fase gerak nonpolar disebut kromatografi partisi fase normal, sedangkan bila fase diam nonpolar dan fase gerak polar dinamakan kromatografi partisi fase terbalik (Munson, 1984).

b. Kromatografi adsorpsi

Kromatografi ini menggunakan fase diam padat dan fase gerak cair atau gas. Solut dapat diadsorpsi pada permukaan partikel padat (Harris, 1999). c. Kromatografi pertukaran ion

Anion atau kation diikatkan secara kovalen pada fase diam padat, biasanya resin. Ion-ion solut muatan berlawanan menyerang fase diam dengan kekuatan elektrostatik. Fase geraknya cair (Harris, 1999).

d. Kromatografi eksklusi

Pada kromatografi ini tidak ada interaksi tarik menarik antara fase diam dan solut. Fase gerak cair atau gas melalui gel berpori. Ukuran pori cukup kecil untuk mengeluarkan molekul solut yang besar. Molekul solut yang kecil akan masuk ke dalam pori gel, sedangkan molekul yang besar akan mengalir tanpa memasuki pori gel (Harris, 1999).

e. Kromatografi afinitas

Digunakan untuk interaksi spesifik antara satu jenis molekul solut dan sebuah molekul yang lain yang secara kovalen terikat pada fase diam. Misalnya untuk pemisahan komponen protein (Harris, 1999).


(38)

3. Kromatografi partisi

Pada salah satu dari dua fase kromatografi partisi, yaitu fase gerak dan fase diam harus lebih polar dibanding yang lain. Bila fase diam lebih polar, disebut kromatografi partisi fase normal. Bila sebaliknya dinamakan kromatografi partisi fase terbalik. Mekanisme pemisahan pada kromatografi partisi dapat digambarkan sebagai berikut :

Gambar 5. Mekanisme pemisahan kromatografi partisi (Munson, 1984)

Prinsip kromatografi partisi didasarkan pada partisi solut di antara dua fase yang tidak saling campur, karena adanya perbedaan koefisien distribusi dari masing-masing senyawa. Jika solut ditambahkan ke dalam sistem yang terdiri dari dua pelarut tidak saling campur dan keseluruhan sistem dibiarkan setimbang, maka solut akan tersebar di antara kedua fase menurut persamaan :

K =

m s

C C

(4)

K adalah koefisien distribusi, Cs adalah konsentrasi solut dalam fase diam, dan Cm adalah konsentrasi solut dalam fase gerak (Johnson dan Stevenson, 1978).

Kolom yang biasa digunakan pada kromatografi partisi fase terbalik adalah kolom dengan kemasan fase terikat yang memiliki sifat stabil karena fase


(39)

diamnya terikat secara kimia pada penyangga, sehingga tidak mudah terbawa oleh fase gerak. Penyangga pada kemasan fase terikat biasanya terbuat dari silika yang sudah diseragamkan, berpori, dan umumnya partikel mempunyai diameter 3,5 atau 10 μm (Skoog et al., 1998).

KCKT partisi fase terbalik biasanya mengandung bagian organik yang terikat secara kimia dengan gugus silanol pada permukaan silika. Bagian organik tersebut umumnya hidrokarbon rantai panjang, sehingga fase gerak umumnya polar. Gugus silanol permukaan dapat direaksikan dengan berbagai cara untuk menempelkan berbagai jenis gugus organik. Kemasan fase terikat dengan tipe ikatan siloksan (Si-O-Si-O) dibuat dengan mereaksikan organoklorosilan dengan gugus silanol pada permukaan silika gel yang terhidrolisis sebagai berikut :

Si OH + Cl Si(CH3)2R Si O Si(CH3)2R + HCl

Gambar 6. Reaksi silanisasi

Reaksi tersebut digunakan untuk membuat isian kolom oktadesilsilan (ODS) dari gugus silanol dan oktadesilklorosilan sebagai berikut :

Si OH Cl Si CH3

(CH2)17CH3

CH3

Si O Si (CH2)17CH3 + HCl +

Gambar 7. Reaksi pembuatan kolom oktadesilsilan

Pada kromatografi partisis fase terbalik dengan kemasan fase terikat, R pada siloksan biasanya berupa gugus C18 atau C8. Panjang pendeknya rantai karbon


(40)

4. Pemisahan puncak dalam kromatografi

Keberhasilan atau kegagalan analisis tergantung pada pemilihan kolom dan kondisi kerja yang tepat. Ukuran kinerja dari kolom dapat dilihat dari kemampuan kolom dalam memisahkan senyawa. Kolom yang efisien mencegah pelebaran puncak atau menghasilkan puncak yang sangat sempit. (Johnson dan Stevenson, 1978).

Faktor resolusi adalah ukuran pemisahan dari 2 puncak. Daya pisah, R, dapat diukur dengan persamaan :

2 1 2 1 1 2 2 ) )( 2 / 1 ( ) ( w w t w w t t

R R R

+ Δ = + −

= (5)

Harga tR2 dan tR1 adalah waktu retensi senyawa, diukur pada titik maksimum

puncak dan Δt adalah selisih antara tR2 dan tR1. Harga w2 dan w1 ialah lebar alas

puncak. Pemisahan dua senyawa dapat digambarkan sebagai berikut :

Gambar 8. Pemisahan dua senyawa (Johnson dan Stevenson, 1978)

Harga R > 1,5 disebut baseline resolution, yaitu pemisahan sempurna dari dua puncak dengan ukuran yang sama. Dalam prakteknya, pemisahan dengan harga R = 1,0 (kedua puncak berhimpit lebih kurang 2%) dianggap memadai (Pescok et al., 1976).


(41)

Pemisahan dari puncak-puncak dalam kromatografi erat hubungannya dengan efisiensi kolom. Pada efisiensi kolom terdapat dua teori yang menjelaskan mengenai pemisahan puncak pada kromatografi, yaitu :

a. Teori lempeng

Dalam teori lempeng dinyatakan bahwa kolom kromatografi digambarkan sebagai suatu seri lapisan tipis horizontal yang disebut lempeng teoritis. Setiap molekul analit akan mengalami keseimbangan antara fase diam dan fase gerak. Pemisahan akan lebih baik jika terjadi keseimbangan berkali-kali dalam jumlah yang tinggi. Hal ini terjadi jika jumlah lempeng teoritis juga tinggi. Oleh karena itu jumlah teoritis dapat digunakan sebagai ukuran efisiensi kolom (Noegrohati, 1994). Hubungan antara waktu retensi (tR), lebar

alas peak (W), dan jumlah lempeng teoritik (N) dapat dinyatakan dengan

persamaan (Johnson dan Stevenson, 1978; Munson, 1984):

2 2 54 , 5 16 ⎟⎟ ⎠ ⎞ ⎜⎜ ⎝ ⎛ = ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ = h R R w t w t

N (6)

