Tinjauan hukum pidana islam terhadap putusan hakim nomor 929/Pid.B/2015/Pn Mdn tentang pengedaran mata uang palsu.
TINJAUAN HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PUTUSAN
HAKIM NOMOR 929/PID.B/2015/PN MDN TENTANG
PENGEDARAN MATA UANG PALSU
SKRIPSI
Oleh : Zakhiyatul Faikha
NIM. C93213112
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel
Fakultas Syari’ah dan Hukum
Jurusan Hukum Publik Islam
Prodi Hukum Pidana Islam
Surabaya
(2)
TINJAUAN HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PUTUSAN
HAKIM NOMOR 929/PID.B/2015/PN MDN TENTANG
PENGEDARAN MATA UANG PALSU
SKRIPSI
Diajukan Kepada
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel
Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan
Dalam Menyelesaikan Program Sarjana Strata Satu
Fakultas Syari’ah dan Hukum
Oleh
ZAKHIYATUL FAIKHA NIM. C93213112
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel
Fakultas Syari’ah dan Hukum
Jurusan Hukum Publik Islam
Prodi Hukum Pidana Islam
Surabaya
2017
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
ABSTRAK
Skripsi ini berjudul “ Tinjauan Hukum Pidana Islam Terhadap Putusan Hakim Nomor 929/Pid.B/2015/Pn Mdn Tentang Pengedaran Mata Uang Palsu”. Skripsi ini merupakan penelitian untuk menjawab pertanyaan, 1) Bagaimana pertimbangan hukum Hakim dalam putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 929/Pid.B/2015 tentang pengedaran mata uang palsu? 2) Bagaimana analisis hukum pidana Islam terhadap putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 929/Pid.B/2015 tentang pengedaran mata uang palsu?
Penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library research). Penelitian ini
dilakukan dengan mengumpulkan data secara dokumentasi, yaitu cara
memperoleh data dengan cara menelaah dokumen. Dengan cara membaca, mengkaji, merangkum dan mengumpulkan data yang berkaitan dengan Putusan Nomor 929/Pid.B/2015. Selanjutnya dianalisis dengan menggunakan metode deskriptif analisis yang menggambarkan atau menguraikan suatu hal menurut apa adanya tanpa membuat perbandingan atau mengembangkan satu dengan yang lainnya, yakni menguraikan kasus tentang hukuman tindak pidana pengedaran mata uang paslu yang diputuskan oleh Pengadilan Negeri Medan secara keseluruhan, mulai dari deskripsi kasus, landasan hukum yang dipakai oleh Hakim, isi putusan kemudian dilakukan analisis berdasarkan berkas-berkas yang ada dan menilai secara hukum Islam.
Bahwa kesimpulan dalam skripsi ini adalah Muhammad Saad Fauzi Alias Fauzi telah dinyatakan bersalah oleh majelis Hakim Pengadilan Negeri Medan Nomor 929/Pid.B/2015 melakukan tindak pidana pengedaran mata uang palsu. Dan dijatuhi hukuman penjara selama 2 (dua) tahun tanpa adanya pidana tambahan denda. Dalam hukum Islam tindak pidana pengedaran mata uang palsu dikenakan jarimah takzir karena jarimah tersebut belum diatur secara khusus
dalam Al-Quran maupun Al-Hadis. Adapun sanksi takzir merupakan otoritasUlil
A l-A mri namun tetap mengacu terhadap ketentuan takzir dan macam-macam sanski takzir yakni pidana penjara serta denda yang berdasarkan ketentuan hakim.
Sejalan dengan kesimpulan, sebaiknya penegak hukum untuk sebisa mungkin dalam menjatuhkan hukuman sebaiknya harus mempertimbangkan dari berbagai aspek yang terkait. serta memberikan pendidikan moral dan kesempatan terhadap lapangan kerja kepada masyarakat agar tidak terjadi pelanggaran yang merugikan orang lain.
(8)
DAFTAR ISI
Halaman
SAMPUL DALAM ... i
PERNYATAAN KEASLIAN... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING... iii
PENGESAHAN ... iv
MOTTO ... v
PERSEMBAHAN ... vi
ABSTRAK ... vii
KATA PENGANTAR ... viii
DAFTAR ISI... x
DAFTAR TABEL... xiii
DAFTAR TRANSILTERASI... xiv
BAB I PENDAHULUAN... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Identifikasi dan Batasan Masalah... 10
C. Rumusan Masalah ... 11
D. Kajian Pustaka... 12
E. Tujuan Penelitian ... 14
F. Kegunaan Hasil Penelitian ... 14
G. Definisi Operasional... 15
H. Metode Penelitian... 17
I. Sistematika Pembahasan ... 20
BAB II HUKUMAN DALAM HUKUM PIDANA ISLAM... 22
A. Pengertian Jarimah ... 22
B. Unsur-Unsur Jarimah ... 23
C. Pembagian Jarimah ... 24
(9)
E. Tindak Pidana Pengedaran Uang Palsu... 58
F. Pengaturan Tindak Pidana dan Sanksi Tentang Pengedaran Mata Uang Palsu Dalam KUHP dan Undang-Undang No 7 Tahun 2011 ... 61
BAB III PUTUSAN PENGADILAN NEGERI MEDAN NOMOR : 929/PID.B/2015... 65
A. Tentang Pengadilan ... 65
B. Kronologi Kasus ... 67
C. Keterangan Saksi... 71
D. Keterangan Terdakwa dalam Persidangan ... 78
E. Barang Bukti ... 80
F. Pertimbangan Hakim... 81
G. Amar Putusan ... 86
BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PUTUSAN HAKIM PENGADILAN NEGERI MEPALSU DAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA PENGEDA-RAN MATA UANG PALSU ...89
A. Analisis Hukum Pidana Terhadap Pertimbangan Hukum Hakim Pengadilan Negeri Medan dalam Penetapan Sanksi Tindak Pidana Pengedaran Mata Uang Palsu ... 89
B. Analisis Hukum Pidana Islam Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor929/PID.B/2015 ... 96
BAB V PENUTUP... 99
A. Kesimpulan ... 99
(10)
DAFTAR PUSTAKA
(11)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sesuai dengan perkembangan sejarah maupun teknologi dan sesuai
dengan peradaban manusia yang semakin maju dan berkembang dalam
keseharian manusia dituntut untuk saling berinteraksi antar sesama dalam
menjalankan kehidupan dan memenuhi kebutuhan baik secara primer maupun
sekunder. Dalam memenuhi kebutuhan tersebut dibutuhkan sebuah alat untuk
tukar menukar sesuatu, yang sekarang dikenal sebagai uang
Uang adalah alat sesuatu yang bisa diterima oleh umum sebagai alat
pembayaran dan sebagai alat tukar menukar.1 yang digunakan dalam
kehidupan manusia sebagai alat pembayaran yang sah maupun sebagai simbol
dari sebuah negara, Peranan uang sangat penting seperti yang dijelaskan
diatas, yang dapat menimbulkan berbagai bentuk kejahatan. Adapun bentuk
kejahatan yang disebabkan oleh uang sangat beraneka ragam dimulai dari
perseorangan maupun badan dimana uang mempunyai peran yang penting
dan tidak sedikit mendorong manusia untuk memiliki uang
sebanyak-banyaknya, meskipun cara yang digunakan melawan hukum. Dalam
perkembanganya Kejahatan-kejahatan di Indonesia mengalami peningkatan
tidak hanya kejahatan yang berupa pencurian, akan tetapi juga dalam
modus-1
(12)
2
modus yang lain seperti penipuan, pengelapan, korupsi, pencucian uang,
memalsukan uang dan mengedarkan uang palsu merupakan cara yang
digunakan untuk mendapatkan uang sebanyak-banyaknya secara cepat. Salah
satu Tindak pidana yang banyak terjadi adalah pemalsuan uang dan
pengedaranya merupakan kejahatan yang memanfaatkan kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi.
Kejahatan terhadap pemalsuan dan pengedaran uang palsu merupakan
kejahatan yang sangat serius karena dampaknya sangat luas tidak hanya
merugikan negara sebagai satu-satunya yang mengeluarkan uang dalam hal
ini adalah Bank Indonesia yang dapat mengancam perekonomian nasional
melainkan juga merugikan masyarakat sebagai penerima mata uang, dan
menghancurkan kepercayaan terhadap mata uang itu sendiri.
Tindak pidana pengedaran uang palsu merupakan suatu tindak pidana
yang sudah diketahui oleh pelaku bahwa termasuk suatu tindak pidana
penyimpangan hukum. Dan termasuk dalam delik formil yang menekankan
pada perbuatan. Terlepas dari akibat yang mungkin timbul, perbuatan itu
sendiri sudah bertentangan dengan larangan atau perintah dan sudah dapat
dipidana. Pada delik formil, suatu akibat tertentu hanya dapat memberatkan
atau meringankan pidana, tetapi juga tanpa akibat perbuatan itu sendiri sudah
dilarang dan dapat dipidana.2
2
(13)
3
Mengenai kasus yang akan diteliti oleh penulis dalam putusan pengadilan
negeri Medan Nomor 929/Pid.B/2015/PN,Mdn tentang tindak pidana
pengedaran uang palsu, yakni pada bulan Desember 2014 Muhammad Saad
Fauzi (terdakwa) menerima SMS dari Syahrial Effendi yang
membutuhkan Dollar palsu karena ada kedutaan yang mau membeli Dollar
palsu. Keesokan harinya Jabar (belum tertangkap) menghubungi terdakwa
dan meminta terdakwa untuk menjemput Dollar palsu yang akan dibeli
orang kedutaan, kemudian terdakwa menghubungi Argen Wardhana untuk
meyakinkan terdakwa mengenai pembeli dollar tersebut, kemudian
Syahrial menyerahkan uang sebesar Rp. 300.000,-(tiga ratus ribu rupiah)
melalui Argen Wardhana sebagai ongkos penjemputan Dollar tersebut
kepada terdakwa kemudian malam harinya terdakwa langsung berangkat
ke Bireun untuk bertemu dengan Jabar di warung yang berdekatan
dengan Pom Bensin. Dalam pertemuan itu Jabar menyerahkan 20 (dua
puluh) Lak (ikat) Dollar kepada terdakwa yang kemudian terdakwa
langsung kembali ke Binjai dengan membawa Dollar palsu tersebut
setelah berada di Simpang Kebun Lada Jalan Besar Medan Banda Aceh
terdakwa langsung menyerahkan dollar tersebut kepada Argen Wardhana
yang sudah menunggu disana. Kemudian terdakwa langsung pulang ke
rumah, namun transaksi dengan orang kedutaan tersebut gagal.
Selanjutnaya pada tanggal 5 Januari 2015 Argen Wardhana mengantarkan
Dollar palsu tersebut kepada terdakwa, seminggu kemudian Dana datang
(14)
4
Batam, namun transaksi dengan orang Batam juga tidak berhasil, hal
tersebut terdakwa ketahui setelah Argen Wardhana menghubungi
terdakwa namun belum sempat di jemput, terdakwa sudah ditangkap
polisi terkait Dollar palsu tersebut.
