Peran Kepolisian Dalam Penanggulangan Kerusuhan Yang Terjadi Pada Saat Demonstrasi (Studi : Polda Sumut)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Republik Indonesia merupakan Negara hukum (rechtstaat) sebagai

  mana yang tercantum dalam UUD 1945 pasal 1 ayat 3, yang berisi : “Negara Indonesia adalah negara hukum”.

  Artinya bahwa bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah Negara yang berdasar atas hukum (rechtstaat), tidak berdasar atas kekuasaan (machtstaat) dan pemerintahan berdasarkan sistem konstitusi (hukum dasar), bukan absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas). Sebagai konsekuensi dari pasal 1 ayat 3 amandemen ketiga Undang_Undang dasar 1945, 3 (tiga) prinsip dasar wajib dijunjung oleh setiap warga Negara yaitu supremasi hukum, kesetaraan didepan hukum dan penegakan hukum dengan cara cara yang tidak bertentangan dengan hukum.

  Negara hukum merupakan terjemahan dari konsep rechtstaat atau rule of 19 dan abad ke-20. oleh karena itu, Negara demokrasi pada dasarnya adalah Negara hukum. Ciri Negara hukum antara lain :adanya supremasi hukum, jaminan hak azasi manusia dan legalitas hukum. Di Negara hukum, peraturan perundang undangan yang berpuncak pada Undang-Undang Dasar (konstitusi) merupakan satu kesatuan sistem hukum sebagai landasan bagi setiap penyelenggaraan

   kekuasaan.

  Sejak bergulirnya reformasi pada tahun 1998 wacana dan gerakan demokrasi terjadi secara massif dan luas di Indonesia. Hampir semua Negara didunia meyakini demokrasi sebagai “tolok ukur tak terbantah dari keabsahan politik”. Keyakinan bahwa kehendak rakyat adalah dasar utama kewenangan

  

  pemerintah menjadi basis tegak kokohnya sistem politik demokrasi. Dari sudut bahasa (etimoligis), demokrasi berasal dari bahasa Yunani yaitu Demos yang berarti rakyat dan Cratos atau Cratein yang berarti pemerintahan atau kekuasaan. Jadi secara bahasa, demos-cratein atau demos-cratos bersti pemerintahan rakyat

   atau kekuasaan rakyat.

  Aksi massa atau demonstrasi merupakan salah satu hak rakyat yang dilindungi oleh negara dalam konstitusi dasar dan undang-undang. Kemerdekaan menyampaikan pendapat ini merupakan sarana bagi rakyat untuk menggapai tujuannya. Sebagian rakyat mengakui bahwa demonstrasi merupakan salah satu oleh sebagian masyarakat masih meyakini bahwa kekuatan massa yang tidak bersenjata mampu untuk mempengaruhi kebijakan. Jika kita kaji secara konstitusional, demonstrasi merupakan hak yang harus dilindungi oleh

  2 Dwi winarno, S.Pd, M.Si, Paradigma Baru Pendidikan Kewarganegaraan,2006, PT.

  Bumi Aksara, Jakarta, Hlm.102 3 Ibid, hlm 60 pemerintah. Namun di sisi lain, orang yang melakukan demonstrasi juga harus

   mentaati peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku.

  Zamroni (2001) menyebutkan adanya kultur atau nilai demokrasi antara lain:

  1. Toleransi

  2. Kebebasan mengungkapkan pendapat

  3. Menghormati perbedaan pendapat

  4. Memahami keanekaragaman dalam masyarakat

  5. Terbuka dan komunikasi

  6. Menjunjung nilai dan martabat kemanusiaan

  7. Percaya diri

  8. Tidak menggantungkan pada orang lain

  9. Saling menghargai 10.

  Mampu mengekang diri 11. kebersamaan

   keseimbangan.

  Setelah tumbangnya rezim orde baru, telah membuka kebebasan sebesar- besarnya bagi rakyat Indonesia untuk menyampaikan aspirasinya. Baik itu secara pribadi ataupun secara berkelompok. Demonstrasi dianggap oleh sebagian orang yang berkaitan dengan hal demonstrasi sebagai proses transisi bangsa Indonesia

  

  dari sebuah pengekangan masa lalu. Hal itu dilakukan sesuai dengan prinsip

  5 6 Dwi Winarno S.Pd, M.Si, Op.Cit, Hlm 69 demokrasi itu sendiri yaitu pemerintahan oleh rakyat yang dibangun diatas dukungan dan partisipasi langsung dari mayoritas rakyat. Salah satu cara untuk mengungkapkan aspirasi itu adalah dengan cara melakukan unjuk rasa.

  Demonstrasi atau unjuk rasa merupakan suatu bentuk realisasi dari demokrasi. Menurut kamus besar bahasa Indonesia, demokrasi adalah:

  1. Bentuk atau sistem pemerintahan yang seluruh rakyatnya turut serta memerintah dengan perantaraan wakilnya.

   2. Pemerintahan rakyat.

  Demonstrasi mencakup tiga hak yang direalisasikan sekaligus, yaitu hak atas kebebasan berpendapat, berkumpul dan berserikat. Sebelum diamandemen, Pasal 28 UUD 45 menghormati ketiga hak ini. Sesudah amandemen, ditegaskan kembali kebebasan ini dihormati yang terkandung dalam Pasal 28E butir, yang berisi : “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.”

  Adanya UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, maka tiga boleh diganggu atau dirusak. Pasal 19, 21 dan 22 Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik menegaskan perlindungan atas tiga hak ini. Bahkan negara Republik Indonesia meratifikasi kovenan ini melalui UU Nomor 12 Tahun 2005.

