Perda Syariah Islam Rekayasa Institusion

Perda syariah Islam, rekayasa institusional dan masa depan
demokrasi
Ahmad Norma Permata
Institut für Politikwissenschaft Westfälische Wilhelms-Universtät
Scharnhorstraße 100 48043 - Münster Deutschland
E-mail: anpermata@yahoo.com
This article discusses the mushrooming of district regulations inspired by Shariah or Islamic
law, the so called Perda Syariah Islam (or PSIs), from Political Science perspective. It opens
the discussion by explaining the phenomena of PSIs in terms of political behavior: i.e. how
Islamism—a political tendency to formalize Islamic teachings into political and social
systems—is a product of political history of Muslim community in Indonesia, and how the
Islamists have utilized the history to articulate their political interests. It then introduces the
concept of institutional engineering—a political process in which politicians compete against
each other to formulate the political rules of the game—to portrait the process by which
Islamists have struggled to enact the PSIs. Next, it examines the democratic status of PSI, by
showing that while they might claim a high degree of representativeness, PSIs have only low
level of accountability. Finally, the article proposes a number of options in (re)designing the
democratic political institutions in Indonesia in order to foster the process of democratic
consolidation as well as to prevent negative side effects of the process, such as the
unaccountable Shariah laws.
Keywords: Perda syariah Islam, Institutional engineering, Representation, Accountability of

democracy, Design of democracy

You can’t remove darkness.
Bring the lights in, and darkness will vanish.
(Hikmah Perennial)

Pendahuluan
Tidak diragukan lagi maraknya kemunculan Peraturan Daerah bernuansa nilai-nilai syariah
Islam, atau yang dikenal dengan sebutan Perda Syariah telah mengundang diskusi dan
kontroversi. Perdebatan ini seakan menjadi favorit berbagai komunitas, baik diskusi-diskusi
akademik, di media massa maupun di forum-forum virtual di internet. Bahkan isu ini pun
sudah memancing perhatian dan komentar kalangan internasional (Antara, 22.12.2006).
1

Intensnya perdebatan tentang Perda Syariah Islam (PSI) ini tidak lepas dari materi
yang terkandung dalam topik itu sendiri, yaitu soal agama. Pertama, berbeda dengan hal-hal
yang lain, di kalangan pengikutnya agama memiliki sifat yang melingkupi berbagai persoalan
secara individu maupun sosial. Gagasan penerapan nilai-nilai agama dalam konteks
kehidupan sosial melalui peraturan formal tidak terelakkan lagi akan mengundang komentar
dan pendapat banyak pihak, karena hal itu akan memengaruhi kehidupan mereka, baik positif

maupun negatif. Kedua, demikian pula dengan intensitas diskusi tersebut, faktor muatan
agama telah menjadikan topik ini seolah-olah persoalan genting yang harus menjadi perhatian
seluruh bangsa. Bagi para pengikutnya agama adalah persoalan ultim, atau kepentingan
tertinggi yang harus didahulukan di atas persoalan lain, dan diperjuangkan serta dibela dan
dipertahankan dengan segala daya dan upaya (Permata, 2000).
Pada gilirannya, karena lebih banyak didorong oleh sentimen—positif maupun
negatif—terhadap muatan keagamaan, topik PSI mendorong diskusi-diskusi yang ada
cenderung ideologis dan emosional yang berisi perang klaim yang sulit diverifikasi secara
empirik, dan bukan diskusi rasional untuk menjelaskan persoalan dan mencari penyelesaian.
Di satu sisi, pihak-pihak yang setuju dengan PSI cenderung menganggap bahwa PSI adalah
panasea, obat yang bisa menyembuhkan segala penyakit, yang akan menyelesaikan berbagai
silang-sengkarut persoalan yang dihadapi bangsa ini, mulai dari persoalan moralitas-budaya,
perbaikan ekonomi dan pemberantasan korupsi, hingga politik kenegaraan (Fahmi, 2006). Di
sisi lain, kalangan yang tidak setuju cenderung menganggap bahwa, bukannya menyelesaikan
PSI akan menimbulkan persoalan baru yang lebih besar dan membahayakan masa depan
kehidupan bersama. Menurut kelompok ini, maraknya PSI di berbagai daerah adalah
perkembangan yang inkonstitusional karena negara telah mempromosikan dan memformalkan
nilai-nilai agama tertentu, padahal Indonesia adalah bangsa yang plural secara agama. Lebih
lanjut kelompok ini menggarisbawahi fakta bahwa PSI lebih banyak mengarah pada persoalan
moral yang subjektif dan abstrak ketimbang menjawab persoalan sosial, ekonomi maupun

politik; bahkan PSI dianggap melanggar nilai-nilai HAM universal karena diskriminatif
terhadap perempuan dan kelompok minoritas pada umumnya, serta akan memancing tumbuh
dan berkembangnya radikalisme agama di Indonesia (Aguswandi, 2006; Dhume, 2005).
Begitu intensnya perseteruan di atas, kedua belah pihak yang sedang berdebat seolah
lupa fakta bahwa di kolong langit tidak pernah ada hal-hal yang sepenuhnya baik, atau
sepenuhnya buruk. Segala sesuatu pasti memiliki sisi baik dan sisi buruk. Dengan
pertimbangan ini pula artikel ini akan membatasi diri untuk mendiskusikan persoalan PSI dari
kaca mata ilmu politik untuk menguraikan aspek positif maupun negatif dari perkembangan
2

PSI di berbagai daerah. Pertama, akan dibahas maraknya PSI ini dari kaca mata studi perilaku
politik (political behavior) dari para politisi yang terlibat. Kedua, diskusi akan dilanjutkan
dengan memperkenalkan konsep rekayasa institusional (institutional engineering), yaitu
proses politik di mana para politisi saling berebut membuat aturan yang menguntungkan diri
dan/atau pihak mereka, sebagai konsep untuk menjelaskan fenomena maraknya PSI. Ketiga,
kecenderungan PSI yang sudah berhasil diundangkan akan dianalisis dengan kaca mata
konsep representativeness dan accountability untuk mengetahui status demokrasi PSI.
Terakhir, akan diusulkan beberapa poin penting dalam mendesain institusi politik di
Indonesia yang representatif terhadap aspirasi dan akuntabel terhadap kepentingan politik
masyarakat.

