BAB II KAJIAN TEORI - Kajian Pengaruh Elemen Perancangan Kota Terhadap Pembentukan Citra Kawasan Mesjid Raya Dan Istana Maimoon

BAB II KAJIAN TEORI Lingkungan sangat mempengaruhi kehidupan manusia, dan secara implisit tujuan dari arsitektur melampaui definisi yang diberikan oleh kaum fungsionalis. Untuk mengetahui bagaimana citra kawasan dari suatu kawasan yang telah terbangun

  maka sebenarnya kita harus terlebih dahulu mengetahui kekuatan makna apa saja yang dimiliki oleh suatu kawasan tersebut. Dalam mencari suatu kekuatan makna yang dimiliki oleh suatu kawasan maka secara umum lingkup yang dapat memecahkan hal tersebut dapat dilakukan melalui pemahaman yang dapat dikaji melalui teori genius loci yang menempatkan arsitektur sebagai sebuah makna untuk memberikan “tumpuan eksistensial” (existensial foothold) bagi manusia, oleh karena itu penelitian ini akan lebih menyelidiki implikasi aspek fisik arsitektur daripada aspek praktis, walaupun sebenarnya terdapat hubungan di antara kedua aspek ini.

  Dimensi eksistensial tidak mutlak ”ditentukan” oleh kondisi sosio-ekonomi, walaupun faktor ini bisa memfasilitasi atau menghalangi pengertian kita terhadap struktur eksistensial. Kondisi sosio-ekonomi lebih merupakan bingkai gambar, dimana mereka menawarkan ruang tertentu bagi kehidupan agar dapat berlangsung, tetapi tidak menentukan makna eksistensial mereka. Makna eksistensial memiliki akar yang lebih dalam, yang ditentukan oleh struktur-struktur keberadaan manusia di dunia.

  Setelah mengetahui kekuatan makna yang dimiliki oleh suatu kawasan terbangun dengan sendirinya kita akan mengetahui karakter lingkungan yang merupakan berkah berupa timbulnya kesan kepada manusia yang sering disebut sebagai “perasaan terhadap tempat tertentu” (sense of place). Sepertinya perasaan khusus ini berperan terhadap terbentuknya arsitektur dan urbanisme namun karena dari perhatian.

  Selanjutnya setelah mengetahui bagaimana kekuatan makna dan sense of

  

place dari suatu kawasan, maka dapat dilakukan usaha untuk melihat beberapa

  elemen perencanaan kota yang dapat menentukan pembentukan citra kawasan dan menjadi suatu kekuatan di dalam mengembangkan kawasan tersebut.

2.1 Genius Loci

  Pada tahun 1960 telah dikumandangkan peringatan awal tentang keterbatasan fungsionalisme dan pentingnya genius loci dalam arsitektur dalam manifesto yang ditulis oleh dua arsitek Jerman yaitu Reinhart Geiselmann dan Oswald Mathias Unger yang dipublikasikan dalam jurnal arsitektur Der Monad di Berlin:

  Arsitektur merupakan sebuah penetrasi yang sangat vital dari sebuah realitas yang berlapis-lapis, misterius, berubah dan berkembang perlahan lahan serta terstruktur. Berulang-ulang menuntut pengakuan kembali terhadap “genius loci” yang merupakan awal pertumbuhan arsitektur. Arsitektur bukan lagi impressi dua dimensi, tetapi sudah menjadi suatu pengalaman (experience) yang bersifat

  corporeal (raga sebagai lawan dari spirit atau sesuatu yang dapat disentuh, material dan fisikal) dan realitas ruang yang terbentuk saat dilalui, dikitari, dimasuki……..hubungan antara subjek dan objek sudah dikesampingkan ….Arsitektur merupakan penutup, pembungkus dan pelindung dari setiap individu sehingga lebih kepada sebuah penyempurnaan suatu kewajiban dan sebuah pendalaman suatu makna.

  Norman Crowe (1997:75) menyebutkan bahwa genius loci merupakan fenomena bangsa Romawi, yang mempercayai bahwa tempat-tempat tertentu memiliki roh atau jiwa. Roh-roh ini, atau genius loci, merefleksikan keunikan dari sebuah tempat, yang membedakan satu tempat dengan tempat yang lain. Roh-roh ini mendiami semua tempat dan memberi makna, menjaga dan mengilhami tempat tersebut dengan perasaan. Genius loci menyimbolkan kekuatan yang bersifat perseorangan yang melengkapi suatu tempat dengan kepribadian dan karakter berupa sebuah kualitas yang lebih dari sekedar fakta. Tugas yang diemban oleh genius loci adalah memelihara suatu perasaan atas sebuah kehadiran yang menjiwai sesuatu. Tanpa kehadiran genius loci suatu tempat tidak memiliki makna dan akan timbul kejadian yang tidak bersifat personal tetapi general.

  Usaha memperkenalkan kembali dimensi fenomenologi dalam membuat interpretasi atas sebuah lingkungan buatan menjadi penting dalam usaha mengevaluasi modernisme yang telah merupakan suatu tuntutan pada dekade berikutnya. Norberg-Schulz sangat erat hubungannya dengan kebangkitan fenomenologi dalam arsitektur sejak awal tahun 1960an dan merupakan salah seorang teoritikus yang mempertahankan ide mulia tentang arsitektur sebagai penelitian dan pengertian, dimana tidak ada sesuatupun yang bisa digeneralisasi, kecuali beberapa prinsip dasar, yang memberikan karya manusia sebuah basis yang aman, dengan diperkuat oleh tradisi.

  Kenneth Frampton (1980:296) ketika membahas Place, Production and

  

Architecture menyimpulkan bahwa: “Terdapat saat yang tidak mungkin luput, yaitu

  ketika tempat dan produksi digabungkan bersama untuk menghasilkan sebuah karakter suatu tempat yang berkualitas sehingga akhirnya manusia menerima Identitas merupakan faktor yang penting dalam pendekatan arsitektur. Identitas mengacu kepada lokalitas dan tidak dapat digeneralisasi dan memberikan makna pada sebuah tempat, yang sesuai dengan dasar pemikiran dari tesis ini.

  2.1.1 Tempat (place) Tempat diartikan sebagai sesuatu yang lebih dari hanya sekedar lokasi yang abstraks. Tempat diartikan sebagai sebuah totalitas yang terdiri dari hal-hal konkret yang memiliki substansi material, bentuk, tekstur, dan warna. Bersama hal-hal diatas ini ditentukan sebuah karakter lingkungan, yang merupakan esensi dari tempat. Pada umumnya tempat diberi sebuah karakter atau atmosfir. Sebuah tempat dengan demikian adalah fenomena yang kualitatif dan total, yang tidak bisa diuraikan ke sifat dasarnya, sebagaimana hubungan spasial, tanpa kehilangan sifat konkret alaminya.

