Mengkritisi HP 3 Perspektif Konstitusi d

Mengkritisi HP-3 Perspektif Konstitusi dan Pemberdayaan Rakyat (Kontribusi Teori
Sosiologi Membaca Putusan Nomor 3/PUU-VIII/2010).
Oleh Muhammad Ridwan Fahrudin, Mahasiswa Ilmu Hukum Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Sunan Kalijaga 2014
Email: [email protected]

Review terhadap Putusan Majelis Sidang Mahkamah Konstitusi tentang Pengujian
Undang-Undang dengan nomor register perkara Nomor 3/PUU-VIII/2010 tentang Pihak
Pemanfaatan Perairan Pesisir diberikan kepada Sumber Daya Alam, dapat diuraikan sebagai
berikut:
Pengujian Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 selanjutnya disebut UU No. 27 Tahun
2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Terkecil bertentangan dengan
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pengujian tersebut di ajukan
oleh 36 Peserta setelah diregristasi dan ada perbaikan berkas pada tanggal 16 Februari 2010.
Adapun pasal-pasal yang dianggap berpotensi merugikan hak konstitusional warga neagra yaitu
Pertama, pada Pasal 16 ayat (1) dan (2), Pasal 18 yaitu mengabaikan hak asasi masyarakat adat
atas SDP-PPK yang merupakan kawasan wilayah ulayat. Dimana konstruksi hukum dari
pengakuan (recognition) berubah menjadi pemberian (granting), sehingga implikasinya negara
dapat mencabut berdasarkan konsep pemberian tersebut. Sehingga muncul konsep mekanisme
pemberian kompensasi (ganti kerugian) terhadap kepemilikan masyarakat adat. Hal ini
bertentangan denan Pasal 18B UUD 1945 tentang pengauan ada dan Pasal 28G UUD 1945

tentang perlakuan khusus bagi kelompok rentan (kebijakan avirmatif).
Kedua, Pasal 1 angka 18, dan Pasal 18 dan Pasal 20 ayat (1) UU No. 27 tahun 2007,
tentang pengubahan kedudukan pengelolaan kedudukan hak umum kepemilikan (common
property right) menjadi hak milik (property right). Sehingga pemanfaatan bersama menjadi hak
ekslusif milik individu saja. Implikasinya dari hak miliki indivu tersebut dapat di jaminkan
dalam proses pengajuan hutang. Maka dari itu, pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 33
UUD 1945 yakni segala sumber daya alam yang berhubungan dengan hajat hidup orang banyak
dikelola oleh hak menguasai negara untuk kemakmuran rakyat.
Ketiga, Pasal 23 Ayat (4), (5), dan (6); Pasal 60 ayat (1) huruf b UU No. 27 Tahun 2007
mengabaikan hak masyarakat hukum lokal dan adat berkaitan dengan asas kepastian hukum.
Implikasi dari proses pengusiran atas nama hukum dapat terjadi apabila telah terdapat
mekanisme pemberian kompensasi terhadap masyarakat adat. Sehingga hal ini sangat
bertentangan oleh konstitusi yakni Pasal 28 C, Pasal 28 G Dan Pasal 28 H UUD 1945 tentang
hak untuk mempertahankan hidup, hak untuk mengembangkan diri, hak untuk memperoleh
perlindungan atas penguasaan barang, hak perlakuan khusus bagi kelompok masyarakat rentan.
Analisis oleh Faiq Tobroni meggunakan Teori Pemberdayaan untuk menghidupkan nilai
konstitusi dalam Hak Pengelolaan Pesisir, menggunakan teori pemberdayaan menurut Deepa
Narayan yakni dalam mempengaruhi kebijakan publik maka diperlukan ekspansi aset dan
kapabilitas bagi masyarakat yang tidak memiliki kekuatan(masyarakat miskin terbelakang).
(Faiqtobroni: 2012,388) Sehingga istilah pembedayaan ini haruslah dikonsepsikan kepada