  Sedangkan Undang undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, mengatur prosedur berdemonstrasi dengan memberitahukan kepada aparat kepolisian. Kendati demonstrasi diatur 8 Pusat bahasa departemen pendidikan nasional, Kamus besar bahasa Indonesia, dengan undang undang ini, namun jelas bahwa tidak ada larangan bagi setiap orang untuk mengekspresikan tiga kebebasan ini secara damai. Berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat secara lisan maupun tulisan yang diekspresikan dalam demonstrasi damai adalah tindakan merealisasikan hak-hak sesuai hukum. Kegiatan ini tidak boleh diganggu atau diintervensi pihak ketiga di luar demonstran dan aparat Kepolisian atau pemerintah.

  Penegasan atas UUD dan tiga UU lainnya sangat jelas. Pertama, demonstrasi secara damai haruslah dihormati baik oleh pemerintah atau polisi maupun oleh kelompok lain. Kedua, demonstrasi ini harus pula dilindungi dari ancaman atau gangguan dari kelompok lain, sehingga berlangsung dengan damai.

  Setiap orang berhak berdemonstrasi secara damai tanpa diganggu baik untuk

   memprotes kebijakan pemerintah.

  Walaupun kemerdekaan dan kebebasan merupakan Hak Asasi Manusia dan sekaligus juga hak asasi masyarakat, namun menurut pembukaan UUD 45 bukanlah kebebasan liar dan tanpa tujuan. Hak kemerdekaan dan keinginan luhur pembukaan UUD 45, ingin dicapai dengan membentuk pemerintahan negara Indonesia yang disusun atau dibangun dalam suatu UUD negara. Pernyataan atau deklarasi demikian terlihat dengan tegas dalam alinea ke-4 pembukaan UUD 45.

  Ini berarti, kemerdekaan dan kebebasan yang ingin dicapai adalah kebebasan dalam keteraturan, atau kebebasan dalam tertib hukum. Dengan tertib hukum inilah ingin diwujudkan tujuan memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan 9

   kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan

   kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

  Dalam prakteknya dilapangan, banyak aksi unjuk rasa ataupun demonstrasi yang berakhir dengan kerusuhan yang mengarah pada anarki. Hal tersebut disebabkan oleh faktor faktor dari dalam dan luar demonstran itu sendiri. Kerusuhan yang terjadi yang berujung pada terjadinya beberapa tindak pidana. Tindakan ini akan mengganggu ketertiban umum dan akan dapat mengancam keamanan Negara. Peristiwa pidana yang juga disebut tindak pidana (delict) ialah suatu perbuatan atau rangkaian perbuatan yang dapat dikenakan hukum pidana. Suatu peristiwa hukum yang dapat dinyatakan sebagai peristiwa pidana kalau

   memenuhi unsur unsur pidananya.

  Menurut Moeljatno unsur tindak pidana adalah :

  a. Perbuatan

  b. Yang dilarang (oleh aturan hukum)

  

  c. Ancaman pidana ( bagi yang melanggar larangan) dikatakan, hampir tidak dapat dipisahkan dari anarkisme. Sebagai sebuah aliran, anarkisme merupakan teori politik yang bertujuan untuk menciptakan masyarakat tanpa hierarki (baik dalam politik, ekonomi, maupun sosial). Para Anarkis berusaha mempertahankan bahwa anarki, ketiadaan aturan-aturan, adalah sebuah 10 Prof. Dr. Barda Nawawi Arief, SH, 2007, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan

  , Kencana, Jakarta, Hal.10-11 Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Kejahatan 11 12 Adami Chazawi, 2002, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, Raja Grafindo Persada,

  Jakarta, Hal. 79 format yang dapat diterapkan dalam sistem sosial dan dapat menciptakan kebebasan individu dan kebersamaan sosial. Anarkisme melihat bahwa tujuan akhir dari kebebasan dan kebersamaan sebagai sebuah kerjasama yang saling

   membangun antara satu dengan yang lainnya.

  Anarkisme yang menggunakan jalan kekerasanpun tidak jarang menyusup ke dalam pori-pori politik dan demokrasi di negeri ini. Lihat saja berbagai aksi kerumunan yang mengatasnamakan demokrasi yang tergelar di atas panggung sosial kita. Ibarat sebuah adegan teater, mereka bisa demikian mulus menjalankan peran sebagai algojo-algojo demokrasi yang tak henti-hentinya berteriak, menghujat, dan meneriakkan yel-yel pemaksaan kehendak yang tampil melalui ekspresi wajah yang beringas dan liar. Sifat-sifat individualistik mereka telah melebur ke dalam karakter kerumunan yang bengal dan tak terkendali. Demikian juga dalam berbagai aksi politik yang dengan sengaja membangkitkan sentimen- sentimen kelompok untuk mendapatkan simpati publik. Massa dan kerumunan telah berubah menjadi penguasa dadakan yang bisa demikian mudah melakukan

  Persoalannya sekarang, mengapa negeri kita yang sudah lama dikenal sebagai bangsa yang memiliki peradaban tinggi bisa demikian mudah tereduksi oleh unsur-unsur anarkisme dalam ranah politik dan demokrasi? Mengapa banyak orang yang bisa demikian mudah mengatasnamakan demokrasi dengan

  

  menggunakan cara-cara anarkis dalam menggapai tujuan dan ambisi?

  13 Maka dalam hal ini kewajiban lembaga kepolisian untuk menjaga keamanan Negara sebagaimana tercantum pada pasal 2 undang undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara, yang berisi : “Fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat”.

  Kepolisian adalah suatu institusi yang memiliki ciri universal yang dapat ditelusuri dari sejarah lahirnya polisi baik secara fungsi atau organ. Pada dasarnya polisi lahir bersama rakyat untuk menjaga sistem kepatuhan (konformitas) anggota masyarakat terhadap kesepakatan antar warga masyarakat itu sendiri terhadap kemungkinan adanya tabrakan kepentingan, penyimpangan perilaku dan perilaku kriminal dari warga masyarakat. Ketika masyarakat sepakat untuk hidup didalam suatu Negara, pada saat itulah polisi dibentuk sebagai lembaga formal yang disepakati untuk bertindak sebagai pelindung dan penjaga ketertiban dan keamanan masyarakat atau yang disebut sebagai fungsi “sicherheitspolitizei”. Kehadiran polisi sebagai organisasi sipil yang dipersenjatai agar dapat

   memberikan efek pematuhan (enforcing effect).