  Selain itu pula pengalaman sehari-hari menjelaskan bahwa tindakan yang berbeda membutuhkan lingkungan yang berbeda pula. Oleh karena itu, kota dan rumah terdiri dari kumpulan tempat-tempat tertentu yang khusus.

  Sebagai suatu totalitas kualitatif dari alam yang kompleks, tempat tidak bisa digambarkan dengan konsep ilmiah dalam arti analitis. Secara prinsip sains mengabstraksikan dunia kehidupan sehari-hari untuk mencapai pengetahuan objektif yang netral. indikasi mengenai struktur dari tempat.

  Langkah penting adalah dengan mengambil konsep karakter (character). Karakter ditentukan oleh bagaimana benda itu sendiri, dan memberikan basis bagi pengamatan kita dalam fenomena konkret dunia kehidupan sehari-hari. Hanya melalui cara ini bisa sepenuhnya diungkap genius loci, jiwa/ roh dari sebuah tempat (spirit of place).

  Untuk sanggup bermukim (to dwell) manusia harus memahami langit dan bumi. Memahami disini merupakan satu konsep eksistensial yang merupakan pengalaman terhadap nilai-nilai yang mempunyai makna.

  Terdapat lima bentuk dasar pengertian mitos yang membentuk tempat buatan manusia. Pertama, mengambil kekuatan yang ada sebagai titik keberangkatan dan menghubungkannya untuk mengkonkretkan mereka dengan elemen-elemen alam atau benda natur (hanya sebuah sistem tempat yang berkaitan dan mempunyai arti yang membuat kehidupan manusia ”yang sebenarnya” bisa terjadi). Kedua, terdiri dari hasil abstraksi susunan kosmik sistematis dari perubahan yang terjadi terus-menerus (matahari dan titik mata angin atau struktur geografis). Ketiga, terdiri dari definisi karakter lingkungan natur, menghubungkan mereka dengan sifat dasar manusia.

  Keempat yaitu cahaya dan yang kelima adalah irama temporal.

  Secara konkret alam buatan terdiri dari benda (thing), susunan, karakter, cahaya dan waktu. Struktur tempat buatan manusia dapat pula dideskripsikan dengan

  node , jalur (path), dan domain yang memiliki tekstur, warna dan vegetasi.

  Karakter tempat buatan manusia ditentukan oleh tingkat keterbukaan (openness), bagaimana bangunan dikonkretkan dan dihubungkan dengan cara pembangunan yang dapat dideskripsikan dalam hal teknis-formal, bentuk atap, dan bukaan.

2.1.2 Norberg Schulz (1980) Sebuah Tempat

  Struktur penjelasan tentang fenomena sebuah tempat menuntun kepada kesimpulan bahwa struktur tempat harus digambarkan dalam istilah lansekap (landscape) dan permukiman (settlement), dapat dianalisa dengan menggunakan kategori ruang (space) dan karakter (character). Ruang berarti organisasi elemen- elemen tiga dimensi yang membentuk satu tempat, dan karakter menunjukkan ”atmosfir” umum yang merupakan sifat paling komprehensif dari tempat tertentu yang dalam hal ini termasuk aktifitas yang dilakukan pengguna. Organisasi spasial yang sama bisa memiliki karakter yang sangat berbeda tergantung dari perlakuan konkret pengguna terhadap elemen-elemen pembatas yang menentukan ruang. Sepanjang perjalanan sejarah, bentuk-bentuk spasial dasar terus menerus mengalami perubahan penafsiran dan karakteristik. Pada sisi lain organisasi spasial memberikan batasan tertentu terhadap karakterisasi, dan kedua konsep ini selalu saling berkaitan.

  Ruang dibedakan menjadi dua penggunaan yang berbeda: ruang sebagai geometri tiga dimensional, dan ruang sebagai bidang perseptual (Norberg-Schulz, 1980:11). Tak satupun dari kedua pandangan diatas memenuhi tesis ini, sebagai konkret’. Kevin Lynch (1960) menjelaskan ke dalam struktur ruang konkret, yang memperkenalkan konsep “node, landmark, path, edge, dan district”, untuk menunjukkan elemen-elemen yang membentuk dasar bagi orientasi manusia dalam ruang. Heidegger (1971) menyebutkan: “ruang-ruang memulai kehadirannya dari lokalitas, bukan dari ruang”. Hubungan luar-dalam (outside-inside) merupakan aspek primer dari ruang konkret, menunjukkan bahwa ruang memiliki tingkat ekstensi (extension) dan pelingkup (enclosure) yang bervariasi.

  Karakter merupakan konsep yang lebih umum dan konkret dibandingkan dengan ruang. Pada satu sisi, karakter menunjukkan sebuah atmosfir komprehensif yang bersifat umum, sisi lainnya merupakan bentuk konkret dan substansif dari elemen-elemen pembentuk ruang. Setiap kehadiran yang nyata secara intim selalu dihubungkan dengan suatu karakter.

  Telah dijelaskan di depan bahwa aktifitas yang berbeda akan menuntut tempat dengan karakter yang berbeda. Tempat kediaman harus protektif, kantor harus praktis, ruang pesta festif, dan rumah peribadatan harus khidmat. Bila mengunjungi sebuah kota asing, seseorang biasanya akan disuguhi oleh karakternya yang khusus, yang akan menjadi bagian penting dari pengalaman pengunjung.

  Secara umum setiap tempat memiliki karakter, dan bahwa karakter adalah moda dasar terbentukya dunia. Karakter sebuah tempat merupakan fungsi waktu, berjalannya hari, dan cuaca.

  Karakter tempat juga ditentukan oleh material dan konstitusi formal (formal kondisi pembatas-pembatas pembentuk tempat yang tergantung pada artikulasi formalnya (formal articulation), yakni berhubungan dengan cara pembatas tersebut dibangun. Perhatian khusus harus diberikan terhadap batasan lateral, atau dinding, yang juga berkontribusi menentukan karakter internal dan eksternal lingkungan kota.

  Tempat menjadi perwujudan struktur totalitas lingkungan yang terdiri dari aspek-aspek karakter dan ruang seperti ”negara, wilayah, lansekap, hunian, dan bangunan”.

  Struktur dari sebuah tempat tidak tetap, atau abadi, tetapi senantiasa berubah, bahkan terkadang dengan cepat. Namun demikian bukan berarti bahwa genius loci berubah atau hilang. Stabilitas loci adalah kondisi yang perlu untuk kehidupan manusia. Setiap tempat dalam batas-batas tertentu memiliki kemampuan untuk menerima kandungan yang berbeda,. Tempat yang hanya cocok untuk satu tujuan khusus akan lebih cepat usang dan tidak terpakai. Sebuah tempat bisa ditafsirkan dengan cara yang berbeda. Untuk melindungi, mempertahankan dan memelihara genius loci berarti mengkonkretkan esensinya dalam konteks sejarah yang baru.

