ANALISIS KEMANDIRIAN KEUANGAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO DALAM PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2004-2008

ANALISIS KEMANDIRIAN KEUANGAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO DALAM PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2004-2008

Skripsi Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat-syarat untuk Mencapai Gelar Sarjana Ekonomi Jurusan Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret

Oleh: Sri Wulan Rahayu NIM. F0106007

JURUSAN EKONOMI PEMBANGUNAN FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010

MOTTO

Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Maka apabila kamu telah selesai (dari suatu urusan) kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain. Dan hanya kepada Tuhnmulah hendaknya kamu berharap. (QS. Al Insyiroh:6-8)

Terkadang hidup terasa begitu sulit untuk dijalani, tapi jangan pernah berhenti dan yakinlah bahwa sesuatu yang lebih baik telah menunggumu di depan.

(penulis)

PERSEMBAHAN

Karya sederhana ini aku persembahkan untuk:

Kedua orang tuaku yang senantiasa memberikan doa dan dukungannya untukku (Semoga ini bukan akhir dari usaha ananda untuk membahagiakan kalian yang tercinta, tapi merupakan awal dari usaha itu, terimakasih yang tak terhingga atas segala pengorbanan yang telah kalian berikan)

Adik dan kakak-kakakku, (yang walau jauh tapi kita tetap saling mendoakan untuk dapat menemukan hidup yang lebih baik)

KATA PENGANTAR

Tak ada kata yang lebih utama selain rasa syukur kepada Allah SWT, yang selalu melimpahkan nikmat serta karunia-Nya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul ”ANALISIS KEMANDIRIAN KEUANGAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO DALAM PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2004-2008”.

Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar kesarjanaan pada Fakultas Ekonomi Jurusan Ekonomi Pembangunan Universitas Maret. Persiapan, perencanaan, dan pelaksanaan hingga terselesaikannya penyususunan skripsi ini tidak terlepas dari peran bantuan berbagai pihak baik secara moril maupun materiil. Oleh karena itu, dengan kerendahan hati dan ketulusan yang mendalam penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Dr. A.M.Soesilo, M.Sc. selaku pembimbing yang telah meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran dalam membimbing dan memberikan masukan yang berarti dalam penyususunan skripsi ini.

2. Bapak Drs. Kresno Saroso Pribadi, M.Si, selaku Ketua Jurusan Ekonomi Pembangunan.

3. Bapak Dr. Bambang Sutopo, M.Com., Akt., selaku Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret yang langsung maupun tidak langsung telah banyak 3. Bapak Dr. Bambang Sutopo, M.Com., Akt., selaku Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret yang langsung maupun tidak langsung telah banyak

4. Dra. Izza Marfuah, M.Si, selaku sekretaris Jurusan Ekonomi Pembangunan.

5. Seluruh Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret beserta seluruh staff dan karyawan yang telah memberikian bimbingan, arahan, dan pelayanan kepada penulis.

6. Keluarga yang senantiasa memberikan doa, dukungan, dan bimbingan kepada penulis.

7. Teman-teman di Ekonomi Pembangunan.

8. Untuk yang telah menjadi inspirasi dalam hidupku, menemani dan memberi kebahagiaan dalam hidupku (aa’, abank, ka”, ayah, babe).

9. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang baik secara langsung maupun tidak langsung telah memberikan bantuannya kepada penulis hingga terselesaikannya penelitian ini. Dalam skripsi yang telah penulis susun ini tentunya masih banyak kekurangan

yang perlu dibenahi. Semoga karya ini dapat bermanfaat bagi seluruh pihak yang membaca dan terkait dengan skripsi ini.

Surakarta, Mei 2010

Penulis

2. Analisis Kuantitatif.................................................................................... .79

a. Derajat Desentralisasi Fiskal................................................................... .79

b. Kebutuhan Fiskal.................................................................................... .81

c. Kapasitas Fiskal...................................................................................... .82

d. Posisi Fiskal............................................................................................ .83

e. Kemandirian Daerah dan Pola Hubungan............................................... .85

BAB V. PENUTUP.................................................................................................. .88

A. KESIMPULAN............................................................................................ .88

B. SARAN......................................................................................................... .90 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

DAFTAR TABEL

Tabel halaman

1.1. Data besarnya jumlah dana perimbangan Kabupaten Sukoharjo....................... .5

1.2. Komposisi PAD Kabupaten Sukoharjo.............................................................. .5

2.1. Pola hubungan keuangan daerah......................................................................... .44

4.1. Distribusi PDRB Kabupaten Sukoharjo menurut lapangan usaha...................... .73

4.2. Pertumbuhan PDRB per kapita Kab. Sukoharjo menurut harga konstan........... .74

4.3. Pertumbuhan ekonomi sektoral Kab. Sukoharjo................................................ .75

4.4. Pertumbuhan PAD Kab. Sukoharjo......................................................................77

4.5. Pertumbuhan ekonomi Kab. Sukoharjo.............................................................. .78

4.6. Pertumbuhan PDRB per kapita Kab. Sukoharjo................................................. .79

4.7. Ukuran DDF Kabupaten/ kota............................................................................ .80

4.8. DDF Kab. Sukoharjo.......................................................................................... .80

4.9. Kebutuhan fiskal Provinsi Jawa Tengah dan Kab. Sukoharjo..............................82

4.10. Kapasitas fiskal Provinsi Jawa Tengah dan Kab. Sukharjo.............................. .83

4.11. Pertumbuhan PAD dan PDRB menurut harga konstan Kab. Sukoharjo............84

4.12. Pertumbuhan PAD dan PDRB menurut harga berlaku Kab. Sukoharjo........... .84

4.13. Pola hubungan dan tingkat kemampuan daerah............................................... .86

4.14. Kemandirian daerah dan pola hubungan Kab. Sukoharjo................................ .86

DAFTAR GRAFIK

Grafik halaman

2.1. Penentuan output oleh birokrat........................................................................... .46

2.2. Analisis Niskanen mengenai efisiensi alokasi.....................................................48

ABSTRAK ANALISIS KEMANDIRIAN KEUANGAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO DALAM PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2004-2008 SRI WULAN RAHAYU F0106007

Penelitian ini bertujuan sebagai berikut, pertama untuk mengetahui kemampuan keuangan daerah Kabupaten Sukoharjo. Kedua, untuk mengetahui tingkat

kemandirian keuangan daerah Kabupaten Sukoharjo terhadap

penyelenggaraan otonomi daerah. Ketiga, untuk mengetahui seberapa jauh tingkat kesiapan Pemerintah Daerah Kabupaten Sukoharjo dalam menghadapi pelaksanaan otonomi daerah.

Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis deskriptif dan kuantitatif. Adapun alat analisisnya adalah Derajat Desentralisasi Fiskal, kebutuhan fiskal, kapasitas fiskal, posisi fiskal, dan Rasio Kemandirian Daerah. Data yang digunakan merupakan data sekunder dari instansi pemerintah terkait, yakni mengenai Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) kurun waktu 2004 sampai 2008.

Hasil analisis deskriptif menunjukkan bahwa pertumbuhan PAD Kabupaten Sukoharjo cenderung mengalami peningkatan pada tahun 2004 sampai 2006 dan mengalami penurunan pada tahun 2007 dan 2008. Pertumbuhan ekonomi Kabupaten Sukoharjo dari tahun ke tahun cenderung rendah dan pada tahun 2008 justru terdapat penurunan persentase terhadap pertumbuhan ekonomi dari 5.11% menadi 4.84%. Dan pertumbuhan PDRB per kapita Kabupaten Sukoharjo cenderung mengalami peningkatan. Hasil analisis kuantitatif menunjukkan bahwa kemampuan keuangan daerah Kabupaten Sukoharjo masih rendah jika dilihat dari Derajat Desentralisasi Fiskal, kebutuhan kapasitas fiskal, dan posisi fiskal. Kabupaten Sukoharjo belum mandiri terhadap pelaksanaan otonomi daerah, jika diukur dari rasio kemandirian dan pola hubungan. Dimana besarnya nilai rasio kemandirian masih berada di bawah 25%. Sehingga menunjukkan pola hubungan yang instruktif, dimana peranan Pemerintah Pusat lebih dominan dibanding kemandirian Pemerintah Daerah.

Mengacu pada hasil penelitian ini, dapat diambil kesimpulan bahwa Mengacu pada hasil penelitian ini, dapat diambil kesimpulan bahwa

Kata kunci: DDF, Kebutuhan Fiskal, Kapasitas Fiskal, Posisi Fiskal, Derajat Otonomi Fiskal, Rasio Kemandirian Daerah.

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Semangat reformasi yang mulai begulir sejak tahun 1998 telah membawa perubahan yang mendasar dalam sistem pemerintahan di daerah. Tuntutan dari masyarakat akan adanya transparansi dan akuntabilitas dalam penyelenggaraan pemerintah yang bersih dan berwibawa dalam kerangka good governance semakin kuat. Good governance merupakan tata kelola organisasi secara baik dengan prinsip- prinsip keterbukaan, keadilan, dan dapat dipertanggungjawabkan dalam rangka mencapai tujuan organisasi (Halim, 2007:17). Secara internal reformasi tersebut telah mengubah sistem pengelolaan lembaga pemerintahan dari sentralisasi menuju desentralisasi dengan pemberian keleluasaan kepada daerah dalam wujud otonomi daerah.

Otonomi daerah merupakan keluasan wewenang, hak, kewajiban, dan tanggung jawab pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai keadaan dan kemampuan daerahnya sebagai wujud manifestasi dari desentralisasi. Otonomi daerah diwujudkan sebagai hasil dari pendelegasian sebagian urusan pusat kepada daerah yang bertujuan untuk mencapai kesejahteraan bagi seluruh lapisan masyarakat.

Otonomi daerah dan desentralisasi fiskal sebagaimana yang tertuang dalam Undang- Undang nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah yang telah direvisi dengan Undang-Undang nomor 32 tahun 2004 dan Undang- Undang nomor

25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah yang telah direvisi dengan Undang-Undang nomor 33 tahun 2004, telah mulai dilaksanakan pada tanggal

1 Januari 2001. Adanya otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, berarti terdapat keleluasaan bagi daerah untuk mengembangkan potensi penerimaan daerah dan keleluasaan untuk menyusun daftar prioritas pembangunan yang nantinya akan mendorong percepatan pembangunan suatu daerah.

Tujuan otonomi daerah pada dasarnya diarahkan untuk meningkatkan pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya, meningkatkan kesejahteraan rakyat, menggalakkan prakarsa dan peran serta masyarakat dalam perekonomian daerah, serta meningkatkan pendayagunaan potensi daerah secara nyata, optimal, terpadu, dan bertanggung jawab.

Otonomi diharapkan mampu mendorong daerah untuk berprakarsa lebih nyata dan mandiri dalam merumuskan berbagai prioritas strategi daerah melalui pembagian kewenangan penuh kepada daerah untuk merencanakan, melaksanakan, mengawasi, mengendalikan, dan mengevaluasi berbagai kebijakan sesuai dengan aspirasi masyarakat (Yuwono, 2008:16).

Pada dasarnya titik sentral otonomi daerah adalah penyerahan wewenang dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah. Salah satu aspek penting dalam pelaksanaan Pada dasarnya titik sentral otonomi daerah adalah penyerahan wewenang dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah. Salah satu aspek penting dalam pelaksanaan

Ciri utama suatu daerah mampu melaksanakan otonomi daerah adalah (1) kemampuan keuangan daerahnya, yang berarti daerah tersebut memiliki kemampuan dan kewenangan untuk menggali sumber-sumber keuangan, mengelola dan menggunakan keuangannya sendiri untuk membiayai penyelenggaraan pemerintah; (2) ketergantungan kepada bantuan pusat harus seminal mungkin, oleh karena itu Pendapatan Asli Daerah (PAD) harus menjadi sumber keuangan terbesar yang didukung oleh kebijakan perimbangan keuangan pusat dan daerah (Halim, 2007:262).

