Implementasi Zakat Profesi dalam Perbank (1)

Implementasi Zakat Profesi dalam Perbankan

Makalah Ini Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Fikih
Kontemporer Perbankkan

Dosen:
Imam Mustofa, SHI,MSI

Disusun Oleh:
Nama: Oviantari Puput Agustina Vayanti
NPM: 141270710
Kelas: B

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) JURAI SIWO METRO
MARET 2017

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dengan semakin pesatnya perkembangan keilmuan yang diiringi
dengan perkembangan teknologi dan ekonomi dengan ragam dan coraknya,

maka perkembangan kehidupan saat ini tidak dapat disamakan dengan
kehidupan zaman sebelum masehi atau di zaman Rasulullah saw dan
generasi setelahnya. Tetapi subtansi kehidupaan tentunya tidak akan terlalu
jauh berbeda. Kegiatan ekonomi misalnya, diera manapun jelas akan selalu
ada, yang berbeda adalah bentuk dan corak kegiatannya, karena subtansinya
dari kegiatan tersebut adalah bagaimana manusia memenuhi kebutuhan
hidupnya.
Dengan semakin berkembangnya pola kegiatan ekonomi maka
pemahaman tentang kewajiban zakat pun perlu diperdalam sehingga ruh
syariat yang terkandung didalamnya dapat dirasakan tidak bertentangan
dengan kemajuan tersebut. Maka pemahaman fiqh zakat kontemporer
dengan mengemukakan ijtihad-ijtihad para ulama kontemporer mengenai
zakat tersebut perlu difahami oleh para pengelola zakat dan orang-orang
yang memiliki kepedulian terhadap masalah zakat ini
Dr Yusuf Qordhowi yang sampai saat ini karyanya mengenai fiqh
zakat belum ada yang bisa menandinginya, menyatakan bahwa mensikapi
perkembangan perekonomian yang begitu pesatnya, diharapkan adanya
beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh para pengelola zakat khususnya
lembaga-lembaganya, yaitu berpedoman pada kaidah perluasan cakupan
terhadap harta yang wajib dizakati, sekalipun tidak ada nash yang pasti dari

syariah, tetapi berpedoman pada dalil yang umum.

PEMBAHASAN
IMPLEMENTASI ZAKAT PROFESI DALAM PERBANKAN
A. Zakat pada Gajian Bulanan
Sebagian kalangan mengadakan zakat profesi yang dikeluarkan dari
gaji yang diterima setiap bulannya. Di antara alasannya, jika petani yang
dengan susah payah bekerja lalu ketika panen harus mengeluarkan zakat
hasil panennya, maka pegawai yang menerima gaji dengan tanpa susah
payah lebih utama mengeluarkan zakat gajinya.1

B. Cara Mengeluarkan Zakat Profesi
Jika kita mengikuti pendapat ulama yang mewajibkan zakat
penghasilan,

lalu

bagaimana

cara


mengeluarkannya?

Dikeluarkan

penghasilan kotor (bruto) atau penghasilan bersih (neto)? Ada tiga wacana
tentang bruto atau neto seperti berikut ini. Dalam buku Fiqh Zakat karya DR
Yusuf Qaradlawi, bab zakat profesi dan penghasilan, dijelaskan tentang cara
mengeluarkan zakat penghasilan. Kalau kita klasifikasi ada tiga wacana:
1. Pengeluaran bruto
Yaitu mengeluarkan zakat penghasilan kotor. Artinya, zakat
penghasilan yang mencapai nisab 85 gr emas dalam jumlah setahun,
dikeluarkan 2,5 % langsung ketika menerima sebelum dikurangi apapun.
Jadi kalau dapat gaji atau honor dan penghasilan lainnya dalam sebulan
mencapai 2 juta rupiah x 12 bulan = 24 juta, berarti dikeluarkan langsung
2,5 dari 2 juta tiap bulan = 50 ribu atau dibayar di akhir tahun = 600 ribu.
Hal ini juga berdasarkan pendapat Az-Zuhri dan ‘Auza’i, beliau
menjelaskan: “Bila seorang memperoleh penghasilan dan ingin
membelanjakannya sebelum bulan wajib zakat datang, maka hendaknya
ia


segera

mengeluarkan

zakat

itu

terlebih

dahulu

dari

membelanjakannya” (Ibnu Abi Syaibah, Al-mushannif , 4/30). Dan juga
menqiyaskan dengan beberapa harta zakat yang langsung dikeluarkan