Bilangan lempeng teoritik (N) berbanding lurus dengan panjang kolom (L). Karena panjang kolom yang bermacam-macam, maka diperlukan ukuran keefisienan kolom yang tidak tergantung pada panjang kolom. HETP

(Height Equivalent to a Theoritical Plate) atau H merupakan ukuran

keefesienan kolom yang lebih disukai karena memungkinkan perbandingan antara kolom yang panjangnya berlainan, yang dapat diukur dengan persamaan (Munson, 1984):

H = HETP =

N L


(42)

b. Teori laju

Teori lempeng hanya menggambarkan laju migrasi secara kuantitatif, tetapi tidak dapat menggambarkan pengaruh variable-variabel lain yang menyebabkan terjadinya pelebaran peak, oleh karena itu perlu diketahui teori laju. Pada waktu migrasi, solut mengalami transfer antara fase diam dan fase gerak berkali-kali. Karena solut hanya dapat bergerak jika berada dalam fase gerak, migrasi di dalam kolom juga tidak teratur, dan mengakibatkan laju rata-rata solut relatif terhadap fase gerak juga sangat bervariasi, sehingga terjadi pelebaran peak solut (Noegrohati, 1994).

Menurut teori laju ini, efisiensi kolom dinyatakan dengan persamaan Van Deemter yang dapat dinyatakan sebagai berikut (Willard et al., 1988):

μ μ

μ Cstasionary. Cmobile.

B A

H = + + + atau, (8)

μ π μ γ λ Dcairan k df k D dp

H 2 2

2 ) ' 1 ( ' 8 2 2 + + +

= (9)

Dimana λ = tetapan ukuran ketidakteraturan kemasan

dp = diameter rata-rata partikel penyangga D = kedifusian linarut dalam fase gerak k’ = faktor kapasitas

μ = kecepatan alir

γ = faktor koreksi kelikuan saluran dalam kolom

Dari persamaan diatas dapat dilihat terdapat tiga varibel yang mempengaruhi efisiensi kolom, yaitu:


(43)

1) Difusi Eddy , yang dinyatakan sebagai A (2λdp). Difusi Eddy menggambarkan ketidakhomogenannya kecepatan alir dan panjang lintasan di sekitar partikel yang terpack-ing (Gambar 8). Lintasan alir yang

tidak sama pasti ditemukan dalam setiap kolom terpack-ing. Suatu

molekul solut dapat melewati kolom dekat dinding kolom di mana kerapatan kolom rendah dengan cepat mencapai akhir kolom, khususnya pada kolom dengan diameter kecil. Sedangkan suatu molekul solut yang melewati bagian tengah kolom, akan mencapai akhir kolom lebih lambat. Hal ini menyebabkan perbedaan laju tiap molekul melalui kolom berbeda-beda. Untuk meminimalkan difusi Eddy ini, maka diameter rata-rata partikel dalam kolom harus sekecil mungkin dan seseragam mungkin.

Gambar 9. Difusi Eddy (Willard et al., 1988)

2) Difusi longitudinal. Nilai B (2γD/μ) menyatakan efek dari difusi

longitudinal, pergerakan acak dari molekul dalam fase gerak. Pengaruh dari difusi longitudinal terhadap ketinggian lempeng menjadi signifikan hanya pada kecepatan fase gerak yang rendah/lambat. Kecepatan difusi dari solut yang tinggi pada fase gerak dapat menyebabkan molekul solut terdispers secara aksial sementara dengan lambat bermigrasi melalui kolom.


(44)

3) Transfer massa. Transfer massa dinyatakan dengan nilai Cstasionery dan

Cmobile. Cstationary merupakan hasil dari ditahannya solut karena adanya fase

diam. Suatu molekul bergerak lambat dalam fase diam, sementara molekul lainnya melaju melalui kolom bersama dengan fase gerak. Untuk mengatasi hal ini diperlukan fase diam yang lebih encer (tidak terlalu kental). Peristiwa ini dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar 10. Tranfer massa fase diam (Willard et al., 1988)

Cmobile menggambarkan adanya peristiwa dimana solut dalam fase diam

bertemu dengan fase gerak yang masih baru. Hal ini dapat digambarkan sebagai berikut (Willard et al., 1988) :

Gambar 11. Transfer massa fase gerak (Willard et al., 1988)

Pada analisis secara KCKT, kondisi percobaan yang menghasilkan puncak yang simetris selalu lebih disukai, karena puncak yang asimetris dapat menghasilkan pengukuran bilangan lempeng teoritik dan faktor resolusi yang tidak akurat, perhitungan yang tidak teliti, penurunan derajat resolusi dan puncak-puncak minor yang tidak terdeteksi pada ekor puncak-puncak, serta waktu retensi yang


(45)

tidak reprodusibel. Parameter yang digunakan untuk menilai bentuk puncak adalah peak asymmetry factor (As), yang diukur pada 10% tinggi puncak. Puncak yang simetri memiliki nilai As sama dengan 1, sedangkan puncak dengan nilai As

pada rentang 0,95-1,1 masih dikatakan baik. Parameter lain yang dapat digunakan yaitu peak tailing factor, yang diukur pada 5% tinggi puncak (Snyder et al., 1997).

Gambar 12. Penentuan peak asymmetry dan peak tailing factors (Snyder et al., 1997) Distribusi analit dalam fase gerak dan fase diam pada saat terjadi tailing dan

leading dapat dilihat sebagai berikut :


(46)

Gugus silanol yang tidak bereaksi karena adanya halangan sterik dapat memberikan kepolaran yang tidak dikehendaki dan menyebabkan pengekoran pada puncak kromatogram. Untuk mengurangi jumlah gugus silanol yang masih bebas, reaksi dilanjutkan dengan penambahan trimetilklorosilan yang dapat mencapai gugus silanol karena ukurannya yang lebih kecil dibanding organoklorosilan lain. Penambahan trimetilklorosilan dapat menutupi banyak gugus silanol yang masih bebas, namun tidak semua gugus tersebut dapat tertutupi (Skoog et al., 1998).

Puncak kromatogram yang tidak simetri (tailing dan leading) sering dijumpai bila konsentrasi solut dalam fase gerak terlalu besar. Senyawa-senyawa polar juga berpotensi menimbulkan tailing apabila masih terdapat residu gugus silanol pada fase diam. Penyebab tailing yang lain yaitu ketidaksesuian antara solut dan kolom, pengemasan kolom yang tidak seragam, dan faktor yang terjadi di luar kolom, seperti injektor (Noegrohati, 1994).

5. Analisis kualitatif dan kuantitatif

KCKT digunakan untuk analisis kualitatif dan kuantitatif dari suatu sampel/cuplikan selain untuk memisahkan senyawa dalam sampel. Hasil dari pemisahan adalah kromatogram. Dari kromatogram diperoleh informasi mengenai waktu retensi suatu senyawa (Noegrohati, 1994).