Perda syariah Islam dan perilaku politik islamis1
Dari kacamata ilmu politik (Politikwissenschaft), maraknya PSI di berbagai wilayah yang
kontroversinya begitu gegap-gempita sebenarnya bisa dijelaskan dengan menganalisis
perilaku politik para politisi Islamis. Ada dua pendekatan yang biasanya dipakai untuk
menjelaskan fenomena perilaku politik: yaitu pendekatan sosiologi politik (political
sociology) di satu sisi, serta pendekatan politik-kepentingan (rational choice) di sisi lain.
Pendekatan ini sering dilawankan, tapi sebenarnya bisa dipadukan.
Pendekatan sosiologi politik menjelaskan bagaimana orientasi nilai dan ideologi dari
sebuah komunitas juga merupakan produk dari proses yang lebih besar lagi, yaitu proses
sejarah yang dijalani oleh komunitas tersebut. Pandangan ini berangkat dari karya pionir
Samuel Martin Lipset dan Stein Rokkan (1967), yang menunjukkan bagaimana ideologiideologi politik yang ada di Eropa barat merupakan produk sejarah—perang dan damai—
yang dijalani masyarakat Eropa (von Beyme, 1985: bab 2).
Analisis sosiologi politik mengajak untuk menengok bagaimana orientasi nilai dan
ideologi dari sebuah komunitas merupakan produk dari proses sejarah yang panjang yang
1

Istilah “Islamis”—Jerman: Islamistisch; Perancis: Islamisme; Inggris: Islamist—merujuk kepada
orientasi ideologis atau pemikiran keagamaan di kalangan Muslim yang menginginkan Islam bukan hanya
sebagai inspirasi melainkan juga sebagai simbol dan perangkat formal dalam berbagai aspek kehidupan
masyarakat. Dalam tradisi intelektual Barat, istilah Islamisme pertama kali dicetuskan oleh filsuf Perancis

Voltaire yang dimaksudkan sebagai istilah yang lebih baik untuk mengganti istilah Mahometisme dalam
menamai agama orang-orang Arab. Namun istilah ini kemudian ditinggalkan—bersama istilah
Mohammedanism—setelah para pengaji Islam dari kalangan Orientalis klasik seperti H.A.R Gibb memopulerkan
istilah Islam dalam rangkaian terbitan Ecyclopeadia of Islam. Belakangan, istilah ini muncul kembali dan
semakin populer untuk menamai tendensi dan paham keagamaan tertentu di kalangan umat Islam yang memiliki
orientasi kuat untuk menjadikan agama sebagai sumber tertinggi yang mengatur berbagai aspek kehidupan baik
privat maupun publik. Istilah lain yang sering dijadikan sinonim adalah political Islam, Salafisme, dan
Fundamentalisme (Kramer, 2004).

3

pernah dijalani oleh komunitas yang bersangkutan. Mengikuti logika ini, keberadaan politisi
Muslim yang berideologi Islamis sebenarnya sekedar salah satu produk dari proses sejarah
yang telah dijalani umat Islam di Indonesia. Sebagaimana banyak direkam oleh para
sejarahwan, sepanjang sejarah republik ini umat Islam Indonesia banyak mengalami tekanan
dan marginalisasi. Meskipun sebenarnya tekanan itu tidak semuanya bersifat keagamaan,
melainkan lebih kepada persoalan politik dan ekonomi, namun karakter agama yang serba
melingkupi, sebagaimana disinggung di awal tulisan ini, telah membuat umat Islam
memahami dan membahasakan hal tersebut dalam terma-terma keagamaan.
Menarik untuk menyimak penjelasan Imaduddin Shahin, intelektual Islam dari Mesir

dan direktur Institute Ibnu Khaldun di Kairo, kemunculan kelompok Islamis adalah fenomena
tipikal di negeri-negeri Muslim pasca-kolonial, sebagaimana banyak terjadi di Afrika Utara.
Manurut Syahin, politisi Muslim yang banyak berjasa dalam perjuangan kemerdekaan
mengusir penjajahan kolonial ternyata mendapatkan diri mereka ditindas dan dimarginalisasi
aspirasi politik mereka oleh rezim sekuler pasca kolonial. Kelompok ini kemudian melakukan
resistensi dan menjadi makin Islamis, serta mengkonsolidasikan diri ke dalam gerakan yang
sistematik dan terorganisir dengan baik untuk memperjuangkan politik Islamis. Meski pada
awalnya kecil, namun karena organisasi yang rapi serta reputasi yang bersih peduli dengan
penderitaan masyarakat, dan kontras citra kebanyakan politisi yang korup dan hanya mengejar
kepentingan pribadi/golongan, kelompok ini tumbuh menjadi kekuatan yang solid, diharapkan
oleh kelompok lemah sekaligus ditakuti oleh status quo (Shahin, 1998).
Sejarah sebagaimana yang diuraikan Syahin juga terjadi dalam sejarah umat Islam
Indonesia, di mana aspirasi politik umat Islam tampak mengalami banyak hambatan. Pasca
kemerdekaan, upaya untuk kembali kepada Piagam Jakarta gagal karena pimpinan umat Islam
sepakat untuk mengakomodasi wilayah Indonesia Timur, namun dikompensasi dengan
pembentukan Departemen Agama, sebagai wadah umat Islam untuk menyalurkan
kepentingan kelompok mereka. Terbukti bahwa Depag memainkan peran vital dalam proses
Islamisasi melalui pembentukan jaringan birokrasi yang memfasilitasi pelaksanaan aspekaspek kehidupan agama di kalangan Muslim, serta pembangunan tempat ibadah. Puncaknya,
barangkali adalah keberhasilan menteri agama Mukti Ali melahirkan UU penyebaran agama,
yang melarang penyebaran agama kepada umat yang sudah memiliki agama (Hefner, 1984).

Namun, aspirasi politik Islamis—yang menginginkan Islam sebagai simbol formal
politik umat Islam—mengalami nasib tragis. Kebijakan-kebijakan pemerintah pusat terhadap
daerah-daerah yang mayoritas Muslim juga melahirkan resistensi militer dari umat Islam,
seperti Aceh, Kalimantan Selatan dan Sulawesi Selatan. Masyumi sebagai aspirasi politik
4

Islamis utama dibubarkan karena para pimpinannya terlibat dalam pemberontakan PRRI
(Hefner, 2000).
Memasuki era Orde Baru, para politisi Muslim berharap dapat menghidupkan kembali
Masyumi, namun gagal. Lebih parah lagi, upaya mereka membentuk parpol baru dengan
Parmusi pun tidak diijinkan oleh pemerintah; dan malahan pemerintah membuat sistem
kepartaian yang mengebiri aspirasi poltik umat Islam. Situasi ini membuat umat Islam
frustrasi dan terbelah. Ada kelompok yang tidak berdaya dan terkooptasi oleh kekuatan rezim
serta mengikuti aturan main yang dirancang oleh pemerintah Orba, seperti PPP yang bersedia
menjadi parpol oposisi-loyal-marginal; atau Muhammadiyah dan NU yang menjauh dari
permainan politik. Ada juga yang mencoba melepaskan identitas formal keislaman dan
mengambil peluang untuk aktif masuk ke dalam sistem kekuasaan untuk memperjuangkan
kepentingan umat Islam dari dalam. Contohnya adalah Nurcholish Madjid yang
memproklamirkan „Islam yes, partai Islam no!“, ataupun Akbar Tanjung dkk. yang masuk
aktif di berbagai lembaga inti Orde Baru, seperti KNPI, AMPI dan akhirnya Golkar. Namun

