Pengaruh Penerapan IFRS Terhadap Manajemen Laba Pada Perusahaan Manufaktur Di Bursa Efek Indonesia.

(1)

Dampak Penerapan IFRS Terhadap Manajemen Laba pada Perusahaan

Manufaktur di Bursa Efek Indonesia

SKRIPSI

Oleh:

IDA BAGUS WIRA SANJAYA NIM: 1215351192

PROGRAM EKSTENSI

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR 2016


(2)

i

Dampak Penerapan IFRS Terhadap Manajemen Laba pada Perusahaan

Manufaktur di Bursa Efek Indonesia

SKRIPSI

Oleh:

IDA BAGUS WIRA SANJAYA NIM: 1215351192

Skripsi ini ditulis untuk memenuhi sebagian persyaratan memperoleh gelar Sarjana Ekonomi di Fakultas Ekonomi dan Bisnis

Universitas Udayana Denpasar


(3)

HALAMAN PENGESAHAN

Skripsi ini telah diuji oleh tim penguji dan disetujui oleh Pembimbing serta diuji pada tanggal:

Tim Penguji: Tanda Tangan

1. Ketua: Drs. Ida Bagus Dharmadiaksa, MSi., AK. ...

2. Sekretaris: Dr. Gst. Kt. Ag. Ulupui, SE., MSi., AK., CA. ...

3. Anggota: Dr. I Dewa Gede Wirama, SE., MSBA., AK. ...

Mengetahui,

Ketua Jurusan Akuntansi Pembimbing

Dr. I Dewa Nyoman Badera, S.E., M.Si., Ak., Dr. Gst. Kt. Agung Ulupui, SE., MSi., AK.,CA. NIP. 19650323 199103 1 004 NIP. 19661213 199303 2 003


(4)

PERNYATAAN ORISINALITAS

Saya menyatakan dengan sebenarnya bahwa sepanjang pengetahuan saya, di dalam Naskah Skripsi ini tidak terdapat karya ilmiah yang pernah diajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar akademik di suatu Perguruan Tinggi, dan tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis dikutip dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar rujukan. Apabila ternyata di dalam naskah skripsi ini dapat dibuktikan terdapat unsur-unsur plagiasi, saya bersedia diproses sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Denpasar, 15 April 2016 Mahasiswa,

Ida Bagus Wira Sanjaya NIM. 1215351192


(5)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat rahmat-Nya, skripsi yang berjudul “Dampak Penerapan IFRS Terhadap Manajemen Laba Pada Perusahaan Manufaktur di Bursa Efek Indonesia” dapat diselesaikan sesuai dengan yang direncanakan. Tersusunnya laporan ini tidak terlepas dari bimbingan, arahan serta bantuan dari berbagai pihak, maka dalam kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada:

1. Bapak Dr. I Nyoman Mahaendra Yasa, SE., M.Si., selaku Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana.

2. Ibu Prof. Dr. Ni Nyoman Kerti Yasa, SE., M.S., selaku Pembantu Dekan I Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana.

3. Ibu Prof. Dr. Ni Luh Putu Wiagustini, SE., M.Si., selaku Pembantu Dekan II Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana.

4. Bapak Dr. I Dewa Gde Dharma Suputra, SE., M.Si., Ak., selaku Pembantu Dekan III Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana.

5. Bapak Dr. I Dewa Nyoman Badera, S.E., M.Si., Ak., selaku Ketua Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana.

6. Bapak Dr. I Gst. Ngr. Agung Suaryana, SE.,MSi., Ak selaku Sekretaris Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana.

7. Bapak Drs. I Ketut Suardhika Natha, M.Si., selaku Ketua Program Ekstensi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana.

8. Ibu Ni Gst Putu Wirawati, S.E., M.Si., Ak., selaku Koordinator Jurusan Akuntansi


(6)

9. Ibu Dr. Gst. Kt. Agung Ulupui, SE., MSi., AK., CA., selaku Pembimbing Akademik sekaligus selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan bimbingan, saran dan motivasi dalam menyusun skripsi ini.

10.Ibu Komang Ayu Krisnadewi, S.E., M.Si., dan Bapak Dr. I Dewa Gede Wirama, SE., MSBA., AK. selaku dosen pembahas skripsi yang telah memberikan saran dan masukan.

11.Bapak Drs. Ida Bagus Dharmadiaksa, MSi., AK., selaku dosen penguji skripsi yang telah memberikan arahan serta masukan dalam penyelesaian skripsi ini.

12.Orang tua penulis, Ida Bagus Anom Adnyana, S.T., dan Ida Ayu Mastini, serta kakak penulis Ida Bagus Gde Yoga Pradiptha, S.E., yang telah memberikan dukungan, doa, dan fasilitas selama menempuh studi di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas. 13.Teman-teman yang sudah membantu Wira, Praktiyaksa, Dodik, Bacol, Nehru,

Mahendra, Gusoka, Gustu, Keluarga Lumintang Crew, Keluarga Pejuang Lulus, kawan-kawan FE Reguler dan Ekstensi, Keluarga Minatory, Smansa 2011, Keluarga EES, Goloh MC, dan semua pihak yang tidak dapat penulis sebut satu persatu yang telah mendukung dan memotivasi saya setiap waktu.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak akan berhasil tanpa bimbingan dan pengarahan dari berbagai pihak. Meskipun demikian, penulis tetap bertanggung jawab terhadap semua isi skripsi. Penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi pihak-pihak yang berkepentingan.

Denpasar, 15 April 2016


(7)

Judul: Dampak Penerapan IFRS Terhadap Manajemen Laba pada Perusahaan Manufaktur di Bursa Efek Indonesia

Nama: Ida Bagus Wira Sanjaya

NIM: 1215351192

ABSTRAK

Penelitian ini berjudul “Dampak Penerapan IFRS Terhadap Manajemen Laba pada

Perusahaan Manufaktur di Bursa Efek Indonesia”. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui ada atau tidak adanya perbedaan dari angka praktik manajemen laba antara sebelum dan sesudah mengadopsi IFRS pada jenis perusahaan manufaktur, serta untuk mengetahui ada atau tidak adanya perbedaan manajemen laba antara perusahaan manufaktur yang tergolong besar dan kecil.

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh dari laporan tahunan perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia periode 2010-2013 yang diakses langsung melalui website www.idx.co.id. Populasi penelitian ini adalah perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa efek Indonesia pada tahun 2010-2013. Pemilihan sampel menggunakan metode purposive sampling dan didapatkan sampel sebanyak 62 perusahaan. Penelitian ini merupakan penelitian komparatif (Comparative Research) yang dilakukan dengan menggunakan uji Willcoxon.

Dari hasil pengujian didapatkan bahwa ada perbedaan praktik manajemen laba yang signifikan antara sebelum dan setelah mengadopsi International Financial Reporting Standard (IFRS) serta adanya perbedaan manajemen laba antara perusahaan manufaktur yang tergolong besar dan kecil.

Kata Kunci: Manajemen Laba, International Financial Reporting Standard (IFRS), Perusahaan Manufaktur, Comparative Research.


(8)

DAFTAR ISI

JUDUL ...i

HALAMAN PENGESAHAN ... ii

PERNYATAAN ORISINALITAS ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

ABSTRAK ... vi

DAFTAR TABEL ...x

DAFTAR GAMBAR... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

BAB I PENDAHULUAN...1

1.1 Latar Belakang ...1

1.2 Rumusan Masalah ... 12

1.3 Tujuan Penelitian... 12

1.4 Kegunaan Penelitian ... 13

1.5 Sistematika Penulisan ... 13

BAB II KAJIAN PUSTAKA... 15

2.1 Landasan Teori... 15

2.1.1 Teori Keagenan (Agency Theory) ... 15

2.1.2 Manajemen Laba ... 17

2.1.2.1 Pola dalam Manajemen Laba ... 20

2.1.2.2 Faktor-Faktor Pendorong Manajemen Laba dalam Penelitian ini... 21

2.1.2.3 Kondisi untuk Praktek Manajemen Laba dalam Penelitian ini... 23

2.1.2.4 Model Empiris Manajemen Laba ... 24

2.1.2.5 Manajemen Laba Akrual... 24

2.1.2.6 Discretionary Accrual ... 27

2.1.3 International Financial Reporting Standards (IFRS) ... 28

2.1.3.1 Dampak Implementasi IFRS ... 32

2.2 Pembahasan Penelitian Sebelumnya... 32


(9)

2.3.1 Perbedaan Manajemen Laba Sebelum dan Setelah Penerapan IFRS pada

Perusahaan Manufaktur di Bursa Efek Indonesia. ... 33

2.3.2 Perbedaan Manajemen Laba antara Perusahaan Manufaktur yang Tergolong Perusahaan Besar dan Kecil Pasca IFRS. ... 37

BAB IIIMETODE PENELITIAN ... 40

3.1 Desain Penelitian ... 40

3.2 Lokasi Penelitian ... 41

3.3 Objek Penelitian ... 41

3.4 Jenis dan Sumber Data ... 41

3.4.1 Jenis Data ... 41

3.4.2 Sumber Data ... 42

3.5 Populasi dan Sampel ... 42

3.6 Metode Seleksi dan Pengumpulan Data ... 43

3.7 Definisi Operasional dan Pengukuran... 44

3.8 Teknik Analisis Data ... 47

3.8.1 Uji normalitas ... 47

3.8.2 Uji beda ... 48

3.8.2.1 Uji statistik parametrik... 48

3.8.2.2 Uji statistik non-parametrik ... 49

BAB IVDATA DAN PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN ... 51

4.1 Gambaran Umum Organisasi... 51

4.2 Statistik Deskriptif ... 52

4.3 Uji Normalitas... 53

4.4 Uji Beda ... 54

4.4.1 Uji Beda Manajemen Laba Sebelum dan Setelah IFRS. ... 54

4.4.2 Uji Beda Perusahaan Besar dan Perusahaan Kecil... 55

BAB V SIMPULAN DAN SARAN ... 57

5.1 Simpulan... 57


(10)

DAFTAR RUJUKAN ... 59 DAFTAR LAMPIRAN ... 62


(11)

x

DAFTAR TABEL

No. Tabel Halaman

3.1 Daftar Tabel Seleksi Sampel Penelitian... 44

4.1 Tabel Statistik Deskriptif... 52

4.2 Tabel Uji Normalitas... 53

4.3 Tabel Uji Beda Manajemen Laba Sebelum dan Setelah IFRS... 54


(12)

xi

DAFTAR GAMBAR

No. Gambar Halaman


(13)

xii

DAFTAR LAMPIRAN

No. Lampiran Halaman

1 Daftar Perusahaan Manufaktur yang Memenuhi Kriteria Sampel... 62

2 Tabulasi Data Manajemen Laba yang Diproksikan Dengan Modified Model Jones Berdasarkan Nilai Discretionary Accrual untuk periode sebelum IFRS (2010-2011)... 65

3 Tabulasi Data Manajemen Laba yang Diproksikan Dengan Modified Model Jones Berdasarkan Nilai Discretionary Accrual untuk periode sesudah IFRS (2012-2013)... 68

4 Tabulasi Data Ukuran Perusahaan (2010-2013) ... 71

5 Statistik Deskriptif Manajemen Laba Sebelum dan Setelah IFRS... 75

6 Uji Normalitas Manajemen Laba Sebelum dan Setelah IFRS ... 76

7 Uji Beda Manajemen Laba Sebelum dan Setelah IFRS... 77

8 Statistik Deskriptif Perusahaan Besar dan Perusahaan Kecil... 78

9 Uji Normalitas Perusahaan Besar dan Perusahaan Kecil ... . 79


(14)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Laporan keuangan merupakan sebuah jembatan yang dapat menghubungkan keperluan bisnis. Tujuan dari laporan keuangan adalah menyediakan informasi yang menyangkut posisi keuangan, kinerja, serta perubahan posisi keuangan suatu entitas yang bermanfaat bagi sejumlah besar pengguna dalam pengambilan keputusan ekonomi (SAK, 2012).