Waktu retensi yang menunjukkan identitas suatu senyawa merupakan selang waktu yang diperlukan senyawa mulai pada saat injeksi sampai keluar dari kolom dan sinyalnya ditangkap oleh detektor (Gritter et al., 1985). Tiap senyawa


(47)

memiliki waktu retensi yang spesifik pada kondisi tertentu seperti kolom, suhu, laju, dan sebagainya sehingga dapat digunakan sebagai salah satu dasar uji kualitatif (Noegrahati, 1994). Analisis kualitatif dilakukan dengan cara membandingkan waktu retensi senyawa murni dengan waktu retensi senyawa yang dimaksud dalam sampel (Gritter et al., 1985).

Analisis kuantitatif dilakukan berdasarkan perbandingan tinggi atau luas puncak kromatogram senyawa sampel terhadap senyawa standar. Bila variasi keadaan kolom tidak menyebabkan pelebaran puncak, maka analisis berdasarkan tinggi puncak dapat memberikan ketelitian tinggi. Analisis berdasarkan luas puncak tidak dipengaruhi oleh pelebaran puncak. Oleh karena itu cara ini lebih disukai dalam perhitungan kuantitatif (Noegrohati, 1994).

G. Keterangan Empiris

Penelitian ini bersifat non eksperimental deskriptif yang bertujuan untuk mengetahui apakah metode KCKT dapat digunakan untuk menetapkan kadar parasetamol, salisilamida, dan kafein dalam tablet, serta untuk mengetahui apakah kadar parasetamol, salisilamida, dan kafein dalam tablet sesuai dengan yang tertera pada etiket.


(48)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis dan Rancangan Penelitian

Penelitian ini mengikuti jenis dan rancangan penelitian non eksperimental deskriptif karena tidak ada perlakuan terhadap subyek uji.

B. Definisi Operasional

1. Parasetamol, salisilamida, dan kafein yang ditetapkan kadarnya adalah

parasetamol, salisilamida, dan kafein yang terdapat dalam tablet merk x.

2. Tablet yang dianalisis adalah tablet merk x yang mencantumkan kandungan

parasetamol, salisilamida, dan kafein dengan perbandingan 4:4:1 dalam labelnya, yang memiliki nomor produksi yang sama.

3. Sistem Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) fase terbalik yang

digunakan adalah seperangkat alat KCKT dangan fase diam kolom reversed

phase C18 dan fase gerak campuran metanol : aquabidest : amonia (70:29:1).

4. Kadar parasetamol, salisilamida, dan kafein dalam tablet ditetapkan dalam

satuan mg/tablet.

C. Bahan

Bahan yang digunakan pada penelitian ini meliputi parasetamol kualitas

working standard (Brataco), salisilamida kualitas working standard (Brataco), kafein kualitas working standard (Brataco), metanol (p.a, E. Merck), amonia (p.a,


(49)

E. Merck), aquabidest (dari Laboratorium Kimia Organik Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta), dan tablet merk x yang memiliki nomor produksi yang sama.

D. Alat

Alat yang digunakan pada penelitian ini, yaitu :

1. spektrofotometer UV/Vis merk Perkin-Elmer Lambda 20

2. seperangkat KCKT yang meliputi :

a. pompa merk Shimadzu model LC-10 AD No. C20293309457 J2

b. detektor UV/Vis merk Shimadzu model SPD-10 AV No. C20343502697

KG

c. CBM-101 merk Shimadzu No. C50363502311 SA

d. kolom Waters BondapacTM C18 (dengan panjang 30 cm; P61271BO2 P/N

27324; diameter partikel 5-10 μm) e. injektor jenis katup suntik model 77215i

f. seperangkat komputer merk ACER

3. syringe merk Hamilton Pat No. 2933087

4. degassingultrasonic merk Retsch tipe T460 No. V935922012 EY

5. vacum merk Gast model DOA-P104-BN

6. organic solvent membrane filter merk Whatman dengan ukuran pori 0,5 μm dan diameter 47 mm.

7. inorganic solvent membrane filter merk Whatman dengan ukuran pori 0,45


(50)

8. membrane filter holder merk Whatman dengan kapasitas 300 ml 9. penyaring Millipore

10. micropipette merk Socorex ukuran 200-1000μl

11.neraca analitik merk Scaltec SBC 22 max 60/210 g; d = 0,01/0,1 mg; e = 1 mg 12.seperangkat alat gelas yang lazim digunakan untuk analisis.

E. Tata Cara Penelitian 1. Pembuatan larutan baku parasetamol

a.Pembuatan larutan stok parasetamol. Lebih kurang 40,0 mg

parasetamol ditimbang seksama dan dilarutkan dengan metanol hingga 100,0 ml. b.Pembuatan seri konsentrasi larutan baku parasetamol. Larutan stok parasetamol dari langkah di atas dipipet 1,0; 1,5; 2,0; 2,5; 3,0 ml dan diencerkan dengan metanol hingga 10,0 ml sehingga didapatkan konsentrasi sebesar 4; 6; 8; 10; 12 mg%. Larutan tersebut disaring dengan Millipore dan degassing selama 15 menit.

2. Pembuatan larutan baku salisilamida

a.Pembuatan larutan stok salisilamida. Lebih kurang 40,0 mg

salisilamida ditimbang seksama dan dilarutkan dengan metanol hingga 100,0 ml. b.Pembuatan seri konsentrasi larutan baku salisilamida. Larutan stok salisilamida dari langkah di atas dipipet 1,0; 2,0; 2,5; 3,0; 4,0 ml dan diencerkan dengan metanol hingga 10,0 ml sehingga didapatkan konsentrasi sebesar 4; 8;


(51)

10; 12; 16 mg%. Larutan tersebut disaring dengan Millipore dan degassing selama 15 menit.

3. Pembuatan larutan baku kafein

a.Pembuatan larutan stok kafein. Lebih kurang 10,0 mg kafein

ditimbang seksama dan dilarutkan dengan metanol hingga 100,0 ml.

b.Pembuatan seri konsentrasi larutan baku kafein. Larutan stok kafein dari langkah di atas dipipet 1,0; 1,5; 2,0; 2,5; 3,0 ml dan diencerkan dengan metanol hingga 10,0 ml sehingga didapatkan konsentrasi sebesar 1; 1,5; 2; 2,5; 3 mg%. Larutan tersebut disaring dengan Millipore dan degassing selama 15 menit.

4. Pembuatan fase gerak

Fase gerak dibuat dengan mencampur 70 bagian metanol, 29 bagian

aquabidest, dan 1 bagian amonia. Larutan ini kemudian disaring dan degassing

selama 15 menit.

