BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Teoritis - Analisis Pengaruh Related Party Transaction (RPT) dan Total Asset Turnover (TATO) terhadap Manajemen Laba pada Perusahaan Property dan Real Estate yang terdaftar di BEI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Teoritis

  Menurut Felianna Yie Ke dalam Simposium Akuntansi Nasional X (2007), “transaksi dengan pihak yang memiliki hubungan berelasi (RPT) memiliki dua hipotesis yang bertolak belakang yaitu sebagai transaksi opportunis atau sebagai transaksi efisien”. RPT dalam transaksi yang opportunis menyebabkan conflict of interest yang konsisten dengan agency theory dan sebagai transaksi efisiensi, RPT dilakukan untuk pertimbangan efisiensi dalam memenuhi kebutuhan perusahaan.

  Agency Theory (teori keagenan) menyatakan bahwa antara manajemen dan pemilik mempunyai kepentingan yang berbeda. Perusahaan yang memisahkan pengelolaan dan kepemilikan akan rentan terhadap konflik keagenan. Menurut Sunarto dalam Jurnal Teori Keagenan dan Manajemen

Laba (2009), “Perbedaan kepentingan antara pemilik dan manajemen terletak

pada maksimalisasi manfaat pemilik dan insentif yang akan diterima oleh

manajemen (agent). Karena kepentingan yang berbeda sering muncul konflik kepentingan antara pemilik dengan manajemen”.

2.1.1. Related Party Transaction (RPT) atau Transaksi Pihak Berelasi

  Menurut PSAK No. 7, “Pihak-pihak yang dianggap mempunyai hubungan istimewa bila satu pihak mempunyai kemampuan untuk mengendalikan pihak lain atau mempunyai pengaruh signifikan atas pihak lain dalam mengambil keputusan keuangan dan operasional

  ”.

  Definisi yang RPT menurut International Financial Statement

  Standar (IFRS) dalam IAS 24.9 , yaitu:

  “A related party is a person or entity that is related to the entity that is

  preparing its financial statements (referred to as the ‘reporting entity’)

A related party transaction is a transfer of resources, service, or

obligations between related parties, regardless of whether a pr ice is

changed”.

  Yang berarti, “Pihak berelasi adalah orang atau entitas yang terkait dengan entitas yang menyiapkan laporan keuangannya (disebut sebagai 'pelapor'). Jadi yang dimaksud dengan RPT adalah transfer sumber daya, jasa, atau kewajiban antara pihak terkait, terlepas dari apakah harga berubah

  ”

2.1.1.1 Pihak-pihak yang Mempunyai Related Party (Hubungan Berelasi)

  Pihak-pihak yang memiliki related party (hubungan berelasi) adalah sebagai berikut (PSAK No. 7):

  1. Perusahaan yang melalui satu atau lebih perantara, mengendalikan, atau dikendalikan oleh atau berada di bawah pengendalian bersama dengan perusahaan pelapor (termasuk holding companies, subsidiaries, dan fellow subsidiaries).

  2. Perusahaan asosiasi (associated company).

  3. Perorangan yang memiliki, baik secara langsung maupun tidak langsung suatu kepentingan hak suara di perusahaan pelapor yang berpengaruh secara signifikan dan anggota keluarga dekat dari perorangan tersebut. Yang dimaksudkan dengan anggota keluarga dekat adalah mereka yang dapat diharapkan mempengaruhi atau dipengaruhi perorangan tersebut dalam transaksinya dengan perusahan pelapor.

  4. Karyawan kunci, yaitu orang-orang yang mempunyai wewenang dan tanggung jawab untuk merencanakan, memimpin, dan mengendalikan kegiatan perusahaan pelapor yang meliputi anggota dewan komisaris, direksi, dan manajer dari perusahaan, serta anggota keluarga dekat orang-orang tersebut.