ada pula yang tetap memilih melakukan resistensi, baik secara langsung seperti GAM di Aceh
serta gerakan radikal lain, maupun dengan tidak langsung melalui aktivitas dakwah seperti
DDII masa M. Natsir maupun gerakan dakwah kampus yang dimotori Imaduddin
Abdurrahim. Belakangan, kemunculan ICMI bisa dipahami sebagai upaya untuk
mengkonsolidasikan berbagai kelompok di atas, namun tidak sepenuhnya berhasil (van
Bruinessen 2002, 2003a, 2003b; Hefner 2000).
Ketika Orde Baru tumbang, lahirlah Era Reformasi yang memberikan iklim
keterbukaan politik, di mana kelompok Islamis mendapatkan ruang yang selama ini tidak
mereka peroleh, untuk menjadikan Islam sebagai simbol dan sistem politik, dan berujung
kepada maraknya kemunculan PSI di wilayah-wilayah yang memang memiliki basis massa
Islamis. Sampai di sini kita bisa melihat bahwa keberadaan kelompok politisi Islamis—apa
pun nama partainya—merupakan realitas politik Indonesia yang secara historis punya hak
untuk eksis tidak mungkin diingkari (Liddle, 2003; Liddle & Mujani, 2006).
Pendekatan kedua yang biasa digunakan dalam menjelaskan perilaku politik adalah
perspektif rational choice, yang berpijak pada asumsi-asumsi ilmu ekonomi: bahwa manusia
adalah mahluk rasional yang tindakannya banyak dipengaruhi dorongan untuk memenuhi
kebutuhan dan kepentingannya. Dalam studi politik salah satu teori yang banyak dijadikan
rujukan para penganut pendekatan rational choice ini adalah karya Anthony Downs,
Economic Thory of Democacy (1957). Satu di antara pernyataan Downs yang sering dikutip,
terkait dengan perilaku politik adalah: “partai-partai politik tidaklah berupaya memanangkan

5

pemilu supaya bisa menerapkan kebijakan tertentu; tapi sebaliknya mereka menyusun
kebijakan supaya bisa memenangkan pemilu”. Maksudnya, menurut Downs dalam setiap
permainan politik yang lebih menonjol pastilah kepentingan politik, sedangkan aspek-aspek
lain sekedar pengikut dan pelengkap. Atau dalam tafsiran yang lebih lunak, parpol dan para
politisi akan bersedia dengan tulus memperjuangkan kepentingan politik tertentu, asalkan itu
juga disertai dengan kemenangan pemilu.
Dalam perspektif rational choice, maraknya PSI di berbagai daerah lebih merupakan
siasat para politisi—Islamis maupun bukan—untuk meraih kesuksesan politik. Dalam tilikan
ini, popularitas opsi penerapan PSI di berbagai daerah lebih merupakan hasil kalkulasi para
politisi yang meyakini bahwa PSI akan memberikan keuntungan kepada mereka. PSI adalah
soal kepentingan politik.2 Banyak pengamat membenarkan bahwa PSI tidak lebih dari strategi
untuk memenangkan pertarungan politik, karena Islam sudah menjadi kartu truf di pasar
politik Indonesia. Faktanya, PSI tidak hanya didukung oleh partai-partai yang secara
tradisional berhaluan Islamis, tapi juga partai pluralis bahkan nasionalis sekuler. Parpol
sekuler seperti PDIP pun mengembangkan sayap Islam (Tempo Interaktif, 2006). Pendekatan
simbolik tampaknya cukup efektif meyakinkan masyarakat yang tengah terjebak dalam iklim
reformasi yang penuh ketidakpastian ini.


Konsolidasi demokrasi dan rekayasa institutional
Dari diskusi di atas terlihat bahwa dalam analisis perilaku politik maraknya PSI adalah
perpaduan antara inspirasi ideologis dan kalkulasi kepentingan politik. Dalam hal ini, sebagai
sebuah proses politik meningkatnya popularitas PSI di kalangan politisi sama sekali tidak
aneh dan bahkan tidak baru. Dalam istilah studi politik proses ini dikenal dengan istilah
rekayasa institusional (institutional engineering), merujuk kepada proses pertarungan di
kalangan politisi untuk menentukan aturan main (Mueller, 2002).
Ini merupakan tahapan krusial dalam proses konsolidasi demokrasi, sebagaimana yang
sekarang sedang dihadapi di Indonesia. Ada tiga teori demokratisasi: Pertama, pendekatan
prosedural yang melihat proses konsolidasi demokrasi sebagai efektivitas dan stabilitas fungsi
institusi-institusi politik. Indikasi bahwa sebuah negara sudah mencapai tahap konsolidasi
demokrasi adalah dengan “two turn-over tests,” yaitu ketika sudah terjadi pergantian
2

Penting untuk dicatat di sini bahwa istilah “kepentingan” (interest) tidak serta-merta bermakna negatif dan
tidak identik dengan egoisme dan sikap mementingkan diri, meski memang bisa demikian. Istilah kepentingan
merujuk kepada keinginan atau kehendak terhadap sesuatu, dengan alasan baik maupun egoistik.

6


kekuasan dua kali kepada penguasa yang berbeda, secara damai melalui pemilu yang jujur
dan adil (Huntington, 1991: 266-267).
Kedua, pendekatan elitis (Rustow, 1970) yang melihat indikasi dari suatu konsolidasi
demokrasi berdasarkan perilaku politik dan interaksi antara aktor-aktor serta kelompokkelompok sosial yang relevan yang terlibat dalam proses tersebut. Dalam demokrasi yang
sudah terkonsolidasi, dalam kacamata pendekatan ini, akan tercapai apabila aktor-aktor utama
di atas sudah dapat menerima aturan main politik—desain institusi politik—dan mengikuti
aturan main yang ada tersebut. Dalam kacamata teori-elit, kelompok elit memiliki posisi
strategis bukan hanya secara empirik, melainkan juga secara normatif, sebab publik, atau
massa tidak pernah memiliki komitmen yang konsisten terhadap suatu persoalan. Sikap
masyarakat cenderung pasif, cair dan berubah-ubah dalam menanggapi berbagai persoalan.
Hal ini karena pada dasarnya massa tidak memiliki kapasitas untuk memahami dan
mengevaluasi perkembangan yang ada secara mendalam, dan hanya mencerap informasi dari
media atau dari lingkungan yang biasanya bersifat artifisial.
.

Ketiga, pendekatan budaya politik yang menganggap demokrasi mencapai tahap yang

mapan apabila nilai-nilai demokrasi sudah tumbuh dan berkembang di masyarakat, berangkat
dari tradisi Tocquiville, Almond & Verba, Putnam. Analisis Survey menjadi alat utama dalam
memantau perkembangan yang ada. Menurut Almond dan Verba (1963), budaya sipil
merupakan faktor penentu perkembangan dan stabilitas demokrasi. Ada tiga tahapan dalam
perkembangan budaya sipil: pertama, parokhial, di mana masyarakat belum memiliki
kesadaran diferensiasi sistem politik, yaitu ketika sistem politik masih belum bisa dibedakan
dengan sistem agama atau sistem kultur yang lain; kedua, subjek, yaitu ketika masyarakat
sudah memiliki kesadaran defensiasi sistem politik serta aktif berpartisipasi dalam institusi
dan proses politik (output side) namun belum memiliki kesadaran maupun keterlibatan dalam
pembuatan sistem itu sendiri (input side). Pandangan serupa dikembangkan oleh Putnam
dalam Making Democracy Works: Civic Tradition in Modern Italy (1999), yang menisbatkan
efektivitas proses demokrasi kepada keberadaan apa yang ia namakan ‘cultural capital’
(Putnam, 2000).
Tanpa perlu membahas kelebihan maupun kekurangan masing-masing pendekatan di
atas, ketiganya bisa dibaca sebagai penjelasan terhadap aspek-aspek yang berbeda dari sebuah
proses yang sama. Syarat minimal dari proses demokrasi yang stabil tentu saja memang
berfungsinya institusi politik yang ada, terutama pemilihan umum secara berkala. Namun
perangkat institusi politik tersebut tentu tidak akan dapat berfungsi efektif dan stabil tanpa
adanya kesepakatan dari elit-elit serta kelompok politik dominan. Demikian pula, selanjutnya,
7