Mengenai hal tersebut terdakwa divonis dengan hukuman pidana penjara
selama 2 (dua) tahun dan 6 (enam) bulan dikurangi selama terdakwa berada
dalam tahanan dan dengan perintah terdakwa tetap ditahan.3 Namun dalam
pasal 245 KUHP “Barangsiapa dengan sengaja menjalankan serupa mata
uang atau uang kertas Negara atau uang kertas Bank asli dan yang tidak
dipalsukan, yakni mata uang atau uang kertas Negara atau uang kertas Bank
yang ditiru atau yang dipalsukan sendiri, atau yang pada waktu diterima
diketahuinya palsu atau dipalsukan, ataupun barang siapa yang menyimpan
atau memasukkan ke Negara Indonesia mata uang dan uang kertas Negara
atau uang kertas Bank yang demikian, dengan maksud akan mengedarkan
atau menyuruh mengedarkannya serupa dengan yang asli dan tidak dipalsu,
diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun”. Sedangkan
dalam Undang-Undang No 7 tahun 2011 tentang Mata Uang dijelaskan
tentang kejahatan terhadap uang yakni dalam pada pasal 36 ayat 1 “Setiap
orang yang memalsu Rupiah sebagaimana dimaksudkan dalam pasal 26 (1)
dipidana penjara paling lama 10 tahun dan pidana denda paling banyak Rp
10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah)”. Ayat 2 “Setiap orang yang
menyimpan secara fisik dengan cara apa pun yang diketahuinya merupakan
3
(15)
5
Rupiah palsu sebagaimana dimaksud dalam pasal 26 (2) dipidana dengan
pidana penjara paling lama 10 tahun penjara serta denda paling banyak Rp
10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah)”. Dan pada ayat 3 “Setiap orang
yang mengedarkan dan/membelanjakan Rupiah yang diketahuinya
merupakan Rupiah palsu sebagaimana dimaksud dalam pasal 26 (3) dipidana
dengan pidana penjara paling lama 15 tahun penjara serta denda paling
banyak Rp 50.000,000,000,00 (lima puluh miliar rupiah).”
Pengedaran mata uang palsu yang terdapat dalam putuasan no.
929/Pid.B/2015 /PN Mdn yang didakwa dengan pasal 245 KHUP jo 56 ke 1
KUHP, dengan hukuman penjara selama-lamanya lima belas tahun. namun
dalam putusan diatas terdakwa dipidana penjara selama 2 tahun. Padahal
tindak pidana tentang mata uang termasuk dalam Undang-undang mata uang
(UU No.7 Th 2011) yang termasuk dalam lex specialis atas KUHP
sebagaimana dalam pasal 63 ayat 2 KUHP. Perumusan tindak pidana
terhadap mata uang dalam KUHP diatur dalam pasal 244-252 KUHP sebagai
berikut:4
1. Perbuatan memalsukan uang
2. Perbuatan mengedarkan mata uang palsu
3. Perbuatan menyimpan atau memasukkan ke Indonesia mata uang palsu
4. Perbuatan merusak mata uang berupa perbuatan mengurangi nilai mata
uang dengan maksud untuk diedarkan
4
(16)
6
5. Mengedarkan mata uang yang sudah rusak
6. Perbuatan menyimpan atau memasukkan ke Indonesia mata uang yang
dikurangi nilaiinya
7. Perbuatan mengedarkan mata uang palsu atau rusak
8. Membuat atau mempunyai persediaan bahan untuk pemalsuan uang
9. Perbuatan menyimpan atau memasukkan ke Indonesia keping-keping atau
lembaran-lembaran perak tanpa ijin.
Pengaturan sanksi pidana terhadap jenis-jenis tindak pidana tersebut
dirumuskan dalam dua bentuk, yaitu secara tungal (hanya satu jenis pidana
yaitu penjara) dan alternatif (pidana penjara dan atau denda). Perumusan
pidana tunggal diancam kepada pelaku pemalsuan perusakan mata uang
(butir a-f) sedangakan secara alternatif diancam kepada pelaku (butir g-i).
Sebagaimana dalam putusan diatas dimana putusan tersebut berisikan
tentang pengedaran uang palsu yang dilakukan oleh terdakwa. Dalam putusan
tersebut terdakwa didakwa dengan pasal 245 KUHP dan didakwa dengan
dakwaan tunggal.
Sesuai dengan UU No 7 Th 2011 pengedaran mata uang palsu diatur
dalam pasal 36 ayat 3 bahwa pelaku dipidana penjara paling lama 15 tahun
dan dipidana denda paling banyak Rp. 50.000.000.000,00. Dan dalam pasal
38 juga dijelaskan bahwa perbuatan pidana sebagaimana dimaksud dalam
pasal 33, 34, 35, 36 ayat 1,2,3,. sedangkan dalam putusan tersebut hanya
(17)
7
uang palsu tidak dipersyaratkan harus dari Negara tersangka, tetapi uang
tersebut mungkin juga berasal dari Negara lain sebagaimana pembahasan
yang dikemukakan penulis.
Berdasarkan kronologi kasus, pelaku sudah memenuhi unsur tindak
pidana pasal 36 ayat 2 dan 3 dan seharusnya pelaku dikenakan pasal berlapis,
sedangkan hakim dalam memutus perkara dengan nomor 929/pid.B/2015/PN
Mdn hanya menjatuhkan hukuman yang dirasa tidak sesuai dengan UU
Nomor 7 Tahun 2011 yaitu menjatuhkan hukuman hanya dengan pidana
penjara 2 (dua) tahun tanpa dikenakan hukuman denda sama sekali.
Suatu tindak kejahatan dalam Islam bisa juga disebut dengan jinayah
kata jinayah dalam istilah hukum sering disebut dengan delik atau tindak
pidana, seperti yang diungkapkan Imam Al-Mawardi bahwa jinayah adalah
perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh agama (syarak) yang diancam dengan
hukuman had atau takzir.5
Hukum pidana Islam merupakan syariat Allah yang mengandung
kemaslahatan bagi kehidupan manusia baik di duinia maupun akhirat.6
Syariat Islam dimaksud, secara materiil mengandung kewajiban asasi bagi
setiap manusia untuk melaksanakanya. Konsep kewajiban asasi syariat bagi
setiap manusia untuk melaksanakannya. Konsep kewajiban asasi syariat,
yaitu menempatkan Allah sebagai pemegang segala hak, baik yang ada pada
5
Ahmad Wardi Muslich,Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), 9.
6
(18)
8
diri sendiri maupun untuk mememuhi perintah Allah. Perintah Allah
dimaksud, harus ditunaikan untuk kemaslahatan dirinya dan orang lain.
Hukum pidana Islam merupakan hukum yang bersumber dari agama
maka di dalamnya terkandung dua aspek, yaitu aspek moral dan aspek
yuridis. Aspek moral dapat dilaksanakan oleh setiap individu karena
berkaitan dengan pelaksanaan perintah dan larangan. Aspek yuridis
dilaksanakan oleh pemerintah karena menyangkut sanksi hukum dan ini tidak
bisa dilaksanakan oleh perorangan, seperti halnya dalam hukum perdata.7
Dalam hukum Islam menerangkan tentang pengedaran uang palsu yang
isinya dapat di simpulkan empat pendapat dari para fuqaha anshar
(negara-negara besar), pertama : bahwa jual beli menjadi batal (rusak) pada saat
terjadi pengembalian, kedua : Penetapan (pengakuan) terhadap adanya jual
beli tersebut dan keharusan mengembalikan, ketiga : Pemilihan antara jumlah
yang sedikit dengan yang banyak, keempat: kebolehan memilih antara
mengganti yang palsu atau menjadi sekutunya. Dalam Islam uang juga dapat
di definisikan sebagai suatu yang dibuat oleh seseorang atau kelompok
tertentu sebagai transaksi pembayaran tanpa kewenangan yang diberikan
negara yang sah kepadanya dan hukumnya haram diperjual belikannya uang
palsu.8
Menurut hukum pidana Islam (fikih jinayah) tindak pidana pengedaran
uang palsu merupakan tindak pidana penipuan dimana tindak pidana ini
7
Ibid., vii.
8
(19)
9
berkaitan dengan harta benda.9 Sebagaimana telah dijelaskan secara rinci
tentang perbuatan penipuan ini sebagaimana disebutkan dalam surah
Albaqarah Ayat 188, yang berbunyi:
Artinya:
Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal
kamu mengetahui.10
Abu Hurairah RA. bahwa Rasulullah SAW. bersabda :
Barangsiapa yang mengarah senjata kepada kami. Dan barangsiapa yang
menipu kami, maka dia bukan golongan kami. (HR. Muslim No. 101)11
Dalam hukum Islam menipu adalah membohongi. Berlaku dusta adalah
merupakan ciri munafik. Munafik seperti yang dinyatakan dalam Al-Quran
surah An-Nisa’ ayat 145.
Artinya:
9
Abu Muawiah, “Haramnya Semua Bentuk Penipuan”, al-atsariyyah.com/haramnya-semua bentuk-penipuan.html, diakses pada, 24 Maret 2017.
10
Departement Agama RI,A lqur’an dan Terjemahannya, (Jakarta: PT. Syamil, 2005), 46.
11
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani,Terjemah Bulughul Maram Dan Penjelasanya, (Jakarta: Pustaka Amani, 2000), 578.
(20)
10
Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari neraka. Dan kamu sekali-kali tidak akan mendapat seorang penolongpun bagi mereka.
Ayat diatas memberikan penilaian kepada orang munafik lebih
membahayakan dari pada orang kafir. Jika merampas atau merampok harta
hukumanya seperi hukuman orang kafir yaitu hukum bunuh, maka hukuman
terhadap orang munafik minimal sama dengan hukuman yang ditentukan
terhadap perampok.12
Oleh karena itu berdasarkan permasalahan diatas, penulis tertarik untuk
mengadakan penelitian yang berkaitan dengan “ Tinjaun Hukum Pidana
Islam Terhadap Putusan Hakim No 929/Pid.B/2015/PN,Mdn Tentang
Pengedaran Mata Uang Palsu” penelitian ini dilakukan untuk mengetahui
apakah landasan hukum yang digunakan hakim pengadilan negeri Medan
dalam menyelesaikan perkara tindak pidana pengedaran mata uang palsu
sesuai dengan hukum pidana Islam dan perundang-undangan yang berlaku
serta tinjauan hukum pidana Islam tentang tindak pidana tersebut.
B. Identifikasi dan Batasan Masalah
Dari latar belakang masalah di atas penulis dapat mengindentifikasi
beberapa masalah sebagai berikut:
12
(21)
11
1. Unsur-unsur yang terdapat pada tindak pidana pengedaran mata uang
palsu.
2. Bentuk hukuman yang diberikan kepada pelaku tindak pidana pengedaran
mata uang palsu.
3. Penegakan hukum terhadap tindak pidana pengedaran mata uang palsu.
4. Pertimbangan hakim dalam putusan pengadilan negeri medan nomor
929/Pid.B/2015 tentang pengedaran mata uang palsu.
5. Tinjauan hukum pidana Islam terhadap pelaku tindak pidana pengedaran
mata uang palsu terhadap putusan nomor 929/Pid.B/2015/PN Mdn.
Kemudian untuk menghasilkan penelitian yang lebih fokus pada
permasalahan yang akan dikaji, maka penulis membatasi penelitian pada:
1. Dasar hukum pertimbangan hakim terhadap pelaku tindak pidana
pengedaran mata uang palsu terhadap putusan nomor 929/Pid.B/2015/PN
Mdn.
2. Prespektif hukum pidana Islam terhadap pelaku tindak pidana pengedaran
mata uang palsu terhadap putusan nomor 929/Pid.B/2015/PN Mdn.