  5. Perusahaan dengan kepentingan substansial dalam hak yang dimiliki, baik secara langsung maupun tidak langsung oleh setiap orang yang diuraikan dalam (3) atau (4), atau setiap orang tersebut mempunyai pengaruh signifikan atas perusahaan tersebut. Ini mencakup perusahaan yang dimiliki anggota dewan komisaris, direksi, atau pemegang saham utama dari perusahaan pelapor dan perusahaan-perusahaan yang mempunyai anggota manajemen kunci yang sama dengan perusahaan pelapor.

2.1.1.2 Transaksi yang terjadi dalam RPT

  Transaksi-transaksi yang karena sifatnya mungkin memberikan indikasi adanya pihak yang memiliki hubungan berelasi, seperti transaksi peminjaman yang tanpa beban bunga atau dengan suku bunga di atas atau di bawah yang berlaku umum, transaksi penjualan dengan harga yang berbeda yang berlaku umum, transaksi pertukaran aset, dan transaksi peminjaman tanpa ketentuan mengenai jadwal dan cara pembayaran.

2.1.1.3 Metode Penetapan Harga dalam RPT

  Ada tiga metode penetapan harga dalam RPT, yaitu: 1. Metode Harga Sebanding

  Metode ini menetapkan harga yang sama dengan pihak lain yang tidak mempunyai hubungan istimewa.

  2. Metode Harga Penjualan Metode harga penjualan menjelaskan penetapan harga dalam RPT merupakan penetapan harga awal pada barang tersebut.

  3. Metode Cost Plus Metode cost plus menambahkan biaya (mark up) tertentu pada pemasok.

2.1.1.4 Dampak Positif dan Negatif dari RPT 1.

  Dampak positif Dampak positif dari RPT dapat dilihat jika pemilik ataupun manajemen melakukan RPT yang bersifat efisien, artinya tindakan tersebut tidak merugikan pihak manajeman, pemilik dan investor.

2. Dampak Negatif

  Menurut Vera dkk dalam Jurnal Pengaruh Kepemilikan Pengendali Akhir terhadap Transaksi Pihak Berelasi, “Di Indonesia RPT menjadi salah satu cara untuk memperoleh keuntungan pribadi baik manajemen maupun pemilik. RPT yang merugikan dapat dipandang konsisten dengan conflict of

  interest hypothesis yang merupakan cerminan dari agency theory (Gordon, 2005), seperti yang telah dijelaskan diawal.

2.1.2. Total Asset Turnover (TATO)

  TATO adalah rasio aktivitas yang digunakan untuk mengukur sampai seberapa besar efektivitas perusahaan dalam menggunakan sumber dayanya yang berupa asset. Semakin tinggi efisien penggunaan asset dan semakin cepat pengembalian dana dalam bentuk kas (Abdul Halim, 2007). TATO sendiri merupakan rasio antara penjualan dengan total aktiva yang mengukur efisiensi penggunaan aktiva secara keseluruhan. Apabila rasio rendah itu merupakan indikasi bahwa perusahaan beroperasi pada volume yang memadai bagi kapsitas investasinya. TATO disebut juga sebagai rasio pengelolaan aktiva terakhir yang mengukur perputaran atau pemanfaatan dari semua aktiva perusahaan. Apabila perusahaan tidak menghasilkan volume usaha yang cukup untuk ukuran investasi sebesar total aktivanya, penjualan harus ditingkatkan. Beberapa aktiva harus dijual, atau gabungan dari langkah- langkah tersebut harus segera dilakukan.

  Apabila dalam menganalisis rasio selama ini beberapa periode menunjukkan suatu trend yang cenderung meningkat, memberikan gambaran bahwa semakin efisien penggunaan aktiva sehingga meningkat (Sawir, 2001). TATO secara sistematis dapat dirumuskan sebagai berikut : (Kasmir, 2008) Total Asset Turnover 2.1.3. Manajemen Laba

2.1.3.1 Pengertian Manajemen Laba

  Menurut Darsono dan Ari (2008), laba ialah prestasi seluruh karyawan dalam suatu perusahaan yang dinyatakan dalam bentuk angka keuangan, yaitu selisih positif antara pendapatan dikurangi beban (expense). Laba merupakan dasar ukuran kinerja bagi kemampuan manajemen dalam mengoperasikan harta perusahaan. Laba harus direncakan dengan baik agar manajemen dapat mencapainya secara efektif.

