INISIASI DAN RESPONS TERHADAP TOPIK PADA ANAK DENGAN ADHD (ATTENTION DEFICIT HYPERACTIVITY DISORDER).

(1)

Inisiasi dan Respons terhadap Topik pada Anak dengan ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder)

TESIS

diajukan sebagai syarat untuk memperoleh gelar Magister Humaniora di Bidang Linguistik

oleh

Andini Eka Prastiwi 1009574

PROGRAM STUDI LINGUISTIK SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA BANDUNG


(2)

Inisiasi dan Respons terhadap Topik pada Anak dengan ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder)

Oleh

Andini Eka Prastiwi S.Pd, UPI Bandung, 2010

Sebuah Tesis yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Magister Humaniora (M.Hum.) pada Prodi Linguistik

© Andini Eka Prastiwi 2014 Universitas Pendidikan Indonesia

Januari 2014

Hak Cipta dilindungi undang-undang.

Tesis ini tidak boleh diperbanyak seluruhya atau sebagian,


(3)

LEMBAR PENGESAHAN TESIS

disetujui dan disahkan untuk diajukan ke ujian sidang oleh:

Pembimbing I,

Prof. Dr. Syihabuddin, M.Pd. NIP 196001201981031001

Pembimbing II,

Dadang Sudana M.A., Ph.D NIP 196009191990031000

diketahui oleh:

Ketua Program Studi Linguistik, Sekolah Pascasarjana, Universitas Pendidikan Indonesia

Prof. Dr. Syihabuddin, M.Pd. NIP 196001201981031001


(4)

ABSTRAK

Inisiasi dan Respons terhadap Topik pada Anak dengan ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder)

oleh

Andini Eka Prastiwi (1009574)

Penelitian ini berjudul “Inisiasi dan Respons terhadap Topik pada Anak dengan ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder)”. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui bentuk-bentuk inisiasi topik dan respons inisiasi topik dalam percakapan yang dilakukan oleh anak dengan ADHD. Informan yang menjadi sumber data dalam penelitian ini adalah seorang anak berusia 10 tahun yang diduga mengalami ADHD. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori Topical Movement yang digagas oleh Sacks (1992) dan teori respons yang digagas oleh Bara (2010). Kedua teori tersebut digunakan untuk menganalisis data inisiasi topik dan respons terhadap inisiasi topik yang dilakukan oleh informan dalam percakapan. Penelitian ini menghasilkan beberapa hal. Yang pertama, informan biasa menginisiasi topik dalam percakapan dengan menggunakan enam cara. Cara-cara tersebut adalah inisiasi topik dengan kalimat tanya, inisiasi topik dengan kalimat pernyataan, inisiasi topik dengan penanda eksplisit, inisiasi topik dengan cara re-introduce, inisiasi topik dengan cara topic

abruption, dan stepwise topical movement. Yang kedua, ketika merespons inisiasi

topik dari lawan tuturnya, informan menggunakan enam bentuk. Bentuk yang digunakan informan tersebut adalah respons berupa jawaban yang sesuai, respons dengan jawaban tidak sesuai, penundaan respons, respons berupa tuturan tidak langsung, respons berupa tanda paralinguistik, dan respons ganda. Yang ketiga, bentuk-bentuk inisiasi dan respons topik dalam penelitian ini berhubungan dengan gejala ADHD yang dialami oleh informan. Ciri hiperaktif, inattentive, dan impulsif yang dimiliki informan memberikan pengaruh pada bentuk informan menginisiasi topik dan merespons inisiasi topik yang dilakukan informan. Secara tidak langsung, bentuk inisiasi topik dan respons yang dilakukan informan mempengaruhi jalannya percakapan. Ciri hiperaktif, inattentive, dan impulsif yang mengiringi percakapan yang dilakukan informan juga memberikan pengaruh pada jalannya percakapan. Hal itu menyebabkan penyampaian tujuan dan makna dari percakapan sedikit berbeda dari percakapan pada umumnya.


(5)

Andini Eka Prastiwi, 2014

Inisiasi dan Respons terhadap Topik pada Anak dengan ADHD (Attention Deficit Hyperactivity

LEMBAR PENGESAHAN ... i

ABSTRAK ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

UCAPAN TERIMA KASIH ... iv

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... vii

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

1.1Pengantar ... 1

1.2Latar Belakang Masalah... 1

1.3Identifikasi Masalah ... 6

1.4Rumusan Masalah ... 7

1.5Tujuan Penelitian ... 7

1.6Manfaat Penelitian ... 8

1.7Definisi Operasional ... 9

BAB 2 LANDASAN TEORETIS ... 10

2.1Pengantar ... 10

2.2Psikolinguistik ... 10

2.3Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) ... 13

2.4Gangguan Berbahasa pada Anak ADHD ... 16

2.5Inisiasi Topik ... 18

2.6Respons ... 21

2.7Kemampuan Pragmatik pada Anak Usia 7-10 Tahun ... 23

2.8Penelitian Terdahulu ... 26

BAB 3 METODE PENELITIAN ... 30


(6)

3.2Metode Penelitian ... 30

3.3Desain Penelitian ... 31

3.4Sumber Data Penelitian ... 32

3.5Teknik Pengumpulan Data ... 33

3.6Alur Penelitian ... 34

3.7Instrumen Penelitian ... 36

BAB 4 ANALISIS DAN PEMBAHASAN ... 38

4.1Pengantar ... 38

4.2Inisiasi Topik pada Percakapan yang Dilakukan Anak dengan ADHD 38

4.2.1 Topical Boundaried Movement ... 41

4.2.1.1 Inisiasi Topik dengan Kalimat Tanya ... 41

4.2.1.2 Kalimat Pernyataan ... 46

4.2.1.3 Penanda Eksplisit ... 49

4.2.1.4 Re-introduce ... 51

4.2.1.5 Topic Abruption ... 54

4.2.2 Stepwise Topical Movement ... 56

4.3Respons yang Dilakukan Anak ADHD terhadap Inisiasi Topik... 59

4.3.1 Respons dengan Jawaban Sesuai ... 61

4.3.1.1 Jawaban Sesuai tanpa Delay ... 61

4.3.1.2 Jawaban Sesuai dengan Delay ... 65

4.3.2 Respons dengan Jawaban Tidak Sesuai ... 71

4.3.2.1 Jawaban Tidak Sesuai tanpa Delay ... 71

4.3.2.2 Jawaban Tidak Sesuai dengan Delay ... 74

4.3.3 Respons dengan Tuturan Tidak Langsung ... 76

4.3.3.1 Tuturan Tidak Langsung tanpa Delay ... 76

4.3.3.2 Tuturan Tidak Langsung dengan Delay ... 77

4.3.4 Respons Berupa Tanda Paralinguistik ... 79


(7)

Andini Eka Prastiwi, 2014

Inisiasi dan Respons terhadap Topik pada Anak dengan ADHD (Attention Deficit Hyperactivity

Pragmatik ... 82

4.5Pembahasan ... 86

BAB 5 SIMPULAN DAN SARAN ... 99

5.1Pengantar ... 99

5.2Simpulan ... 99

5.3Saran ... 101

DAFTAR PUSTAKA ... 104

RIWAYAT HIDUP ... 107

LAMPIRAN-LAMPIRAN ... 109


(8)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1Pengantar

Dalam bab ini akan dijelaskan latar belakang penelitian yang dilakukan terhadap anak dengan Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD). Selain itu, dalam bab ini juga akan disebutkan identifikasi masalah, perumusan masalah penelitian, tujuan penelitian, dan definisi operasional. Hal-hal yang dibahas dalam bab ini akan menjadi pegangan untuk melakukan penelitian pada anak dengan ADHD.