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan tersebut diatas, maka
(22)
12
1. Bagaimana pertimbangan hukum hakim dalam Putusan Pengadilan
Negeri Medan Nomor 929/Pid.B/2015 tentang pengedaran mata uang
palsu?
2. Bagaimana analisa hukum pidana Islam terhadap Putusan Pengadilan
Negeri Medan nomor 929/Pid.B/2015 tentang pengedaran mata uang
palsu?
D. Kajian Pustaka
Kajian pustaka adalah deskripsi ringkas tentang kajian atau penelitian
yang pernah dilakukan di seputar masalah yang diteliti sehingga terlihat jelas
bahwa kajian yang akan dilakukan ini tidak merupakan pengulangan atau
duplikasi dari kajian atau penelitian yang yang telah ada.13 Berkaitan dengan
beberapa tema diantaranya ialah:
1. Skripsi yang disusun oleh Amiratul Azizah “ Tijauan Hukum Pidana
Islam Terhadap Tindak Pidana Pemalsuan Uang Berdasarkan UU No.7 Tahun 2011 Tentang Mata Uang Palsu (Studi Putusan PN Kediri No. 137/Pid Sus /2014/PN.Kdr)”. skripsi ini lebih menitik beratkan pada penyelesaian perkara tindak pidana pemalsuan uang rupiah sesuai dengan
hukum pidana Islam dan perundang-undang yang berlaku.14
13
Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Ampel Surabaya,Petunjuk Teknis Penulisan Skripsi, (Surabaya: t.p., 2016), 8.
14
Amiratul Azizah , “Putusan Pengadilan Negeri Kediri Nomor 137/Pid Sus/2014/Pn. Kdr Tentang Tinjauan Hukum Pidana Islam Terhadap Tindak Pidana Pemalsuan Uang Berdasarkan UU No.7 Tahun 2011 Tentang Mata Uang Palslu” (Skripsi— UIN Sunan Ampel Surabaya, 2016).
(23)
13
2. Skripsi yang disusun oleh Arif Effendi “Studi Komparatif Terhadap
Sanksi Delik Tindak Pidana Pemalsuan Uang Menurut KUHP Pasal 244 Dan Hukum Pidana Islam Ditinjau Dari Fiqih Jinayah”. Skripsi ini meneliti tentang perbedaan pemberian sanksi terhadap tindak pidana
pemalsuan uang berdasarkan KUHP Pasal 244 dan hukum pidana islam.15
3. Skripsi yang disusun oleh Soni Hermon “Proses Penyelidikan Tindak
Pidana Pemalsuan Uang Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum A cara Pidana”. Skripsi ini membahas tentang proses penyidikan tindak pidana pemalsuan uang oleh kepolisian sesuai
dengan UU Nomor 8 tahun 1981.16
Penelitian yang penulis lakukan menindaklanjuti putusan hakim
Pengadilan Negeri Medan tentang tindak pidana pengedaran mata uang palsu
dengan nomor putusan: 929/pid/2015/Pn. Mdn. Pada putusan ini dirasa hakim
telah menjatuhi hukuman yang relatif meringankan pelaku tindak pidana
pengedaran uang palsu.
Dari pernyataan tersebut maka penulis ingin membahas putusan hakim
tersebut guna mendapatkan gambaran yang lebih jelas, juga untuk
melengkapi penelitian-penelitian tentang tindak pidana pengedaran uang.
Yang membedakan dalam penulisan skripsi ini dengan yang sudah pernah
15
Arif Effendi,” Studi Komparatif Terhadap Sanksi Delik Tindak Pidana Pemalsuan Uang Menurut KUHP Pasal 244 Dan Hukum Pidana Islam Ditinjau Dari Fiqih Jinayah”, (Skripsi— IAIN Sunan Ampel, Surabaya, 2007).
16
Soni Hermon,“Proses Penyelidikan Tindak Pidana Pemalsuan Uang Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana”, (skripsi —universitas andalas, padang,2012).
(24)
14
dibahas adalah penulis akan menganalisis terhadap putusan Nomor:
929/Pid/2015/Pn. Mdn tentang pengedaran mata uang palsu dengan
menggunakan pasal 245 KUHP dan perundang-undangan yang berlaku.
Kajian pustakan yang dilakukan oleh penliti bertujuan untuk mendapat
gambaran mengenai pembahasan dan topik yang akan diteliti oleh peneliti.
E. Tujuan Penelitian
Sehubungan dengan rumusan masalah diatas, maka tujuan dari penelitian
ini adalah:
1. Untuk mengetahui pertimbangan hukum hakim dalam putusan pengadilan
negeri Medan nomor 929/Pid.B/2015/PN Mdn tentang tindak pidana
pengedaran mata uang palsu.
2. Untuk mengetahui analisis hukum pidana Islam terhadap putusan
pengadilan negeri Medan nomor 929/Pid.B/2015/PN Mdn tentang tindak
pidana pengedaran mata uang palsu.
F. Kegunaan Hasil Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih pemikiran
bagi disiplin keilmuan secara umum dan sekurang-kurangnya dapat
digunakan untuk 2 (dua) aspek, yaitu:
1. Aspek teoritis yaitu sebagai masukan dalam rangka pengembangan dan
(25)
15
hukum pidana Islam yang berkaitan dengan masalah pengedaran mata
uang palsu sehingga akan didapatkan hasil yang bermanfaat bagi
perkembangan ilmu hukum dimasa mendatang
2. Aspek praktis
a. Sebagai bahan perbandingan bagi penelitian selanjutnya.
b. Sebagai sumbangan informasi bagi masyarakat tentang betapa
pentingnya hukuman bagi pelaku tindak pidana pengedaran mata uang
palsu.
c. Penyusunan skripsi ini sebagai upaya untuk memenuhi persyaratan
akademis dan memperoleh gelar sarjana dalam prodi Hukum Pidana
Islam Jurusan Hukum Publik Pada Fakultas Syari’ah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya.
G. Definisi Operasional
Sebagai gambaran di dalam memahami suatu pembahasan maka perlu
adanya pendefinisian terhadap judul yang bersifat operasional dalam
memahami penelitian ini agar jelas tentang arah dan tujuanya, sehingga tidak
terjadi kesalahpahaman dalam memahami maksud yang terkandung.
Dalam hal ini penulis akan terlebih dahulu menjelaskan definisi
operasional terkait dengan judul “Tinjaun Hukum Pidana Islam Terhadap
(26)
16
Uang Palsu”, maka penulis sertakan beberapa definisi yang terkait dengana
penelitian ini:
1. Hukum pidana Islam adalah ilmu tentang syara’ yang berkaitan dengan
masalah perbuatan yang dilarang (jarimah) hukumanya, yang diambil dari
dalil-dalil yang terperinci.17 Atau larangan hukum yang diancam oleh
Allah dengan hukuman had atau takzir Dalam penelitian ini merupakan
teori jarimah takzir.18
2. Putusan adalah putusan yang diucapkan oleh hakim karena jabatanya
dalam persidangan perkara pidana yang terbuka untuk umum setelah
melalui proses dan prosedural hukum acara pidana pada umumnya
berisikan amar pemidanaan atau bebas atau pelepasan dari segala tuntutan
hukum dibuat dalam bentuk tertulis dengan tujuan menyelesaikan
perkara.19 Dalam hal ini adalah Putusan Hakim No 929/Pid.B/2015/PN
Mdn Tentang Pengedaran Mata Mata Uang Palsu.
3. Rupiah palsu adalah suatu benda yang bahan, ukuran, warna, gambar,
dan/atau desainya mentyerupai Rupiah yang dibuat, dibentuk, dicetak,
digandakan, diedarkan, atau digunakan sebagai alat pembayaran secara
melawan hukum.20
17
Ahmad Wardi Muslich,Pengantar Dan A saS… ,2
18
Sahid,Pengantar Hukum Pidana Islam, (Surabaya: UIN SA Press, 2014), 6.
19
Lilik Mulyani,Kompilasi Hukum Pidana Dalam Prespektif Teoritis Dan Praktek Pradilan, (Jakarta:Mandar Maju, 2007),27.
20
(27)
17
4. Pengedaran adalah suatu rangkaian kegiatan mengedarkan atau
mendistribusikan Rupiah di Wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia.21
H. Metode Penelitian
Penelitian ini dapat digolongkan dalam jenis penelitian kualitatif dengan
prosedur penelitian yang akan menghasilkan data deskriptif berupa data
tertulis dari dokumen, undang-undang hukum pidana, Undang-undang
tentang mata uang, artikel dan putusan pengadilan negeri Medan Nomor:
929/Pid.B/2015 yang dapat ditaah. Untuk mendapatkan hasil penelitian yang
akurat dalam menjawab beberapa persoalan yang diangkat dalam penulisan
ini, maka menggunakan metode:
1. Jenis dan pendekatan penelitian
Penelitian yang dilakukan menggunakan metode pendekatan yuridis
normatif yang bersifat deskriptif yang dilakukan dengan cara meneliti
bahan pustaka.22 Dalam hal ini penelitian dilakukan untuk
mengindentifikasi Tinjaun Hukum Pidana Islam Tentang “Pengedaran
Mata Uang Palsu” (studi Putusan No 929/Pid.B/2015/PN Mdn). Metode
yang digunakan adalah metode berfikir deduktif ( cara berfikir dalam
penarikan kesimpulan yang ditarik dari sesuatu yang sifatnya umum yang
sudah dibuktikan bahwa dia benar dan kesimpulan itu ditunjukan untuk
21
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2011 Tentang Mata Uang.
22
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji,Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: Rajagrafindo, 1995), 13.
(28)
18
sesuatu yang sifatnya khusus). Dalam kaitanya dengan penelitian
normative disini akan digunakan beberapa pendekatan, yaitu, pendekatan
perundang-undang dan pendekatan konsep.23
2. Data yang dikumpulkan
Penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library research).
Penelitian ini dilakukan terhadap buku-buku rujukan yang membicarakan
tentang tinjauan hukum pidana Islam terhadap Putusan Hakim No
929/Pid.B/2015/PN Mdn Tentang Pengedaran Mata Uang Palsu. Hal ini
dilakukan guna meninjau pertimbangan hakim terhadap tindak
pengedaran mata uang palsu berdasarkan pasal 36 ayat 3 Undang-undang
Nomor 7 tahun 2011 tentang mata uang dan sanksi berdasarkan hukum
pidana Islam.
3. Sumber data
Sumber data, yakni sumber dari mana data akan digali, baik primer
maupun sekunder.24adapun sumber data penelitian ini meliputi:
a. Sumber data primer
Sumber data primer yaitu data yang bersifat utama dan penting
yang memungkinkan untuk mendapat sejumlah informasi yang
diperlukan dan berkaitan dengan penelitian yaitu putusan Pengadilan
23
Johny Ibrahim,Teori Dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang: Bayumedia, 2007), 300.
24
(29)
19
Negeri Medan Nomor. 929/Pid.B/2015 tentang pengedaran mata uang
palsu dan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
b. Sumber data sekunder
Sumber data sekunder yaitu sumber data yang diambil dan
diperoleh dari bahan pustaka dengan mencari data atau informasi
berupa benda-benda tertulis seperti teori dari buku-buku literatur yang
berkaitan dengan permasalahan sebagai berikut:
1) Ahmad Wardi Muslich,Pengantar dan A sas Hukum Pidana Islam.
2) D. SchaFfmeister,Hukum Pidana.
3) Muchdarsyah Sinugan,Uang & Bank.