Abu Ibrahim Muhammad Ali M, “Fiqh Kontemporer Zakat” dalam Ibnu Majjah,
2014 , hlm 5

1

tanpa dikurangi apapun, seperti zakat ternak, emas perak, ma’dzan dan
rikaz.
2. Dipotong oprasional kerja
Yaitu setelah menerima penghasilan gaji atau honor yang
mencapai nisab, maka dipotong dahulu dengan biaya oprasional kerja.
Contohnya, seorang yang mendapat gaji 2 juta rupiah sebulan, dikurangi
biaya transport dan konsumsi harian di tempat kerja sebanyak 500 ribu,
sisanya 1.500.000. maka zakatnya dikeluarkan 2,5 dari 1.500.000=
37.500,- Hal ini dianalogikan dengan zakat hasil bumi dan kurma serta
sejenisnya. Bahwa biaya dikeluarkan lebih dahulu baru zakat dikeluarkan
dari sisanya. Itu adalah pendapat Imam Atho’ dan lain-lain. Dari zakat
hasil bumi ada perbedaan prosentase zakat antara yang diairi dengan
hujan yaitu 10% dan melalui irigasi 5%.
3. Pengeluaran neto atau zakat bersih,
Yaitu mengeluarkan zakat dari harta yang masih mencapai nisab
setelah dikurangi untuk kebutuhan pokok sehari-hari, baik pangan,
papan, hutang dan kebutuhan pokok lainnya untuk keperluan dirinya,
keluarga dan yang menjadi tanggungannya. Jika penghasilan setelah

dikurangi kebutuhan pokok masih mencapai nisab, maka wajib zakat,
akan tetapi kalau tidak mencapai nisab tidak wajib zakat, karena dia
bukan termasuk muzakki (orang yang wajib zakat) bahkan menjadi
mustahiq (orang yang berhak menerima zakat) karena sudah menjadi
miskin dengan tidak cukupnya penghasilan terhadap kebutuhan pokok
sehari-hari. Hal ini berdasarkan hadits riwayat imam Al-Bukhari dari
Hakim bin Hizam bahwa Rasulullah SAW bersabda: “…. dan paling
baiknya zakat itu dikeluarkan dari kelebihan kebutuhan…”.kesimpulan,
seorang yang mendapatkan penghasilan halal dan mencapai nishab (85 gr
emas) wajib mengeluarkan zakat 2,5 %, boleh dikeluarkan setiap bulan
atau di akhir tahun. Sebaiknya zakat dikeluarkan dari penghasilan kotor
sebelum dikurangi kebutuhan yang lain. Ini lebih afdlal (utama) karena
khawatir ada harta yang wajib zakat tapi tidak dizakati, tentu akan
mendapatkan adzab Allah baik di dunia dan di akhirat. Juga penjelasan

Ibnu Rusd bahwa zakat itu ta’bbudi (pengabdian kepada Allah SWT)
bukan hanya sekedar hak mustahiq. Tapi ada juga sebagian pendapat
ulama membolehkan sebelum dikeluarkan zakat dikurangi dahulu biaya
oprasional kerja atau kebutuhan pokok sehari-hari.2


C. Cara Menghitung Zakat Uang Simpanan
1. Tabungan Uang Simpanan di Bank Syariah
Contoh : Pak andi mempunyai Deposito di Bank Syariah
Mandiri dengan setoran awal tanggal 1 Januari 2015 sebesar
Rp.75.000.000,- dengan jumlah bagi hasil Rp.3.850.000 setahun.
Maka zakatnya wajib dikeluarkan pada akhir tahun, jika deposito
tersebut melebihi nishab yaitu sebesar Rp.34.000.000,-. Dengan
demikian, zakat yang harus dikeluarkan Pak Andi sebesar :
Rp.75.000.000 (pokok) + Rp.3.850.000 (bagi hasil)= Rp.78.850.000,x2,5%=Rp.1.971.250.
Catatan : Jika bagi hasil yang ada di tabungan BSM selama ini sudah
melalui pemotongan zakat, maka zakat yang harus dikeluarkan adalah
dari pokoknya saja.