1.2Latar Belakang Penelitian

Setiap bahasa di dunia ini memiliki fungsi yang sama, yaitu sebagai sarana manusia dalam berkomunikasi dengan sesamanya. Bahasa merupakan sistem lambang yang sangat tertata rapi guna menyampaikan informasi. Lambang tersebut bisa disimpan, diingat, dan diolah dengan otak (Calne, 2004:46). Inti yang paling mendasar dari bahasa adalah untuk menghubungkan bunyi dengan simbol dan makna, untuk memfasilitasi kata sebagai ekspresi dari pikiran dan perasaan. Secara tradisional, bahasa dipandang sebagai alat untuk berpikir, sebuah sistem ekspresi yang menghubungkan perpindahan pikiran dari satu orang ke orang lain (Finegan, 1992:3). Dalam berkomunikasi, bahasa adalah alat utama yang berfungsi untuk mencapai makna.

Bahasa sendiri tidak dikuasai manusia secara tiba-tiba. Perkembangan berbahasa pada manusia sudah dimulai sejak manusia lahir ke dunia dan terus


(9)

berkembang seiring dengan perkembangan usia manusia. Seiring dengan waktu, manusia menguasai kemampuan berbahasa dan mampu berkomunikasi dengan manusia lain. Membahas perkembangan berbahasa manusia tidak akan pernah lepas dari perkembangan bahasa dan komunikasi yang dialami oleh anak-anak.

Masa kanak-kanak dianggap sebagai ‘‘masa emas’’ dalam pemerolehan bahasa sekaligus sebagai bekal manusia untuk mengembangkan kemampuan berkomunikasi dan berinteraksi dengan orang lain. Segala hal yang terjadi pada masa kanak-kanak, baik secara fisik dan psikologis dapat mempengaruhi perkembangan anak dalam berbahasa dan berkomunikasi. Oleh karena itu, apapun yang terjadi pada anak di masa pemerolehan berbahasa akan berpengaruh pada kemampuan komunikasi mereka di saat memasuki masa remaja dan masa dewasa. Kemampuan berbahasa pada anak-anak sejalan dengan pertumbuhan fisik, sosial, intelektual, dan psikologis anak. Apabila terdapat gangguan pada aspek-aspek tersebut, perkembangan bahasa anak juga akan ikut terganggu. Perkembangan bahasa dipengaruhi oleh lingkungan anak dan lingkungan sekitarnya. Interaksi dengan orang yang lebih dewasa atau penutur yang lebih matang memainkan peranan yang amat penting dalam membantu peningkatan kemampuan anak untuk berkomunikasi (Bredekamp & Copple, 1997:104).

Namun, tidak semua anak dapat berkomunikasi dengan normal dan lancar sesuai dengan usia dan perkembangannya. Terdapat beberapa kelompok anak yang mengalami keterbatasan dalam berbahasa dan berkomunikasi. Keterbatasan tersebut dapat disebabkan baik dari sisi klinis, fisiologis, dan psikologis mereka. Keterbatasan dalam berkomunikasi dan berbahasa ini biasanya juga disertai


(10)

3

dengan gangguan perilaku (behavior disorder) atau gangguan belajar (learning

disorder).

Salah satu gangguan belajar dan gangguan berkomunikasi yang sering dialami anak-anak adalah ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder). Anak yang didiagnosa ADHD menunjukkan gejala-gejala tertentu, seperti hiperaktif, impulsif, dan kesulitan dalam berkonsentrasi. ADHD bukanlah hal baru dalam perkembangan anak-anak. Gangguan ini telah menjadi bahan penelitian dan menjadi perhatian dari dunia kesehatan karena gangguan ini kerap terjadi tidak hanya pada anak tetapi juga bertahan hingga dewasa. Beberapa laporan menyebutkan bahwa 10-18% anak-anak mengidap ADHD. Rata-rata 60% anak dengan ADHD memiliki gejala-gejala yang bertahan hingga mereka dewasa (Nass dan Leventhal, 2011:2).

Ciri khas anak dengan ADHD, yaitu sulit untuk memusatkan perhatian, impulsif dan hiperaktif secara tidak langsung mempengaruhi kemampuan berbahasa berkomunikasi yang dimiliki oleh anak. ADHD termasuk salah satu sindrom yang dilaporkan dalam diagnosis psikiatris pada anak dengan gangguan berbahasa. Dapat dikatakan, secara tidak langsung, karakteristik berbahasa yang dimiliki anak dengan ADHD tersebut dapat mempengaruhi social skill atau kemampuan anak ADHD untuk bersosialiasi.

Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa anak dengan ADHD memiliki karakteristik tersendiri dalam berkomunikasi dan berbahasa. Ketika dibandingkan dengan anak-anak yang pertumbuhannya normal, anak dengan ADHD menunjukkan beberapa penanda gangguan berbahasa. Penanda tersebut


(11)

meliputi beberapa hal seperti penundaan permulaan kata pertama, kombinasi kata, kelancaran membaca, memori jangka pendek, kohesivitas wacana, dan kesulitan pragmatik, dan partisipasi percakapan yang tidak sesuai (Redmond, 2003:108). Selain itu, dikaitkan dengan ciri-ciri dari ADHD, Parigger (2012:19) menyatakan bahwa gejala-gejala dari ADHD dapat berpengaruh pada masalah berbahasa. Masalah berbahasa tersebut khususnya meliputi ranah pragmatik, seperti sering terlihat tidak mendengarkan ketika diajak berbicara secara langsung (inattention), sering berbicara secara terburu-buru (hiperaktif), dan sering menjawab sebelum pertanyaan selesai diajukan (impulsif). Secara tidak langsung, dapat dikatakan bahwa gejala-gejala khas yang dimiliki anak dengan ADHD mempengaruhi kemampuan anak dalam mengelola percakapan.

Salah satu hal yang penting dalam mengelola percakapan adalah pengaturan topik dalam percakapan. Topik dalam percakapan adalah salah satu aspek dalam interaksi yang memiliki dampak pada bagaimana manusia berpartisipasi dalam interaksi yang sedang dilakukan (Koskela, 2001:16). Percakapan dapat dimulai ketika ada pihak yang menginisiasi topik. Dalam hal ini, inisiasi topik dapat menentukan bagaimana topik tersebut akan bergulir nantinya. Oleh karena itu, inisiasi topik dalam percakapan dapat dikatakan sebagai gerbang utama dari sebuah percakapan.