  Sejarah suatu tempat harus merupakan realisasi yang keluar dari tempat itu sendiri, dari sejak awal perkembangan dan kemudian dikonkretkan pada kombinasi arsitektur yang lama dan baru. Dengan demikian sebuah tempat terdiri dari unsur- unsur yang memiliki tingkat variasi arsitektur lama dan baru yang berbeda.

  Secara umum dapat disimpulkan bahwa tempat merupakan titik seperti yang terbangun melalui pengalaman totalitas secara spontan, namun pada akhirnya nampak sebagai dunia yang terstruktur, yang diterangi oleh analisis dari aspek ruang dan karakter.

2.1.3 Orientasi dan Identifikasi

  Konsep Kevin Lynch (1960) tentang node, jalur (path), dan distrik mengartikan struktur spasial dasar berupa objek yang menjadi orientasi manusia.

  Hubungan yang dipersepsikan elemen-elemen ini membentuk imaji lingkungan yang menyeluruh.

  Seluruh kebudayaan telah mengembangkan sistem orientasi, yakni struktur spasial yang menfasilitasi pembentukan imaji lingkungan yang baik. Dunia bisa diorganisir di sekeliling serangkaian titik fokal, atau dipecahkan ke dalam beberapa wilayah yang diberi nama, atau dihubung oleh beberapa rute yang bisa diingat. Sering sekali sistem orientasi ini berdasarkan atau diperoleh dari struktur alam tertentu. Bila sistem orientasi lemah, penciptaan imaji menjadi sulit, dan manusia akan merasa tersesat.

  Tersesat merupakan lawan dari rasa aman yang membedakan kualitas lingkungan binaan. Kualitas lingkungan yang melindungi manusia dari “tersesat”, Lynch (1960) menyebutnya sebagai imajibilitas (imageability), yang berarti bahwa elemen-elemen yang secara struktural membentuk spasial seperti bentuk, warna, atau hidup yang jika ditata secara kuat akan merupakan imaji mental yang sangat penting dari sebuah lingkungan. Disini Lynch menyatakan bahwa elemen-elemen yang membentuk struktur spasial adalah benda-benda konkret dengan karakter dan makna. Karya Lynch membangun suatu kontribusi yang mendasar terhadap teori tentang tempat.

  Dalam masyarakat tradisional detail lingkungan terkecilpun dikenal dan mempunyai makna, dan tersusun dalam struktur spasial yang kompleks. Dalam masyarakat modern, perhatian terutama dipusatkan pada fungsi praktis dari orientasi, sedangkan identifikasi telah ditinggalkan. Oleh karena itu pemukiman yang sesungguhnya, dalam arti psikologis, telah diganti oleh alienasi. Dengan demikian dibutuhkan untuk bisa mencapai pengertian yang penuh dari konsep identifikasi dan karakter.

  Identifikasi berarti berteman dengan lingkungan tertentu. Di daerah Utara, manusia harus berteman dengan kabut, es, dan udara dingin, harus menikmati suara pecahan salju dibawah kaki ketika berjalan. Sebaliknya orang Arab harus berteman dengan padang pasir yang tidak terbatas dan terik matahari. Secara implisit ini menunjukkan bahwa lingkungan dirasakan sebagai bermakna (meaningful). Bollnow (1956) dengan tepat mengatakan: “setiap karakter terkandung dalam penyesuaian antara dunia luar dan dunia dalam, dan antara tubuh dan jiwa”.

  Identitas dan orientasi merupakan aspek primer dari keberadaan manusia, dimana identitas adalah basis untuk rasa memiliki manusia sedang orientasi bagian dari kodratnya. Manusia modern menginginkan kebebasan untuk menaklukkan dunia, namun saat ini terpaksa mengakui bahwa kebebasan juga mensyaratkan kepemilikan, dan bahwa bermukim berarti dimiliki oleh sebuah tempat yang konkret.

  Manusia disebut berdiam bila mampu mengkonkretkan dunia dalam bangunan dan benda-benda. Konkretitasi merupakan fungsi dari karya seni, yang berlawanan dengan abstraksi sains. Karya seni mengkonkretkan apa yang tertinggal antara objek- objek murni sains. Dunia kehidupan sehari-hari terdiri dari objek-objek perantara tersebut, dan fungsi dasar dari seni adalah mengumpulkan kontradiksi-kontradiksi dan kompleksitas dunia kehidupan. Menjadi imago mundi, karya seni membantu manusia untuk bermukim.

  Arsitektur merupakan suatu seni yang sulit. Untuk membuat kota dan bangunan praktis saja tidak cukup. Arsitektur hadir bila ”lingkungan total bisa dilihat”, mengambil definisi dari Suzanne Langer (1953). Secara umum ini berarti mengkonkretkan genius loci. Konkretisasi terlihat pada bangunan-bangunan yang mengumpulkan beberapa unsur tempat dan membuatnya dekat dengan manusia.

  Tindakan dasar arsitektur dengan demikian adalah memahami wilayah kerja dari tempat. Dengan cara ini manusia melindungi bumi dan menjadi bagian dari totalitas yang komprehensif. Yang didukung di sini bukanlah jenis determinisme lingkungan. Manusia merupakan bagian yang tak terpisahkan dari lingkungannya.

2.2 Citra Kota; Kevin Lynch, 1960

  Dalam bukunya “Image of the City” (1960), Kevin Lynch di dalam risetnya meminta para penduduk untuk menjelaskan kepadanya suatu gambaran mental terhadap kota mereka. Apa yang diingat? Di mana letaknya di dalam kawasan? Bagaimana rupanya? Ke mana saya harus pergi dari tempat ini ke tempat yang lain? Kevin Lynch telah menelusuri peta kognitif pengamat dengan hasil bahwa pemetaan kognitif terjadi karena adanya penangkapan terhadap atribut-atribut kota yang langsung ‘terbaca’ oleh pengamat. Lynch mengamati dengan baik bahwa rata-rata berbagai jawaban yang diberikan orang agak sama dan sering jauh berbeda dengan realitas di dalam kawasan. Misalnya, sketsa-sketsa yang dibuat orang dengan tim peneliti sering jauh berbeda dengan peta kota yang sebenarnya. Ia mengamati bahwa masalah itu terutama tidak disebabkan oleh ketidakbiasaan orang untuk menggambar sketsa, melainkan karena kesulitan mereka untuk mengingat keadaan tempatnya.

