BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Perilaku - Karakteristik dan Perilaku Petugas Cleaning Service Mengenai Pengelolaan Limbah Padat Medis Terhadap Risiko Kecelakaan Kerja di RSU Permata Bunda Medan Tahun 2014

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Perilaku

  Menurut Ensiklopedia amerika yang dikutip oleh Notoadmodjo (1993), perilaku diartikan sebagai suatu aksi reaksi organisme terhadap lingkungannya.

  Perilaku baru terjadi apabila ada sesuatu yang di perlukan untuk menimbulkan reaksi yang disebut rangsangan. Dengan demikian maka suatu rangsangan tertentu akan menghasilkan reaksi atau perilaku tertentu.

  Perilaku dapat dikelompokkan menjadi 3 (Kuswadi, 1994): 1. Perilaku dalam bentuk pengetahuan, yakni dengan mengetahui situasi atau rangsangan dari luar.

  2. Perilaku dalam bentuk sikap, yakni tanggapan batin terhadap keadaan atau rangsangan dari luar subjek. Walaupun sangat sukar diketahui tetapi sikap merupakan hal yang penting dalam menentukan corak perilaku selanjutnya.

3. Perilaku dalam bentuk tindakan, yakni perilaku yang berbentuk perbuatan (action) terhadap situasi atau rangsangan dari luar.

2.1.1 Pengetahuan (Knowledge)

  Menurut Notoatmodjo (1993), pengetahuan adalah merupakan hasil dari tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap sesuatu objek tertentu.

  Penginderaan terjadi melalui panca indera manusia, yakni indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia

  10 diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang.

  Dari pengalaman dan penelitian terbukti bahwa perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan. Penelitian Rogers (1974) yang di kutip Notoatmodjo (1993), mengungkapkan sebelum orang berperilaku baru didalam diri orang tersebut terjadi proses yang berurutan yakni: 1.

  Awareness (kesadaran), dimana orang tersebut menyadari dalam arti pengetahuan 2.

  Interest (merasa tertarik), dimana orang mulai tertarik kepada stimulus.

  3. Evaluation (menimbang-nimbang), terhadap baik dan tidaknya stimulus tersebut bagi dirinya. Hal ini berarti sikap respon sudah lebih baik lagi.

  4. Trial (mencoba), dimana orang telah mulai mencoba perilaku baru.

  5. Adoption (mengadopsi), dimana subjek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran dan sikapnya terhadap stimulus, tetapi Rogers menyimpulkan bahwa perubahan perilaku tidak selalu melewati tahap-tahap tersebut.

  Tingkat Pengetahuan mempunyai 6 tingkatan, yakni tahu (know), memahami (comprehension), aplikasi (application), analisis (analysis), sintesis (Synthetis) dan evaluasi (evaluation).

  Menurut Notoatmodjo (1993), yang mengutip pendapat Rogers (1974), pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang menanyakan tentang isi materi yang ingin di ukur dari subjek penelitian atau responden. Kedalaman pengetahuan pengetahuan yang ingin di ketahui dapat disesuaikan dengan tingkat-tingkat tersebut diatas.

2.1.2 Sikap (Attitude)

  Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup terhadap suatu stimulus atau objek. Pengertian sikap menurut New Comb, salah seorang ahli psykologi sosial yang dikutip oleh Notoatmodjo (1993), mengatakan bahwa sikap merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak dan bukan merupakan

  Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas, akan tetapi adalah predisposisi tindakan suatu perilaku. Sikap itu masih merupakan reaksi tertutup bukan reaksi terbuka. Sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap objek dilingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap objek (Notoatmodjo, 1993)

  Menurut Allport (1954) yang dikutip oleh Notoatmodjo menjelaskan bahwa sikap mempunyai tiga komponen pokok yaitu: kepercayaan, ide dan konsep terhadap suatu objek, kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu objek serta kecenderungan untuk bertindak.

  Seperti halnya pengetahuan, sikap terdiri dari empat tingkatan: 1. Menerima (reciving)

  Menerima diartikan bahwa orang (subjek manusia) dan memerhatikan stimulus yang di berikan (objek).

  2. Merespon (responding) Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap.

  3. Menghargai (valuing) Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga.

  4. Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala resiko merupakan sikap yang paling tinggi.

  Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan. Untuk terwujudnya suatu perbuatan nyata diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan antara lain dalah fasilitas, disamping faktor fasilitas juga diperlukan faktor dukungan (support) dari pihak lain.

  Menurut Notoatmodjo (1993), tindakan mempunyai beberapa tingkatan yaitu: 1. Persepsi (perseption) yaitu mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang akan diambil.

  2. Respon terpimpin (guided respone), bila seseorang dapat melakukan sesuatu dengan urutan yang benar.

  3. Mekanisme (mecanisme), bila seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis.

  Adaptasi (adaptation ) merupakan suatu praktek atau tindakan yang sudah berkembang dengan baik, diantaranya tindakan itu sudah dimodifikasinya tanpa mengurangi kebenaran tindakan tersebut.

  Pengukuran tindakan dilakukan secara langsung dengan cara observasi tindakan atau kegiatan yang dilakukan, sedangkan secara tidak langsung melalui wawancara dengan menggunakan kuisioner.

  

2.2 Faktor-faktor yang Memengaruhi Perilaku dalam Pengelolaan Limbah

Padat Medis

  yang dihasilkan oleh kegiatan rumah sakit dan kegiatan penunjang lainnya. Menurut Permenkes RI No. 1204/Menkes/SK/X/2004, limbah rumah sakit yaitu semua limbah yang dihasilkan dari kegiatan rumah sakit dalam bentuk padat, cair dan gas. Dalam upaya pengelolaan limbah rumah sakit, diperlukan peran serta petugas pengelolaan limbah yaitu perawat dan cleaning servis serta peralatan-peralatan yang memadai dari segi kuantitas dan kualitas. Namun, hal yang paling utama adalah bagaimana perilaku petugas pengelolaan limbah tersebut dalam memproses limbah medis rumah sakit agar tidak membahayakan lingkungan.

  Menurut Notoatmodjo (2003) perilaku adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia, baik yang dapat diamati langsung maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak luar. Perilaku adalah tindakan atau perbuatan suatu organisme yang dapat diamati bahkan dapat dipelajari. Menurut Ensiklopedia Amerika perilaku diartikan sebagai suatu aksi dan reaksi organisme terhadap lingkungannya. Skiner dalam Robbins (2002) merumuskan bahwa perilaku merupakan respons atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar), namun dalam memberikan respons sangat tergantung pada karakteristik atau faktor-faktor lain dari orang yang bersangkutan. Faktor-faktor yang membedakan respons terhadap stimulus yang berbeda disebut determinan perilaku.