Namun, sebuah topik dimulai tidak hanya dari inisiasi topiknya, tetapi juga respons yang diberikan lawan tutur terhadap inisiasi topik tersebut. Inisiasi topik yang dimunculkan penutur tentunya memiliki tujuan komunikasi tersendiri. Tujuan komunikasi tersebut diakomodasi secara positif atau negatif ketika disertai


(12)

5

oleh respons dari lawan tuturnya. Respons, baik negatif maupun positif akan mempengaruhi inisiasi topik tersebut akan berlanjut atau tidak (Button and Casey, 1984:167). Oleh sebab itu, sebuah topik tidak hanya bergantung pada bagaimana cara penutur menginisiasi topik, tetapi juga cara lawan tutur merespons inisiasi topik tersebut.

Dalam penelitian ini, subjek penelitian yang peneliti jadikan sebagai informan adalah seorang anak laki-laki berusia 10 tahun dan duduk di kelas 5 sekolah dasar. Berdasarkan pemeriksaan yang dilakukan oleh psikolog dan psikiater, informan disimpulkan mengalami gejala-gejala yang berkaitan dengan ADHD. Informan mengalami tanda-tanda ADHD tersebut sejak informan berusia 3 tahun.

Gejala-gejala yang dialami oleh informan tersebut sesuai dengan ciri-ciri ADHD yang ditetapkan oleh American Psychiatric Association (APA). Gejala yang muncul tersebut di antaranya, hiperaktif, impulsif dan inatentif. Gejala-gejala tersebut muncul muncul sebelum usia enam tahun dan bertahan hingga lebih dari enam bulan. Selain itu, gejala-gejala ADHD tersebut juga harus muncul pada minimal dua latar kehidupan sosial, yaitu rumah dan sekolah (APA, 2000:85). Semua hal yang ditetapkan oleh APA itu terjadi dan dialami oleh informan.

Ketika informan melakukan komunikasi dalam bentuk tuturan pada percakapan, terdapat beberapa hal yang penting dan menjadi ciri khas informan dalam berkomunikasi. Ketika melakukan percakapan, informan terkesan pasif dalam melakukan percakapan. Ia tidak mau bicara atau bercerita jika tidak ditanya


(13)

lebih dahulu oleh lawan tuturnya. Ketika melakukan percakapan, informan lebih sering berperan sebagai perespons daripada inisiator. Dalam percakapan pun, informan sering terlihat tidak mendengarkan apa yang lawan tuturnya katakan. Oleh sebab itu, informan juga sering merespons tidak secara langsung atau merespons dengan jawaban yang tidak sesuai. Hal tersebut kadang menjadi salah satu penyebab teman-temannya segan untuk melakukan komunikasi atau percakapan dengan informan.

Berdasarkan keadaan informan tersebut, peneliti memutuskan untuk melakukan penelitian pada informan ketika informan menginisiasi topik baru dan merespons inisiasi topik. Peneliti ingin mengetahui pada kondisi apa saja informan menginisiasi topik dan merespons inisiasi topik dengan cara-cara tertentu.

1.2 Identifikasi Masalah

Penelitian ini dibatasi pada kemampuan informan, yaitu anak dengan ADHD, dalam mengatur perannya ketika melakukan percakapan dengan lawan tuturnya. Aspek yang akan diamati dalam penelitian ini dibatasi pada dua hal. Yang pertama adalah bagaimana cara informan menginisiasi topik percakapan yang sedang dilakukan dengan lawan tuturnya. Yang kedua adalah respons yang dimunculkan informan dalam percakapannya. Respons tersebut dibatasi hanya pada bagaimana informan merespons inisiasi topik dari lawan tuturnya dalam percakapan.


(14)

7

1.3 Rumusan Masalah

Untuk menjawab permasalahan yang telah dijelaskan sebelumnya, penelitian ini dilakukan berdasarkan pada rumusan masalah berikut ini:

1. Bagaimanakah cara anak ADHD menginisiasi topik saat terlibat dalam percakapan dengan lawan tuturnya?

2. Bentuk respons apa saja yang dimunculkan informan ketika merespons inisiasi topik dari lawan tuturnya dalam percakapan?

1.4 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menemukan pola atau bentuk-bentuk inisiasi topik dan respons dari inisiasi topik yang dilakukan oleh informan yang merupakan anak dengan ADHD. Pola atau bentuk-bentuk tersebut diharapkan dapat membantu orang-orang di sekitar informan untuk dapat berkomunikasi lebih baik dengan informan. Jika informan dapat berkomunikasi secara lancar dengan orang-orang di sekitar, tidak mustahil jika informan lama-lama akan terlepas dari ADHD. Karena pada dasarnya, yang paling berpengaruh dalam pengobatan atau terapi dari anak ADHD adalah dari sisi komunikasinya.

1.5 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sebuah karakteristik tuturan yang dimiliki oleh anak dengan ADHD ketika melakukan percakapan, khususnya dalam mengawali atau menginisiasi topik dan merespons inisiasi topik dari lawan tuturnya. Karakteristik tersebut dapat dijadikan titik awal usaha untuk melakukan terapi pada penelitian selanjutnya untuk anak ADHD agar dapat berkomunikasi dengan baik.


(15)

1.6 Definisi Operasional

Untuk menghindari penafsiran yang berbeda terhadap judul dan variabel yang diambil dalam penelitian ini, perlu dijelaskan definisi operasional dari tiap variabel yang diambil dalam penelitian sebagai berikut.

1) ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder): Gangguan perkembangan yang biasanya dialami oleh anak-anak. Namun, kadang ada pula yang terbawa hingga penderita beranjak dewasa. Gangguan perkembangan ini ditandai dengan munculnya tiga gejala utama atau ciri khas dari ADHD. Gejala yang pertama yaitu gangguan atensi atau perhatian, anak dengan ADHD biasanya sulit untuk memusatkan perhatian. Gejala yang kedua adalah hiperaktif, anak dengan ADHD biasanya memiliki kecenderungan tidak bisa diam atau selalu bergerak tanpa alasan. Ciri yang ketiga adalah impulsif, anak dengan ADHD biasanya sering melakukan sesuatu secara spontan dan terkesan tanpa dipikirkan terlebih dahulu.

2) Topic initiation: Mekanisme yang dilakukan seorang penutur dalam

menginisiasi sebuah topik dalam percakapan. Inisiasi topik ini dapat dibagi menjadi dua mekanisme atau cara. Cara yang pertama adalah topik yang diinisiasi secara jelas dan muncul setelah topik sebelumnya usai. Cara yang kedua adalah topik yang inisiasinya tidak terlihat secara jelas atau eksplisit atau terdapat pergeseran topik yang halus dan tidak terlihat dari topik satu ke topik selanjutnya.


