MASYARAKAT SIPIL DAN DEMOKRASI Studi Kas

MASYARAKAT SIPIL DAN DEMOKRASI
Studi Kasus SIGAB Yogyakarta Melalui Perjuangan Advokasi

Disusun untuk memenuhi Tugas Ujian Akhir Semester Genap 2016/2017
Mata Kuliah : Metode Penelitian Sosial 2
Kelompok 5 :
1. Annisa Intan

15/379849/SP/26717

2. Bunga Hayati

15/378685/SP/26639

3. Fadilla Saraswati

15/384265/SP/26977

4. Intantri Kurnia Sari

15/379854/SP/26722


5. Putri Kusuma Devi

15/378701/SP/26655

1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Disabilitas sering dimaknai dengan berbagai macam istilah dan penyebutan. Di
Indonesia sendiri populer dengan penyebutan penyandang cacat, difabel, penyandang
disabilitas, penyandang berkebutuhan khusus, dan lain sebagainya. Sedangkan dalam dunia
internasional, disabilitas memiliki beberapa penyebutan seperti disabled person, person with
disabilities, maupun person with difabilities. Menurut Turnbull & Stowe (2001) pada

dasarnya semua penyebutan itu mengacu pada pengertian disabilitas dimana seseorang
individu memiliki gangguan fisik atau mental, atau juga disebut dengan “kecacatan”. Namun
sesungguhnya pemahaman dalam memandang makna disabilitas bisa dikaji dalam beberapa

perspektif yang berbeda. Sehingga disabilitas tidak hanya dipandang sebagai suatu
kekurangan dan kecacatan semata, tetapi juga berkaitan dengan berbagai aspek pembangunan
manusia, budaya, hukum, sosial, kebijakan publik, teknologi, dan sebagainya (Salim, 2015).
Disabilitas di Indonesia diperlakukan sebagai kelas “kedua” dimana pemenuhan atas
hak dan kebutuhannya bukan hal yang harus secepatnya dilaksanakan. Perlakuan terhadap
disabilitas oleh pemerintah bisa dibilang tidak tepat sasaran karena hampir semua upaya
pemberdayaan yang dilakukan pada penyandang disabilitas dilakukan dengan perspektif
charity atau tindakan yang cenderung memberikan kebutuhan – kebutuhan yang dirumuskan

oleh satu pihak dengan standar tertentu dan bukan mengembangkan potensi yang dimiliki
oleh setiap penyandang disabilitas. Berbagai program pemerintah juga cenderung berujung
pada tindakan memisahkan penyandang disabilitas dengan non seperti program sekolah luar
biasa, program pijat untuk tuna netra atau program jahit untuk tuna rungu, hal ini dapat
dibilang bukanlah suatu perlakuan yang tepat dan menghambat para penyandang disabilitas
untuk mempunyai kehidupan normal seperti halnya mereka yang bukan penyandang
disabilitas.
Salah satu penyebab disabilitas diperlakukan seperti itu oleh pemerintah disamping
pemahaman pemerintah yang kurang adalah lemahnya gerakan dari kelompok penyandang
disabilitas untuk menyuarakan hak dan kebutuhannya sebagai warga negara. Biasanya
penyandang disabilitas juga mengelompokkan diri mereka kedalam kelompok – kelompok

dengan tipe disabilitas yang sama seperti tuna rungu punya perkumpulan tuna rungu dan
2

begitu pula dengan tuna netra serta penyandang disabilitas lain. Hal ini dapat disebut sebagai
salah satu alasan mengapa gerakan kelompok disabilitas terbilang cukup lemah. Karena
mereka belum bersatu dan masih mementingkan kebutuhan keompok mereka sendiri dari
pada memperjuangkan kebutuhan kelompok disabilitas pada umumnya.
Dengan alasan – alasan tersebut kemudian di daerah Yogyakarta muncul sebuah
komunitas gerakan yang kini dikenal sebagai Sasana Integrasi dan Advokasi Difabel
(SIGAB). Untuk selanjutnya akan lebih sering digunakan istilah difabel untuk menggantikan
penyebutan disabilitas. Karena SIGAB sendiri menolak penggunaan selain difabel karena
beberapa alasan yang akan dibahas dalam pembahasan. SIGAB muncul dengan tujuan
mempersatukan atau mengintegrasi seluruh difabel di daerah Yogyakarta, mengadvoksikan
kebutuhan mereka, memberikan pendidikan kepada difabel dan menyadarkan masyarakat
bahwa difabel bukan hanya tentang keterbatasan fisik tapi mereka berhak atas ruang sosial
dan juga kesempatan yang sama dalam mengembangkan potensi mereka.
Sebagai suatu komunitas gerakan, SIGAB menurut kelompok kami menarik untuk
dipelajari lebih lanjut terutama tentang bagaimana advokasi yang dilakukannya untuk para
difabel Yogyakarta dan


mengapa memilih memperjuangkan hak para difabel. Serta

bagaimana SIGAB ini kemudian kami lihat sebagai bagian dari masyarakat sipil yang hadir
sebagai penghubung antara negara dan masyarakat yang dalam hal ini adalah para warga
negara difabel.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang ada maka yang menjadi pertanyaan besar dalam
penelitian ini adalah “ Bagaimana SIGAB sebagai masyarakat sipil turut serta
menjalankan nilai-nilai demokrasi melalui perjuangan advokasinya? “
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini dimaksudkan untuk memperoleh data dan informasi tentang
Sasana Integrasi dan Advokasi Difabel (SIGAB) Yogyakarta dan semangatnya dalam
mewujudkan masyarakat yang inklusi. Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah untuk
menjelaskan “ Peran SIGAB Yogyakarta sebagai bagian dari masyarakat sipil yang berusaha
menjalankan nilai-nilai demokrasi melalui advokasi yang dilakukan. “

3

D. Manfaat Penelitian
Seorang peneliti selain berfungsi mengkaji setiap permasalahan yang ada, juga

berusaha untuk menawarkan solusi-solusi bagi permasalahan itu. Manfaat yang dapat
diperoleh dari penelitian ini, antara lain :
1. Manfaat Praktis




Untuk mengetahui bagaimana profil lengkap SIGAB Yogyakarta.



memperjuangkan masyarakat yang inklusi.