Standar Akuntansi Keuangan (SAK) yang dikeluarkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) menyatakan tujuan laporan keuangan adalah menyediakan informasi yang menyangkut posisi keuangan, kinerja, serta perubahan posisi keuangan suatu perusahaan yang bermanfaat bagi sejumlah besar pemakai dalam pengambilan keputusan, sedangkan pengguna laporan keuangan terdiri dari investor, debitor, kreditor, pemerintah, dan masyarakat.

Informasi yang terkandung dalam laporan keuangan salah satunya adalah tingkat kinerja manajemen perusahaan, yang tercermin pada laba dalam laporan laba rugi. Informasi laba ini sering menjadi target rekayasa tindakan oportunis manajemen untuk memaksimumkan kepuasannya. Tindakan oportunis tersebut dilakukan dengan cara memilih kebijakan akuntansi tertentu, sehingga laba perusahaan dapat diatur, dinaikkan maupun diturunkan sesuai dengan keinginannya. Perilaku manajemen untuk mengatur laba sesuai dengan keinginannya ini dikenal dengan istilah manajemen laba.


(15)

Manajemen laba mencakup usaha manajemen untuk memaksimumkan atau meminimumkan laba, termasuk perataan laba sesuai dengan keinginan manajer (Copeland, 1968). Manajemen laba adalah suatu kondisi dimana manajemen melakukan intervensi dalam proses penyusunan laporan keuangan bagi pihak eksternal sehingga dapat meratakan, menaikkan, dan menurunkan laba. Manajemen laba muncul sebagai dampak masalah keagenan yang terjadi karena adanya ketidakselarasan kepentingan antara pemegang saham (principal) dan manajemen perusahaan (agent) (Schipper, 1989).

Motivasi yang mendorong dilakukannya manajemen laba salah satunya adalah teori akuntansi positif (positive accounting theory). Teori ini mengusulkan tiga hipotesis motivasi manajemen laba yang dihubungkan oleh tindakan oportunistik yang dilakukan oleh perusahaan. Tiga hipotesis tersebut antara lain hipotesis program bonus (the bonus plan hypotesis), hipotesis perjanjian utang (the debt covenant hypotesis), serta hipotesis biaya politik (the political cost hypotesis) (Watts dan Zimmerman, 1986).

Hipotesis biaya politik (the political cost hypotesis) menyatakan bahwa semakin besar biaya politis yang dihadapi oleh perusahaan maka semakin besar pula kecenderungan perusahaan menggunakan pilihan akuntansi yang dapat mengurangi laba, karena perusahaan yang memiliki tingkat laba yang tinggi dinilai akan mendapat perhatian yang luas dari kalangan konsumen dan media yang nantinya juga akan menarik perhatian pemerintah dan regulator sehingga menyebabkan terjadinya biaya politis, diantaranya muncul intervensi pemerintah, pengenaan pajak yang lebih tinggi, dan berbagai macam tuntutan lain yang dapat meningkatkan biaya politis.


(16)

Cara pemahaman atas manajemen laba menjadi dua. Pertama, melihatnya sebagai perilaku oportunistik manajer untuk memaksimumkan utilitasnya dalam menghadapi kontrak kompensasi, kontrak utang, dan political costs (opportunistic earnings management). Kedua, dengan memandang manajemen laba dari perspektif efficient contracting, dimana manajemen laba memberi manajer suatu fleksibilitas untuk melindungi diri mereka dan perusahaan dalam mengantisipasi kejadian-kejadian yang tak terduga untuk keuntungan pihak-pihak yang terlibat dalam kontrak, dengan demikian manajer dapat mempengaruhi nilai pasar perusahaannya melalui manajemen laba, misalnya dengan membuat perataan laba (income smoothing) dan pertumbuhan laba sepanjang waktu (Scott, 2000).

Manajemen laba dapat terjadi karena penggunaan dasar akrual pada penyusunan laporan keuangan. Sistem akuntansi akrual sebagaimana yang ada pada prinsip akuntansi yang diterima umum memberikan kesempatan kepada manajer untuk membuat pertimbangan akuntansi yang akan mempengaruhi pendapatan yang dilaporkan, dengan kebijakan pendapatan melalui discretionary accruals (Handayani, 2014). Konsep akrual diskresioner (discretionary accruals) memberi pengertian bahwa pihak manajemen dapat mengambil kebijakan pendapatan akrual dan biasanya digunakan untuk mencapai pendapatan yang diinginkan, dengan kata lain akrual yang tidak memiliki hubungan dengan fenomena ekonomi perusahaan dan tampaknya muncul dari kebijakan manajemen.

Manajemen laba terjadi ketika manajer menggunakan kebijakan (discretion) dalam menyusun transaksi untuk mengubah laporan keuangan dan menyesatkan stakeholders mengenai kinerja ekonomi perusahaan. Manajemen laba dilakukan


(17)

melalui kebijakan akrual (discretionary accruals) dan aktivitas riil. Discretionary accruals adalah akrual yang nilainya ditentukan oleh kebijakan/diskresi manajemen. Biasanya manajemen akrual dilakukan pada akhir periode ketika manajer mengetahui laba sebelum direkayasa sehingga dapat mengetahui berapa jauh kebijakan yang diperlukan agar target laba tercapai (Cohen et al. 2008).

Manajer memiliki kemampuan mengontrol bagian akrual dalam jangka pendek (De Angelo, 1986). Manajemen laba dapat dilakukan dengan dua metode) yaitu dengan pemindahan laba dari periode yang satu ke periode lainnya dan manajemen laba melalui klasifikasi dengan mengklasifikasikan secara khusus pendapatan atau beban ke bagian tertentu laporan keuangan (Subramanyam dan John, 2013). Metode lainnya dengan mengubah estimasi akuntansi, mengubah metode akuntansi, dan permasalahan cadangan (Sulistyanto, 2008).

Manajemen laba merupakan tindakan yang disengaja oleh manajer dengan memanfaatkan peluang yang ada dalam prinsip-prinsip akuntansi yang boleh dilakukan untuk kepentingan tertentu. Hal ini, dimana manajemen laba terjadi merupakan akibat dari hubungan asimetri antara manajer, pemegang saham, dan pihak-pihak yang memiliki kepentingan dengan perusahaan.

Saat ini dibutuhkan suatu standar pelaporan yang lebih ketat sehingga menekan tingkat manajemen laba tersebut, selain itu juga standar tersebut haruslah standar yang dapat diterima dan dipahami oleh masyarakat global sehingga diperlukan standar yang sama di seluruh dunia.

Seiring era globalisasi dan agar terjadi persamaan persepsi akuntansi di setiap negara, maka dibentuklah standar akuntansi internasional yang dikenal dengan


(18)

International Financial Reporting Standars (IFRS), yang nantinya bertujuan memudahkan rekonsiliasi bisnis dalam lintas negara, dan sekarang ini satu per satu negara di dunia telah dan mulai mengadopsi IFRS. IFRS merupakan standar pelaporan keuangan internasional yang menjadi rujukan atau sumber konvergensi bagi standar-standar akuntansi di negara-negara di dunia yang diterbitkan oleh International Accounting Standard Board (IASB) pada tahun 2001.

Standar Akuntansi Internasional (International Accounting Standards/IAS) disusun oleh empat organisasi utama dunia, yaitu Badan Standar Akuntansi Internasional (IASB), Komisi Masyarakat Eropa (EC), Organisasi Internasional Pasar Modal (IOSOC), dan Federasi Akuntansi Internasional (IFAC) yang sekarang ini telah diterapkan dan diadopsi di negara-negara Eropa dan Amerika pada tahun 2005. Praktik akuntansi di tiap negara berbeda disebabkan adanya pengaruh lingkungan, ekonomi, sosial, dan politik di tiap negara. IFRS sebagai standar internasional memiliki tiga ciri utama yakni principles-based, nilai wajar (fair value), dan pengungkapan (Martani, 2012).

Principle-based mengatur hal-hal yang pokok dalam standar sedangkan prosedur dan kebijakan detail diserahkan kepada pemakai, standar yang bersifat principle–based mengharuskan pemakainya untuk membuat penilaian (judgment) yang tepat atas suatu transaksi untuk menentukan substansi ekonominya dan menentukan standar yang tepat untuk transaksi tersebut. Fair value adalah harga yang akan diterima dalam penjualan aset atau pembayaran untuk mentransfer kewajiban dalam transaksi yang tertata antara partisipan di pasar pada tanggal pengukuran (Hitz, 2007). Fair value juga didefinisikan sebagai suatu jumlah yang dapat digunakan


(19)

sebagai dasar pertukaran dari aktiva atau penyelesaian kewajiban antara pihak yang paham dan berkeinginan untuk melakukan transaksi wajar (PSAK no 10, 2012). Ciri utama IFRS yang lain yakni bertujuan untuk mengharuskan lebih banyak pengungkapan (disclosure) dalam laporan keuangan, dan digunakan agar pengguna laporan keuangan dapat mempertimbangkan informasi yang relevan.

Konvergensi dapat berarti harmonisasi atau standardisasi, namun harmonisasi dalam konteks akuntansi dipandang sebagai suatu proses meningkatkan kesesuaian praktik akuntansi dengan menetapkan batas tingkat keberagaman, jika dikaitkan dengan IFRS maka konvergensi dapat diartikan sebagai proses menyesuaikan Standar Akuntansi Keuangan (SAK) terhadap IFRS. Lembaga profesi akuntansi IAI (Ikatan Akuntan Indonesia) menetapkan bahwa Indonesia melakukan adopsi penuh IFRS pada 1 Januari 2012. Penerapan ini bertujuan agar daya informasi laporan keuangan dapat terus meningkat sehingga laporan keuangan dapat semakin mudah dipahami dan dapat dengan mudah digunakan baik bagi penyusun, auditor, maupun pembaca atau pengguna lain (Baskerville, 2010).