tanpa adanya partisipasi aktif dari masyarakat dalam proses politik yang ada tentu fungsi
sistem politik yang ada tidak bisa dinamakan demokratis, melainkan oligarkis.
Menarik untuk dicatat bahwa pada kenyataannya ketiga pendekatan tersebut dapat
dirangkum melalui pendekatan ‘new-institusionalist’: yaitu bahwa aturan main akan
memengaruhi perilaku, sehingga pembuatan aturan main akan menjadi pertarungan paling
sengit dalam politik. Pendekatan ini berangkat dari hakikat proses politik itu sendiri, yaitu
sebuah pertarungan melalui aturan di mana aturan tersebut dibuat oleh para pemain yang
saling bersaing tersebut (Goldmann, 2005).
Maraknya PSI bisa dilihat kelompok politisi islamis sebagai bagian dari pertarungan
rekayasa institusi dalam proses demokratisasi yang sedang berlangsung. Ada tiga jenis
rekayasa politik yang relevan dibahas dalam konteks ini, yaitu sistem pemilihan umum
(Pemilu), penentuan electoral threshold, dan program otonomi daerah atau desentralisasi.
Sistem pemilu barangkali adalah institusi yang paling fundamental, sebab selain karena
pemilu adalah syarat minimal dari politik demokrasi, penggunaan sistem yang berbeda akan
menghasilkan sistem kepartaian yang berbeda, yang konsekuensinya akan membawa dampak
besar bagi proses politik secara keseluruhan, seperti yang dijelaskan oleh “hukum
Douverger.” Menurut hukum ini—diambil dari teori pakar ilmu politik Perancis Maurice
Douverger—sistem pemilihan mayoritas (majoritarian system) akan menghasilkan sistem
kepartaian dengan dua partai, sedangkan sistem proporsional akan menghasilkan sistem
kepartaian dengan banyak partai (Douverger, 1951/1954).
Sejarah mencatat bahwa di era reformasi sistem pemilu yang dipilih di Indonesia
adalah sistem proporsional, yang memberikan kesempatan kepada parpol-parpol kecil untuk
tampil di pemilu mewakili kelompok-kelompok kecil yang ada. Kelompok Islamis sangat
diuntungkan oleh pilihan terhadap sistem proporsional ini, sebab waktu itu kelompok Islamis
belum termasuk kelompok yang besar, dan apabila pilihan jatuh kepada sistem majoritarian
bisa dipastikan tidak ada parpol Islamis.
Hal serupa juga terjadi pada ketentuan Electoral Threshold, atau jumlah minimun
perolehan suara pada pemilihan umum nasional, bagi sebuah partai politik untuk bisa
mengikuti pemilu berikutnya. Angka 2,5% yang dipatok untuk ET pemilu 1999 merupakan
angka yang relatif rendah, yang akan memungkinkan kalangan politisi Muslim dan Islamis
khususnya untuk membangun dan mengembangkan partai politik untuk menyalurkan aspirasi
mereka. Seandainya reformasi politik kita menggunakan ET tinggi sejak awal, bisa jadi tidak
akan ada parpol Islamis seperti PKS atau PBB, karena suara politik Islamis tidaklah terlalu
8

dominan, dan tokoh-tokoh utama Muslim seperti Gus Dur dan Amien Rais memilih untuk
membentuk partai politik yang pluralis ketimbang Islamis.
Terakhir, upaya untuk mengubah format bentuk negara dari sentralistik menjadi
desentralistik dengan memberikan otonomi yang besar kepada pemerintah daerah, juga
merupakan desain institusi yang menguntungkan bagi kelompok Islamis. Gagasan awal
program desentralisasi adalah untuk meningkatkan efektifitas sistem politik dan pemerintahan
sejalan dengan nilai-nilai dasar demokrasi, yaitu mencegah terkumpulnya kekuasaan pada
segelintir pihak (Lijphart, 1999). Dengan disahkannya UU No. 22/1999 tentang Pemerintah
Daerah dan No. 25/1999 tentang Pengaturan Anggaran Daerah dan Pusat, menjadi titik-tolak
bagi pemerintah daerah untuk menentukan nasib mereka sendiri, tanpa banyak tergantung
oleh instruksi pemerintah pusat. Pada gilirannya, desentralisasi ini telah membukakan peluang
bagi politisi Islamis untuk mengaktualkan cita-cita politik mereka, terutama melalui PSI.
Sampai di sini terlihat bahwa munculnya PSI adalah fenomena yang wajar belaka dari
proses pertarungan politik, yang memang selalu diwarnai oleh pertarungan rekayasa
institusional dalam mengejar kepentingan politik. Barangkali perlu dicatat di sini adalah
persoalan PSI dalam konteks konsolidasi demokrasi: apakah maraknya PSI itu kondusif atau
tidak terhadap upaya konsolidasi demokrasi.
Representasi dan akuntabilitas perda syariah Islam
Lebih jauh lagi, meskipun para ilmuwan politik banyak berbeda pendapat tentang bagaimana
menjelaskan proses demokratisasi, sebagaimana tergambar dalam tiga jenis penjelasan di atas,
mereka umumnya sepakat bahwa sebuah proses demorkatisasi yang berhasil harus memiliki
produk atau hasil-hasil yang bisa dijadikan ukuran secara objektif. Sebab demokrasi bukan
hanya persoalan konseptualisasi teori, namun juga penerapan empirik dalam kehidupan nyata.
Ada dua konsep yang biasanya dijadikan ukuran oleh para pemikir ilmu politik dalam melihat
kualitas sebuah demokrasi, yang dalam konteks ini bisa juga digunakan untuk
mengidentifikasi keberhasilan sebuah proses demokratisasi.
Pertama, nilai representasi (representativeness) melihat kualitas sebuah demokrasi diukur
dari sejauh mana kebijakan-kebijakan pemerintah yang ada mencerminkan aspirasi politik
(political preferences) masyarakat atau konstituen. Definisi demokrasi adalah pemerintahan di
tangan rakyat; sehingga tidak bisa tidak sebuah pemerintahan yang demokratis harus
mencerminkan keinginan dari rakyat. Pemerintah adalah wakil-rakyat, dan tugas mereka
adalah menjalankan apa yang dikehendaki rakyat (Powell, 2003).
9