(16)

9

3) Topic response: Bentuk respons yang digunakan oleh penutur dalam merepons

inisiasi topik dari lawan tuturnya. Respons terhadap inisiasi topik ini dapat mempengaruhi jalannya topik selanjutnya dalam percakapan.


(17)

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Pengantar

Dalam bab ini, akan dijelaskan metodologi penelitian. Metodologi penelitian ini berisi apa saja proses yang diperlukan dan data apa saja yang diperlukan ketika melakukan penelitian. Metodologi penelitian yang akan dibahas dalam bab ini meliputi beberapa hal, di antaranya desain penelitian, sumber data penelitian, teknik pengambilan data, tenik analisis data, alur penelitian, dan instrumen yang digunakan dalam penelitian.

3.2 Metode Penelitian

Metode Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif. Metode penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang meneliti dan menyelidiki kualitas dari hubungan, aktivitas, situasi, atau hal lain. Metode penelitian ini lebih menitikberatkan penjelasan secara detail apa yang tengah terjadi pada sebuah situasi atau aktivitas khusus, atau menjelaskan perilaku atau sikap manusia (Fraenkel dan Wallen, 2008:422).

Alasan peneliti menggunakan metode penelitian kualitatif adalah karena peneliti meneliti perilaku seorang anak yang mengidap ADHD dalam kehidupan sehari-hari. Dalam meneliti perilaku dari informan tersebut, akan lebih mendalam jika menggunakan metode penelitian kualitatif. Perilaku di sini lebih dikhususkan pada kemampuan anak tersebut dalam berkomunikasi, khususnya mengatur peran dan berpartisipasi dalam percakapan. Penelitian ini berisi analisis dan deskripsi


(18)

31

cara seorang informan yang mengalami ADHD ketika melakukan percakapan dengan orang-orang di sekitarnya. Komponen analisis percakapan yang dianalisis dalam penelitian ini adalah organisasi topik, yang meliputi bagaimana cara informan menginisiasi topik dengan lawan tuturnya, dan bagaimana informan merespons inisiasi topik dari lawan tuturnya.

3.3 Desain Penelitian

Sementara itu, desain penelitian yang informan gunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan studi kasus. Menurut Bogdan dan Biklen (1982 dalam Damaianti, 2006:175), penelitian studi kasus adalah penelitian menguji secara rinci terhadap satu latar atau satu orang subjek atau satu tempat penyimpangan dokumen atau satu peristiwa tertentu. Sementara Surachmad (1982, dalam Damaianti, 2006:175) membatasi masalah studi kasus sebagai suatu pendekatan dengan memusatkan perhatian pada suatu kasus secara intensif dan rinci.

Dalam penelitian ini, peneliti melakukan penelitian studi kasus pada seorang anak berusia 10 tahun yang didiagnosa oleh psikiater mengidap ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder). Alasan peneliti menggunakan desain penelitian studi kasus adalah karena peneliti ingin mengamati dan menganalisis secara mendalam kemampuan informan dalam mengatur percakapannya. Dengan begitu, peneliti dapat menemukan pola komunikasi atau pola percakapan yang digunakan oleh subjek penelitian.


(19)

Data yang dianalisis dalam penelitian ini adalah data yang berbentuk percakapan. Data percakapan yang digunakan dalam penelitian ini bersumber dari seorang anak yang menderita Attention Deficit Hiperactivity Disorders (ADHD). Informan yang dijadikan subjek penelitian ini adalah seorang anak berusia 10 tahun dan tengah duduk di kelas lima sekolah dasar.

Informan mulai mengalami gejala-gejala ADHD sejak berusia 3 tahun. Sebelum masuk sekolah dasar, informan pernah diperiksa dan mendapat perawatan oleh psikiater di salah satu rumah sakit di Bandung. Saat itu, informan didiagnosa mengalami gangguan autisme. Namun, pengobatan informan tersebut terhenti saat informan naik ke kelas 3 SD karena masalah ekonomi dan informan baru saja memiliki adik. Pada saat informan duduk di kelas 4 SD, informan kembali melakukan pemeriksaan di salah satu rumah sakit di Cimahi. Dari pemeriksaan tersebut, ciri-ciri yang dimiliki oleh informan lebih mengarah pada ADHD daripada autisme.

Di sekolahnya, informan dikenal sebagai anak yang sering mengalami gangguan emosi, penyendiri, dan jarang berkomunikasi dengan guru atau teman sebayanya. Informan sering lepas kendali ketika ia diganggu, marah atau tidak dituruti keingannnya. Ketika ia marah, informan sering melakukan tindakan fisik pada orang yang mengganggunya dengan cara memukul, mencubit, atau mencakar.

Dalam kemampuan komunikasi dan berbahasanya, informan dikenal sebagai anak yang jarang berkoumunikasi dengan teman-temannya. Informan hampir tidak pernah berkomunikasi dengan teman-temannya. Informan baru mau


(20)

33

berbicara ketika ia diminta oleh gurunya untuk berbicara dan itu pun sangat jarang. Informan hanya mau berbicara atau berkomunikasi secara nyaman ketika ia berkomunikasi dengan orang-orang yang menurutnya baik padanya, seperti orang tua, keluarga, dan wali kelasnya.

Selain didapat dari informan, yaitu anak dengan ADHD, peneliti juga menggunakan data tambahan untuk memperkuat analisis dalam penelitian ini. Data tambahan tersebut didapatkan dari orang-orang terdekat informan, seperti orang tua, guru, teman sekolah, dan psikolog atau dokter yang tengah menangani anak tersebut.

3.5 Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan beberapa teknik pengumpulan data. Teknik ini digunakan untuk mengumpulka data berupa percakapan dan data lain yang menunjang dalam penelitian ini. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1) Wawancara

Teknik wawancara dalam penelitian ini digunakan untuk mengumpulkan data berupa percakapan. Percakapan yang dihasilkan dari wawancara tersebut digunakan untuk dua tujuan. Tujuan yang pertama adalah percakapan dari informan dengan lawan tuturnya yang akan ditranskripsi dan dianalisis dalam penelitian ini. Tujuan yang kedua adalah percakapan yang berasal dari wawancara antara peneliti dengan orang-orang di sekitar informan, misalnya orang tua, dokter, psikolog, dan teman-teman informan. Wawancara dengan orang-orang di sekitar informan tersebut digunakan untuk mengetahui hal lain yang berhubungan dengan informan dan menunjang analisis data percakapan dalam penelitian.


(21)

Teknik pengumpulan data kedua yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik observasi. Teknik observasi digunakan peneliti untuk mengetahui sikap informan ketika melakukan percakapan dengan lawan tuturnya. Observasi yang dilakukan oleh peneliti ini meliputi gestur atau gerakan tubuh yang menyertai percakapan yang dilakukan informan. Hasil dari oservasi ini dapat memberikan data tambahan dan penguatan pada analisis data penelitian pada ahap selanjutnya.