  Semua Negara di dunia ini selalu memiliki aparat kenegaraan yang di sebut polisi. Bentuk dan namanya dapat bermacam-macam. Keluasan tugasnya pun dapat bermacam-macam. Namun pada teori dasarnya polisi itu mempunyai tugas menyelenggarakan keamanan dan ketertiban umum. Tugas itu lalu diperinci dalam tugas yang bersifat prevensi atau pencegahan dan yang bersifat represif 15 Dr. bibit samad Rianto,2006, Pemikiran menuju polri yang proesional, mandiri, atau penindakan pelanggaran hukum. Keduanya diarahkan kepada kehidupan masyarakat yang tertib agar dapat mewujudkan dalam ketenteraman dalam bekerja. Di Indonesia pola tindak itu dijadikan falsafah Kepolisian Negara Republik Indonesia atau disingkat Polri dengan rumusan, Polri pada hakikatnya

   bertugas mewujudkan masyarakat yang Tata, Tenteram, Karta, Raharja.

  Polisi merupakan salah satu pilar yang penting. Polisi adalah hukum yang hidup. Melalui polisi ini janji janji dan tujuan tujuan untuk mengamankan dan

  

  melindungi masyarakat menjadi kenyataan. Kita dapat melihat pada era reformasi telah melahirkan paradigma baru dalam segenap tatanan kehidupan bermasyrakat, berbangsa dan bernegara yang ada dasarnya memuat koreksi terhadap tatanan lama dan penyempurnaan kearah tatanan Indonesia baru yang lebih baik. Paradigma baru tersebut antara lain supermasi hukum, Hak Azasi Manusia, demokrasi, transparansi dan akuntabilitas yang diterapkan dalam praktek penyelenggaran pemerintahan negara termasuk didalamnya penyelenggaraan fungsi Kepolisian. deskripsi mengenai polisi itu. Polisi seharusnya kita lihat tidak hanya menjalankan kontrol sosial saja, melainkan juga memberi pelayanan dan interpretasi hukum secara konkrit, yaitu melalui tindakan-tindakannya. Dengan kontrol sosial, pelayanan dan agen interpretasi tersebut menjadi lebih lengkaplah bahwa polisi mewujudkan janji-janji hukum.

16 Jend. Pol (purn) Drs. Kunarto, 1997 HAM dan POLRI, Cipta manunggal, Jakarta hlm. 1

  Penegakan hukum, penjagaan keamanan dan ketertiban masyarakat serta pelayanan dan pengayoman masyarakat adalah tugas pokok polisi sebagai profesi mulia, yang aplikasinya harus berakibat pada asas legalitas, undang-undang yang berlaku dan Hak Azasi Manusia. Atau dengan kata lain harus bertindak secara profesional dan memegang kode etik secara ketat dan keras, sehingga tidak terjerumus kedalam prilaku yang dibenci masyarakat .

  Perilaku polisi adalah wajah hukum sehari-hari. Apabila kita menyadari bahwa polisi merupakan ujung tombak penegakan hukum, yang berarti bahwa polisi yang secara langsung berhadapan dengan masyarakat, dan khususnya, pelanggar hukum dalam usaha menegakan hukum . Dengan demikian, bagaimana perilaku polisi dengan cara-cara kotor dan korup, maka secara otomatis masyarakat pun memandang hukum sebagai sesuatu yang kotor dan korup, juga andaikan pemolisian dikerjakan dengan baik, maka wajah hukumpun akan dipandang baik. Karena itu, pandangan masyarakat tentang polisi akan membawa implikasi pada pandangan mereka terhadap hukum. Pekerjaan pemolisian yang dan ideologis telah menentukan pemberian tempat kepada polisi dalam masyarakatnya, bagaimana ia diterima oleh masyarakat, dan bagaimana ia harus bekerja.

  Pergeseran serta perubahan dalam fungsi yang harus dijalankan oleh suatu badan dalam masyarakat merupakan hal yang biasa. Hal yang agak istimewa adalah bahwa kita sekarang hidup dalam dunia dan masyarakat yang sedang mengalami perubahan yang sangat intensif dibandingkan dengan waktu-waktu yang lalu. Pekerjaan polisi yang berhadapan langsung dengan masyarakat itu berkualitas penuh, sehingga tidak hanya bisa dikatakan, bahwa mereka berhadapan dengan rakyat, melainkan lebih dari itu berada ditengah tengah rakyat. Polisi juga disebut-sebut sebagai melakukan jenis pekerjaan yang tidak sederhana, yaitu melakukan pembinaan dan sekaligus pendisiplinan masyarakat. kedua- duanya memiliki ciri-ciri yang beda sekali.

  Profesionalisme polisi dapat tumbuh melalui peningkatan standar profesi yang tinggi dan tugas profesi sebagai panutan sadar hukum serta prilaku sesuai dengan hukum yang dicetuskan mulai dari sistem “recruitmen and training” kepolisian sesuai dengan tuntutan zaman, ilmu pengetahuan dan teknologi.

  Dewasa ini, usaha Polri mengembangkan profesonalismenya terus diperjuangkan. Usaha-usaha itu terus dilakukan antara lain dengan jalan mengikutsertakan anggotanya kedalam berbagai kegiatan-kegiatan lainnya yang dapat menunjang peningkatan kualitas kerja dan profesionalisme Polri.

  Permasalahan yang dihadapi Polri dalam tugas saat ini adalah bagaimana bermunculan aksi aksi massa seperti demonstrasi yang sewaktu waktu dapat menyulut terjadinya kerusuhan massal. Profesionalisme Polri dituntut untuk mewujudkan kepastian hukum baik kepastian dalam hukum maupun kepastian karena hukum, melalui pemupukan pengendalian massa secara tegas, berdasarkan hukum dan manusiawi, dengan membekali para anggota polisi dan keterampilan

   menggunakan peralatan pengendalian massa. Dalam beberapa waktu kedepan dapat dipastikan akan banyak terjadi gelombang-gelombang unjuk rasa.Untuk itu di perlukan kasiapan dari aparat kepolisian untuk dapat mencegah dan menanggulangi jika terjadinya kerusuhan pada saat unjuk rasa, supaya terjaga keamanan dan ketertiban masyarakat.