4. Teknik pengumpulan data
Sesuai dengan bentuk penelitian yakni kajian pustaka (library
research), maka penelitian ini dilakukan dengan cara mengumpulkan berbagai buku yang terkait dengan permasalahan yang diteliti, kemudian
memilih secara mendalam sumber data kepustakaan yang relevan dengan
masalah yang dibahas.
5. Teknik analisis data
Teknis analisis data yang digunakan dalam penelitian ini
menggunakan teknik deskriptif analisis yang menggambarkan atau
mengguraikan suatu hal menurut apa adanya tanpa membuat
perbandingan atau mengembangkan satu dengan yang lainya, yakni
menguraikan kasus tentang hukuman yang melakukan tindak pidana
(30)
20
secara keseluruhan, mulai dari deskripsi kasus, landasan hukum yang
dipakai oleh hakim, isi putusan kemudian dilakukan analisis berdasarkan
berkas-berkas yang ada dan menilai secara hukum islam.
I. Sistematika Pembahasan
Penelitian ini membutuhkan pembahasan yang sistematis agar lebih
memperjelas serta mempermudah dalam penulisan skripsi ini maka dibuat
suatu sistematika penulisan ini ke dalam 5 (lima) bab pembahasan. Adapun
sistematika pembahasan skripsi tersebut secara umum adalah sebagai berikut:
Bab I, pada bab ini diuraikan tentang pendahuluan yaitu meliputi latar
belakang masalah, identifikasi dan batasan masalah, rumusan masalah, kajian
pustaka, tujuan penelitian, kegunaan hasil penelitian, definisi operasional,
metode penelitian, dan sistematika pembahasan.
Bab II, bab ini merupakan tinjauan hukum pidana Islam terhadap sanksi
pengedaran mata uang palsu yang meliputi definisi takzir, dasar hukum,
tujuan sansksi, jenis dan sanksi hukumanya.
Bab III, pada bab ini membahas tentang putusan pengadilan negeri
medan yang dimana pada bab ini akan berisi tentang kasus posisi serta dasar
hukum yang digunakan hakim dalam memutus perkara pengedaran mata uang
(31)
21
Bab IV, bab ini mengemukakan tentang analisi terhadap tinjauan hukum
pidana Islam terhadap tindak pidana pengedaran uang palsu (Studi Putusan
Pengadilan Negeri Medan Nomor 929/Pid.B/2015/PN Mdn).
Bab V, bab ini merupakan kesimpulan dan saran yang memuat uraian
(32)
BAB II
HUKUMAN DALAM HUKUM PIDANA ISLAM
A. Pengertian Jarimah
Jarimah berasal dari kata ( ) yang sinonimnya ( ) artinya:
berusaha dan bekerja. Hanya saja pengertian usaha disini khusus untuk usaha
yang tidak baik atau usaha yang dibenci oleh manusia. Dari pengertian
tersebut dapatlah ditarik suatu definisi yang jelas, bahwa Jarimah itu adalah
Melakukan setiap perbuatan yang menyimpang dari kebenaran, keadilan, dan jalan yang lurus (agama).
Dari keterangan ini jelaslah bahwa Jarimah menurut arti bahasa adalah
melakukan perbuatan-perbuatan atau hal-hal yang dipandang tidak baik,
dibenci oleh manusia karena bertentanagn dengan keadilan, kebenaran, dan
jalan yang lurus (agama).1
Menurut Al Mawardi, pengertian jarimah secara terminologis ialah
larangan hukuman diancam oleh Allah dengan hukuman had dan takzir.
Larangan hukuman bisa berwujud mengerjakan perbuatan yang dilarang dan
bisa berwujud meninggalkan yang diperintah. Dengan demikian orang yang
mengerjakan perbuatan yang mengerjakan perbuatan yang dilarang dan orang
✁
Ahmad Wardi Muslich,Pengantar Dan Asas Hukum Pidana Islam Fikih Jinayah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), 9.
(33)
✂ ✄
yang meninggalkan perbuatan yang diperintahkan, dia akan dikenai hukuman
sesuai dengan apa yang diperbuat dan apa yang ditinggalkan.2
Jarimah didefinisikan oleh Imam Al-Mawardi sebagai berikut:
segala larangan syarak (melakukan hal-hal yang dilarang dan atau meninggalkan hal-hal yang diwajibkan) yang diancam dengan hukuman had
atau takzir 3
B. Unsur-Unsur Jarimah
Secara singkat dapat dijelaskan, bahwa suatu perbuatan dianggap jarimah
bila terpenuhi syarat dan rukun. Adapun rukun jarimah dapat dikategorikan
menjadi 2 (dua): pertama, rukun umum, artinya unsur-unsur yang harus
terpenuhi pada setiap jarimah. Kedua, unsur khusus, artinya unsur-unsur yang
harus terpenuhi pada jenis jarimah tertentu.4
1. Adapun yang termasuk dalam unsur-unsur umum jarimah adalah:5
a. Unsur formil (adanya undang-undang atau nas).
Artinya setiap perbuatan tidak dianggap melawan hukum dan
pelakunya tidak dapat dipidana kecuali adanya nas atau
undang-undang yang mengaturnya.
b. Unsur materiil (sifat melawan hukum).
☎
Sahid,Pengantar Hukum Pidana Islam,(Surabaya: Uin Sunan Ampel Press, 2014), 6.
3
Djazuli,Fiqih Jianyah (Upaya Menanggulangi Kejahatan Dalam Islam),(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000), 11.
✆
Makhrus Munajat,Dekontruksi Hukum ,9.
5
(34)
✝ ✞
Artinya adanya tingkah laku seorang yang membentuk jarimah,
baik dengan sikap berbuat maupun sikap tidak berbuat. Unsur ini
dalam hukum pidana Islam disebut denganar-rukn al-madi.
c. Unsur moril (pelakunya mukalaf).
Artinya pelaku jarimah adalah, orang yang dapat dimintai
pertanggungjawaban pidana terhadap jarimah yang dilakukanya.
Dalam syariat Islam disebut denganar-rukn al-adabi.
2. Unsur khusus. Yang dimaksud dengan unsur khusus tertentu dan berbeda
antara unsur khusus pada jarimah yang satu dengan yang lainnya.
Misalnya pada jarimah pencurian, harus terpenuhi unsur perbuatan dan
benda. Perbuatan itu dilakukan dengan cara sembunyi-sembunyi, barang
itu milik orang lain secara sempurna dan benda itu sudah ada pada
penguasaan pihak pencuri. Syarat yang berkaitan dengan benda, bahwa
benda itu berupa harta, ada pada tempat penyimpanan dan mencapai satu
nisab. Unsur umum pada jarimah hanya ada satu dan sama pada setiap
jarimah, sedangkan unsur khusus bermacam-macam serta berbeda pada
setiap jenis jarimah.6
C. Pembagian jarimah
Ditinjau dari segi berat ringanya hukuman.7
1. Jarimah Hudud
6
Makhrus Munajat,Dekontruksi Hukum ,10-11.
7
(35)
25
Jarimah hudud adalah jarimah yang diancam dengan hukuman had,
pengertian hukuman had adalah hukuman yang telah ditentukan oleh
syarak dan menjadi hak Allah. Hudud menurut istilah adalah sanksi yang
telah ditetapkan oleh Allah bagi suatu tindak kemaksiatan, untuk
mencegah pada kemaksiatan yang sama.8 Dengan demikian ciri khas
Jarimah hudud adalah sebagai berikut:
a. Hukumanya tertentu dan terbatas, dalam arti bahwa hukumanya telah
ditentukan oleh syarak dan tidak ada batas minimal dan maksimal.
b. Hukuman tersebut merupakan hak Allah semata-mata, atau kalau ada
hak manusia disamping hak Allah maka hak Allah yang lebih
menonjol.
Jarimah hudud ini ada tujuh macam antara lain:9
1) Jarimah zina
2) Jarimahqāzdāf
3) Jarimahsyūrbul khāmr
4) Jarimah pencurian
5) Jarimahhīrabah
6) Jarimahal bāgyū(pemberontakan)
8
Asadulloh Al Faruq,Hukum Pidana Dalam Sistem Hukum Islam, (Surabaya: Ghalia Indonesia, 2009), 19.
9
(36)
26
2. Jarimah Kisas atau Diat
Yakni perbuatan yang diancam dengan hukuman kisas dan diat. Baik
hukuman kisas maupun diat merupakan hukuman yang telah ditentukan
batasanya, tidak ada batas terendah dan tertinggi, tetapi menjadi hak
perorangan (si korban dan walinya), ini berbeda dengan hukuman had
yang menjadi hak allah semata. Hukuman kisas diat penerapanya ada
beberapa kemungkinan, seperti hukuman kisas bisa berubah menjadi diyat,
hukuman diat menjadi dimaafkan dan apabila dimaafkan maka hukuman
menjadi hapus.10
Yang termasuk dalam kategori Jarimah kisas diat adalah pembunuhan
sengaja, pembunuhan semi sengaja, pembunuhan keliru, penganiayaan
sengaja dan penganiyaan salah.11
3. Jarimah Takzir a. Pengertian Takzir
Takzir menurut bahasa berasal dari kata yang secara
etimologis berarti , yaitu menolak dan mencegah kejahatan,
juga berarti menguatkan, memulihkan, membantu. 12 Takzir adalah
bentuk hukuman yang tidak disebutkan ketentuan kadar hukumanya
oleh syarak.13 Takzir juga berarti hukuman yang berupa memberi
10
Makhrus Munajat,Dekontruksi Hukum Pidana Islam, (Jogjakarta: Logung Pustaka, 2004), 12.
11
Ibid, 13
12
Djazuli,Fiqih Jinayah (Upaya Menanggulangi Kejahatan Dalam Islam),(Jakarta: PT Raja Grafindo, 1997),160.
13Nur Lailatul Musyafa ah,
(37)
27
pelajaran. Disebut dengan takzir karena hukuman tersebut sebenarnya
menghalangi si terhukum tidak kembali kepada jarimah atau dengan
kata lain membuatnya jera. Takzir berasal dari kata azzara yang
berarti menolak dan mencegah kejahatan, atau berarti menguatkan,
memuliakan, dan membantu. Dalam Al- Quran disebutkan:
.
Supaya kamu sekalian beriman kepada Allah dan Rasul- Nya,
menguatkan (agama) Nya, membesarkan-Nya dan bertasbih
kepadamu diwaktu pagi dan petang. (Q.S Alfath:9)14
Para fuqaha mengartikan takzir dengan hukuman yang tidak
ditentukan oleh Al-Quran dan Hadis yang berkaitan dengan kejahatan
yang melanggar hak allah dan hak hamba yang berfungsi untuk
memberi pelajaran kepada siterhukum dan mencegahnya untuk tidak
mengulangi kejahatan serupa. Dalam takzir hukuman itu tidak
ditetapkan dengan ketentuan ( dari Allah dan Rasul-Nya), dan Qadhi
diperkenankan untuk mempertimbangkan baik bentuk hukuman yang
akan dikenakan maupun kadarnya, bentuk pelanggaran yang dapat
dihukum dengan metode ini apabila merugikan kehidupan dan harta
serta kedamaian dan kenyamanan masyarakat.15
Tindak pidana Takzir adalah tindak pidana-tindak pidana yang
diancamkan dengan satu atau beberapa hukuman takzir. yang
dimaksud dengan takzir adalah ta dib, yaitu memberi pendidikan
14
Ahmad Wardi Muslich,Hukum Pidana Islam,(Jakarta:Sinar Grafika, 2005), 166.