Dalam melakukan konvergensi IFRS, terdapat dua macam strategi adopsi, yaitu big bang strategy dan gradual strategy. Big bang strategy mengadopsi penuh IFRS sekaligus, tanpa melalui tahapan-tahapan tertentu. Strategi ini digunakan oleh negara -negara maju, sedangkan pada gradual strategy, adopsi IFRS dilakukan secara bertahap. Strategi ini digunakan oleh negara-negara berkembang seperti Indonesia. Terdapat 3 tahapan dalam melakukan konvergensi IFRS di Indonesia, yaitu:


(20)

1.) Tahap Adopsi (2008 – 2011), meliputi aktivitas dimana seluruh IFRS diadopsi ke PSAK, persiapan infrastruktur yang diperlukan, dan evaluasi terhadap PSAK yang berlaku.

2.) Tahap Persiapan Akhir (2011), dalam tahap ini dilakukan penyelesaian terhadap persiapan infrastruktur yang diperlukan, selanjutnya dilakukan penerapan secara bertahap beberapa PSAK berbasis IFRS.

3.) Tahap Implementasi (2012), berhubungan dengan aktivitas penerapan PSAK IFRS secara bertahap, kemudian dilakukan evaluasi terhadap dampak penerapan PSAK secara komprehensif.

Exposure Draft (ED) PSAK 1 (Revisi 2009) tentang Penyajian Laporan Keuangan telah diterbitkan. ED PSAK 1 merupakan adopsi IAS 1 Presentation Financial Statement, proses adopsi ini merupakan salah satu program konvergensi IFRS yang sedang dilakukan oleh Dewan Standar Akuntansi keuangan (DSAK IAI).

ED PSAK 1 ini menetapkan dasar-dasar bagi penyajian laporan keuangan bertujuan umum (general purpose financial statements) yang selanjutnya disebut laporan keuangan agar dapat dibandingkan baik dengan laporan keuangan periode sebelumnya maupun dengan laporan keuangan entitas lain. Pernyataan ini mengatur persyaratan bagi penyajian laporan keuangan, struktur laporan keuangan, dan persyaratan minimum isi laporan keuangan. Ada beberapa perbedaan antara PSAK 1 (Revisi 2009) dan ED PSAK 1 (Revisi 2009).

DSAK IAI pada tanggal 21 April 2009 kemarin telah menyetujui ED PSAK 1 (revisi 2009) tentang Penyajian Laporan Keuangan untuk disebarluaskan dan


(21)

ditanggapi oleh kalangan anggota IAI, Dewan Konsultatif SAK, Dewan Pengurus Nasional IAI, perguruan tinggi dan individu/organisasi/lembaga lain yang berminat. ED PSAK 1 (Revisi 2009) merupakan penyajian laporan keuangan yang

merupakan adopsi dari IAS 1, yaitu Presentation of Financial Statements merevisi PSAK 1 (1998) tentang penyajian laporan keuangan. ED PSAK 1 (Revisi 2009) mengatur mengenai kepatuhan terhadap SAK, ED PSAK 1 (revisi 2009) mengatur bahwa entitas membuat pernyataan kepatuhan atas SAK dalam laporan keuangan mengenai penggunaan standar IFRS.

Implementasi adopsi IFRS secara keseluruhan (full convergence) di Indonesia berlaku efektif dan wajib bagi perusahaan yang telah go public dimulai sejak 1 Januari 2012. Perubahan utama dalam bidang akuntansi di Indonesia sebagai dampak implementasi IFRS adalah penggunaan fair value atau nilai wajar. Penggunaan fair value sebagai pengganti nilai historis diperkirakan akan menghasilkan laporan keuangan yang lebih relevan, tepat waktu, dapat dipercaya, dan transparan. Berdasarkan penekanan pada penggunaan fair value, dan persyaratan pengungkapan yang lebih luas pada standar yang baru, dapat diduga bahwa pengadopsian standar yang baru akan memberikan pengaruh yang baik pada kualitas laba yang dilaporkan pada perusahaan-perusahaan di Indonesia.

Indonesia sebelum berkomitmen untuk menggunakan IFRS menggunakan standar akuntansi keuangan (PSAK) yang berkiblat pada US GAAP yang mengacu pada rule base. Laporan keuangan dengan rules-based system bertujuan agar pengguna laporan dapat memperoleh petunjuk implementasi secara detail sehingga mengurangi ketidakpastian dan menghasilkan aplikasi aturan-aturan spesifik dalam


(22)

standar secara mekanis. Rule base akan mengatur dalam menjalankan keputusan sesuai dengan aturan, mengatur secara lebih detail dan biasanya hanya berlaku untuk suatu industri tertentu. Prinsip rule-based ini lebih mudah diterapkan karena pengaturan lebih eksplisit, tidak banyak memerlukan professional judgement, namun membuka peluang untuk melakukan sesuatu dengan tujuan sempit.

Sejumlah penelitian menyatakan bahwa adopsi IFRS akan menghasilkan kualitas laba yang lebih tinggi. Kualitas laba yang lebih tinggi ini ditunjukkan dengan penurunan tingkat manajemen laba dan peningkatan relevansi nilai laba (Ismail, 2013). Jika kualitas laba meningkat, maka hubungan antara nilai perusahaan dan laba yang dilaporkan akan meningkat, sebaliknya jika kualitas laba menurun, maka hubungan antara nilai perusahaan dan laba yang dilaporkan pasti akan menurun (Bao Bao (2004) dalam Ismail (2013)).

Alasan pengadopsian standar akuntansi internasional ke dalam standar akuntansi domestik bertujuan menghasilkan laporan keuangan yang memiliki tingkat kredibilitas tinggi. Standar akuntansi IFRS meminta persyaratan akan item-item pengungkapan yang semakin tinggi sehingga nilai perusahaan akan semakin tinggi dan manajemen akan memiliki tingkat akuntabilitas tinggi dalam menjalankan perusahaan. Standar akuntansi IFRS menjanjikan laporan lebih akurat, laporan keuangan yang lebih komprehensif dan tepat waktu, sehingga beberapa negara di Benua Eropa mengganti standar akuntansi domestik yang digunakan dengan IFRS. IFRS dengan pendekatan principled based-nya dianggap dapat meminimalisir tingkat manajemen laba yang dilakukan oleh manajemen dengan pengetatan aturan dan


(23)

pendekatan fair value dalam penyajian laporan keuangannya (Ball dalam Ismail et al 2013).

Kini, dunia global baik negara maju maupun berkembang semakin gencar dalam menerapkan IFRS, selain untuk meningkatkan minat investor dengan laporan keuangan yang kini lebih universal dan comparative, adopsi IFRS diharapkan dapat lebih meningkatkan kualitas laporan keuangan mereka dengan cara menekan tingkat manajemen laba yang dilakukan oleh pihak manajemen khususnya di Indonesia. Perusahaan-perusahaan besar di Indonesia sudah melaksanakan konvergensi

IFRS dalam rangka menuju pelaporan keuangan kelas dunia. Ukuran perusahaan merupakan suatu nilai yang menunjukan besar atau kecilnya suatu perusahaan yang dapat terlihat dari jumlah total aset yang dimiliki oleh perusahaan. Ukuran perusahaan dalam penelitian ini diproksikan dengan total aset perusahaan, yang diperoleh dari neraca perusahaan (Lindira, 2014).

Populasi perusahaan manufaktur yang tercatat di IDX (Indonesia Stock Exchange) untuk periode 2013 sejumlah 129 perusahaan, dapat dikelompokkan menjadi perusahaan besar dan kecil melalui nilai median dari rata-rata aset selama periode penelitian. Perusahaan besar akan memiliki nilai rata-rata aset diatas nilai median, begitupula perusahaan kecil akan memiliki nilai rata-rata aset dibawah nilai median.

Perusahaan besar mengacu dalam penyajian berdasarkan IFRS guna menarik minat investor yang lebih besar dalam skala internasional. Semakin berkembangnya suatu perusahaan juga menuntut laporan keuangan yang lebih transparan dan manajemen yang lebih profesional dalam hal pertanggungjawaban. Standar yang


(24)

bersifat global akan berpengaruh dengan profesionalisme manajemen, hal ini tentunya akan berpengaruh dengan keleluasaan manajemen dalam melaporkan pertanggungjawabannya terkait dengan manajemen laba pada perusahaan yang tergolong dalam skala besar.

Perusahaan manufaktur yang tergolong besar terindikasi tindakan manajemen laba yang tinggi pula. Berdasarkan hipotesis dari Watts dan Zimmerman (1986) yang menjelaskan salah satunya hipotesis biaya politik (the political cost hypotesis) dimana semakin besar biaya politis yang dihadapi oleh perusahaan maka semakin besar pula kecenderungan perusahaan menggunakan pilihan akuntansi yang dapat mengurangi laba, karena perusahaan yang memiliki tingkat laba yang tinggi dinilai akan mendapat perhatian yang luas dari kalangan konsumen dan media yang nantinya juga akan menarik perhatian pemerintah dan regulator sehingga menyebabkan terjadinya biaya politis, diantaranya muncul intervensi pemerintah, pengenaan pajak yang lebih tinggi, dan berbagai macam tuntutan lain yang dapat meningkatkan biaya politis.

Kualitas laporan keuangan dapat dilihat dari perilaku manajemen laba yang dilakukan, semakin rendah tingkat manajemen laba dalam suatu laporan keuangan, maka semakin berkualitas laporan keuangan tersebut, oleh karena itu dibutuhkan standar keuangan yang dapat mengakomodasi penurunan perilaku manajemen laba, yang secara otomatis akan meningkatkan kinerja dan kualitas perusahan itu sendiri. IFRS sebagai standarisasi global dapat menurunkan perilaku manajemen laba ke depannya.

Diharapkan konvergensi IFRS di Indonesia yang memiliki persyaratan pengungkapan tinggi dan mewajibkan melaporakan laba yang lebih terperinci, akan


(25)

dapat semakin meminimalisir tindakan manajemen laba di dalam perusahaan. Diharapkan pula dengan penerapan standar akuntansi IFRS dapat mengurangi tindakan manajemen laba pada perusahaan manufaktur di Indonesia.

Berdasarkan latar belakang diatas maka peneliti mengambil judul: "Dampak Penerapan IFRS Terhadap Manajemen Laba pada Perusahaan Manufaktur di Bursa Efek Indonesia".

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1) Apakah terdapat perbedaan manajemen laba sebelum dan setelah penerapan IFRS pada perusahaan manufaktur di Bursa Efek Indonesia?

2) Apakah terdapat perbedaan manajemen laba antara perusahaan manufaktur yang tergolong perusahaan besar dan perusahaan manufaktur yang tergolong perusahaan kecil pasca penerapan IFRS?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah yang telah disebutkan sebelumnya, maka penelitian ini bertujuan:

1) Untuk mengetahui perbedaan manajemen laba sebelum dan setelah penerapan IFRS pada perusahaan manufaktur di Bursa Efek Indonesia.