  Penanggulangan kerusuhan yang dilakukan merupakan upaya dalam menciptakan pemikiran bahwa berunjuk rasa bukanlah suatu kegiatan dalam menyampaikan aspirasi yang dilakukan dengan kasar atau dengan jalan harus rusuh supaya mendapat perhatian dari pihak pihak tertentu. Dengan tidak adanya kerusuhan yang tercipta pada saat unjuk rasa maka kebiasaan rusuh pada saat unjuk rasa tidak terjadi. Maka untuk itu diperlukan peran Kepolisian yang Profesional supaya tercipta keadaan yang kondusif dalam menyampaikan unjuk rasa, sebagai wujud kedewasaan dalam berdemokrasi.

  Berdasarkan dari uraian di atas maka penulis tertarik unjuk mengangkat judul skripsi tentang “PERAN KEPOLISIAN DALAM MENANGGULANGI salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Hukum.

B. Permasalahan

  Berdasarkan uraian di atas maka akan dapat diangkat berbagai permasalahan yang akan menjadi pembahasan dalam skripsi ini.

  1. Faktor faktor apakah yang merupakan penyebab terjadinya kerusuhan pada saat demonstrasi.

  2. Bagaimana peran kepolisian dalam menanggulangi kerusuhan yang terjadi pada saat demonstrasi.

  3. Bagaimana kendala dan upaya yang dilakukan Kepolisian Daerah Sumatera Utara dalam menanggulangi kerusuhan yang terjadi pada saat demonstrasi di wilayah hukum Polda Sumatera utara.

C. Tujuan Penulisan

  Melalui penulisan skripsi ini, penulis bertujuan untuk :

  1. Untuk mengetahui apa faktor faktor penyebab terjadinya kerusuhan pada saat unjuk rasa.

  2. Untuk mengetahui Bagaimana peran kepolisian dalam menanggulangi kerusuhan yang terjadi pada saat unjuk rasa.

  3. Untuk mengetahui Bagaimana kendala dan upaya yang dilakukan Kepolisian Daerah Sumatera Utara dalam menanggulangi kerusuhan yang D.

   Manfaat Penulisan

  Dengan penulisan skripsi ini, maka di harapkan akan memberikan manfaat bagi :

  1. Masyarakat dan aparatur penegak hukum untuk mengetahui faktor faktor penyebab terjadinya kerusuhan pada saat unjuk rasa.

  2. Masyarakat dan aparatur penegak hukum untuk mengetahui bagaimana peran kepolisian dalam menanggulangi kerusuhan yang terjadi pada saat unjuk rasa.

  3. Masyarakat dan aparatur penegak hukum untuk mengetahui apa kendala dan upaya yang dilakukan lembaga Kepolisian Daerah Sumatera Utara dalam menanggulangi kerusuhan yang terjadi pada saat unjuk rasa di wilayah hukum Polda Sumatera Utara.

  E. Keaslian Penulisan

  Berdasarkan data yang ada di sekretariat jurusan pidana, bahwa penelitian ataupun tulisan dalam bentuk skripsi, belum pernah ada yang menyangkut tentang Peran Kepolisian Dalam Menanggulangi Kerusuhan Yang Terjadi Pada Saat Unjuk Rasa.

  Oleh karena itu Penulis menganggap bahwa skripsi ini merupakan asli dari buah pemikiran penulis sendiri dengan asas asas keilmuan yaitu jujur, rasional dan objektif serta terbuka. Semua ini merupakan implikasi etis dari proses menemukan kebenaran ilmiah.

  Skripsi yang penulis tulis ini merupakan hasil pikiran penulis di tambah dengan literatur literatur lain, baik dari buku buku milik penulis sendiri, dari Kepolisian Daerah Sumatera Utara.

  F. Tinjauan Kepustakaan

1. Pengertian Kepolisian

1.1 Sejarah Kepolisian

  Perkembangan suatu organisasi tidak terlepas dari pengaruh lingkungan baik politik, ketatanegaraan, ekonomi maupun sosial budaya. Terdapat saling keterkaitan dan saling pengaruh antara administrasi Negara dengan perkembangan politik, ekonomi, dan sosial budaya. Sebaliknya, organisasi dapat pula mempengaruhi lingkungan tertentu. Hal itu dialami pula oleh Polri sebagai

   institusi Negara yang cukup besar.

  Institusi kepolisian republik ini telah mengalami sejarah panjang dan berliku. Pada masa kolonial Belanda dan masa penjajahan Jepang, polisi digunakan semata mata sebagai alat kekuasaan pemerintah kolonial dan penjajah. Sementara itu dalam berbagai kebijakan nasional yang dilahirkan,di awal perang kemerdekaan, polisi merupakan bagian dari pasukan rakyat bersenjata dalam menghadapi penjajah. Polri juga sempat mangalami masa masa kebersamaan dengan pemerintah sebagai alat kekuasaan politik Negara. Pada masa kelahiran Undang undang kepolisian tahun 1961, polisi ditempatkan menjadi bagian Integral Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Posisi ini semakin

   tahun 1982.