  Lynch mengamati bahwa di beberapa kota dan di berbagai kawasan masalah tersebut lebih sedikit dialami orang. Di dalam riset ini telah diteliti dari mana perbedaan itu berasal dan mengapa di berbagai kota orang memiliki gambaran mental yang lebih kuat terhadap kawasannya daripada di tempat lain. Berdasarkan analisis tersebut, Lynch (1960: 8) menemukan bahwa citra kawasan yang tergambar dari peta mental seseorang berkaitan dengan tiga komponen, yaitu:

1. Identitas; artinya, orang dapat memahami gambaran mental perkotaan

  (identifikasi obyek-obyek, perbedaan antara obyek, perihal yang dapat obyek/elemen dalam suatu kawasan yang berkarakter dan khas sebagai jatidiri yang dapat membedakan dengan kawasan lainnya.

  2. Struktur; artinya orang dapat melihat pola perkotaan (hubungan obyek- obyek, hubungan subyek-obyek, pola yang dapat dilihat), atau dengan kata lain yaitu mencakup pola hubungan antara obyek/elemen dengan obyek/elemen lain dalam ruang kawasan yang dapat dipahami dan dikenali oleh pengamat, struktur berkaitan dengan fungsi kawasan tempat obyek/elemen tersebut berada.

  3. Makna; orang dapat mengalami ruang perkotaan (arti obyek-obyek, arti subyek-obyek, rasa yang dapat dialami), atau merupakan pemahaman arti oleh pengamat terhadap dua komponen (identitas dan struktur).

  Kevin Lynch mengamati bahwa tiga komponen ini lebih mudah ditemukan di beberapa kota (misalnya Boston, Amerika Serikat), sedangkan sulit di kota-kota lainnya (misalnya New Jersey, Amerika Serikat). Jika dibandingkan, perbedaan masing-masing peta kota tidak terlalu besar tetapi ternyata kebanyakan orang akan memakai kriteria-kriteria lain untuk mengingat identitas, struktur, dan arti kawasan perkotaan daripada peta kota. Kriteria-kriteria umum yang dipakai oleh masyarakat adala citra terhadap tempatnya. Oleh karena itu Lynch menyatakan pembangunan kota hendaknya berorientasi pada penataan yang mudah ‘dibaca’ (highly legible).

  Penelitian Lynch mengarah kepada mengidentifikasi elemen-elemen struktur terdapat lima kategori elemen yang digunakan orang untuk menyusun kesadaran atas image kawasan. Elemen-elemen tersebut adalah: paths, edges, districts, nodes, dan landmarks.

  Lima elemen citra tersebut hanya merupakan unsur dasar sebuah citra kawasan secara keseluruhan. Pada kenyataannya, kelima elemen ini di dalam kota tidak dapat terlihat secara terpisah, karena keberadaannya satu dengan yang lain. Jika hanya dengan cara tersebut gambaran citra terhadap kawasan menjadi kenyataan dan benar, maka perlu diperhatikan interaksi antara kelima elemen citra tersebut. Kelima elemen akan berfungsi dan berarti secara bersamaan dalam satu jaringan (interaksi) besar. Sering terjadi bahwa satu elemen berasal dari satu elemen citra lain yang berbeda. Semua elemen ini berfungsi bersama dalam kawasan yang sama. Dan yang lebih sulit lagi, citra kota secara keseluruhan dapat berbeda pula tergantung luas daerahnya, posisi subyek dalam daerah, waktu (siang/malam), dan musim. Dengan memiliki lima elemen dan campurannya, tidak bararti bahwa sebuah kota langsung mempunyai citra yang baik. Oleh karena itu, perlu diperhatikan kualitas formulasi kelima elemen tersebut dengan yang lain. Dalam analisis dan perancangan kota, kualitas bentuk lima elemen tersebut harus dicari dan ditingkatkan. Sepuluh pola karakteristik yang mempengaruhi kualitas citra kawasan adalah: (Lynch, 1960: 85).

  1. Ketajaman batas elemen.

  2. Kesederhanaan bentuk elemen secara geometris.

  3. Kontinuitas elemen.

  Pengaruh yang terbesar antara elemen.

  5. Tempat hubungan antara elemen.

  6. Perbedaan antara elemen.

  7. Artikulasi antara elemen.

  8. Orientasi antara elemen.

  9. Pergerakkan antara elemen.

  10. Nama dan arti elemen.

  Teori citra kota yang diformulasikan Kevin Lynch ini memperhatikan skala makro di dalam kota. Namun demikian, sesuai dengan pandangan Van Eyck (1985) bahwa kota adalah ‘rumah yang besar’ dan rumah adalah ‘kota yang kecil’, maka prinsip-prinsip yang diungkapkan teori ini juga berlaku sampai ke skala mikro, yaitu gedung. Passini (1984: 112) mengilustrasikan dengan baik bagaimana lima elemen tersebut dapat berlaku di dalam sebuah gedung besar, misalnya sebuah gedung pusat perbelanjaan.

  Teori Kevin Lynch ini akan digunakan sebagai alat untuk mengkaji elemen- elemen pembentuk citra kawasan melalui temuan karakter fisik kawasan.

2.3 Pemetaan Kognitif; David Stea, 1974 Peta mental yaitu satu upaya pemahaman suatu tempat khususnya suatu kota.

  Istilah peta mental mengacu pada definisi oleh David Stea dan Roger Down, yaitu proses yang memungkinkan kita untuk mengumpulkan, mengorganisasikan, menyimpan dalam ingatan, memanggil, serta menguraikan kembali informasi tentang lokasi relatif dan tanda-tanda tentang lingkungan fisik (Tolman 1932, Moore dan Colledge, 1976). Image yang terbentuk termasuk elemen yang diperoleh dari pengamatan langsung, dari seseorang yang pernah mendengar langsung tentang suatu tempat, dan dari informasi yang telah dibayangkan. Hal ini termasuk pengaruh dari struktur atau penampilan suatu tempat yang kesemuanya bergantung dari lokasi, fungsi dan maknanya. Beberapa image dapat menjadi hal terbaik sebagai tanda penunjuk (Neisser, 1977).

  Pemetaan kognitif merupakan aspek utama terhadap tingkah laku manusia sehari-hari. Roger Downs dan David Stea (1973) menjelaskan:

  “Kami memandang pemetaan kognitif sebagai suatu komponen dasar bagi manusia untuk beradaptasi, dan pemetaan kognitif sebagai sesuatu yang dibutuhkan untuk manusia bertahan dan tingkah laku sehari-hari. Hal ini mencakup pemikiran dalam menjawab dua permasalahan mendasar yaitu kecepatan dan efisiensi: (1) Dimana benda itu berada; (2) Bagaimana mencapai kesana dari tempat ini.”