3.6 Alur Penelitian

Adapun alur penelitian dari penelitian ini dapat dirumuskan melalui poin-poin sebagai berikut.

1) Peneliti merekam percakapan yang dilakukan oleh informan, yaitu anak dengan ADHD, dengan lawan tuturnya.

2) Data percakapan ditranskripsi dalam bentuk tulisan. Transkripsi percakapan dalam penelitian ini menggunakan notasi yang digagas oleh Jefferson (dalam Atkinson & Heritage, 158-165) sebagai berikut :

 [ (Kurung buka siku tunggal) : salah satu penutur melakukan tuturan yang saling bertumpang tindih (overlap) di tengah tuturan.

 ] (Kurung tutup siku tunggal) : akhir dari tuturan yang saling bertumpang tindih (overlap).

 [[ (Kurung siku ganda) : tuturan yang diawali secara bersamaan oleh kedua penutur.


(22)

35

 = (Tanda sama dengan) : tuturan penutur yang terpotong atau belum diselesaikan, tapi tanpa ada overlap dari lawan tuturnya.

 (0.0) (penunjuk detik dalam tanda kurung) : jeda yang terjadi di dalam atau di antara tuturan.

 (.) (tanda titik dalam tanda kurung) : jeda yang terjadi kurang dari 1 detik.

 : (tanda titik dua) : pemanjangan kata yang dilakukan penutur.

 (tanda panah ke bawah) : intonasi turun yang dilakukan penutur dalam percakapan.

 (tanda panah ke atas) : intonasi naik yang dilakukan penutur.

 word (garis bawah) : kata yang diberi penekanan oleh penutur.

(penunjuk derajat) : tuturan dengan suara yang lebih kecil dari sekitarnya atau berbisik.

 (hhh) : bunyi aspirasi yang terdengar dalam percakapan.

 (.hhh) : bunyi helaan nafas yang terdengar dalam percakapan.

 ((word)) (tanda kurung ganda) : gestur atau gerakan yang menyertai tuturan penutur, karakterisasi percakapan yang dituturkan, hal lain yang terjadi selama percakapan berlangsung.

 > < (tanda lebih besar dan lebih kecil) : menandai bagian kata yang diucapkan secara cepat oleh penutur.

 (word) (tanda kurung tunggal) : bunyi yang tidak jelas dalam rekaman dan diragukan oleh pentranskripsi.


(23)

berdasarkan pertanyaan penelitiannya, yaitu sebagai berikut:

- cara informan menginisiasi topik baru dalam percakapan, baik topik baru

yang ditandai dengan penanda penutup topik maupun topik yang muncul dari pergeseran topik sebelumnya;

- bentuk respons yang dimunculkan informan ketika merespons inisiasi

topik dari lawan tuturnya.

4) Data yang sudah diidentifikasi tersebut dianalisis berdasarkan teori-teori yang digunakan peneliti dalam penelitian ini.

5) Peneliti melakukan wawancara dengan orang-orang yang dekat dengan informan, yaitu orang tua dan wali kelas informan, juga psikolog dan dokter yang menangani informan.

6) Data yang sudah dianalisis dideskripsikan dalam bentuk narasi dan dibahas berdasarkan teori yang relevan digabung dengan hasil wawancara yang dilakukan peneliti.

7) Peneliti membuat laporan dan simpulan penelitian.

3.7 Instrumen Penelitian

Sebelum melakukan penelitian, peneliti terlebih dahulu menyusun instrumen penelitian. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah berupa pedoman observasi dan analisis yang didasarkan dari teori. Teori yang digunakan dalam penelitian ini sebagai pedoman penyusunan instrumen penelitian adalah teori topical movement yang dikemukakan oleh Sacks (1992) dan teori respons yang dikemukakan oleh Bara (2010).


(24)

37

Teori tersebut digunakan sebagai pedoman analisis data dalam penelitian. Adapun tabel yang digunakan peneliti untuk mengidentifikasi dan menganalisis data dalam penelitian ini dibuat berdasarkan kedua teori tersebut. Tabel yang peneliti gunakan sebagai instrumen dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1) Tabel analisis bentuk inisiasi topik dan bentuk respons terhadap inisiasi topik yang digunakan oleh informan

No Percakapan Topik

Peran Informan

Keterang an

Sebagai inisiator Sebagai perespons

inisiasi

Topical boundaries

Stepwise

movement Respons

Bentuk respons


(25)

BAB 5

SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Pengantar

Pada bab terakhir ini, akan dijelaskan simpulan dari penelitian ini. Bab ini dibagi menjadi dua bagian. Bagian pertama adalah simpulan yang didasarkan pada pertanyaan penelitian. Simpulan ini berisi hasil dari penelitian yang telah dilakukan disusun berdasarkan pertanyaan penelitiannya, yaitu cara anak ADHD menginisiasi topik dalam percakapan, dan bentuk respons yang dimunculkan anak ADHD ketika merespons inisiasi topik dari lawan tuturnya. Sementara itu, bagian kedua dalam bab ini adalah saran. Saran atau rekomendasi berdasarkan simpulan hasil penelitian yang sudah dilakukan. Saran atau rekomendasi ini diharapkan dapat menjadi bekal atau titik awal untuk penelitian selanjutnya yang lebih mendalam.

5.2 Simpulan

Pertanyaan penelitian pertama yang dibahas dalam penelitian ini adlah bagaimana cara anak dengan ADHD menginisiasi topik percakapan. Semua percakapan yang menjadi data dalam penelitian ini diidentifikasi dan dikaji berdasarkan teori topical transition yang digagas oleh Sacks (1992). Sacks menyatakan bahwa percakapan biasanya dibentuk dari berbagai transisi. Ia membagi transisi tersebut menjadi dua jenis, yaitu topical


(26)

100

Dalam penelitian ini, informan menginisiasi topik dengan enam cara. Lima cara termasuk dalam topical boundaried transition dan sisanya termasuk dalam stepwise topical movement. Enam cara tersebut adalah menginisiasi topik dengan kalimat tanya, menginisiasi topik dengan kalimat pernyataan, menginisiasi topik dengan penanda eksplisit, menginisiasi topik dengan membawa kembali topik sebelumnya (re-introduce), menginisiasi secara tiba-tiba (topic abruption), dan mengalihkan topik secara bertahap (stepwise topical transition). Keenam pergerakan topik tersebut dilakukan oleh informan ketika menemui kondisi-kondisi tertentu.