15
(38)
28
(pendisiplinan). Hukum islam tidak menentukan macam-macam
hukuman untuk tiap-tiap tindak pidana takzir, tetapi hanya
menyebutkan sekumpulan hukuman, dari yang paling ringan sampai
yang paling berat. Dalam hal ini hakim diberi kebebasan untuk
memilih hukuman-hukuman yang sesuai dengan macam tindak pidana
takzir serta keadaan sipelaku.16
Secara ringkas dikatakan bahwa hukuman takzir adalah hukuman
yang belum ditetapkan oleh syarak, melainkan diserahkan kepadaUlil
Al-mri, baik penentuan maupun pelaksanaannya. Dalam penentuan hukuman tersebut, penguasa hanya menetapkan hukumannya secara
global saja. Artinya pembuat undang-undang tidak menetapkan
hukuman untuk masing-masing jarimah takzir melainkan hanya
menetapkan sejumlah hukuman, dari yang seringan-ringannya hingga
yang seberat-beratnya.17
Hakim dalam hal ini diberi kewenangan untuk menjatuhkan
hukuman bagi pelaku jarimah takzir, kata “hakim” secara etimologi
berarti orang yang memutuskan hukum. Dalam istilah fiqih hakim
merupakan orang yang memutuskan hukum yang sama maknanya
dengan Qadhi.18
Syarak tidak menentukan macam-macam hukuman untuk setiap
jarimah takzir tetapi hanya menyebutkan sekumpulan hukuman, dari
16
Abdul Qadir Audah,Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, (Bogor: PT Charisma Ilmu,2010),100.
17
Ahmad Wardi Muslich,Pengantar Dan Asas Hukum…,19.
18
(39)
29
yang paling ringan hingga paling berat. Hakim diberi kebebasan untuk
memilih hukuman mana yang sesuai. Dengan demikian sanksi takzir
tidak mempunyai batas tertentu.19
Tindak pidana takzir memang tidak mungkin ditentukan
jumlahnya. Hukum islam hanya menentukan sebagian takzir, yaitu
perbuatan yang selamanya akan dianggap sebagai tindak pidana
tertentu. Maksud syarak memberikan hak penentuan takzir kepada
para penguasa dalam batasan-batasan tersebut adalah agar mereka
dapat mengukur masyarakat dan memelihara
kepentingan-kepentingannya serta bisa menghadapi keadaan dengan
sebaik-baiknya. Perbedaan antara takzir yang ditetapkan oleh hukum Islam
dan takzir yang ditetapkan oleh penguasa adalah takzir yang
ditetapkan hukum Islam tetap dilarang untuk selamanya dan tidak
mungkin menjadi perbuatan yang mubah sampai kapanpun sedangkan
tindak pidana takzir yang ditetapkan oleh penguasa bisa menjadi
perbuatan yang mubah (tidak dilarang) manakala kepentingan
masyarakat umum menghendaki demikian.20
b. Dasar Hukum Takzir
19
M. Nurul Irfan Dan Masyrofah,Fiqh Jinayah, (Jakarta: Amzah, 2013), 143.
20
(40)
30
Dasar hukum disyariatkannya takzir terdapat dalam beberapa
hadis Nabi dan tindakan sahabat antara lain sebagai berikut:21
1) Hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Abi Burdah yang berbunyi:
:
)
.(
Dari Abi Burdah Al-Ansari ra bahwa ia mendengar Rasulullah SAW bersabda: tidak boleh dijilid diatas sepuluh cambuk kecuali didalam hukuman yang telah ditentukan oleh Allah ta’ala (Muttafaq Alaih).22
Hadis tersebut menjelaskan tentang batas hukuman takzir yang
tidak boleh lebih dari sepuluh kali cambukan untuk membedakannya
dengan hudud. Dengan batas hukuman ini, dapat diketahui mana yang
termasuk jarimah hudud dan mana yang termasuk jarimah takzir.
2) Hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Aisyah:
:
)
.(
Dari Aisyah ra. Bahwa Nabi sw. bersabda: “Ringankanlah hukuman bagi orang-orang yang tidak melakukan kejahatan atas
perbuatan mereka, kecuali dalam jarimah-jarimah Hudud.
(Diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud, Nasa’I, dan Baihaqi)23
Adapun hadis yang diriwayatkan oleh Aisyah menjelaskan
tentang aturan teknis pelaksanaan hukuman takzir yang bisa jadi
berbeda-beda penerapannya, tergantung status pelaku dan hal lainnya.
21
M. Nurul Irfan dan Masyrofah,Fiqh Jinayah...,140-142.
22
Kahar Masyhur,Terjemahan Bulughul Maram 2, (Jakarta: PT Rineka Cipta,1992), 230.
23
(41)
31
Secara umum kedua hadis tersebut menjelaskan tentang
eksistensi takzir dalam syariat Islam.. Hadis pertama menjelaskan
tentang batasan hukuman takzir yang tidak boleh lebih dari sepuluh
kali cambukan, untuk membedakan dengan jarimah hudud. Dengan
batasan hukuman ini dapatlah diketahui mana yang termasuk jarimah
hudud dan mana yang termasuk jarimah takzir. Sedangkan hadis
kedua mengatur tentang teknis pelaksanaan hukuman takzir yang bisa
berbeda antara satu pelaku dengan pelaku lainya, tergantung pada
status mereka dan kondisi-kondisi lain yang menyertainya.
c. Tujuan Sanksi Takzir
Adapun maksud utama sanksi takzir yaitu sebagai berikut:24
1) Fungsi preventif (pencegahan), yakni bahwa sanksi takzir harus
memberikan dampak positif bagi orang lain (orang yang tidak
dikenali hukuman) sehingga orang lain tidak melakukan perbuatan
yang sama dengan perbuatan terhukum.
2) Fungsi represif (membuat pelaku jera), dimaksud agar pelaku tidak
mengulangi perbuatan jarimah dikemudian hari.
3) Fungsi kuratif, yang maksudnya takzir harus mampu membawa
perbaikan perilaku terpidana dikemudian hari.
4) Fungsi edukatif (pendidikan), diharapkan dapat mengubah pola
hidupnya sehingga pelaku akan menjauhi perbuatan maksiat bukan
24
(42)
32
karena takut hukuman melainkan karena tidak senang terhadap
kejahatan. Dalam hal ini pendidikan agama sebagai sarana
memperkuat keimanan dan ketakwaannya, sehingga ia menjauhi
segala macam maksiat untuk mencari keridhaan Allah SWT.
d. Pembagian Hukuman Takzir
1) Hukuman takzir atas perbuatan maksiat
Hukuman takzir ini diancam atas perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh syara karena perbuatan itu sendiri, dan
mengerjakanya dipandang maksiat.25 Perbuatan yang dimaksud
adalah suatu perbuatan yang jelas-jelas diharamkan untuk
selamanya. Perbuatan itu disebut tindak kemaksiatan.26
Maksiat-maksiat tersebut dibagi menjadi tiga:27
a) Maksiat yang dikenakan hukum had, tetapi kadang-kadang
ditambah dengan kafārat, seperti pembunuhan, pencuruian,
zina dan sebagainya. Yakni terhadap jarimah-jarimah tersebut,
selain dikenakan hukuman had juga dikenakan hukuman takzir.
Pada dasarnya terhadap jarimah-jarimah tersebut cukup
dikenakan hukuman had, tetapi apabila dikehendaki oleh
kemasalahatan umum, maka tidak ada keberatanya untuk
ditambah lagi dengan hukuman takzir.
25
Ahmad Hanafi,Hukum Pidana Islam, (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1990), 68.
26
Abdul Qadir Audah,Ensiklopedi Hukum Pidana, 90.
27
(43)
33
b) Maksiat yang dikenakan kīfarat, tetapi tidak dikenakan
hukuman had.Kīfarat dalam hal ini mirip dengan harta benda,
dimana kadang-kadang merupakan hukuman pidana seperti
pada denda atau merupakan ganti kerugian, atu merupakan
hukuman pidana dang anti kerugian bersama-sama, seperti
pada diat.
c) Maksiat yang tidak dikenakan hukuman had atau kīfarat.
Perbuatan yang termasuk dalam hal ini adalah makan beberapa
makanan tertentu, menghianati janji, menipu timbangan,
sumpah palsu, makan harta riba, memaki-maki, suapan,
berjudi, masuk rumah orang lain tanpa alasan yang sah,
memata-matai orang lain, dan sebagainya. Perbuatan-perbuatan
tersebut termasuk jarimah takzir yang terpenting, dan untuk
masing-masing perbutan tersebut ada nas-nasnya yang jelas.
2) Hukuman takzir mewujudkan kemaslahatan umum
Hukuman takzir ini diancamkan atas perbuatan dan keadaaan
yang dilarang oleh hukum islam bukan karena perbuatanya itu
sendiri, melainkan dilarang karena sifatnya. Dalam hal ini,
perbuatan atau keadaan tersebut tidak disyaratkan sebagai
perbuatan maksiat.28 Sifat tersebut ialah apabila perbuatan yang
dikerjakan merugikan kepentingan atau ketertiban umum. Untuk
terpenuhinya sifat tersebut maka sipembuat harus telah
28
(44)
34
mengerjakan salah satu dari dua hal, yaitu melakukan perbuatan
yang menggangu kepentingan dan ketertiban umum. Apabila salah
satu perbuatan tersebut sudah dapat dibuktikan, maka hakim tidak
boleh membebaskan sipembuatnya, melainkan menjatuhkan
hukuman-hukuman takzir yang sesuai untuknya.29
Penjatuhan hukuman takzir untuk kemaslahatan umum
didasarkan atas tindakan Rasullullah S.A.W., dimana ia pernah
menahan seseorang lelaki yang dituduh mencuri unta, setelah
ternyata bahwa dia tidak mencurinya, Rasulullah S.A.W.
melepaskanya.
3) Hukuman takzir atas perbuatan-perbuatan pelanggaran
Yang dimaksud dengan pelanggaran disini ialah melakukan perbuatan makruh atau meninggalkan perbuatan mandub.
Hukuman takzir diancamkan atas beberapa perbuatan yang
dilarang oleh syarak pada perbuatan itu sendiri. Walaupun
demikian, mengerjakan perbuatan ini hanya dipandang sebagai
pelanggaran bukan maksiat.
Bagi penjatuhan hukuman takzir tersebut disyaratkan
berulang-ulangnya perbuatan yang dikenakan hukuman. Jadi
sebenarnya hukuman itu bukan karena perbuatan itu sendiri,
melainkan karena berulang-ulangnya.
29
(45)
35
e. Macam-Macam Jarimah Takzir
Sanksi takzir itu macamnya beragam, diantaranya adalah sebagai
berikut:
1) Sanksi takzir yang mengenai badan. Hukuman yang terpenting
dalam hal ini ada dua yaitu hukuman mati dan jilid.
a) Hukuman Mati
Hukuman mati umumnya diterapkan sebagai hukuman
kisas untuk pembunuhan sengaja dan sebagai hukuman had
untuk jarimah hirabah, zina muhsan, riddah, dan jarimah
pemberontakan, untuk jarimah takzir, tentang hukuman mati
sendiri ada beberapa pendapat dari para fuqaha.30
Mazhab Hanafi membolehkan sanksi takzir dengan
hukuman mati tetapi dengan syarat bila perbuatan itu
dilakukan secara berulang-ulang. Sedangkan Mazhab Maliki
juga membolehkan hukuman mati sebagai sanksi takzir yang
tertinggi. Demikian juga Mazhab Syafi’i, sebagian Mazhab
Syafi’iyah membolehkan hukuman mati, seperti dalam kasus
homoseks.31
Mazhab Malik juga membolehkan hukuman mati sebagai
sanksi hukuman tertinggi. Demikian juga Mazhab Syafi iyah
membolehkan hukuman mati. Sebagian ulama Hanabilah juga
membolehkan penjatuhan hukuman mati sebagai sanksi takzir
30
Makrus Munajat,Hukum Pidana Islam Di Indonesia,(Yogyakarta: Teras, 2009), 196.
