Dilema Partai Politik di Indonesia Pasca

DILEMA PARTAI POLITIK
YUHDI FAHRIMAL/P1400212409
Mahasisa Program Pascasarjana Komunikasi
Universitas Hasanuddin, Makassar

Partai Politik dan Demokrasi
Partai politik (Parpol) menjadi entitas yang penting dalam sebuah Negara demokrasi. Suatu
Negara dikatakan menganut paham demokrasi ketika ada jaminan kebebasan dalam berpendapat,
berkumpul, memeroleh informasi, dan bergerak atas nama kemanusiaan. Kehadiran partai politik
menjadi suatu keniscayaan bagi Negara demokrasi. Merujuk kepada paham trias politica, bahwa
dalam suatu Negara setidaknya ada tiga elemen penting, yaitu, eksekutif (pemegang kekuasaan
dan pengambil kebijakan), legislatif (menjalankan fungsi-fungsi legislasi dan pembetuk
perundang-undangan), dan yudikatif (lembaga pengawasan efektifitas jalannya undang-undang).
Lembaga legislatif berisikan orang-orang yang dipilih oleh rakyat. Tugas dan fungsi mereka
mewakili “suara rakyat” dalam hal menentukan kebijakan yang memihak kepada rakyat.
Jalan menuju ke kursi dewan tidaklah mudah. Membutuhkan kerja keras dan tidak sedikit
harus mengeluarkan uang. Beberapa Negara berfaham demokrasi, para anggota dewan dipilih
melalui suatu mekanisme khusus, meminjam istilah Amason (dalam Firmanzah, 2011: 52) yaitu
konflik fungsional. Konflik fungsional diartikan sebagai konflik yang memberikan ruang
dinamika dan tukar menukar ide dan gagasan. Konflik fungsional ini dilegalkan oleh undangundang, karena dalam bahasa kaum awam dikenal sebagai Pemilihan Umum (Pemilu). Palagan
politik untuk mencapai kekuasaan sangat berat. Tidak jarang saling sikut antar lawan terjadi. Jika

ingin menerima pendapatnya Machiaveli bahwa tidak ada lawan dan teman abadi dalam politik,
hanya ada keabadiaan kepentingan. Maka tak jarang pula orang memberikan cap bahwa politik
itu sangat kejam.
Demokrasi membuka ruang dan memberikan kesempatan yang luas kepada warga negara
untuk menmgeluarkan pendapat, ide, gagasan, serta tak luput kritik kepada sistem tata negara
yang berlalu. Demokrasi juga menjamin setiap warga negara untuk bisa berkumpul sebagai
wadah apresiasi terhadap aktualisasi diri. Demokrasi juga menjamin keterbukaan terhadap semua
informasi sektor publik. Demokrasi ditandai oleh tidak ada pengekangan, tidak ada

pembungkaman terhadap suara-suara “miring”, serta penghargaan yang tinggi terhadap Hak
Asasi Manusia.
Keran demokrasi di Indonesia mulai terbuka sejak rezim orde baru runtuh. Setelah Soeharto
dijatuhkan, semua rakyat Indonesia berada dalam euphoria menyambut kue reformasi yang di
dalamnya terselip kehidupan demokrasi. Keran reformasi mengubah hampir semua struktru
ketatanegaraan. Bangsa Indonesia beralih dari sistem “otoriter” menuju sistem demokrasi. Dalam
masa reformasi inilah suara-suara yang semula dibungkam mulai keluar. Banyak tokoh politik
yang lahir pada masa ini. Entah mereka yang memang menjadi tokoh politik murni (dengan
ideology dan idelisme kebangsaannya) atau mereka yang menjadi tokoh politik instan. Semua
dimungkinkan dalam era reformasi atas dasar kebebasan yang dijamin oleh undang-undang.
Gaya perpolitikan Indonesia juga berubah. Banyak partai politik yang lahir dari tokoh-tokoh