Pertanyaan yang kedua yang dibahas dalam penelitian ini adalah bagaimana bentuk respons yang dimunculkan anak ADHD ketika merespons inisiasi topik dari lawan tuturnya. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teori respons dalam pragmatik kognitif yang digagas oleh Bara (2010) untuk mengidentifikasi dan menganalisis data percakapan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan, informan dalam penelitian ini merespons inisiasi topik dari lawan tuturnya dengan lima bentuk. Bentuk yang pertama adalah respons berupa jawaban yang sesuai. Bentuk kedua adalah respons berupa jawaban yang tidak sesuai. Bentuk ketiga adalah respons berupa tuturan tidak langsung. Bentuk keempat adalah respons berupa penanda paralinguistik, dan yang terakhir adalah respons ganda.

Hal yang dapat disimpulkan dari penelitian ini adalah semua ciri ADHD yang dimiliki oleh informan memberi pengaruh yang cukup besar pada kemampuan informan mengelola percakapan. Hasil penelitian ini juga


(27)

menunjukkan kesesuaian antara hasil penelitian dengan penelitian-penelitian yang dilakukan sebelumnya oleh para ahli. Penelitian ini menunjukkan bahwa anak dengan ADHD memiliki karakteristik tertentu dalam percakapan. Karakteristik tersebut khususnya terlihat pada keakuratan informan memahami dan merespons topik dalam percakapan. Karakteristik tersebut memberi warna dan pengaruh terhadap berkembangnya topik dalam percakapan. Namun, berbagai karakteristik yang muncul dalam percakapan tersebut tidak lain adalah bentuk usaha informan untuk terlibat secara aktif dalam percakapan. Dengan berbagai karakteristik yang dimilikinya, informan berusaha dengan keras untuk melakukan percakapan dan berkomunikasi dengan orang-orang di sekitarnya.

5.3 Saran

1). Metodologis

Terdapat beberapa saran yang direkomendasikan berdasarkan hasil dari penelitian. Saran yang pertama adalah penelitian bahasa dan komunikasi yang terjadi pada anak ADHD harus dikembangkan lagi lebih lanjut. Penelitian bahasa pada anak ADHD ini harus dikembangkan tidak hanya dari segi kuantitatif, tetapi juga kualitatif. Hal ini disebabkan oleh semakin tingginya jumlah anak yang memiliki gangguan ADHD dalam perkembangannya.

Penelitian tentang inisiasi dan respons terhadap topik pada anak ADHD ini dapat menjadi titik awal penelitian-penelitian selanjutnya dengan topik yang berbeda. Dari segi kemampuan berbahasa pada anak dengan


(28)

102

ADHD, perlu banyak sekali penelitian yang berhubungan dengan berbagai aspek bahasa. Penelitian kemampuan berbahasa pada anak ADHD ini dapat dikembangkan pada topik penelitian lain. Penelitian kemampuan berbahasa pada anak ADHD dapat diperluas pada stuktur kalimat yang digunakan anak ADHD dalam berkomunikasi. Penelitian lain untuk kemampuan berbahasa pada anak ADHD juga dapat dititikberatkan pada kemampuan pragmatik lain, seperti pematuhan dan pelanggaran Prinsip Kerja Sama. Anak dengan ADHD juga cenderung sering melakukan pelanggaran Prinsip Kerja Sama, juga kesantunan. Topik tersebut dapat digunakan sebagai bahasan untuk penelitian selanjutnya.

2). Praktis

Pada dasarnya, setiap orang memiliki keinginan untuk berkomunikasi, untuk menyampaikan pendapat dan didengarkan oleh orang lain. Hal itu juga dirasakan oleh anak dengan ADHD. Dengan berbagai kondisi emosi dan perkembangan yang dimiliki, anak ADHD juga memiliki keinginan untuk berinteraksi sosial dengan orang-orang di sekitarnya secara normal. Namun, selama ini, justru banyak yang belum memahami hal tersebut. Banyak orang tua yang tidak menyadari kondisi ADHD ini dan menganggap bahwa anak dengan ADHD ini nakal dan tidak bisa diatur. Pada akhirnya, anak ADHD sering diperlakukan dengan keras, sering dimarahi, dan sering disalahkan. Padahal, hal tersebut dapat membuat kondisi emosi anak ADHD menjadi lebih parah.


(29)

Salah satu hal yang perlu dilakukan adalah komunikasi yang baik dengan anak ADHD. Dengan komunikasi yang baik, anak ADHD merasa lebih didengarkan. Oleh karena itu, orang-orang di sekitar anak ADHD, seperti orang tua, guru, dan teman-temannya harus memahami karakteristik berbahasa dan komunikasi yang dimiliki anak ADHD. Tentunya, komunikasi tersebut juga harus dilakukan dengan kesabaran yang lebih. Dengan komunikasi yang lebih baik, diharapkan dapat membantu anak ADHD menajdi lebih mandiri dan berbaur dalam berkomunikasi. komunikasi yang baik juga diharapkan dapat membantu jalannya terapi sebagai usaha untuk menyembuhkan ADHD dari segi nonmedis.


(30)

Daftar Pustaka

American Psychiatric Associations. 2000. Diagnostic and Statistical

Manual of Mental Disorders: Fourth Edition (DSM-IV). Washington

DC:APA.

Atchison, Jean. 2005. “Language and Mind: Psycholinguistics”. Dalam

(Editor: N.E Colinge) An Encyclopaedia of Language, bagian 10,

Halaman 186-204.

Atkinson, J Maxwell & John Heritage. 2006. “Jefferson Transcript

Notation”. Dalam (Editor: Adam Jaworski & Nikolas Coupland) The

Discourse Reader: Second Edition, Halaman 158-165.

Arnaldi, Melani R. 2012. “Hambatan Proses Kognitif pada Anak ADHD dalam Kaitannya dengan Kontrol pada Awareness di dalam

Executive Function”. Tersedia dalam

http://klinikanakkesulitanbelajar.wordpress.com/ (diakses 18 November 2012).

Bara, Bruno G. 2010. Cognitive Pragmatics: The Mental Process of

Communication. MIT Press: Cambridge.

Bates, Elizabeth, dkk. 2001. “Psycholinguistics: A Cross Language

Perspective”. Dalam Annual Review of Psychology, Volume 52,

369-396.

Bredekamp, S & C. Copple. 1997. Developmentally Appropriate Practice in

Early Childhood Programs. Washington DC: National Association

for The Education of Young Children.

Brinton, B. & M. Fujiki. 1995. “Conversational Intervention for Children

with Specific Language Impairment. Dalam (Editor: M.E. Fey, J. Windsor, & S. Warren) Language Intervention: Preschool Through

the Intermediate Years Halaman 183–212.

Button, Graham & Neil Casey. 1984. “Generating Topic: The Use of Topic

Initial Elicitor”. Dalam (Editor: J. Maxwell Atkinson & John

Heritage) Structures of Social Action: Studies in Conversational

Analysis, Halaman 167-190.

Calne, Donald B. 2004. Batas Nalar: Rasionalitas dan Perilaku Manusia. (Diterjemahkan oleh Parakitri P. Simbolon). Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.