31
(46)
36
tertinggi. Para ulama yang membolehkan hukuman mati
sebagai sanksi takzir beralasan dengan hadis nabi yang
menunjukan adanya hukuman mati seperti:
:
.
Dari Arfajah bin syuraih r.a. berkata: aku mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: bila datang kepadamu seorang yang hendak mematahkan tongkatmu (memecah belah jama ah) atau memecah belah persatuan kalian, maka bunuhlah dia, (HR. Muslim).32
Adapun para ulama yang melarang penjatuhan sanksi
hukuman mati sebagai sanksi takzir beralasan dengan hadis:33
:
.
Dari Abdullah dia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda: “Tidak halal darah seseorang muslim yang telah bersaksi bahwa tiada tuhan yang berhak untuk disembah selain Allah dan aku adalah utusan Allah, kecuali satu dari tiga orang berikut ini: seorang janda yang berzina, seseorang yang membunuh orang lain, orang yang keluar dari agamanya, memisahkan diri dari Jama’ah (murtad). (HR. Ibnu Majah).
32
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani, Terjemah Bulughul Maram Dan Penjelasannya Koleksi Hadis-Hadis Hukum,(Jakarta: Pustaka Amani,2000), 579-580.
33 Ibid,
(47)
37
jadi menurut para ulama hukuman mati itu hanya diberikan kepada pelaku jarimah yang berbahaya sekali, yang berkaitan dengan jiwa, keamanan dan ketertiban masyarakat atau bila sanksi hudud tidak lagi memberi pengaruh baginya.34 b) Hukuman jilid
Jilid adalah sanksi badan yang langsung dirasakan sakitnya oleh badan terhukum, sehingga menjadikan si terhukum jera dengan mempertimbangkan kejahatanya, pelakunya, tempat, dan waktunya.35 Dalam jarimah takzir, hukuman ini sebenarnya juga ditunjuk Al-Quran untuk mengatasi masalah kejahatan atau pelanggaran yang ada sanksinya.36
Adapun hukuman jilid dalam pidana takzir juga berdasarkan Al-Quran dan Hadis dan Ijmak, dalam Al-Quran misalnya adalah Surat An-Nisa ayat 34:37
.
.
.
Wanita-wanita yang khawatir nusyuznya, maka nasihatilah mereka dan pisahkan diri dari tempat tidur mereka, dan pukullah mereka, kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah mencari-cari jalan untuk menyusahkannya, sesungguuhnya allah maha tinggi lagi maha besar.
34
A. Djazuli,Fiqh Jinayah...,191. 35
Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Shahih Sunan Ibnu Majah, Jilid 2. (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), 460-461.
36
Rahmat Hakim,Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah),(Bandung: Pustaka Setia, 2000), 192
37
(48)
38
Meskipun dalam ayat diatas takzir tidak dijatuhkan oleh Ulil Al-mri, melainkan oleh suami. Adapun hadis yang menunjukan bolehnya takzir dengan jilid adalah hadis abu Burdah yang mendengar langsung bahwa nabi SAW. Berkata: seseorang tidak boleh dijilid lebih dari sepuluh kali
cambukan kecuali dalam salah satu dari had Allah SWT. (HR
Bukhari dan Muslim dari Abu Burdah). (1) Jumlah MaksimalJilid Dalam takzir
Dalam mazhab Hanifa takzir itu tidak boleh melampaui batas hukuman had,berdasarkan hadis HR Al-Baihaqi dari Nu am bin Basyir dan Al-Dhahak: barang siapa memberi hukuman mencapai batas had pada selain jarimah hudud, maka ia termasuk orang yang melampaui batas . Meskipun dalam penerapanya mereka berbeda pendapat. Abu Hanifa berpendapat tidak boleh lebih dari pada 39 kali jilid. Dikalangan mazhab Syafi I hukuman takzir dengan jilid juga harus kurang dari jilid dalam had, berdasarkan hadis diatas. Disamping itu juga sebagian ulama Syafi iyah dan Hanabilah bahwa jumlahjilidtidak boleh lebih dari sepuluh kali. Sedangkan ulama Malikiyah berpendapat bahwa sanksi takzir yang berupa jilid tidak boleh melebihi had selama mengandung maslahat.
(49)
39
Ulama lain yang menyatakan batas terendah bagi jilid takzir adalah satu kali jilid. Ulama lain lagi yang menyatakan tiga kali jilid. Dan ibn Qudamah menyebutkan bahwa batas terendah tidak dapat ditentukan, melainkan diserahkan kepada ijtihad hakim sesuai dengan tindak pidananya, pelakunya, waktunya dan pelaksanaanya. Tampaknya pendapat Ibn Qudamah ini lebih baik, tetapi perlu tambahan ketetapan Ulil Al-mri sebagai pegangan semua hakim. Dan bila telah ada ketetapan hakim, maka tidak lagi perbedaan pendapat, sesuai dengan kaidah:
keputusan hakim itu meniadakanperbedaan pendapat
2) Sanksi Takzir Yang Berkaitan Dengan Kemerdekaan Seseorang Dalam sanksi ini yang terpenting ada dua, yaitu hukuman penjara dan hukuman buang.
a) Hukuman Penjara (Al-Habsu)
Menurut bahasa A l-Habsu itu menahan. Menurut Ibnu Qayyim, A l-Habsu adalah menahan seseorang untuk tidak melakukan perbuatan hukum, baik tahanan itu di rumah, di masjid, maupun di tempat lain. Seperti itulah yang dimaksud denganA l-Habsudi masa Nabi dan Abu Bakar.38
38
(50)
40
Hukum penjara dalam pandangan hukum pidana berbeda dengan pandangan hukum pidana Islam, penjara dipandang bukan sebagai hukuman utama, tetapi hanya dianggap sebagai hukuman kedua atau sebagai hukuman pilihan. Hukuman pokok dalam syariat Islam bagi perbuatan yang tidak diancam dengan hukuman had adalah hukuman jilid. Biasanya hukuman ini hanya dijatuhkan bagi perbuatan yang dinilai ringan saja atau yang sedang-sedang saja. Walaupun dalam prakteknya dapat juga dikenakan kepada perbuatan yang diinilai berat dan berbahaya. Hal ini karena hukuman ini dikategorikan sebagai kekuasaan hakim, yang karenanya menurut pertimbangan kemaslahatan dapat dijatuhkan bagi tindak pidana yang dinilai berat.39
Dalam syari at Islam sendiri, hukuman penjara dibagi menjadi dua yaitu penjara terbatas dan penjara tidak terbatas. Hukuman penjara terbatas adalah hukuman penjara yang lama waktunya dibatasi secara tegas. Hukuman penjara terbatas ini diterapkan pada jarimah penghinaan, menjual khamr, memakan riba dan saksi palsu. Sedangkan hukuman penjara tidak terbatas adalah hukuman penjara yang tidak dibatasi waktunya,
39
(51)
41
melainkan berlangsung terus sehingga pelaku yang terhukum mati, atau setidaknya hingga dia bertaubat.40
Dalam istilah lain dikenal juga dengan hukuman penjara seumur hidup. Hukuman penjara tidak terbatas ditujukan kepada pelaku tindak pidana yang sangat berbahaya misalnya seperti pembunuhan yang terlepas dari sanksi kisas.41
b) Hukuman Buang
Dasar hukuman buang adalah firman Allah dalam Surah Al-Maidah Ayat 33 :
.
Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi allah dan rasul-nya dan membuat kerusakan dimuka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya) yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia dan di akhirat mereka memperoleh siksaan yang besar.
Meskipun ketentuan hukuman buang dalam ayat tersebut diatas diancamkan kepada pelaku jarimah hudud, tetapi para ulama menerapkan hukuman buang ini dalam jarimah takzir juga. Seperti orang yang memalsukan al-quran dan
40
M. Nurul Irfan dan Masyrofah,Fiqh Jinayah...,153-154.
41
(52)
42
memalsukan stempel baitul mal. Hukuman buang ini dijatuhkan kepada pelaku jarimah-jarimah yang dikhawatirkan berpengaruh kepada orang lain, sehingga pelakunya harus dibuang untuk menghindarkan pengaruh-pengaruh tersebut. Hukuman buang ini bisa merupakan hukuman pokok dan bisa merupakan hukuman tambahan.42
Adapun mengenai tempat pengasingan, fuqaha berpendapat sebagai berikut:43
(1) Menurut Imam Malik bin Anas, pengasingan artinya membuang (menjauhkan) pelaku dari negara Islam ke negara Non Islam.
(2) Menurut Umar bin Abdul Aziz dan Said bin Jubair, pengasingan artinya dibuang dari satu kota ke kota lain. (3) Menurut Imam Al-Syafi’i, jarak antara kota asal dan
kota pengasingan sama seperti perjalanan shalat qasar. Sebab, apabila pelaku diasingkan di daerah sendiri, pengasingan itu untuk menjauhkannya dari keluarga dan tempat tinggal.
(4) Menurut Imam Abu Hanifah, dan satu pendapat dari Imam Malik, pengasingan berarti dipenjarakan.
42
A. Djazuli,Fiqih Jinayah (Upaya Menaggulangi ,205 43
(53)
43
Adapun lama pembuangan menurut Imam Abu Hanifah adalah satu tahun, menurut Imam Malik bisa lebih dari satu tahun, menurut sebagian Syafi’iyah dan Hanabilah tidak boleh melebihi satu tahun dan menurut sebagian Syafi’iyah dan Hanabilah yang lain bila hukuman buang itu sebagai sanksi hukum terhadap jarimah takzir boleh lebih dari satu tahun. Jelas bahwa maksud hukuman buang ini adalah untuk memberikan pelajaran bagi terdakwa pelaku jarimah dan sudah tentu ditetapkan sehubungan dengan kejahatan-kejahatan yang sangat membahayakan dan dapat mempengaruhi anggota masyarakat yang lain.44
3) Sanksi Takzir yang Berupa Harta
para ulama tidak sepakat tentang dibolehkannya sanksi takzir berupa harta Imam Abu Hanifa dan Muhammad tidak membolehkanya, sedangkan Abu Yusuf, Imam Syafi’i, Imam Malik, Dan Imam Ahamd membolehkanya. sanksi takzir berupa harta menjadi tiga bagian yaitu:45
a) Merampas Harta
sebagian ulama yang membolehkan seperti Imam Abu Yusuf murid Abu Hanifah menyatakan hakim menahan sebagian harta si terhukum selama waktu tertentu, sebagai
44
A. Djazuli,Fiqh Jinayah...,206.
45
(54)
44
pelajaran dan upaya pencegahan atas perbuatan yang dilakukannya, kemudian mengembalikannya kepada pemiliknya apabila ia telah jelas taubatnya.
b) Mengubah Bentuk Barang dan Memilikinya
Hukuman takzir yang mengubah harta pelaku, antara lain mengubah patung yang disembah oleh orang muslim dengan cara memotong bagian kepalanya sehingga mirip pohon atau vas bunga.46
c) Hukuman Denda.