2) Untuk mengetahui perbedaan manajemen laba antara perusahaan manufaktur yang tergolong perusahaan besar dan perusahaan manufaktur yang tergolong perusahaan kecil pasca penerapan IFRS.


(26)

1.4 Kegunaan Penelitian

Berdasarkan tujuan penelitian, maka penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut :

1) Kegunaan teoritis

Penelitian ini diharapkan memberikan gambaran dan acuan serta memperluas pengetahuan dan wawasan di dalam bidang lingkungan akademis, selain itu penelitian ini di harapkan dapat memberikan manfaat pada pihak-pihak yang berkepentingan dalam penggunan laporan keuangan perusahaan manufaktur di Bursa Efek Indonesia. 2) Kegunaan praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi positif untuk pengguna laporan keuangan khususnya di perusahaan manufaktur di Indonesia di masa mendatang mengenai penerapan IFRS serta dampaknya terhadap kinerja manajemen perusahaan. Bagi Institusi terkait, penelitian ini dapat menjadi referensi sebagai bahan penilaian dan pertimbangan atas pengadopsian IFRS hubungannya dengan praktik manajemen laba.

1.5 Sistematika Penulisan

Skripsi ini terdiri dari lima bab. Secara garis besar, isi dari masing-masing bab dijelaskan sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN

Pada bab ini dikemukakan mengenai latar belakang masalah, rumusan masalah penelitian, tujuan penelitian, kegunaan penelitian dan sistematika penulisan.


(27)

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN

Pada bab ini diuraikan mengenai landasan teori dan konsep yang berkaitan dengan pembahasan masalah yang dapat digunakan sebagai dasar acuan penelitian, pembahasan hasil penelitian sebelumnya yang relevan dengan skripsi ini, hipotesis penelitian dan kerangka pemikiran.

BAB III METODE PENELITIAN

Pada bab ini dikemukakan mengenai metode penelitian yang digunakan dalam skripsi ini, yang meliputi lokasi penelitian atau ruang lingkup wilayah penelitian, obyek penelitian, identifikasi variabel, definisi operasional variabel, jenis dan sumber data, populasi dan sampel penelitian, metode pengumpulan data, serta teknik analisis data yang digunakan.

BAB IV DATA DAN PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN

Pada bab ini diuraikan mengenai karakteristik sampel, deskripsi variabel penelitian, hasil penelitian dan pembahasan hasil penelitian berdasarkan teknik analisis data yang digunakan.

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

Bab ini merupakan bab penutup yang memuat simpulan dari hasil pembahasan pada bab sebelumnya dan saran-saran yang diharapkan dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang berkepentingan.


(28)

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.1 Landasan Teori

2.1.1 Teori Keagenan (Agency Theory)

Penjelasan mengenai konsep manajemen laba menggunakan pendekatan teori keagenan yang terkait dengan hubungan atau kontrak diantara para anggota perusahaan, terutama hubungan antara pemilik (principal) dengan manajemen (agent). Hubungan keagenan sebagai sebuah kontrak antara satu orang atau lebih pemilik (principal) yang menyewa orang lain (agent) untuk melakukan beberapa jasa atas nama pemilik yang meliputi pendelegasian wewenang pengambilan keputusan kepada agen (Jensen dan Meckling, 1976). Keagenan sebagai suatu hubungan berdasarkan persetujuan antara dua pihak, dimana manajemen (agent) setuju untuk bertindak atas nama pihak lain yaitu pemilik (principal). Pemilik akan mendelegasikan tanggung jawab kepada manajemen, dan manajemen setuju untuk bertindak atas perintah atau wewenang yang diberikan pemilik (Michelson et al., 1995).

Pemilik dan manajemen diasumsikan sebagai pihak-pihak yang mempunyai rasio ekonomi dan dimotivasi oleh kepentingan pribadi sehingga, walau terdapat kontrak, agent tidak akan melakukan hal yang terbaik untuk kepentingan pemilik. Hal ini disebabkan agent juga memiliki kepentingan untuk memaksimalkan kesejahteraannya. Informasi dalam teori agensi digunakan untuk pengambilan keputusan oleh prinsipal dan agen, serta untuk mengevaluasi dan membagi hasil sesuai kontrak kerja yang telah disetujui. Hal ini dapat memotivasi agen untuk


(29)

berusaha seoptimal mungkin dan menyajikan laporan akuntansi sesuai dengan harapan prinsipal sehingga dapat meningkatkan kepercayaan prinsipal kepada agen (Faozi, 2002).

Mereka para tenaga-tenaga profesional, bertugas untuk kepentingan perusahaan dan memiliki keleluasaan dalam menjalankan dan mengelola perusahaan. Para profesional tersebut berperan sebagai agen (manajemen) didalam suatu perusahaan dan memiliki peran penting dalam memperoleh laba perusahaan yang dikelolanya. Semakin besar perusahaan yang dikelola memperoleh laba semakin besar pula keuntungan yang didapatkan agen tersebut, sementara pemilik perusahaan (pemegang saham) hanya bertugas mengawasi dan memonitor jalannya perusahaan yang dikelola oleh manajemen serta mengembangkan sistem insentif bagi pengelola manajemen untuk memastikan bahwa mereka bekerja demi kepentingan perusahaan. Namun pada sisi lain pemisahan seperti ini juga memiliki segi negatif.

Keleluasaan pengelola manajemen perusahaan untuk memaksimalkan laba perusahaan bisa mengarah pada proses memaksimalkan kepentingan pengelolanya sendiri dengan beban dan biaya yang harus ditanggung oleh pemilik perusahaan. Pemisahan ini dapat pula menimbulkan kurangnya transparansi dalam penggunaan dan di perusahaan serta keseimbangan yang tepat antara kepentingan-kepentingan yang ada, misalnya antara pemegang saham dan manajemen perusahaan dan antara pemegang saham pengendali dengan pemegang saham minoritas.

Teori keagenan sebagai suatu kontrak dibawah satu atau lebih prinsipal yang melibatkan agen untuk melaksanakan beberapa layanan bagi mereka dengan melakukan pendelegasian wewenang pengambilan keputusan kepada agen. Baik


(30)

prinsipal maupun agen diasumsikan orang ekonomi rasional dan semata-mata termotivasi oleh kepentingan pribadi. Agen bertanggung jawab kepada prinsipal dengan membuat laporan pertanggungjawaban setiap periode tertentu (Jensen dan Meckling, 1976).

Hubungan antara prinsipal dan agen pada hakekatnya sukar tercipta karena adanya kepentingan yang saling bertentangan. Kepentingan yang saling bertentangan tersebut menyebabkan keraguan kepada agen terhadap kewajaran laporan pertanggung jawaban yang dibuat akibat manipulasi. Untuk meminimalisasi dampak dari konflik kepentingan dapat dilakukan dengan adanya monitoring dari pihak ketiga yaitu auditor independen. Auditor melakukan fungsi monitoring pekerjaan manajer melalui sarana laporan pertanggungjawaban. Tugas auditor adalah memberikan pendapat atas kewajaran laporan keuangan perusahaan (Badera dan Surya Antari, 2007).

2.1.2 Manajemen Laba

Manajemen laba diungkapkan sebagai, “some ability to increase or decrease reported net income at will”. Ini berarti bahwa manajemen laba mencakup usaha manajemen untuk memaksimumkan atau meminimumkan laba, termasuk perataan laba sesuai dengan keinginan manajer (Copeland, 1968:10), selanjutnya manajemen laba adalah suatu kondisi dimana manajemen melakukan intervensi dalam proses penyusunan laporan keuangan bagi pihak eksternal sehingga dapat meratakan, menaikkan, dan menurunkan laba. Manajemen laba muncul sebagai dampak masalah keagenan yang terjadi karena adanya ketidakselarasan kepentingan antara pemegang saham (principal) dan manajemen perusahaan (agent) (Schipper, 1989).


(31)

Manajemen laba adalah tindakan manajer yang menaikkan atau menurunkan laba yang dilaporkan dari unit yang menjadi tanggung jawabnya yang tidak mempunyai hubungan dengan kenaikan atau penurunan profitabilitas perusahaan dalam jangka panjang (Fischer dan Rozenzwig, 1995) .

Manajemen laba mengandung beberapa aspek. Pertama intervensi yang dilakukan manajemen terhadap pelaporan keuangan dapat dilakukan dengan penggunaan judgment, misalnya judgment yang dibutuhkan dalam mengestimasi sejumlah peristiwa ekonomi di masa depan untuk ditunjukan dalam laporan keuangan, seperti perkiraan umur ekonomis dan nilai residu aktiva tetap, tanggung jawab untuk pensiun, pajak yang ditangguhkan, kerugian piutang dan penurunan nilai asset. Manajer juga memiliki pilihan untuk metode akuntansi, seperti metode penyusutan dan metode biaya. Kedua, tujuan manajemen laba untuk menyesatkan stakeholders mengenai kinerja ekonomi perusahaan. Hal ini muncul ketika manajemen memiliki akses terhadap informasi yang tidak dapat diakses oleh pihak luar (Healy dan Wahlen, 1999).

Manajemen laba merupakan upaya manajer untuk mempengaruhi informasi dalam laporan keuangan dengan tujuan untuk mengelabui stakeholder yang ingin mengetahui kinerja dan kondisi perusahaan. Manajemen laba (earnings management) dilakukan dengan menyesuaikan komponen-komponen akrual dalam laporan keuangan, sebab akrual merupakan komponen yang mudah untuk dipermainkan sesuai dengan keinginan orang yang melakukan pencatatan transaksi dan menyusun laporan keuangan, alasannya komponen akrual merupakan komponen yang tidak memerlukan bukti kas secara fisik sehingga upaya mempermainkan besar kecilnya


(32)

komponen akrual tidak harus disertai dengan kas yang diterima atau dikeluarkan perusahaan (Sulistyanto, 2008).

Berdasarkan definisi di atas, dapat terlihat adanya kesamaan makna yang digunakan untuk setiap definisi, yaitu langkah tertentu yang disengaja untuk mengatur laba, campur tangan dalam penyusun laporan keuangan, kesalahan atau kelalaian yang disengaja dalam membuat laporan, tindakan untuk mengatur laba, fleksibilitas aturan yang digunakan dalam memenuhi target laba, serta menggunakan kreatifitas manajemen untuk mengubah laporan keuangan walau menggunakan terminologi yang berbeda, definisi-definisi itu mempunyai kesamaan satu dengan yang lainnya yaitu menyepakati bahwa manajemen laba merupakan suatu upaya yang dilakukan oleh manajemen dalam mempengaruhi dan mengintervensi laporan keuangan.