Di dalam pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah, kemandirian daerah merupakan salah satu tujuan yang hendak dicapai. Secara teoritis pengukuran kemandirian Daerah diukur dari Pendapatan Asli Daerah (PAD). Sesuai dengan Undang Undang No 22 tahun 1999 disebutkan bahwasanya Pendapatan Asli Daerah (PAD) terdiri dari :

1. hasil pajak daerah,

2. hasil retribusi daerah,

3. hasil perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan

4. lain lain pendapatan asli daerah yang sah. Kemampuan daerah otonom melaksanakan otonomi keuangan secara penuh 4. lain lain pendapatan asli daerah yang sah. Kemampuan daerah otonom melaksanakan otonomi keuangan secara penuh

Dana perimbangan merupakan transfer dari pemerintah pusat kepada daerah yang bertujuan antara lain untuk mengurangi ketimpangan sumber pendanaan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, serta untuk mengurangi kesenjangan pendanaan antar berbagai pemerintah daerah. Dana perimbangan sebagai salah satu sumber penerimaan daerah di era otonomi saat ini, keberadaannya sangat signifikan bagi daerah, khususnya yang kurang potensial dalam Sumber Daya Alam (SDA) dan Sumber Daya Manusia (SDM). Dengan demikian, bagi daerah tersebut Dana Alokasi Umum (DAU) merupakan salah satu sumber penerimaan yang relatif lebih besar dari sejumlah sumber-sumber penerimaan daerah lainnya dalam struktur keuangan daerah. Berbagai studi menunjukkan bahwa Pendapatan Asli Daerah (PAD) relatif rendah, sehingga daerah masih akan menggantungkan pelaksanaan otonomi daerah pada Dana Perimbangan dari pusat.

Tabel 1.1 Data besarnya jumlah dana perimbangan (dalam rupiah) Kabupaten Sukoharjo tahun 2006-2008.

Komponen dana perimbangan

Dana bagi hasil

588.369.601.735 Sumber: APBD Kabupaten Sukoharjo.

Tabel 1.2 Komposisi Pendapatan Asli Daerah (dalam rupiah) Kabupaten Sukoharjo Tahun 2006, 2007, dan 2008.

Komponen PAD

2006

2007

2008 Pajak daerah

13.555.956.368

14.532.971.616

15.421.729.385 Retribusi daerah

12.923.748.623

12.299.335.794

13.760.435.850 Pengeloalaan kekayaan daerah

2.665.850.283

2.140.161.365

2.822.801.706 Lain-lain PAD

14.862.525.449

13.477.439.288

9.780.094.495 Jumlah PAD

44.008.080.723

42.449.908.063

41.785.061.436 Sumber: APBD Kabupaten Sukoharjo.

Mudrajad Kuncoro (2004) menjelaskan setidaknya ada lima penyebab utama rendahnya PAD yang pada gilirannya menyebabkan tingginya ketergantungan subsidi dari pusat. Pertama, kurang berperannya perusahaan daerah sebagai sumber pendapatan daerah. Kedua, adalah tingginya derajat sentralisasi dalam bidang

tak langsung, ditarik oleh pusat. Pajak penghasilan badan maupun perorangan (termasuk migas), Pajak Pertambahan Nilai, bea cukai, PBB, royalti (atas minyak, pertambangan, kehutanan) semua dikelola administrasi dan ditentukan tarifnya oleh pusat. Ketiga adalah kendati pajak daerah cukup beragam, ternyata hanya sedikit yang bisa diandalkan sebagai sumber penerimaan. Faktor penyebab ketergantungan fiskal yang keempat bersifat politis. Ada yang khawatir apabila daerah mempunyai sumber keuangan yang tinggi akan mendorong disintegrasi dan separatisme. Faktor terakhir penyebab ketergantungan fiskal tersebut adalah kelemahan dalam pemberian subsisdi dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Selama ini pemerintah memberikan subsidi dalam bentuk blok (block grants) dan spesifik (specific grants). Perbedaan utama antara subsidi blok dengan subsidi spesifik adalah bahwa daerah memiliki keleluasaan dalam penggunaan dana subsidi blok, sedangkan penggunaan dana subsidi spesifik sudah ditentukan oleh pemerintah pusat dan daerah tidak punya keleluasaan dalam menggunakan dana tersebut. Apabila dilihat dari sisi jumlah bantuan yang diterima oleh pemerintah sejak Repelita I, maka bantuan yang bersifat spesifik jauh lebih besar daripada subsidi blok. Tidak berlebihan bila disimpulkan bahwa pemerintah pusat hanya memberi kewenangan yang lebih kecil kepada pemerintah daerah untuk merencanakan pembangunan di daerahnya (Kuncoro,

2004:14) . Dalam upaya mendukung pelaksanaan desentralisasi fiskal, dibutuhkan pengaturan yang sebaik-baiknya dalam bidang keuangan. Sebab, salah satu aspek

daerah. Oleh karena itu, kemampuan Pemerintah Daerah Kabupaten Sukoharjo dalam mengelola keuangannya menjadi penting dalam menjamin keberlangsungan fiskal (fiscal sustainability) di Kabupaten Sukoharjo. Kemampuan pengelolaan keuangan Kabupaten Sukoharjo sangat menentukan bagi proses penyelenggaraan tugas-tugas pemerintahan maupun pelayanan. Pemerintah Kabupaten Sukoharjo tidak akan mampu melaksanakan tugas dan fungsi pembangunan kepada masyarakat tanpa didukung kemampuan keuangan yang memadai. Untuk itu, dibutuhkan kebijakan pengelolaan keuangan daerah yang benar-benar mencerminkan kepentingan dan pengharapan masyarakat akan keuangan daerah yang mampu dikelola secara ekonomis, efisien, dan efektif. Pengelolaan keuangan daerah secara tidak langsung menggambarkan kemandirian keuangan daerah, baik menyangkut penerimaan maupun pengeluaran/ belanja. Bagi Pemerintah Kabupaten Sukoharjo, kebijakan pengelolaan keuangan tercermin pada kemampuan untuk menggali sumber penerimaan daerah dan kemampuan untuk mengelola belanja daerah.

Semakin tinggi derajat kemandirian suatu daerah menunjukkan bahwa daerah tersebut semakin mampu membiayai pengeluarannya sendiri tanpa bantuan dari pemerintah pusat. Apabila dipadukan dengan Derajat Desentralisasi Fiskal yang digunakan untuk melihat kontribusi Pendapatan Asli Daerah terhadap total pendapatan daerah secara keseluruhan, maka akan terlihat kinerja keuangan daerah secara utuh.