  Menurut Green yang dikutip dari oleh Notoadmodjo (2007), yang mendasari timbulnya perilaku dapat dikelompokkan menjadi faktor predisposisi (predisposing

  factor ), faktor pendukung (enabling factor) dan faktor pendorong (reinfocing factor).

  lain pengetahuan, sikap, jenis kelamin, pendidikan, umur dan lama bekerja, faktor pendukung (enabling factor) antara lain mencakup ketersediaan sarana dan prasarana dalam hal ini peralatan ataupun perlengkapan pengelolaan limbah padat medis rumah sakit yang meliputi kualitas dan kuantitas alat. Sedangkan faktor pendorong (reinfocing factor) mencakup tidak langsung yang memengaruhi perilaku petugas (perawat dan cleaning servis) di rumah sakit yang meliputi peran kepala perawatan atau pengawas instalasi pengelolaan limbah medis serta peraturan-peraturan dari rumah sakit tentang pengelolaan limbah juga mengenai sistem informasi tata cara pengelolaan limbah rumah sakit.

2.2.1. Faktor Predisposisi (Predisposing Factor)

  Faktor ini mencakup pengetahuan dan sikap petugas pengelolaan limbah padat medis serta faktor-faktor karakteristik individu petugas pengelolaan limbah padat medis yang berperan dalam tindakan petugas tersebut dalam upaya pengelolaan limbah padat medis.

1. Pengetahuan

  Pengetahuan merupakan ranah yang sangat penting bagi terbentuknya perilaku. Perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan cenderung tidak bersifat langgeng atau berlangsung lama (Notoatmodjo, 2007). Selanjutnyamenurut soekidjo pengetahuan adalah merupakan hasil “tahu” dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu obyek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indra besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga.

  Pengetahuan yang di cakup dalam ranah pengetahuan mempunyai enam tingkatan, yaitu: a.

  Tahu (know), tahu diartikan pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) terhadap sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau dirangsang yang telah diterima. Oleh karena itu “tahu” ini adalah merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah.

  b.

  Memahami (comprehension), memahami diartikan sebagai suatu kemampuan menjelaskan secara benar tentang obyek yang diketahui, dan dapat menginterpretasikan materi harus dapat menjelaskan, menyebut contoh, menyimpulkan, meramalkan dan sebagainya terhadap obyek yang dipelajari.

  c.

  Aplikasi (apllication), penerapan diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada suatu kondisi nyata (sebenarnya).

  Aplikasi disini dapat diartikan penggunaan metode, rumus, prinsip dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain.

  d.

  Analisis (analysis), analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu obyek kedalam komponen-komponen, tetapi masih didalam suatu struktur tersebut dan masih ada kaitannya satu sama lain.

  e.

  Sintesis (synthesis), sintesis menunjukkan pada kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian didalam bentuk keseluruhan yang baru.

  Dengan kata lain sintesis itu suatu kemampuan untuk menyusun formulasi- f.

  Evaluasi (evaluation), evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau obyek.

2. Sikap

  Sikap individu tidak terlepas dari perilaku, sebab proses terjadinya perilaku seseorang berlangsung karena adanya sikap orang terhadap obyek. Menurut Berkowitz dalam kutipan Azwar (1987) sikap seseorang terhadap suatu obyek adalah perasaan mendukung atau memihak (favourable), maupun perasaan tidak mendukung atau memihak (unfavourable), pada obyek tersebut.

  Pengertian yang kurang lebih sama dikemukakan oleh Purwanto bahwa sikap sebenarnya sudah mengandung unsur penilaian suka atau tidak suka, positif atau negatif, yang disebut subyek atau obyek. Kalau sesseorang bersikap positif terhadap sesuatu hal, subyek akan mendekati, memakai, menganut atau mengadopsi obyek tersebut. Sebaliknya kalau orang bersikap negatif terhadap suatu obyek, orang tersebut akan menjauhi, menolak, menggagalkan atau menghindari obyek tersebut.

  Sedangkan Edgley yang dikutip Azwar (1987), mendefenisikan sikap sebagai suatu pola prilaku, tendensi atau kesiapan antisipatif, predisposisi untuk menyesuaikan diri dalam situasi sosial yang telah terkondisikan. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Notoatmojo (2007) bahwa sikap belum merupakan suatu perilaku tertentu. Dari bahan-bahan di atas dapat disimpulkan bahwa manifestasi sikap itu tidak dapat langsung dilihat, tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu. Dalam diri perasaan, perhatian dan kemampuan untuk mengambil suatu keputusan pada suatu saat terhadap suatu perubahan atau stimulus. Proses dalam tahapan ini sesungguhnya masih bersifat tertutup, tetapi sudah merupakan keadaan yang disebut sikap. Bila terus menerus diarahkan, maka pada suatu saat akan meningkatkan menjadi lebih terbuka dan berwujud pada suatu reaksi yang berupa perilaku (Notoatmodjo, 2007).

3. Jenis Kelamin

  Sejak awal 1970 an semakin banyak kaum wanita yang bergerak memasuki karier organisasi. Sebagai hasil dari perkembangan ini, timbul pertanyaan berikut: adakah perbedaan agresivitas, kecenderungan menempuh resiko, keikatan dan etika kerja antara pria dan wanita. Yang diperlukan adalah pengkajian ilmiah tentang pria, wanita dan lain-lain yang melakukan pekerjaan dan bukan manajerial dalam organisasi, untuk itu dibutuhkan data untuk mengkaji dan mengetahui perbedaan gaya dan karakteristik apabila perbedaan itu memang ada (Fathoni, 2006).

  Tidak ada perbedaan yang konsisten antara pria dan wanita dalam kemampuan memecahkan masalah, keterampilan analisis, dorongan kompetitif, motivasi, sosiabilitas atau kemampuan belajar. Namun studi-studi psikologis telah menemukan bahwa wanita lebih bersedia untuk memenuhi wewenang, dan pria lebih agresif dan lebih besar kemungkinannya dari pada wanita dalam memiliki pengharapan untuk sukses. Bukti yang konsisten juga menyatakan bahwa wanita mempunyai tingkat kemangkiran yang lebih tinggi dari pada pria (Robbins, 2002).

4. Pendidikan

  pekerjaan. Santis dikutip oleh Notoatmojo (2003) dimana dalam penelitiannya membuktikan bahwa pendidikan adalah salah satu faktor yang memengaruhi pendapatan dan cara kerja seseorang.

