Tinjauan hukum pidana Islam terhadap putusan no. 91/Pid.B/2016/PN.Blt tentang tindak pidana membantu melakukan kekerasan yang mengakibatkan kematian.

(1)

TINJAUAN HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PUTUSAN NO. 91/PID.B/2016/PN.BLT TENTANG TINDAK PIDANA MEMBANTU MELAKUKAN KEKERASAN YANG MENGAKIBATKAN KEMATIAN

SKRIPSI

Oleh

Kholailis Muniroh NIM C73213085

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Fakultas Syariah dan Hukum

Jurusan Hukum Publik Islam Prodi Hukum Pidana Islam Surabaya


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

ABSTRAK

Penelitian ini merupakan hasil dari studi kasus dengan judul “Tinjauan Hukum Pidana Islam Terhadap Putusan No.91/Pid.B/2016/PN.Blt. tentang Tindak Pidana Membantu Melakukan Kekerasan yang Mengakibatkan Kematian” penelitian ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan bagaimana pertimbangan putusan hakim dalam putusan No.91/Pid.B/2016/PN.Blt tentang tindak pidana membantu melakukan kekerasan yang mengakibatkan kematian dan bagaimana tinjauan hukum pidana Islam terhadap pertimbangan hakim dalam putusan No. 91/Pid.B/2016/PN.Blt tentang tindak pidana membantu melakukan kekerasan yang mengakibatkan kematian di Pengadilan Negeri Blitar.

Data dihimpun melalui pembacaan dan kajian teks, yang selanjutnya diolah dengan beberapa tahap editing, yaitu pemeriksaan kembali terhadap semua data yang telah diperolah. Organizing, yaitu menyusun dan mensistematiskan data yang telah diperoleh, dan analyzing, yaitu menganalisis dengan menggunakan metode deskriptif analisis.

Adapun pertimbangan hakim terhadap terdakwa Rengga Kinentaka bin Supriyanto adalah keterangan saksi-saksi, keterangan surat maupun alat bukti, serta keikutsertaan membantu melakukan yang dilakukan secara sadar untuk membantu meminjankan senapan angin yang digunakan untuk menghilangkan nyawa korban Danang Adi Wibowo. Menurut pertimbangan hakim terdakwa Rengga Kinentaka bin Supriyanto terbukti telah melanggar ketentuan yang diatur dalam pasal 170 ayat 2 ke-3 KUHP jo pasal 56 ayat 1 KUHP. Berdasarkan unsur-unsur yang ada dalam pasa-pasal tersebut, baik unsur-unsur-unsur-unsur yang bersifat subjektif maupun yang bersifat objektif telah terpenuhi semuanya serta dinyatakan sah dan meyakinkan secara hukum. Oleh karena itu, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Blitar menjatuhkan hukuman terhadap terdakwa dengan pidana penjara selama 2 tahun dan 8 bulan.

Dalam pandangan hukum pidana Islam, kasus tindak pidana membantu melakukan kekerasan yang mengakibatkan kematian di atas mendapat hukuman takzir. Hal tersebut berdasarkan, karena perbuatan terdakwa termasuk jarimah yang tidak langsung (ghairu mubasyir). Perbuatan terdakwa tidaklah sebanding dengan orang yang berbuat langsung (mubasyir). Terdakwa harus bertanggungjawab atas apa yang telah diperbuat karena terdakwa mengetahui arti serta akibat perbuatan tersebut.

Sejalan dengan kesimpulan di atas, maka disarankan bagi penegak hukum negara kita harus memiliki jiwa keadilan dan kecermatan dalam menjatuhkan hukuman pada setiap perkara yang dihadapi. Hukuman yang dijatuhkan harus memiliki efek jera bagi pelaku kejahatan agar tidak terulang lagi kejahatan tersebut.


(7)

DAFTAR ISI

Halaman

SAMPUL DALAM ... i

PERNYATAAN KEASLIAN ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

PENGESAHAN ... iv

ABSTRAK ... v

MOTTO ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TRANSLITERASI ... xii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi dan Batasan Masalah... 6

C. Rumusan Masalah ... 8

D. Kajian Pustaka ... 8

E. Tujuan Penelitian ... 11

F. Kegunaan Penelitian... 11

G. Definisi Operasional... 12

H. Metode Penelitian... 14

I. Sistematika Pembahasan ... 19

BAB II PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DALAM HUKUM ISLAM ... 21


(8)

A. Makna dan Dasar Pertanggungjawaban Pidana dalam Hukum Islam ... 21 B. Objek Pertanggungjawaban Pidana dalam Hukum Islam ... 24 C. Faktor Pertanggungjawaban Pidana dan Tingkatan-Tingkatannya

dalam Hukum Islam ... 30 D. Maksud Melawan Hukum (Qasd ‘Isyan atau Qasd Jina’i) ... 35 E. Hal-Hal yang Mempengaruhi Pertanggungjawaban Pidana dalam

Hukum Islam ... 44 F. Perbuatan-Perbuatan yang Terkait dengan Tindak Pidana dan

Hubungannya dengan Pertanggungjawaban Pidana dalam Hukum Islam ... 49 BAB III PERKARA PENETAPAN HUKUMAN DALAM TINDAK

PIDANA MEMBANTU MELAKUKAN KEKERASAN YANG

MENGAKIBATKAN KEMATIAN DALAM PUTUSAN

PENGADILAN NEGERI BLITAR NO. 91/PID.B/2016/PN.BLT ... 52 A. Deskripsi Membantu Melakukan Kekerasan yang Mengakibatkan

Kematian dalam Putusan Negeri Blitar No. 91/PId.B/2016/PN. Blt ... 52 B. Pertimbangan dan Dasar Hukum Hakim Terhadap Tindak Pidana

Membantu Melakukan Kekerasan yang Mengakibatkan Kematian ... 54 C. Isi Putusan Pengadilan Negeri Blitar tentang Tindak Pidana

Membantu Melakukan Kekerasan yang Mengakibatkan Kematian ... 63 BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PUTUSAN NO. 91/PID.B/2016/PN.BLT. TENTANG TINDAK

PIDANA MEMBANTU MELAKUKAN KEKERASAN YANG


(9)

A. Analisis Putusan No.91/PID.B/2016/PN.BLT tentang Tindak Pidana

Membantu Melakukan Kekerasan yang Mengakibatkan Kematian ... 65

B. Analisis Putusan No.91/PID.B/2016/PN.BLT tentang Tindak Pidana Membantu Melakukan Kekerasan yang Mengakibatkan Kematian Menurut Hukum Islam ... 67

BAB V PENUTUP ... 71

A. Kesimpulan ... 71

B. Saran ... 72 DAFTAR PUSTAKA


(10)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia adalah negara hukum, pernyataan tersebut termuat dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 perubahan ke-3.1 Dalam UUD 1945 ditegaskan bahwa Negara Indonesia berdasarkan atas hukum (rechtstaat), tidak atas kekuatan belaka

(machtstaat). Ini berarti Indonesia adalah negara hukum yang demokratis

berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, yang menjunjung tinggi hak asasi manusia dan menjamin semua warga negaranya sama kedudukannya dimata hukum.

Hukum sesungguhnya merupakan pencerminan kehidupan sosial suatu masyarakat dimana hukum tersebut terbentuk. Dapat dikatakan bahwa hukum adalah fungsi sejarah sosial suatu masyarakat, namun hukum bukanlah bangunan sosial yang statis, melainkan ia dapat berubah dan perubahan ini terjadi karena fungsinya untuk melayani masyarakat.2

Indonesia merupakan negara hukum oleh karena itu dibuatlah peraturan yang mengatur tentang penerapan hukum pidana di Indonesia yang dituangkan dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Dalam KUHP dijelaskan mengenai apa saja jenis tindak pidana, siapa pelaku pidana dan hukuman terhadap suatu tindak pidana.

1

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 & Perubahan I-IV, (t.tp: Palito Media), 36.

2


(11)

2

Tindak pidana adalah suatu perbuatan manusia yang bertentangan dengan hukum, diancam dengan pidana oleh undang-undang perbuatan mana dilakukan oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan dan dapat dipersalahkan pada si pembuat.3

Pengertian hukum pidana, banyak dikemukakan oleh para sarjana hukum, diantaranya adalah Soedarto yang mengartikan bahwa:4 Hukum pidana memuat aturan-aturan hukum yang mengikatkan kepada perbuatan-perbuatan yang memenuhi syarat tertentu suatu akibat yang berupa pidana.

Kejahatan adalah setiap tingkah laku manusia yang melanggar atau bertentangan dengan aturan hukum. Kejahatan tersebut menimbulkan kerugian bagi si penderita dan juga merugikan masyarakat. Kejahatan bisa dilakukan secara sendiri maupun dilakukan secara bersama-sama. Dalam hal ini KUHP juga menjelaskan mengenai membantu (medeplichtigheid) dalam suatu tindak pidana. Mengenai membantu (medeplichtigheid) diatur didalam tiga pasal, yaitu Pasal 56, 57 dan 60 KUHP. Pasal 56 merumuskan tentang unsur subjektif dan unsur objektif, Pasal 57 memuat tentang batas luasnya pertanggungjawaban bagi pembantu, sedangkan Pasal 60 mengenai penegasan pertanggungjawaban pembantuan itu hanyalah pada pembantuan dalam hal pelanggaran. Membantu melakukan kejahatan yang diatur dalam pasal 56 KUHP menjelaskan membantu yang dapat dihukum, yaitu:5

3

M. Rasyid Ariman dan Fahmi Raghib, Hukum Pidana, (Malang: Setara Press, 2015), 60. 4

Amir Ilyas, Asas-Asas Hukum Pidana: Memahami Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana Sebagai Syarat Pemidanaan, (Yogyakarta: Rangkang Education Yogyakarta & PuKAP-Indonesia, t.t), 2.

5

R. Sugandhi, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Berikut Penjelasannya, (Surabaya: Usaha Nasional, t.t), 71.


(12)

3

Sebagai pembantu melakuan kejahatan dipidana:

Ke-1.orang yang dengan sengaja membantu waktu kejahatan itu dilakukan;

Ke-2.orang yang dengan sengaja memberi kesempatan, ikhtiar atau keterangaan untuk melakukan kejahatan itu.

Kejahatan atau tindak pidana dalam Islam merupakan larangan-larangan syariat yang dikategorikan dalam istilah jarimah atau jinayah. Pakar fiqih telah mendefinisikan jarimah dengan perbuatan-perbuatan tertentu yang apabila dilakukan akan mendapatkan ancaman hukuman had atau takzir. Adapun istilah jinayah kebanyakan para fuqaha memaknai kata tersebut hanya untuk perbuatan yang mengenai jiwa atau anggota badan seperti membunuh, melukai, memukul, menggugurkan kandungan, dan sebagainya.6

Dalam hukum pidana Islam pertalian jarimah dengan berbuat langsung dan tidak langsung, turut berbuat jarimah tidak langsung dengan cara tidak melakukan sesuatu, dan tanggungjawab pidana terhadap kemungkinan terjadinya kejahatan di luar kesepakatan yang semula. Dalam hubungannya dengan turut berbuat jarimah, para fuqaha mengenal dua macam turut berbuat jarimah langsung, yaitu:

al-tawafuq dan al-tamalu’. Al-tawafuq adalah beberapa orang yang melakukan suatu

kejahatan secara bersama tanpa kesepakatan sebelumnya. Jadi, kejahatan itu terjadi karena adanya pengaruh psikologis dan pemikiran yang secara tiba-tiba. Sedangkan al-tamalu’ adalah kejahatan yang dilakukan oleh beberapa orang secara bersama dan terencana.