  Orientasi ruang telah pernah didefinisikan oleh Passini (1984) sebagai “kemampuan orang untuk menentukan posisinya dalam sebuah gambaran lingkungan menjadi memungkinkan melalui pemetaan kognitif”. Orang yang telah besar disuatu kota dan membangun orientasi mereka sendiri sebagai kebutuhan utama dari struktur mereka. Bagian-bagian yang terpenting adalah elemen-elemen yang berkelanjutan seperti sungai, jalur pergerakan, fasade jalan, dan tanda-tanda yang menyolok. Orang yang telah hidup dalam berbagai lingkungan menggunakan sistem orientasi yang berbeda karena beberapa kebutuhan mereka yang berbeda-beda.

  Penelitian ini merupakan sebuah proses pemanggilan dan menguraikan kembali informasi yang disimpan manusia (information retrieval) melalui penggambaran peta mental (coqnitive mapping) pengamat mengenai lingkungannya.

2.4 Kadar Image/Citra

  Suatu kota yang sangat berkesan, pemukiman, komplek bangunan, atau interior bangunan adalah satu yang dilihat sebagai sebuah sistem dari komponen yang terstruktur dengan baik yang saling berhubungan dengan yang lainnya. Penerapannya kepada kedua rancangan dan keperluan bentuk tiga dimensi, seperti hasil kajian Ulrich Neisser (1977), skematik untuk menganalisa dan membentuk image adalah sama.

  Image suatu tempat akan terus diperkaya dan disempurnakan sepanjang terus

  dipergunakan (Steinitz 1968). Jika struktur dari suatu tempat telah berubah, image orang terhadap tempat tersebut juga akan berubah jika orang tersebut terus mempergunakannya. Hal itu juga dapat berubah jika orang tersebut berbicara Sering terdapat suatu hal penting yang tertinggal antara perubahan lingkungan dengan perubahan image, dengan hasil yang dibicarakan mengarah kepada keadaan masa lalu daripada situasi sekarang.

  Image mental terdiri dari beberapa kelompok elemen. Porteous (1977)

  menjelaskan:

  “Sebuah pusat perbelanjaan, sebagai contoh, tidak hanya dikenal sebagai daerah yang formal dan berfungsi jelas dari suatu kota, tetapi itu dapat terlihat sebagai sebuah node, tempat pertemuan dari path, diperjelas oleh edges dan di identifikasi oleh karakteristik landmark.”

  Pemetaan kognitif menyerupai kepada susunan dari beberapa ciri khas yang berhubungan dengan path. Tidak semua dari beberapa elemen sama penting dalam sebuah kawasan yang khas. Pocock dan Hudson (1978) telah menyusun melalui tabel, dimana menunjukkan suatu hubungan yang penting dari kategori setiap elemen di dalam image umum dari beberapa kota. Penelitian ini menguatkan penemuan Lynch dan memberikan suatu indikasi dari karakter pribadi dari masing-masing kota.

  Beberapa kota kaya akan elemen-elemen yang jelas dan kota lainnya minim akan elemen tersebut, beberapa kota telah meberikan sumbangan yang berarti bagi kotanya. Satu hal yang paling banyak dimiliki kota secara umum adalah beberapa

  edge yang tidak jelas, meskipun Saarinen (1968) menemukan beberapa edges menjadi penting dalam penelitiannya di Chicago.

districts, nodes, landmarks, dan edges menjadi kebutuhan yang sangat penting dalam

  image orang yang mendiami suatu kota, yaitu: 1.

  Berdasarkan teori Gestalt dinyatakan bahwa persepsi manusia hanya bisa dimengerti melalui proses holistik. Menurut teori Gestalt, keseluruhan lebih bermakna daripada penjumlahan bagiannya, yang berarti seseorang mempersepsikan suatu lingkungan sebagai suatu pola holistik (Holistic Pattern), termasuk prinsip-prinsip kedekatan (proximity), kesamaan (similarity), berkelanjutan (continuity), dan pengakhiran (closure).

  Hukum Gestalt mengenai organisasi visual yang mana dilakukan untuk menjelaskan observasi Lynch mengenai pemetaan kognitif. Paths dan

  edges adalah elemen yang berkelanjutan (continuity). Districts dapat

  dijelaskan dalam bentuk kedekatan (proximity) dan kesamaan (similarity) dari beberapa elemen termasuk suatu garis batas, lalu landmark terbentuk dari elemen yang berbeda dengan sekelilingnya. Nodes sulit untuk dijelaskan dalam pengertian psikologi Gestalt.

  2. Christian Norberg-Schultz (1971) telah mengidentifikasi tiga elemen dasar dalam pemetaan kognitif, yaitu places, paths, dan domain. Places mengarah kepada Loci, sama dengan nodes dan landmarks yang dikemukakan Lynch, dimana kegiatan berpengaruh kepada individu yang mendiami suatu tempat. Paths merupakan elemen yang sedangkan domain merupakan area menyerupai district-nya Lynch, yang mengandung kesamaan elemen yang tertutup. Domain bertindak sebagai tempat atau bidang bagi paths dan places. Hubungan antara penjelasan Norberg-Schultz dan teori Gestalt tidak terlihat sama sekali.

  3. David Stea (1969) mengidentifikasi empat ciri khas dasar dalam pemetaan kognitif, yaitu points, boundaries, paths, dan barriers. Points disini sama dengan nodes, dan boundaries sama dengan edges, sedangkan barriers sama dengan edges yang melintasi paths.

  Telah jelas semua penelitian mengenai pemetaan kognitif dan orientasi manusia di dalam lingkungan buatan dimana hukun Gestalt mengenai organisasi visual menjadi prediksi penting bagi kebutuhan dari sebuah kota atau bangunan yang diperlukan bagi manusia. Lynch, Norman-Schultz, Stea dan lainnya (seperti Appleyard, 1970 dan Clay, 1973) mungkin menggunakan terminologi yang berbeda untuk elemen yang mereka identifikasi dan penting dalam menyusun mental dari kota dan bangunan, tetapi kesimpulan mereka memiliki kesamaan.

2.5 Citra Kota

  

Teori mengenai citra place sering disebut sebagai milestone, suatu teori

  penting dalam perancangan kota, karena sejak tahun 1960-an teori citra kota mengarahkan pandangan perancangan kota ke arah yang memperhatikan pikiran terhadap kota dari orang yang hidup di dalamnya. Teori-teori berikutnya sangat dipengaruhi oleh teori tokoh ini. Teori ini diformulasikan oleh Kevin Lynch,seorang tokoh peneliti kota (Lynch, Kevin. Image of city. Cambridge, 1969). Risetnya didasarkan pada citra mental jumlah penduduk dari kota tersebut. Dalam risetnya, ia menemukan betapa pentingnya citra mental itu karena citra yang jelas akan memberikan banyak hal yang sangat penting bagi masyarakatnya, seperti kemampuan untuk berorientasi dengan mudah dan cepat disertai perasaan nyaman karena tidak merasa tersesat, identitas yang kuat terhadap suatu tempat, dan keselarasan hubungan dengan tempat-tempat yang lain.