  Faktor pendidikan adalah salah satu hal yang sangat besar pengaruhnya terhadap peningkatan produktivitas kerja yang dilakukan. Semakin tinggi tingkat pendidikan maka semakin besar kemungkinan tenaga kerja dapat bekerja dan melaksanakan pekerjaannya. Makin tinggi pendidikan makin mudah menerima informasi sehingga makin banyak pula pengetahuan yang dimiliki. Pendidikan diperlukan untuk mendapatkan informasi misalnya hal-hal yang menunjang kesehatan, sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup. Pendidikan dapat memengaruhi seseorang termasuk juga perilaku seseorang akan pola hidup terutama dalam memotivasi untuk siap berperan serta dalam pembangunan kesehatan. Makin tinggi tingkat pendidikan seseorang, makin tinggi pendidikan makin mudah menerima informasi sehingga makin banyak pula pengetahuan yang dimiliki. Pendidikan diperlukan untuk mendapatkan informasi misalnya hal-hal yang menunjang kesehatan, sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup. Pendidikan dapat memengaruhi seseorang termasuk juga perilaku seseorang akan pola hidup terutama dalam memotivasi untuk siap berperan serta dalam pembangunan kesehatan. Makin tinggi tingkat pendidikan seseorang, makin mudah menerima informasi sehingga makin bnayak pula pengetahuan yang dimiliki, sebaliknya pendidikan yang kurang akan menghambat perkembangan sikap seseorang terhadap nilai-nilai yang baru pendidikan itu dan terjadi proses pertumbuhan, perkembangan atau berubah ke arah yang lebih dewasa, lebih baik dan matang pada diri individu, kelompok atau masyarakat.

  Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, maka akan memengaruhi pola fikir yang nantinya akan berdampaka apda tingkat kepuasan kerja. Pendapat lain juga dikemukakan oleh Robbins (2002), bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan, maka tuntutan-tuntutan terhadap aspek-aspek kepuasan kerja di tempat kerjanya akan semakin meningkat.

5. Umur

  Menurut Elisabeth yang di kutip Nurusalam (2008), usia adalah umur individu yang terhitung mulai saat dilahirkan sampai berulang tahun. Sedangkan menurut Huclok (1999) semakin cukup umur, tingkat kematangan dan kekuatan seseorang akan lebih matang dalam berfikir dan bekerja. Dari segi kepercayaan masyarakat seseorang lebih dewasa lebih dapat dipercaya dari orang yang belum tinggi tingkat kedewasaannya. Hal ini merupakan bagian dari pengalaman dan kematangan jiwa.

  Umur seseorang memengaruhi kematangan berfikir seseorang dalam berprilaku. Semakin tinggi umur, maka akan tercipta kematangan berfikir, sehingga cenderung berprilaku yang baik. Begitu pula sebaliknya, bila umur masih tergolong belia maka perilakunya masih perlu dilakukan sedikit pertimbangan atau cenderung sesuka hatinya. Dalam pengelolaan limbah padat medis di rumah sakit, umur berpengaruh terhadap upaya tersebut. Penjelasannya sama dengan penjelasan pada

  Umur memengaruhi produktivitas, alasannya adanya keyakinan yang meluas bahwa produktivitas merosot dengan meningkatnya umur seseorang. Sering diandaikan bahwa keterampilan individu terutama kecepatan, kecekatan, kekuatan dan koordinasi menurun seiring berjalannya waktu, dan bahwa kebosanan pekerjaan yang berlarut-larut dan kurangnya rangsangan intelektual semuanya berhubungan dengan berkurangnya produktivitas. Pada karyawan yang berumur juga dianggap kurang luwes dan menolak teknologi baru. Namun di lain pihak ada sejumlah kualitas positif yang ada pada karyawan yang lebih tua, meliputi: pengalaman, pertimbangan, etika kerja yang kuat dan komitmen terhadap mutu. (Sani , 2012).

6. Lama Bekerja

  Lama bekerja atau masa kerja seseorang akan menentukan prestasi individu yang merupakan dasar prestasi dan kinerja organisasi. Semakin lama seseorang bekerja di suatu organisasi, maka tingkat prestasi individu akan semakin meningkat yang dibuktikan dengan tingginya tingkat penjualan dan akan berdampak kepada kinerja dan keuntungan yang menjadi lebih baik, sehingga memungkinkan untuk mendapatkan promosi atau kenaikan jabatan (Gibson, 2000).

  2.2.2. Faktor Pendukung (Enabling Factor)

  Faktor pendukung perilaku adalah fasilitas, sarana ataupun prasarana yang mendukung atau yang memfasilitasi terjadinya perilaku seseorang ataupun masyarakat. Pengetahuan dan sikap saja belum menjamin terjadinya perubahan perilaku, maka masih diperlukan sarana atau fasilitas untuk memungkinkan atau adanya ketersediaan alat-alat tersebut. Jadi, dalam hal ini terpenuhi syarat kuantitas dan kualitas peralatan pengelolaan limbah padat medis di rumah sakit.

  Dibutuhkan pedoman tertentu tentang penempatan fasilitas dan penanganannya, disamping untuk memenuhi kebutuhan jabatan seseorang, azas keserasian juga tetap untuk meningkatkan efisiensi kerja pegawai. Keserasian perbandingan antara manusia dengan alat kerja sehingga turut menjamin adanya suasana kerja yang menggairahkan. Peralatan dan perlengkapan harus tepat guna yang diadakan sesuai dengan tingkat kebutuhan (Fathoni, 2006).

  2.2.3. Faktor Pendorong (Reinforcing Factor)

  Faktor-faktor pendorong (factor reinforcing) terwujud dalam sikap dan perilaku dari petugas kesehatan dan petugas lainnya serta kebijakan yang ada seperti peraturan, sanksi dan penghargaan. Pengetahuan, sikap dan fasilitas yang tersedia kadang-kadang belum menjamin terjadinya perubahan perilaku sesorang ataupun masyarakat. Faktor reinforcing adalah konsekuensi dari determinan perilaku, dimana masyarakat menerima feedback dan setelah itu ada dukungan sosial. Faktor

  reinforcing meliputi dukungan sosial, pengaruh dan informasi serta feedback oleh tenaga lainnya.