  Beberapa peneliti mendefinisikan manajemen laba. Baharuddin dan Satyanugraha (2004) mengutip dua definisi manajemen laba yaitu:

  1. Fisher dan Rosenzweig (1995) Manajemen laba adalah tindakan-tindakan manajer untuk menaikkan (menurunkan) laba periode berjalan dari sebuah perusahaan yang dikelolanya tanpa menyebabakan kenaikan (penurunan) keuntungan ekonomi perusahaan jangka panjang.

  2. Healy dan Wahlen (1999)

  Manajemen laba terjadi apabila manajer menggunakan penilaian dalam laporan keuangan dan dalam struktur transaksi untuk mengubah laporan keuangan guna menyesatkan pemegang saham mengenai prestasi ekonomi perusahaan atau besarnya laba.

  Sedangkan menurut Sugiri (2001) membagi definisi manajemen laba menjadi dua, yaitu:

  1. Definisi sempit Manajemen laba dalam hal ini hanya berkaitan dengan pemilihan metode akuntansi. Manajemen laba dalam artian sempit ini didefinisikan sebagai perilaku manajemen untuk “bermain” dengan komponen discretionary accrual dalam menentukan besarnya laba.

  2. Definisi luas Manajemen laba merupakan tindakan manajer untuk meningkatkan (mengurangi) laba yang dilaporkan saat ini atas suatu unit di mana manajer bertanggung jawab, tanpa mengakibatkan kenaikan (penurunan) profitabilitas ekonomi jangka panjang unit tersebut.

  Maka manajemen laba adalah suatu tindakan yang sengaja dilakukan oleh manajer perusahaan melalui pemilihan metode akuntansi yang dibutuhkan untuk memenuhi keinginannya dalam merekayasa laba demi tujuan dan kepentingan pribadinya.

2.1.3.2 Faktor-faktor yang Mendorong Terjadinya Manajemen Laba

  Menurut Watt dan Zimmerman dalam Creative Accounting (2011) ada 6 motivasi yang mendorong individu atau perusahaan melakukan manajemen laba, diantaranya adalah sebagai berikut:

  1. Motivasi Bonus Dalam sebuah perjanjian bisnis, pemegang saham akan memberikan sejumlah insentif dan bonus sebagai feedback atau evaluasi atas kinerja manajer dalam menjalankan operasional perusahaan. Insentif ini diberikan dalam relatif tetap dan rutin.

  Sementara bonus yang relatif besar nilainya hanya akan diberikan ketika kinerja manajer berada di area pencapaian bonus yang telah ditetapkan oleh pemegang saham. Pengukuran kinerja berdasarkan laba dan skema bonus tersebut memotivasi para manajer untuk memberikan performa terbaiknya, sehingga tidak menutup peluang mereka melakukan tindakan manajemen laba agar dapat menampilkan kinerja (performance) yang baik demi mendapatkan bonus yang maksimal.

  2. Motivasi Hutang

  Selain melakukan kontrak bisnis dengan pemegang saham, untuk kepentingan ekspansi perusahaan, manajer seringkali melakukan beberapa kontrak bisnis dengan pihak ketiga, dalam hal ini adalah kreditor. Agar kreditor mau menginvestasikan dananya di perusahaan, tentunya manajer harus menunjukkan performa yang baik dari perusahaannya. Dan untuk memperoleh hasil maksimal, yaitu pinjaman dalam jumlah besar, perilaku kreatif dari manajer untuk menampilkan performa yang baik dari laporan keuangan pun seringkali muncul.