Mengenai hukumannya sebagian ulama tidak membedakan antara

al-tawafuq dengan al-tamalu’, oleh karena itu, baik dalam al-tawafuq maupun

6


(13)

4

tamalu’, pelakunya hanya bertanggungjawab atas perbuatannya masing-masing.

Para ulama yang berpendapat demikian adalah Ibn ‘Abid al-Din dan al-Sraziy.

Sedangkan menurut para ulama dikalangan mazhab Maliki, Syafi’i, dan Ahmad,

hukuman orang yang turut berbuat jarimah tidak langsung adalah sepertiga orang yang menyuruh orang lain untuk membunuh orang ketiga. Orang yang menyuruh itulah yang dianggap sebagai pelaku pembunuhan. Karena orang yang disuruh itu hanyalah alat yang digerakkan oleh si penyuruh.7

Salah satu prinsip dasar dalam hukum Islam menetapkan bahwa pertanggungjawaban pidana bersifat personal. Artinya seseorang tidak bertanggungjawab kecuali terhadap tindak pidana yang diperbuatnya sendiri, seseorang tidak bertanggungjawab atas perbuatan orang lain, bagaimanapun dekatnya tali kekeluargaan atau tali persahabatan antara keduanya. Al-Qur’an telah menetapkan perinsip yang adil ini pada banyak ayatnya. Diantaranya adalah firman Alloh SWT,

ُ بِسْكَتَا َ ُ ل ك

ُ سْفَن اَ ْيَلَعَاِا

“…Setiap perbuatan dosa seseorang, dirinya sendiri yang bertanggungjawab….”

(QS. Al-An’am [6]: 164)8

ى ْخ ا َر ْ ِ ٌة َر ِ ا َ ر ِزَتَا َ

“Dan orang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain….” (QS. Fatir

[35]: 18).9

7

Ahmad Djazuli, Fiqh Jinayah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997), 17. 8

Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, t.t), 150.

9


(14)

5

Salah satu fenomena kejahatan yang terjadi di Blitar pada hari Kamis 18 September 2014 sekira pukul 23.30 WIB pada saat terdakwa Rengga Kinentaka bin Supriyanto sedang tidur tiba-tiba terdakwa mendengar ada suara gadu diluar rumah, kemudian terdakwa berjalan kaki menuju arah kerumunan massa lalu terdakwa mendapatkan info dari salah satu warga yang menyampaikan kepada terdakwa bahwa ada rampok yang lari kearah musholah Desa Minggirsari, setelah terdakwa berada dilokasi terdakwa dihampiri oleh saksi Suco bin Semo (Alm) dan saksi Suco bin Semo (Alm) juga melakukan pelemparan dengan menggunakan batu bata kearah tubuh korban Danang Adi Wibowo sebanyak 2 (dua) kali mengenai bagian tubuh korban. kemudian dari massa yang ada ditempat tersebut juga melakukan pelemparan terhadap korban Danang Adi Wibowo, terdakwa dihampiri oleh saksi Suco bin Semo (Alm) dan mengatakan kepada diri terdakwa “kono golek o silihan bedel.” (sana cari pinjaman senapan), lalu terdakwa pulang kerumahnya untuk mengambil sepeda motor.

Kemudian terdakwa mengendarai sepeda motor Yamaha Mio Nopol AG 6417 I untuk mencari pinjaman senapan angin kerumah temen-temennya namun saat itu belum mendapatkan akhirnya terdakwa menuju ke rumah saksi Mohamad Fitroh bin Mukani untuk meminjam senapan angin. Lalu terdakwa bersama dengan saksi Mmohamad Fitroh bin Mukani berangkat berboncengan dengan menggunakan sepeda motor. Setelah sampai di mushola tersebut kemudian saksi Suco bin Semo (Alm) meminta senapan angin yang dibawa oleh saksi Mohamad Fitroh bin Mukani namun oleh saksi Mohamad Fitroh bin Mukani tidak diperbolehkan kemudian saksi Mohamad Fitroh bin Mukani langsung memompa


(15)

6

senapan anginnya dan menembakkan senapan angin tersebut kepada korban Danang Adi Wibowo mengenai bagian dada hingga korban roboh setelah Mohamad Fitroh bin Mukani menembakkan senapan anginnya tersebut lalu terdakwa pulang ke rumah untuk mengembalikan sepeda motornya.

Dari latar belakang permasalahan yang diuraikan di atas, penulis tertarik untuk mengangkat permasalahan tersebut sebagai judul Skripsi dengan judul

“Tinjauan Hukum Pidana Islam Terhadap Putusan No. 91/Pid. B/2016/PN. Blt Tentang Tindak Pidana Membantu Melakukan Kekerasan Yang Mengakibatkan

Kematian”. Hal tersebut dikarenakan sanksi yang diberikan Majelis Hakim

Pengadilan Negeri Blitar sangatlah berat dan tidak sesuai dengan apa yang telah diperbuat oleh terdakwa. Karena perbuatan ini hanya membantu secara tidak langsung tanpa ada campur tangan terdakwa dalam menghilangkan nyawa korban. Seharusnya Majelis Hakim Pengadilan Negeri Blitar bisa mempertimbangkan hukuman sepertiga yang dijatuhkan kepada terdakwa, atau memberikan hukuman yang setimpal atas apa yang sudah diperbuat terdakwa selama membantu melakukan dalam tindak pidana kekerasan yang mengakibatkan kematian.

B. Identifikasi dan Batasan Masalah

Latar belakang masalah yang telah disampaikan di atas menunjukkan bahwa terhadap beberapa masalah yang berhubungan dengan skripsi yang

berjudul “Tinjauan Hukum Pidana Islam Terhadap Putusan No. 91/Pid.

B/2016/PN. Blt tentang Tindak Pidana Membantu Melakukan Kekerasan yang Mengakibatkan Kematian.


(16)

7

Dari latar belakang masalah yang telah dipaparkan di atas, maka peneliti mengidentifikasi masalah sebagai berikut:

1. Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya tindak pidana membantu melakukan kekerasan yang mengakibatkan kematian.

2. Deskripsi kasus tindak pidana membantu melakukan kekerasan yang mengakibatkan kematian mengenai pertanggungjawaban pidana dalam hukum Islam.

3. Sanksi pidana terhadap membantu melakukan kekerasan yang mengakibatkan kematian dalam hukum positif.

4. Pertimbangan putusan hakim dalam putusan No. 91/Pid. B/2016/PN. Blt tentang tindak pidana membantu melakukan kekerasan yang mengakibatkan kematian.

5. Tinjauan hukum pidana Islam terhadap tindak pidana membantu melakukan kekerasan yang mengakibatkan kematian dalam putusan No. 91/Pid. B/2016/PN. Blt.

Melihat luasnya pembahasan analisis hukum pidana Islam terhadap tindak pidana membantu melakukan kekerasan yang mengakibatkan kematian di lembaga pemasyarakatan Blitar No. 91/Pid. B/2016/PN. Blt. Maka permasalahan ini dibatasi dengan:

1. Pertimbangan putusan hakim dalam putusan No. 91/Pid. B/2016/PN. Blt tentang tindak pidana membantu melakukan kekerasan yang mengakibatkan kematian.


(17)

8

2. Tinjauan hukum pidana Islam terhadap tindak pidana membantu melakukan kekerasan yang mengakibatkan kematian dalam putusan No. 91/Pid. B/2016/PN. Blt.

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraian di atas, maka penulis hendak mengkaji rumusan masalah dalam beberapa bentuk pertanyaan sebagai berikut:

1. Bagaimana pertimbangan putusan hakim dalam putusan No. 91/Pid. B/2016/PN. Blt tentang tindak pidana membantu melakukan kekerasan yang mengakibatkan kematian?

2. Bagaimana tinjauan hukum pidana Islam terhadap pertimbangan hakim dalam putusan No. 91/Pid. B/2016/PN. Blt tentang tindak pidana membantu melakukan kekerasan yang mengakibatkan kematian?

D. Kajian Pustaka

Kajian pustaka adalah deskripsi ringkas tentang kajian/penelitian yang sudah pernah dilakukan di seputar masalah yang akan diteliti sehingga terlihat jelas bahwa kajian yang akan dilakukan ini tidak merupakan pengulangan atau duplikasi dari kajian/penelitian yang telah ada.10

Penulisan skripsi tentang penetapan hukuman dalam tindak pidana membantu melakukan kekerasan yang mengakibatkan kematian untuk saat ini

10

Tim penyusun Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Ampel Surabaya, Petunjuk Teknis Penulisan Skripsi, (Surabaya: t.p.,2016), 8.


(18)

9

belum ada yang membahas, tetapi ada sedikit kemiripan judul yang membahas antara lain oleh:

1. Skripsi yang berjudul “Tinjauan Hukum Acara Pidana Islam Terhadap Eksekusi Putusan Kasus Pembunuhan dan Pengeroyokan di Sidoarjo (Studi

Eksekusi Putusan No. 1169/Pid. B/2008/PN. Sda)”, yang ditulis oleh

Bambang Utomo pada tahun 2010.11 Perbedaan antara penelitian ini dengan penelitian Bambang Utomo adalah penelitian ini diputus di Pengadilan yang berbeda. Penelitian Bambang Utomo diputus di Pengadilan Negeri Sidoarjo, sedangkan penelitian ini diputus di Pengadilan Negeri Blitar. Dari segi persoalan berbeda, penelitian Bambang Utomo lebih condong dalam membahas pada kasus pembunuhan dan pengeroyokan, dalam hukum Islam penelitian Bambang Utomo membahas tentang pembelaan terpaksa yang melampaui batas menurut fiqh jinayah dan KUHP sedangkan penelitian ini lebih kepada dalam tindak pidana membantu melakukan kekerasan yang mengakibatkan kematian, dalam hukum Islam penelitian ini membahas tentang pertanggungjawaban pidana dalam hukum Islam.

2. Skripsi yang berjudul “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Tidak Pidana

Kekerasan Kolektif yang Menyebabkan Luka Berat” yang ditulis oleh Adi

Supriatna pada tahun 2009.12 Perbedaan antara penelitian ini dengan penelitian Adi Supriatna jelas berbeda, penelitian ini menggunakan studi putusan No. 91/Pid. B/2016/PN. Blt sedangkan penelitian Adi Supriatna tidak

11

Bambang Utomo, Tinjauan Hukum Acara Pidana Islam Terhadap Ekskusi Putusan Kasus Pembunuhan dan Pengeroyokaan di Sidoarjo (Studi eksekusi Putusan No. 1169/Pid. B/2008/PN. Sda), (Skripsi- -IAIN Sunan Ampel, Surabaya, 2010).

12

Adi Supriatna, Tinjauan Hukum Islam Terhadap Tidak Pidana Kekerasan Kolektif yang Menyebabkan Luka Berat, (Skrpsi- -UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2009).


(19)

10

menggunakan studi putusan. Dari segi persoalan penelitian ini lebih membahas kasus tindak pidana membantu melakukan kekerasan yang mengakibatkan kematian sedangkan penelitian Adi Supriatna lebih dalam kasus turut serta tindak pidana kekerasan kolektif yang menyebabkan luka berat. Dalam hukum Islamnya penelitian ini membahas mengenai pertanggungjawaban pidana dalam hukum Islam sedangkan penelitian Adi Supriatna membahas mengenai sanksi tindak pidana kekerasan secara kolektif yang mengakibatkan luka berat menurut Imam Abu Hanafi, Imam Malik,

Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad.