  Faktor ini meliputi faktor sikap dan perilaku tokoh masyarakat, tokoh agama, sikap dan perilaku para petugas kesehatan. Termasuk juga undang-undang, peraturan- peraturan, baik dari pusat maupun pemerintah daerah yang terkait dengan kesehatan. Robbins (2008), mengemukakan bahwa salah satu tugas pimpinan adalah melakukan Evaluasi yang digunakan berdasarkan efektivitas dan efisiensi. Adanya dua kategori evaluasi yaitu kesesuaian (appropriateness) yang dihubungkan dengan kebutuhan memenuhi tujuan program dan prioritas pilihan dan nilai-nilai yabg tersedia, dan kecukupan (adequency) yang berhubungan dengan masalah dapat terselesaikan melalui kegiatan yang telah diprogramkan. Fathono (2006), menyimpulkan bahwa supervisi yang baik dilakukan sebanyak enam kali dalam satu tahun. Ada hubungan yang bermakna antara supervisi dengan kinerja bidan dimana bidan yang kurang mendapat supervisi mempunyai resiko sebanyak 9,2 kali untuk berkinerja kurang.

  Dalam pengelolaan limbah padat medis, faktor yang terkait sebagai faktor

  reinforcing adalah peran kepala pengelolaan instansi limbah rumah sakit, peraturan-

  peraturan dari rumah sakit tentang pengelolaan limbah, serta sistem informasi mengenai tata cara pengelolaan limbah padat rumah sakit (Sani, 2012).

2.3 Pengertian Rumah Sakit

  Menurut UU RI No. 44s Tahun 2009 tentang Kesehatan, rumah sakit adalah institusi yang fungsi utamanya memberikan pelayanan kepada pasien, diagnostik dan teraupetik untuk berbagai penyakit dan masalah kesehatan, baik yang bersifat bedah maupun non bedah. Rumah sakit harus di bangun dan dilengkapi, serta dipelihara dengan baik untuk menjamin pelayanan kesehatan, keselamatan pasien serta harus menyediakan fasilitas yang lapang , tidak berdesak-desakan dan terjamin sanitasinya yang bertujuan untuk kesembuhan pasiennya.

  12 November tentang Pedoman Organisasi Rumah Sakit yang menyebutkan bahwa rumah sakit umum adalah rumah sakit yang memberikan pelayanan kesehatan yang bersifat dasar, spesialistik dan sub spesialistik. Rumah sakit ini mempunyai misi memberikan pelayanan kesehatan yang bermutu dan terjangkau oleh masyarakat dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Tugasnya adalah melaksanakan upaya kesehatan secara berdaya guna dan berhasil guna dengan mengutamakan upaya penyembuhan dan pemulihan yang dilaksanakan secara serasi dan terpadu dengan upaya peningkatan dan pencegahan penyakit serta penyulluhan kesehatan bagi masyarakat sekitarnya.

  Peran rumah sakit sejalan dengan tujuan kesehatan adalah tercapainya kemampuan untuk hidup sehat bagi setiap penduduk agar dapat mewujudkan derajat kesehatan masyarakat yang optimal sebagai salah satu unsur kesejahteraan umum dan tujuan pembangunan nasional. Peran rumah sakit pada saat ini sudah bertambah dari sarana pelayanan rujukan yang semula hanya melaksanakan upaya peningkatan dan pencegahan secara terpadu dan berkesinambungan (Soejitno, 2002).

  2.3.1 Pelayanan Rumah Sakit

  Rumah sakit merupakan suatu sub sistem dari pelayanan kesehatan, juga merupakan suatu industri jasa yang berfungsi untuk memenuhi salah satu kebutuhan primer manusia, baik sebagai individu, masyarakat atau bangsa secara keseluruhan untuk meningkatkan hajat hidup yang utama yaitu kesehatan. Dalam upaya menghasilkan masukan, proses dan keluaran pelayanan yang bermutu, efektif, efisien menyusun kriteria-kriteria penting mengenai jenis disiplin pelayanan yang berkaitan terutama dengan struktur dan proses pelayanan rumah sakit. Kroteria tersebut terutama dalam bentuk “standar pelayanan rumah sakit”, sebagai salah satu nilai atau modul yang dijadikan sebagai dasar perbandingan yang harus dipakai oleh pengelola rumah sakit dalam melaksanakan pelayanan yang didasari ilmu pengetahuan dan keterampilan manajemen rumah sakit yang memadai dengan dijiwai oleh etika profesi (Depkes RI, 2002).

  2.3.2 Sumber Daya Pengelolaan Limbah di Rumah Sakit

  Sumber daya pengelolaan limbah sangat diperlukan dalam mencapai tujuan pengelolaan limbah di rumah sakit. Untuk mencapai tujuan yang telah di tentukan diperlukan sumber daya manusia sebagai sumber daya aktif. Harold Koonts dan Cyrill O. Donnel dalam bukunya yang berjudul prinsiple of management yang dikutip oleh Marsum dan Siti Fauziah (2007) menjelaskan bahwa sumber daya manusia adalah hal yang paling sangat menentukan dalam hal melakukan proses untuk mencapai suatu tujuan. Sumber daya manusia di rumah sakit terdiri dari sumber daya non medis (cleaning servis dan bagian administrasi) serta sumber daya medis (dokter dan perawat). Tanpa adanya sumber daya baik medis dan non medis maka tidak akan ada proses kerja, sebab pada dasarnya sumber daya manusia adalah makhluk kerja.

  Manajemen di rumah sakit tidak terlepas dari sumber daya manusia (sumber daya aktif), koordinasi antar manusia yang dikendalikan untuk mencapai tujuan adalah merupakan proses manajemen yang meliputi 4 (empat) elemen dasar sumber 1.

  Kegiatan sumber daya untuk mencapai tujuan 2. Proses dilakukan secara rasional melalui manusia lain 3. Menggunakan metode dan teknik tertentu 4. Dan dalam lingkungan organisasi tertentu.

  Prinsip-prinsip umum manajemen yang berkaitan dengan sumber daya manusia, sebagai berikut:

  1. Adanya pembagian kerja, kualitas anggota perlu di perhatikan baik fisik, mental, pendidikan, pengalaman dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang maha Esa.

  2. Disiplin merupakan ketaatan, kepatuhan untuk mengikuti aturan yang menjadi tanggung jawabnya.

  3. Kewenangan dan tanggung jawab setiap pekerja untuk melaksanakan pekerjaannya sesuai pembagian tugas yang di berikan kepadanya.

  4. Memberi perioritas kepada kepentingan umum.

  5. Penggajian pegawai dan karyawan sangat menentukan dalam kelancaran tugas.

  6. Pusat kewenangan yang berdampak kepada perumusan pertanggungjawaban dalam rangka mencapai tujuan.

  7. Mekanisme kerja dalam organisasi sehingga anggota tahu siapa yang menjadi atasan dan bertanggung jawab kepada siapa dan sebaliknya.

  8. Inovasi pengembangan serta inisiatif dari pekerja agar berkembang kearah perubahan kemajuan.

  9. Semangat bekerja sama, yaitu hubungan manajemen dengan sumber daya orang lain untuk mencapai tujuan (Marsum dkk. 2009).