5. Optimasi metode KCKT

a.Penentuan λOverlappingdengan spektrofotometri UV. Dari larutan stok

parasetamol, salisilamida, dan kafein dibuat larutan dengan konsetrasi 0,8 dan 1 mg%. Larutan dibaca serapannya pada rentang panjang gelombang 200-300 nm sehingga dapat dilihat spektrum serapan dan serapan maksimum dari parasetamol, salisilamida, dan kafein. Masing-masing spektrum yang didapat digunakan untuk menentukan λoverlapping.


(52)

b.Pembuatan kurva baku parasetamol, salisilamida, dan kafein. Masing-masing seri konsentrasi larutan baku parasetamol, salisilamida, dan kafein disuntikkan dalam injector port menggunakan KCKT syringe dengan fase diam kolom revered phase C18, fase gerak metanol : aquabidest : amonia (70:29:1), dan flow rate 1,5 ml/menit. Kromatogram yang telah dihasilkan kemudian diamati. Dengan metode regresi linier, memplotkan kadar (mg%) terhadap harga AUC dari masing-masing seri larutan kadar sehingga didapat persamaan y = bx + a (y = harga AUC, x = konsentrasi, b = slope, a = intersept).

6. Pembuatan larutan sampel

Sebanyak dua puluh tablet yang telah diketahui bobot rata-ratanya digerus, ditimbang lebih kurang sejumlah sampel dengan seksama yang setara dengan 40,0 mg parasetamol, 40,0 mg salisilamida, dan 10,0 mg kafein. Serbuk sampel dilarutkan dalam metanol hingga 100,0 ml. Dari larutan sampel dipipet 2,0 ml dan diencerkan dengan metanol hingga didapatkan volume 10,0 ml. Menyaring dengan Millipore dan degassing selama 15 menit.

7. Penetapan kadar parasetamol, salisilamida, dan kafein dalam sampel

Menyuntikkan larutan sampel dalam injector port dengan menggunakan

KCKT syringe dengan fase diam kolom revered phase C18, fase gerak metanol :

aquabidest : amonia (70:29:1), dan flow rate 1,5 ml/menit. Amati kromatogram yang dihasilkan. Dengan memasukkan harga AUC sampel dalam masing-masing persamaan kurva baku parasetamol, salisilamida, dan kafein sehingga didapatkan


(53)

kadar parasetamol, salisilamida, dan kafein dalam sampel (mg%). Kemudian data disajikan dalam bentuk Χ±SDdengan satuan mg/tablet.

F. Analisis Hasil

Analisis yang dilakukan dalam penelitian ini adalah : 1. Analisis kualitatif

Analisis kualitatif dilakukan dengan membandingkan waktu retensi (tR)

yang didapatkan dalam sampel dengan waktu retensi (tR) senyawa baku.

2. Analisis kuantitatif

Analisis kuantitatif yang dilakukan adalah penetapan kadar dari parasetamol, salisilamida, dan kafein berdasarkan analisis data AUC sampel dan kurva baku dari masing-masing senyawa. Data kadar disajikan dalam bentuk

SD ±

Χ dengan satuan mg/tablet yang kemudian dibandingkan dengan yang

tertera pada etiket, apakah kadarnya sudah sesuai dengan yang tertera pada etiket atau tidak.


(54)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Pemilihan dan Penyiapan Sampel

Pada penelitian ini yang digunakan sebagai sampel adalah tablet dengan merk x yang beredar di Magelang. Pemilihan sampel ini didasarkan pada obat yang menuliskan komposisi zat aktifnya adalah parasetamol, salisilamida, dan kafein. Di dalam masyarakat banyak sediaan obat yang mengandung zat aktif tersebut, namun dengan perbandingan ketiga zat aktif yang berbeda-beda dan ada juga yang tidak hanya mengandung ketiga zat aktif itu saja. Pada penelitian ini, penulis membatasi sampel yang digunakan, yaitu sediaan obat berupa tablet yang mengandung hanya ketiga zat aktif tersebut dengan perbandingan parasetamol, salisilamida, dan kafein adalah 4:4:1. Sediaan yang memenuhi batasan tersebut hanya ada satu produk, sehingga penulis hanya menggunakan satu produk sebagai sampel. Menurut Sevilla (1993), pengambilan sampel minimal 10% dari populasi dan untuk populasi kecil dibutuhkan minimal 20 %. Dalam hal ini, pengambilan sampel pada penelitian ini sudah memenuhi aturan dalam pengambilan sampel tersebut.

Pemilihan sampel yang dilakukan adalah pemilihan sediaan dengan merk x yang memiliki nomor produksi yang sama. Dari kemasan diambil 20 tablet obat yang dihitung bobot rata-ratanya. Pada penelitian ini dilakukan replikasi sebanyak 6 kali.


(55)

B. Penyiapan Fase Gerak

Pemilihan fase gerak dan fase diam dalam penelitian ini mengacu pada penelitian dari Sugianto (2006) mengenai optimasi penetapan kadar campuran parasetamol, salisilamida, dan kafein dengan metode KCKT yang telah terbukti memiliki validitas yang baik.

Fase gerak yang digunakan pada penelitian ini adalah campuran antara metanol, aquabidest, dan amonia dengan perbandingan 70:29:1. Campuran fase gerak ini bersifat polar, sedangkan fase diam yang digunakan adalah kolom C18 yang bersifat non polar sehingga sistem kromatografi yang digunakan adalah kromatografi partisi fase terbalik. Dalam fase gerak ini, metanol memiliki jumlah yang paling besar karena didasarkan pada kelarutan parasetamol, salisilamida, dan kafein yang besar pada etanol. Pada penelitian tidak digunakan etanol namun metanol karena metanol dapat melarutkan ketiga komponen tersebut dan memiliki viskositas yang lebih rendah daripada etanol sehingga dapat mengurangi tekanan pada kolom dan meningkatkan efisiensi kolom untuk memisahkan komponen campuran.

C. Pembuatan Larutan Baku

Larutan baku dibuat dengan konsentrasi tertentu dan menggunakan metanol p.a sebagai pelarut. Penggunaan metanol didasarkan atas kelarutan ketiga komponen yang diuji. Selain itu syarat pelarut yang dapat digunakan dalam sistem KCKT adalah pelarut yang kemurniannya tinggi, dapat bercampur dengan fase gerak, dan mudah terelusi.


(56)

Larutan baku dibuat dalam 5 seri konsentrasi untuk tiap komponen yang diuji. Konsentrasi untuk parasetamol adalah 4mg%, 6mg%, 8mg%, 10mg%, dan 12mg%. Konsentrasi untuk salisilamida adalah 4mg%, 8mg%, 10mg%, 12mg%, dan 16mg%, sedangkan untuk kafein adalah 1mg%, 1,5mg%, 2mg%, 2,5mg%, dan 3mg%. Pemilihan seri konsentrasi kurva baku ini dimaksudkan agar kadar yang terdapat dalam sampel dapat masuk dalam rentang seri konsentrasi larutan baku yang digunakan sehingga persamaan kurva baku yang diperoleh dapat digunakan untuk menetapkan kadar tiap komponen dalam sampel.