3. Skripsi yang berjudul “Tinjauan Hukum Pidana Islam Terhadap Turut Serta

Dalam Tindak Pidana Pmbunuhan Berencana dan Pencurian Dengan

Kekerasan (Studi Putusan No. 213/Pid. B/2013/PN. Bkl)” yang ditulis oleh

Lindawati Eka Sahputri pada tahun 2016.13 Perbedaan antara penelitian ini dengan penelitian Lindawati Eka Sahputri adalah penelitian ini diputus di Pengadilan yang berbeda penelitian Lindawati Eka Sahputri diputus di Pengadilan Bangkalan, sedangkan penelitian ini diputus di Pengadilan Negeri Blitar. Penelitian Lindawati Eka Sahputri lebih mengarah kepada pelaku dan hukuman yang dijatuhkan kepada pelaku turut serta tidak langsung dalam mlakukan tindak pidana pembunuhan berencana dan pencurian dengan kekerasan yang dikenai dengan pasal 340 KUHP Jo 55 ayat 1 ke-1 dan pasal 365 ayat 2 Jo 55 ayat 1 ke-1 KUHP, sedangkan penelitian ini lebih mengarah kepada pelaku tindak pidana membantu melakukan kekerasan yang

13

Lindawati Eka Sahputri, Tinjauan Hukum Pidana Islam Terhadap Turut Serta dalam Tindak Pidana Pmbunuhan Berencana dan Pencurian Dengan Kekerasan (Studi Putusan No. 213/Pid. B/2013/PN. Bkl), (Skripsi- -UIN Sunan Ampel, Surabaya, 2016).


(20)

11

mengakibatkan kematian yang dikenai pasal 170 ayat 2 ke-3 KUHP Jo pasal 56 ayat 1 KUHP. Dalam hukum Islamnya penelitian Lindawati Eka Sahputri menggunakan teori hukuman jarimah takzir sedangkan penelitian ini menggunakan teori pertanggungjawaban pidana dalam hukum Islam.

E. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian yang hendak dicapai sejalan dengan pernyataan-pernyataan di atas tadi adalah:

1. Untuk mengetahui pertimbangan putusan hakim dalam putusan No. 91/Pid. B/2016/PN. Blt tentang tindak pidana membantu melakukan kekerasan yang mengakibatkan kematian.

2. Untuk mengetahui tinjauan hukum pidana Islam terhadap pertimbangan hakim dalam putusan No. 91/Pid. B/2016/PN. Blt tentang tindak pidana membantu melakukan kekerasan yang mengakibatkan kematian.

F. Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan dari hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sekurang-kurangnya untuk:

1. Aspek Keilmuwan (Teoritis)

a. Sebagai upaya menambah dan memperkaya khazanah keilmuan, khususnya dibidang tindak pidana Islam yang berkaitan dengan masalah tindak pidana membantu melakukan kekerasan yang mengakibatkan kematian.


(21)

12

b. Hasil studi ini juga dapat dijadikan acuan untuk penelitian berikutnya. 2. Aspek Terapan (Praktis)

a. Hasil studi ini dapat dijadikan sebagai sumbangan informasi bagi masyarakat tentang penetapan hukuman dalam membamtu melakukan kekerasan yang mengakibatkan kematian.

b. Sebagai salah satu pedoman bagi lembaga terkait, baik bagi penegak hukum maupun instansi yang bersangkutan.

G. Definisi Operasional

Untuk mempermudah pembahasan ini akan dijelaskan berbagai istilah sebagai berikut:

1. Hukum Pidana Islam adalah terjemahan dari kata fiqh jinayah, yaitu segala ketentuan hukum mengenai tindak pidana atau perbuatan kriminal yang dilakukan oleh orang-orang mukallaf (orang yang dapat dibebani kewajiban), sebagai hasil dari pemahaman atas dalil-dalil hukum yang terperinci dari al-Quran dan hadis.14 Dalam kasus ini pertanggungjawaban dalam hukum Islam hanya membedakan hukuman pada manusia yang masih hidup dan mukalaf. Hukum Islam juga mengampuni anak-anak dari hukuman yang semestinya dijatuhkan bagi orang dewasa kecuali jika ia telah balig. Hukum Islam tidak menjatuhkan hukuman terhadap pelaku yang dipaksa dan orang yang hilang kesadarannya.

14


(22)

13

2. Penetapan adalah proses, cara, perbuatan menetapkan, penentuan. Maksudnya adalah proses dan penentuan hukuman yang dilakukan oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Blitar. Dalam penetapan tersebut terdakwa telah terbukti membantu melakukan kekerasan yang mengakibatkan kematian.

3. Hukuman adalah untuk memelihara dan menciptakan kemaslahatan manusia dan menjaga mereka dari hal-hal yang mafsadah, karena Islam itu sebagian

rahmatan lil’alamin, untuk memberi petunjuk dan pelajaran kepada manusia. Di dalam putusan hakim memberikan hukuman selama 2 (dua) tahun 8 (delapan) bulan.

4. Membantu Melakukan dalam bahasa Belanda berarti Medeplichtige yang artinya orang memberi bantuan dalam perbuatan (jahat), perbuatan dalam kejahatan, hal ini diatur di dalam pasal 56 KUHP.15 Dalam kasus ini yang membantu melakukan adalah Rengga Kinentaka bin Supriyanto, dia disuruh oleh saksi yang bernama Suco bin Semo (Alm) untuk mencari pinjaman senapan angin.

5. Kekerasan dalam KUHP yaitu membuat orang pingsan dan tidak berdaya lagi sedangkan kekerasan dalam kasus ini mengakibatkan kematian yang dilakukan oleh saksi Muhamad Fitroh bin Mukani.

6. Putusan ialah hasil yang diambil dari suatu pemeriksaan didasarkan pada pertimbangan hukum dan ketentuan-ketentuan yang berlaku serta atas keyakinan hakim, diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, untuk

15


(23)

14

umum.16 Maksudnya adalah pernyataan hakim Pengadilan Negeri Blitar dalam memutus perkara yang dituangkan dalam bentuk tulisan dan diucapkan di dalam sidang terbuka untuk umum sebagai hasil dari persidangan.

H. Metode Penelitian

Metode penelitian merupakan cara ilmiah untuk mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu. Peneliti sendiri berarti sarana-sarana yang dipergunakan oleh manusia untuk memperkuat, membina, serta mengembangkan ilmu pengetahuan.17 Dalam hal ini, dapat dipahami bahwa metode penelitian merupakan usaha untuk menemukan sesuatu serta bagaimana cara untuk menemukan sesuatu tersebut dengan menggunakan metode atau teori ilmiah sehingga mendapat kesimpulan yang sesuai dengan kebenaran ilmiah untuk menjawab isu hukum (Law Issued) yang dihadapi, pada akhirnya dapat ditarik kesimpulan yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

Metode penelitian dalam hal ini akan mengarahkan penelitian tersebut sehingga penelitian dapat mengungkap kebenaran secara sistematis dan konsisten. 1. Jenis Penelitian

Sesuai dengan permasalahan yang diangkat, maka jenis penelitian ini dikategorikan sebagai penelitian kepustakaan (Library Research). Penelitian kepustakaan adalah salah satu bentuk metodologi penelitian yang menekankan pada pustaka sebagai suatu objek studi. Pustaka hakekatnya merupakan hasil oleh budi karya manusia dalam bentuk karya tertulis guna

16

Zaunul Bahry, Kamus Hukum, (Bandung: Angkasa. 1996), 137. 17


(24)

15

menuangkan gagasan/ide dan pandangan hidupnya dari seseorang atau sekelompok orang. Penelitian kepustakaan bukan berarti melakukan penelitian terhadap bukunya, tetapi lebih ditekankan kepada esensi dari yang terkandung pada buku tersebut mengingat berbagai pandangan seseorang maupun sekelompok orang selalu ada variasinya.18

Dengan demikian penelitian kepustakaan dilakukan dengan penelaah gagasan para pakar (pakar lain), konsepsi yang telah ada, aturan yang mengikat objek ilmu. Studi ini dilakukan untuk meneliti suatu masalah yang menjadi topik karya penelitian ataupun yang menjadi konsepsi tersebut. 2. Sumber Data

a. Sumber primer

Sumber primer adalah sumber data yang langsung memberikan data pada pengumpul data,19 yaitu data yang diperoleh secara langsung dari sumbernya mengenai masalah-masalah dalam pokok bahasan. Dalam penelitian ini melalui salinan putusan Pengadilan Negeri Blitar No. 91/Pid. B/2016/PN. Blt tentang tindak pidana membantu melakukan kekerasan yang mengakibatkan kematian.

b. Sumber sekunder

Semua publikasi tentang hukum yang merupakan dokumentasi yang tidak resmi. Publikasi tersebut merupakan petunjuk atau penjelasan

18

Mestika Zed, Metodologi Kepustakaan, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008), 2. 19


(25)

16

mengenai sumber hukum primer atau sekunder yang berasal dari kamus, ensiklopedia, jurnal, surat kabar, dan sebagainya.20 Diantaranya:

1) A. Djazuli, Fiqh Jinayah (Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam

Islam), (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000).

2) Zainuddin, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012). 3) Jaih Mubarak dan Enceng Arif Faizal, Kaidah Fiqh Jinayah

(Asas-asas Hukum Pidana Islam), (Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2004).

4) Makhrus Munajat, Dekonstruksi Hukum Pidana Islam, (Jogjakarta: Logung Pustaka, 2004).

5) Hanafi Amrani dan Mahrus Ali, Sistem Pertanggungjawaban

Pidana, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2015).

6) H.M. Rasyid Ariman dan Fahmi Raghib, Hukum Pidana, (Malang: Setara Press, 2015).

7) R. Sugandhi, Kitab Undang-undang Hukum Pidana Berikut

Penjelasannya, (Surabaya: Usaha Nasional).

8) Undang-Undang Dasar 1945. 3. Teknik Pengumpulan data

a. Dokumentasi

Yaitu teknik pengumpulan data dengan menghimpum dan menganalisis dokumen-dokumen baik berupa dokumen tertulis, gambar dan

20


(26)

17

elektonik.21 Untuk memperoleh data dalam penyusun skripsi ini, penulis menggunakan teknik pengumpulan data studi dokumen:

Yakni dengan mempelajari isi dokumen-dokumen resmi yang berkaitan dengan perkara No. 91/Pid. B/2016/PN. Blt tentang tindak pidana membantu melakukan kekerasan yang mengakibatkan kematian.

b. Telaah Pustaka

Penulis mencari dan mengumpulkan data yang berasal dari buku-buku yang berkaitan dengan penelitian ini, sehingga penulis dapat memahami, mencermati dan menganalisis berdasarkan data yang diperoleh tersebut. 4. Teknik Pengolahan Data

Setelah seluruh data terkumpul kemudian dianalisis dengan tahapan-tahapan sebagai berikut:

a. Editing, yaitu pemeriksaan kembali terhadap semua data yang telah

diperoleh terutama dari segi kelengkapan, kevalidan, kejelasan makna, keselarasan, dan kesesuaian antara data primer maupun data sekunder.22 Dalam hal ini penulis akan memeriksa kembali kelengkapan putusan No. 91/Pid. B/2016/PN. Blt. kejelasan makna terhadap tindak pidana membantu melakukan kekerasan yang mengakibatkan kematian

b. Organizing, yaitu menyusun dan mensistematiskan data-data yang telah

diperoleh.23 Dalam hal ini penulis memperoleh kerangka paparan yang sudah direncanakan yang tersusun dalam bab III tentang tindak pidana

21

Sukmadinata, Metode Penelitian Pendidikan, (Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 2011), 221. 22

Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, (Jakarta: PT. Sinar Grafika, 1996), 50. 23


(27)

18

membantu melakukan kekerasan yang mengakibatkan kematian putusan No. 91/Pid. B/2016/PN. Blt.

c. Analyzing, yaitu memberikan analisis hukum pidana Islam mengenai

pertanggungjawaban pidana dalam hukum Islam terhadap tindak pidana membantu melakukan kekerasan yang mengakibatkan kematian (Analisis terhadap Putusan Nomor 91/Pid. B/2016/PN. Blt).