empowerment
(pemberdayaan) tidak hanya development (pembangunan semata) untuk

mengalokasikan aset kepada masyarakat dalam mengelolan Hak P3, namun dalam klausul pada
UU No. 27 Tahun 2007 nyatanya pengelolaan berhak diberikan kepada investasi asing apabila
telah mengantongi ijin. Hal ini tentu saja akan melemahkan relasi kekuasaan warga adat
(inferior) dan korporasi (superior) dalam mengolah pesisir pantai.
Pola bargaining positition berkaitan dominasi untuk melakukan kompetisi, sesungguhnya
tidak bisa dikatakan setara sehingga rakyat menjadi sangat rentan karena tidak mempunyai kuasa
yang seimbang dengan pemodal. Sehingga kosep dari Ostrom dan Schlager sangat relevan yakni
hak unruk mendapatkan keuntungan yang bisa dinikmati bersama, misal dengan menikmati
udara sejuk segar, pemandangan yang indah, suara kicauan burung atau gesekan dedaunan
(Faiqtabrani:2012, 395). Konsep seanjtunya oleh Ribot dan Peluso menyatakan bahwa akes
hanya pihak-pihak tertentu dengan pihak-pihak tertentu sehingga akses hak public ini harus
dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.( Faiqtabrani:2012, 395). Sehingga
secara jelas bahwa UU 27 tahun 2007 perlu adanya intervensi dari negara untuk menerapkan
kebijakan affirmative action dalam melindungi kepentingan masyarakat hukum adat dan
menguatkan dari segi kedudukan dalam memanfaatkan SDA pada H P3.

Adapun jurnal yang telah dipaparkan diatas perlu mendapat apresiasi dalam kegelisahan

akademik, dikarenakan melindungi hak-hak warga negara dalam melakukan pengeolaan Hak
Pemanfaatan Perairan Pesisir dengan dasar hukum UU No. 27 Tahun 2007 dalam Putusan MK
Putusan Nomor 3/PUU-VIII/2010. Seperti yang kita ketahui bersama Indonesia terdiri atas
17.504 pulau, 1.340 suku bangsa, dan 546 bahasa (BPS:2014). Maka konsekuensi Hak
Penguasaan Milik negara sejalan dengan Abrar yaitu hak yang diberikan oleh negara melalui
pemerintah sebagai wakil yang memiliki kewenangan untuk menentukan penggunaan,
pemanfaatan, hak atas sumber daya alam dalam lingkup mengatur (regelen), mengurus atau
mengelola (bestuuren, beheren) dan mengawasi (toezichthouden) penggunaan serta pemanfaatan
sumber daya alam tersebut.(Juniarso Ridwan dkk: 2008, 24). Sehingga sangat penting sekali data
dan definisi tersebut menjawab keberagaman jumlah pesisir laut yang ada, terkait pengelolaan
oleh negara sebesar-besarnya untuk rakyat.
Sejatinya masyarakat adapun memiliki hak untuk mengembangkan kehidupannya. Hal ini
berlaku oleh siapapun baik itu masyarakat, dan atau masyarakat hukum adat. Demikian hak
masyarakat adat atau hak ulayat yakni kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai oleh
masyarakat hukum adat tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para
warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah, dalam wilayah
tersebut, bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya, yang timbul dari hubungan secara lahiriah
dan batiniah turun temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan
wilayah yang bersangkutan (Kurnia Waman:18). Sehingga kedudukan masyarakat hukum adat
dijamin dalam konstitusi sesuai dengan pasal 18B ayat (2). Maka dari itu penglolaan sumber

daya alam pesisir wajib menggunakan sertifikat HP-3 oleh masyarakat adat adalah
inkonstitusional karena pengelolaan merupakan open access dan masyarakat adalah subyek dari
hukum itu sendiri.

Daftar Pustaka:
Tobroni, Faiq, Mengkritisi HP-3 Perspektif Konstitusi dan Pemberdayaan Rakyat (Kontribusi
Teori Sosiologi Membaca Putusan Nomor 3/PUU-VIII/2010). Alamat acces
www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=download.EJurnal&id=1397

Warman, Kurnia, Peta Perundang-undangan tentang Pengakuan Hak Masyarakat Hukum Adat
Alamat acces procurement-notices.undp.org/view_file.cfm?doc_id=39284
Ridwan, Juniarso dan Sodik, Achmad, Hukum Tata Ruang, Dalam Konsep Kebijakan Otonomi
Daerah, Bandung: Nuansa, 2008.
Badan Pusat Statistik, 2014 dihimpun Kementrian Dalam Negeri dan Pendataan Potensi Desa.