Secara umum, semakin tinggi kontribusi Pendapatan Asli Daerah dan semakin Secara umum, semakin tinggi kontribusi Pendapatan Asli Daerah dan semakin

Dengan pemberlakuan otonomi daerah, pemerintah daerah dituntut untuk dapat melaksanakan pengelolaan keuangan daerah secara efektif dan efisien dengan meningkatkan kemampuannya dalam merencanakan, menggali, mengelola dan menggunakan sumber-sumber keuangan sendiri sesuai dengan potensi yang dimiliki oleh daerahnya. Pemerintah Kabupaten/Kota harus mampu mandiri dalam penyelenggaraan pemerintahan, menentukan arah kebijakan pembangunan serta kemandirian dalam hal pembiayaan program-program pembangunan. Namun pada kenyataannya, pemerintah daerah pada umumnya masih belum mampu menjalankan fungsinya dalam mengelola keuangan daerah secara baik. Harapan yang besar dari daerah untuk dapat membangun daerahnya sendiri ternyata dari tahun ke tahun dirasakan masih jauh dari kenyataan. Yang terjadi adalah ketergantungan fiskal dan subsidi dari pemerintah pusat sebagai wujud ketidakberdayaan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dalam membiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

Berdasarkan kondisi tersebut, maka dipandang perlu dilakukan pengkajian secara mendalam mengenai kemampuan keuangan daerah, yang dalam kasus ini dibatasi pada analisis kemandirian keuangan daerah Kabupaten Sukoharjo.

B. PERUMUSAN MASALAH

Sehubungan dengan uraian di atas, maka permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimanakah kondisi perkembangan keuangan daerah di Kabupaten Sukoharjo apabila ditinjau dari beberapa indikator kemampuan keuangan daerah yang meliputi: Derajat Desentralisasi Fiskal, kebutuhan fiskal, kapasitas fiskal, dan posisi fiskal?

2. Bagaimanakah tingkat kemandirian daerah Kabupaten Sukoharjo terhadap pelaksanaan otonomi daerah yang telah dilaksanakan khususnya mengenai keuangan daerah, apabila diukur dengan rasio kemandirian dan pola hubungannya?

3. Apakah Kabupaten Sukoharjo sudah siap dalam menghadapi penyelenggaraan otonomi daerah terutama dalam memanfaatkan pos-pos potensial bagi pemasukan Pendapatan Asli Daerah terhadap total penegeluaran daerah?

C. TUJUAN PENELITIAN

Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis hal-hal sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui kondisi perkembangan keuangan daerah di Kabupaten Sukoharjo apabila ditinjau dari beberapa indikator kemampuan keuangan daerah yang meliputi: Derajat Desentralisasi Fiskal, kebutuhan fiskal, kapasitas fiskal, dan posisi fiskal.

2. Untuk mengetahui tingkat kemandirian daerah Kabupaten Sukoharjo terhadap pelaksanaan otonomi daerah yang telah dilaksanakan khususnya mengenai keuangan daerah, apabila diukur dengan rasio kemandirian dan pola hubungannya.

3. Untuk mengetahui kesiapan Kabupaten Sukoharjo dalam menghadapi penyelenggaraan otonomi daerah terutama dalam memanfaatkan pos-pos potensial bagi pemasukan Pendapatan Asli Daerah terhadap total penegeluaran daerah.

D. MANFAAT PENELITIAN

Manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagi ilmu pengetahuan

a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi akademis bagi peningkatan dan pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya di bidang perencanaan wilayah.

b. Memperkaya dan memperdalam penelitian sejenis yang telah ada sebelumnya.

2. Bagi pemerintah

a. Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai bahan informasi, masukan bagi pemerintah daerah, khususnya pemerintah daerah kabupaten Sukoharjo.

3. Bagi peneliti

a. Penelitian ini merupakan wujud nyata penerapan teori-teori yang telah di dapat di bangku kuliah serta sebagai wahana latihan dalam

BAB II TELAAH PUSTAKA

A. OTONOMI DAERAH

1. Pengertian Otonomi Daerah

Berkembangnya demokratisasi di Indonesia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara serta adanya semangat untuk mewujudkan good governance telah mendorong pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah. Reformasi yang bergulir sejak tahun 1998 telah mendorong masyarakat untuk semakin berani dan terbuka dalam menuntut terwujudnya transparansi dan akuntabilitas menuju penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan berwibawa.

Tahun 2001 merupakan tahun yang sangat berarti bagi bangsa Indonesia, karena sejak tahun 2001 tersebut telah terjadi perubahan yang sangat fundamental di dalam pola pengaturan hubungan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Pola pengaturan hubungan antara Pusat dan Daerah yang semula bersifat sentralistik di masa Orde Baru yang diterjemahkan melalui Undang-Undang nomor 5 tahun 1974, telah diubah dalam suatu pola hubungan yang lebih bersifat desentralisasi, dimanifestasikan melalui Undang-Undang nomor 22 tahun 1999 dan Undang-Undang nomor 25 tahun 1999. Dengan diberlakukannya kedua undang-undang tersebut, maka bangsa Indonesia mulai menerapkan sistem otonomi daerah.

Otonomi daerah adalah wewenang untuk mengatur dan mengurus rumah tangga daerah, yang melekat pada negara kesatuan maupun negara federasi. Kewenangan mengatur dan mengurus rumah tangga daerah di negara kesatuan meliputi segenap kewenangan pemerintahan kecuali beberapa urusan yang dipegang oleh pemerintah pusat seperti: hubungan luar negeri, pengadilan, moneter dan keuangan, dan pertahanan dan keamanan. Sedangkan di negara federal, negara bagian melaksanakan otonomi yang lebih luas karena negara bagian dapat mengurus peradilan dan keamanan sendiri (Adisubrata, 2002: 1).