5. Teknik Analisis Data

Analisis data merupakan upaya mencari dan menata secara sistematis melalui metode deskriptif analisis, wawancara dan pola pikir deduktif untuk meningkatkan pemahaman peneliti tentang kasus yang diteliti dan menyajikannya sebagai temuan bagi orang lain.24

Teknik yang digunakan pada penelitian ini adalah teknik deskriptif analisis, yaitu suatu teknik dipergunakan dengan jalan memberikan gambaran terhadap masalah yang dibahas dengan menyusun fakta-fakta sedemikian rupa sehingga membentuk konfigurasi masalah yang dapat dipahami dengan mudah.25 Langkah yang ditempuh penulis ialah mendeskripsikan secara sistematis semua fakta aktual yang diketahui, kemudian dianalisis dan ditarik sebuah kesimpulan, sehingga dapat memberikan sebuah pemahaman yang konkrit. Dalam hal ini dengan mengemukakan kasus yang terjadi di Lapas Blitar kemudian dikaitkan dengan teori dan dalil-dalil yang terdapat dalam literatur sebagai analisis, sehingga mendapatkan kesimpulan yang bersifat khusus.

24

Noong Muhjair, Metode Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta: Rako Sarasin, 1996), 104. 25


(28)

19

Deduktif yaitu diawali dengan mengemukakan teori-teori, dalil-dalil dan pendapat yang bersifat umum selanjutnya dikemukakan kenyataan yang bersifat khusus.26 Yaitu dimulai dari putusan No. 91/Pid. B/2016/PN. Blt dan dalil-dalil yang mengenai pertanggungjawaban pidana dalam hukum Islam serta beberapa pendapat dari mazhab mengenai pertanggungjawaban pidana dalam hukum Islam. Kemudian peneliti menganalisis dari putusan, dalil-dalil dan beberapa pendapat dari mazhab tersebut.

I. Sistematika Pembahasan

Bertujuan untuk memudahkan masalah-masalah dalam penelitian ini, dan dapat dipahami permasalahan secara sistematis dan lebih terarah, maka pembahasannya dibentuk dalam bab-bab yang masing-masing bab mengandung sub bab, sehingga tergambar keterkaitan yang secara sistematis.

Bab I, pada bab ini diuraikan tentang pendahuluan yang menjelaskan gambaran umum yang memuat pola dasar penulisan skripsi ini, yaitu meliputi latar belakang masalah, identifikasi dan batasan masalah, rumusan masalah, kajian pustaka, tujuan penelitian, kegunaan hasil penelitian, definisi operasional, metode penelitian, dan sistematika pembahasan.

Bab II, bab ini membahas landasan teori tentang pengertian dan dasar pertanggungjawaban pidana dalam hukum Islam, objek pertanggungjawaban pidana dalam hukum Islam, faktor-faktor pertanggungjawaban pidana dalam

26


(29)

20

hukum Islam, perbuatan-perbuatan yang terkait dengan tindak pidana dan hubungannya dengan pertanggungjawaban pidana dalam hukum Islam.

Bab III, bab ini membahas tentang data-data yang diperoleh dari penelitian meliputi deskripsi terjadinya tindak pidana membatu melakukan kekerasan yang mengakibatkan kematian di Pengadilan Negeri Blitar, pada putusan Pengadilan Negeri Blitar Nomor: 91/Pid. B/2016/PN. Blt tentang tindak pidana membantu melakukan kekerasan yang mengakibatkan kematian, serta pertimbangan majelis hakim dalam memutuskan perkara no 91/Pid.B/2016/PN.Blt terhadap tindak pidana membantu melakukan kekerasan yang mengakibatkan kematian.

Bab IV, bab ini menguraikan tentang analisis hukum pidana Islam terhadap putusan Nomor: 91/Pid. B/2016/PN. Blt tentang tindak pidana membantu melakukan kekerasan yang mengakibatan kematian.

Bab V, bab ini berisikan tentang kesimpulan dan saran yang merupakan rangkuman yang terdapat pada bagian akhir dari penelitian skripsi ini.


(30)

BAB II

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DALAM HUKUM ISLAM

A. Makna dan Dasar Pertanggungjawaban Pidana dalam Hukum Islam

Dalam hukum Islam, pertanggungjawaban pidana yaitu manusia harus bertanggungjawab atas akibat dari perbuatan haram yang dilakukannya ketika ia memiliki kebebasan berkehendak (tidak dipaksa) dan mengetahui arti serta akibat perbuatan tersebut. Maka dari itu, orang yang melakukan suatu perbuatan yang dilarang, padahal ia tidak menghendakinya, misalnya orang yang dipaksa tidak dituntut untuk mertanggungjawabkan perbuatan tersebut. Demikian pula orang yang melakukan suatu perbuatan haram dan ia memang mehendakinya, tetapi ia tidak mengerti arti perbuatan tersebut, seperti anak-anak atau orang gila, maka dia tidak bertanggungjawab atas perbuatannya tersebut.

Jadi, pertanggungjawaban pidana dalam hukum Islam terdiri atas tiga dasar:1  Perbuatan haram yang dilakukan oleh pelaku;

 Si pelaku memilih pilihan (tidak dipaksa); dan  Si pelaku memiliki pengetahuan (idrak).

Apabila ketiga dasar ini ada, pertanggungjawaban pidana harus ada, tetapi jika salah satu diantaranya tidak ada, pertanggungjawaban tidak ada. Dengan demikian orang gila, anak di bawah umur, orang yang dipaksa dan terpaksa tidak dibebani pertanggungjawaban, karena dasar pertanggungjawaban pada mereka ini

1

Abdul Qadir Audah, At-Tasyri’ al-Jina’I al-Islamiy Muqaranan bil Qanunil Wad’iy (Ensiklopedi Hukum Pidana Islam), Cet II (t.tp: Muassasah Ar-Risalah, t.t), 66.


(31)

22

tidak ada. Pembebasan pertanggungjawaban terhadap mereka ini didasarkan kepada hadis Nabi dan al-Quran. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Abu Daud disebutkan:

نَع

َع

ا

َةَشِئ

َى ِضَر

هل

اَ نَع

تَلاَق

:

َ اَق

ه وهس َر

ِل

ىَلَص

هل

ِه يَلَع

َمَلَس َ

:

َعِفهر

مَلَق لا

نَع

ةَث َََث

ِنَع

ِمِئاَنلا

ىَتَح

َظِق يَت سَي

نَع َ

ىَلَت ه لا ِِ

ىَتَح

َأَر َي

ِنَع َ

ِ ىِ َصلا

ىَتَح

َره َي

.

Dari Aisyah ra. ia berkata: telah bersabda Rasulullah saw.: Dihapuskan

ketentuan dari tiga hal, dari orang yang tidur sampai ia bangun, dari orang

yang gila sampai ia sembuh, dan dari anak kecil sampai ia dewasa.

Dalam surah An-Nahl ayat 106 disebutkan tentang orang yang dipaksa.

                                          .

Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah Dia beriman (dia mendapat

kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir Padahal hatinya tetap

tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang

melapangkan dadanya untuk kekafiran, Maka kemurkaan Allah menimpanya

dan baginya azab yang besar. (QS. An-Nahl: 106)2

2

Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, t.t), 279.


(32)

23

Para fuqaha menetapkan dua kaidah untuk menentukan apakah pelaku tindak pidana karena kesalahan dibebani pertanggungjawaban atau tidak. Dua kaidah tersebut adalah sebagai berikut.3

1. Setiap perbuatan yang menimbulkan kerugian kepada pihaklain dikenakan pertanggungjawaban atas pelakunya apabila kerugian tersebut dapat dihindari dengan jalan hati-hati dan tidak lalai. Apabila kerugian tersebut tidak mungkin dihindari secara mutlak, pelaku perbuatan itu tidak dibebani pertanggungjawaban. Sebagai contoh dapat dikemukakan, seseorang yang mengendarai mobil di jalan umum, kemudian ia menabrak orang sehingga mati maka ia dikenakan pertanggungjawaban, karena ia bisa hati-hati, dan kemungkinan menghindari akibat tersebut masih bisa, tetapi ia tidak melakukannya. Akan tetapi, jika seseorang mengendarai mobil dan debunya yang terbang karena angin yang ditimbulkan oleh lajunya kendaraan tersebut mengenai mata orang yang lewat, sampai mengakibatkan buta maka pengendara tersebut tidak dibebani pertanggungjawaban, karena menghindari debu dari kendaraan yang berjalan, sulit dilakukan oleh pengendara itu. 2. Apabila suatu perbuatan tidak dibenarkan oleh syara’ dan dilakukan tanpa

darurat yang mendesak, hal itu merupakan perbuatan yang melampaui batas tanpa darurat (alasan), dan akibat yang timbul daripadanya dikenakan pertanggungjawaban bagi pelakunya, baik akibat tersebut mungkin bisa dihindari atau tidak. Sebagai contoh dapat dikemukakan, apabila seseorang memarkir kendaraan di pinggir (bahu) jalan yang disana terdapat larangan

3


(33)

24

parkir, dan akibatnya jalan tersebut menjadi sempit, sehingga terjadilah tabrakan antara kendaraan yang lewat dan di antara penumpang ada yang mati maka pemilik kendaraan yang parkir di tempat terlarang tersebut dapat dikenakan pertanggungjawaban, karena perbuatan memarkir kendaraan di tempat tersebut tidak dibenarkan oleh peraturan yang berlaku.

B. Objek Pertanggungjawaban Pidana dalam Hukum Islam 1. Manusia

Dalam ensiklopedi hukum pidana Islam menjelaskan bahwa hukum Islam mensyaratkan pelaku harus memiliki pengetahuan dan pilihan. Oleh karena itu, manusia yang menjadi objek pertanggungjawaban pidana karena hanya dia makhluk yang memiliki dua syarat tersebut, sedangkan hewan dan benda mati mustahil menjadi objek pertanggungjawaban pidana karena keduanya tidak memiliki dua syarat tersebut.4

Manusia menjadi objek pertanggungjawaban pidana adalah yang masih hidup, sedangkan yang sudah mati tidak mungkin menjadi objek karena dua syarat tersebut tidak lagi terdapat pada dirinya. Lebih dari itu, kaidah syarak (hukum Islam) menetapkan bahwa kematian menggugurkan taklif (pembebanan hukum). Manusia yang dibebani tanggung jawab pidana dan yang memenuhi dua syarat tersebut adalah orang yang berakal, balig, dan memiliki kebebasan berkehendak sempurna. Berdasarkan hal ini, anak kecil,

4

Abdul Qadir Audah, At-Tasyri’ al-Jina’I al-Islamiy Muqaranan bil Qanunil Wad’iy (Ensiklopedi Hukum Pidana Islam), Cet II, …, 67.


(34)

25

orang gila, orang idiot, atau orang yang dipaksa tidak dibebani tanggung jawab pidana.