(31)

Camarata, Stephen M & Terrie Gibson. 1999. “Pragmatic Language Deficits

in Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD)”. Tersedia

dalam Developmental Disabilities Research Reviews, Volume 5,

Halaman 207-214.

Chaer, Abdul. 2009. Psikolinguistik: Kajian Teoretik. Jakarta: Rineka Cipta. Cummings, Louis. 2010. Pragmatik Klinis: Kajian tentang Penggunaan dan

Gangguan Bahasa Secara Klinis. (Diterjemahkan oleh Adolina

Lefaan, dkk). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Damaianti, Vismaia dkk. 2007. Metodologi Penelitian Bahasa. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Dadjowidjojo, Soenjono. 2012. Psikolinguistik: Pengantar Pemahaman

Bahasa Manusia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Dewart, Hazel & Susie Summers. 1996. The Pragmatics Profile of Everyday

Communication Skills in Children: Manual. Tersedia: http://wwwedit.wmin.ac.uk/psychology/pp/documents/Pragmatics% 20Profile%20Children.pdf (diakses 19 Mei 2012).

Finnegan, Edward, dkk. 2004. Language: Its Structure and Use 5th Edition.

Boston: Thomson Wadsworth.

Fraenkel, Jack. R & Norman E. Wallen. 2008. How To Design and Evaluate

Research In Education. New York: McGraw-Hill International

Edition

Geurts, Hilde M. & Mariette Embrechts. 2008. “Language Profiles in ASD,

SLI, and ADHD”. Tersedia dalam J Autism Development Disorders,

Volume 38, Halaman 1931-1943.

Howe, Mary. 1991. “Collaboration of Topic Change in Conversation”.

Tersedia dalam Kansas Working Paper of Linguistics, Volume 16,

Halaman 1-16.

Kim, Okmi H. & Ann P. Kaiser. 2000. “Language Characteristics of

Children with ADHD”. Tersedia dalam Communication Disorders

Quarterly, Volume 21, No 3, Spring 2000, Halaman 154-165.

Koskela, Heidi. 2001. Topic-Invoked Participation Frameworks in

Talk-Discussions Programs (Tesis). Department of English, University Of


(32)

110

Leonard, Melinda A, Richard Milich, & Elizabeth P. Lorch. 2011. “The Role of Pragmatic Language Use in Mediating the Relation Between

Hyperactivity and Inattention and Social Skills Problems”. Tersedia

dalam Psychology Faculty Publication, Halaman 1-34.

Mar’at, Samsunuwiyati. 2005. Psikolinguistik: Suatu Pengantar.

Bandung:Refika Aditama.

Nass, Ruth D & Fern Leventhal. 2011. 100 Questions and Answers About

Your Child’s ADHD: From Preschool to College, Second Edition.

Ontario: Jones & Bartlett Learning.

Tannock, Rosemary, Maggie. E. Toplak, & Collen Docstadder. 2006.

Language and Mental Health Disorders: The Case of ADHD. Dalam

http://www.cas.uio.no/Publications/Seminar/Convergence_Tannock. pdf (diakses 25 Juni 2013).

Tannock, Rosemary, Maggie E. Toplak, & Collen Dockstadder. 2006.

“Temporal Information Processing in ADHD: Findings ti Date and

New Methods”. Tersedia dalam Journal of Neuroscience Methods,

Halaman 15-29.

Parigger, Esther. 2012. Language and Executive Functioning in Children

with ADHD. Amsterdam:Uitgeverij Boxpress.

Redmond, Sean M. 2004. “Conversational Profiles of Children with ADHD,

SLI, and Typical Development”. Tersedia dalam Clinical Linguistics

and Phonetics, Volume 18, No 2, Halaman 107-125.

Sacks, H. 1992. Lectures On Conversation. Oxford: Blackwell.

Withworth, Anne. 2003. “The Aplication of Conversation Analysis (CA) to

The Management of Aphasia”. Tersedia dalam Revue Tranel


(1)

101

menunjukkan kesesuaian antara hasil penelitian dengan penelitian-penelitian yang dilakukan sebelumnya oleh para ahli. Penelitian ini menunjukkan bahwa anak dengan ADHD memiliki karakteristik tertentu dalam percakapan. Karakteristik tersebut khususnya terlihat pada keakuratan informan memahami dan merespons topik dalam percakapan. Karakteristik tersebut memberi warna dan pengaruh terhadap berkembangnya topik dalam percakapan. Namun, berbagai karakteristik yang muncul dalam percakapan tersebut tidak lain adalah bentuk usaha informan untuk terlibat secara aktif dalam percakapan. Dengan berbagai karakteristik yang dimilikinya, informan berusaha dengan keras untuk melakukan percakapan dan berkomunikasi dengan orang-orang di sekitarnya.

5.3 Saran 1). Metodologis

Terdapat beberapa saran yang direkomendasikan berdasarkan hasil dari penelitian. Saran yang pertama adalah penelitian bahasa dan komunikasi yang terjadi pada anak ADHD harus dikembangkan lagi lebih lanjut. Penelitian bahasa pada anak ADHD ini harus dikembangkan tidak hanya dari segi kuantitatif, tetapi juga kualitatif. Hal ini disebabkan oleh semakin tingginya jumlah anak yang memiliki gangguan ADHD dalam perkembangannya.

Penelitian tentang inisiasi dan respons terhadap topik pada anak ADHD ini dapat menjadi titik awal penelitian-penelitian selanjutnya dengan topik yang berbeda. Dari segi kemampuan berbahasa pada anak dengan


(2)

ADHD, perlu banyak sekali penelitian yang berhubungan dengan berbagai aspek bahasa. Penelitian kemampuan berbahasa pada anak ADHD ini dapat dikembangkan pada topik penelitian lain. Penelitian kemampuan berbahasa pada anak ADHD dapat diperluas pada stuktur kalimat yang digunakan anak ADHD dalam berkomunikasi. Penelitian lain untuk kemampuan berbahasa pada anak ADHD juga dapat dititikberatkan pada kemampuan pragmatik lain, seperti pematuhan dan pelanggaran Prinsip Kerja Sama. Anak dengan ADHD juga cenderung sering melakukan pelanggaran Prinsip Kerja Sama, juga kesantunan. Topik tersebut dapat digunakan sebagai bahasan untuk penelitian selanjutnya.

2). Praktis

Pada dasarnya, setiap orang memiliki keinginan untuk berkomunikasi, untuk menyampaikan pendapat dan didengarkan oleh orang lain. Hal itu juga dirasakan oleh anak dengan ADHD. Dengan berbagai kondisi emosi dan perkembangan yang dimiliki, anak ADHD juga memiliki keinginan untuk berinteraksi sosial dengan orang-orang di sekitarnya secara normal. Namun, selama ini, justru banyak yang belum memahami hal tersebut. Banyak orang tua yang tidak menyadari kondisi ADHD ini dan menganggap bahwa anak dengan ADHD ini nakal dan tidak bisa diatur. Pada akhirnya, anak ADHD sering diperlakukan dengan keras, sering dimarahi, dan sering disalahkan. Padahal, hal tersebut dapat membuat kondisi emosi anak ADHD menjadi lebih parah.