Pemahaman atas manajemen laba dibagi menjadi dua. Pertama, melihatnya sebagai perilaku oportunistik manajer untuk memaksimumkan utilitasnya dalam menghadapi kontrak kompensasi, kontrak utang dan political costs (oportunistic earnings management). Kedua, dengan memandang manajemen laba dari perspektif efficient contracting (efficient earnings management), dimana manajemen laba memberi manajer suatu fleksibilitas untuk melindungi diri mereka dan perusahaan dalam mengantisipasi kejadian-kejadian yang tak terduga untuk keuntungan pihak-pihak yang terlibat dalam kontrak. Dengan demikian, manajer dapat mempengaruhi nilai pasar saham perusahaannya melalui manajemen laba, misalnya dengan membuat perataan laba (income smoothing) dan pertumbuhan laba sepanjang waktu (Scott, 2000).


(33)

2.1.2.1 Pola dalam Manajemen Laba

Menurut Scott (1997) terdapat empat pola atau aktivitas dalam melakukan manajemen laba yaitu:

1) Taking a bath

Pola manajemen laba yang dilakukan dengan cara melaporkan rugi yang besar sekaligus jika perusahaan mengalami kerugian sehingga dapat menciptakan peluang laba yang besar di masa yang akan datang. Pola ini dapat dijelaskan dalam penelitian mengenai bonus plan hypothesis, dimana manajemen akan meminimalkan laba karena kondisi perusahaan saat ini rugi.

2) Income minimization

Pola manajemen laba yang dilakukan dengan cara menjadikan laba pada laporan keuangan periode berjalan lebih rendah daripada laba sesungguhnya. Pola ini serupa dengan taking a bath. Income minimization dilakukan pada saat tingkat profitabilitas perusahaan cukup tinggi. Contoh penerapan pola ini adalah pada saat perusahaan melakukan manajemen laba untuk menghindari political cost.

3) Income maximization

Pola manajemen laba yang dilakukan dengan cara menjadikan laba pada laporan keuangan periode berjalan lebih tinggi daripada laba sesungguhnya. Income maximization dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh bonus yang lebih besar, meningkatkan keuntungan, serta untuk menghindari dari pelanggaran atas kontrak utang jangka panjang. Income maximization


(34)

dilakukan dengan cara mempercepat pencatatan pendapatan, menunda biaya dan memindahkan biaya untuk periode lain.

4) Income smoothing.

Pola ini dilakukan untuk mendapatkan tingkat laba yang stabil dan mengurangi fluktuasi naik turunnya laba sehingga perusahaan terlihat stabil. Dalam hal ini laba akan diturunkan jika terjadi peningkatan yang tajam dan menaikkan laba jika tingkat laba yang diperoleh berada dibawah tingkat laba yang ditentukan. Tingkat laba yang stabil membuat pemilik dan kreditor lebih memiliki kepercayaan terhadap manajer.

2.1.2.2 Faktor-Faktor Pendorong Manajemen Laba dalam Penelitian ini.

Teori akuntansi positif mengemukakan terdapat tiga hipotesis yang melatarbelakangi terjadinya manajemen laba (Watt dan Zimmerman, 1986), yaitu: 1) Bonus Plan Hypothesis

Manajemen akan memilih metode akuntansi yang memaksimalkan utilitasnya yaitu bonus yang tinggi. Manajer perusahaan yang memberikan bonus besar berdasarkan earnings lebih banyak menggunakan metode akuntansi yang meningkatkan laba yang dilaporkan.

2) Debt Convenant Hypothesis

Manajer perusahaan yang melakukan pelanggaran perjanjian kredit cenderung memilih metode akuntansi yang memiliki dampak meningkatkan laba (Sweeney, 1994). Hal ini untuk menjaga reputasi mereka dalam pandangan pihak eksternal.


(35)

3) Political Cost Hypothesis

Semakin besar perusahaan, semakin besar pula kemungkinan perusahaan tersebut memilih metode akuntansi yang menurunkan laba. Hal tersebut dikarenakan dengan laba perusahaan yang tinggi mengakibatkan pemerintah akan mengenakan jumlah pajak pendapatan perusahaan sesuai dengan laba yang diperolehnya.

Sementara itu, Scott (2000:302) mengemukakan beberapa motivasi terjadinya manajemen laba:

1) Bonus Purposes

Manajer yang memiliki informasi atas laba bersih perusahaan akan bertindak secara oportunistik untuk melakukan manajemen laba dengan memaksimalkan laba saat ini (Healy, 1985).

2) Political Motivations

Manajemen laba digunakan untuk mengurangi laba yang dilaporkan pada perusahaan publik. Perusahaan cenderung mengurangi laba yang dilaporkan karena adanya tekanan publik yang mengakibatkan pemerintah menetapkan peraturan yang lebih ketat.

3) Taxation Motivations

Motivasi penghematan pajak menjadi motivasi manajemen laba yang paling nyata. Berbagai metode akuntansi digunakan dengan tujuan penghematan jumlah pajak pendapatan yang harus dibayarkan.


(36)

4) Pergantian CEO

CEO yang mendekati masa pensiun akan cenderung menaikkan pendapatan untuk meningkatkan bonus mereka, dan jika kinerja perusahaan buruk, mereka akan memaksimalkan pendapatan agar tidak diberhentikan.

5) Initital Public Offering (IPO)

Perusahaan yang akan go public belum memiliki nilai pasar, dan menyebabkan manajer perusahaan yang akan go public melakukan manajemen laba dalam prospektus mereka dengan harapan dapat menaikkan harga saham perusahaan.

6) Pentingnya Memberi Informasi Kepada Investor

Informasi mengenai kinerja perusahaan harus disampaikan kepada investor sehingga pelaporan laba perlu disajikan agar investor tetap menilai bahwa perusahaan tersebut dalam kinerja yang baik.

2.1.2.3 Kondisi untuk Praktek Manajemen Laba dalam Penelitian ini.

Bukti-bukti empiris menunjukkan bahwa laba telah dijadikan sebagai suatu target dalam proses penilaian prestasi usaha suatu departemen secara khusus (manajer) atau perusahaan (organisasi) secara umum. Laba dan tingkat keuntungan juga merupakan alat untuk mengurangi biaya keagenan (agency costs), dari sisi teori keagenan. Saat keuntungan dijadikan sebagai patokan dalam pemberian bonus, hal ini akan menciptakan dorongan kepada manajer untuk memanipulasi data keuangan agar dapat menerima bonus seperti yang diinginkannya, selain itu, mengingat akan pentingnya keuntungan atau perolehan secara akuntansi (accounting income) untuk pembuatan keputusan oleh banyak pihak, misalnya investor (Gumanti, 2000).


(37)

Richardson (1998) menemukan bukti bahwa adanya hubungan antara ketidakseimbangan informasi dengan manajemen laba. Hipotesis yang diajukan adalah bahwa tingkat ketidakseimbangan informasi akan mempengaruhi tingkat manajemen laba yang dilakukan oleh manajer perusahaan. Manajemen laba terjadi karena adanya motif dari teori akuntansi positif yang dijelaskan oleh Watt Zimmerman (1986), dimana dalam penelitian ini kondisi biaya politis yang besar dalam perusahaan manufaktur yang besar akan mendorong manajemen untuk menurunkan laba guna menghindari perhatian publik.

2.1.2.4 Model Empiris Manajemen Laba

Model yang digunakan untuk mengukur manajemen laba dalam penelitian ini adalah modifikasi model Jones karena model ini dianggap lebih baik diantara model yang lain untuk mengukur manajemen laba karena model ini memisahkan antara non discretionary accrual dengan discretionary accruals. Penggunaan discretionary accruals sebagai proksi manajemen laba dihitung dengan menggunakan Modified Jones Model yang disempurnakan oleh Dechow (1995)

2.1.2.5 Manajemen Laba Akrual

Deteksi atas kemungkinan dilakukannya manajemen laba dalam laporan keuangan secara umum diteliti melalui penggunaan akrual. Secara teknis, akrual merupakan perbedaan antara laba dan kas. Akrual merupakan komponen utama pembentuk laba dan akrual disusun berdasarkan estimasi-estimasi tertentu. Manajemen laba akrual dilakukan dengan mempermainkan komponen-komponen akrual dalam laporan keuangan, sebab pada komponen akrual dapat dilakukan


(38)

permainan angka melalui metode akuntansi yang digunakan sesuai dengan keinginan orang yang melakukan pencatatan dan penyusunan laporan keuangan (Sulistyanto (2008) dalam Nuraini (2012).

Komponen akrual merupakan komponen yang tidak memerlukan bukti kas secara fisik sehingga mempermainkan besar kecilnya komponen akrual tidak harus disertai dengan kas yang diterima atau dikeluarkan perusahaan, misalnya saja biaya depresiasi, untuk mengetahui besarnya biaya ini kita harus mengetahui biaya, umur manfaat (estimation), dan metode depresiasi yang digunakan. Nilai biaya memang sudah tetap dan tidak bisa diubah-ubah, namun umur manfaat dan metode depresiasi bisa diubah sesuai dengan kebijakan manajemen (discretion management).

Secara umum, akrual merupakan produk akuntansi dimana dapat dianggap memiliki jumlah yang relatif tetap dari tahun ke tahun. Hal ini dikarenakan aturan akuntansi terkait juga tidak mengalami perubahan, oleh karenanya, perubahan akrual yang terjadi dapat dianggap sebagai hal yang tidak normal (abnormal). Perubahan ini merupakan hasil penggunaan kebijakan (discretion) manajemen yang berlebihan. Bila pada saat yang sama manajemen juga memiliki insentif/motif untuk memanipulasi laba, maka perubahaan akrual yang terjadi dianggap sebagai bentuk manipulasi laba yang dilakukan manajemen.

Manajemen laba dapat dilakukan dengan cara kebijakan akrual murni (pure accrual) yaitu dengan discretionary accrual yang tidak memiliki pengaruh terhadap arus kas secara langsung (Roychowdhury, 2006), namun akrual diskresioner ini tidak bisa diobservasi langsung dari laporan keuangan. Biasanya manajemen akrual dilakukan pada akhir periode ketika manajer mengetahui laba sebelum direkayasa


(39)

sehingga dapat mengetahui berapa besar manipulasi yang diperlukan agar target laba tercapai. Oktorina (2008) mengatakan, kebijakan akrual dibatasi oleh GAAP dan manipulasi akrual di tahun-tahun sebelumnya. Kebijakan ini dapat terdeteksi oleh auditor, investor ataupun badan pemerintah sehingga dapat berdampak pada harga saham bahkan menyebabkan kebangkrutan atau kasus hukum. Salah satu contoh dari akrual adalah pendapatan yang masih harus diterima, pendapatan diterima di muka, beban yang masih harus dibayar, beban dibayar di muka, beban depresiasi, persediaan, serta cadangan kerugian.

Total akrual adalah selisih antara laba dan arus kas yang berasal dari aktivitas operasi. Total akrual dapat dibedakan menjadi dua konsep, yaitu:

1. Nondiscretionary accruals

Nondiscretionary accruals merupakan pengakuan akrual laba yang wajar dan sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku secara umum, serta memiliki hubungan yang terpola dengan aspek-aspek lain perusahaan seperti total akrual, pendapatan, piutang, dan aktiva tetap. Banyak dari model estimasi akrual nondiskresioner perusahaan dari level akrual masa lalu perusahaan sebelum periode ketika tidak terdapat manajemen laba yang sistematik (Jones, 1991).