yang menamakan diri sebagai “pahlawan reformasi.” Terbukti pada pemilihan umum tahun 2004
saja diikuti oleh lebih dari 30 partai politik. Begitu juga tahun dengan pemilihan umum tahun
2009. Kondisi ini kontras dengan masa orde baru dimana hanya tiga partai yang diakui oleh
pemerintah. Meskipun pada kenyataannya hanya ada dua partai, yaitu Partai Demokrasi
Indonesia (PDI) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Satu lagi adalah golongan, bukan
partai. Lazim dikenal sebagai Golongar Karya (Golkar); “partai” yang dekat dengan Presiden
Soeharto.
Partai politik yang lahir setelah reformasi bergulir dapat dilihat dari dua sisi, yaitu, pertama
banyaknya partai politik yang lahir menjadi acuan kepada masyarakat baik nasional maupun
internasional bahwa Indonesia adalah negara demokrasi yang membuka peluang dan kesempatan
kepada setiap warga negaranya untuk berpolitik. Ini hanya sebagai bentuk pencitraan bagi
Indonesia mengingat lebih dari 30 tahun dikungkung oleh rezim “otoriter” berbalut baju
demokrasi. Dengan kehadiran partai politik ini diharapkan citra Indonesia membaik di mata
internasional. Kedua, kehadiran partai politik yang sangat banyak (termasuk partai politik lokal
di Aceh pasca MoU Helsinki) semakin membuat bingun masyarakat sebagai konstituen. Selain
itu juga melemahkan posisi tawar partai politik karena tidak ada diferensiasi yang jelas antara
satu partai dengan partai lainnya.
Demokrasi membutuhkan partai politik di dalamnya karena partai politik merupakan wadah
atau sarana atau (pendapat yang paling ekstrim) kendaraan untuk mencapai kekuasaan. Partai
politik berisikan “rakyat” yang suaranya diwakili oleh orang-orang yang sudah diberi mandat.


Masih menjadi perdebatan apakah sebuah negara demokrasi bisa berjalan dengan baik tanpa
partai politik. Partai politik kadang dianggap sebagai penggangu stabilitas nasional. Bagi negaranegara monoarki dan masih menganut sistem kerajaan, sangat memungkinkan ketiadaan partai
politik. Hal ini lebih disebabkan karena dalam negara monoarki kekuasaan absolut adalah
ditangan raja. Raja berkuasa terhadap segala sesuatu. Akan tetapi cara-cara ini adalah cara-cara
kuno yang sudah ditinggalkan. Bahkan beberapa negara arab yang awalnya menganut paham
monoarki saat ini sudah mulai menjalankan sistem demokrasi, terlebih setelah terjadi arab
spring/gerakan pembebasan arab oleh rakyat.
Berkaca dari hal tersbut, bahwa sangat tidak mungkin meniadakan partai politik dalam
negara demokrasi. Jika ingin meniadakan partai politik, berarti harus mengubah sistem tata
negara. Mengubah sistem tata negara berarti mengubah dasar negara. Partai politik menjadi
entitas yang sangat penting dalam kehidupan demokrasi. Bukanlah partai politik yang salah jika
terjadi kekacauan dalam sebuah sistem tata negara. Orang-orang yang duduk dan menjalankan
partai politik itulah yang harusnya disalahkan. Pendapat ini merujuk kepada partai politik hanya
alat, sehingga tidak mungkin kendaraan akan menabrak tiang listrik jika orang yang
mengendarainya adalah orang yang paham mengemudi.