D. Optimasi Metode 1. Penentuan panjang gelombang overlapping

Penentuan panjang gelombang overlapping dimaksudkan untuk mengetahui panjang gelombang di mana parasetamol, salisilamida, dan kafein memiliki serapan yang optimal. Sebelum menentukan panjang gelombang

overlapping, panjang gelombang serapan maksimum dari masing-masing senyawa harus ditentukan lebih dahulu. Hal ini bertujuan untuk mendapatkan panjang gelombang masing-masing senyawa dalam metanol yang menunjukkan serapan maksimum.

Penentuan panjang gelombang serapan maksimum dilakukan menggunakan 2 seri kadar (0,8mg% dan 1mg%), dengan tujuan untuk memberikan hasil yang dapat meyakinkan bahwa senyawa tersebut benar-benar senyawa yang dimaksudkan. Hal ini dilakukan mengingat bahan yang digunakan berkualitas working standard. Pembacaan serapan dilakukan pada rentang panjang


(57)

gelombang antara 200-300 nm karena parasetamol, salisilamida, dan kafein memiliki panjang gelombang serapan maksimum pada rentang tersebut.

Senyawa yang ditetapkan kadarnya secara spektrofotometri ultraviolet harus memiliki gugus kromofor dalam strukturnya agar dapat menyerap sinar radiasi ultraviolet. Penyerapan sinar radiasi oleh suatu senyawa tergantung pada struktur elektronik dari senyawa tersebut. Pada gugus kromofor yang dimiliki oleh parasetamol, salisilamida, dan kafein terdapat ikatan rangkap yang mengandung elektron π yang bila dikenai sinar radiasi elektromagnetik akan mudah tereksitasi ke tingkat yang lebih tinggi yaitu obital π*. Selain gugus kromofor, terdapat juga gugus auksokrom yang langsung terikat pada gugus kromofor. Gugus auksokrom memiliki pasangan elektron bebas pada orbital n yang dapat berinteraksi dengan elektron π pada kromofor sehingga adanya auksokrom ini akan mengubah panjang gelombang serta intensitas serapan maksimum dari senyawa. Gambar gugus kromofor dan auksokrom masing-masing senyawa dapat dilihat pada gambar berikut.

OH

HN C

O

CH3

Gambar 14. Gugus kromofor dan auksokrom parasetamol Keterangan : = kromofor


(58)

OH

C O

NH2

Gambar 15. Gugus kromofor dan auksokrom salisilamida Keterangan : = kromofor

= auksokrom

N

N

N

N CH3

CH3

H3C

O

O

Gambar 16. Gugus kromofor kafein Keterangan : = kromofor

Dalam Farmakope Indonesia edisi IV (1995) disebutkan bahwa pengujian panjang gelombang serapan maksimum mempunyai makna jika serapan maksimum tersebut tepat pada atau dalam batas 2 nm dari panjang gelombang yang ditentukan. Serapan yang dihasilkan pada masing-masing senyawa dapat dilihat pada gambar berikut.


(59)

Gambar 17. Spektrum serapan parasetamol ( λmaks = 250,8 nm)

Keterangan : A = konsentrasi 0,8mg%; B = konsentrasi 1mg%

Berdasarkan gambar tersebut dapat dilihat bahwa kedua spektrum serapan maksimum pada panjang gelombang yang sama yaitu 250,8 nm. Menurut Clarke (1969), parasetamol dalam metanol memiliki serapan maksimum pada 249 nm. Dalam penelitian ini terdapat pergeseran panjang gelombang serapan maksimum namun penyimpangan ini masih memenuhi syarat yang tercantum dalam Farmakope Indonesia edisi IV sehingga dapat dipastikan senyawa tersebut adalah parasetamol.


(60)

Gambar 18. Spektrum serapan salisilamida ( λmaks = 241,5 nm )

Keterangan : A = konsentrasi 0,8mg%; B = konsentrasi 1mg%

Kedua spektrum serapan pada gambar tersebut menunjukkan serapan maksimum pada panjang gelombang 241,5 nm. Salisilamida dalam etanol memiliki panjang gelombang serapan maksimum pada 235 nm dan 302 nm (Clarke, 1969). Pada pembacaan serapan maksimum ini terdapat penyimpangan sebesar 6,5 nm. Hal ini dapat dikarenakan pada penelitian digunakan pelarut metanol, sedangkan yang ada dalam literatur adalah etanol.


(61)

Gambar 19. Spektrum serapan kafein ( λmaks = 272,2 nm )

Keterangan : A = konsentrasi 0,8mg%; B = konsentrasi 1mg%

Berdasarkan gambar tersebut dapat dilihat bahwa kedua spektrum serapan maksimum kafein terjadi pada panjang gelombang 272,2 nm. Menurut Clarke (1969), serapan maksimum kafein dalam etanol terjadi pada panjang gelombang 273 nm. Dalam penelitian ini terjadi pergeseran panjang gelombang serapan maksimum namun penyimpangan ini masih memenuhi persyaratan yang tercantum dalam Farmakope Indonesia edisi IV. Hal ini membuktikan bahwa senyawa tersebut adalah kafein.


(62)

Analisis tidak dilakukan pada panjang gelombang serapan maksimum salah satu senyawa karena hanya sensitif terhadap perubahan konsentrasi senyawa yang bersangkutan. Karena hal tersebut diperlukan panjang gelombang

overlapping dari ketiga senyawa yang diuji. Spektrum yang dihasilkan dari tiap senyawa pada konsentrasi yang sama (1mg%) ditumpang tindihkan sehingga didapatkan gambar sebagai berikut.

Gambar 20. Gabungan spektrum serapan parasetamol (a), salisilamida(b), dan kafein (c) dengan konsentrasi 1mg%

Dari gambar tersebut, dipilih panjang gelombang ovelappingnya, yaitu 270 nm. Panjang gelombang ini dipilih dengan alasan agar kafein yang dalam sampel yang memiliki kadar yang paling kecil dapat tetap terdeteksi. Pada


(63)

panjang gelombang ini serapan kafein cukup optimal, sedangkan untuk serapan parasetamol dan salisilamida kurang optimal namun tetap dapat terdeteksi karena konsentrasinya yang cukup besar dalam sampel.

2. Pembuatan kurva baku parasetamol, salisilamida, dan kafein

Tiap seri konsentrasi larutan baku parasetamol, salisilamida, dan kafein diinjeksikan pada KCKT dengan kondisi :

Instrument : Shimadzu LC-10 AD

Kolom : C18 merk Bondapack dengan panjang kolom 30 cm No. P6127IBO2

Fase gerak : metanol : aquabidest : amonia (70:29:1) Flow rate : 1,5 ml/menit

AUFs/Attenuation : 0,01/ 7

Detektor : UV pada 270 nm.