2. Discretionary accruals

Discretionary accruals merupakan pengakuan akrual laba yang bervariasi sesuai dengan kebijakan yang diambil manajemen. Akrual diskresioner tidak bisa diobservasi langsung dari laporan keuangan, maka harus diestimasi melalui beberapa model. Model tersebut membentuk ekspektasi pada level akrual non diskresioner dan jumlah deviasi yang diobservasi secara aktual, hal ini diasumsikan sebagai akrual


(40)

nondiskresioner. Sehingga akrual diskresioner didefinisikan sebagai akrual melalui model yang digunakan.

2.1.2.6 Discretionary Accrual

Discretionary accruals merupakan komponen akrual yang berasal dari manajemen laba yang dilakukan manajer. Sistem akuntansi akrual sebagaimana yang ada pada prinsip akuntansi, dapat memberikan keleluasaan kepada manajemen mempengaruhi tingkat pendapatan perusahaan. Manajemen dapat mempengaruhi laba dengan komponen discretionary accruals (Halim, 2005).

Menurut akuntansi basis kas, pendapatan dicatat hanya pada saat kas diterima dan beban dicatat pada saat kas keluar, sedangkan pada akuntansi berbasis akrual, transaksi-transaksi yang mempengaruhi laporan keuangan perusahaan dicatat pada periode di mana transaksi tersebut terjadi bukan pada saat kas diterima atau dikeluarkan.

Informasi yang disajikan pada basis akrual mengungkapkan hubungan yang mungkin penting dalam memprediksi masa depan sehingga dapat lebih bermanfaat untuk tujuan pengambilan keputusan, oleh karena itu basis akrual yang banyak dipakai dan sesuai dengan prinsip akuntansi.

Cara menghitung akrual diskresioner (DA) dengan menggunakan Modified Jones model, yaitu menaksir akrual total dideflasi dengan aset total awal tahun untuk mengurangi heteroskedastisitas. Model tersebut adalah sebagai berikut:


(41)

Keterangan:

ΔREVit = pendapatan perusahaan i pada periode t dikurangi pendapatan pada periode t-1.

ΔRECit = piutang perusahaan i pada periode t dikurangi piutang pada periode t-1. PPEit = property, plan and equipment (aset tetap berwujud kotor) perusahaan i pada

periode t.

Ait-1 = aset total perusahaan i pada periode t-1 (awal tahun).

α & β1 = nilai koefisien perusahaan

2.1.3 International Financial Reporting Standards (IFRS)

IFRS merupakan standar yang pada konsepnya berbasis principles based dan pengukurannya menggunakan fair value, hal ini tentu sangat berbeda dengan GAAP yang pada konsepnya berbasis rules based dan pengukurannya menggunakan historical cost. Pengukuran menggunakan historical cost sekarang ini mulai ditinggalkan karena dalam beberapa situasi dipertimbangkan tidak mencerminkan kondisi yang sesungguhnya.

Keunggulan dari historical cost adalah bahwa historical cost lebih objektif dan lebih bisa diverifikasi karena didasarkan pada transaksi. Sedangkan kelemahan historical cost tidak menggambarkan keadaan sesungguhnya, dengan demikian pihak manajemen bisa memanfaatkan kelemahan historical cost untuk melakukan manajemen laba, misalnya pada saat kinerja perusahaan sedang buruk apabila nilai wajar aset pada tanggal pelaporan lebih besar dari nilai tercatatnya maka pihak


(42)

manajemen akan menjual aset tersebut sehingga ada keuntungan yang terjadi diakui di dalam laporan laba rugi (Cahyati, 2011).

IFRS yang pada pengukurannya lebih menggunakan fair value diharapkan mampu mencerminkan kondisi yang sesungguhnya dimana pos-pos aset dan liabilitas yang dimiliki lebih mencerminkan nilai yang sebenarnya pada tanggal laporan keuangan. Namun demikian terdapat beberapa pendapat yang menolak fair value karena dapat menyebabkan volatilitas dalam laporan keuangan dan mengurangi prediksi dari laba (Siregar, 2010 dalam Qomariah, 2013).

Qomariah (2013) menjelaskan bahwa US GAAP merupakan standar rules based yang akan meningkatkan konsistensi dan keterbandingan antar perusahaan dan antar waktu, namun di sisi lain mungkin kurang relevan karena ketidakmampuan standar merefleksi kejadian ekonomi yang sebenarnya dari entitas yang berbeda antar perusahaan dan antar waktu, serta semakin kompleksnya aturan akan semakin memberikan celah manajer untuk melakukan kecurangan.

IFRS yang lebih menggunakan principal based memungkinkan manajer memilih perlakuan akuntasi yang merefleksikan transaksi atau kejadian ekonomi yang sebenarnya, namun IFRS akan lebih membutuhkan penalaran, judgement, dan pemahaman yang cukup mendalam dari aturan dalam menerapkannya.

Kerangka konseptual pada IFRS yang paling menarik adalah persyaratan pengungkapan yang lebih banyak (full disclosure) dibanding dengan standar akuntansi GAAP, dengan adanya pengungkapan yang lebih banyak tersebut akan berdampak pada penurunan asimetri informasi, sehingga manajer akan cenderung lebih sulit untuk melakukan kecurangan.


(43)

Lembaga profesi akuntansi IAI (Ikatan Akuntan Indonesia) menetapkan bahwa Indonesia melakukan adopsi penuh IFRS pada 1 Januari 2012. Penerapan ini bertujuan agar daya informasi laporan keuangan dapat terus meningkat sehingga laporan keuangan dapat semakin mudah dipahami dan dapat dengan mudah digunakan baik bagi penyusun, auditor, maupun pembaca atau pengguna lain. Exposure Draft PSAK 1 (Revisi 2009) tentang Penyajian Laporan Keuangan telah diterbitkan. ED PSAK 1 merupakan adopsi IAS 1 Presentation Financial Statement, proses adopsi ini merupakan salah satu program konvergensi IFRS yang sedang dilakukan oleh Dewan Standar Akuntansi keuangan (DSAK IAI).

ED PSAK 1 ini menetapkan dasar-dasar bagi penyajian laporan keuangan bertujuan umum (general purpose financial statements) yang selanjutnya disebut laporan keuangan agar dapat dibandingkan baik dengan laporan keuangan periode sebelumnya maupun dengan laporan keuangan entitas lain. Pernyataan ini mengatur persyaratan bagi penyajian laporan keuangan, struktur laporan keuangan, dan persyaratan minimum isi laporan keuangan.

Dewan Standar Akuntansi Keuangan (DSAK) IAI pada tanggal 21 April 2009 kemarin telah menyetujui Exposure Draft (ED) PSAK 1 (revisi 2009) tentang Penyajian Laporan Keuangan untuk disebarluaskan dan ditanggapi oleh kalangan anggota IAI, Dewan Konsultatif SAK, Dewan Pengurus Nasional IAI, perguruan tinggi dan individu/organisasi/lembaga lain yang berminat.

ED PSAK 1 (Revisi 2009) merupakan penyajian laporan keuangan yang merupakan adopsi dari IAS 1, yaitu Presentation of Financial Statements merevisi PSAK 1 (1998) tentang penyajian laporan keuangan. ED PSAK 1 (Revisi 2009)


(44)

mengatur mengenai kepatuhan terhadap SAK, ED PSAK 1 (revisi 2009) mengatur bahwa entitas membuat pernyataan kepatuhan atas SAK dalam laporan keuangan mengenai penggunaan standar IFRS.

Dalam melakukan konvergensi IFRS, terdapat dua macam strategi adopsi, yaitu big bang strategy dan gradual strategy. Big bang strategy mengadopsi penuh IFRS sekaligus, tanpa melalui tahapan-tahapan tertentu. Strategi ini digunakan oleh negara-negara maju, sedangkan pada gradual strategy, adopsi IFRS dilakukan secara bertahap. Strategi ini digunakan oleh negara – negara berkembang seperti Indonesia. Terdapat 3 tahapan dalam melakukan konvergensi IFRS di Indonesia, yaitu:

1. Tahap Adopsi (2008 – 2011), meliputi aktivitas dimana seluruh IFRS diadopsi ke PSAK, persiapan infrastruktur yang diperlukan, dan evaluasi terhadap PSAK yang berlaku.

2. Tahap Persiapan Akhir (2011), dalam tahap ini dilakukan penyelesaian terhadap persiapan infrastruktur yang diperlukan, selanjutnya dilakukan penerapan secara bertahap beberapa PSAK berbasis IFRS.

3. Tahap Implementasi (2012), berhubungan dengan aktivitas penerapan PSAK & IFRS secara bertahap, kemudian dilakukan evaluasi terhadap dampak penerapan PSAK secara komprehensif.

Indonesia merupakan bagian dari IFAC (International Federation of Accountant) yang harus tunduk pada SMO (Statement Membership Obligation), salah satunya adalah dengan menggunakan IFRS sebagai accounting standard. Konvergensi IFRS adalah salah satu kesepakatan pemerintah Indonesia sebagai anggota G20 forum.


(45)

2.1.3.1 Dampak Implementasi IFRS

Implementasi IFRS dapat memberikan dampak positif dan negatif dalam dunia bisnis dan jasa audit di Indonesia. Berikut ini adalah berbagai dampak dalam penerapan IFRS :

1. Akses ke pendanaan internasional akan lebih terbuka karena laporan keuangan akan lebih mudah dikomunikasikan ke investor global.

2. Relevansi laporan keuangan akan meningkat karena lebih banyak menggunakan nilai wajar.

3. Kinerja keuangan (laporan laba rugi) akan lebih fluktuatif apabila harga-harga fluktuatif.

4. Smoothing income menjadi semakin sulit dengan penggunaan balance sheet approach dan fair value.

5. Principle-based standards mungkin menyebabkan keterbandingan laporan keuangan sedikit menurun yakni bila penggunaan professional judgment ditumpangi dengan kepentingan untuk mengatur laba (earning management). 6. Penggunaan off balance sheet semakin terbatas.

2.2 Pembahasan Penelitian Sebelumnya

Sejumlah penelitian seperti penelitian oleh Barth et al., (2008) yang meneliti kualitas akuntansi sebelum dan sesudah dikenalkannya IFRS dengan menggunakan sampel sebanyak 327 perusahaan di 21 negara yang telah mengadopsi IAS secara sukarela antara tahun 1994 dan 2003. Dalam penelitian ini ditemukan bukti bahwa


(46)

setelah diperkenalkannya IFRS, tingkat manajemen laba menjadi lebih rendah, relevansi nilai menjadi lebih tinggi, dan pengakuan kerugian menjadi semakin tepat waktu, dibandingkan dengan masa sebelum transisi di mana akuntansi masih berdasarkan local GAAP.