  Kelairan undang undang kepolisian pada tahun 1997, walaupun secara normatif menempatkan polisi bukan menjadi bagian militer. Namun watak militer Polri masih terasa sangat dominan mengingat rumusan aturannya masih mengacu pada ketentuan UU pertahanan dan keamanan Negara tahun 1982. cikal bakal 19 Jenderal Pol. (purn) Prof. Dr. Awaloedin Djamin, MPA,2007,Kedudukan kepolisian

  Negara RI di dalam sistem ketatanegaraan: dulu, kini dan esok , PTIK Press, Jakarta,hlm. 9 20 Brigjend Pol. Drs. Soewadji, 2005,Merubah image Polri, PT. Pustaka Bintang,

  kemandirian Polri sebagai wujud reformasi baru dapat diwujudkan dengan lahirnya Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 1999 yang diteruskan dengan terjadinya amandemen kedua UUD 1945 pada tahun 2000. Kemandirian Polri semakin mendapat tempat dengan Kelahiran TAP MPR Nomor VII/MPR/2000, yang kemudian ditindak lanjuti dengan lahirnya undang undang Kepolisian pada

   tahun 2002 sebagai pengganti undang undang Kepolisian tahun 1997.

  Tonggak sejarah kepolisian menemukan momentum dan jati dirinya dengan pemisahan polri dari Dephankam dan TNI yang berlaku efektif sejak 1 Januari 2001. tanggung jawabnya secara langsung kepada Presiden sebagai langkah strategis mewujudkan paradigma baru polisi sipil yang mampu menciptakan rasa aman, keselamatan, kepastian dan kedamaian lahir batin yang berorientasi pada profesionalisme, dekat dengan masyarakat, bertanggung jawab dan mempunyai komitmen terhadap masyarakat sebagaimana tergambar dalam visi, misi Polri saat

   ini.

1.2 Pengertian Kepolisian

  Indonesia tepatnya pada pasal 1 ayat 1, menyatakan bahwa Kepolisian adalah segala hal-ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi sesuai dengan

   peraturan perundang-undangan.

  Dalam hal ini berarti Kepolisian merupakan sebuah lembaga. Maka kita juga harus mencari pengertian dari Polisi itu sendiri yang merupakan subjek dari Kepolisian. Pada pasal 1 ayat 2 Undang-undang Republik Indonesia nomor 2 21 22 Ibid, hal 10 Ibid, hal 13 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia bahwa anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah pegawai negeri pada Kepolisian Negara.

  Kata “polisi” dalam bahasa Indonesia merupakan kata pinjaman dan berasal dari bahasa Belanda “politie”. Adapun bahasa Belanda “politie” didasarkan atas serangkaian bahasa Yunani Kuno dan Latin yang berasal dari bahasa Yunani Kuno “politeia”. Kata tersebut berarti kota atau negara kota ataupun pemerintahan Negara kota (polisi). Dalam hukum romawi yang sejak undang undang 12 meja ( Leges XII tabularum) pada tahun 450 SM memuat unsur unsur hukum Yunani terdapat kata kata “politia” yang artinya sama dengan “politeia” di Yunani.

  Sejak hukum Romawi meresap keseluruh Eropa barat pada abad ke-15 dan ke-16 ( 9 abad sesudah mulai runtuhnya imperium Romawi ) melalui penelitian kaum glossator (abad ke-12 dan abad ke-13) dan kaum post glossator ( abad ke- 14) dan sekolah sekolah hukum di Italia ( pertama di bologua) dan di Perancis

  

bahasa beda tetapi dengan arti yang sama.

  Atas dasar perkembangan itu maka kata “polis”, mendapat pengertian “negara” dan dalam bentuk-bentuk perkembangannya masuk unsur “pemerintah” dan lain sebagainya. Bahasa Yunani Kuno tersebut masuk kedalam bahasa Lain sebagai “poliyia” dan kata itulah yang diduga menjadi kata dasar kata “police” dalam bahasa Inggris, “ politie” dalam bahasa Belanda dan “polisi” dalam bahasa Indonesia.

  Bilamana secara tepat kata “polisi” mendapat arti yang kini digunakan, sulit dipastikan. Namun demikian, perkembangan sebagimana dicatat di inggris, yang dicatat penggunaan kata “police” sebagai kata kerja yang berarti “memerintah” dan “mengawasi” (sekitar tahun 1589). Selanjutnya sebagai kata benda diartikan “pengawasan”, yang kemudian meluas dan menunjukkan “organisasi yang menangani pengawasan dan pengamanan” (tahun 1716). Di Indonesia, istilah polisi ‘ digunakan dalam pengertian “organisasi pengamanan” pada abad ke-19 dalam interregum Inggris dari 1811 – 1817. wilayah Indonesia saat itu merupakan bagian dari wilayah yang dipimpin “bupati” masing-masing diserahi tugas pengamanan terib hukum dan polisi bertanggungjawab pada bupati setempat itu.

  Dari kata “polisi” tersebut kemudian para cendikiawan Kepolisian menyimpulkan bahwa terdapat 3 (tiga) pengertian, yaitu :

  1. Polisi sebagai fungsi

  

3. Polisi sebagai jabatan atau petugas.

  Yang banyak disebut sehari-hari adalah pengertian polisi sebagai pejabat atau petugas. Tiga pengertian kata polisi tersebut, kadang dicampur adukkan oleh masyarakat, yang seharusnya diartikan sesuai dengan konteks yang menyertai. Oleh karna itu timbul penilaian yang sebenarnya untuk individu (pejabat) tetapi diartikan sebagai tindakan suatu lembaga (alat negara).

1.3 Fungsi,Tugas Pokok dan Wewenang Kepolisian

  Di dalam undang undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, fungsi dari kepolisian diatur pada pasal 2 yang berisi: “Fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat”

  Pelaksanaan fungsi Kepolisian ini diemban oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia yang dibantu oleh :

  a. Kepolisian khusus

  b. Penyidik pegawai negeri sipil c. Bentuk bentuk pengamanan swakarsa.

  Secara universal, tugas POLRI pada hakekatnya adalah 2, yaitu tugas preventif dan tugas represif. Tugas preventif adalah tugas terbatas, kewenangannya dibatasi oleh KUHAP, sehingga asasnya bersifat legalitas yang

   berarti semua tindakannyan harus berdasarkan hukum.