  Citra kota dapat didefinisikan sebagai berikut:

  “Sebuah citra kota adalah gambaran mental dari sebuah kota sesuai dengan rata-rata pandangan masyarakatnya......”

  Kevin Lynch di dalam risetnya meminta para penduduk untuk menjelaskan kepadanya suatu gambaran mental terhadap kota mereka: Apa yang diingat? Di mana letaknya di dalam kawasan? Bagaimana rupanya? Kemana saya harus pergi dari tempat ini ke tempat yang lain? Lynch mengamati dengan baik bahwa rata-rata berbagai jawaban yang diberikan orang agak sama, dan sering jauh berbeda dengan realitas di dalam kawasannya. Misalnya, sketsa-sketsa yang dibuat orang dengan tim peneliti sering jauh berbeda dengan peta kota yang sebenarnya. Ia mengamati bahwa sketsa, melainkan karena kesulitan mereka untuk mengingat keadaan tempatnya.

  Lynch mengamati bahwa di beberapa kota dan di berbagai kawasan masalah tersebut lebih sedikit dialami orang. Di dalam riset ini telah diteliti dari mana perbedaan itu berasal dan mengapa di berbagai kota orang memiliki gambaran mental yang lebih kuat terhadap kawasannya daripada ditempat lain. Berdasarkan analisis tersebut, Lynch (1960) menemukan tiga komponen yang sangat mempengaruhi gambaran mental orang terhadap suatu kawasan, yaitu:

  1. Identitas

  “Merupakan obyek atau elemen dalam suatu kota yang mempunyai cirri khas sebagai jati diri yang dapat membedakan dengan kota lainnya”.

  2. Struktur

  “Mencakup pola hubungan antara obyek/elemen dengan obyek/elemen lain dalam kota yang mudah dipahami/dikenali oleh manusia sebagai pengamat. Struktur ini berkaitan erat dengan fungsi kota tersebut”.

  3. Makna

  “Merupakan pemahaman arti oleh manusia sebagai pengamat, terhadap dua factor di atas”.

  Kevin Lynch mengamati bahwa tiga potensi ini lebih mudah ditemukan di beberapa kota (misalnya Boston, Amerika Serikat), sedangkan sulit di kota-kota lainnya (misalnya New Jersey, Amerika Serikat). Jika dibandingkan, perbedaan memakai kriteria-kriteria lain untuk mengingat identitas, struktur, dan arti kawasan perkotaan daripada peta kota. Kriteria-kriteria umum yang dipakai oleh masyarakat adalah citra terhadap tempatnya.

  Elemen-elemen apakah yang dipakai untuk mengungkapkan citra perkotaan? Menurut Kevin Lynch, citra kota dapat dibagi dalam lima elemen, yaitu path (jalur),

  

edge (tepian), district (kawasan), node (simpul), serta landmark (tengeran). Setiap

  elemen citra tersebut akan dijelaskan satu demi satu, serta akan diilustrasikan salah satu contoh keadaannya di dalam satu kota di Indonesia, yaitu Yogyakarta. Oleh karena istilah dari bahasa Inggris untuk lima elemen tersebut sudah begitu umum dipakai di dalam konteks bahasa Indonesia, maka istilah-istilah itu akan dipakai dalam buku ini pula.

  1. Path (jalur)

  Path (jalur) adalah elemen yang paling penting dalam citra kota. Kevin

  Lynch menemukan dalam risetnya bahwa jika identitas elemen ini tidak jelas, maka kebanyakan orang meragukan citra kota secara keseluruhan. Path merupakan rute-rute sirkulasi yang biasanya digunakan orang untuk melakukan pergerakan secara umum, yakni jalan, gang-gang utama, jalan transit, lintasan kereta api, saluran, dan sebagainya. Path mempunyai identitas yang lebih baik kalau memiliki tujuan yang besar (misalnya ke stasiun, tugu, alun-alun, dan lain-lain), serta ada penampakan yang kuat (misalnya fasad, pohon, dan lain-lain), atau ada belokan yang jelas.

  Edge (tepian)

  Edge (tepian) adalah elemen linear yang tidak dipakai/dilihat sebagai

  path. Edge berada pada batas antara dua kawasan tertentu dan berfungsi sebagai pemutus linear, misalnya pantai, tembok, batasan antara lintasan kereta api, topografi, dan sebagainya. Edge lebih bersifat sebagai referensi daripada misalnya elemen sumbu yang bersifat koordinasi (linkage). Edge merupakan penghalang walaupun kadang-kadang ada tempat untuk masuk. Edge merupakan pengakhiran dari sebuah district atau batasan sebuah district dengan yang lainnya. Edge memiliki identitas yang lebih baik jika kontinuitas tampak jelas batasnya. Demikian pula fungsi batasnya harus jelas:membagi atau menyatukan.

3. District (kawasan)

  District (kawasan) merupakan kawasan-kawasan kota dalam skala dua

  dimensi. Sebuah kawasan district memiliki ciri khas yang mirip (bentuk, pola, dan wujudnya) dan khas pula dalam batasnya, di mana orang merasa harus mengakhiri atau memulainya. District dalam kota dapat dilihat sebagai referensi interior maupun eksterior. District mempunyai identitas yang lebih baik jika batasnya dibentuk dengan jelas tampilannya dan dapat dilihat homogen, serta fungsi dan posisinya jelas (introver/ekstrover atau berdiri sendiri atau dikaitkan dengan yang lain).

  4. Node (simpul)

  Node (simpul) merupakan simpul atau lingkaran daerah strategis di mana

  aktivitas lain, misalnya persimpangan lalu lintas, stasiun, lapangan terbang, jembatan, kota secara keseluruhan dalam skala makro besar, pasar, taman, square, dan sebagainya. (Catatan: tidak setiap

  persimpangan jalan adalah sebuah node. Yang menentukan adalah citra place terhadapnya). Node adalah satu tempat dimana orang mempunyai

  perasaan masuk dan keluar dalam tempat yang sama. Node mempunyai identitas yang lebih baik jika tempatnya memiliki bentuk yang jelas (karena lebih mudah diingat), serta tampilan berbeda dari lingkungannya (fungsi, bentuk).

  5. Landmark (tengeran)

  Landmark (tengeran) merupakan titik referensi seperti elemen node,

  tetapi orang tidak masuk ke dalamnya karena bisa dilihat dari luar letaknya. Landmark adalah elemen eksternal dan merupakan bentuk visual yang menonjol dari kota, misalnya gunung atau bukit, gedung tinggi, menara, tanda tinggi, tempat ibadah, pohon tinggi, dan sebagainya. Beberapa landmark letaknya dekat, sedangkan yang lain jauh sampai diluar kota. Beberapa landmark hanya mempunyai arti di daerah kecil dan dapat dilihat hanya di daerah itu, sedangkan landmark lain mempunyai arti untuk keseluruhan kota dan bisa dilihat dari mana-mana. Landmark adalah elemen penting dari bentuk kota karena membantu orang untuk mengorientasikan diri di dalam kota dan membantu orang mengenali bentuknya jelas dan unik dalam lingkungannya, dan ada sekuens dari beberapa landmark (merasa nyaman dalam orientasi), serta ada perbedaan skala masing-masing.

