Apa Arti Demokrasi bagi Orang Indonesia (1)

Apa Arti Demokrasi bagi Orang Indonesia di Luar Negeri?1
Amin Mudzakkir (PSDR-LIPI)

Buku Merancang Arah Baru Demokrasi: Indonesia Pasca-Reformasi yang disunting oleh
AE Priyono dan Usman Hamid adalah karya yang sangat berharga. Berisi kurang lebih 39
tulisan, karya ini tak pelak lagi merangkum hampir semua problematik dalam praktik
demokratisasi di Indonesia pasca-Reformasi 1998. Pada bagian pendahuluan dan penutup,
suatu refleksi yang tajam (hlm. ix-li) dan agenda yang programatik (hlm. 847-857) disusun
dengan baik sebagai peta jalan teoritis dan praktis lebih lanjut.
Meski demikian, dengan segera saya menangkap sesuatu yang kurang dari buku
setebal 899 halaman ini. Kekurangan itu bukan kesalahan atau kelemahan para penulis,
tetapi lebih merefleksikan situasi umum ilmu-ilmu sosial di Indonesia, yaitu orientasinya
yang melulu melihat ke dalam (inward looking). Perhatian ilmuwan sosial tentang
Indonesia selalu terarah kepada individu-individu atau masyarakat Indonesia yang tinggal
di dalam garis batas teritorial negara-bangsa Indonesia. Apa, siapa, dan bagaimana orang
Indonesia yang tinggal di luar negeri, baik karena terpaksa atau sukarela, jarang atau
bahkan tidak pernah mendapat tempat memadai di dunia akademis kita.2 Terkait dengan
tema pokok buku yang kita bahas hari ini, kita seolah lupa untuk bertanya: apa arti
demokrasi bagi orang Indonesia di luar negeri?
Oleh karena itu, tidak mengherankan ketika berbicara tentang demokrasi Indonesia
pasca-Reformasi, fokusnya tertuju pada pelukisan tentang demokrasi yang bersemi di

tanah airnya sendiri. Problematik demokrasi akibatnya selalu identik dengan problematik
negara-bangsa. Ini tentu saja bukan pengertian yang salah sama sekali. Di tengah era
‘globalisasi’ sekarang ini, peranan dan kekuatan yang dimainkan oleh negara-bangsa tidak
hanya menguat, tetapi juga dibutuhkan. Di hadapan arus ‘neoliberalisasi’ yang semakin
deras, negara adalah ratu adil yang diharapkan kehadirannya.
Tetapi jalan keluar di tengah situasi ilmu sosial yang selalu berorientasi ke dalam
ini, menurut saya, tidak cukup hanya dengan perspektif komparatif yang umumnya
berkembang di ilmu politik. Untuk bidangnya, tulisan Vedi Hadiz (hlm. 291-316) dan Cho
Hee-yeon (hlm. 433-458) yang terhimpun dalam buku ini sudah sangat unggul. Dengan
                                                        
1

Pengantar diskusi buku Merancang Arah Baru Demokrasi: Indonesia Pasca-Reformasi (Jakrta: KPG, 2004)
di Cafe Zam-Zam Jl. Ampera Raya No. 3, Kemang, Jakarta Selatan, 11 Desember 2014.
2
Amin Mudzakkir, “Di Bekas Negeri Penjajah: Refleksi atas Kajian Sosial tentang Orang Indonesia di
Belanda Pascakolonial”, disampaikan pada Seminar Nasional Refleksi Ilmu Sosial di Indonesia, PMB-LIPI,
Jakarta, 13 Nopember 2013.

 




baik kedua penulis ini menggambarkan hiruk pikuk gelombang demokratisasi di Indonesia
dan Turki (Hadiz), lalu Thailand, Taiwan, Korea Selatan, dan Filipina (Hee-yeon). Dari
kondisi di masing-masing negara itu lalu lahir kesimpulan komparatif yang didasarkan
pada penilain struktural tertentu, seperti kebingungan pasca-Perang Dingin, keganasan
neoliberalisme, atau keterpecahan masyarakat sipil. Meski demikian, keseluruhan argumen
dalam dua tulisan ini tidak beranjak dari asumsi bahwa pelaku dari proses demokratisasi
tersebut adalah warga negara setempat yang tinggal di kampung halamannya.
Pertanyaannya sekarang: mengapa pertanyaan tentang arti demokrasi bagi orang
Indonesia di luar negeri penting diajukan? Jawabnya singkat: karena problematik
demokrasi bukan melulu problematik negara-bangsa! Jawaban seperti ini tidak muncul
kemarin sore, tetapi sudah dipikirkan oleh para filsuf Stoa sejak era Yunani kuno. Sejak
demokrasi mengacu secara otomatis pada otoritas politik negara-kota tertentu, sejak itu
pula pengertian bahwa demos adalah urusan negara-kota belaka memperlihatkan
masalahnya. Tragedi Sokrates adalah contoh terbaik untuk itu. Ironisnya, tragedi seperti
itu—tentu saja dengan jenis dan derajat yang berbeda—terulang lagi dan lagi hingga
zaman modern. Oleh karena itu, lima tahun setelah berkobarnya Revolusi Perancis, filsuf
Jerman Immanuel Kant segera menulis ‘perpetual peace’ sebagai antisipasi terhadap eforia

republikanisme yang beririsan dengan ekspansi kapitalisme.
Dalam ‘perpetual peace’ Kant mengingatkan pemerintahan republik agar
mengakomodasi suatu bentuk hukum kosmopolitan. Dia sangat sadar bahwa di tengah
gemuruh republikan yang meluap-luap, nasib orang asing tidak mudah dipastikan. Untuk
itulah dia menyarankan agar negara-negara mengatur suatu kerjasama internasional yang
memungkinkan manusia bisa berjalan di muka bumi dari satu tempat ke tempat lain secara
bebas dan bertanggung jawab. 3
Peringatan Kant dua abad silam adalah salah satu dasar bagi tumbuhnya apa yang
sekarang disebut sebagai demokrasi kosmopolitan. Cukup pasti ambruknya pemerintahan
komunis di Uni Soviet dan negara-negara lainnya membuka jalan lebih lebar untuk itu.
Sejak itu semakin banyak orang percaya bahwa demokrasi bukan hanya urusan negara
tertentu, tetapi urusan kita semua sebagai warga dunia. Tentu saja banyak pula orang yang
tidak sepakat. Demokrasi kosmopolitan dinilai kuda troya belaka yang telah disusupi
paham neoliberal. Di antara optimisme dan pesimisme yang sama-sama ekstrem tersebut,
                                                        