  3. Motivasi Pajak Perusahaan yang belum go public cenderung melaporkan dan menginginkan untuk menyajikan laporan laba fiskal yang lebih rendah untuk bertindak kreatif melakukan tindakan manajemen laba agar seolah-olah laba fiskal yang dilaporkan memang lebih rendah tanpa melanggar aturan dan kebijakan akuntansi perpajakan.

  4. Motivasi Penjualan Saham Motivasi ini banyak dilakukan oleh perusahaan yang akan go

  

public ataupun yang sudah go public. Proses penjualan saham

  perusahaan ke publik akan direspon positif oleh pasar ketika peruahaan penerbit saham (emiten) dapat menjual kinerja yang baik. Salah satu ukuran kinerja yang baik adalah penyajian laba pada laporan keuangan perusahaan. Kondisi ini sering kali memotivasi manajer untuk berperilaku kreatif dengan berusaha menampilkan kinerja keuangan yang lebih baik dari biasanya.

  5. Motivasi Pergantian Direksi

  Praktek manajemen laba biasanya terjadi sekitar periode pergantian direksi atau chief executive officer (CEO). Menjelang berakhirnya masa jabata, direksi cenderung bertindak kreatif dengan memaksimumkan laba agar performa kerjanya tetap terlihat baik pada tahun terakhir menjabat. Motivasi utamanya adalah memperoleh bonus yang maksimal pada akhir masa jabatannya.

6. Motivasi Politis

  Motivasi ini biasanya terjadi pada perusahaan besar yang bidang usahanya banyak menyentuh masyarakat luas, seperti perusahaan-perusahaan industri strategis perminyakan, gas, listrik dan air.

  Manajer cenderung melakukan manajemen laba untuk menyajikan laba lebih rendah dari nilai yang sebenarnya, terutama selama periode kemakmuran tinggi. Hal ini dilakukan untuk mengurangi visibilitas perusahaan sehingga tidak menarik perhatian pemerintah, media, atau konsumen yang dapat menyebabkan meningkatnya biaya politis perusahaan.

  Rendahnya biaya politis akan menguntungkan manajemen.

  Dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mendorong terjadinya manajemen laba semuanya karena keadaan dan tujuan tertentu yang ingin dicapai oleh manajer perusahaan. Manajer perusahaan akan menaikkan laba jika dalam keadaan ingin memperoleh insentif atau bonus atas kinerjanya, ingin menjaga nama baik perusahaan terhadap pihak kreditur agar tetap diberikan pinjaman, dalam masa-masa-masa akan pensiunnya CEO agar mendapat bonus, dan pada saat penawaran perdana saham agar harga saham perusahaan tersebut naik. Dan manajer perusahaan akan menurunkan laba misalnya untuk tujuan menurunkan pajak.

2.1.3.3 Teknik Manajemen Laba

  Ada tiga teknik dalam manajemen laba, antara lain: Memanfaatkan peluang untuk membuat estimasi akuntansi, 1. yaitu manajemen mempengaruhi laba melalui estimasi piutang tak tertagih, estimasi kurun waktu depresiasi aktiva tetap dan amortisasi aktiva tidak berwujud, estimasi biaya garansi,dan lain-lain. Teknik ini misalnya dilakukan dengan merekayasa beban perusahaan seperti beban piutang tak tertagih, beban garansi dan beban amortisasi. Apabila manajer ingin menaikkan laba pada tahun tertentu, maka beban-beban tersebut akan dikurangi jumlahnya pada tahun tersebut yang berakibat beban terlalu rendah dan akhirnya akan meningkatkan laba. Apabila manajer ingin menurunkan laba pada tahun tertentu, maka beban-beban tersebut akan ditingkatkan jumlahnya pada tahun tersebut yang berakibat beban terlalu tinggi dan akhirnya akan menurunkan laba.