Hukuman denda ini bisa merupakan hukuman pokok yang dapat digabungkan dengan sanksi lainnya. Hanya saja syariat tidak menentukan batas tertinggi dan terendah bagi hukuman denda itu dan hal ini diserahkan kepada hakim, sesuai dengan keadilan dan tujuan pemberian hukuman denda dengan mempertimbangkan jarimah-jarimah, pelaku dan kondisinya. Penerapan sanksi jarimah ini berkaitan dengan ketamakan seseorang terhadap harta orang lain. Dengan demikian penerapan sanksi denda ini sesuai dengan Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 170:47
.
Dan dalam kisas itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, Hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa.
46
M. Nurul Irfan Dan Masyrofah,Fiqh Jinayah...,159. 47
(55)
45
Hukuman denda bisa merupakan hukuman pokok yang berdiri sendiri, juga dapat pula digabungkan dengan hukuman pokok lainnya. Penjatuhan hukuman denda bersama-sama dengan hukuman yang lain bukan merupakan hal yang dilarang bagi seorang hakim yang mengadili perkara jarimah takzir karena hakim diberi kebebasan yang penuh dalam masalah ini. Dalam hal ini hakim dapat mempertimbangkan berbagai aspek, baik yang berkaitan dengan jarimah, pelaku, situasi maupun kondisi oleh pelaku.48
4) Hukuman Takzir Lainya
Sanksi-sanksi yang disebutkan diatas pada umumnya dapat dijatuhkan terhadap setiap jarimah atas dasar pertimbangan hakim. Diantara sanksi-sanksi yang tidak termasuk ke dalam ketiga kelompok yang telah dikemukakan diatas adalah:
a) Peringatan keras dan dihadirkan ke hadapan sidang.
Peringatan itu dapat dilakukan dirumah atau dipanggil ke sidang pengadilan. Peringatan ini bisa dilakukan oleh utusan pengadilan atau oleh hakim dihadapan sidang.
b) Dicela
48
(56)
46
Dasar hukum untuk celaan sebagai hukuman takzir adalah hadis Nabi SAW, diriwayatkan bahwa Abu Dzar pernah menghina seseorang dengan menghina ibunya, kemudian Rasulullah Saw bersabda:
"
.
Telah menceritakan kepada kami Sulaiman bin Harb berkata, telah menceritakan kepada kami Syu’bah dari Washil Al Ahdab dari Al Ma’rur bin Suwaid berkata: Aku bertemu Abu Dzar di Rabdzah yang saat itu mengenakan pakaian dua lapis, begitu juga anaknya, maka aku tanyakan kepadanya tentang itu, maka dia menjawab: Aku telah menghina seseorang dengan cara menghina ibunya, maka Nabi shallallahu ’alaihi wasallam menegurku: "Wahai Abu Dzar apakah kamu menghina ibunya? Sesungguhnya kamu masih memiliki (sifat) jahiliyah. (HR.Bukhari)49
c) Pengucilan
Adalah larangan berhubungan dengan sipelaku jarimah melarang masyarakat berhubungan dengannya. Dasar sanksi ini antara lain firman Allah An Nisa’ ayat 34:
wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka
49
Lidwa Pustaka Software Kitab 9 Imam Hadits,Kitab Bukhari,Bab Perbuatan Maksiat Merupakan Kebiasaan Jahiliyah, Hadits No. 29.
(57)
47
d) Nasihat
Penjatuhan takzir dalam arti hukuman yang dijatukan oleh Ulil Al-mriadalah nasihat yang diucapkan oleh hakim.
e) Pemecatan dari Jabatan
Adalah melarang seseorang dari suatu pekerjaan tertentu atau menurunkan atau memberhentikannya dari suatu tugas atau jabatan tertentu.50 Hukuman pemecatan dapat diterapkan dalam segala macam Kasus Tindak Pidana, baik sebagai hukuman pokok, tambahan, maupun hukuman pelengkap. Adapun pemilihan apakah pemecatan sebagai hukuman pokok, tambahan maupun hukuman pelengkap sangat tergantung kepada kasus-kasus kejahatan yang dilakukannya.51
f) Diumumkan Kejahatanya
Adalah mengumumkan tindak pidana pelaku kepada publik. Hukuman ini biasanya dijatuhkan atas tindak pidana yang terkait dengan kepercayaan, seperti kesaksian palsu dan penipuan.52
Dasar hukum untuk hukuman berupa pengumuman kesalahan atau kejahatan pelaku secara terbuka (publikasi) adalah tindakan Khalifah Umar terhadap seorang saksi palsu yang sesudah dijatuhi hukuman jilid lalu ia diarak keliling
50
A. Djazuli,Fiqh Jinayah...,211-215
51
Ibid., 219-220.
52
(58)
48
kota, sambil diumumkan kepada masyarakat bahwa ia adalah saksi palsu.
Dalam mazhab Syafi’i pengumuman ini juga boleh dilakukan dengan menyuruh pencuri keliling pasar dengan tujuan agar orang-orang pasar tahu bahwa ia adalah seorang pencuri. Dengan demikian, menurut fuqaha sanksi takzir yang berupa pengumuman kejahatan itu dimaksudkan agar orang yang bersangkutan menjadi jera dan agar orang lain tidak melakukan perbuatan serupa, sanksi ini diharapkan memiliki daya represif dan preventif.53
g) Kaffarat
Kaffarat pada hakikatnya adalah suatu sanksi yang ditetapkan untuk menebus perbuatan dosa pelakunya. Hukuman ini diancam atas perbuatan-perbuatan yang dilarang syarak karena perbuatan itu sendiri dan mengerjakanya dipandang sebagai maksiat. Ruang lingkup kaffarat adalah antara pengabdian kepada khalik. Oleh karena itu hukuman ini dapat disebut dengan hukuman ibadah.54
Adapun bentuk-bentuk kaffarat tersebut sebagai berikut: (1) Memerdekakan Hamba Sahaya.
53
A. Djazuli,Fiqh Jinayah...,220-221. 54
(59)
49
Karena masa sekarang hamba sahaya tidak ditemukan lagi, maka para ulama dapat dikonversikan dengan harga yang pantas
(2) Memberikan Makan Orang Miskin
kaffarat memberikan makan orang miskin itu bergantung jenis maksiat yang dilakukanya. Ada yang member makan sepuluh orang, seperti kaffarat sumpah. Ada juga yang member makan enam puluh orang miskin, seperti kaffarat pembunuhan tidak sengaja atau semi sengaja dan merusak puasa.
(3) Memberi Pakaian
Kaffarat ini hanya bagi kaffarat sumpah dan tidak dibenarkan kurang dari sepuluh orang, seperti kaffarat sumpah. Dijelaskan dalam surat al-maidah ayat 89:
Maka kaffaratnya adalah memberikan makan sepuluh orang miskin, diberikan kepada keluarganya atau member pakaian kepada mereka atau memerdekakan sahaya, maka apabila tidak mampu, berpuasalah tiga hari yang demikian
(60)
50
itu adalah kaffarat sumpahmu bila kamu melanggarnya dan jagalah sumpahmu (89).
Kaffarat puasa ini tidak dibenarkan, kecuali bagi orang-oarang yang tidak mampu melaksanakan kaffarat lain. Kewajiban kaffarat ini hanya berlaku bagi orang Islam saja. Hal itu disebabkan hukuman ini bersifat ibadah kepada Allah. Oleh karena itu orang-orang lain selain islam tidak diwajibkan melakukan hukuman kaffarat.55
f. Pendapat Ulama Tentang Penerapan Sanksi Takzir
Menurut mazhab Hanafi penerapan sanksi takzir itu diserahkan kepadaUlil A l-mri termasuk batas minimal dan maksimalnya. Dalam hal ini harus tetap dipertimbangkan variasi hukumannya sesuai dengan perbedaan jarimah dan perbedaan pelakunya. Perbedaan jarimah dalam kaitannya dengan penerapan sanksi takzir artinya bahwa sanksi itu harus disesuaikan dengan jarimah yang dilakukan terhukum. Sebagaimana telah dijelaskan bahwa bila jarimah takzir yang dilakukan itu berkaitan dengan jilid, maka jilidnya harus kurang dari batas jilid had zina. Akan tetapi, bila jarimah takzir yang dilakukan itu bukan jarimah hudud, maka diserahkan sepenuhnya kepadaUlil A l-mrisesuai dengan tuntutan kemaslahatan umum.56
55
Ibid, 171 56
(61)
51
Perbedaan pelaksanaan jarimah takzir juga harus dipertimbangkan. Hal ini berarti bahwa dalam menentukan sanksi takzir itu harus mempertimbangkan pelakunya, karena kondisi pelakunya itu tidak selalu sama, baik motif tindakannya maupun kondisi psikisnya. Disamping itu, untuk menjerahkan si pelaku sudah tentu harus tidak sama antara orang yang satu dengan orang yang lainnya ada yang harus dijilid, ada harus dikurung, ada yang harus dicela, dan sebagainnya. Menurut Hanafiyah dalam penerapan sanksi ini harus diperhatikan stratifikasi manusia, yakni ada empat:57
1) A syraf A l-A syraf (orang-orang yang paling mulia), yaitu para ulama. Mereka cukup diberi peringatan oleh hakim atau diajukan ke meja hijau, dan hal ini baginya sudah tentu pelajaran yang pahit.
2) A l-A sraf (orang-orang yang mulia), yaitu para pemimpin yang harus diberi sanksi yang lebih berat dari pada sanksi yang diberikan kepada para ulama, yakni bisa dengan peringatan yang keras atau dihadirkan di depan pengadilan.
3) A l-A usat (pertengahan), bisa dengan peringatan keras atau penjara.
4) A l-A khsa(rendah), bisa dengan dipenjara atau dijilid.
Derajat-derajat ini sesungguhnya hanya merupakan klasifikasi manusia dalam kaitannya dengan pengaruh sanksi bagi dirinya, dan
57
(62)
52
tidak dimaksudkan untuk membeda-bedakan manusia di depan hukum, karena semuannya dapat dikenakan hukuman, hanya saja dalam rangka untuk mencapai tujuan hukuman, maka stratifikasi ini diperlukan. Hal ini dibuktikan oleh Ibn Abidin yang menyatakan bila orang yang mulia mengulang lagi kejahatannya, maka bisa dikenai sanksijilid seperti orang kebanyakan.58
Jadi menurut ulama Hanafiyah bahwa yang diserahkan kepada Ulil A l-mri itu adalah tentang penentuan jenis takzir yang akan diterapkan. Hanya saja seperti telah dikemukakan bila jarimah takzirnya berkaitan dengan jarimah hudud, makajilidnya tidak boleh melampaui batas had, dan bisa sanksi takzir itu tidak berupa jilid, maka batas terendah dan tertingginya diserahkan sepenuhnya kepada Ulil A l-mri.
Dikalangan mazhab Maliki ada perinsip bahwa sanksi takzir itu berbeda-beda jenisnya, jumlahnya, dan sifatnya karena perbedaan kondisi pelakunnya, bahkan Al-Qarafi menambahkan bahwa perbedaan waktu dan tempat terjadinya kejahatan itu membawa perbedaan sanksi takzir, terutama sekali takzir yang diberkaitan dengan adat kebiasaan negeri tertentu.