2. Tabungan Uang Simpanan di Bank Konvesional
Jika masih memiliki tabungan di Bank Konvensional,
menurut pendapat sebagian besar ulama, zakat yang dihitung harus
dikeluarkan terlebih dahulu bunga banknya. Karena bunga bank
adalah termasuk yang dikategorikan sesuatu yang diharamkan, maka
bunga bank tidak terkena wajib zakat meskipun bunga bank yang
terkumpul mencapai satu nishab (demikian pendapat para ulama).

Maka harta dari bunga bank tersebut tetap dianjurkan untuk
disalurkan bagi pembangunan fasilitas umum dan kegiatan sosial
lainnya (non konsumsi), namun tidak dapat dianggap sebagai sedekah
oleh Allah SWT. Contoh : Pak Andi memiliki tabungan di Bank
Konvensional Rp.65.000.000, dengan bunga Rp.3.150.000,- setahun,
Azis Eksyar Six, “Zakat mal dan Zakat Profesi” dalam www.academia.edu di
unduh pada 05 Maret 2017
2

sehingga saldo tabungannya sebesar Rp.68.150.000,- Maka zakat
yang harus dikeluarkannya adalah : saldo akhir – bunga =
Rp.65.000.000 X 2,5% = 1.625.000.-3

D. Zakat Obligasi
1. Hukum jual beli obligasi
Obligasi merupakan bagian dari pinjaman yang diberikan kepada
perusahaan atau pihak yang mengeluarkannya. Perusahaan atau
pihak yang bersangkutan memberikan suku bunga tertentu terhadap
obligasi tersebut tanpa mengaitkannya dengan keuntungan atau
kerugian dan ia berkewajiban melunasinya pada waktu yang telah

ditentukan. Obligasi itu memiliki harga nominal, yaitu harga asli
ketika pertama kali dikeluarkan dan harga pasaran yang disesuaikan
dengan kondisi penawaran dan permintaan (supply dan demand).
Hukum jual beli obligasi adalah haram menurut syariat Islam karena
mengandung suku bunga riba yang diharamkan dan juga termasuk
kategori penjualan utang kepada yang tidak berwenang yang tidak
dibolehkan.
2. Cara Membayar Zakat Obligasi
Meskipun jual beli obligasi itu diharamkan karena mengandung
unsur riba, namun si pemilik tetap berkewajiban membayar zakat
dari total nilai nominal obligasi yang dia miliki dengan cara
menggabungkannya dengan kekayaan yang lain dalam pertimbangan
nisab dan haul, kemudian membayar 2,5% dari jumlah keseluruhan,
tanpa suku bunga. Suku bunga yang diharamkan itu harus
dinafkahkan untuk kepentingan bakti sosial dan maslahat umum, di
luar pembangunan mesjid dan pencetakan Alquran dan lain-lain.
Pembelanjaan bunga riba yang sedemikian itu adalah untuk
menghindari penghasilan haram yang tidak boleh dimasukkan dalam
pembayaran zakat dan tidak boleh dinafkahkan untuk kepentingan
diri sendiri dan keluarga tetapi sebaiknya disumbangkan kepada

3

www.laznasbsm.or.id/content/FiqhZakat diunduh pada 03 Maret 2017

orang-orang yang sedang tertimpa kelaparan, bencana alam dan
musibah lainnya.4
D. Zakat Saham dan Obligasi
1.

Cara Penghitungan Zakat Saham
Contoh :
Untuk menghitung simulasi saham :
Pak Andi memiliki saham PT Amanah Setia 80.000 lembar
dengan harga perlembar adalah Rp. 1.000 maka total Rp.
80.000.000,- dan deviden Rp. 200/lembar = 80.000 x 200 = Rp.
16.000.000.
Jadi total saham ditambah deviden = 80.000.000 + 16.000.000
= 96.000.000,- Karena harta Pak Andi lebih dari Nishab (85 gram
emas = Rp. 25.500.000,-) maka wajib dikeluarkan zakatnya sebesar
2,5% x 96.000.000,- = Rp. 2.400.000,- (wajib zakat).