  Pengorganisasian usaha sanitasi rumah sakit harus mencerminkan fungsi dinamis dengan wadah kegiatan terdiri dari unsur:

  1. Pimpinan layanan sanitasi rumah sakit 2.

  Teknis sanitasi 3. Penunjang layanan sanitasi

  Adapun tugas-tugas dalam sanitasi rumah sakit yaitu: 1. Mengembangkan prosedur rutin untuk pelaksanaannya.

  2. Melatih dan mengawasi petugas pengelolaan limbah dimulai dari perawat,

  cleaning servis hingga petugas khusus yang melakukan pengelolaan limbah padat medis.

  3. Membagi tugas dan tanggung jawab.

  Petugas yang berwenang dalam pelaksanaan usaha sanitasi di rumah sakit yang termasuk didalamnya adalah perawat dan cleaning servis merupakan kunci dalam panitia atau komite keamanan dan harus melaksanakan tugasnya dalam pengawasan infeksi. Petugas harus melakukan suatu pengamatan (surveilence) sanitasi yang efektif dan melaporkan pelaksanaan program yang telah dibuat kepada pimpinan rumah sakit. Petugas khususnya perawat sebagai pemberi layanan kepada penderita dapat memengaruhi proses pengobatan. Hubungan psikobiososial penderita dengan petugas maupun dengan pengunjung dapat memengaruhi hasil penyembuhan, lebih-lebih apabila interaksi faktor biopsikososial ini berproses dalam suasana lingkungan yang bersih, nyaman dan asri (Hapsari, 2010).

2.4 Konsep Limbah Padat Medis di Rumah Sakit

2.4.1 Pengertian Limbah Padat Medis

  Limbah padat medis adalah limbah yang langsung dihasilkan dari tindakan diagnosis dan tindakan medis terhadap pasien. Limbah padat medis terdiri dari limbah infeksius, limbah patologi, limbah benda tajam. Limbah farmasi, limbah sitotoksis, limbah kimiawi, limbah radioaktif dan limbah kontainer bertekanan dan limbah dengan kandungan logam berat yang tinggi (Depkes RI, 2004).

  Menurut Chandra (2007), limbah padat medis adalah limbah yang langsung dihasilkan dari tindakan diagnosis dan tindakan medis terhadap pasien. Termasuk kegiatan medis di ruang poliklinik, ruang perawatan, ruang bedah, ruang kebidanan, ruang otopsi dan ruang laboratorium seperti perban. Kasa, alat injeksi, ampul dan botol bekas obat injeksi, kateter, swab, plaster, masker, plasenta, jaringan organ, sediaan dan media sampel untuk pemeriksaan laboratorium.

  Limbah padat non medis artinya limbah yang dihasilkan dari kegaiatan di luar medis yang berasal dari dapur, perkantoran, taman dan halaman yang dapat dimanfaatkan kembali apabila ada teknologinya. Limbah padat non medis meliputi kertas-kertas pembungkus atau kantong dan plastik yang tidak berkaitan dengan cairan tubuh. Pewadahan limbah padat non medis dipisahkan dari limbah padat medis dan ditampung dalam kantong plastik warna hitam khusus untuk limbah padat non medis (Depkes RI, 2004).

Tabel 2.1 Klasifikasi Limbah Padat Medis yang Berasal dari Rumah Sakit No Kategori Limbah Definisi Contoh Limbah yang Dihasilkan

  1 Infeksius Limbah yang terkontaminasi organisme patogen (bakteri, virus, parasit atau jamur) yang tidak secara rutin ada di lingkungan dan oeganisme tersebut dalam jumlah dan virulensi yang cukup untuk menularkan penyakit pada manusia rentan.

  Kultur laboratorium, limbah dari bangsal isolasi, kapas, materi atau peralatan yang tersentuh pasien terinfeksi.

  2 Patologis Limbah berasal dari pembiakan dan stock bahan yang sangat infeksius, otopsi, organ binatang percobaan dan bahan lain yang telah diinokulasi, terinfeksi atau kontak dengan bahan yang sangat infeksius.

  Bagian tubuh manusia dan hewan (limbah anatomis), darah dan cairan tubuh yang lain, janin.

  3 Sitotoksis Limbah yang berasal dari bahan yang terkontaminasi dari persiapan dan pemberian obat sitotoksis untuk kemoterapi kanker yang mempunyai kemampuan untuk membunuh atau menghambat pertumbuha sel hidup.

  Dari materi yang terkontaminasi pada saat persiapan dan pemberian obat, misalnya spuit, ampul, kemasan, obat kadaluarsa, larutan sisa, urine, tinja, muntahan pasien yang mengandung obat sitotosksik.

Tabel 2.1 (Lanjutan) No Kategori Limbah Definisi Contoh Limbah yang Dihasilkan

  4 Benda tajam Merupakan materi yang dapat menyebabkan luka iris atau luka tusuk. Semua benda tajam ini memiliki potensi bahaya dan dapat menyebabkan cedera melalui sobekan atau tususkan. Benda-benda tajam yang terbuang mungkin terkontaminasi oleh darah, cairan tubuh, bahan mikrobiologi, bahan beracun atau radioaktif.

  Jarum suntik, skalpel, piasu bedah, peralatan infus, gergaji bedah dan pecahan kaca.

  5 Farmasi Limbah farmasi mencakup produksi farmasi. Kategori ini juga mencakup barang yang akan dibuang setelah digunakan untuk menangani produk farmasi, misalnya botol atau kotak yang berisi residu, sarung tangan, masker, selang penghubung (tranfusi set) darah atau cairan ( infus set) dan ampul obat.

  Obat-obatan, vaksin, dan serum yang sudah kadaluarsa, tidak digunakan, tumpah dan terkontaminasi, yang tidak perlu lagi.

  6 Kimia Mengandung zat kimia yang berbentuk padat, cair, maupun gas yang berasal dari aktivitas diagnostik dan eksperimen serta dari pemeliharaan kebersihan rumah sakit dengan menggunakan desinfektan.

  Reagent di laboratorium,

  film untuk rontgen, desinfektan yang kadaluarsa atau sudah tidak di perlukan lagi, solven.

  7 Radioaktif Bahan yang terkontaminasi dengan radioisotop yang berasal dari penggunaan medis atau riset radio nukleida . Limbah ini dapat berasal dari antara lain: tindakan kedokteran nuklir, radio-imunoassay dan bakteriologis, dapat berbentuk padat, cair atau gas.

  Cairan yang tidak terpakai dari radioaktif atau riset laboratorium, peralatan kaca, kertas absorben yang terkontaminasi, urine dan ekskreta dari pasien yang diobati atau diuji dengan radionuklida yang terbuka.