Dalam khazanah konsep demokrasi, pada titik ini kita berhadapan dengan dua tafsir yang
berbeda mengenai fungsi dan peran politisi sebagai “wakil rakyat”. Para ilmuwan politik
berbeda pendapat tentang pengertian istilah perwakilan ini: di satu sisi ada pemikir yang
memahami istilah ini dalam pengertian representation, yaitu bahwa hak dan wewenang para
politisi dalam sistem politik demokrasi adalah menjalankan apa-apa yang menjadi kebutuhan
dan keinginan rakyat yang memilihnya. Konsekuensinya, bagi para pengikut tafsir ini para
politisi harus selalu mendengarkan pendapat dan aspirasi rakyat, termasuk melalui survey dan
jajak pendapat lainnya. Di sisi lain ada pula kelompok pemikir politik yang memahami istilah
perwakilan dalam pengertian trustee, yaitu pihak yang diberi kewenangan untuk menangani
persoalan dan punya wewenang penuh menentukan cara apa yang akan diambil untuk
menyelesaikan persoalan tersbut tanpa perlu berkonsultasi dengan pihak yang diwakili.
Pengikut aliran ini menganggap bahwa para politisi—yang dipilih karena keahlian mereka di
bidang tersebut—memiliki hak penuh untuk melakukan hal-hal yang menurutnya baik demi
kepentingan masyarakat tanpa perlu berkonsultasi dengan pemilih tentang jalan mana yang
akan ditempuh untuk mencapai tujuan tersebut (Verba, Nie and Kim 1978).
Namun konsep ini banyak dikritik karena beberapa alasan, terutama karena rakyat atau
konstituen nyaris tidak punya pilihan inisiatif terhadap kebijakan yang akan diusung oleh
pemerintah. Ditambah dengan fakta bahwa kebanyakan masyarakat tidak akan memiliki
kemampuan untuk memahami secara penuh—apalagi mengevaluasi—paket kebijakan yang
ditawarkan pemerintah, maka akan sangat rawan kemungkinan bahwa masyarakat hanya bisa
memilih opsi-opsi yang memang sudah disiapkan pemerintah. Karena itu diperlukan ukuran
lain keberhasilan demokrasi yang lebih objektif dan konkret.
Parameter kedua dari keberhasilan sebuah proses demokratisasi, atau produk dari sebuah
sistem demokrasi yang baik adalah bahwa pemerintah yang ada harus akuntabel
(accountable), dalam pengertian bahwa kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan benar-benar
menjawab kebutuhan rakyat. Dalam penjelasan Schumpeter (1942), demokrasi adalah sistem
politik di mana para pemegang kekuasaan mempertanggungjawabkan apa-apa yang mereka
lakukan kepada rakyatnya; rakyat akan menetukan penilaian mereka melalui pemilihan,
pemerintah yang dianggap memenuhi kebutuhan akan didukung terus, sedangkan pemerintah
yang terbukti gagal memenuhi kebutuhan masayrakat akan kehilangan dukungan dan
automatis kehilangan posisi sebagai pengambil kebijakan.
Sekarang, mari sekarang kita cermati PSI yang muncul di berbagai daerah dengan
menggunakan kacamata dua konsep di atas—representativeness dan accountability—untuk
mengetahui sejauh mana status perda-perda tersebut dalam parameter demokrasi (lihat
1

appendix). Menarik untuk mengamati bahwa secara keseluruhan beragam PSI yang muncul di
berbagai daerah dapat diklasifikasikan menjadi tiga kecenderungan, yaitu tentang penyakit
sosial, pakaian (terutama perempuan), dan ketrampilan membaca al-Qur’an. PSI ini memang
dirancang untuk membenahi moral, yang diyakini sebagai pangkal segala persoalan.
Pertanyaan pertama adalah: sejauh mana PSI ini representatif terhadap aspirasi politik
umat Islam, sebagai mayoritas di Indonesia? Dalam konteks ini, barangkali survey Pusat
Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2001, dan juga
LSI menarik untuk dikemukakan. Survey tersebut menunjukkan data sebagai berikut (Liddle,
2003):
1. Setuju bahwa pemerintah yang Islami, yang didasarkan pada al-Qur’an dan Sunnah
dan dipimpin oleh para ulama adalah yang terbaik untuk negara seperti Indonesia
(2001=57,8; 2002=67,0).
2. Setuju jika agama dan negara harus dipisah (2001=36,4; 2002=NA).
3. Setuju negara harus mengatur agar semua Muslim laki-laki dan perempuan mengikuti
aturan Syariah (2001=61,4; 2002=70,8).
4. Setuju jika cita-cita dan perjuangan gerakan Islam (seperti FPI, Lasykar Jihad, Darul
Islam dll.) untuk menerapkan syariah baik di pemerintahan maupun di masyarakat
harus didukung (2001=46,4; 2002=53,7).
5. Setuju jika dalam Pemilu orang harus memilih calon yang benar-benar memahami ajaran Islam
dan berniat untuk memperjuangkannya dalam politik nasional (2001=46,7; 2002=46,1).

6. Setuju jika dalam pemilu hanya akan memilih partai-partai Islam (2001=22.6; 2002=21.1).
7. Setuju jika pemerintah perlu melarang pemberlakuan bunga bank di seluruh bank yang ada di di
Indonesia (2001=25,8; 2002=NA).

8. Setuju jika hukum potong tangan bagi orang Muslim yang mencuri, sebagaimana tertera dalam alQur’an, harus dijalankan oleh pemerintah (2001=28,9; 2002=33,0).

9. Setuju jika hukum rajam yang diajarkan al-Qur’an, yaitu melempari batu hingga tewas orang
Muslim yang sudah menikah yang melakukan zina, harus dilarang di negeri ini (2001=42,4;

2002=NA).
10. Setuju jika polisi mengawasi orang Muslim agar melaksanakan shalat lima kali (2001=9,9;
2002=NA).
11. Setuju jika polisi mengawasi supaya orang Muslim berpuasa di bulan Ramadhan (2001=12,9;
2002=30,2).
12. Setuju jika hak waris anak perempuan adalah separuh anak laki-laki (2001=46,7; 2002=50,1).
13. Setuju jika laki-laki boleh berpoligami (2001=NA; 2002=37,9)
1