  Pelaksanaan tugas preventif itu dapat dibagi dalam dua kelompok besar. Pencegahan yang bersifat fisik dilakukan dengan empat kegiatan pokok, mengatur, menjaga, mengawal dan patroli (TURJAWALI). Serta pencegahan yang bersifat pembinaan yang dilakukan dengan kegiatan penyuluhan, pembinaan, arahan, sambung, anjang sana untuk mewujudkan masyarakat yang sadar dan taat hukum serta mempunyai daya cegah-tangkal atas kejahatan. Dalam hal hal 26 Jend. Pol. (purn) Drs. Kunarto MBA, Perilaku Organisasi Polri, 2001, cipta tertentu melakukan tugas preventif itu harus dilakukan dengan keras. Tindakan ini

   yang disebut diskresi.

  Sedangkan tugas preventif adalah tugas yang luas hampir tanpa batas dirumuskan dengan kata kata berbuat apa saja boleh asal keamanan terpelihara dan tidak melanggar hukum itu sendiri. Dengan begitu pada tugas ini yang

  

  digunakan adalah asas oportunitas, utilitas dan asas kewajiban Dimasa sekarang, di masa universalisasi HAM, tindakan polisi dalam menegakkan hukum itu, telah dipagari dengan ketat oleh asas asas HAM, yang tertuang dalam KUHAP, dari mulai tindakan penyelidikan, penggerebekan,

   penangkapan, penyidikan ivestigasi sampai peradilannya.

  Didalam Undang undang Nomor 2 Tahun 2002 mencantumkan tantang tugas pokok kepolisian yang tertera pada pasal 13 yang berisi : “Tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah:

  a. memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat;

  b. menegakkan hukum; dan

  c. memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.” (1) Dalam melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Kepolisian Negara Republik Indonesia bertugas :

  a. Melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patroli terhadap kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan; b. Menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas di jalan; c. Membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, kesadaran hukum masyarakat serta ketaatan warga masyarakat terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan;

  d. Turut serta dalam pembinaan hukum nasional; 27 Jend. Pol. (purn) Drs. Kunarto MBA, Perilaku Organisasi Polri, 2001, cipta manunggal, Jakarta, hlm 109. 28 Ibid, hlm 109.

  e. Memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum;

  f. Melakukan koordinasi, pengawasan, dan pembinaan teknis terhadap kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil, dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa;

  g. Melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya;

  h. Menyelenggarakan identifikasi kepolisian, kedokteran kepolisian, laboratorium forensik dan psikologi kepolisian untuk kepentingan tugas kepolisian; i. Melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat, dan lingkungan hidup dari gangguan ketertiban dan/atau bencana termasuk memberikan bantuan dan pertolongan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia; j. Melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara sebelum ditangani oleh instansi dan/atau pihak yang berwenang; k. Memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan kepentingannya dalam lingkup tugas kepolisian; serta melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (2) Tata cara pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf f diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

  Dan dalam melaksanakan tugas pokok tersebut, kepolisian mempunyai wewenang. Hal ini diatur pada pasal 15 dan 16 Undang undang Nomor 2 Tahun 2002 yang berisi:

  Pasal 15 dan 14 Kepolisian Negara Republik Indonesia secara umum berwenang: a. Menerima laporan dan/atau pengaduan;

  b. Membantu menyelesaikan perselisihan warga masyarakat yang dapat mengganggu ketertiban umum; c. Mencegah dan menanggulangi tumbuhnya penyakit masyarakat;

  d. Mengawasi aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam persatuan dan kesatuan bangsa; e. Mengeluarkan peraturan kepolisian dalam lingkup kewenangan administratif kepolisian; f. Melaksanakan pemeriksaan khusus sebagai bagian dari tindakan kepolisian dalam rangka pencegahan; g. Melakukan tindakan pertama di tempat kejadian;

  h. Mengambil sidik jari dan identitas lainnya serta memotret seseorang; i. Mencari keterangan dan barang bukti; k. Mengeluarkan surat izin dan/atau surat keterangan yang diperlukan dalam rangka pelayanan masyarakat; l. Memberikan bantuan pengamanan dalam sidang dan pelaksanaan putusan pengadilan, kegiatan instansi lain, serta kegiatan masyarakat; m.

  Menerima dan menyimpan barang temuan untuk sementara waktu. (2) Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang- undangan lainnya berwenang :

  a. Memberikan izin dan mengawasi kegiatan keramaian umum dan kegiatan masyarakat lainnya; b. Menyelenggarakan registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor;

  c. Memberikan surat izin mengemudi kendaraan bermotor;

  d. Menerima pemberitahuan tentang kegiatan politik;

  e. Memberikan izin dan melakukan pengawasan senjata api, bahan peledak, dan senjata tajam; f. Memberikan izin operasional dan melakukan pengawasan terhadap badan usaha di bidang jasa pengamanan; g. Memberikan petunjuk, mendidik, dan melatih aparat kepolisian khusus dan petugas pengamanan swakarsa dalam bidang teknis kepolisian; h. Melakukan kerja sama dengan kepolisian negara lain dalam menyidik dan memberantas kejahatan internasional; i. Melakukan pengawasan fungsional kepolisian terhadap orang asing yang berada di wilayah Indonesia dengan koordinasi instansi terkait; j. Mewakili pemerintah Republik Indonesia dalam organisasi kepolisian internasional; k. Melaksanakan kewenangan lain yang termasuk dalam lingkup tugas kepolisian.

  (3) Tata cara pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a

  Pasal 16 (1) Dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan 14 bidang proses pidana, Kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang untuk :

  a. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan;

  b. Melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian perkara untuk kepentingan penyidikan; c. Membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka penyidikan; d. Menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri; e. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;

  f. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau g. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara; h. Mengadakan penghentian penyidikan; i. Menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum; j. Mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi yang berwenang di tempat pemeriksaan imigrasi dalam keadaan mendesak atau mendadak untuk mencegah atau menangkal orang yang disangka melakukan tindak pidana; k. Memberi petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik pegawai negeri sipil serta menerima hasil penyidikan penyidik pegawai negeri sipil untuk diserahkan kepada penuntut umum; dan l. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.