  Mengubah metode akuntansi, misalnya mengubah metode 2. penyusutan aktiva tetap. Teknik ini dilakukan dengan mengubah metode penyusutan aktiva, misalnya dari metode garis lurus menjadi metode saldo menurun atau menjadi metode jumlah angka tahun atau sebaliknya. Hal ini juga berkaitan dengan menaikkan atau menurunkan beban penyusutan pada tahun tertentuyang diinginkan oleh manajer sesuai dengan kehendaknya apakah ingin menaikkan atau menurunkan laba.

  3. Menggeser periode beban dan pendapatan, antara lain menunda/mempercepat pengeluaran untuk penelitian dan pengembangan sampai periode akuntansi berikutnya, menunda/mempercepat beban promosi sampai periode akuntansi berikutnya, menunda/mempercepat pengiriman produk ke pelanggan, dan lain-lain. Teknik ini mengakibatkan beban atau pendapatan pada tahun tertentu dicatat tidak sesuai dengan beban atau pendapatan yang sebenarnya terjadi di tahun tersebut. Misalnya untuk menaikkan laba tahun tertentu maka manajer menaikkan pula jumlah pendapatan pada tahun tersebut dengan cara mengakui pendapatan pada tahun tersebut yang seharusnya diterima tahun berikutny. Dapat pula menaikkan laba dengan cara mengurangi beban yaitu menunda beban promosi atau beban lainnya, sehingga beban tersebut yang seharusnya terjadi pada tahun ini tetapi baru akan dicatat pada tahun berikutnya.

2.1.3.4 Model – model Manajemen Laba

  Menurut Dedhy dan Yeni (2011), model-model untuk deteksi manajemen laba antara lain:

  1. Jones Model (1991) Model ini berfokus pada total akrual sebagai sumber informasi manipulasi akuntansi atau manajemen laba. Secara spesifik, model ini membagi total akrual menjadi akrual diskresioner dan akrual nondiskresioner.

  Jones Model (JM) mengasumsikan bahwa akrual

  nondiskresioner bersifat tetap dari satu periode ke periode lainnya sehingga akrual (perbedaan antara akrual tahun ini dengan tahun lalu) yang terjadi disebabkan karena adanya pertimbangan (diskresi) dari pihak manajemen, dalam hal ini permainan kebijakan akuntansi.

  2. Modified Jones Model (1995)

  Modified Jones Model (MJM) dikembangkan oleh Dechow

  dan kawan-kawan (1995). Model ini muncul untuk mengatasi kelemahan yang ada dalam Jones Model (JM). Dechow mengasumsikan bahwa perubahan yang terjadi dalam penjualan kredit pada periode berjalan merupakan objek manipulasi laba sehingga dirinya memperbaiki JM dengan menghilangkan variabel perubahan piutang dari variabel perubahan pendapatan untuk mengestimasi akrual nondiskresioner pada saat periode kejadian.

  3. Klasznik Model (1999)

  Kasznik Model (KM) telah mempertimbangkan

  dimasukkannya operating cash flow (OCF) sebagai variabel penjelas yang tidak dipertimbangkan dalam MJM. Lebih lanjut dijelaskan dibawah ini:  Pada MJM, diasumsikan bahwa akrual non dikresioner bersifat tetap sehingga total akrual berubah maka perubahan akrual total merefleksikan perubahan yang terjadi pada akrual diskresioner.

   Pada MJM, Dechow dan kawan – kawan menunjukkan perubahan dalam arus kas berhubungan negatif dengan total akrual. Ini berarti ketika total akrual berubah, maka arus kas bersifat tetap.