2. Badan-Badan Hukum (Syakhsiyyat Ma’nawi)

Hukum Islam sejak kelahirannya telah mengenal badan-badan hukum. Hal ini terbukti dari kenyataan bahwa fukaha menamakan baitul mal (perbendaharaan negara) sebagai badan (jihat), yakni badan hukum (syakhsun

ma’nawi). Demikian pula sekolah-sekolah, rumah sakit-rumah sakit, dan

sebagainya. Hukum Islam menjadikan badan-badan hukum ini memiliki hak

dan tasarruf (melakukan tindakan hukum), tetapi hukum Islam tidak

menjadikan badan hukum tersebut sebagai objek pertanggungjawaban pidana karena pertanggungjawaban ini didasarkan atas adanya pengetahuan dan pilihan, sedangkan keduanya tidak terdapat pada badan hukum tersebut. Adapun bila terjadi perbuatan yang dilarang dari orang yang mengelola lembaga tersebut, orang itulah yang bertanggung jawab atas tindak pidananya.5

Badan hukum dapat dijatuhkan hukuman bila hukuman tersebut dijatuhkan kepada pengelolanya, seperti hukuman pembubaran, penghancuran, penggusuran, dan penyitaan. Demikian pula aktivitas badan hukum yang dapat membahayakan dapat dibatasi demi melindungi keamanan dan ketentraman masyarakat.

5


(35)

26

3. Prinsip Keseorangan Hukuman (Syakhsiyyatul ‘Uqubah)

Salah satu prinsip dasar dalam hukum Islam menetapkan bahwa pertanggungjawaban pidana bersifat personal. Artinya, seseorang tidak bertanggungjawab kecuali terhadap tidak pidana yang diperbuatnya sendiri; seseorang tidak bertanggungjawab atas perbuatan orang lain, bagaimanapun dekatnya tali kekeluargaan atau tali persahabatan antara keduanya. Al-Qur’an telah menetapkan prinsip yang adil ini pada banyak ayatnya. Di antaranya adalah firman Allah SWT,

         

Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah

diusahakannya,(QS. An-Najm [53]:39)6

            

Barangsiapa yang mengerjakan amal yang saleh Maka (pahalanya) untuk

dirinya sendiri dan Barangsiapa mengerjakan perbuatan jahat, Maka

(dosanya) untuk dirinya sendiri… (QS. Fussilat [41]: 46)7

6

Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahannya, …, 527. 7


(36)

27







 

Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan

dengan kejahatan itu... (QS. An-Nisa [4]:123)8

Adapun penegasan prinsip ini dalam hadis Nabi, yaitu sabda beliau,

Seseorang tidak dikenal hukuman karena kesalahan ayahnya atau kesalahan

saudaranya.

Nabi juga pernah bersabda kepada Abu Ramtsah dan anaknya,

Sesungguhnya, dia (si anak) tidak dikenai hukuman karena kejahatanmu

(Abu Ramtsah) dan kamu tidak dihukum karena kejahannya.

Prinsip “keseorangan hukuman” diterapkan oleh hukum Islam secara total sejak kemunculannya. Prinsip umum ini hanya memiliki satu pengecualian, yaitu membebankan hukuman diat (ganti rugi dengan harta) kepada ‘aqilah (penanggung jawab bayaran diat [keluarga dekat terpidana dari pihak ayah]) pembunuh pada kasus pembunuhan semi sengaja dan pembunuhan tidak disengaja. Pengecualian ini bertujuan untuk mewujudkan keadilan mutlak. Tujuan tersebut sama dengan tujuan yang mendasari prinsip “keseorangan hukuman” karena apabila prinsip keseorangan hukuman diterapkan dalam pembayaran diat pada kasus pembunuhan semi sengaja dan pembunuhan tersalah, keadilan yang mutlak mustahil dapat diwujudkan, tetapi justru akan menyebabkan kelaliman.9

8

Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahannya, …, 98. 9

Abdul Qadir Audah, At-Tasyri’ al-Jina’I al-Islamiy Muqaranan bil Qanunil Wad’iy (Ensiklopedi Hukum Pidana Islam), Cet II, …, 68.


(37)

28

Meskipun demikian, ada sebagian fuqaha yang menganggap bahwa pembebanan diat kepada ‘aqilah bukanlah sebuah pengecualian atas prinsip keseorangan hukuman. Mereka memandang bahwa hukuman diat tidak diwajibkan pada ‘aqilah lantaran menanggung perbuatan terpidana karena kewajiban membayar diat dibebankan kepada si terpidana tersebut. Selain itu,

aqilah hanya bersifat menghibur dan bukan sebuah keharusan bagi mereka untuk

menanggung dosa pelaku.

Allah SWT mewajibkan adanya sejumlah hak orang kafir di dalam harta orang kaya sebagai bentuk hiburan bagi orang fakir tersebut. Allah juga memerintahkan manusia untuk menyambung tali silaturahim dan berbakti kepada orang tua sebagai perkara yng disunahkan untuk menghibur dan memperbaiki hubungan keluarga.

Demikian pula ‘aqilah diperintahkan untuk turut menanggung diat pada kasus pembunuhan tersalah sebagai bentuk hiburan, tanpa memperlihatkan sikap memihak, yang dibayarkan secara diangsur selama tiga tahun. Perilaku ini merupakan bentuk kemuliaan akhlak yang dianjurkan kepada mereka.

Menanggung diat secara bersama-sama sudah populer di kalangan bangsa Arab sebelum Islam datang dan perbuatan ini dianggap sebagai salah satu akhlakmereka yang mulia. Nabi SAW bersabda, “Aku diutus tidak lain untuk

menyempurnakan akhlak.”

Karena itu, perbuatan tersebut dianggap baik menurut akal dan diterima oleh etika dan tradisi.


(38)

29

4. Korban

Korban adalah orang yang menjadi objek sasaran tindak pidana atas jiwa, harta, atau salah satu haknya. Hukum Islam tidak mengharuskan korban adalah orang yang memiliki pengetahuan dan pilihan sebagaimana keduanya disyaratkan terdapat pada pelaku tindak pidana harus bertanggung jawab dan dijatuhi hukuman atas tindak pidananya, juga karena pertanggungjawaban pidana adalah akibat melanggar perintah Syari’ (Allah dan Rasul-Nya). Maka dari itu, perintah-perintah Syari’ hanya ditujukan untuk orang yang memiliki pengetahuan dan pilihan. Adapun korban tidak dibebani pertanggungjawaban pidana karena justru ia pihak yang menderita akibat tindak pidana. Karena tindak pidana itu, korban memperoleh hak dari pelaku dan si pemilik hak tersebut (korban) tidak disyaratkan orang yang memiliki pengetahuan dan pilihan, tetapi hanya disyaratkan sebagai orang yang berhak mendapatkan hak tersebut.10

Hak yang timbul dari tindak pidana terbagi atas dua macam:

 Hak Allah SWT dan

 Hak manusia.

Hak Allah timbul dari tindak pidana yang menyangkut kemaslahatan dan ketertiban masyarakat umum, sedangkan hak manusia timbul dari tindak pidana yang menyentuh perseorangan dan hak-hak mereka. Berdasarkan hal ini, korban bisa jadi orang yang sudah tamyiz atau belum, orang yang berakal atau gila, atau bisa jadi ia sekelompok orang, seperti jika korban adalah sekelompok orang yang diserang sekelompok orang lain, dan bisa jadi korban adalah seluruh anggota

10


(39)

30

masyarakat, seperti jika tindak pidana zina atau murtad. Selain itu, korban juga bisa berupa badan hukum, seperti bila sebuah perusahaan atau negara yang dicuri harta miliknya. Apabila objek tindak pidana adalah binatang, harta (benda mati), atau ideologi, yang menjadi korban adalah si pemilik binatang, pemilik harta, atau badan hukum yang menganut ideologi tersebut.

Tampak jelas dari keterangan tersebut bahwa korban dalam segala bentuk dan keadaan adalah manusia, baik sebagai individu, lembaga, maupun badan hukum.

C. Faktor Pertanggungjawaban Pidana dan Tingkatan-Tingkatannya dalam Hukum Islam

Faktor yang menyebabkan adanya pertanggungjawaban pidana adalah perbuatan maksiat, yaitu mengerjakan perbuatan yang dilarang oleh syara’ atau meninggalkan (tidak mengerjakan) perbuatan yang diperintahkan oleh syara’. Jadi, sebab pertanggungjawaban pidana adalah melakukan kejahatan. Apabila tidak melakukan kejahatan maka tidak ada pertanggungjawaban pidana. Meskipun demikian, untuk adanya pertanggungjawaban ini masih diperlukan dua syarat yaitu adanya idrak dan ikhtiar.

Apabila pertanggungjawaban pidana itu tergantung kepada adanya perbuatan melawan hukum, sedangkan perbuatan melawan hukum ini bertingkat-tingkat maka pertanggungjawaban itu juga bertingkat-tingkat. Hal ini disebabkan oleh


(40)

31

karena kejahatan seseorang itu erat kaitannya dengan niatnya, sesuai dengan hadis Nabi Muhammad SAW.11

Perbuatan yang melawan hukum adakalah disengaja dan adakala karena kekeliruan. Sengaja terbagi kepada dua bagian, yaitu sengaja semata-mata dan menyerupai sengaja. Sedangkan kekeliruan juga ada dua macam, yaitu keliru semata-mata dan perbuatan yang disamakan dengan kekeliruan. Dengan demikian maka pertanggungjawaban itu juga ada empat tingkatan sesuai dengan tingkatan perbuatan melawan hukum tadi, yaitu sengaja, semi sengaja, keliru dan yang disamakan dengan keliru.12

1. Sengaja (Al-Amdu)

Dalam arti yang umum sengaja terjadi apabila pelaku berniat melakukan perbuatan yang dilarang. Dalam tindak pidana pembunuhan, sengaja berarti pelaku sengaja melakukan perbuatan berupa pembunuhan dan ia menghendaki akibatnya berupa kematian korban. Tentu saja pertanggungjawaban pidana dalam tingkat ini lebih berat dibandingkan dengan tingkat dibawahnya.

Menurut jumhur fukaha, ada pembunuhan sengaja yang memiliki arti yang khusus, yaitu si pelaku bermaksud melakukan pembunuhan dan berniat mencapai hasilnya (yaitu hilangnya nyawa). Dalam hal ini, jumhur fukaha membedakan antara pembunuhan sengaja yang memiliki arti yang khusus (pembunuhan sengaja) tersebut dan pembunuhan sengaja yang memiliki arti yang umum (pembunuhan yang mirip disengaja).

11

Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam: Fikih Jinayah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), 76.

12


(41)

32

2. Menyerupai Sengaja (Syibhul ‘Amdi)

Menyerupai sengaja hanya terdapat dalam jarimah pembunuhan dan penganiayaan. Ini pun masih diperselisihkan oleh para fuqaha. Imam Malik misalnya tidak mengenal istilah ini (menyerupai sengaja), baik dalam pembunuhan maupun penganiayaan.

Allah SWT berfirman,

       

Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka

balasannya ialah neraka Jahannam. . . (QS.An-Nisa’ [4]: 93).13

           

Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang

lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja). . . (QS. An-Nisa’ [4]: 92)

Berdasarkan pandangannya ini, Imam Malik mengartikan pembunuhan disengaja sebagai “melakukan perbuatan dengan maksud menyerang”. Dalam hal ini, Imam Malik tidak mensyaratkan bahwa si pelaku harus bermaksud melakukan perbuatan itu dan bermaksud mencapai hasilnya.

Sementara itu, Imam Abu Hanifah, Asy Syafi’I, dan Ahmad bin Hanbal mengajui adanya tindak pidana yang mirip disengaja dalam kasus pembunuhan, tetapi mereka berbeda pendapat mengenai eksistensi jenis tersebut pada kasus penganiayaan.