Dengan menggunakan sistem kromatografi di atas, didapatkan kromatogram campuran baku parasetamol, salisilamida, dan kafein adalah seperti pada gambar berikut.


(64)

Gambar 21. Kromatogram campuran baku parasetamol, salisilamida, dan kafein (4:4:1)

Pada kromatogram terlihat adanya perbedaan waktu retensi (tR) tiap senyawa. Waktu retensi adalah waktu yang dibutuhkan suatu senyawa untuk keluar dari kolom. Dari gambar dapat dilihat bahwa waktu retensi salisilamida adalah 1,248 menit, parasetamol adalah 1,777 menit, dan kafein adalah 2,337 menit. Perbedaan waktu retensi tiap senyawa dipengaruhi oleh interaksi masing-masing senyawa dengan fase diam dan fase geraknya. Tiap senyawa memiliki sisi polar dan non polar pada strukturnya. Pada penelitian ini, fase diam yang digunakan bersifat non polar, sedangkan fase geraknya bersifat polar. Karena hal itu, maka senyawa yang cenderung non polar akan lebih lama keluar dari kolom atau memiliki waktu retensi yang lebih besar. Interaksi senyawa dengan fase diam terjadi pada bagian senyawa yang non polar. Interaksi masing-masing senyawa dengan fase diam dapat digambarkan sebagai berikut.


(65)

OH HN C O CH3 (A) OH C O NH2 (B) N N N N CH3 CH3

H3C

O

O

(C)

Gambar 22. Gugus non polar pada parasetamol (A), salisilamida (B), dan kafein (C) yang berinteraksi dengan fase diam

Keterangan : = gugus non polar

Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa kafein memiliki lebih banyak gugus non polar daripada parasetamol dan salisilamida. Hal inilah yang menyebabkan kafein akan lebih tertahan pada fase diam daripada parasetamol dan salisilamida. Pada kromatogram yang dihasilkan didapatkan juga bahwa kafein memiliki waktu retensi yang paling lama daripada senyawa lainnya. Parasetamol dan salisilamida memiliki gugus non polar yang sama yaitu adanya benzen. Hal ini menyebakan interaksi kedua senyawa ini dengan fase diamnya mirip atau serupa sehingga pemilihan fase gerak sangat berpengaruh dalam pemisahan kedua senyawa ini.

Pada penelitian ini digunakan fase gerak metanol : aquabidest : amonia dengan perbandingan 70:29:1. Campuran fase gerak ini bersifat polar dibandingkan fase diamnya. Adanya amonia dalam fase gerak digunakan untuk menggaramkan parasetamol dan salisilamida sehingga akan terbentuk garamnya yang lebih polar dan menyebabkan interaksi dengan fase gerak menjadi lebih kuat


(66)

daripada interaksinya pada fase diam. Kafein tidak tergaramkan karena sifatnya yang basa seperti amonia sehingga tidak terjadi reaksi penggaraman dengan adanya amonia. Reaksi penggaraman parasetamol dan salisilamida dengan adanya amonia dapat digambarkan sebagai berikut.

OH

HN C

O

CH3

+ NH4OH

ONH4

HN C

O

CH3

+ H2O

Gambar 23. Reaksi penggaraman parasetamol dengan adanya amonia

OH

C O

NH2

+ NH4OH ONH + H2O 4

C O

NH2

Gambar 24. Reaksi penggaraman salisilamida dengan adanya amonia

Dengan adanya reaksi penggaraman maka garam dari parasetamol dan salisilamida akan lebih cepat keluar dari kolom. Pada penelitian didapatkan waktu retensi salisilamida lebih cepat daripada parasetamol. Hal ini disebabkan karena bobot molekul garam salisilamida yang lebih kecil daripada garam parasetamol sehingga ukuran molekunya lebih kecil yang kemudian lebih mudah keluar dari kolom.


(67)

Penentuan persamaan kurva baku untuk masing-masing senyawa dilakukan 3 kali replikasi. Persamaan kurva baku menyatakan hubungan linier antara konsentrasi dan AUC yang dihasilkan. Sebagai parameter linieritasnya digunakan koefisien korelasi (r). Koefisien korelasi menunjukkan korelasi antara konsentrasi dan AUC. Dalam penelitian ini, dari 3 kali replikasi dipilih salah satu replikasi yang kemudian digunakan sebagai data kurva baku. Pemilihan data kurva baku ini didasarkan pada nilai r yang digunakan, yaitu nilai r yang lebih besar dari nilai r tabel untuk lima data dengan derajat bebas (db) = 3 yaitu sebesar 0,878 (pada taraf kepercayaan 95%). Selain itu pemilihan data kurva baku juga didasarkan pada nilai SE (standard error), yaitu nilai SE yang paling kecil karena semakin kecil SE maka kesalahan yang terjadi dalam penelitian juga semakin kecil. Persamaan untuk masing-masing baku dari parasetamol, salisilamida, dan kafein dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel II. Data kurva baku parasetamol

Rep. 1 Rep. 2 Rep. 3 *

C

(mg%) AUC

C (mg%) AUC C (mg%) AUC 4,01 6,02 8,02 10,03 12,03 672679 1013207 1273965 1635183 1836926 3,99 5,99 7,99 9,99 11,99 656154 1034695 1204929 1490724 1826746 4,04 6,06 8,08 10,09 12,11 650702 929767 1327150 1614144 1867379 A B r SE 106204 147118,9 0,9968 43372,98 A B r SE 123764,4 140070,8 0,9944 54511,48 A B r SE 30736 154419,6 0,9972 42896,44


(68)

Tabel III. Data kurva baku salisilamida

Rep. 1 Rep. 2 * Rep. 3

C

(mg%) AUC

C

(mg%) AUC

C

(mg%) AUC 4,04 8,07 10,09 12,11 16,49 31125 53081 68793 76252 101681 3,95 7,9 9,87 11,85 15,8 29621 52818 66083 79218 107560 4,05 8,1 10,13 12,15 16,2 28269 54746 66545 82937 102534 A B r SE 7475,91 5817,18 0,9979 1961,94 A B r SE 2005,15 6589,43 0,9988 1622,43 A B r SE 4259,11 6195,65 0,9972 2409,36

Keterangan : = merupakan data kurva baku yang digunakan

Tabel IV. Data kurva baku kafein

Rep. 1 * Rep. 2 Rep. 3

C

(mg%) AUC

C

(mg%) AUC

C (mg%) AUC 0,99 1,49 1,98 2,47 2,97 185485 274958 361530 453854 541484 1 1,51 2 2,51 3 192540 292713 386307 488451 565978 0,99 1,48 1,98 2,47 2,96 178572 296696 355880 469365 588305 A B r SE 7067,85 180160,9 0,9999 1676,48 A B r SE 8110,36 187961 0,9991 7309,17 A B r SE -19090,4 200837 0,9949 18379,82 Keterangan : = merupakan data kurva baku yang digunakan