  4. Performance – Matched Discretionary Accruals Model (2005) Model ini dikembangkan oleh Kothari dan kawan

  • – kawan, yang memiliki ide dasar bahwa akrual yang terdapat dalam perusahaan yang sedang memiliki kinerja yang “tidak biasa” (unusual performance) secara sistematis diharapkan bukan nol sehingga kinerja perusahaan pastinya berhubungan dengan akrual.
Ini berarti bahwa perusahaan yang memiliki kinerja yang tidak biasa, seperti perusahaan yang sedang mengalami pertumbuhan hubungan positif dengan akrual. Bahkan, jika kinerja perusahaan sedang baik, bisa jadi akrual yang dimiliki perusahaan cukup tinggi. Nilai akrual yang tinggi ini disebabkan karena perusahaan sedang mengalami pertumbuhan atau memang kinerjanya sedang dalam keadaan baik, yang bisa saja ditunjukkan dengan jumlah piutang yang tinggi, bukan karena manajemen laba.

2.2 Kerangka Konseptual

  Kerangka berpikir merupakan penjelasan sementara gejala-gejala yang menjadi objek permasalahan tentang hubungan antarvariabel yakni variabel independen dan variabel dependen yang disusun dari berbagai teori yang telah diuraikan (Sugiyono, 2007). Variabel independen dalam penelitian ini adalah Transaksi Hubungan Istimewa dan Total Asset Turnover. Sedangkan variabel dependen dalam penelitian ini adalah manajemen laba. Hubungan antara Related

  Party Transaction dan Total Asset Turnover terhadap Manajemen Laba

  digambarkan dalam kerangka konseptual sebagai berikut ini:

Gambar 2.1 Kerangka Konseptual

  Related Party Transaction

  (RPT) Manajemen Laba

  Total Asset Turnover

  (TATO) Pengungkapan dan pelaporan atas RPT yang diwajibkan oleh PSAK 7 yaitu meliputi mengenai besarnya asset, liabilities, sales dan expenses yang dilakukan perusahaan atas dasar transaksi dengan pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa.

  TATO merupakan rasio antara jumlah aktiva yang digunakan dengan jumlah yang diperoleh selama periode tertentu. Rasio ini menjadi ukuran seberapa jauh aktiva yang digunakan dalam kegiatan atau menunjukkan berapa kali aktiva berputar dalam periode tertentu. Semakin cepat tingkat perputaran aktiva maka semakin meningkat penjualan yang nantinya akan mempengaruhi laba.

2.3 Hubungan RPT dengan Manajemen Laba

  Menurut PSAK No. 7, “Pihak-pihak yang dianggap mempunyai hubungan istimewa bila satu pihak mempunyai kemampuan untuk mengendalikan pihak lain atau mempunyai pengaruh signifikan atas pihak lain dalam mengambil keputusan keuangan dan operasional ”. Sedangkan m anajemen

  laba yaitu tindakan-tindakan manajer untuk menaikkan (menurunkan) laba periode berjalan dari sebuah perusahaan yang dikelolanya tanpa menyebabakan kenaikan (penurunan) keuntungan ekonomi perusahaan jangka panjang.

  Jian dan Wong (2003) menyatakan, “pihak yang memiliki RPT menunjukkan kecenderungan opportunis. Dibuktikan dengan ditemukan tingginya tingkat penjualan dengan RPT, terutama antara pemilik dan anggota lain perusahaan dalam grup, ketika perusahaan memiliki insentif untuk memanipulasi data”. Dengan kata lain, transaksi penjualan dengan RPT digunakan untuk manajemen laba.

  Dalam studi kasus Alexandra dan Adriana (2011), menemukan bahwa transaksi dengan pihak yang diduga mempunyai hubungan istimewa tersebut digunakan untuk memanipulasi laba, penjarahan perusahaan, dan melakukan kecurangan. Selain itu Gordon dan Henry (2005) juga mengaitkan jenis transaksi RPT dengan ukuran manajemen laba.

2.4 Hubungan TATO dengan Manajemen Laba

  Laporan keuangan merupakan salah satu sumber informasi penting bagi para pemakainya. Dalam laporan keuangan tersebut dapat diukur bagaimana kinerja perusahaan untuk menghasilkan laba. Salah satu caranya yaitu dengan menggunakan rasio aktivitas perusahaan, yaitu total asset turnover (TATO). TATO merupakan rasio aktivitas yang digunakan untuk mengukur sampai seberapa besar efektivitas perusahaan dalam menggunakan sumber dayanya berupa asset (Abdul Halim, 2007).