13


(42)

33

Imam Asy-Syafi’I berpendapat bahwa kasus penganiayaan, adakalanya yang disengaja secara murni dan ada juga yang mirip disengaja. Inilah pendapat dalam mazhab Hanbali yang kuat (rajih). Akan tetapi, menurut Imam Abu Hanifah, tindak pidana disengaja tidak terdapat pada kasus penganiayaan. Pendapatnya ini sejalan dengan pendapat dalam mazhab Hanbali yang tidak kuat (marjuh).

Pengertian “tindak pidana yang mirip disengaja” dalam kasus pembunuhan yaitu melakukan suatu perbuatan yang dapat menghilangkan nyawa dan pelaku hanya bermaksud menyerang, tanpa berniat membunuhnya. Akan tetapi perbuatannya itu mengakibatkan kematian.14

Alasan ulama yang mengartikan demikian adalah sabda Rasulullah SAW,

“Ketahuilah, sesungguhnya, pada korban pembunuhan tersalah disengaja

(mirip disengaja), korban pembunuhan dengan cambuk, tongkat, dan batu terdapat diat seratus ekor unta.”

Pengertian syibhul ‘amdi adalah dilakukannya perbuatan itu dengan maksud melawan hukum, tetapi akibat perbuatan ini tidak dikehendaki. Dalam tindak pidana pemnbunuhan ukuran syibhul ‘amdi ini dikaitkan dengan alat yang digunakan. Kalau alat itu digunakan itu bukan alat yang biada (ghalib) untuk membunuh maka perbuatan tersebut kepada menyerupai sengaja. Dalam pertanggungjawabanmya menyerupai sengaja berada di bawah sengaja.

14

Abdul Qadir Audah, At-Tasyri’ al-Jina’I al-Islamiy Muqaranan bil Qanunil Wad’iy (Ensiklopedi Hukum Pidana Islam), Cet II, …, 78.


(43)

34

3. Keliru (Al Khata’)

Pengertian keliru adalah terjadinya suatu perbuatan di luar kehendak pelaku, tanpa ada maksud melawan hukum. Dalam hal ini, perbuatan tersebut terjadi karena kelalaiannya atau kurang hati-hatinya. Kekeliruan ini ada dua macam.

a. Keliru dalam perbuatan, seperti seorang pemburu yang menembak burung, tetapi pelurunya menyimpang dan mengenai orang.

b. Keliru dalam dugaan, seperti seorang tentara yang menembaak seseorang yang disangkanya anggota pasukan musuh, tetapi setelah diteliti ternyata anggota pasukan sendiri.15

4. Keadaan yang Disamakan dengan Keliru

Ada dua bentuk perbuatan yang disampaikan dengan kekeliruan.

a. Pelaku sama sekali tidak bermaksud melakukan perbuatan yang dilarang, tetapi hal itu terjadi di luar pengetahuannya dan sebagai akibat kelalaiannya, seperti seseorang yang tidur di samping seorang bayi di suatu barak penampungan dan ia menindih bayi itu sehingga bayi tersebut mati.

b. Pelaku menyebabkan terjadinya suatu perbuatan yang dilarang karena kelalaiannya tetapi tanpa dikehendakinya, seperti seseorang yang menggali parit di tengah jalan untuk mengalirkan air tetapi ia tidak member tanda bahaya sehingga pada malam hari terjadi kecelakaan atas kendaraan yang lewat.

15


(44)

35

Dalam segi pertanggungjawabannya, keadaan ini lebih ringan daripada keliru, karena pelaku dalam keadaan ini sama sekali tidak mempunyai maksud untuk melakukan perbuatan, melainkan perbuatan itu terjadi semata-mata akibat keteledoran dan kelalaiannya. Sedangkan dalam hal keliru pelaku sengaja melakukan perbuatan, walaupun akibatnya terjadi karena kurang hati-hati.

D. Maksud Melawan Hukum (Qasd ‘Isyan atau Qasd Jina’i) 1. Maksud Melawan Hukum

Asas pertanggungjawaban hukum adalah adanya perbuatan maksiat, yakni melawan hukum syari’. Pertanggungjawaban pelaku tindak tindak pidana berbeda-beda sesuai dengan perbedaan tingkat pelanggarannya. Pelaku yang bermaksud melawan hukum, hukumannya diperberat, sedangkan jika tidak bermaksud melawan hukum, hukumannya diperingan. Maka dari itu, maksud melawan hukum adalah faktor utama dalam menentukan hukuman bagi si pelaku. Dalam hukum konvesional, maksud ini dinamakan dengan istilah “maksud melawan hukum” (qasd ‘isyan).16

Maksud melawan hukum adalah melakukan perbuatan yang dilarang atau meninggalkan hal-hal yang diperintahkan oleh syara setelah diketahui bahwa syari’ mewajibkan atau melarang hal-hal tersebut.

Meski demikian, harus kita pahami perbedaan antara melawan hukum

(isyan) dan maksud melawan hukum (qasd isyan).

16

Abdul Qadir Audah, At-Tasyri’ al-Jina’I al-Islamiy Muqaranan bil Qanunil Wad’iy (Ensiklopedi Hukum Pidana Islam), Cet II, …, 81.


(45)

36

Perbuatan melawan hukum adalah unsur pokok yang harus terdapat pada setiap tindak pidana, baik pada tindak pidana ringan maupun tindak pidana berat, pada tindak pidana yang disengaja maupun tersalah. Apabila dalam suatu perbuatan tindak terdapat unsur melawan hukum, perbuatan itu bukan tindak pidana. Dalam kaitan ini, “maksud melawan hukum” hanya terdapat pada tindak pidana yang disengaja.

Adapun “melawan hukum (‘isyan)” berarti memperbuat maksiat atau melakukan perbuatan yang dilarang atau meninggalkan perbuatan yang diperintahkan tanpa ada maksud dari si pelaku untuk memperbuatnya, namun mengenai orang yang sedang lewat di jalan tersebut. Dalam contoh ini, si pelaku telah melakukan kemaksiatan karena melukai orang lain. Walaupun demikian, ia tidak bermaksud melukai orang lain tersebut. Artinya, ia tidak bermaksud memperbuat maksiat.

Adapun “maksud melawan hukum (qasd ‘isyan)” adalah kecenderungan niat si pelaku untuk melakukan atau meninggalkan suatu perbuatan yang ia ketahui bahwa hal itu dilarang, atau memperbuat kemaksiatan dengan maksud melawan hukum, seperti orang yang melempar batu dari jendela dengan maksud melukai orang yang sedang lewat. Dalam kondisi ini, pelaku telah melakukan kemaksiatan apabila ia memang bermaksud memperbuatnya. 2. Perbedaan Antara “Maksud (Qasd)” dan “Motif (Ba’is)”

Hukum Islam sejak kelahirannya telah membedakan antara maksud dan motif yang mendorong pelaku untuk melakukan perbuatan yang melawan hukum. Dalam hal ini, syara tidak menjadi motif melakukan tindak pidana


(46)

37

memengaruhi pembentukan tindak pidana atau hukuman yang ditetapkan untuknya. Jadi, dalam pandangan syara, motif tindak pidana adalah sama, baik motifnya mulia, seperti membunuh untuk membela nama baik, maupun motifnya hina, seperti membunuh karena diupah atau membunuh untuk merampas harta korban.17

Tidak berpengaruh motif tersebut bisa terjadi pada tindak pidana (jarimah) hudud, kisas, dan diat karena kekuasaan hakim dalam jarimah tersebut sangat terbatas sehingga ia tidak bisa mempertimbangkan motif tersebut. Akan tetapi, dalam tindak pidana-tindak pidana takzir, motif berpengaruh karena hakim mempunyai kebebasan dalam memilih dan menentukan hukuman sehingga ia bisa mempertimbangkan motif jarimah.

Dari segi kehidupan praktis, motif memiliki pengaruh terhadap hukuman-hukaman takzir, tetapi tidak pada hukuman yang lain. Alasannya, karena dalam tindak pidana takzir, hukuman tidak ditentukan bentuk, jenis, dan jumlahnya sehingga hakim memiliki kebebasan yang luas di dalam menentukan jenis dan bentuk hukumannya. Ketika hakim mempertimbangkan motif tindak pidana lalu ia meringankan atau memperberat hukumannya, berarti ia melakukan suatu hal yang berada dalam cakupan hak dan wewenangnya.

Adapun pada tindak pidana hudud dan kisas, hukumannya telah ditetapkan sehingga hakim tidak boleh mengurangi atau menambahinya dan ia wajib menjatuhkan hukuman sdengan hukuman yang telah ditetapkan tersebut, apa

17


(47)

38

pun motif tindak pidana itu, baik motifnya mulia maupun hina, hukumannya tidak akan berubah.

3. Bentuk-Bentuk Maksud Melawan Hukum

Maksud melawan hukum tidak memiliki bentuk tertentu, tetapi dapat berbeda-beda bentuknya berdasarkan bermacam-macam tindak pidana dan niat pelakunya. Dalam hal ini, maksud melawan hukum terdiri atas enam bentuk: maksud umum dan maksud khusus, maksud tertentu dan maksud tidak tertentu, maksud langsung dan maksud tidak langsung.

a) Maksud yang umum dan maksud yang khusus

Maksud umum dikatakan ada ketika pelaku dengan sengaja melakukan perbuatan yang dilarang, sedangkan ia mengetahui bahwa perbuatannya tersebut dilarang. Kebanyakan tindak pidana cukup dengan adanya maksud umum untuk melawan hukum seperti tindakpidana pelukaan dan pemukulan ringan yakni si pelaku bermaksud melakukan perbuatan material yang ia ketahui bahwa ia melakukan perbuatan yang dilarang.18

Pada tindak pidana yang lain, syari tidak mencukupkan dengan maksud umum, tetapi harus terdapat khusus, seperti sengaja mencapai suatu hasil tertentu atau kerugian tertentu bagi orang lain, sebagaimana dalam pembunuhan sengaja atau pencurian.

Pada kasus pembunuhan sengaja, pelaku tidak cukup hanya memukul atau melukai korban dan ia mengetahui bahwa pemukulan dan pelukaan

18

Abdul Qadir Audah, At-Tasyri’ al-Jina’I al-Islamiy Muqaranan bil Qanunil Wad’iy (Ensiklopedi Hukum Pidana Islam), Cet II, …, 84.


(48)

39

itu dilarang namun dengan perbuatan-perbuatan itu, ia bermaksud menghilangkan nyawa korban.

Jadi, untuk mengategorikan seseorang sebagai pelaku tindak pembunuhan secara sengaja, selain diperlukan adanya maksud umum, praktisi hukum juga mengharuskan pelaku menghendaki suatu hasil tertentu atau dengan kata lain harus ada maksud khusus. Apabila hanya ada maksud umum, sedangkan korban mati, perbuatan pelaku disebut pembunuhan yang mirip disengaja, bukan pembunuhan sengaja.

b) Maksud tertentu dan maksud tidak tertentu

Suatu maksud dikatakan “maksud tertentu” apabila pelaku dengan sengaja melakukan suatu perbuatn tertentu terhadap satu orang atau beberapa orang tertentu, baik perbuatan tersebut menurut tabiatnya hanya memilikiakibat-akibat yang terbatas, seperti orang yang membunuh dengan pisau, maupun memiliki akibat-akibat yang tidak terbatas (ditentukan), seperti orang yang melemparkan bom di tengah keramaian orang.19

Menurut para fuqaha, maksud tertentu dan tidak tertentu secara umum dianggap sama dari segi pertanggungjawaban pidana dan pembentukan tindak pidana, tetapi mereka berbeda pendapat mengenai apabila perbuatan yang terjadi adalah pemubunuhan yang maksudnya adalah “maksud tidak tertentu” (yakni tidak bermaksud membunuh orang tertentu).