Dari data di atas, dapat dilihat bahwa nilai r yang diperoleh mempunyai nilai yang lebih besar daripada nilai r tabel, hal ini menunjukkan persamaan kurva tersebut mempunyai korelasi yang baik sehingga dapat digunakan untuk menghitung kadar senyawa. Dari data kurva baku parasetamol dapat dilihat bahwa pada replikasi ketiga menunjukkan nilai r yang terbaik dan nilai SE terkecil sehingga persamaan tersebut yang digunakan untuk menghitung kadar


(69)

parasetamol. Persamaan kurva baku parasetamol yang diperoleh adalah Y = 154419,6 X + 30736. Dari data kurva baku salisilamida dapat dilihat bahwa pada replikasi kedua menunjukkan nilai r yang terbaik dan nilai SE terkecil sehingga persamaan tersebut yang digunakan untuk menghitung kadar salisilamida. Persamaan kurva baku salisilamida yang diperoleh adalah Y = 6589,43 X + 2005,15, sedangkan dari data kurva baku kafein diperoleh persamaan kurva baku Y= 180160,9 X + 7076,85 yang merupakan data kurva baku kafein replikasi pertama.

E.Analisis Kualitatif

Pada KCKT, analisis kualitatif dilakukan dengan membandingkan waktu retensi (tR) sampel dengan waktu retensi (tR) baku/pembanding (gb. 20). Pada penelitian ini dilakukan analisis kualitatif dari sampel. Gambar kromatogram sampel dapat dilihat pada gambar berikut.


(70)

Dari gambar kromatogram sampel tersebut dapat dilihat waktu retensi tiap senyawa dan dibandingkan dengan waktu retensi baku yang dapat ditampilkan sebagai berikut.

Tabel V. Data waktu retensi (tR) masing-masing senyawa baku dan dalam sampel

Senyawa tR baku (menit) tR sampel (menit) Parasetamol

Salisilamida Kafein

1,777 1,248 2,337

1,932 1,295 2,337

Dari tabel di atas dapat disimpulkan bahwa dalam sampel mengandung parasetamol, salisilamida, dan kafein. Hal ini karena baik pada baku maupun pada sampel, masing-masing senyawa memiliki waktu retensi yang relatif sama.

F.Analisis Kuantitatif

Analisis kuantitaif dilakukan dengan menghitung kadar tiap zat aktif dari tablet yang meliputi parasetamol, salisilamida, dan kafein. Penetapan kadar ini dilakukan dengan sistem yang sama seperti yang digunakan pada pembuatan kurva baku masing-masing senyawa. Dari 6 kali replikasi pengukuran diperoleh hasil sebagai berikut.


(71)

Tabel VI. Data kadar parasetamol, salisilamida, dan kafein dalam tablet

Parasetamol Salisilamida Kafein

Sampel

AUC (Y) Kadar

(mg/tablet) AUC (Y)

Kadar

(mg/tablet) AUC (Y)

Kadar (mg/tablet) 1 2 3 4 5 6 1251124 1242563 1236345 1232226 1206641 1211691 197,1 196,4 193,9 195,1 191,2 192,1 53748 53321 53060 54730 53364 54590 195,8 194,93 192,45 200,65 195,71 200,41 377454 372636 378743 377993 370889 374831 51,26 50,79 51,24 51,63 50,71 51,26

X 194,3 X 196,66 X 51,1

SD 2,35 SD 3,24 SD 0,34

CV 1,21 % CV 1,65 % CV 0,67 %

Berdasarkan tabel tersebut dapat dilihat kadar parasetamol, salisilamida, dan kafein dalam tablet secara berturut-turut adalah (194,3 2,35)mg/tablet, (196,66±3,24)mg/tablet, dan (51,1

±

±0,34)mg/tablet. Dalam etiket tertulis bahwa tablet merk x mengandung parasetamol 200mg, salisilamida 200mg, dan kafein 50mg. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa tablet merk x mengandung parasetamol, salisilamida, dan kafein sesuai dengan yang tertera pada etiket, yaitu 90%-110% dari yang tertulis sebagai jumlah senyawa dalam etiket, yaitu untuk parasetamol adalah 97,15%, salisilamida adalah 98,33% dan kafein adalah 102,2%.


(72)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan 1. Metode KCKT dengan kondisi :

Instrument : Shimadzu LC-10 AD

Kolom : C18 merk Bondapack dengan panjang kolom 30 cm No. P6127IBO2

Fase gerak : metanol : aquabidest : amonia (70:29:1) Flow rate : 1,5 ml/menit

AUFs/Attenuation : 0,01/ 7

Detektor : UV pada 270 nm

dapat digunakan untuk penetapan kadar parasetamol, salisilamida, dan kafein dalam tablet.

2. Kadar parasetamol, salisilamida, dan kafein dalam tablet secara berturut-turut adalah (194,3 ± 2,35) mg/tablet, (196,66 ± 3,24) mg/tablet, dan (51,15 ± 0,34) mg/tablet. Kadar tersebut sesuai dengan jumlah yang tertera pada etiket obat.

B. Saran

Perlu dilakukan perbandingan hasil penelitian penetapan kadar parasetamol, salisilamida, dan kafein dalam tablet menggunakan metode Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) dan KLT densitometri.


(73)

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 1995, Farmakope Indonesia, Edisi IV, 4, 254, 649, 650, 753,999, 1009-1010 Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.

Anonim, 1998, Metode Analisa Obat 1997/1998, 41-46, Pusat Pemeriksaan Obat dan Makanan, Yogyakarta.

Anonim, 2000, Informatorium Obat Nasional Indonesia 2000, 184, Departemen Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan Makanan, Jakarta.

Anonim, 2005, The United States Pharmacopeia, 28th ed.,20, 2459, 2711, United States Parmacopial Convention Inc., Canada.

Ansel, H. C., 1985, Introduction to Pharmaceutical Dosage Forms, diterjemahkan oleh Farida Ibrahim, 244-245, Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta. Aulton, M., and Summer, M., 1994, Pharmaceutics : The Science of Dosage

Form Designs, 2nd ed., 305-306, Churchill Living Stone, London.

Auterhoff, H., Kovar, K.A., 1981, Identifizierung von Arzneistoffen, diterjemahkan oleh N. C. Sugiarso, 165, 166, Penerbit ITB, Bandung.

Christian, G. D., 2004, Analytical Chemistry, 6th ed., 465, Jhon Willey & Sons, Inc., USA.

Clarke, E.G.C., 1969, Isolation and Identification of Drugs, 234, 465, 538, The Pharmaceutical Press, London.

Friamata, R. D., 2006, Penetapan Kadar Kafein dalam Campuran Parasetamol, Salisilamida dan Kafein secara Spektrofotometri Derivatif dengan Aplikasi Metode Peak to Peak, Skripsi, Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

Gritter, R.J., Bobbit, J.M., and Schwarting, A.E., 1985, Introduction to Chromatography, diterjemahkan oleh Kosasih Padmawinata, Edisi II, 205-219, Penerbit ITB, Bandung.