Al-hasil, zakat saham perusahaan dikenakan pada saham dan
keuntungannya sekaligus karena dianalogikan dengan perdagangan
besarnya 2,5%, jika harta tersebut cukup nishab dan haul saat itulah
zakat wajib diwajibkan. 5

2. Cara Penghitungan Zakat Obligasi
a.

Obligasi Konvensional
Pak Andi memiliki obligasi PT. Infrastruktur Jaya sebesar
Rp 550.000.000 untuk proyek pembangunan pabrik baru. Bunga
yang akan diberikan adalah 10% per tahun dengan jangka waktu
obligasi 10 tahun. Pada akhir tahun pertama. Bagaimana
perhitungan zakatnya?
JAWABAN :
Nilai Obligasi = Rp 550.000.000
Bunga 1 th

= 10% x Rp 550.000.000 = Rp 55.000.000

Muhammad
Mujahidin,
“Fiqh
Zakat
Kontemporer”,
dalam
https//Mujahidinmeins.wordpress.com diunduh pada 05 Maret 2017
5
Fakhruddin, Fiqh dan Manajemen Zakat di Indonesia (Malang : UIN Malang
Press, 2008) hlm.162
4

Total kekayaan 1 th

= Rp 550.000.00 + Rp 55.000.000
= Rp 605.000.000

Apabila bunga tidak dihitung zakat. Maka, hanya dihitung
nilai obligasinya, yaitu :
2,5% x Rp 550.000.000 = Rp 13.750.000 yang wajib
dizakatkan.
b. Obligasi Syariah (sukuk)6
Pak Andi memiliki sukuk PT. Barokah Mulia sebesar Rp
550.000.000 untuk proyek pengembangan produk. Bagi hasil yag
disepakati adalah 60:40 per tahun dimana 60% untuk Pak andi,
dengan jangka waktu sukuk 10 tahun. Pada akhir tahun pertama.
Bagaimana perhitungan zakatnya?
JAWABAN :
Nilai sukuk

= Rp 550.000.000

Bagi Hasil

= 60:40

Apabila Pendapatan setelah satu tahun Rp 100.000.000, maka
Bagi hasil untuk Pak andi sebesar 60% x Rp Rp 100.000.000 =
Rp 60.000.000, maka zakat yang harus dikeluarkan adalah :
Nilai sukuk + keuntungan = Rp 550.000.000 + Rp 60.000.000
= Rp 610.000.000
Nilai zakat

= 2,5% x Rp 610.000.000
= Rp 15.250.000

E. Distribusi Zakat Profesi
Distribusi zakat profesi sama dengan zakat mal lainnya, sebab ia
termasuk dalam kelompok zakat mal. Berdasarkan dalil-dalil yang ada zakat
dapat didistribusikan dalam dua bentuk yaitu bentuk komsumtif dan
produktif. Penyaluran zakat secara produktif ini pernah terjadi di zaman
Rasulullah SAW. Dikemukakan dalam sebuah hadits riwayat Imam Muslim
dari Salim bin Abdillah bin Umar dari ayahnya, bahwa Rasulullah saw telah
6

Ibid., h.163

memberikan zakat kepadanya lalu menyuruhnya untuk dikembangkan atau
disedekahkan lagi.
Diriwayatkan juga bahwa Mu’az Ibn Jabal membolehkan pemberian
zakat berdasarkan kebutuhan mustahiq (orang yang berhak menerima
zakat). Mu’az berkata kepada penduduk Yaman; berikanlah baju gamis yang
engkau miliki sebagai pembayaran zakat gandum dan biji-bijian. Hal ini
lebih mudah bagi kalian dan lebih baik bagi sahabat Nabi di kota Madinah.
Yusuf Qardhawi berpendapat, bahwa zakat merupakan ibadah
maaliyah ijtimaiyah yang memiliki posisi yang sangat penting, strategis, dan
menentukan, baik dari sisi ajaran maupun sisi pembangunan dan
kesejahteraan ummat. Selain daripada itu, zakat dapat memberikan solusi
dalam masalah kemiskinan, pengangguran dan pemerataan ekonomi, apabila
dilakukan secara optimal. Siapa saja yang dikendalikan olaeh hawa
nafsunya lalu tidak mau membayar zakat, bahkan mengambilnya secara
tidak sah, ia dapat diganjar dengan hukuman penyitaan separuh daripada
hartanya,

agar

dapat

menjadi

pelajaran

bagi

orangorang

yang

menyembunyikan hak Allah dalam kekayaannya.7
F. Hikmah Diwajibkan Zakat Profesi
Dalam ajaran Islam zakat profesi menempati posisi yang sangat urgen
Kewajiban zakat Profesi merupakan bukti integralitas syari‟ah Islam.
Artinya Islam datang membawa sebuah konsep kehidupan (manhaj alhayah) yang sempurna, tidak hanya memperhatikan aspek individual belaka,
tetapi juga misi sosial yang baik.Secara garis besar hikmah diwajibkan zakat
profesiyaitu, sebagai asuransi sosial karena adakalanya manusia itu hidup
dalam memiliki kekayaan dan ada pula dalam keadaan berikutnya ia malah
termasuk orang yang berhak menerima zakat.8