Tabel 2.1 (Lanjutan) No Kategori Limbah Definisi Contoh Limbah yang Dihasilkan

  8 Logam yang bertekanan tinggi/berat

  Limbah yang mengandung logam berat dalam konsentrasi tinggi termasuk dalam sub kategori limbah kimia bernahaya dan biasanya sangat toksik. Contohnya adalah limbah merkuri yang berasal dari bocoran peralatan kedokteran yang rusak.

  Thermometer, alat pengukur tekanan darah, residu dari ruang pemeriksaan gigi, dan sebagainya.

  9 Kontainer bertekanan Limbah yang berasal dari berbagai jenis gas yang digunakan di rumah sakit.

  Tabung gas, kaleng, aerosol yang mengandung residu, gas catridge.

  (Sumber: Pengelolaan Aman Limbah Layanan Kesehatan, 2005).

2.5 Persyaratan Pengelolaan Limbah Padat Medis di Rumah Sakit

  Persyaratan pengelolaan limbah padat medis pada layanan kesehatan sesuai

  International Commite of The Red Cross dan keputusan Menteri Kesehatan Republik

  Indonesia No. 1204/Menkes/SK/X/2004:

a. Minimisasi Limbah Padat

  Minimasi limbah padat medis, ataupun proses daur ulang dilakukan dengan tindakan sebagai berikut:

  1. Setiap rumah sakit harus melakukan reduksi limbah dimulai dari sumbernya.

  2. Setiap rumah sakit harus memilih produk yang menghasilkan limbah paling sedikit atau lebih sedikit, misalnya tidak menggunakan pembungkus materi tertentu.

  3. Setiap rumah sakit harus memilih produk yang dapat diisi ulang.

  4. Setiap rumah sakit harus mencegah pemborosan pemakaian alat atau produk tertentu.

  5. Setiap rumah sakit harus memilih peralatan yang dapat dipakai kembalai seperti peralatan makan yang dapat dicuci kembali untuk digunakan dari pada yang sekali pakai.

  6. Setiap rumah sakit harus dapat mengelola dan mengawasi penggunaan bahan kimia yang berbahaya dan beracun.

  7. Limbah yang akan dimanfaatkan kembali harus dipisahkan dari limbah yang

b. Pemilahan, Pewadahan dan Penanganan (Handling)

  Pemilahan limbah padat medis adalah proses pengidentifikasian berbagai jenis limbah padat medis dan bagaimana limbah tersebut dikumpulkan secara terpisah. Ada dua prinsip penting dalam proses pemilahan, yaitu: 1.

  Pemilahan sampah harus selalu menjadi tanggung jawab bagian yang memproduksi mereka. Hal ini harus dilakukan sedekat mungkin dengan tempat dimana limbah dihasilkan. Misalnya perawat harus membuang benda tajam di wadah jarum suntik untuk menghindari pemakaian kembali. Perawat juga harus memasangkan penutup jarum suntik sebelum meletakkannya di wadah limbah yang tergolong tajam.

  Tidak perlu dilakukan pemilahan limbah padat medis yang mengalami proses dalam pengobatan, kecuali limbah padat medis yang tajam, yang harus selalu dipisahkan dengan limbah lainnya. Pemilahan merupakan tahapan penting dalam pengelolaan limbah rumah sakit, dimana semua staf rumah sakit harus berpartisipasi dalam pelaksanaannya. Pelatihan dan pemeriksaan rutin adalah hal penting.

  Cara termudah untuk memilah berbagai jenis limbah adalah dengan mendorong orang untuk menyortir limbah atau untuk mengumpulkan berbagai jenis limbah di wadah terpisah atau kantong plastik dengan warna dan ditandai dengan simbol. Rekomendasi warna dan simbol internasional dapat kita lihat pada tabel berikut ini:

  (Sumber: Kepmenkes No. 1204/Menkes/SK/X/2004)

  Sampah rumah tangga di rumah sakit diletakkan di wadah plastik berwarna hitam yang selanjutnya diperlakukan sesuai dengan limbah rumah tangga biasa.

  Tetapi sebelum diangkut, maka sebaiknya dilakukan pemilahan sampah organik dan anorganik. Harus ada persediaan wadah limbah padat medis yang cukup di rumah sakit. Ini adalah tanggung jawab manajemen limbah di suatu rumah sakit.

  Berikut ini gambar wadah limbah padat medis dengan kantong plastik berwarna kuning dan wadah limbah padat non medis dengan kantong plastik berwarna hitam.:

Gambar 2.1 Contoh Wadah Limbah Gambar 2.2 Contoh Wadah Limbah

  

Padat Medis Padat Non Medis

2.

  Pewadahan limbah padat medis menurut Kepmenkes RI No. 1204/Menkes/SK/X 2004 harus memenuhi persyaratan yaitu: a.

  Terbuat dari bahan yang kuat, cukup ringan, tahan karat, kedap air dan mempunyai permukaan yang halus pada bagian dalamnya, misalnya

  fiberglass. b.

  Di setiap sumber penghasil limbah padat medis harus tersedia tempat pewadahan yang terpisah dengan limbah limbah padat nonmedis.

  c.

  Kantong plastik diangkat setiap hari atau kurang sehari apabila bagian telah terisi limbah.

  d.

  Untuk benda-benda tajam hendaknya ditampung pada tempat khusus (safety box) seperti botol atau karton yang aman.

  e.

  Tempat pewadahan limbah padat medis padat infeksius dan sitotoksik yang tidak langsung dengan limbah harus segera dibersihkan dengan larutan plastik yang telah di pakai dan kontak langsung dengan limbah tersebut tidak boleh digunakan lagi.

3. Penanganan (Handling)

  Dalam hal penangan limbah padat medis dapat dilakukan dengan cara jarum dan syringes harus dipisahkan sehingga tidak dapat digunakan kembali. Limbah padat medis yang akan dimanfaatkan kembali harus melalui proses strerilisasi. Untuk menguji efektivitas sterilisasi panas harus dilakukan tes Bacilus stearothermophilus dan untuk sterilisasi kimia harus dilakukan tes Basilus subtilis.

  Metode sterilisasi terdiri dari: a. Sterilisasi termal, ada dua yaitu sterilisasi kering dalam oven “poupinel” dengan suhu 160ºC selama 120 menit atau 170ºC selama 60 menit, dan sterilisasi basah dalam autoklaf dengan suhu 121ºC selama 30 menit. b.

  Sterilisasi kimia dengan ethylene oxide (gas) dengan suhu 50ºC-60ºC selama 3-8 jam atau glutaraldehyde (cair) selama 30 menit.