(3)

103

Salah satu hal yang perlu dilakukan adalah komunikasi yang baik dengan anak ADHD. Dengan komunikasi yang baik, anak ADHD merasa lebih didengarkan. Oleh karena itu, orang-orang di sekitar anak ADHD, seperti orang tua, guru, dan teman-temannya harus memahami karakteristik berbahasa dan komunikasi yang dimiliki anak ADHD. Tentunya, komunikasi tersebut juga harus dilakukan dengan kesabaran yang lebih. Dengan komunikasi yang lebih baik, diharapkan dapat membantu anak ADHD menajdi lebih mandiri dan berbaur dalam berkomunikasi. komunikasi yang baik juga diharapkan dapat membantu jalannya terapi sebagai usaha untuk menyembuhkan ADHD dari segi nonmedis.


(4)

Daftar Pustaka

American Psychiatric Associations. 2000. Diagnostic and Statistical

Manual of Mental Disorders: Fourth Edition (DSM-IV). Washington

DC:APA.

Atchison, Jean. 2005. “Language and Mind: Psycholinguistics”. Dalam (Editor: N.E Colinge) An Encyclopaedia of Language, bagian 10,

Halaman 186-204.

Atkinson, J Maxwell & John Heritage. 2006. “Jefferson Transcript Notation”. Dalam (Editor: Adam Jaworski & Nikolas Coupland) The

Discourse Reader: Second Edition, Halaman 158-165.

Arnaldi, Melani R. 2012. “Hambatan Proses Kognitif pada Anak ADHD dalam Kaitannya dengan Kontrol pada Awareness di dalam

Executive Function”. Tersedia dalam

http://klinikanakkesulitanbelajar.wordpress.com/ (diakses 18 November 2012).

Bara, Bruno G. 2010. Cognitive Pragmatics: The Mental Process of

Communication. MIT Press: Cambridge.

Bates, Elizabeth, dkk. 2001. “Psycholinguistics: A Cross Language Perspective”. Dalam Annual Review of Psychology, Volume 52, 369-396.

Bredekamp, S & C. Copple. 1997. Developmentally Appropriate Practice in

Early Childhood Programs. Washington DC: National Association

for The Education of Young Children.

Brinton, B. & M. Fujiki. 1995. “Conversational Intervention for Children with Specific Language Impairment. Dalam (Editor: M.E. Fey, J. Windsor, & S. Warren) Language Intervention: Preschool Through

the Intermediate Years Halaman 183–212.

Button, Graham & Neil Casey. 1984. “Generating Topic: The Use of Topic Initial Elicitor”. Dalam (Editor: J. Maxwell Atkinson & John Heritage) Structures of Social Action: Studies in Conversational

Analysis, Halaman 167-190.

Calne, Donald B. 2004. Batas Nalar: Rasionalitas dan Perilaku Manusia. (Diterjemahkan oleh Parakitri P. Simbolon). Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.


(5)

109

Camarata, Stephen M & Terrie Gibson. 1999. “Pragmatic Language Deficits in Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD)”. Tersedia dalam Developmental Disabilities Research Reviews, Volume 5,

Halaman 207-214.

Chaer, Abdul. 2009. Psikolinguistik: Kajian Teoretik. Jakarta: Rineka Cipta. Cummings, Louis. 2010. Pragmatik Klinis: Kajian tentang Penggunaan dan

Gangguan Bahasa Secara Klinis. (Diterjemahkan oleh Adolina

Lefaan, dkk). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Damaianti, Vismaia dkk. 2007. Metodologi Penelitian Bahasa. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Dadjowidjojo, Soenjono. 2012. Psikolinguistik: Pengantar Pemahaman

Bahasa Manusia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Dewart, Hazel & Susie Summers. 1996. The Pragmatics Profile of Everyday

Communication Skills in Children: Manual. Tersedia: http://wwwedit.wmin.ac.uk/psychology/pp/documents/Pragmatics% 20Profile%20Children.pdf (diakses 19 Mei 2012).

Finnegan, Edward, dkk. 2004. Language: Its Structure and Use 5th Edition.

Boston: Thomson Wadsworth.

Fraenkel, Jack. R & Norman E. Wallen. 2008. How To Design and Evaluate

Research In Education. New York: McGraw-Hill International

Edition

Geurts, Hilde M. & Mariette Embrechts. 2008. “Language Profiles in ASD,

SLI, and ADHD”. Tersedia dalam J Autism Development Disorders,

Volume 38, Halaman 1931-1943.

Howe, Mary. 1991. “Collaboration of Topic Change in Conversation”. Tersedia dalam Kansas Working Paper of Linguistics, Volume 16,

Halaman 1-16.

Kim, Okmi H. & Ann P. Kaiser. 2000. “Language Characteristics of Children with ADHD”. Tersedia dalam Communication Disorders Quarterly, Volume 21, No 3, Spring 2000, Halaman 154-165.

Koskela, Heidi. 2001. Topic-Invoked Participation Frameworks in

Talk-Discussions Programs (Tesis). Department of English, University Of


(6)

Leonard, Melinda A, Richard Milich, & Elizabeth P. Lorch. 2011. “The Role of Pragmatic Language Use in Mediating the Relation Between Hyperactivity and Inattention and Social Skills Problems”. Tersedia dalam Psychology Faculty Publication, Halaman 1-34.

Mar’at, Samsunuwiyati. 2005. Psikolinguistik: Suatu Pengantar.

Bandung:Refika Aditama.

Nass, Ruth D & Fern Leventhal. 2011. 100 Questions and Answers About

Your Child’s ADHD: From Preschool to College, Second Edition.

Ontario: Jones & Bartlett Learning.

Tannock, Rosemary, Maggie. E. Toplak, & Collen Docstadder. 2006.

Language and Mental Health Disorders: The Case of ADHD. Dalam

http://www.cas.uio.no/Publications/Seminar/Convergence_Tannock. pdf (diakses 25 Juni 2013).

Tannock, Rosemary, Maggie E. Toplak, & Collen Dockstadder. 2006. “Temporal Information Processing in ADHD: Findings ti Date and New Methods”. Tersedia dalam Journal of Neuroscience Methods, Halaman 15-29.

Parigger, Esther. 2012. Language and Executive Functioning in Children

with ADHD. Amsterdam:Uitgeverij Boxpress.

Redmond, Sean M. 2004. “Conversational Profiles of Children with ADHD, SLI, and Typical Development”. Tersedia dalam Clinical Linguistics and Phonetics, Volume 18, No 2, Halaman 107-125.

Sacks, H. 1992. Lectures On Conversation. Oxford: Blackwell.

Withworth, Anne. 2003. “The Aplication of Conversation Analysis (CA) to

The Management of Aphasia”. Tersedia dalam Revue Tranel