Ismail (2013) menyatakan bahwa adopsi IFRS akan menghasilkan kualitas laba yang lebih tinggi. Kualitas laba yang lebih tinggi ini ditunjukkan dengan penurunan tingkat manajemen laba dan peningkatan relevansi nilai laba, selanjutnya penelitian oleh Anggraita (2012) yang menemukan adanya penurunan manajemen laba pada masa setelah adopsi IFRS.

Penelitian ini didukung oleh Chen et al., (2010) dan Armstrong et al., (2010). Chen et al. (2010) juga menemukan bukti empiris bahwa dengan adopsi IFRS secara wajib dapat meningkatkan kualitas informasi akuntansi dan menurunkan manajemen laba dibandingkan sebelum mengadopsi IFRS.

2.3 Rumusan Hipotesis

2.3.1 Perbedaan Manajemen Laba Sebelum dan Setelah Penerapan IFRS pada Perusahaan Manufaktur di Bursa Efek Indonesia.

Pengadopsian standar akuntansi internasional ke dalam standar akuntansi domestik bertujuan menghasilkan laporan keuangan yang memiliki tingkat kredibilitas tinggi. Standar akuntansi IFRS meminta persyaratan akan item-item pengungkapan yang semakin tinggi sehingga nilai perusahaan akan semakin tinggi dan manajemen akan memiliki tingkat akuntabilitas tinggi dalam menjalankan perusahaan. Standar akuntansi IFRS menjanjikan laporan lebih akurat, laporan keuangan yang lebih komprehensif dan tepat waktu, sehingga beberapa negara di


(47)

Benua Eropa mengganti standar akuntansi domestik yang digunakan dengan IFRS (Ball dalam Ismail et al 2013). IFRS dengan pendekatan principled based-nya dianggap dapat meminimalisir tingkat manajemen laba yang dilakukan oleh manajemen dengan pengetatan aturan dan pendekatan fair value dalam penyajian laporan keuangannya.

Standar akuntansi merupakan pedoman dalam penyusunan dan penyajian laporan keuangan, setelah kejatuhan perekonomian Amerika Serikat mulai dari kasus manipulasi Enron hingga kegagalan investasi properti di sana yang menyebabkan krisis ekonomi global beberapa tahun lalu, nampaknya kepercayaan dunia akan standar akuntansi Amerika (US. GAAP) ikut memudar. Hal ini dapat dilihat dari pengadopsian standar Internasional (IFRS) yang membudaya baik Negara maju maupun berkembang di kawasan Eropa, Asia, Afrika dan lainnya. Pendekatan principled based yang diusung oleh Standar IFRS dipercaya dapat lebih meningkatkan kualitas informasi dalam laporan keuangan dengan cara mempersempit celah manajemen untuk melakukan tindakan manajemen laba. Faktor-faktor lain seperti ukuran perusahaan, financial leverage, market to book ratio dan institutional investor juga perlu diperhatikan dalam meneliti manajemen laba tersebut (Rudra, 2012).

Sejumlah penelitian seperti Ismail (2013) menyatakan bahwa adopsi IFRS akan menghasilkan kualitas laba yang lebih tinggi. Kualitas laba yang lebih tinggi ini ditunjukkan dengan penurunan tingkat manajemen laba dan peningkatan relevansi nilai laba. Bao dan Bao (2004) dalam Ismail (2013) menyatakan bahwa jika kualitas laba meningkat, maka hubungan antara nilai perusahaan dan laba yang dilaporkan


(48)

akan meningkat, sebaliknya jika kualitas laba menurun, maka hubungan antara nilai perusahaan dan laba yang dilaporkan pasti akan menurun.

Penelitian oleh Barth et al., (2008) yang meneliti kualitas akuntansi sebelum dan sesudah dikenalkannya IFRS dengan menggunakan sampel sebanyak 327 perusahaan di 21 negara yang telah mengadopsi IAS secara sukarela antara tahun 1994 dan 2003. Dalam penelitian ini ditemukan bukti bahwa setelah diperkenalkannya IFRS, tingkat manajemen laba menjadi lebih rendah, relevansi nilai menjadi lebih tinggi, dan pengakuan kerugian menjadi semakin tepat waktu, dibandingkan dengan masa sebelum transisi di mana akuntansi masih berdasarkan local GAAP.

Penelitian ini didukung oleh Chen et al., (2010) dan Armstrong et al., (2010). Chen et al., (2010) juga menemukan bukti empiris bahwa dengan adopsi IFRS secara wajib dapat meningkatkan kualitas informasi akuntansi dan menurunkan manajemen laba dibandingkan sebelum mengadopsi IFRS. Callao dan Jarne (2010) membandingkan diskresioneri akrual perusahaan yang listing di 11 pasar saham eropa sesaat setelah pengadopsian IFRS. Mereka menemukan bahwa IFRS mendukung diskresioneri akuntansi dan perilaku oportunistik.

Sejumlah penelitian seperti Ismail (2013) menyatakan bahwa adopsi IFRS akan menghasilkan kualitas laba yang lebih tinggi. Kualitas laba yang lebih tinggi ini ditunjukkan dengan penurunan tingkat manajemen laba dan peningkatan relevansi nilai laba. Bao dan Bao (2004) dalam Ismail (2013) menyatakan bahwa jika kualitas laba meningkat, maka hubungan antara nilai perusahaan dan laba yang dilaporkan


(49)

akan meningkat sebaliknya, jika kualitas laba menurun, maka hubungan antara nilai perusahaan dan laba yang dilaporkan pasti akan menurun.

Alasan pengadopsian standar akuntansi internasional ke dalam standar akuntansi domestik bertujuan menghasilkan laporan keuangan yang memiliki tingkat kredibilitas tinggi. Standar akuntansi IFRS meminta persyaratan akan item-item pengungkapan yang semakin tinggi sehingga nilai perusahaan akan semakin tinggi dan manajemen akan memiliki tingkat akuntabilitas tinggi dalam menjalankan perusahaan. Standar akuntansi IFRS menjanjikan laporan lebih akurat, laporan keuangan yang lebih komprehensif dan tepat waktu, sehingga beberapa negara di Benua Eropa mengganti standar akuntansi domestik yang digunakan dengan IFRS (Ball dalam Ismail et al 2013). IFRS dengan pendekatan principled based-nya dianggap dapat meminimalisir tingkat manajemen laba yang dilakukan oleh manajemen dengan pengetatan aturan dan pendekatan fair value dalam penyajian laporan keuangannya.

Penelitian oleh Anggraita (2012) yang menemukan adanya penurunan manajemen laba pada masa setelah adopsi IFRS khususnya pada komponen Cadangan kerugian penurunan nilai (CKPN) sebagai salah satu komponen proksi manajemen laba. Mengacu pada pernyataan IAI tahun 2009 yang menyebutkan bahwa IFRS dapat mempersulit tindakan manajemen laba melalui penerapan fair value dan balance sheet approach, maka asumsi dalam penelitian ini adalah perusahaan yang mengadopsi IFRS secara penuh cenderung memiliki tingkat manajemen laba yang lebih kecil. Wang dan Campbell (2012) yang menyatakan adopsi IFRS menurunkan manajemen laba tetapi bukti ini belum cukup kuat dan


(50)

masih harus dilakukan penelitian lebih lanjut. Penelitian Rudra dan Bhattacharjee (2012) mengenai apakah adopsi IFRS mempengaruhi manajemen laba pada perusahaan di India mendapatkan hasil bahwa adopsi IFRS berpengaruh secara positif terhadap manajemen laba, namun penelitian lebih lanjut akan dilakukan demi mendapatkan bukti yang lebih kuat.

Penelitian yang dilakukan oleh Krismiaji et al. (2013) menemukan bahwa adopsi IFRS berpengaruh secara positif terhadap relevansi informasi dan reliabilitas informasi. Rohaeni dan Titik (2011) dalam pembahasannya menjelaskan bahwa selama periode ketika perusahaan mengadopsi IFRS, perusahaan lebih sedikit melakukan income smoothing, karena penerapan IFRS akan berdampak kepada semakin sedikitnya pilihan metode akuntansi yang dapat diterapkan.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka hipotesis 1 yang diajukan dalam penelitian ini adalah :

H1 : Terdapat perbedaan manajemen laba sebelum dan setelah penerapan IFRS pada perusahaan manufaktur di Bursa Efek Indonesia.

2.3.2 Perbedaan Manajemen Laba antara Perusahaan Manufaktur yang Tergolong Perusahaan Besar dan Kecil Pasca IFRS.

Berbagai motivasi yang mendorong dilakukannya manajemen laba. Teori akuntansi positif (positive accounting theory) mengusulkan tiga hipotesis motivasi manajemen laba yang dihubungkan oleh tindakan oportunistik yang dilakukan oleh perusahaan (Watts dan Zimmerman, 1986). Tiga hipotesis menurut Watts dan Zimmerman (1986) antara lain hipotesis program bonus (the bonus plan hypotesis),


(51)

hipotesis perjanjian utang (the debt covenant hypotesis), serta hipotesis biaya politik (the political cost hypotesis).

Dalam hipotesis biaya politik (the political cost hypotesis) dinyatakan bahwa semakin besar biaya politis yang dihadapi oleh perusahaan maka semakin besar pula kecenderungan perusahaan menggunakan pilihan akuntansi yang dapat mengurangi laba, karena perusahaan yang memiliki tingkat laba yang tinggi dinilai akan mendapat perhatian yang luas dari kalangan konsumen dan media yang nantinya juga akan menarik perhatian pemerintah dan regulator sehingga menyebabkan terjadinya biaya politis, diantaranya muncul intervensi pemerintah, pengenaan pajak yang lebih tinggi, dan berbagai macam tuntutan lain yang dapat meningkatkan biaya politis.

Perusahaan manufaktur yang tergolong besar terindikasi tindakan manajemen laba yang tinggi pula. Berdasarkan hipotesis dari Watts dan Zimmerman (1986) yang menjelaskan salah satunya hipotesis biaya politik (the political cost hypotesis) dimana semakin besar biaya politis yang dihadapi oleh perusahaan maka semakin besar pula kecenderungan perusahaan menggunakan pilihan akuntansi yang dapat mengurangi laba, karena perusahaan yang memiliki tingkat laba yang tinggi dinilai akan mendapat perhatian yang luas dari kalangan konsumen dan media yang nantinya juga akan menarik perhatian pemerintah dan regulator sehingga menyebabkan terjadinya biaya politis, diantaranya muncul intervensi pemerintah, pengenaan pajak yang lebih tinggi, dan berbagai macam tuntutan lain yang dapat meningkatkan biaya politis, oleh karena itu penerapan IFRS juga cenderung lebih berpengaruh terhadap perusahaan yang tergolong besar daripada perusahaan yang tergolong kecil.