2.6 Peranan Citra Kota bagi Kota Baru

  Citra kota merupakan kesan fisik yang memberikan ciri khas atau identitas fisik kepada kota sehingga citra kota yang teridentifikasi merupakan identitas fisik bagi suatu kota baru. Menurut Lynch (1982) elemen pembentuk citra kota dapat menstrukturkan identitas kota. Menurutnya semakin nyata atau semakin jelas (secara visual) penempatan elemen-elemen pembentuk citra kota dalam suatu lingkungan tersebut maka semakin mudah bagi seseorang untuk mengenal dan mengingat lingkungan tersebut.

  Elemen-elemen tersebut akan menjadi identitas atau ciri khas visual kota melalui penataan elemen-elemen pembentuk citra kota yang baik dapat memunculkan identitas kota ataupun memperkuat identitas kota yang sudah ada. Oleh sebab itu citra kota dapat membantu kota baru untuk memunculkan identitas (secara fisik) kota dan membantu dalam hal pemasaran kota.

  

2.7 Aspek-aspek yang Dipertimbangkan dalam Mengidentifikasi Citra Kota

Baru Berdasarkan Persepsi Masyarakat

  Berdasarkan teori-teori yang telah diuraikan, maka dalam upaya mengindentikasikan citra kota dengan menstrukturkan elemen dan faktor pembentuk citra kota, perlu dipertimbangkan aspek-aspek berikut: 1.

  Karakteristik Masyarakat a.

  Berdasarkan persepsi personal masyarakat kota baru, karakteristik masyarakat dibedakan antara penghuni dengan pengunjung.

  b.

  Berdasarkan posisi pengamat kota baru, karakteristik penghuni dibedakan menurut lokasi tempat tinggal didalam kota baru tersebut.

  c.

  Berdasarkan waktu, karakteristik penghuni dibedakan menurut lama tinggal sedangkan pengunjung dibedakan menurut pengalaman berkunjung.

2. Kriteria Elemen Pembentuk Citra Kota

  Proses pengidentifikasian citra kota baru tidak dapat dilepaskan dari elemen fisik pembentuk citra kotanya. Sesuai dengan konsep citra kota menurut Lynch terdapat lima elemen pembentuk citra kota yaitu

  landmark, district, nodes, edge dan path. Kelima elemen tersebut

  merupakan elemen fisik akan tetapi citra kota pun dipengaruhi pula oleh elemen non fisik oleh karena itu perlu juga dipertimbangkan elemen- elemen non fisik.

3. Metode Identifikasi Citra Kota

  Pengidentifikasian faktor yang mempengaruhi persepsi masyarakat dalam pemilihan elemen pembentuk citra kota dan elemen citra kota baru perlu sudah ada. Metode yang akan digunakan dalam penelitian ini merupakan kombinasi dari ketiga metode yang telah diuraikan. Elemen-elemen fisik pembentuk citra kota baru diketahui dengan jawaban pertanyaan responden sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi masyarakat dalam pemilihan elemen pembentuk citra kota diketahui dari karakteristik masyarakatnya yang merupakan bagian dari faktor internal dan juga mengidentifikasi faktor eksternal yang juga ikut mempengaruhi persepsi masyarakat. Dengan demikian dapat diketahui apakah elemen yang berkesan menimbulkan perasaan yang positif lalu responden juga ditanya mengenai elemen-elemen fisik yang mereka sukai beserta alasannya.

2.8 Dasar-Dasar Perancangan Kawasan

  Sebagai suatu usaha penataan lingkungan binaan, maka perancangan kawasan memiliki nilai-nilai tersebut dapat dianut oleh semua orang secara universal (misalnya: keindahan), dan ada pula yang hanya dianut oleh sebagian orang atau kultur tertentu ini dapat kita sebut sebagai nilai lokal. Usaha penataan dilakukan dengan mengikuti suatu proses dan kriteria desain tertentu, dan proses kriteria ini juga ada yang disepakati secara umum dan ada pula yang hanya disepakati oleh suatu proses perancangan kawasan yang berbeda pula. Hal ini disebabkan mungkin karena terjadi pergeseran paradigma (cara pandang terhadap kebenaran).

  Dalam proses perancangan kawasan, dilakukan langkah-langkah yang dapat didukung oleh metode dan teknik tertentu. Dalam khasanah pengetahuan bidang perancangan kota, telah dikembangkan banyak metode dan teknik untuk mendukung proses perancangan kawasan.

  Dasar-dasar perancangan kawasan berupa produk Rancangan Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL) yang disusun berdasarkan pola penanganan penataan bangunan yang ditetapkan sebelumnya (oleh pemda setempat) dan harus dapat menjadi panduan pelaksanaan kegiatan fisik penataan bangunan untuk suatu lingkungan (district).

  Pola-pola penataan bangunan ini dapat dilakukan pada:

  1. Lingkungan yang telah terbangun, dalam rangka pembangunan parsial, peremajaan, pembangunan kembali, revitalisasi atau regenerasi suatu lingkungan.

  2. Lingkungan bangunan yang dilestarikan.

  3. Pembangunan lingkungan baru yang potensial berkembang.

  4. Campuran dari ketiga pola di atas.

  Menurut Lang (1994), disebutkan kegunaan panduan ini adalah: 1.

  Mendefinisikan dan merancang kebutuhan publik .

  2. Mengkhususkan dan atau membatasi fungsi dan bentuk bangunan.

  3. Memperkirakan tipe-tipe khusus pembangunan.

  4. Melakukan upaya preservasi terhadap lingkungan terbangun yang sudah ada.

  5. Menentukan peruntukan atau lokasi public art sebagai penunjang nilai- nilai estetis.

2.8.1 Pendekatan dasar rancang kota

  Dua elemen pendekatan dasar rancang kota menurut Lang yaitu: 1.

  Elemen substantif (substantive element), merupakan elemen yang bersifat fisik maupun non fisik yang membentuk kualitas lingkungan. Lingkungan yang bersifat sosiogenik maupun biogenik. Produk perancangan ini harus mampu mengakomodasi elemen sosiogenetik yang memperhatikan aspek kultural masyarakat, aspek tata nilai yang berlaku umum (cognitive) dan aspek perilaku (behavioural).

  2. Elemen prosedural (procedural element), merupakan elemen yang memuat proses rancang kota yang melibatkan berbagai pelaku dan kebijakan yang berlaku.