Dari data-data survey di atas, tampak bahwa PSI memiliki nilai representasi, dalam
pengertian bahwa perda-perda tersebut mencerminkan aspirasi politik umat Islam. Lebih dari
separuh responden setuju jika negara Indonesia diperintah oleh para ulama berdasarkan nilainilai al-Qur’an dan Sunnah (2001=57,8; 2002=67,0), sementara jumlah responden yang setuju
jika penerapan syariah yang berlaku bagi umat Islam diatur oleh negara juga lebih dari
separuh (2001=61,4; 2002=70,8). Namun perlu diingat bahwa survey di atas bersifat tertutup,
sehingga tampak membenarkan keraguan para ilmuwan bahwa representasi bisa jadi tidak
menunjukkan gambaran yang utuh dari apa yang diinginkan oleh masyarakat.
Untuk itu, kedua, kita akan lihat sejauh mana PSI akuntabel terhadap kebutuhan rakyat. Di
sini tampaknya tepat untuk menampilkan data survey opini publik yang diselenggarakan IFES
yang lebih bersifat terbuka, dan memberikan kesempatan sepenuhnya kepada masyarakat
untuk mengungkapkan apa-apa yang mereka anggap sebagai persoalan paling penting yang
sedang mereka hadapi. Ada dua tingkat survey IFES ini (IFES 2005), yaitu level nasional
yang menanyakan “Apa problem paling besar yang sedang dihadapi Indonesia?” (2005); serta
level lokal-komunal dengan mengajukan pertanyaan “Apakah persoalan paling besar yang
sedang dihadapi komunitas Anda?”
Untuk pertanyaan berskala nasional, jawaban responden adalah sebagai berikut: 1)
membumbungnya harga-harga kebutuhan pokok (55%), 2) sulitnya mencari pekerjaan (26%),
3) ketidakpastian hukum (5%), 4) tingginya biaya pendidikan/kesehatan (4%), 5) bencana
Aceh (3%), 6) keamanan yang kurang terjamin (2%), 7) ketidakpastian politik (2%), 8) lainlain (2%), dan 9) tidak menjawab (1%).
Untuk pertanyaan “Apakah persoalan paling besar yang sedang dihadapi komunitas
Anda?” jawaban survey dari tiga periode yang berbeda menunjukkan hasil yang relatif
konstan: 1) membumbungnya harga-harga kebutuhan pokok (2001=46%, 2002=55%,
2003=41%, 2005=38%), 2) sulitnya mencari pekerjaan (2001=15%, 2002=18%, 2003=29%,
2005=33%), 3) tingginya biaya pendidikan/kesehatan (2001=2%, 2002=4%, 2003=12%,
2005=4%), 4) tidak ada kepedulian lingkungan (2005=4%), 5) keamanan tidak terjamin
(2001=5%, 2002=5%, 2003=7%, 2005=5%), 6) naiknya harga BBM (2005=2%), 7) fasilitas
transportasi (2005=2%), 8) ketidakpastian politik (2001=2%, 2002=2%, 2003=1%,
2005=1%), dan 9) tidak menjawab (2001=16%, 2002=6%, 2003=3%, 2005=1%).
Dengan melihat hasil survey IFES ini tampak bahwa persoalan moralitas dan stabilitas
sosio-kultural yang menjadi modus operandi PSI sama sekali tidak termasuk persoalan yang
oleh masyarakat dianggap penting ataupun krusial, sebab yang diinginkan oleh masyarakat
1

adalah perbaikan kehidupan yang bersifat nyata, dan bukan simbolik. Dari sini bisa dikatakan,
dari kaca mata teori demokrasi, PSI yang marak muncul di berbagai daerah dan telah
memancing banyak kontroversi ini memiliki status yang belum sepenuhnya demokratik. Di
satu sisi perda-perda itu memiliki tingkat representativeness yang relatif tinggi, dalam
pengertian bahwa ia mencerminkan aspirasi politik banyak kalangan Muslim, terutama sejauh
menyangkut pertanyaan hubungan antara agama dan negara, ataupun penerapan aturan agama
oleh aparat negara. Di sisi lain, PSI memiliki tingkat akuntabilitas rendah dalam pengertian
tidak menyentuh hal-hal yang dianggap penting dan mendesak oleh masyarakat. Ini tentu
merupakan persoalan krusial, karena dalam proses konsolidasi demokrasi akuntabilitas
merupakan syarat mutlak tercapainya kondisi demokrasi yang efektif dan stabil.
Satu hal tampaknya menarik dimunculkan di sini, yaitu mengapa PSI begitu populer di
kalangan politisi Islamis? Dari pihak politisi yang memperjuangkannya, ada dua keuntungan
dasar yang bisa didapat dari PSI seperti di atas. Pertama adalah kesempatan mengklaim posisi
membela Islam. Posisi ini sangat penting, sebab Islam adalah agama dari mayoritas
masyarakat sekaligus pemilih potensial (potential voters), dan dengan menempatkan diri
sebagai pihak yang membela dan memperjuangkan Islam para politisi ini akan memiliki
kesempatan lebih besar untuk memobilisasi dukungan dari komunitas Muslim yang adalah
mayoritas. Kedua, manfaat yang juga akan diperoleh oleh politisi yang memperjuangkan PSI
seperti di atas adalah bertambahnya otoritas politik yang ia miliki, karena melalui PSI tersebut
mereka tidak hanya berbicara atas nama pemerintah yang memiliki otoritas politik dan
hukum, melainkan juga atas nama agama yang ditopang oleh otoritas ilahiah yang bernilai
ultim. Dengan perlindungan ganda—otoritas pemerintah dipadu dengn otoritas agama—
pemegang kekuasaan akan memiliki legitimasi yang sangat kuat, sekaligus menjadi sangat
sulit dikritik.
Dari alasan di atas tidak sulit untuk menebak mengapa PSI begitu populer di kalangan
politisi, sebab secara politis formulasi PSI tersebut banyak memberikan keuntungan. Namun
sebenarnya masih ada faktor lain yang bisa menjadi tambahan penjelas mengapa para politisi
seperti mati-matian memperjuangkan keinginan mereka. Mengikuti pemikir politik Italia,
Angelo Panebianco dalam Political Parties: Organization and Power (1988), pada dasarnya
hubungan antara politisi dengan masyarakat atau pemilih (voters, constituents) bersifat
asimetis (asymmetrical relation). Di satu sisi, konstituen atau masyarakat yang mendukung
dan memilih politisi dalam pemilihan—nasional maupun daerah—memberikan “private
goods” kepada para politisi. Private goods ini adalah sesuatu yang konkret dan material serta
hanya bisa dinikmati oleh orang-orang tertentu, sama seperti barang-barang dagangan yang
1

hanya bisa dinikmati oleh orang yang membelinya. Suara atau pilihan yang diberikan
konstituen kepada para politisi adalah private goods karena bisa ditransfer menjadi barangbarang yang konkret dan hanya bisa dinikmati secara privat oleh para politisi tersebut, seperti
jabatan, gaji, popularitas, wewenang, serta berbagai kemewahan lainnya.
Di sisi lain, sebagai balasan kepada konstituen yang sudah memilihnya para politisi
memberikan “public goods” atau hal-hal yang bersifat abstrak dan bisa dinikmati secara
umum oleh masyarakat baik konstituen maupun bukan. Dari perbadingan antara rumusan PSI
dengan aspirasi politik masyarakat di atas, terlihat bahwa PSI jauh dari aspirasi politik
masyarakat. Cukup jelas bahwa masyarakat menginginkan perbaikan material yang konkret,
seperti kebutuhan pokok yang murah serta terbukanya banyak lapangan kerja, atau biaya
pendidikan dan kesehatan yang murah, sedangkan PSI di atas lebih mengarah kepada upaya
penataan nilai-nilai moral yang tidak secara langsung terkait dengan perbaikan material.
Mendesain demokrasi yang representatif dan akuntabel
Dari diskusi di atas cukup jelas bahwa PSI memiliki status demokratis sekaligus
memiliki kelemahan fundamental. Untuk itu, barangkali langkah yang terbaik untuk
menyikapi bukan dengan menolak melainkan dengan mengawal dan mengkritisi supaya PSI
yang muncul tidak hanya representatif, tapi yang lebih penting adalah accountable. Lebih
jauh lagi, upaya untuk mendorong akuntabilitas PSI sekaligus juga akan menjadi dorongan
bagi politik Islamis untuk menjadi semakin akuntabel, dan mencegahnya dari perkembangan
yang oligarkis.
Demokrasi adalah jalan sekaligus tujuan, karena itu kedua aspek ini harus ditempuh
secara simultan. Penekanan aspek formalitas-prosedural dari demokrasi—tercapainya fungsi
institusi politik secara stabil dan optimal—akan beresiko memunculkan apa yang disebut
Fareed Zakaria sebagai Illiberal Democracy, yaitu upaya menyalahgunakan prosedur
demokrasi untuk mencapai tujuan-tujuan politik yang bertentangan dengan nilai-nilai
demokrasi itu sendiri (Zakaria, 1997, 2002). Hal ini, dalam pengamatan beberapa pimikir,
rawan terjadi di negeri-negeri Muslim. Ada plesetan yang sering dimunculkan dalam
mengomentari perkembangan demokrasi dan demokratisasi di negeri Muslim: jika idealnya
prosedur demokrasi memiliki rumusan “one man, one vote” maka di negeri-negeri Muslim
rumusan ini berubah menjadi “one man, one vote, one time!”. Maksudnya bahwa banyak
politisi Muslim yang menjadikan pemilu sekadar alat untuk berkuasa, namun kemudian
mereka memberangus sistem demokrasi yang ada agar mereka tetap berkuasa.
1