  Limbah jarum hipodermik tidak dianjurkan untuk dimanfaatkan kembali. Apabila fasilitas layanan kesehatan tidak mempunyai jarum yang sekali pakai

  

(dispossible), limbah jarum hipodermik dapat dimanfaatkan kembali setelah melalui

proses salah satu metode sterlilisasi.

c. Pengumpulan dan Penyimpanan

  Limbah harus dikumpulkan secara teratur, setidaknya sekali sehari. Limbah padat medis dari tempat produksinya direncanakan dengan baik, setiap jenis limbah harus dikumpulkan dan di simpan secara terpisah. Limbah infeksius tidak boleh disimpan dalam tempat-tempat yang terbuka untuk umum. Petugas yang bertugas mengumpulkan dan mengangkut limbah harus diberitahu untuk mengumpulkan hanya wadah berwarna kuning dan wadah khusus benda tajam yang telah ditutup dan petugas juga harus memakai sarung tangan. Kantong-kantong yang telah dikumpulkan harus segera diganti dengan tas baru.

  Dalam tempat penampunagn sementara, pengumpulan limbah padat medis dari setiap ruangan menghasilkan limbah menggunakan troli khusus yang tertutup.

  Penyimpanan limbah padat medis juga harus sesuai dengan iklim tropis yaitu pada musim hujan paling lama 48 jam dan musim kemarau paling lama 24 jam. Lokasi penampungan sementara untuk limbah layanan kesehatan harus dirancang agar berada di dalam wilayah instansi layanan kesehatan. Lokasi penampungan sementara tidak boleh berada di dekat lokasi penyimpanan dan penyiapan makanan.

  Tempat atau daerah khusus untuk penyimpanan limbah padat medis harus memenuhi kriteria berikut:

  1. Harus tertutup dan hanya petugas saja yang dapat masuk.

  2. Harus terpisah dengan tempat penyediaan makanan.

  3. Harus tertutup dan terlindungi dari sinar matahari.

  4. Lantai harus kedap air dan dengan drainase yang baik.

  Mudah dibersihkan.

  6. Harus terlindungi dari gangguan hewan seperti tikus.

  7. Harus ada akses mudah untuk keluar masuk transfortasi.

  8. Pengaturan udara dan penerangan yang baik.

  9. Harus ada pembatasan antar jenis limbah.

  10. Dekat dengan lokasi insenerator.

  11. Harus ada tempat pencucian di dekatnya.

  12. Pintu masuk ditandai dengan “hanya petugas yang boleh masuk”.

d. Transportasi

  Transportasi limbah padat medis adalah bagaimana limbah diangkut dengan cara atau alat tertentu. Terkait transportasi, berbagai jenis limbah sebaiknya memiliki alat pengangkutan yang berbeda pula. Alat angkut limbah harus memenuhi persyaratan berikut:

1. Harus mudah untuk memuat dan membongkar limbah.

  2. Kantong limbah padat medis sebelum dimasukkan ke kendaraan pengangkut harus diletakkan dalam kontainer yang kuat dan tertutup.

  3. Kantong limbah padat medis harus aman dari jangkauan manusia maupun binatang.

  4. Tidak boleh memiliki sudut yang tajam atau tepi yang mungkin merobek kantong atau merusak wadah.

  5. Harus mudah dibersihkan (dengan klor aktif 5%) setiap harinya.

  6. Harus ditandai dengan jelas.

  Petugas yang menangani limbah (cleaning servis), harus menggunakan alat pelindung diri yang terdiri dari: a.

  Topi b.

  Masker c. Pelindung mata d. pakaian panjang (coverall) e. apron untuk industri f. pelindung kaki/sepatu boat, dan g. sarung tangan khusus (dispossable gloves atau heavy duty gloves).

e. Pengolahan, Pemusnahan dan Pembuangan Akhir Limbah Padat Medis

  Limbah padat medis tidak diperbolehkan dibuang langsung ke tempat pembuangan akhir limbah domestik sebelum aman bagi kesehatan. Cara dan teknologi pengolahan atau pemusnahan limbah padat medis disesuaikan dengan kemampuan rumah sakit dan jenis limbah padat medis yang ada dengan pemanasan menggunakan autoklaf atau dengan pembakaran menggunakan insenerator. Adapun cara pengolahan, pemusnahan dan pembuangan akhir limbah padat medis sebagai berikut: 1.

  Limbah infeksius dan benda tajam

  a. Limbah yang sangat infeksius seperti biakan dan persediaan agen infeksius dari laboratorium harus disterilisasi dengan pengolahan panas dan basah seperti dalam autoclav sedini mungkin. Untuk limbah infeksius yang lain cukup dengan cara desinfeksi. diolah bersama dengan limbah infeksius lainnya. Kapsulisasi juga cocok untuk benda tajam.

  c. Setelah insenerasi atau desinfeksi, residunya dapat dibuang ke tempat penampungan B3 atau dibuang ke landfill jika residunya sudah aman.

2. Limbah farmasi

  Limbah farmasi dalam jumlah kecil dapat diolah dengan insenerator pirolitik

  

(pyrolitik incenerator), rotary klin, dikubur secara aman, sanitary landfill dibuang ke

  sarana air limbah atau insenerasi. Tetapi dalam jumlah besar harus menggunakan fasilitas pengolahan yang khusus seperti kapsulisasi dalam drum logam dan insenerasi. Limbah padat dalam jumlah besar harus dikembalikan kepada distributor, sedangkan bila dalam jumlah sedikit dan tidak memungkinkan dikembalikan supaya dimusnahkan melalui insenerator pada suhu di atas 1000ºC.

3. Limbah sitotoksik a.

  Limbah sitotoksik sangat berbahaya dan tidak boleh dibuang dengan penimbunan (landfill) atau saluran limbah umum.

  b.

  Pembuangan yang dianjurkan adalah dikembalikan keperusahaan penghasil atau distributornya, insenerator pada suhu tinggi dan degredasi kimia, bahan yang belum dipakai dan kemasannya masih utuh karena kadaluarsa harus dikembalikan ke distributor apabila tidak ada insenerator dan diberi c.

  Insenerasi pada suhu tinggi sekitar 1200ºC dibutuhkan untuk menghancurkan semua bahan sitotoksik. Insenerasi pada suhu rendah dapat menghasilkan uap sitotoksik yang berbahaya ke udara. Insenerator pirolitik dengan 2 (dua) tungku pembakaran pada suhu 1200ºC dengan minimum waktu tinggal 2 detik atau suhu 1000ºC dengan waktu tinggal 5 detik di tungku kedua sangat cocok untuk bahan ini dan dilengkapi dengan penyaring debu. Insenerator juga harus dilengkapi dengan peralatan pembersih gas, insenerasi jika memungkinkan dengan rotary kiln yang didesain untuk dekomposisi panas limbah kimiawi yang beroperasi dengan baik pada suhu diatas 850ºC. Insenerator dengan 1 tungku atau pembakaran terbuka tidak tepat untuk pembuangan limbah sitotoksik.

  d.