Partai Politik dan Ideologi Negara
Seperti telah disinggung pada pembahasan terdahulu bahwa sangat mustahil meniadakan
partai politik dalam kehidupan berdemokrasi. Partai politik dianggap menjadi penyeimbang bagi

kehidupan berdemokrasi dalam sebuah negara. Partai politik merupakan bagian dari suatu negara
yang dijamin oleh undang-undang. Sebagai bagian dari suatu negara sudah sepantasnyalah partai
politik tunduk kepada aturan-aturan yang berlaku dalam negara.
Partai politik adalah alat untuk mencapai kekuasaan. Pendapat ini tidak sepenuhnya salah.
Partai politik memang kendaraan, ditunggangi oleh aktor-aktor politik untuk mencapai puncak
kekuasaan. Namun permasalahannya adalah ketika kekuasaan sudah tercapai, apakah para aktor
ini ingat pada janjinya atau tidak. Jangan-jangan berlagak lupa pada apa yang pernah dijanjikan
saat kampanye. Hal ini lazim terjadi. Rakyat juga sudah mahfum terhadap politik busuk para
politisi. Mengapa hal ini sampai terjadi? ada dua jawaban sebagai alternative, yaitu, pertama
orientasi sang aktor. Biasanya aktor politik hanya ingin mencapai kekuasaan dengan
menggunakan berbagai cara. Tidak peduli apakah cara itu baik atau buruk. Apakah cara yang

digunakan cerdas atau tidak. Semua orientasi dipulangkan kepada keinginan untuk mencapai
kekuasaan. Jika sudah berada dipuncak kekuasaan yang terpikirkan kemudian adalah bagaimana
kekuasaan itu harus langgeng dalam tangannya. Jika perlu sampai anak cucunya. Inilah
disorientasi para aktor politik yang sering terjadi di Indonesia.
Kedua, ketiadaan ideologi. Ideologi merupakan suatu hal penting namun sering dilupakan.
Ideologi tidak sama dengan jargon partai, bendera partai, warna partai, baju partai, atau lambang
partai. Ideologi lebih dari itu. Ideologi melingkupi semua elemen dalam partai. Jargon, bendera,
warna baju, serta lambang partai merupakan manifestasi dari ideologi partai.

Ideologi politik adalah suatu paham atau cara yang dipahami atau dianut oleh suatu entitas
politik untuk mencapi suatu kondisi ideal tertentu. Berkaca dari kondisi partai di Indonesia saat
ini dimana ideologi partai menjadi kabur –untuk tidak mengatakan tidak ada sama sekali.
Kekaburan (abu-abu)-nya ideologi partai ini dapat dilihat dari sulitnya membedakan partai satu
dengan partai lainnya. Perbedaan hanya terletak dari bedanya warna dan lambang partai. Partaipartai berhaluan nasionalis semua hampir sama, pro kepada rakyat, dan mendukung kedaulatan
Indonesia. Pun demikian dengan partai berhaluan agamis, dimana Islam atau Kristen menjadi
corak utama. Kondisi ini membuat bingung masyarakat sebagai konstituen. Akhirnya rakyat
menjadi apatis. Diperparah oleh tingkah polah aktor yang jauh dari harapan sebagai wakil rakyat.
Pada dasarnya ideologi partai harus sesuai dengan ideologi negara. Mengapa? Semata-mata
untuk menyesuaikan cita-cita partai dan negara. Ideologi menjadi dasar bagi kehidupan
bernegara. Sudah seharusnya ideologi partai diarahkan sama dengan ideologi negara. Kekacauan
politik yang terjadi selama ini bisa jadi diakibatkan oleh ketidaksesuaian ideologi dan cita-cita
negara dengan ideologi dan cita-cita partai. Partai “tidak ada” ideologi dan cita-citanya hanya
ingin mencapai kekuasaan –alih-alih berpihak kepada rakyat. Sedangkan negara berideologikan
UUD 1945, Pancasila, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika serta bercita-cita kesejahteraan seluruh
rakyatnya. Wajar jika pembangunan gagala karena aktor politik yang menjalankan negara tidak
mengilhami ideologi negara. Kebijakan dialihkan untuk kepentingan diri dan partainya, sehingga
kesejahteraan rakyat tidak tercapai.