Di sisi lain, penekanan yang berlebihan kepada aspek partisipatif atau nilai-nilai
demokrasi

juga

berisiko

melahirkan

apa

yang

dikenal

sebagai

“kronologisme”

(chronologism), yaitu pandangan yang menganggap bahwa sebelum bisa menjadi sebuah
sistem politik

yang

sepenuhnya

demokratis,

sebuah

negara

atau

bangsa

harus

mentransformasi diri dengan nilai-nilai yang dalam sejarah telah mengantarkan negara-negara
di Barat menjadi demokratis, seperti industrialisasi, urbanisasi, sekularisasi, pemisahan agama
dan negara, dsb. Pandangan semacam ini sangat menyolok dalam pendekatan-pendekatan
yang secara luas dikenal sebagai “developmentalisme,” yang notabene adalah sebuah
perspektif Barat-sentris dalam melihat dunia, dan visi untuk meletakkan perkembangan dan
pembangunan di negara-negara demokrasi baru. Tentu pandangan ini kurang tepat baik secara
ideal maupun empiris. Secara ideal, developmentalisme bertentangan dengan logika genetikinstitusional, yaitu bahwa bangsa-bangsa memiliki alur sejarah yang berbeda sesuai dengan
pangalaman masing-masing yang khas dan karenanya upaya pembangunan terhadap mereka
harus pula disesuaikan dengan struktur dan konteks internal mereka masing-masing. Secara
empirik, upaya mengubah arah perkembangan sebuah komunitas atau sistem yang tidak
sejalan dengan struktur dasar dan konteks internalnya sendiri akan beresiko mendapat
resistensi yang justru akan mementahkan upaya perubahan yang ada (Schmitter, 2003).
Pertama,

menyempurnakan sistem politik,

terutama UU

Kepartaian untuk

memaksimalkan peran partai politik sebagai pemain utama dalam sistem politik demokrasi.
Para ilmuwan politik sepakat bahwa partai politik memiliki peran vital dalam upaya
membangun konsolidasi demokrasi.

Meskipun pada awal-awal fase transisi dari

autoritarianisme ke demokrasi agen-agen lain seperti LSM, Ormas atau gerakan mahasiswa
mungkin memainkan peran yang dominan, namun dalam proses selanjutnya—fase
konsolidasi—peran parpol tidak bisa tergantikan oleh agen-agen di atas (O’Donnel &
Schmitter, 1996). Karena hanya parpol yang bisa mengikuti pemilu, mengajukan kandidat dan
akhirnya membentuk pemerintahan (Doherti, 2001). Beberapa studi menunjukkan bahwa
parpol masih lebih merupakan kendaraan politik para elit ketimbang sarana bagi masyarakat
untuk menyalurkan aspirasi dan kepentingan politik mereka, sehingga tidak mengherankan
apabila tingkat kepercayaan masyarakat kepada parpol juga rendah (Johanson-Tan, 2004).
Untuk itu, agar arah perkembangan politik demokrasi benar-benar mengarah kepada
kepentingan rakyat, dan bukan sekadar kepentingan elit, perlu dilakukan perbaikan sistem
perpolitikan secara menyeluruh, terutama sistem kepartaian.
Kedua, mempertahankan sistem pemilu representasi proporsional dengan daftar
terbuka (open list PR). Indonesia merupakan salah satu masyarakat paling plural di dunia,
1

yang terdiri dari beragam etnis, bahasa, agama serta ideologi politik. Sejalan dengan nilainilai demokrasi, keragaman ini harus diwadahi secara proporsional yang bertopang kepada
nilai-nilai keadilan bersama. Apabila dijalankan dengan benar, sistem pemilu representasi
proporsional akan memfasilitasi seleksi alami terhadap kelompok-kelompok kepentingan
politik yang ada di Indonesia. Ada sementara kalangan yang menganggap bahwa sistem
pemilu representasi proporsional yang menekankan elemen representasi memiliki kelemahan
karena cenderung memunculkan produk politik yang kurang efektif—akibat terlalu
banyaknya pihak yang harus diakomodasi. Namun kajian-kajian Lijphart memberikan bukti
lain. Selain lebih kondusif bagi masyarakat yang plural—multi etnis, regional, agama dsb.—
sistem PR ternyata juga terbukti memiliki hasil yang tidak kalah efektif dibanding sistem
majoritarian (Lijphart, 1984, 1999).
Ketiga, melengkapi sistem pemilu representasi proporsional di atas dengan tingkat
electoral threshold yang tinggi. Memang tidak mudah menentukan berapa batasan angka
threshold yang disebut tinggi, akan tetapi yang pasti tujuannya adalah untuk memperberat
syarat bagi parpol untuk mengikuti pemilu, guna mencegah munculnya kelompok-kelompok
politik spekulatif yang punya tendensi berhaluan ekstrem. Tingkat ET rendah akan
memancing politisi yang berbekal pas-pasan untuk coba-coba berpartisipasi dalam pemilu;
dan biasanya politisi yang memiliki target trial-and-error ini juga cenderung mudah
mengambil langkah-langkah spekulatif seperti menggunakan mempromosikan programprogram politik berhaluan ekstrem. Beberapa studi mengindikasikan bahwa parpol-parpol
yang mengusung ideologi ekstrem maupun mempromosikan kebijakan-kebijakan ekstremis—
yang dikenal dengan sebutan New Radical Rights (NRR)—banyak muncul di negara-negara
yang menganut sistem pemilu representasi proporsional dengan ET yang rendah (Veugelers
and Magnan, 2005)
Keempat, menyusun undang-undang pers yang terbuka dan bertanggung-jawab untuk
memberikan akses informasi maksimal kepada masyarakat, terutama terkait apa-apa yang
dikerjakan dan diputuskan oleh pemerintah dan para politisi. Akses informasi yang maksimal
bagi masyarakat merupakan hal yang sangat penting bagi tercapainya sebuah demokrasi yang
berkualitas, sebab proses politik cenderung terjadi secara tertutup di kalangan politisi; padahal
fungsi parap politisi dalam demokrasi adalah mewakili rakyat; karenanya rakyat memiliki hak
untuk mengetahui apa-apa yang dilakukan oleh para politisi dan juga pengambil kebijakan.
Kelima, memberikan perlindungan kepada konstitusi supaya tidak mudah untuk
diamandemen. Konstitusi atau Undang-Undang Dasar merupakan fondasi dari seluruh
bangunan institusi politik, sehingga perubahan pada UUD akan mengakibatkan perubahan
1