(52)

Motivasi dilakukannya manajemen laba untuk menghindari pajak. Taxation Motivations yaitu motivasi penghematan pajak menjadi motivasi manajemen laba yang paling nyata (Scott, 2000). Berbagai metoda akuntansi digunakan dengan tujuan penghematan jumlah pajak pendapatan yang harus dibayarkan. Manajemen perusahaan besar dengan laba tinggi cenderung melakukan manajemen laba untuk menghindari pajak, sehingga mendorong hipotesis jika perusahaan besar akan lebih merasakan dampak diterapkannya IFRS karena perusahaan yang tergolong perusahaan besar masih memiliki tingkat manajemen laba yang lebih tinggi.

H2 : Terdapat perbedaan manajemen laba antara perusahaan manufaktur yang tergolong perusahaan besar dan perusahaan manufaktur yang tergolong perusahaan kecil pasca penerapan IFRS.


(1)

Benua Eropa mengganti standar akuntansi domestik yang digunakan dengan IFRS (Ball dalam Ismail et al 2013). IFRS dengan pendekatan principled based-nya dianggap dapat meminimalisir tingkat manajemen laba yang dilakukan oleh manajemen dengan pengetatan aturan dan pendekatan fair value dalam penyajian laporan keuangannya.

Standar akuntansi merupakan pedoman dalam penyusunan dan penyajian laporan keuangan, setelah kejatuhan perekonomian Amerika Serikat mulai dari kasus manipulasi Enron hingga kegagalan investasi properti di sana yang menyebabkan krisis ekonomi global beberapa tahun lalu, nampaknya kepercayaan dunia akan standar akuntansi Amerika (US. GAAP) ikut memudar. Hal ini dapat dilihat dari pengadopsian standar Internasional (IFRS) yang membudaya baik Negara maju maupun berkembang di kawasan Eropa, Asia, Afrika dan lainnya. Pendekatan principled based yang diusung oleh Standar IFRS dipercaya dapat lebih meningkatkan kualitas informasi dalam laporan keuangan dengan cara mempersempit celah manajemen untuk melakukan tindakan manajemen laba. Faktor-faktor lain seperti ukuran perusahaan, financial leverage, market to book ratio dan institutional investor juga perlu diperhatikan dalam meneliti manajemen laba tersebut (Rudra, 2012).

Sejumlah penelitian seperti Ismail (2013) menyatakan bahwa adopsi IFRS akan menghasilkan kualitas laba yang lebih tinggi. Kualitas laba yang lebih tinggi ini ditunjukkan dengan penurunan tingkat manajemen laba dan peningkatan relevansi nilai laba. Bao dan Bao (2004) dalam Ismail (2013) menyatakan bahwa jika kualitas laba meningkat, maka hubungan antara nilai perusahaan dan laba yang dilaporkan


(2)

akan meningkat, sebaliknya jika kualitas laba menurun, maka hubungan antara nilai perusahaan dan laba yang dilaporkan pasti akan menurun.

Penelitian oleh Barth et al., (2008) yang meneliti kualitas akuntansi sebelum dan sesudah dikenalkannya IFRS dengan menggunakan sampel sebanyak 327 perusahaan di 21 negara yang telah mengadopsi IAS secara sukarela antara tahun 1994 dan 2003. Dalam penelitian ini ditemukan bukti bahwa setelah diperkenalkannya IFRS, tingkat manajemen laba menjadi lebih rendah, relevansi nilai menjadi lebih tinggi, dan pengakuan kerugian menjadi semakin tepat waktu, dibandingkan dengan masa sebelum transisi di mana akuntansi masih berdasarkan local GAAP.

Penelitian ini didukung oleh Chen et al., (2010) dan Armstrong et al., (2010). Chen et al., (2010) juga menemukan bukti empiris bahwa dengan adopsi IFRS secara wajib dapat meningkatkan kualitas informasi akuntansi dan menurunkan manajemen laba dibandingkan sebelum mengadopsi IFRS. Callao dan Jarne (2010) membandingkan diskresioneri akrual perusahaan yang listing di 11 pasar saham eropa sesaat setelah pengadopsian IFRS. Mereka menemukan bahwa IFRS mendukung diskresioneri akuntansi dan perilaku oportunistik.

Sejumlah penelitian seperti Ismail (2013) menyatakan bahwa adopsi IFRS akan menghasilkan kualitas laba yang lebih tinggi. Kualitas laba yang lebih tinggi ini ditunjukkan dengan penurunan tingkat manajemen laba dan peningkatan relevansi nilai laba. Bao dan Bao (2004) dalam Ismail (2013) menyatakan bahwa jika kualitas laba meningkat, maka hubungan antara nilai perusahaan dan laba yang dilaporkan


(3)

akan meningkat sebaliknya, jika kualitas laba menurun, maka hubungan antara nilai perusahaan dan laba yang dilaporkan pasti akan menurun.

Alasan pengadopsian standar akuntansi internasional ke dalam standar akuntansi domestik bertujuan menghasilkan laporan keuangan yang memiliki tingkat kredibilitas tinggi. Standar akuntansi IFRS meminta persyaratan akan item-item pengungkapan yang semakin tinggi sehingga nilai perusahaan akan semakin tinggi dan manajemen akan memiliki tingkat akuntabilitas tinggi dalam menjalankan perusahaan. Standar akuntansi IFRS menjanjikan laporan lebih akurat, laporan keuangan yang lebih komprehensif dan tepat waktu, sehingga beberapa negara di Benua Eropa mengganti standar akuntansi domestik yang digunakan dengan IFRS (Ball dalam Ismail et al 2013). IFRS dengan pendekatan principled based-nya dianggap dapat meminimalisir tingkat manajemen laba yang dilakukan oleh manajemen dengan pengetatan aturan dan pendekatan fair value dalam penyajian laporan keuangannya.

Penelitian oleh Anggraita (2012) yang menemukan adanya penurunan manajemen laba pada masa setelah adopsi IFRS khususnya pada komponen Cadangan kerugian penurunan nilai (CKPN) sebagai salah satu komponen proksi manajemen laba. Mengacu pada pernyataan IAI tahun 2009 yang menyebutkan bahwa IFRS dapat mempersulit tindakan manajemen laba melalui penerapan fair value dan balance sheet approach, maka asumsi dalam penelitian ini adalah perusahaan yang mengadopsi IFRS secara penuh cenderung memiliki tingkat manajemen laba yang lebih kecil. Wang dan Campbell (2012) yang menyatakan adopsi IFRS menurunkan manajemen laba tetapi bukti ini belum cukup kuat dan


(4)

masih harus dilakukan penelitian lebih lanjut. Penelitian Rudra dan Bhattacharjee (2012) mengenai apakah adopsi IFRS mempengaruhi manajemen laba pada perusahaan di India mendapatkan hasil bahwa adopsi IFRS berpengaruh secara positif terhadap manajemen laba, namun penelitian lebih lanjut akan dilakukan demi mendapatkan bukti yang lebih kuat.

Penelitian yang dilakukan oleh Krismiaji et al. (2013) menemukan bahwa adopsi IFRS berpengaruh secara positif terhadap relevansi informasi dan reliabilitas informasi. Rohaeni dan Titik (2011) dalam pembahasannya menjelaskan bahwa selama periode ketika perusahaan mengadopsi IFRS, perusahaan lebih sedikit melakukan income smoothing, karena penerapan IFRS akan berdampak kepada semakin sedikitnya pilihan metode akuntansi yang dapat diterapkan.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka hipotesis 1 yang diajukan dalam penelitian ini adalah :

H1 : Terdapat perbedaan manajemen laba sebelum dan setelah penerapan IFRS pada perusahaan manufaktur di Bursa Efek Indonesia.

2.3.2 Perbedaan Manajemen Laba antara Perusahaan Manufaktur yang Tergolong Perusahaan Besar dan Kecil Pasca IFRS.

Berbagai motivasi yang mendorong dilakukannya manajemen laba. Teori akuntansi positif (positive accounting theory) mengusulkan tiga hipotesis motivasi manajemen laba yang dihubungkan oleh tindakan oportunistik yang dilakukan oleh perusahaan (Watts dan Zimmerman, 1986). Tiga hipotesis menurut Watts dan Zimmerman (1986) antara lain hipotesis program bonus (the bonus plan hypotesis),


(5)

hipotesis perjanjian utang (the debt covenant hypotesis), serta hipotesis biaya politik (the political cost hypotesis).

Dalam hipotesis biaya politik (the political cost hypotesis) dinyatakan bahwa semakin besar biaya politis yang dihadapi oleh perusahaan maka semakin besar pula kecenderungan perusahaan menggunakan pilihan akuntansi yang dapat mengurangi laba, karena perusahaan yang memiliki tingkat laba yang tinggi dinilai akan mendapat perhatian yang luas dari kalangan konsumen dan media yang nantinya juga akan menarik perhatian pemerintah dan regulator sehingga menyebabkan terjadinya biaya politis, diantaranya muncul intervensi pemerintah, pengenaan pajak yang lebih tinggi, dan berbagai macam tuntutan lain yang dapat meningkatkan biaya politis.

Perusahaan manufaktur yang tergolong besar terindikasi tindakan manajemen laba yang tinggi pula. Berdasarkan hipotesis dari Watts dan Zimmerman (1986) yang menjelaskan salah satunya hipotesis biaya politik (the political cost hypotesis) dimana semakin besar biaya politis yang dihadapi oleh perusahaan maka semakin besar pula kecenderungan perusahaan menggunakan pilihan akuntansi yang dapat mengurangi laba, karena perusahaan yang memiliki tingkat laba yang tinggi dinilai akan mendapat perhatian yang luas dari kalangan konsumen dan media yang nantinya juga akan menarik perhatian pemerintah dan regulator sehingga menyebabkan terjadinya biaya politis, diantaranya muncul intervensi pemerintah, pengenaan pajak yang lebih tinggi, dan berbagai macam tuntutan lain yang dapat meningkatkan biaya politis, oleh karena itu penerapan IFRS juga cenderung lebih berpengaruh terhadap perusahaan yang tergolong besar daripada perusahaan yang tergolong kecil.


(6)

Motivasi dilakukannya manajemen laba untuk menghindari pajak. Taxation Motivations yaitu motivasi penghematan pajak menjadi motivasi manajemen laba yang paling nyata (Scott, 2000). Berbagai metoda akuntansi digunakan dengan tujuan penghematan jumlah pajak pendapatan yang harus dibayarkan. Manajemen perusahaan besar dengan laba tinggi cenderung melakukan manajemen laba untuk menghindari pajak, sehingga mendorong hipotesis jika perusahaan besar akan lebih merasakan dampak diterapkannya IFRS karena perusahaan yang tergolong perusahaan besar masih memiliki tingkat manajemen laba yang lebih tinggi.

H2 : Terdapat perbedaan manajemen laba antara perusahaan manufaktur yang tergolong perusahaan besar dan perusahaan manufaktur yang tergolong perusahaan kecil pasca penerapan IFRS.