Harris, D. C., 1999, Quantitative Chemical Analysis, 2nd ed., 643, 648, 661, 664, W. H. Freeman and Company, New York.

Johnson, E.L., and Stevenson, R., 1978, Basic Liquid Chromatography, diterjemahkan oleh Kosasih Padmawinata, 6-9, 17-25, 90-91, 99-103, Penerbit ITB, Bandung.


(1)

Lampiran 11. Contoh perhitungan kadar larutan baku kafein 1. Skema pembuatan

Timbang seksama kurang lebih 10 mg kafein

Larutkan dalam metanol ad 100,0 ml (larutan C)

Pipet larutan C sebanyak 1,0; 1,5; 2,0; 2,5; dan 3,0 ml

Encerkan dengan metanol ad 10,0 ml 2. Perhitungan seri kadar kafein

• Bobot kafein hasil penimbangan = 9,89 mg

• Kadar kafein dalam larutan C = 100% 9,89 % 100 89 , 9 mg x ml mg = • Seri larutan baku kafein :

Kadar kafein = xkadarlaru C

volumelaru ambilan volumepeng

tan tan

Seri kadar Perhitungan kadar kafein 1 % 99 , 0 % 89 , 9 10 0 , 1 mg mg x ml ml = 2 % 45 , 1 % 89 , 9 10 5 , 1 mg mg x ml ml =

3 10 9,89 % 1,98 %

0 , 2 mg mg x ml ml =

4 10 9,89 % 2,47 %

5 , 2 mg mg x ml ml =

5 10 9,89 % 2,97 %

0 , 3 mg mg x ml ml =


(2)

Lampiran 12. Contoh perhitungan kadar parasetamol, salisilamida, dan kafein dalam sampel

1. Skema kerja

Timbang seksama lebih kurang sampel yang setara dengan 40 mg parasetamol, 40 mg salisilamida, dan 10 mg kafein

Larutkan dalam methanol ad 100,0 ml (larutan D)

Pipet larutan D sebanyak 2,0 ml

Encerkan dengan metanol ad 10,0 ml (larutan E) 2. Perhitungan kadar parasetamol dalam tablet

Untuk sampel 1, dari larutan E didapat AUC Æ 1251124

Nilai AUC dimasukkan dalam persamaan kurva baku parasetamol, yaitu : Y = 154419,6 X + 30736

X =

6 , 154419

30736 − Y

X =

6 , 154419

30736 1251124− X = 7,9 mg%

Kadar parasetamol dalam sampel = X x faktor pengenceran (10/2) = 7,9 mg% x 10/2

= 39,52 mg% atau 39,52 mg dalam larutan D Bobot sampel yang ditimbang = 130,71 mg


(3)

Kadar parasetamol dalam tablet

= xkadarparasetamoldalamsampel bang

lyangditim bobotsampe

t ratabtable bobotrata

= x mg

mg mg

52 , 39 71

, 130

9 , 651

= 197,1 mg/tablet

3. Perhitungan kadar salisilamida dalam tablet

Untuk sampel 1, dari larutan E didapat AUC Æ 53748

Nilai AUC dimasukkan dalam persamaan kurva baku salisilamida, yaitu : Y = 6589,43 X + 2005,15

X =

43 , 6589

15 , 2005 − Y

X =

43 , 6589

15 , 2005 53748− X = 7,85 mg%

Kadar salisilamida dalam sampel = X x faktor pengenceran (10/2) = 7,85 mg% x 10/2

= 39,26 mg% atau 39,26 mg dalam larutan D Bobot sampel yang ditimbang = 130,71 mg

Bobot rata-rata tablet = 651,9 mg Kadar salisilamida dalam tablet

= xkadarsalisilamidadalamsampel bang

lyangditim bobotsampe

t ratabtable bobotrata

= x mg

mg mg

26 , 39 71

, 130

9 , 651


(4)

4. Perhitungan kadar kafein dalam tablet

Untuk sampel 1, dari larutan E didapat AUC Æ 377454

Nilai AUC dimasukkan dalam persamaan kurva baku kafein, yaitu : Y = 180160,9 X + 7076,85

X =

9 , 180160

85 , 7076 − Y

X =

9 , 180160

85 , 7076 377454− X = 2,06mg%

Kadar kafein dalam sampel = X x faktor pengenceran (10/2) = 2,06 mg% x 10/2

= 10,28 mg% atau10,28 mg dalam larutan D Bobot sampel yang ditimbang = 130,71 mg

Bobot rata-rata tablet = 651,9 mg Kadar kafein dalam tablet

= xkadarkafeindalamsampel bang

lyangditim bobotsampe

t ratabtable bobotrata

= x mg

mg mg

28 , 10 71

, 130

9 , 651


(5)

Lampiran 13. Perhitungan CV parasetamol, salisilamida, dan kafein dalam sampel

Parasetamol Salisilamida Kafein

Sampel AUC (Y) Kadar (mg/tablet) AUC (Y) Kadar (mg/tablet) AUC (Y) Kadar (mg/tablet) 1 2 3 4 5 6 1251124 1242563 1236345 1232226 1206641 1211691 197,1 196,4 193,9 195,1 191,2 192,1 53748 53321 53060 54730 53364 54590 195,8 194,93 192,45 200,65 195,71 200,41 377454 372636 378743 377993 370889 374831 51,26 50,79 51,24 51,63 50,71 51,26

X 194,3 X 196,66 X 51,1

SD 2,35 SD 3,24 SD 0,34

1. Perhitungan CV parasetamol % 21 , 1 % 100 = = x

X SD CV

2. Perhitungan CV salisilamida % 65 , 1 % 100 = = x

X SD CV

3. Perhitungan CV kafein % 67 , 0 % 100 = = x

X SD CV


(6)

BIOGRAFI PENULIS

Penulis skripsi berjudul “Analisis Campuran Parasetamol, Salisilamida, dan Kafein dalam Tablet secara Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT)” ini memiliki nama lengkap Lanny Setyawati. Penulis dilahirkan di Magelang pada tanggal 31 Oktober 1985 sebagai anak bungsu dari dua bersaudara dari pasangan Sujanto dan Evianita Surjawati Warouw. Pendidikan formal yang pernah ditempuh penulis yaitu TK Tunas Kasih Magelang (1989-1991), SD Kristen Indonesia Magelang (1991-1997), SLTP Negeri I Magelang (1997-2000), SMU Negeri I Magelang (2000-2003), dan pada tahun 2003 melanjutkan pendidikan di Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Selama kuliah, penulis pernah menjadi asisten dosen pada praktikum Kimia Organik (2005), Kromatografi (2006), dan Analisis Makanan (2006).