  (2) Tindakan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf l adalah tindakan penyelidikan dan penyidikan yang dilaksanakan jika memenuhi syarat sebagai berikut :

  a. Tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum;

  b. Selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan tersebut dilakukan; c. Harus patut, masuk akal, dan termasuk dalam lingkungan jabatannya;

  d. Pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa; dan e. Menghormati hak asasi manusia.

2. Pengertian Demonstrasi

  Di dalam Undang-undang nomor 9 tahun 1998 tentang Kebebasan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, tepatnya pada pasal 1 ayat 2 dikatakan bahwa, “Unjuk rasa atau Demonstrasi adalah kegiatan yang dilakukan oleh seorang atau lebih untuk mengeluarkan pikiran”.

   Dari pengertian demonstrasi menurut Undang-undang tersebut, demonstrasi juga berarti unjuk rasa.

  Demonstrasi adalah sebuah gerakan pulan orang di hadapan umum. Unjuk rasa biasanya dilakukan untuk menyatakan pendapat kelompok tersebut atau menentang kebijakan yang dilaksanakan suatu pihak. Unjuk rasa umumnya dilakukan oleh kelompok yang 30 Undang undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat me. Namun unjuk rasa juga dilakukan oleh kelompok- kelompok lainnya dengan tujuan lainnya. Unjuk rasa kadang dapat menyebabkan pengrusakan terhadap benda-benda. Hal ini dapat terjadi akibat keinginan

   menunjukkan pendapat para pengunjuk rasa yang berlebihan.

  Demonstrasi di dalam kamus besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai :

  1. Pernyataan protes yang dikemukakan secara massal

  2. Peragaan atau pertunjukan tentang tata cara melakukan atau mengerjakan

   sesuatu, misalnya demonstrasi memasak.

  Sesuai dengan pengertian dari demonstrasi seperti yang terdapat dalam Pasal 1 ayat 2 undang undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum, bahwa demonstrasi juga merupakan unjuk rasa. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, unjuk rasa adalah

  

  pernyataan protes yang dilakukan secara massal atau demonstrasi. Jadi demonstrasi sama saja halnya dengan unjuk rasa. demonstrasi adalah hak warga negara. Tetapi, inilah hak yang bisa mengerikan, karena umumnya demonstrasi yang melibatkan ribuan orang berlangsung dengan tanpa arah yang dapat berujung anarki sehingga menimbulkan tindak pidana. Demonstrasi adalah hak demokrasi yang dapat dilaksanakan dengan tertib, damai,

31 Undang undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat

  32 di muka umum , pasal 1 ayat 2 Pusat bahasa departemen pendidikan nasional,Op.Cit ,hlm.250 dan intelek. Sebuah contoh yang sangat bagus, yang mestinya juga ditiru oleh mereka yang gemar unjuk rasa, yang senang turun ke jalan.

  Demonstrasi merupakan sebuah media dan sarana penyampaian gagasan atau ide-ide yang dianggap benar dan berupaya mempublikasikannya dalam bentuk pengerahan masa. Demonstrasi juga merupakan sebuah sarana atau alat sangat terkait dengan tujuan digunakannya sarana atau alat tersebut dan cara penggunaannya. Sebagaimana misalnya internet, dapat digunakan sebagai alat komunikasi, tetapi dapat juga digunakan untuk untuk mencuri biar cepat kaya.

  Sehingga niat atau motivasi sangat menentukan hukum demonstrasi Demonstrasi dapat bernilai positif, dapat juga bernilai negatif. Ini artinya bahwa ketika demonstrasi itu menjunjung tinggi demokrasi, maka dipandang sebagai hal positif dan mempunyai nilai di mata masyarakat. Namun ketika demonstrasi mengabaikan demokrasi maka dipandangan masyarakat sebagai hal yang tercela ataupun negatif. Demonstrasi adalah salah satu sarana demokrasi. Artinya, demonstrsai harus berhenti ketika pendapat mereka sudah disampaikan. pikiran atau pendapat. Sebagai cara, kegiatan itu perlu selalu dijaga dan dipelihara agar hal ini tidak berubah menjadi tujuan. Menjadi tugas dan kewajiban kita untuk mengingatkan bahwa demonstrasi akan diakhiri ketika pandangan dan pendapat itu telah disampaikan,

  Walau kadangkala terasa tipis batasnya, tetapi patut dipahami, demonstrasi yang disertai unsur kekerasan dan pemaksaan, akan mudah tergelincir dalam

   domain politik praktis yang kurang baik.

3. Pengertian Kerusuhan

  Kersuhan terjadi ketika sekelompok orang berkumpul bersama untuk melakukan tindak yang dianggap tidak adil ataupun sebagai upaya penentangan terhadap sesuatu. Alasan yang sering menjadi penyebab kerusuhan termasuk , serta

   .

  Kerusuhan berasal dari kata rusuh. Didalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Rusuh adalah:

  a. Tidak aman karena banyak gangguan keamanan

  b. Kacau, rebut, gaduh, huru hara

  d. Sangat kasar

  

  e. Tidak beraturan, tidak menurut aturan Dialam Kamus Besar Bahasa Indonesia juga diartikan kerusuhan itu

  

  

  35 36 Pusat bahasa departemen pendidikan nasional,Op.Cit , hlm.972 Kerusuhan berarti anarki. Tindakan menimbulakan rasa tidak aman atau tidak tertib merupakan tindakan anarki. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, anarki diartikan dalam dua arti yaitu : a. Hal tidak adanya pemerintahan undang undang, peratuan atau ketertiban.

   b. Kekacauan dalam suatu Negara.