pada struktur sistem politik yang ada. Bukan berarti proses amandemen menjadi tidak boleh,
melainkan bahwa mempermudah proses amandemen memiliki risiko memancing terjadinya
instabilitas sistem politik; dan mempersulit proses amandemen berarti juga membantu
menciptakan stabilitas sitem politik. Pintu amandemen tetap terbuka, namun harus dengan
sebanyak mungkin pihak (Rich, 2005).
Keenam, mendorong dan memperkuat fungsi Mahkamah Konsitusi (constitutional
courts) untuk menjamin agar produk-produk hukum yang muncul dan diberlakukan secara
publik—seperti PSI—tidak bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi yang dijamin dan
dikunci dalam konstitusi; dan Ombudsman, agar masyarakat memiliki kesempatan terbuka
untuk mengekspresikan pendapat dan aspirasi politik mereka (Mueller, 2002). Keberadaan
Mahkamah Konstitusi yang kuat dan independen akan menjadi evaluator untuk memastikan
tidak akan ada produk-produk hukum yang berlaku publik yang bertentangan dengan nilainilai demokrasi yang sudah dikunci dalam Konstitusi; sementara kebradaan Obudsman yang
efektif akan memberikan kesempatan yang terbuka kepada pemilik kedaulatan politik—
masyarakat—untuk mengekspresikan keinginan, perasaan dan pilihan politik mereka. Dalam
sistem demokrasi, rakyat sebagai pemilik kedaulatan politik memiliki hak penuh untuk
menolak bukan hanya kebijakan-kebijakan pemerintah yang bertentangan dengan Konstitusi,
melainkan juga yang tidak sejalan dengan keinginan dan aspirasi, serta tidak memenuhi
kebutuhan mereka (Powell, 2003).

Daftar pustaka
Aguswandi, “Say No to Conservative Islam,” The Jakarta Post, August 30, 2006.
Alexander, Gerard. The Sources of Democratic Consolidation. Ithaca, NY: Cornell University
Press, 2002.
Almond, Gabriel and Verba, Sidney. The Civic Culture. Boston: Little Brown and Co., 1965.
Almond, Gabriel A., Appleby, R. Scott and Sivan, Emmanuel. Strong Religion: The Rise of
Fundamentalisms Around the World. Chicago: The University of Chicago
Press, 2003.
Antara News, “Police crackdown on ‘un-Islamic’ behaviour in Aceh,” December 22, 2006.
Dahl, Robert A. Democracy and Its Critics. New Haven: Yale University Press,1998.
Dhume, Sadanand, “Radicals March on Indonesia's Future,” Far Eastern Economic Review,
Hong Kong: May 2005.Vol.168, Iss. 5.
1

Doherty, Ivan, “Democracy Out of Balance: Civil Society Can’t Replace Political Party,”
Polity Review, April & May 2003.
Downs, Anthony. An Economic Theory of Democracy. New York: Harper and Row, 1957.
Duverger, M. Les Partis Politiques. Paris: Armand Colin, 1951.
Fahmi, Nashir. Menegakkan Syariah Islam Ala PKS. Solo: Era Internedia, 2006.
Goldmann, Kjel, “Appropriateness and Consequences: The Logic of Neo-Institutionalism,”
Governance: An International Journal of Policy, Administration, and
Institutions, Vol. 18, No. 1, January 2005: 35–52.
Hefner, R,”Islamizing Java? Religion and Politics in Rural East Java”, Journal of Asian
Studies, 46, 1987:533-554.
______. Civil Islam, Muslim and Democratization in Indonesia. Princeton: Princeton
University Press, 2000.
Huntington, Samuel P. The Third Wave: Democratization in the Late Twentieth Century.
Norman: University of Oklahoma Press, 1991.
_______, “The Clash of Civilizations?”, Foreign Affairs, Summer 1993, Vol. 72, No. 3: 2250.
_______. The Clash of Civilizations and the Making of World Order. New York: Simon &
Schuster, 1996.
International Foundation for Election System (IFES), “Public Opinion Survery Indonesia”
2005.
Johnson-Tan, Paige,”Party Rooting, Political Operators, and Instability in Indonesia:A
Consideration of Party System Institutionalization in aCommunally Charged
Societ”, A Paper Presented to the Southern Political Science Association
New Orleans, Louisiana January 10, 2004.
Kramer, Martin,“Coming to Terms: Fundamentalists or Islamists”, The Middle East
Quarterly, Vol X, No. 2, 2003.
Liddle, R. William, “New Pattern of Islamic Politics in Democratic Indonesia,” Asia Program
Special Report, No. 10 (April 2003). www.csi.edu/topics/pubs/asiarpt_110.pdf.
Lijphart, Arend. Democracies: Patterns of Majoritarian and Consensus Government In
Twenty-One Countries. New Haven: Yale University Press, 1984.
_______. Electoral Systems and Party Systems: A Study of Twenty-Seven Democracies 19451990. New York: Oxford University Press, 1994.
Lijphart, A. Patterns of Democracy. New Haven and London: Yale Uuniversity Press, 1999.
1

Lipset, S.M., Rokkan, Stein,“Cleavage structures, party systems, and voter alignments: An
introduction’, dalam Lipset & Rokkan (eds.). Party Systems and Voter
Alignments: Cross-National Perspectives. New York, 1995: 1-64.
Mainwaring, Scott P. Rethinking Party Systems in th Thrid Wave of Democratization: The
Case of Brazil. Stanford: Stanford University Press, 1999.
Mueller, Wolfgang C,“Parties and the Institutional Framework”, dalam K. R. Luther & F.
Mueller-Rommel (eds.). Political Parties in the New Europe: Political and
Anlytical Challenges. New York: Oxford University Press, 2002.
O’Donnell, Guillermo and Schmitter, Philippe C. Transitions from Authoritarian Rule:
Tentative Conclusions about Uncertain Democracies. Baltimore: Johns
Hopkins University Press, 1996.
Panebianco, Angelo. Political Parties: Organization and Power. Cambridge: Cambridge
University Press, 1988.
Permata, Ahmad-Norma (ed.). Metodologi Studi Agama. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000.
Powell , G. Bingham, Jr., “The Quality of Democracy: Improvement or Subversion?” paper
prepared for Conference, October 10,11, 2003, Stanford University.
Putnam, Robert D. Bowling Alone : the Collapse and Revival of American Community. New
York: Simon & Schuster, 2000.
_______. Making Democracy Work: Civic Tradition in ModernItaly. Princeton, NJ: Princeton
University Press, 1993.
Rich, Roland, “Designing Democracy along the Pacific Rim,” Democracy at Large, Vol. 2
No.