3

Seyla Benhabib, The Rights of Others: Aliens, Residents and Citizens (Cambridge: Cambridge University
Press, 2004), hlm. 25-48.


 



terdapat suatu pandangan moderat yang menyatakan bahwa seperti model demokrasi
Westphalian berbasis negara-bangsa, demokrasi kosmopolitan juga memberikan peluang
dan resikonya sekaligus.
Sementara perdebatan teoritis terus berlangsung, kenyataannya hari ini terdapat
setidaknya 10 juta orang yang tidak diakui sebagai bagian dari warga manapun di seluruh
dunia (stateless people). Di daerah-daerah yang masih dilanda peperangan dan pertikaian
berdarah lainnya, jumlah ini naik terus hampir setiap hari. UNHCR melansir setidaknya
terdapat 50.000 orang bayi telah lahir dari para pengungsi Syiria di berbagai negara.4 Apa
arti demokrasi bagi kalangan tak bernegara seperti ini? Siapa yang harus bertanggung
jawab terhadap keberadaan dan keselamatan mereka?
Beragam jawaban yang akan lahir dari pertanyaan tersebut memperlihatkan
relevansi demokrasi kosmopolitan bagi zaman kita. Bagi kita di sini, tingginya angka
pekerja migran Indonesia, sekitar 6,5 juta orang pada 2013 yang tersebar di 142 negara5,
adalah data yang harus segera diantisipasi. Tidak sedikit dari jumlah itu dikategorikan
sebagai pekerja tidak terdokumentasi. Tanpa dokumen, posisi mereka sangat rawan. Sekali
lagi, dalam situsi global sekarang ini demokrasi yang hanya melulu mengarahkan

perhatiannya pada warga negara yang tinggal di dalam negeri tidak lagi bergigi.
Awal minggu ini kami baru saja menerbitkan laporan penelitian tentang pekerja
tidak terdokumentasi asal Indonesia di Belanda. 6 Berdasar taksiran, jumlah mereka
mencapai 3000 orang. Meskipun diuntungkan oleh adanya sistem jaminan sosial yang
didasari oleh komitmen hak asasi manusia yang kuat, posisi mereka tetap saja rawan
dikriminalisasi, apalagi di saat sentimen anti orang asing meninggi. Sementara itu,
keberadaan para pekerja tidak terdokumentasi di negara-negara seperti Malaysia dan Arab
Saudi sudah menjadi rahasia umum sangat buruk.
Persoalan yang melingkupi para pengungsi dan pekerja tidak terdokumentasi
sebagaimana dideskripsikan di atas bukan hanya merupakan tanggung jawab negara
Indonesia, Belanda, Malaysia, atau Arab Saudi secara terpisah-pisah. Persoalan itu perlu
ditanggung renteng oleh semua negara. Preposisi ini tentu mengandaikan adanya asumsi

                                                        
4

http://www.theguardian.com/global-development/2014/sep/15/un-stateless-forum-syria-rights-10-millioninvisible-people (diakses 10 Desember 2014).
5
http://finance.detik.com/read/2013/03/14/174040/2194313/4/jumlah-tki-capai-65-juta-tersebar-di-142negara (diakses 10 Desember 2014)
6

Amin Mudzakkir (ed.). The Mobility of Unskilled and Undocumented Migrants: Indonesian Workers in the
Netherlands (Jakarta: LIPI Press, 2014).

 



normatif tertentu. Di lapangan filsafat politik, sejak akhir abad lalu para pemikir mulai
mengarahkan energinya untuk membangun dasar-dasar yang kokoh bagi perkara ini.
Oleh karena itu, bagi saya, pertanyaan teoritis demokrasi bukan lagi apakah
memilih Joseph Schumpeter atau Robert Dahl seperti disarankan oleh Usman Hamid (hlm.
848), sebab keduanya pada dasarnya sama-sama berasumsi bahwa problematik demokrasi
adalah otomatis problematik negara-bangsa, tetapi bagaimana agar demokrasi juga bisa
bekerja di luar batas-batas teritorial negara-bangsa. Saya menyadari usulan yang terdengar
utopis ini akan segera dikecam oleh kalangan republikan, multikulturalis, hingga
komunitarian. Namun bukankah dari apa yang seadanya kita tidak bisa menyimpulkan apa
yang seharusnya?
Terakhir, saya ingin mengulang, buku ini sangat berharga. Melihat kelengkapan isu
dan perspektif yang dihimpunnya, tidak ragu lagi buku ini akan segera menjadi rujukan
penting bagi siapapun yang mau mengerti dan melibatkan diri dalam arus demokratisasi

Indonesia yang sulit tetapi menjanjikan itu. Lagi pula, apa yang saya diskusikan di atas
sebagai demokrasi kosmopolitan pada dasarnya tetap berpijak di bumi yang sebagian
petunjuknya, untuk kasus Indonesia, telah disediakan lengkap oleh buku ini. Selamat!