Siti Habibah, “ Zakat Profesi dalam Pemikiran Fikih Kontemporer, UINSuka.ac.id di unduh pada 03 maret 2017
8
Hertina, “ Hukum Islam”, Zakat Profesi dalam Perspektif Hukum Islam untuk
Pemberdayaan Umat. Vol 13, NO. 1 (2013) : juni 2013
7

Secara umum hikmahnya zakat profesi yaitu:
a. Mensyukuri Karunia Ilahi, Menumbuhsuburkan harta dan pahala
Serta Membersihkan diri dari sifatsifat kikir dan loba, dengki, iri
serta dosa.
b. Melindungi masyarakat dari bahaya kemiskinan dan akibat
kemelaratan
c. Mewujudkan rasa solidaritas dan kasih sayang antara sesama
d. Manifestasi kegotong royongan dan tolong-menolong dalam
kebaikan dan takwa
e. Mengurangi kefakirmiskinan yang merupakan masalah social
f. Membina dan mengembangkan stabilitas social
g. Salah satu jalan mewujudkan keadilan social.

KESIMPULAN
Dengan semakin berkembangnya pola kegiatan ekonomi maka
pemahaman tentang kewajiban zakat pun perlu diperdalam sehingga ruh
syariat yang terkandung didalamnya dapat dirasakan tidak bertentangan
dengan kemajuan tersebut. Maka pemahaman fiqh zakat kontemporer
dengan mengemukakan ijtihad-ijtihad para ulama kontemporer mengenai
zakat tersebut perlu difahami oleh para pengelola zakat dan orang-orang
yang memiliki kepedulian terhadap masalah zakat ini
Sebagian kalangan mengadakan zakat profesi yang dikeluarkan dari
gaji yang diterima setiap bulannya. Di antara alasannya, jika petani yang
dengan susah payah bekerja lalu ketika panen harus mengeluarkan zakat
hasil panennya, maka pegawai yang menerima gaji dengan tanpa susah
payah lebih utama mengeluarkan zakat gajinya
Distribusi zakat profesi sama dengan zakat mal lainnya, sebab ia
termasuk dalam kelompok zakat mal. Berdasarkan dalil-dalil yang ada zakat
dapat didistribusikan dalam dua bentuk yaitu bentuk komsumtif dan
produktif. Penyaluran zakat secara produktif ini pernah terjadi di zaman
Rasulullah SAW. Dikemukakan dalam sebuah hadits riwayat Imam Muslim
dari Salim bin Abdillah bin Umar dari ayahnya, bahwa Rasulullah saw telah
memberikan zakat kepadanya lalu menyuruhnya untuk dikembangkan atau
disedekahkan lagi.

DAFTAR PUSTAKA
Abu Ibrahim Muhammad Ali M, “Fiqh Kontemporer Zakat” dalam Ibnu
Majjah, 2014
Azis Eksyar Six, “Zakat mal dan Zakat Profesi” dalam www.academia.edu
di unduh pada 05 Maret 2017
www.laznasbsm.or.id/content/FiqhZakat diunduh pada 03 Maret 2017
Muhammad

Mujahidin,

“Fiqh

Zakat

Kontemporer”

dalam

https//Mujahidinmeins.wordpress.com diunduh pada 05 Maret 2017
Siti Habibah, “ Zakat Profesi dalam Pemikiran Fikih Kontemporer, UINSuka.ac.id di unduh pada 03 maret 2017
Hertina, “ Hukum Islam”, Zakat Profesi dalam Perspektif Hukum Islam
untuk Pemberdayaan Umat. Vol 13, NO. 1 (2013) : juni 2013
Fakhruddin, Fiqh dan Manajemen Zakat di Indonesia (Malang : UIN Malang
Press, 2008) hlm.162