  Kerusuhan adalah kekacauan (chaos) fisik yang menimpa masyarakat sipil dengan gejala kasat mata berupa bentrokan antar manusia, dari perkelahian massal sampai pembunuhan, penjarahan, dan perusakan berbagai sarana dan prasarana, baik fasilitas pribadi (perumahan, mobil pribadi) maupun fasilitas umum (tempat perbelanjaan, gedung pemerintah, kendaraan umum) ataupun tindak pidana lain. Singkatnya, kerusuhan adalah anarki. Jadi, kerusuhan tidak menghasilkan suatu perubahan positif dalam level tatanan ke arah yang lebih baik. Karena kerusuhan tidak menyebabkan perubahan sistemik apapun kecuali kerusakan fisik dan trauma sosial (ketakutan yang mencekam masyarakat). Kalaupun setelah kerusuhan ada dorongan pada birokrasi untuk melakukan perbaikan kebijakan, hal

   setelah terjadi kerusuhan adalah kerusuhan sebaiknya tidak terjadi.

  Dalam literatur mengenai aksi protes dan kerusuhan, ada dua teori besar yang saling berbeda untuk menjelaskan. Kondisi kerusuhan di Indonesia, sedikit banyak dapat dijelaskan melalui kombinasi dua teori itu. Pertama adalah teori krisis (The Breakdown Theory). Menurut teori ini, kerusuhan itu berakar pada 38 Ibid, hlm. 44

  39 meluasnya ketidakpuasan dalam satu lapisan atau berbagai lapisan masyarakat. Ketidakpuasan itu diciptakan secara cepat olehperubahan mendadak (breakdown) dalam kondisi masyarakat itu. Misalnya, datangnya krisis ekonomi yang meluas.

  Krisis ekonomi menciptakan jutaan pengangguran dan harga kebutuhan pokok membubung tinggi. Teori itu beranggapan kerusuhan sebagai pelampiasan kolektif. Karena hanya pelampiasan, kerusuhan itu tidak memiliki isu yang terfokus yang hendak diperjuangkan. Kerusuhan itu hanya diarahkan ke simbol kekuasaan yang diduga massa sebagai penyebab. Ia bisa diarahkan ke kantor polisi dan institusi negara.

  Namun teori ini dibantah oleh teori kedua, yaitu teori mobilisasi (The

  

resources mobilization theory) . Menurut teori ini, krisis tidak dengan sendirinya

  menciptakan kerusuhan. Apalagi jika kerusuhan itu terjadi berulang-ulang dengan sasaran yang punya implikasi politik. Menurut teori ini, kerusuhan adalah sebuah alat politik. Ia dengan mudah dapat digunakan oleh kelompok tertentu dalam rangka sebuah kepentingan politik. Teori ini beranggapan bahwa kerusuhan itu adalah bagian dari skenario untuk menghasilkan efek politik tertentu. Namun kadang-kadang kekerasaan itu terjadi tanpa direncanakan dan hanya efek sampingan saja.

  Keadaan rusuh atau anarkis yang berkelanjutan karena seringnya terjadi, dapat berubah menjadi suatu kebiasaan dan menjadi paham. Dalam sejarahnya, para anarkis dalam berbagai gerakannya sering menggunakan kekerasan sebagai metode yang cukup ampuh dalam memperjuangkan ide-idenya, seperti para anarkis yang terlibat dalam kelompok Nihilis di Rusia era Tzar, Leon Czolgosz,

   grup N17 di Yunani.

G. Metode Penelitian

  1. Jenis Penelitian

  Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode pendekatan yuridis normaif dan metode pendekatan yuridis sosiologis. Metode pendekatan yurudis normatif dilakukan dengan cara meneliti bahan kepustakaan yang relevan dengan permasalahan yang sedang di teliti.

  Pendekatan yuridis sosiologis dilakukan dengan cara melihat hukum yang tampak pada masyarakat yaitu penelitian langsung pada objek penelitian.

  Memantau melihat dan mengamati sendiri apa yang terjadi di lapangan.

  2. Lokasi penelitian Kepolisian Daerah Sumatera Utara (POLDASU) di Jalan Sisingamangaraja Km.

  10 Medan.

  3. Metode pengumpulan Data

  Data yang di perlukan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder.

a. Data Primer

  40 Data primer didapat dengan melakukan riset secara langsung yang diperlukan untuk memberikan pemahaman yang jelas dan lengkap terhadap data sekunder yang diperoleh langsung dari responden dengan wawancara langsung kepada orang yang berkompeten dibidangnya.

b. Data Sekunder

  Data sekunder didapat dengan menelusuri bahan bahan hukum baik berupa kitab peraturan perundang-undangan, buku buku yang relevan dengan permasalahan yang sedang diteliti.

4. Analisis Pengolahan Data

  Data data yang diperoleh penulis akan diolah secara kualitatif yaitu pengolahan data berdasarkan fakta fakta yang diperoleh dilapangan untuk mendapaatkan jawaban atas permasalahan yang sedang diteliti.

   Sistematika Penulisan

  Dalam menulis skripsi ini, penulis membagi dalam 5 (lima) bab yang terdiri dari: Bab. I berisi Pendahuluan. Dalam Bab ini penulis menguraikan latar belakang, permasalahan , tujuan penulisan, manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan pustaka, metode penelitian serta sistematika penulisan.

  Bab II. Berisi tentang Faktor faktor penyebab terjadinya kerusuhan pada saat demonstrasi. Dalam bagian ini juga akan di uraikan mengenai tinjauan umum tentang demonstrasi yang berisi tujuan dan tata cara melakukan demonstrasi, kerusuhan pada saat demonstrasi serta faktor faktor penyebabnya.

  Bab III. Berisi tentang peran dari Kepolisian pada saat demonstrasi. Pada

  bab ini juga akan di bahas mengenai pengaturan hukum yang mengatur lembaga kepolisian serta bagaimana peran dari kepolisian pada saat terjadi demonstrasi. Bab IV berisi tentang apa saja yang menjadi kendala bagi kepolisian dalam menanggulangi kerusuhan pada saat demonstrasi ser ta bagaimana upaya yang dilakukan oleh kepolisian

  Bab V berisi tentang Kesimpulan dari pembahasan permasalahan serta saran dari penulis. Dalam skripsi ini juga terdapat datar pustaka beserta lampiran.