  Menurut Roychowdhury dalam Creative Accounting, TATO dapat dihubungkan dengan manajemen laba karena salah satu cara dalam mendeteksi manajemen laba yaitu mendeteksi produksi yang berlebihan (overproduction).

  Agar laba naik, manajer memproduksi lebih banyak persediaan dari yang sewajarnya untuk memenuhi permintaan. Dengan tingkat produksi yang lebih tinggi, biaya overhead tetap per unit makin kecil sehingga biaya per unitnya akan turun. Hal ini membuat biaya barang terjual lebih rendah sehingga perusahaan mendapat keuntungan operasi yang lebih baik karena harga yang murah lebih diminati konsumen dan membuat perputaran aset menjadi tinggi. Semakin tinggi efisien penggunaan asset maka semakin cepat pengembalian dana dalam bentuk kas (Abdul Halim, 2007).

2.5 Hipotesis Penelitian

  Menurut Erlina (2007), “Hipotesis menyatakan hubungan yang digunakan secara logis antara dua variabel atau lebih dalam rumusan preposisi yang dapat diuji secara empiris”. Hipotesis adalah dugaan atau jawaban sementara terhadap masalah yang akan diuji kebenarannya melalui analisis data yang relevan dan kebenarannya akan diketahui setelah dilakukan penelitian. Adapun hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah: H : terdapat pengaruh RPT dan TATO secara simultan dan parsial terhadap manajemen laba

Dokumen yang terkait

Pengaruh Total Asset Turn Over, Debt to Equity Ratio dan Debt to Asset Ratio terhadap profitabilitas pada Perusahaan Property dan Real Estate yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia

6 74 88

Analisis Pengaruh Related Party Transaction (RPT) dan Total Asset Turnover (TATO) terhadap Manajemen Laba pada Perusahaan Property dan Real Estate yang terdaftar di BEI

10 109 88

Pengaruh Current Ratio (CR), Longterm Debt Equity Ratio (LtDER), Total Asset Turnover (TATO), Return On Asset (ROA) Terhadap Harga Saham pada Perusahaan Real Estate dan Property yang terdaftar di BEI Tahun 2010-2012

0 52 102

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Teoritis 2.1.1 Laporan Keuangan - Analisis Pengaruh Ukuran Perusahaan, Profitabilitas, Financial Leverage, dan Kebijakan Dividen terhadap Praktik Perataan Laba pada Perusahaan Property & Real Estate yang Terdaftar di B

0 0 24

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Teoritis 2.1.1 Pasar Modal - Analisis Pengaruh EPS, PER dan M/B terhadap Return Saham pada Perusahaan Properti dan Real Estate yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia

0 0 25

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Teoritis - Pengaruh Kinerja Keuangan terhadap Pengungkapan Corporate Social Responsibility (CSR) pada Perusahaan Real Estate dan Property yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia Tahun 2010-2012

0 0 44

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Teoritis 2.1.1 Manajemen Laba - Pengaruh Size, ROA dan Leverage terhadap Manajemen Laba pada Perusahaan Perbankan yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia

0 0 16

Pengaruh Total Asset Turn Over, Debt to Equity Ratio dan Debt to Asset Ratio terhadap profitabilitas pada Perusahaan Property dan Real Estate yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia

0 0 12

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Aset 2.1.1 Pengertian Aset - Pengaruh Total Asset Turn Over, Debt to Equity Ratio dan Debt to Asset Ratio terhadap profitabilitas pada Perusahaan Property dan Real Estate yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia

0 0 17

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Teoritis 2.1.1 Pengertian Pasar Modal - Pengaruh Manajemen Laba terhadap Biaya Modal Ekuitas pada Perusahaan Pertambangan yang terdaftar di BEI pada tahun 2009-2012

0 0 19