Konsep dasar otonomi daerah adalah pemerintah pusat memberikan kewenangan yang luas kepada daerah untuk merencanakan dan melaksanakan pembangunan daerah masing-masing. Dengan kewenangannya, daerah akan menjadi kreatif untuk menciptakan kelebihan dan insentif kegiatan ekonomi dan pembangunan daerah (Yuwono, 2008:13). Di dalam UU No. 32 Tahun 2004 disebutkan bahwa otonomi daerah merupakan hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai peraturan perundang-undangan. Sedangkan yang dimaksud dengan daerah otonom yaitu, kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Menurut Mardiasmo dalam Yuyun Vitaloka (2007: 66) ada dua alasan yang mendasari pemberian otonomi luas dan desentralisasi yaitu:

1. intervensi pemerintah pusat pada masa lalu yang terlalu besar telah menimbulkan masalah rendahnya kapabilitas dan efektivitas pemerintah daerah dalam mendorong proses pembangunan dan kehidupan demokrasi di daerah.

2. tuntutan otonomi daerah muncul sebagai jawaban untuk memasuki era new game yang membawa new rules pada semua aspek kehidupan di masa mendatang. Pada suatu era dimana globalisasi semakin meluas pemerintah akan kehilangan kendali pada banyak persoalan seperti perdagangan internasional, informasi dan ide serta transaksi keuangan.

Otonomi daerah dibutuhkan untuk meningkatan kreativitas daerah di dalam mengembangkan daerahnya masing-masing. Otonomi daerah merupakan tantangan bagi pemerintah daerah untuk dapat melakukan proses pemberdayaan potensi ekonomi yang dimiliki oleh daerah tersebut. Pemberdayaan potensi ekonomi inilah yang nantinya diharapkan mampu memacu pertumbuhan ekonomi suatu daerah.

2. Landasan Hukum Otonomi Daerah

Pergantian pemerintah dari Orde Baru ke Orde Reformasi yang dimulai pertengahan 1998 menuntut pelaksanaan otonomi daerah yang memberikan kewenangan yang lebih luas dan bertanggung jawab kepada daerah secara proporsional. Pemberian kewewenangan ini diwujudkan dengan pengaturan pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional serta perimbangan keuangan Pergantian pemerintah dari Orde Baru ke Orde Reformasi yang dimulai pertengahan 1998 menuntut pelaksanaan otonomi daerah yang memberikan kewenangan yang lebih luas dan bertanggung jawab kepada daerah secara proporsional. Pemberian kewewenangan ini diwujudkan dengan pengaturan pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional serta perimbangan keuangan

Pada masa Orde Baru sistem pengelolaan pemerintah daerah diatur dalam Undang-Undang nomor 5 Tahun 1974. Di dalam Undang-Undang nomor 5 tahun 1974, terdapat tiga prinsip hubungan antara pusat dan daerah yaitu desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan. Asas desentralisasi yaitu pemberian otonomi yang luas, nyata, dan bertanggung jawab terhadap pemerintah kabupaten atau kota. Asas dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang dari pusat kepada gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah. Sedangkan tugas pembantuan adalah penugasan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dan desa serta dari pemerintah daerah ke desa untuk melaksanakan tugas tertentu disertai pembiayaan. Namun, dalam prakteknya prinsip dekonsentrasi lebih dominan. Setelah diberlakukannya Undang-Undang nomor 25 tahun 1999, terdapat perubahan mendasar dalam sistem hubungan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Sesuai dengan ketentuan Undang-Undang nomor 22 tahun 1999, maka pemerintah daerah diberikan otonomi yang luas, nyata, dan bertanggung jawab dalam upaya untuk meningkatkan

Dalam implementasinya kebijakan otonomi daerah yang diatur dalam Undang-Undang nomor 22 dan 25 tahun 1999 ini cukup banyak mengalami permasalahan. Sehingga, pemerintah pusat melakukan revisi kebijakan otonomi daerah melalui Undang-Undang nomor 32 dan 33 Tahun 2004. Kedua kebijakan ini juga mengatur hal yang berkaitan dengan perencanaan dan penganggaran di daerah.

Menurut Undang-Undang nomor 22 Tahun 1999, kewenangan daerah mencakup seluruh kewenangan pemerintah pusat kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, pendidikan, moneter dan fiskal, serta agama. Hal tersebut dipertegas lagi dalam Undang-Undang nomor 32 Tahun 2004 yang membagi urusan pemerintah menjadi dua. Pertama, urusan pemerintah yang menjadi kewenangan pemerintah pusat, meliputi politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, serta agama. Kedua, urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan provinsi dan kabupaten/kota, meliputi perencanaan dan pengendalian pembangunan; perencanaan, pengawasan, dan pemanfaatan tata ruang; penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat; penyediaan sarana dan prasarana umum; pelayanan bidang kesehatan; penyelenggaraan bidang pendidikan dan alokasi sumber daya manusia potensial; penanggulangan masalah sosial lintas kabupaten/kota; dan pelayanan bidang ketenagakerjaan lintas kabupaten/kota (Yuwono, 2008: 44).

3. Maksud dan Tujuan Otonomi Daerah

Salah satu isu penting dan terus mengemuka pascareformasi tahun 1998 Salah satu isu penting dan terus mengemuka pascareformasi tahun 1998

Pada dasarnya tujuan pemberian otonomi kepada pemerintah daerah adalah untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintah di daerah, terutama dalam aspek pelaksanaan pembangunan dan pelayanan terhadap masyarakat serta untuk meningkatkan pembinaan kestabilan politik dan kesatuan bangsa (Sony Yuwono, 2008:17). Dengan pemberlakuan otonomi daerah diharapkan pemerintah daerah mampu meningkatkan kapabilitas dan efektivitas dalam menjalankan sistem pemerintahan. Filosofi otonomi daerah adalah mewujudkan kemandirian daerah di segala segi kehidupan, yang diukur melalui elemen Pendapatan Asli Daerah (PAD). Di harapkan dengan otonomi, semua daerah di Indonesia mampu melaksanakan semua urusan pemerintahan dan pembangunan dengan bertumpu pada Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang dimilikinya.

