Energi Nuklir di Indonesia docx

Energi Nuklir di Indonesia: Mungkinkah?
May 17, 2012 Media Nuklir Leave a comment Go to comments
Beberapa waktu yang lalu, salah satu anggota Dewan Energi Nasional, Prof. Rinaldy Dalimi,
berpendapat bahwa pemanfaatan energi nuklir di Indonesia hampir tidak mungkin
dilaksanakan. Apakah benar tidak mungkin?
Berikut ini adalah tanggapan Dr. Sidik Permana, dosen ITB dengan spesialisasi riset nuclear
engineering, mengenai pendapat “ketidakmungkinan” pemanfaatan teknologi nuklir di
Indonesia.
Dimedia-media,

nyaris

tidak

ada

nilai

positif

bagi


pembangunan

PLTN.

Tapi hal ini sudah lumrah, dan khususnya di DEN, kalau setuju semua juga tidak baik, tidak
ada

kontrol

efektif

untuk

itu.

Kedepan, badan regulasi tenaga nuklir akan lebih penting karena akan melakukan kontrol dan
licensing.
Kita


ulas

saja

pernyataan

Prof.

Dalimi

terkait

nuklir

di

media

tersebut.


1. Yakni PLTN akan mengharuskan Indonesia mengimpor uranium, karena uranium
Indonesia tidak ekonomis
[Ulasan]–> Mayoritas industri nuklir (PLTN) menggunakan bahan bakar uranium import,
kecuali negara nuklir yang mempunyai sumber daya uranium alam yang banyak dan
teknologi pengayaannya seperti Amerika, Rusia dan Kanada, Khusus Kanada, dengan
teknologi CANDU, tidak perlu pengayaan. Jadi sumber daya alam uranium di negara-negara
yg tidak pakai PLTN jauh lebih banyak seperti Australia, Kazakstan, Nigeria, dll. Terkait
ekonomis, bukan faktor uraniumnya, meskipun beberapa tipe kandungan uranium
memberikan variasi harga, tetapi karena nilai ekonomis kalau kita melakukan enrichment
sendiri, kecuali kedepan mau punya industri pengayaan sendiri dan daur ulang, nah itu lain
hal. Tapi kalau untuk operasional reaktor yg terbatas cukup dengan import masih lebih
murah. Pertanyaannya, bahan energi mana yang tidak import? minyak sudah lama import,
batu bara mungkin kedepannya akan import, renewable? teknologinya dari mana bahan2nya?
selain faktor ekonomis dan limbah proses olahannya?

2. Dunia tidak akan mengizinkan Indonesia melakukan pengayaan uranium, karena
Iran saja dilarang, meski pemerintahnya melawan.
[Ulasan]–> Pernyataan ini kurang lengkap dan tidak menyentuh akan permasalah terkait
pengayaan uranium untuk PLTN dan terkait non proliferasi dan juga kasus Iran, Korea Utara,
kemudian India dan Pakistan. Teknologi pengayaan dan daur ulang tidak dilarang dan

merupakan hak semua negara, tetapi hanyak untuk tujuan damai dan sipil salah satunya
PLTN. Jadi aneh apabila pengayaan uranium untuk PLTN dianggap akan dilarang. LEU atau
less enriched uranium kurang dari 20% adalah legal digunakan untuk PLTN selain adanya
kontrol material dan monitoring dan inspeksi dari regulasi masing2 negara dan juga IAEA.
Untuk Iran yang terjadi adanya distrust dan ketakutan berlebih apabila teknologi penyaan
dikuasai akan membuat bom, padahal statement resminya tidak akan membuat dan beberapa
inspeksi juga tidak ada bukti mengarah kesana dan kalaupun bisa masih terlalu jauh untuk
memproduksinya. Jadi pembahasan tersendiri.
3. Alasan yang cukup berat adalah Indonesia merupakan “kawasan gempa” sehingga
risikonya tinggi. “Kalau pun dibangun dengan tahan gempa, tentu biayanya akan
mahal, sehingga harganya nuklir juga tidak akan murah, bahkan perlu subsidi.”
[Ulasan]–> Dari zaman generasi kedua khsusnya 1960an, bangunan reaktor sudah
diperhitungkan dampak gempa, bahkan juga dinding untuk tsunami dan begitu pula sekarang
dengan standar yg lebih tinggi. Khusus kasus Fukushima daiichi unit 1 yg paling tua
dibangun 1965, beroperasi 1971, sudah memperhitungkan gempa dan direvisi kemudian
dengan perkembangan gempa Chili 1995 kalau tidak salah yang besarnya 9.5 M dan tsunami
kurang dari 6 meter. Dan masih ekonomis. Akan sedikit lebih tinggi harga PLTN, apabila
menghitung juga liability atau efek dari kebocoran radiasi, dan itu juga masih bisa diprediksi
dengan kasus Fukushima ini berapa harga yang perlu dibayar untuk kejadian2 seperti itu.
Negara-negara maju dan industri memilih nuklir karena murah, sustainable dan non-CO2

emission. Untuk teknologi tahan gempa di Jepang sudah bisa diprediksi dengan bagus dan
kejadian Fukushima bukan karena faktor gempanya tetapi faktor tsunami. Bahkan ketika
gempa Kashiwazaki-kariwa di Niigata, rasio besarnya gempa 2 kalinya dengan desain dasar
tahan gempa PLTN tersebut, tetapi mereka tetap merestart ulang dan bisa bertahan.
4. Alasan yang juga penting adalah Jepang sudah mematikan 54 unit PLTN pada dua
minggu lalu, lalu Jerman juga akan mematikan seluruh PLTN-nya pada tahun 2025.

[Ulasan]–> Kalau Jerman jelas terlalu banyak alasan politis dan sekarang mulai terasa
bagaimana sulitnya mengkonversi seperempat listriknya dari nuklir dengan yang lain. Selain
itu Jerman adalah salah satu negara pengimpor gas, minyak dan batubara terbesar dunia.
Kalau situasi politik berubah, kondisi ekonomi berubah maka kebijakan akan berubah juga.
Untuk Jepang, kebijakan energi jangka panjang sedang dibuatkan. dan berita terbaru, dari 17
reaktor yang sudah mengajukan uji stress test sudah 2 PLTN yang sudah oke dan mendapat
approval dari dewan kota. Dan lambat laun akan direstrat kembali PLTN yang ada, karena
sudah melewati regulasi safety dan pengecekan dan izin dari daerah yang kemungkinan besar
akan diikuti oleh yang lainnya. Disamping itu, pabrik2 di Jepang juga sudah kekurangan
energi listrik dan sebagai penggantinya dengan menghidupkan kembali PLTU tua dengan
import batu bara dan menambah import gas untuk PLTG mereka yang tenbtunya harga listrik
naik (sekitar 17% Tepco) dan emisi CO2 yang bertambah sehingga program pengurangan
emisi


rumah

kaca

jadi

terkendala.

Alasan terakhir ini, masih debatable dan unpredictable secara pasti tapi masih bisa kita amati
kecenderungannya. Tapi isu keempat ini akan berbeda dengan kecenderungan negara2
lainnya

yang

justru

akan

segera


membangun

PLTNnya