  Apabila cara insenerasi maupun degredasi kimia tidak tersedia, kapsulisasi atau insenerasi dapat di pertimbangkan sebagai cara yang dapat dipilih. e.

  Cara kimia relatif mudah dan aman meliputi oksidasi oleh kalium

  4 )

  2

  4

  permanganat (KMNO atau asam sulfat (H SO ), penghilang nitrogen dengan asam bromida atau reduksi nikel dan alumunium.

  f.

  Insenerasi maupun degredasi kimia tidak merupakan solusi yang sempurna untuk pengolahan limbah, tumpahan atau cairan biologis yang terkontaminasi agen antineoplastik. Oleh karena itu rumah sakit harus berhati-hati dalam menangani obat sitotoksik.

  g.

  Apabila cara insenerasi maupun degradasi kimia tidak tersedia, kapsulisasi 4.

  Limbah bahan kimiawi a.

  Pembuangan limbah kimia biasa Limbah biasa yang tidak bisa daur ulang seperti asam amino, garam dan gula tertentu dapat dibuang kesaluran air kotor. Namun pembuangan tersebut harus memenuhi persyaratan konsentrasi bahan pencemar yang ada seperti bahan melayang, suhu dan pH.

  b.

  Pembuangan limbah kimia berbahaya dalam jumlah kecil Limbah bahan berbahaya dalam jumlah kecil seperti residu yang terdapat dalam kemasan sebaiknya dibuang dengan insenerator pirolitik, kapsulisasi atau ditimbun (landfill).

  c.

  Pembuangan limbah kimia berbahaya dalam jumlah besar.

  Tidak ada cara pembuangan yang aman dan sekaligus murah untuk limbah berbahaya, pembuangannya lebih ditentukan kepada sifat bahaya yang dikandung oleh limbah tersebut, limbah tertentu bisa dibakar seperti bahan pelarut dapat diinsenerasi, namun bahan pelarut dalam jumlah besar seperti pelarut halogenida yang mengandung klorin atau florin tidak boleh diinsenerasi, kecuali inseneratornya dilengkapi dengan alat pembersih gas.

  d.

  Cara lain adalah dengan mengembalikan bahan kimia berbahaya tersebut ke distributornya yang akan menanganinya dengan aman atau dikirim ke negara lain yang mempunyai peralatan yang cocok untuk mengolahnya. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penangann limbah kimia berbahaya adalah 1)

  Limbah berbahaya yang komposisinya berbeda harus dipisahkan untuk menghindari reaksi kimia yang tidak diinginkan.

  2) Limbah kimia berbahaya dalam jumlah besar tidak boleh ditimbun karena dapat mencaemari air tanah.

  3) Limbah kimia didesinfektan dalam jumlah besar tidak boleh dikapsulisasi karena sifatnya yang korosif dan mudah terbakar.

  4) Limbah padat bahan kimia berbahaya cara pembuangannya harus dikonsultasikan terlebih dahulu kepada instansi yang berwenang.

5. Limbah dengan kandungan logam berat tinggi

  Limbah dengan kandungan mercuri atau kadmium tidak boleh dibakar atau di insenerasi karena beresiko mencemari udara dengan uap beracun dan tidak boleh dibuang landfill karena dapat mencemari air tanah. Adapun cara yang disarankan adalah dengan cara dikirim ke negara yang memiliki fasilitas pengelolahan limbah dengan kandungan logam berat tinggi,bila tidak memungkinkan limbah dibuang ke tempat penyimpanan yang aman sebagai pembuangan akhir untuk limbah industri yang berbahaya. Cara lain yang paling sedeerhana adalah dengan kapsulisasi kemudian dilanjutkan dengan landfill, bila hanya dalam jumlah kecil dapat dibuang dengan limbah biasa.

6. Kontainer bertekanan a.

  Cara yang terbaik untuk menangani limbah kontainer bertekanan adalah dengan daur ulang atau penggunaan kembali. Apabila masih dalam kondisi

Dokumen yang terkait

Karakteristik dan Perilaku Petugas Cleaning Service Mengenai Pengelolaan Limbah Padat Medis Terhadap Risiko Kecelakaan Kerja di RSU Permata Bunda Medan Tahun 2014

11 129 133

Pengaruh Karakteristik Terhadap Kepuasan Kerja Petugas Rekam Medis Di RSU Tembakau Deli PTPN II Medan Tahun 2004

0 23 89

Hubungan Antara Pengetahuan, Sikap dan Perilaku Petugas Terhadap Pengelolaan Sampah Medis Puskesmas di Kabupaten Jember

0 8 20

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perilaku 2.1.1 Pengertian Perilaku - Perilaku Penjamah Pestisida di PT. Perkebunan Nusantara IV Kebun Bah Butong Tahun 2015

0 0 34

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perilaku Kesehatan 2.1.1 Pengertian Perilaku Kesehatan - Hubungan Karakteristik Peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) Penerima Bantuan Iuran (PBI) dengan Perilaku Merokok di Wilayah Kerja Puskesmas Belawan Tahun 2015

0 1 37

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perilaku Bahaya Kerja 2.1.1 Definisi - Pengaruh Perilaku Bahaya Kerja Terhadap Risiko Kejadian Kecelakaan Kerja Pada Pekerja di PT Subur Sari Lastderich (SSL) Humbang Hasundutan Tahun 2015

0 0 32

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perilaku 2.1.1 Definisi - Hubungan Karakteristik dan Perilaku Mengenai Lingkungan Fisik Rumah Terhadap Kejadian Tuberkulosis Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Laguboti Kecamatan Laguboti Kabupaten Tobasa Tahun 2013

0 0 19

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Defenisi Perilaku - Gambaran Perilaku Siswa Tentang Seks Pra-nikah di SMA Pencawan Medan Tahun 2014

0 1 22

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perilaku 2.1.1 Pengertian Perilaku - Gambaran Perilaku Tentang Seks Bebas Pada Pelajar SMA Kemala Bhayangkari 1 Medan Tahun 2012

0 0 13

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perilaku Seksual Pranikah - Pengaruh Teman Sebaya dan Sumber Informasi Terhadap Perilaku Seksual Pranikah pada Siswa SMA Negeri 2 Medan Tahun 2012

1 1 35