Pelaksanaan otonomi daerah secara normatif ditujukan untuk mendekatkan pelayanan kepada masyarakat, menciptakan penyelenggaraan pemerintahan yang demokratis yang ditandai dengan meningkatnya partisipasi dan aspirasi masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan. Salah satu bentuk Pelaksanaan otonomi daerah secara normatif ditujukan untuk mendekatkan pelayanan kepada masyarakat, menciptakan penyelenggaraan pemerintahan yang demokratis yang ditandai dengan meningkatnya partisipasi dan aspirasi masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan. Salah satu bentuk

Menurut Smith dalam Eko Prasojo (2009: 145) salah satu tujuan desentralisasi adalah terciptanya political equality di tingkat lokal. Political equality dalam desentralisasi merupakan kontribusi dari penguatan demokrasi lokal dimana masyarakat memiliki kesempatan yang lebih besar untuk memberikan suaranya dalam pemilihan dan pengambilan keputusan, membentuk asosiasi politik, dan menggunakan hak kebebasan berbicara. Kesempatan berpartisipasi yang lebih besar bagi masyarakat merupakan konsekuensi logis dari perpindahan pengambilan keputusan dari pemerintah nasional kepada pemerintah lokal. Dalam hali ini, kekuasaan pengambilan keputusan (power over decision making) diserahkan dari pemerintah nasional kepada masing-masing pemerintah lokal.

Menurut Mardiasmo dalam Yuyun Vitaloka (2007: 25) tujuan utama penyelenggaraan otonomi daerah adalah untuk meningkatkan pelayanan publik (public service) dan memajukan perekonomian daerah. Pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal pada dasarnya terkandung tiga misi utama yaitu:

1. meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat.

2. menciptakan efisiensi dan efektivitas pengelolaan sumber daya daerah.

3. memberdayakan dan menciptakan ruang bagi masyarakat (publik) untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan.

Otonomi daerah dapat dikatakan sebagai sarana bagi pemerintah daerah dalam menampung aspirasi masyarakat untuk dapat meningkatkan kemampuan daerah dalam mengelola keuangan daerah. Pemberdayaan otonomi daerah menekankan pentingnya pemahaman akan potensi daya saing daerah. Dengan pemahaman yang baik akan potensi daya saing yang dimiliki oleh daerahnya, suatu pemerintah daerah diharapkan dapat menyusun suatu kebijakan yang dapat menciptakan iklim yang kondusif bagi dunia usaha di daerah yang bersangkutan dan membawa kesejahteraan bagi masyarakat.

Dalam pelaksanaan otonomi daerah, hingga saat ini masih banyak terdapat penyalahgunaan kewenangan yang tidak sesuai dengan asas otonomi daerah. Agar otonomi daerah dapat dilaksanakan sejalan dengan tujuan yang ingin dicapai, pemerintah pusat wajib memberikan pedoman yang jelas dalam mengatur otonomi daerah. Selain itu, dalam evaluasi dan pengawasan pelaksanaan otonomi daerah, pemerintah pusat hendaknya harus bersikap tegas dan tidak ragu dalam memberikan sanksi terhadap siapa saja yang melakukan penyalahgunaan wewenang otonomi daerah.

4. Titik Berat Otonomi Daerah

Salah satu tujuan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah adalah untuk mendekatkan pelayanan pemerintah kepada rakyat sehingga terdapat efisiensi dan Salah satu tujuan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah adalah untuk mendekatkan pelayanan pemerintah kepada rakyat sehingga terdapat efisiensi dan

Beberapa pengamat menyarankan agar desentralisasi sebaiknya dilaksanakan pada tingkat provinsi karena provinsi dianggap memiliki kapasitas yang lebih besar untuk menangani seluruh tanggung jawab yang dilimpahkan daripada kabupaten atau kota. Namun, secara politis keputusan ini dianggap kurang baik dengan alasan akan terjadi potensi disintegrasi yang semakin kuat, khususnya di wilayah seperti Aceh dan Papua, dimana gerakan menuntut kemerdekaan harus dihadapi oleh pemerintah pusat. Dalam Undang-Undang nomor 5 Tahun 1974 ditekankan bahwa titik berat desentralisasi adalah pada Daerah Tingkat II (Dati II) dengan maksud untuk menekan semimal mungkin setiap kecenderungan separatisme daerah dengan kekuatan politik atau munculnya kekuatan politik sentrifugal yang menjauhi pusat. Dan ada pula alasan efisiensi dalam institusi pelayanan publik untuk sedekat mungkin dengan masyarakat.

Menurut Mudrajad Kuncoro (2004: 3) titik tolak desentralisasi di Indonesia adalah pada Daerah Tingkat II (Dati II), dengan dasar pertimbangan: pertama, dari dimensi politik, Dati II dipandang kurang mempunyai fanatisme kedaerahan sehingga risiko gerakan separatisme dan peluang berkembangnya aspirasi federalis relatif Menurut Mudrajad Kuncoro (2004: 3) titik tolak desentralisasi di Indonesia adalah pada Daerah Tingkat II (Dati II), dengan dasar pertimbangan: pertama, dari dimensi politik, Dati II dipandang kurang mempunyai fanatisme kedaerahan sehingga risiko gerakan separatisme dan peluang berkembangnya aspirasi federalis relatif

Menurut Yuyun Vitaloka (2007: 28) dalam skripsinya menjelaskan bahwa otonomi daerah yang dititikberatkan pada daerah kabupaten/ kota memiliki makna yang dalam bagi kelancaran jalannya pemerintahan. Paling tidak ada sembilan makna utama yang terkandung di dalam otonomi yang dititikberatkan pada daerah kabupaten/ kota, yaitu sebagai berikut:

1. otonomi daerah yang dititikberatkan pada daerah kabupaten/ kota akan menyebabkan penyelenggaraan dan pelayanan pemerintah menjadi lebih dekat dengan masyarakat sehingga kebijakan-kebijakan yang diambil dapat lebih sesuai dengan aspirasi masyarakat.

2. otonomi daerah yang dititikberatkan pada daerah kabupaten/ kota berarti lebih dekatnya pemerintah dengan situasi dan kondisi kehidupan masyarakat (alam, pertanian, kelautan) sehingga pemerintah dengan cepat dapat mengetahui dan memantau perkembangan kualitas kehidupan masyarakat.

3. otonomi daerah yang dititikberatkan pada daerah kabupaten/ kota berarti lebih sesuainya kebijakan-kebijakan dan program-program pemerintah dengan kebutuhan-kebutuhan masyarakat, baik kebutuhan ekonomi, politik, sosial budaya, spiritual maupun faktor-faktor indigenous lainnya.