19


(49)

40

Sebagai kulama Syafi’iyah berpendapat bahwa seseorang tidak dikenai hukuman sebagai pembunuh sengaja apabila ia bermaksud membunuh orang yang tidak ditentukan sebelumnya, tetapi ia tetap dikenai hukuman sebagai pelaku pembunuhan yang mirip disengaja selama orang yang menjadi korban tindak tertentu.

Sementara itu, ulama Malikiyah membedakan antara pembunuhan langsung (qatl mubasyir) dan pembunuhan tidak langsung (qatl bi

at-tasabbub). Untuk pembunuhan langsung, mereka menyamakan antara

maksud tertentu dan maksud tidak tertentu, dan menjadikan pelaku (pembunuh) bertanggungjawab atas pembunuhan disengaja.

Adapun untuk pembunuhan tidak langsung, si pelaku (pembunuh) tidak dapat dimintai pertanggungjawaban dengan menganggapnya sebagai pembunuh disengaja, kecuali dengan perbuatannya itu, ia bermaksud membunuh orang tertentu dan orang ini mati karenanya. Kalau ia tidak menghendaki orang tertentu, iatidak dapat dimintai pertanggungjawaban dengan menganggapnya sebagai pelaku pembunuhan sengaja, melainkan bertanggungjawab atas pembunuhan tersalah.

Menurut ulama Syafi’iyah, dalam pembunuhan disengaja disyaratkan adanya maksud (kesengajaan) untuk menghilangkan nyawa korban. Syarat ini baru terwujud apabila seorang pelaku bermaksud melakukan suatu perbuatan yang menyebabkan kematian yang dilakukan kepada orang tertentu.


(50)

41

Kalau ia bermaksud kepada orang yang tidak tertentu, berarti pelaku tanpa diragukan lagi telah berbuat dengan dengan sengaja, tetapi ia tidak bermaksud menghilangkan nyawa korban yang tidak ia kenak dan tidak tahu siapa orang itu ternyata orang yang paling ia sayangi sebab pelaku tidak mungkin mempunyai maksud yang serius untuk menghilangkan nyawa orang lain sebelum ia dapat memastikan keadaan dan orang tersebut.

Adapun pelaku para pembunuhan disengaja dijatuhi hukuman karena bermaksud menghilangkan nyawa korbannya. Akan tetapi, pada “maksud tidak tertentu”, tidak mungkin dikatakan bahwa pelaku bermaksud menghilangkan nyawa korban itu sendiri. Karenanya, kalau maksud menghilangkan nyawa korban tersebut tidak ada, berarti yang ada hanya maksud melakukan perbuatan yang mengakibatkan kematian; perbuatan ini menurut syarak dikualifikasikan sebagai pembunuhan yang mirip disengaja (semi sengaja).

Adapun alasan ulama Malikiyah melakukan pembedaan antara pembunuhan langsung dan pembunuhan tidak langsung ialah bahwa korban dalam kasus pembunuhan langsung pada umumnya adalah orang tertentu karena pelaku sendiri yang melakukan perbuatan itu tanpa perantara orang lain. Ia tidak melakukan perbuatan yang mengakibatkan kematian tersebut sebelum ia dapat menguasai si korban. Kalau ia sudah dapat menguasainya, si korban pun menjadi tertentu baginya. Lain halnya pada pembunuhan tidak langsung, di mana pelaku melakukan


(51)

42

pembunuhan melalui perantara dan biasanya ia dapat melakukan perbuatan yang mengakibatkan kematian sebelum dapat menguasai korbannya dan sebelum si korban menjadi tertentu baginya.

Sementara itu, ulama Hanafiyah, Hanabilah, dan sebagian ulama Syafi’iyah tidak membedakan antara maksud tertentu dan maksud tidak tertentu, baik pada pembunuhan maupun tindak pidana yang lain (nonpembunuhan). Maka dari itu, si pelaku, baik ia melakukan perbuatan terhadap orang yang tidak tertentu, dikategorikan sebagai pembunuhan sengaja apabila perbuatan itu menghasilkan akibat yang dia maksud. c) Maksud langsung dan maksud tidak langsung

Suatu “maksud” dikatakan maksud langsung, baik maksud tertentu maupun maksud tidak tertentu, manakala pelaku melakukan suatu perbuatan, sedangkan ia mengetahui dan menghendaki akibat-akibatnya, baik ia menghendaki orang (korban) tertentu maupun orang tidak tertentu.

Suatu maksud dikatakan maksud tidak langsung apabila si pelaku sengaja melakukan perbuatan tertentu lalu dari perbuatannya tersebut menimbulkan akibat-akibat yang sama sekali tidak dia kehendaki atau tidak ia perkirakan akan terjadi. Maksud tidak langsung dinamakan juga dengan “sengaja dengan sadar kemungkinan akibat (qasd ihtimali/dolus eventualis)”.20

20


(52)

43

Para fukaha tidak menyinggung maksud langsung atau maksud tidak langsung, sebagaimana mereka tidak mendefinisikan istilah qasd

ihtimali. Akan tetapi, hal ini bukan berarti hukum Islam tidak mengenal

istilah tersebut dan tidak membedakan antara maksud langsung dan maksud tidak langsung. Hukum Islam, sejak kelahirannya, benar-benar telah mengenal istilah qasd ihtimali (sengaja dengan sadar kemungkinan akibat) dan telah membedakan antara maksud langsung dan tidak langsung. Bukti yang paling kuat atashal itu ada pada tindak pidana pelukaan dan pemukulan. Orang yang memukul dan melukai dapat melakukan perbuatan tersebut dengan bermaksud hanya sekadar menyakiti ataupun mendidik. Ia tidak menduga perbuatannya tersebut akan mencederai korban, tetapi hanya menduga perbuatannya tersebut akan mengakibatkan luka yang ringan atau sedikit memar, atau hanya sekadar menyakitinya. Meskipun demikian,dalam contoh kasus ini, pelaku tidak hanya bertanggungjawab atas akibat-akibat yang dikehendaki atau yang diperkirakannya, tetapi harus bertanggungjawab atas akibat-akibat yang tidak dimaksudkan dan yang tidak diperkirakan sebelumnya tersebut.


(53)

44

E. Hal-Hal yang Mempengaruhi Pertanggungjawaban Pidana dalam Hukum Islam

Dalam membicarakan tentang beberapa hal yang mempengaruhi pertanggungjawaban pidana ini, penulis akan membatasi kepada tiga hal, yaitu pengaruh tidak tahu, lupa, dan keliru.21

1. Pengaruh Tidak Tahu

Ketentuan yang berlaku dalam syariat Islam adalah bahwa pelaku tidak dihukum karena suatu perbuatan yang dilarang, kecuali ia mengetahui dengan sempurna tentang dilarangnya perbuatan tersebut. Dengan demikian, apabila seseorang tidak tahu tentang dilarangnya perbuatan tersebut maka ia tidak dibebani pertanggungjawaban pidana.

Akan tetapi, pengertian mengetahui di sini bukan pengetahuan secara hakiki, melainkan cukup dengan adanya kemungkinan untuk mengetahui. Apabila seseorang telah dewasa dan berakal sehat serta memperoleh kesempatan untuk mengetahui perbuatan-perbuatan yang dilarang, baik dengan jalan belajar maupun bertanya kepada orang yang pandai maka orang tersebut dianggap mengetahui semua perbuatan yang dilarang, dan ia tidak dapat beralasan tidak tahu. Oleh karena itu, para fuqaha menyatakan bahwa dalam negeri Islam tidak dapat diterima alasan tidak mengetahui ketentuan-ketentuan hukum.

Dengan adanya kemungkinan untuk mengetahui maka setiap orang mukalaf dianggap mengetahui semua hukum atau undang-undang, walaupun dalam kenyataannya mungkin kebanyakan dari mereka tidak mengetahuinya.

21


(54)

45

Alasan tidak tahu baru dapat diterima dari orang-orang yang hidup di pedalaman dan tidak pernah bergaul dengan kaum muslimin yang lain, atau dari orang yang baru masuk Islam dan tidak bertempat tinggal di lingkungan kaum muslimin.

Tidak tahu tentang arti suatu undang-undang dipersamakan dengan tidak tahu bunyi undang-undang itu sendiri dan kedudukannya, dalam arti tidak bisa diterima sebagai alasan pembebasan hukuman. Dalam hukum positif kesalahan pengertian ini disebut sebagai salah tafsir.22

Salah satu yang terkenal dalam syariat Islam tentang salah tafsir ini adalah bahwa sekelompok kaum muslimin di negeri Syam minum keras karena menganggap minuman tersebut dihalalkan, dengan beralasan kepada firman Allah dalam surah al-Maidah ayat 93:

                . . .

Tidak ada dosa (halangan) bagi orang-orang yang beriman dan berbuat baik

tentang apa yang dimakan oleh mereka…..(QS. Al-Maidah: 93)23

Akan tetapi meskipun mereka salah menafsirkan ayat tersebut, mereka tetap dijatuhi hukuman juga.

2. Pengaruh Lupa

Lupa adalah tidak siapnya pada waktu diperlukan. Dalam syariat Islam lupa disejajarkan dengan keliru, seperti pada surah al-Baqarah ayat 286.

. . .             . . . 22 Ibid., 79 23


(55)

46

. . . Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau

keliru . . . (QS. Al-Baqarah: 286)24

Juga seperti dalam hadis:

َعِفهر

نَع

ىِتَمهأ

هأَطَخ لا

اَي سِ نلا َ

ه

اَم َ

ِر هت سا

وهه

ا

ِه يَلَع

Dihapuskan dari umatku kekeliruan, lupa, dan perbuatan yang dipaksakan

atasnya.

Dalam membicarakan hukum dan pengaruh lupa para fuqaha terbagi kepada dua kelompok. Pertama, kelompok yang mengatakan bahwa lupa adalah alasan yang umum, baik dalam urusan ibadah maupun urusan pidana. Mereka berpegang kepada prinsip umum yang menyatakan bahwa orang yang mengerjakan perbuatan yang dilarang karena lupa, ia tidak berdosa dan dibebaskan dari hukuman. Meskipun demikian ia tetap dikenakan pertanggungjawaban perdata, apabila perbuatannya itu menimbulkan kerugian kepada orang lain.

Kedua, kelompok yang berpendapat bahwa lupa hanya menjadi alasan hapusnya hukuman akhirat, karena hukuman akhirat didasarkan atas kesengajaan, sedangkan pada orang lupa kesengajaan itu sama sekali tidak ada. Untuk hukuman-hukuman dunia, lupa tidak bisa menjadi alasan hapusnya hukuman sama sekali, kecuali dalam hal-hal yang berhubungan dengan hak Alloh, dengan syarat ada motif yang wajar untuk melakukan perbuatannya itu ada tidak ada hal-hal yang mengingatkannya sama sekali.

24


(56)

47

Meskipun demikian, pengakuan lupa semata-mata dari pelaku tidak bisa membebaskannya dari hukuman, sebab pelaku harus dapat membuktikan kelupaannya dan hal ini sangat sukar dilakukan.

Di samping itu, lupa juga tidak menghapuskan kewajiban, karena perkara kewajiban tetap menjadi kewajiban yang harus dilaksanakan oleh orang yang lupa.

3. Pengaruh Keliru

Pengertian keliru adalah terjadinya sesuatu di luar kehendak pelaku. Dalam jarimah yang terjadi karena kekeliruan, pelaku melakukan perbuatan tersebut bukan karena niat atau kesengajaan, melainkan karena kelalaian dan kurang hati-hati.