2.8.2 Pemahaman kawasan kota

   Kota merupakan tempat tinggal dan tempat bekerja bagi sebagian penduduk

  dunia, merupakan tempat yang dapat memberi peluang atau harapan untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik bagi sekelompok orang, dan merupakan tempat yang menarik penduduk dari pinggiran kota dari waktu ke waktu (Wilsherrdalarri Branch, 1996). Pemahaman terhadap suatu kota diawali dengan pemahaman terhadap lingkungan kota atau kawasan kota yang dapat diartikan sebagai keseluruhan proses yang berputar dari pembentukan kognisi, schemata serta peta mental (Haryadi, 1995). Sedangkan kawasan kota adalah merupakan suatu lingkungan kota yang mempunyai fungsi tertentu (Ditjen Cipta Karya Dep. PU, 1979).

  Menurut Rapoport (1977), hal tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.1 dimana menunjukkan bahwa pemahaman lingkungan kota meliputi proses pemahaman yang menyeluruh dan menerus tentang suatu lingkungan oleh seseorang. Untuk lebih jelas lagi perhatikan Gambar 2.1 dibawah ini.

  Filter Individu Dengan Test

  Latar Lingkungan Lingkungan Dengan Belakang Yang

  Perilaku Kognisi Baru Informasi

  Budaya, Terekam Yang Dari Pengalaman

  (Kognisi Nyata Lingkungan Dan Sementara) Informasi

  Tertentu

Gambar 2.1 Model Pemahaman Kawasan Kota

  (Sumber: Rapoport, 1977) Dari Gambar 2.1 tersebut di atas, menjelaskan bahwa kognisi mengenai suatu kawasan kota merupakan suatu pengetahuan, pemahaman dan pengertian yang dinamis dan berputar. Setiap menjumpai suatu kawasan yang baru, seseorang berusaha membentuk kognisinya terhadap kawasan tersebut berdasar latar belakang pendidikan, kultur, serta pengalamannya. Proses ini menghasilkan apa yang disebut kawasan yang terkognisikan pada tahap awal atau kognisi sementara. Kognisi sementara ini kemudian diuji dengan informasi yang muncul dari kawasan lain, serta pengalaman yang berkembang dari manusia tersebut. Hasilnya merupakan suatu kognisi baru terhadap kognisi sementara yang telah muncul sebelumnya. Kognisi baru ini yang kemudian mempengaruhi pola perilaku manusia. Secara berputar, perilaku ini kemudian kembali berpengaruh terhadap proses kognisi manusia tersebut terhadap kawasan baru yang dikunjungi atau ditempati. Dengan demikian gambar tersebut menegaskan bahwa pemahaman kawasan seseorang sangat bersifat subjektif dan dinamis. susunannya selalu berlainan, sehingga urutan dan tata jenjang isyarat lingkungan yang dapat dipahami dan dimanfaatkan manusia pada lingkungan senantiasa berbeda- beda. Dibandingkan dengan lingkungan binaan yang lain, ciri khas kota sebagai karya arsitektur terletak pada konstruksi keruangannya yang berskala luas dan rumit. Kota, selain tampil sebagai medan penyerapan (obyek persepsi) dan medan perilaku keruangan warganya yang beraneka ragam, juga merupakan sasaran tindakan para perencana dan perancang yang secara langsung ataupun tak langsung mengubah struktur kota berdasarkan alasan masing-masing, sehingga meski lingkungan perkotaan secara garis besar nampak selalu mantap dan utuh, dalam kenyataan senantiasa mengalami perubahan di dalamnya.

  Menurut Sudrajat (1984), bahwa pemahaman dan pengetahuan menusia tentang lingkungan kota tidak diperoleh dengan sendirinya secara sepihak, tetapi melalui suatu rangkaian proses timbal balik yang dinamis. Namun tidak menyatakan dirinya sebagai pengamat yang pasif, tetapi sebagai tokoh penting yang berperan aktif di atas pentas peristiwa hubungan timbal-balik manusia dengan lingkungannya, dari waktu ke waktu secara berkesinambungan.

  Untuk memperoleh gambaran tingkat pemahaman lingkungan kota, baik dari warga kotanya, maupun dari pendatang kotanya, menurut David Canter (1974), dapat ditempuh dengan tiga prosedur, yakni: 1.

  Sketsa, dengan meminta seseorang menggambar peta lingkungan perkotaan berdasarkan ingatan, untuk mengenali elemen-elemen utama

  2. Opini/pendapat (description), dengan meminta seseorang untuk memberi komentar atau opini tentang lingkungan perkotaannya. Penggunaan teknik tanya jawab dapat digunakan untuk menyederhanakan dan mengendalikan bentuk tanggapan tersebut. Hal ini, berkaitan langsung dengan ungkapan strategi bahasa yang digunakan untuk menyimpan informasi dalam ingatan.

Dokumen yang terkait

1. Identitas Responden - Pengaruh Lingkungan Kerja, Kompetensi dan Disiplin Kerja Terhadap Kinerja Di Badan Pertanahan Nasional Kota Medan

0 2 22

Pengaruh Lingkungan Kerja, Kompetensi dan Disiplin Kerja Terhadap Kinerja Di Badan Pertanahan Nasional Kota Medan

0 5 23

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah - Pengaruh Lingkungan Kerja, Kompetensi dan Disiplin Kerja Terhadap Kinerja Di Badan Pertanahan Nasional Kota Medan

0 3 11

Pengaruh Lingkungan Kerja, Kompetensi dan Disiplin Kerja Terhadap Kinerja Di Badan Pertanahan Nasional Kota Medan

0 0 10

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Perbandingan Delik Penyertaan Menurut KUHP dan Hukum Islam

0 0 22

BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK KORBAN TINDAK PIDANA HUBUNGAN SEKSUAL SEDARAH A. Undang-Undang No. 1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana - Perlindungan Hukum terhadap Anak Korban Tindak Pidana Hubungan Seksual Sedarah (Studi Kasus

0 0 20

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Perlindungan Hukum terhadap Anak Korban Tindak Pidana Hubungan Seksual Sedarah (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Binjai

0 1 34

Pengaruh Kualitas Pelayanan Kunjungan Dan Nilai Pengunjung Terhadap Kepuasan Pengunjung Lembaga Pemasyarakatan Kelas Iia Anak Medan

0 0 29

BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN 2.1 Penelitian Terdahulu - Pengaruh Kualitas Pelayanan Kunjungan Dan Nilai Pengunjung Terhadap Kepuasan Pengunjung Lembaga Pemasyarakatan Kelas Iia Anak Medan

0 0 20

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah - Pengaruh Kualitas Pelayanan Kunjungan Dan Nilai Pengunjung Terhadap Kepuasan Pengunjung Lembaga Pemasyarakatan Kelas Iia Anak Medan

0 0 13