4. otonomi daerah yang dititikberatkan pada daerah kabupaten/ kota merujuk pada sistem dan mekanisme birokrasi pemerintahan daerah yang berpijak pada sistem nilai dan mekanisme sosial yang hidup dalam masyarakat setempat.

5. otonomi daerah yang dititikberatkan pada daerah kabupaten/ kota bermakna mengoptimalkan upaya untuk produktivitas sektor-sektor yang memiliki keunggulan kompetitif di daerah kabupaten/ kota yang bersangkutan atau faktor ekonomi yang dominan, atau wilayah-wilayah yang unggul dalam suatu komoditi dengan keikutsertaan daerah secara maksimal.

6. otonomi daerah yang dititikberatkan pada daerah kabupaten/ kota menuju pada terciptanya sistem birokrasi pemerintah daerah yang diwarnai oleh kondidi- kondisi kedaerahan dan karakter kependudukan sehingga akan terwujud suatu manajemen pemerintah daerah yang akan berbeda satu sama lain.

7. otonomi daerah yang dititikberatkan pada daerah kabupaten/ kota bertujuan meringankan beban tugas pemerintah pusat/ instansi vertikal, karena beban tersebut dilimpahkan menjadi beban daerah dengan tetap memperhatikan parameter efisiensi dan efektivitas.

8. otonomi daerah yang dititikberatkan pada daerah kabupaten/ kota berarti mengutamakan kepentingan daerah kabupaten/ kota, dimana masing-masing daerah kabupaten/ kota dapat menampilkan keunggulan, keistimewaan, dan kreasinya.

9. otonomi daerah yang dititikberatkan pada daerah kabupaten/ kota mendorong 9. otonomi daerah yang dititikberatkan pada daerah kabupaten/ kota mendorong

5. Penyelenggaraan Pemerintah Daerah

pembagian urusan

pemerintahan antara pemerintah pusat dengan daerah otonom. Pembagian urusan pemerintahan tersebut didasarkan pada pemikiran bahwa selalu terdapat berbagai urusan pemerintahan yang sepenuhnya tetap menjadi kewenangan pemerintah pusat. Di dalam menentukan pembagian urusan antara pusat dan daerah di dasarkan pada beberapa kriteria. Pertama, kriteria eksternalitas yaitu pendekatan dalam pembagian urusan pemerintahan dengan mempertimbangkan dampak/ akibat yang ditimbulkan dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan tersebut. Apabila dampak yang ditimbulkan bersifat lokal, maka urusan pemerintahan tersebut menjadi kewenangan kabupaten/ kota, apabila regional menjadi kewenangan provinsi, dan apabila nasional menjadi kewenangan negara.

Kedua , kriteria akuntabilitas yaitu pendekatan dalam pembagian urusan pemerintahan dengan pertimbangan bahwa tingkat pemerintahan yang menangani sesuatu bagian urusan adalah tingkat pemerintahan yang lebih langsung/ dekat dengan dampak dari urusan yang ditangani tersebut. Dengan demikian akuntabilitas penyelenggaraan bagian urusan pemerintahan tersebut kepada masyarakat akan lebih terjamin. Ketiga, kriteria efisiensi yaitu pendekatan dalam pembagian urusan pemerintahan dengan mempertimbangkan urusan tersedianya sumber daya untuk Kedua , kriteria akuntabilitas yaitu pendekatan dalam pembagian urusan pemerintahan dengan pertimbangan bahwa tingkat pemerintahan yang menangani sesuatu bagian urusan adalah tingkat pemerintahan yang lebih langsung/ dekat dengan dampak dari urusan yang ditangani tersebut. Dengan demikian akuntabilitas penyelenggaraan bagian urusan pemerintahan tersebut kepada masyarakat akan lebih terjamin. Ketiga, kriteria efisiensi yaitu pendekatan dalam pembagian urusan pemerintahan dengan mempertimbangkan urusan tersedianya sumber daya untuk

Menurut Martin Jimung dalam Sony Yuwono (2008:17), setidaknya ada lima prinsip penyelenggaraan pemerintah daerah.

1. Prinsip pelaksanaan. Pelaksanaan otonomi daerah harus menjunjung aspirasi perjuangan rakyat, memperkukuh negara kesatuan, dan mempertimbangkan tingkat kesejahteraan masyarakat daerah.

2. Prinsip riil dan tanggung jawab. Pemberian otonomi kepada daerah harus merupakan otonomi yang nyata dan bertanggung jawab pada kepentingan seluruh warga daerah. Pemerintah daerah berperan mengatur proses dinamika pemerintahan dan pembangunan di daerah.

3. Prinsip pemencaran. Asas desentralisasi perlu dilaksanakan dengan asas dekonsentrasi melalui pemberian kemungkinan kepada masyarakat untuk kreatif dalam membangun daerahnya. Artinya, pemerintah bukan sebagai raja, melainkan pelayan untuk dan bersama rakyat membangun daerahnya.

4. Prinsip keserasian. Pemberian otonomi kepada daerah mengutamakan aspek keserasian dan tujuan di samping aspek pendemokrasian.

5. Prinsip pemberdayaan. Tujuan pemberian otonomi kepada daerah adalah untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintah di daerah, 5. Prinsip pemberdayaan. Tujuan pemberian otonomi kepada daerah adalah untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintah di daerah,

Menurut Undang-Undang nomor 32 tahun 2004 pasal 21, dalam menyelenggarakan otonomi, daerah mempunyai hak-hak sebagai berikut.

1. mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya;

2. memilih pimpinan daerah;

3. mengelola aparatur daerah;

4. mengelola kekayaan daerah;

5. memungut pajak daerah dan retribusi daerah;

6. mendapatkan bagi hasil dari pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya lainnya yang berada di daerah;

7. mendapatkan sumber-sumber pendapatan lain yang sah; dan

8. mendapatkan hak lainnya yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Selain hak-hak yang dimiliki oleh daerah, sesuai dengan Undang-Undang nomor 32 Tahun 2004 pasal 22, daerah juga memiliki kewajiban sebagai berikut:

1. melindungi masyarakat, menjaga persatuan, kesatuan dan kerukunan nasional, serta keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;

2. meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat;

3. mengembangkan kehidupan demokrasi;

4. mewujudkan keadilan dan pemerataan;

5. meningkatkan pelayanan dasar pendidikan;

7. menyediakan fasilitas sosial dan fasilitas umum yang layak;

8. mengembangkan sistem jaminan sosial;

9. menyusun perencanaan dan tata ruang daerah;

10. mengembangkan sumber daya produktif di daerah;

11. melestarikan lingkungan hidup;

12. mengelola administrasi kependudukan;

13. melestarikan nilai sosial budaya;

14. membentuk dan menerapkan peraturan perundang-undangan sesuai dengan kewenangannya; dan

15. kewajiban lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Dalam pasal 25 Undang-Undang nomor 32 Tahun 2004 disebutkan bahwa kepala daerah mempunyai tugas dan kewajiban sebagai berikut:

1. memimpin penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasarkan kebijakan yang ditetapkan bersama DPRD;

2. mengajukan rancangan Perda;

3. menetapkan Perda yang telah mendapat persejutuan bersama DPRD;

4. menyusun dan mengajukan rancangan Perda tentang APBD kepada DPRD untuk dibahas dan ditetapkan bersama;

5. mengupayakan terlaksananya kewajiban daerah;

6. mewakili daerahnya di dalam dan di luar pengadilan, dan dapat menunjuk kuasa hukum untuk mewakilinya sesuai dengan peraturan perundang-undangan; dan

7. melaksanakan tugas dan wewenang lain sesuai dengan peraturan perundang- undangan.

Selain mempunyai kewajiban seperti yang telah disebutkan di atas, kepala daerah juga mempunyai kewajiban untuk memberikan laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada Pemerintah, dan memberikan laporan keterangan pertanggunggjawaban

menginformasikan laporan

penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada masyarakat. Sedangkan wakil kepala daerah menurut pasal 26 Undang-Undang nomor 32 Tahun 2004 mempunyai tugas sebagai berikut.

1. membantu kepala daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah;

2. membantu kepala daerah dalam mengoordinasikan kegiatan instansi vertikal di daerah, menindaklanjuti laporan dan/ atau temuan hasil pengawasan aparat pengawasan, melaksanakan pemberdayaan perempuan dan pemuda, serta mengupayakan pengembangan dan pelestarian sosial dan budaya dan lingkungan hidup;

3. memantau dan mengevaluasi penyelenggaraan pemerintahan kabupaten dan kota bagi wakil kepala daerah provinsi;

4. memantau dan mengevaluasi penyelenggaraan pemerintahan di wilayah kecamatan, kelurahan dan/ atau desa bagi wakil kepala daerah kabupaten/kota;

5. memberikan saran dan pertimbangan kepala kepala daerah dalam penyelenggaraan kegiatan pemerintah daerah;

6. melaksanakan tugas dan kewajiban pemerintahan lainnya yang diberikan oleh kepala daerah; dan

7. melaksanakan tugas dan wewenang kepala daerah apabila kepala daerah berhalangan.

Wakil kepala daerah dapat menggantikan kepala daerah sampai habis masa jabatannya apabila kepala daerah meninggal dunia, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya selama enam bulan secara terus menerus dalam masa jabatannya.

B. KEUANGAN DAERAH

1. Dimensi Keuangan Daerah

Keuangan daerah dapat diartikan sebagai semua hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang, juga segala satuan, baik berupa uang maupun barang, yang dapat dijadikan kekayaan daerah sepanjang belum dimiliki/ dikuasai oleh negara atau daerah yang lebih tinggi serta pihak-pihak lain sesuai ketentuan/ peraturan perundangan yang berlaku (Mamesa dalam Abdul Halim, 2007: 24).

Sebagaimana yang dinyatakan dalam Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah (yang telah diperbaharui dengan Permendagri Nomor 59 Tahun 2007), ruang lingkup keuangan daerah meliputi:

1. hak daerah untuk memungut pajak dan retribusi daerah,

2. kewajiban daerah untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan daerah dan membayar tagihan pihak ketiga,

4. kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan daerah, dan

5. kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah daerah dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan daerah dan/ atau kepentingan umum.

Keuangan daerah dikelola dengan berdasarkan asas umum: tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efektif, efisien, ekonomis, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan asas keadilan, kepatutan, dan manfaat untuk masyarakat.

Pengertian lain dari keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dapat dinilai dengan uang, termasuk di dalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban daerah, dalam kerangka Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Oleh karena itu, pengertian keuangan daerah selalu melekat dengan pengertian APBD yaitu; suatu rencana keuangan tahunan daerah yang ditetapkan berdasarkan peraturan. Selain itu, APBD merupakan salah satu alat untuk meningkatkan pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan tujuan otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggungjawab. Dari definisi keuangan daerah tersebut melekat empat dimensi (Akbar, 2002:4):

1. Adanya dimensi hak dan kewajiban;

2. Adanya dimensi tujuan dan perencanaan;

3. Adanya dimensi penyelenggaraan dan pelayanan publik; dan

Keterkaitan keuangan daerah yang melekat dengan APBD merupakan pernyataan bahwa adanya hubungan antara dana daerah dan dana pusat atau dikenal dengan istilah perimbangan keuangan pusat dan daerah. Dana tersebut terdiri dari dana dekonsentrasi (PP No. 104 Tahun 2000 tentang Dana Perimbangan) dan dana Desentralisasi. Dana dekonsentrasi berbentuk Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Umum, dan Dana Alokasi Khusus. Sedangkan yang dimaksud dana desentralisasi adalah yang bersumber dari Pendapatan Asli Daerah.

Tujuan keuangan daerah menurut Nick Devas, et.al, (1989) dalam Barullah Akbar (2002:4) adalah sebagai berikut:

1. Akuntabilitas (Accountability) Pemerintah daerah harus mempertanggungjawabkan tugas keuangan kepada lembaga atau orang yang berkepentingan dan sah. Lembaga atau orang yang dimaksud antara lain, adalah Pemerintah Pusat, DPRD, Kepala Daerah, masyarakat dan kelompok kepentingan lainnya (LSM);

2. Memenuhi kewajiban Keuangan Keuangan daerah harus ditata sedemikian rupa sehingga mampu melunasi semua ikatan keuangan, baik jangka pendek maupun jangka panjang;