Dalam segi pertanggungjawaban pidana, orang yang keliru dipersamakan dengan orang yang sengaja berbuat, apabila perbuatannya yang dilakukannya itu merupakan perbuatan yang dilarang oleh syara’. Hanya saja sebab pertanggungjawabannya berbeda. Dalam perbuatan sengaja sebabnya adalah sengaja melakukan perbuatan yang dilarang, sedangkan dalam perbuatan karena kekeliruan sebabnya adalah melanggar ketentuan syara’ bukan karena sengaja, melainkan karena kelalaian dan kurang hati-hati.25

Apabila kita melihat dasar-dasar yang ada dalam syara’ maka sebenarnya pertanggungjawaban itu hanya dibebankan kepada perbuatan sengaja yang diharamkan oleh syara’ dan tidak dikenakan terhadap kekeliruan. Dalam surah Al-Ahzab ayat 5 disebutkan:

25


(57)

48   . . .               . . .

Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi

(yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. (QS.Al-Azhab: 5).26

Dalam sebuah hadis juga disebutkan:

َعِفهر

نَع

ىِتَمهأ

هأَطَخ لا

اَي سِ نلا َ

ه

اَم َ

ِر هت سا

وهه

ا

ِه يَلَع

Dihapuskan dari umatku kekeliruan, lupa, dan perbuatan yang dipaksakan

atasnya.

Akan tetapi, dalam keadaan tertentu syara’ membolehkan dijatuhkannya hukuman atas kekeliruan sebagai pengecualian dari ketentuan pokok tersebut. Misalnya tindak pidana pembunuhan, sebagaimana disebutkan dalam surah An-Nisa ayat 92.

                               

Dan tidaklah boleh bagi seorang mukmin untuk membunuh mukmin yang lain

kecuali karena keliru. Barang siapa yang membunuh orang mukmin karena

26


(58)

49

keliru maka hukumannya memerdekakan hamba yang mukmin dan membayar

diat kepada keluarganya … (QS. An-Nisa: 92).27

Dengan adanya dua ketentuan tersebut di atas, yang satu merupakan ketentuan pokok dan satu lagi merupakan pengecualian dari ketentuan pokok maka kelanjutannya untuk dapat dikenakan hukuman atas perbuatan karena kekeliruan harus terdapat ketentuan yang tegas dari syara’. Dengan demikian, apabila syara’ tidak menentukan hukuman untuk suatu perbuatan karena kekeliruan maka tetap berlaku ketentuan pokok, yaitu bahwa perbuatan tersebut tidak dikenakan hukuman.

F. Perbuatan-Perbuatan yang Terkait dengan Tindak Pidana dan Hubungannya dengan Pertanggungjawaban Pidana dalam Hukum Islam

Perbuatan-perbuatan yang berkaitan dengan jarimah itu ada tiga macam, yaitu 1. Perbuatan langsung (

ه َرَش

ا

َه لَا

)

2. Perbuatan sebab (

هبَ َسلَا

) 3. Perbuatan syara (

هط رَشاَا

)

Pemisahan antara tiga macam perbuatan itu diperlukan untuk menentukan siapa pelaku sebenarnya dan siapa yang bukan.

Perbuatan langsung (mubasyarah) adalah suatu perbuatan yang dengan langsung tanpa perantara telah menimbulkan jarimah dan sekaligus menjadi illat

27


(1)

70

Adapun dari kasus tersebut terdakwa hanya disuruh untuk meminjam

senapan angin yang digunakan untuk membunuh korban Danang Adi Wibowo.

tidak ikut berbuat jarimah secara langsung seharusnya tidak dihukum lebih berat

dari saksi Suco bin Semo (Alm) yang menyuruh mencari pinjaman senapan angin

karena terdakwa Rengga Kinentaka bin Supriyanto hanya disuruh dan tidak

pernah menyuruh saksi Mohamad Fitroh bin Mukani untuk membunuh korban

Danang Adi Wibowo dan tidak juga ikut membunuh ataupun melakukan

kekerasan kepada korban tersebut. Jadi, disini terdakwa tidak ikut secara langsung

(mubasyir) dalam tindak pidana yang mengakibatkan kematian korban hanya

sebagai terdakwa secara tidak langsung (ghairu mubasyir). Hukuman terdakwa


(2)

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Berdasarkan keterangan saksi-saksi, dan keterangan terdakwa yang

dihubungkan dengan alat bukti dan bukti surat yang diajukan dalam

persidangan, majelis hakim menemukan fakta-fakta hukum bahwa terdakwa

membantu melakukan kekerasan yang mengakibatkan kematian, bermula dari

saksi Suco bin Semo (Alm) melakukan tindak pidana kekerasan yang

dilakukan secara bersama-sama warga di Musholla, lalu terdakwa Rengga

Kinentaka bin Supriyanto datang dan menyuruh terdakwa untuk mencari

pinjaman senapan angin kepada saksi Mohamad Fitroh bin Mukani dan

akhirnya saksi Suco bin Semo (Alm) menyuruh saksi Mohamad Fitroh bin

Mukani untuk membunuh korban Danang Adi Wibowo, dalam kasus ini

terdakwa terbukti membantu melakukan kekerasan yang mengakibatkan

kematian, dan telah terbukti melanggar pasal 170 ayat 2 ke-3 KUHP jo pasal

56 ayat 1 KUHP. Atas dasar penemuan fakta-fakta hukum tersebut sehingga

Majelis Hakim menyatakan bahwa unsur-unsurnya telah terpenuhi secara

keseluruhan, sehingga Majelis Hakim Pengadilan Negeri Blitar menjatuhkan

vonis kepada terdakwa Rengga Kinentaka bin Supriyanto sebagai terdakwa

dalam kasus tindak pidana membantu melakukan kekerasan yang

mengakibatkan kematian dengan pidana penjara selama 2 (dua) tahun dan 8


(3)

72

2. Hukuman yang dijatuhkan terdakwa Rengga Kinentaka bin Supriyanto dalam

kasus membantu melakukan kekerasan yang mengakibatkan kematian yang

telah ditentukan dalam fiqih jinayah, yaitu diberikan hukuman takzir. Dengan

alasannya, karena perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa termasuk jarimah

yang tidak langsung (ghairu mubasyir). Perbuatan terdakwa tidaklah

sebanding dengan orang yang berbuat langsung (mubasyir). Terdakwa juga

harus bertanggungjawab atas apa yang telah diperbuat. Dalam hukum Islam,

pertanggungjawaban pidana berarti manusia harus bertanggung jawab atas

akibat dari perbuatan haram yang dilakukannya ketika ia memiliki kebebasan

berkehendak (tidak dipaksa) dan mengetahui arti serta akibat perbuatan

tersebut.

B. Saran

Adapun saran yang mungkin bermanfaat yang penulis bisa sampaikan

dalam bab akhir skripsi ini, sebagai berikut:

1. Untuk para Penegak Hukum maupun calon Penegak Hukum harus memiliki

sikap kecermat dan keadilan dalam memahami perkara serta dalam

menjatuhkan hukuman, dan hukuman yang dijatuhkan harus memiliki efek

jera kepada pelaku agar tidak terulang kembali kesalahan-kesalahan yang

sudah diperbuat dan menjadi pendidikan bagi masyarakat lainnya dengan

mempertimbangkan jenis kejahatannya.

2. Masyarakat sebagai warga negara yang mempunyai moral dan alat yang dapat


(4)

73

bertindak agar tidak merugikan diri sendiri dan orang lain. Sehingga mereka

dapat melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat mencerminkan ketentraman

dan kedamaian bagi setiap orang tanpa adanya perbuatan-perbuatan yang

merugikan orang lain bahkan dapat membahayakan diri sendiri dan orang lain

disekitarnya.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Zamri. Pengertian dan Asas Hukum Pidana. Palembang: Ghalia

Indonesia, 1986.

Ali, Zainudin. Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2009.

Ariman, M. Rasyid, dkk. Hukum Pidana. Malang: Setara Press, 2015.

Bahry, Zaunul. Kamus Hukum. Bandung: Angkasa, 1996.

Departemen Agama Republik Indonesia. Al-Qur’an dan Terjemahannya.

Surabaya: PT. Bina Ilmu, t.t.

Djazuli, Ahmad. Fiqh Jinayah. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997.

Hanafi, Ahmad. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: Bulan Bintang, 1993.

Ilyas, Amir. Asas-Asas Hukum Pidana (Memahami Tindak Pidana dan

Pertanggungjawaban Pidana Sebagai Syarat Pemidanaan). Yogyakarta: Rangkang Education Yogyakarta & PuKAP-Indonesia, t.t.

Muhjair, Noong. Metode Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Rako Sarasin,

1996.

Qadir Audah, Abdul. At-Tasyri’ al-Jina’I al-Islamiy Muqaranan bil

Qanunil Wad’iy (Ensiklopedi Hukum Pidana Islam) Cet II. t.tp: Muassasah Ar-Risalah, t.t.

R. Sugandhi. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Berikut

Penjelasannya. Surabaya: Usaha Nasional, t.t.

Sevilla, Consuelo G. Pengantar Metode Penelitian. Jakarta: UI Press,

1993.

Soekanto, Soejono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press,

2007.

Sudarsono. Kamus Hukum. Jakarta: PT. Rieneka Cipta, 1992.


(6)

Sukmadinata. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: PT Remaja

Rosda Karya, 2011.

Tim penyusun Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Ampel Surabaya. Petunjuk Teknis Penulisan Skripsi. Surabaya: t.p., 2016.

Undang-Unang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 & Perubahan I-IV. t.tp.: Palito Media, t.t.

Waluyo, Bambang. Penelitian Hukum Dalam Praktek. Jakarta: PT. Sinar

Grafika, 1996.

Wardi Muslich, Ahmad. Hukum Pidana Islam. Jakarta: Sinar Grafika,

2005.

- - - -. Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam: Fikih Jinayah.

Jakarta: Sinar Grafika, 2004.


Dokumen yang terkait

Analisis Pengaruh Pengangguran, Kemiskinan dan Fasilitas Kesehatan terhadap Kualitas Sumber Daya Manusia di Kabupaten Jember Tahun 2004-2013

21 388 5

Analisis tentang saksi sebagai pertimbangan hakim dalam penjatuhan putusan dan tindak pidana pembunuhan berencana (Studi kasus Perkara No. 40/Pid/B/1988/PN.SAMPANG)

8 102 57

Analisis terhadap hapusnya hak usaha akibat terlantarnya lahan untuk ditetapkan menjadi obyek landreform (studi kasus di desa Mojomulyo kecamatan Puger Kabupaten Jember

1 88 63

DAMPAK INVESTASI ASET TEKNOLOGI INFORMASI TERHADAP INOVASI DENGAN LINGKUNGAN INDUSTRI SEBAGAI VARIABEL PEMODERASI (Studi Empiris pada perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) Tahun 2006-2012)

12 142 22

Kekerasan rumah tangga terhadap anak dalam prespektif islam

7 74 74

Analisa studi komparatif tentang penerapan traditional costing concept dengan activity based costing : studi kasus pada Rumah Sakit Prikasih

56 889 147

Analisis pengaruh modal inti, dana pihak ketiga (DPK), suku bunga SBI, nilai tukar rupiah (KURS) dan infalnsi terhadap pembiayaan yang disalurkan : studi kasus Bank Muamalat Indonesia

5 112 147

Pengaruh model learning cycle 5e terhadap hasil belajar siswa pada konsep sistem ekskresi

11 137 269

Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan manajemen mutu terpadu pada Galih Bakery,Ciledug,Tangerang,Banten

6 163 90

Pengaruh metode sorogan dan bandongan terhadap keberhasilan pembelajaran (studi kasus Pondok Pesantren Salafiyah Sladi Kejayan Pasuruan Jawa Timur)

45 253 84