Di kalangan mazhab Syafi’i takzir itu pada prinsipnya diserahkan kepada ijtihadUlil A l-mri, baik tentang jenisnya maupun
58
(63)
53
tentang kadarnya, disesuaikan dengan keadaan para pelakunya yang berbeda-beda dan juga disesuaikan dengan perbedaan jarimahnya.
Imam Mawardi menyatakan bahwa takzir itu berbeda dengan hudud dalam tiga hal, yaitu:59
1) Memberikan sanksi takzir kepada orang yang baik-baik itu lebih ringan dari pada sanksi takzir kepada orang yang sering melakukan kejahatan, sedangkan dalam hudud tidak ada perbedaan.
2) Dalam hudud tidak boleh diberikan maaf, sedangkan dalam takzir ada kemungkinan pemberian maaf.
3) Had itu memungkinkan bisa menimbulkan kerusakan tubuh dan jiwa terhukum, sedangkan dalam takzir terhukum tidak boleh sampai mengalami kerusakan itu.
Di kalangan mazhab Hambali takzir juga berbeda-beda, baik jenis, kadar, maupun sifatnya sesuai dengan jarimah dan keadaan pelakunya. Disamping itu takzir juga diserahkan kepada Ulil A l-mri untuk menerapkannya dan untuk memilih jenis, kadar, dan sifat takzir yang sesuai dengan tujuan takzir Seperti dinyatakan oleh ibn Taimiyah bahwa takzir itu diserahkan kepada Ulil A l-mri sesuai dengan besar kecilnya dosa. Bila dosanya makin besar, maka sanksinya makin besar. Dan disesuaikan dengan keadaan pelakunya,
59
(1)
✜8
Walaupun dalam prakteknya dapat juga dikenakan kepada perbuatan yang
diinilai berat dan berbahaya. Hal ini karena hukuman ini dikategorikan
sebagai kekuasaan hakim, yang karenanya menurut pertimbangan
kemaslahatan dapat dijatuhkan bagi tindak pidana yang dinilai berat
Syariat dalam hal ini tidak menentukan hukuman denda dan diserahkan
kepada hakim sesuai dengan keadilan dan tujuan pemberian hukuman denda
tersebut. Penerapan hukuman ini dapat di gabungkan dengan sanksi lain atau
bisa juga berdiri sendiri sesuai dengan kondisi jarimah tersebut. Sesuai dengan
putusan Nomor 929/Pid.B/2015/PN.Mdn bahwa sanksi jarimah ini berkaitan
dengan ketamakan seseorang terhadap harta orang lain. Berdasarkan uraian
diatas jelaslah bahwa hukuman yang dapat diberikan kepada pelaku tindak
pidana pengedaran mata uang palsu menurut hukum pidana islam adalah
berupa hukuman takzir yakni dalam bentuk hukuman penjara serta denda yang
(2)
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam keseluruhan pembahasan skripsi ini, maka dapat diambil
kesimpulan terhadap Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor
929//Pid.B/2015 sebagai berikut:
1. Pertimbangan majelis hakim yang digunakan berdasarkan pasal 245
KUHP dalam menjatuhkan putusan dalam perkara ini menggunakan
pertimbangan yang bersifat yuridis serta memperhatikan hal-hal yang
memberatkan dan hal-hal yang meringankan, serta juga melihat dari
keterangan saksi, keterangan terdakwa, alat bukti, dan ulasan tuntutan
jaksa. Namun berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 pasal 36
ayat 3 bahwa putusan ini sangatlah rimgan dan tidak sesuai dengan
ketentuan pasal diatas.
2. Dari analisis hukum pidana Islam terhadap Putusan Pengadilan Negeri
Medan Nomor 929/Pid.B/2015. tentang tindak pidana pengedaran mata
uang palsu merupakan suatu tindak pidana penipuan yang berkenaan
dengan harta yang dapat dikenakan sanksi yang ada dalam jarimah takzir,
dimana merupakan otoritas hakim dalam memberikan sanksi. Adapun
jarimah takzir yang dapat dikenakan pada tindak pidana tersebut adalah
(3)
✣✤✤
hakim sesuai dengan tujuan pemberian hukuman denda, yang mana
hukuman ini dijatuhkan terkait tindak pidana penipuan.
B. Saran
1. Adanya undang-undang nomor 7 tahun 2011 tentang mata uang
diharapkan dapat digunakan sebagai peraturan yang khusus terhadap
KUHP. Hal itu dilakukan supaya penegak hukum kejahatan terhadap
mata uang lebih memberikan efek jera kepada pelakunya.
2. Untuk pemerintah hendaklah dapat memperhatikan dengan
sungguh-sunguh untuk memberikan peendidikan moral dan kesempatan yang lebih
banyak terhadap lapangan kerja karena faktor utama penyebab tindak
pidana pengedaran uang palsu pada umumnya karena adanya tekanan
ekonomi.
3. Sebagai masyarakat harus waspada terhadap uang palsu, agar tidak
tersebar luas terhadap beredarnya uang palsu tersebut. Dan pemerintah
juga harus bertindak keras atas jeringan pengedaran uang palsu
(4)
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Mustaq. Etika Bisnis Dalam Islam. Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar.
2003
Al-Asqalani, Al-Hafizh Ibnu Hajar. Terjemah Bulughul Maram Dan
Penjelasanya. Jakarta: Pustaka Amani. 2000
Al-Albani, Muhammad Nashiruddin. Shahih Sunan Ibnu Majah, Jilid 2. Jakarta:
Pustaka Azzam. 2007.
Ali, Zainuddin.Hukum Pidana Islam. Jakarta: Sinar Grafika, 2009.
Anwar, Moch.Hukum Pidana Bagian Khusus.Bandung: Alumni. 1982.
Asy-Asyafi’i, RA Al-Imam. Terjemah Al-Umm, Jilid IV. Jakarta: CV Faizan, 1982.
Audah, Abdul Qadir. Ensiklopedi Hukum Pidana Islam. Bogor: PT Charisma
Ilmu. 2010.
Azizah , Amiratul. “Putusan Pengadilan Negeri Kediri Nomor 137/Pid
Sus/2014/Pn. Kdr Tentang Tinjauan Hukum Pidana Islam Terhadap Tindak Pidana Pemalsuan Uang Berdasarkan UU No.7 Tahun 2011 Tentang Mata Uang Palslu”. Skripsi--UIN Sunan Ampel. Surabaya. 2016.
Chazawi, Adam. Kejahatan Mengenai Pemalsuan. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada. 2001.
Departement Agama RI.Alqur’an dan Terjemahannya. Jakarta: PT. Syamil. 2005.
Djazuli.Fiqih Jianyah (Upaya Menanggulangi Kejahatan Dalam Islam). Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada. 2000.
Effendi , Arif. ” Studi Komparatif Terhadap Sanksi Delik Tindak Pidana Pemalsuan Uang Menurut KUHP Pasal 244 Dan Hukum Pidana Islam Ditinjau Dari Fiqih Jinayah”. Skripsi--IAIN Sunan Ampel. Surabaya. 2007. Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Ampel Surabaya. Petunjuk Teknis
Penulisan Skripsi. Surabaya: t.p., 2016.
Hakim, Rahmat. Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah). Bandung: Pustaka Setia.
2000.
Hanafi, Ahmad.Hukum Pidana Islam. Jakarta: PT Bulan Bintang. 1990.
(5)
Hasan, Ali .Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam. Jakarta: Raja Grafindo,
2003
Hermon, Soni.“Proses Penyelidikan Tindak Pidana Pemalsuan Uang Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana”.
Skripsi--universitas andalas. Padang. 2012.
Ibrahim, Johnny. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Malang:
Bayumedia. 2007.
Irfan , M. Nurul dan Masyrofah.Fiqh Jinayah. Jakarta: Amzah. 2013.
Kansil. Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Di Indonesia. Jakarta: Balai
Pustaka. 1989.
Lamintang dan Theo Lamintang. Delik-Delik Khusus Kejahatan Membahayakan
Kepercayaan Umum Terhadap Surat, Alat Pembayaran, Alat Bukti, Dan Peradilan. Jakarta: Sinar Grafika. 2009.
Mulyani Lilik,Kompilasi Hukum Pidana Dalam Prespektif Teoritis Dan Praktek
Pradilan.Jakarta:Mandar Maju. 2007.
Masyhur, Kahar.Terjemahan Bulughul Maram 2. Jakarta: PT Rineka Cipta. 1992.
Munajat, Makrus.Hukum Pidana Islam Di Indonesia.Yogyakarta: Teras. 2009.
---.Dekontruksi Hukum Pidana Islam. Jogjakarta: Logung Pustaka. 2004.
Musyafa’ah, Nur Lailatul.Hadis Hukum Pidana. Surabaya: Uin Sunan Ampel Press. 2014.
Prakoso, Djoko. Surat Dakwaan Tututan Pidana Dan Eksaminasi Perkara Di
Dalam Proses Pidana. Yogyakarta: Liberty. 1988.
---, Alat Bukti Dan Kekuatan Pembuktian Di Dalam Proses Pidana.
Yogyakarta: Liberty. 1988.
Rahman, Abdur. Tindak Pidana Dalam Syariat Islam. Jakarta: Rineka Cipta.
1992.
Rahardjo, Satjipto.Ilmu Hukum.Bandung: Citra Aditya Bkati. 1991.
Soedjono,D.Penanggulangan Kejahatan Cet. II. Bandung: 1987.
Sabuan, Ansori Dkk.Hukum Acara Pidana. Bandung: Angkasa 1990.
Sahid.Pengantar Hukum Pidana Islam. Surabaya: UIN SA Press. 2014.
(6)
Sinugan, Muchdarsyah.Uang & Bank.Jakarta: PT Rineka Cipta. 1995.
Soesilo, R.Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.Bogor: Politeia, 1983.
Sukanto, Soerjono dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif. Jakarta: Raja
Grafindo, 1995.
Al Faruq, Asadulloh. Hukum Pidana Dalam Sistem Hukum Islam. Surabaya:
Ghalia Indonesia. 2009.
Simanujutak, Nikolas. Acara Pidana Indonesia Dalam Sirkus Hukum. Bogor:
Ghalia Indonesia. 2009.
Wardi Muslich, Ahmad.Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam. Jakarta: Sinar
Grafika, 2004.
Muawiah, Abu. “Haramnya Semua Bentuk Penipuan”, http://al-atsariyyah
.com/haramnya-semua bentuk-penipuan.html, diakses pada, 24 Maret 2017. Marpaung, IR asina. Dkk. “pertimbangan hukum hakim dalam penjatuhan sanksi
pidana terhadap pelaku tindak pidana pengedaran uang palsu
“. Http://Www.Ejoernal-S-1.Undip.Ac.Id/Index.Php/Dl R/ Diakses Pada 29
April 2017.
Wikipedia. Lex Specialis Degorat Legi Generalis http://Id.M.Wikipedia.Org/ Wiki/Diakses Pada 05 April 2017
Http://kbbi.web.id/bibliografi, diakses pada 23 April 2017.
Http://Pn-Medankota.Go.Id/Mdn/Index.Php/Profil-Pengadilan, Diakses Pada 06 Maret 2017
Direktorat Putusan Nomor 929/Pid.B/2015/PN Mdn.
Undang-undang nomor 7 tahun 2011. ‘tentang mata uang”.
Lidwa Pustaka Software Kitab 9 Imam Hadits, Kitab Bukhari, Bab Perbuatan