Untuk mengetahui berbagai kegiatan advokasi yang dilakukan SIGAB guna

Mengetahui SIGAB yang kami kategorisasikan sebagai bagian dari
masyarakat sipil yang berusaha memperjuangkan hak-hak para difabel.

2. Manfaat Akademis



Dapat dijadikan sebagai referensi dan acuan bagi pemerintah maupun pihak
yang berkewenangan untuk pembuatan keputusan dalam segala lini yang



melibatkan warga negara difabel.



datang.

Sebagai bahan referensi atau acuan bagi penelitian lain di masa yang akan

Sebagai referensi terhadap gerakan masyarakat sipil yang bergerak di
Yogyakarta.

E. Hipotesis Awal
SIGAB melalui berbagai kegiatan advokasi yang dilakukan merupakan bagian dari
masyarakat sipil yang berhasil turut serta menegakkan nilai-nilai demokrasi dalam

memperjuangakan hak-hak warga negara difabel yang selama ini “diduakan” oleh negara.

4

BAB II
KERANGKA TEORI

A. Masyarakat Sipil
Masyarakat sipil merupakan suatu penengah antara negara dengan individu. Perlu
diketahui masyarakat sipil dapat terlihat seperti organisasi baik organisasi formal maupun
informal, seperti ekonomi, pendidikan, lingkungan, dan lain sebagainya. Masyarakat sipil
memiliki potensi untuk mengawasi negara akan tetapi tetap memiliki jarak atau tidak
terhegemoni dengan kepentingan politik seperti partai politik karena masyarakat sipil berbeda
dengan masyarakat politik, meskipun batas antar keduanya tidak terlalu jelas.

Persoalan Privat

Persoalan Publik

Negara


Masyarakat

Terlalu dominan

Individu berkelompok

Masyarakat
Sipil
Menjembatani Negara yang terlalu dominan,
dan juga memberi tekanan pada negara
Tabel 1

Menurut G.W.F Hegel masyarakat sipil adalah sebuah lembaga sosial yang berada di
antara keluarga dan negara, yang dipergunakan oleh warga sebagai ruang untuk mencapai
pemuasan kepentingan individu dan kelompok (Hikam, 2000). Masyarakat sipil merupakan
transisi diantara individu dan negara yang menegosiasikan antara kepentingan individu dan
kepentingan publik. Dan menjadi tempat belajar untuk menyelesaikan masalah secara
bersama-sama.
5


Masyarakat sipil, sesuai namanya tentunya lebih memusatkan fokus utamanya pada
tujuan-tujuan publik (Hikam, 2000). Mekipun fokus utama dari masyarakat sipil adalah
kepentingan publik, seperti contoh mengkritik kebijakan yang dianggap merugikan publik
akan tetapi peran dari masyarakat sipil hanya sebatas mengkritik saja tidak sampai
mengambil alih kekuasaan agar bisa membuat kebijakan-kebijakan yang sesuai dengan
publik. Cakupan dari masyarakt sipil tidak hanya dalam beberapa kelompok atau golongan
saja melainkan mencakup pluralisme serta menjunjung tinggi nilai-nilai keragaman dan juga
tidak

hanya

mengedepankan

kepentingan

kelompoknya

sendiri


melainkan

tetap

mengedepankan kepentingan publik sesuai dengan definisi dari masyarakat sipil. Masyarakat
sipil harus memiliki nilai, norma dan intensitas kehidupan perkumpulan secara umum seperti
modal sosial.
Dalam segi ruang lingkup masyarakat sipil bentukan-bentukan organisasi atau asosiasi
dapat terjadi baik itu secara formal maupun informal. Namun yang menarik adalah dengan
euforia kebebasan demokrasi yang katanya memberi ruang seluas-luasnya bagi penyaluran
ide dan gagasan serta kesempatan menciptakan berbagai asosiasi, ternyata tidak lantas
membuat masyarakat sipil bebas semaunya dalam kontrol terhadap negara (Diamond, 2003).
Meski dapat membatasi kekuasaan negara, tetapi konsepsi masyarakat sipil juga melegitimasi
negara secara tidak langsung, karena berlindung di balik aturan-aturan kelembagaan dan
hukum. Setidaknya ada 5 hal yang membedakan masyarakat sipil dengan kelompok lain :
Pertama, mayarakat sipil memusatkan perhatiannya pada tujuan-tujuan publik bukan privat.
Kedua, masyarakat sipil berhubungan dengan negara tetapi tidak berusaha merebut

kekuasaan atas negara atau tidak mengendalikan politik secara menyeluruh, sasarannya lebih
kepada reformasi struktur kekuasaaan agar lebih menguntungkan khalayak banyak

(pergantian kebijakan misalnya). Ketiga, masyarakat sipil mencakup pluralisme dan
keagamaan. Keempat, masyarakat sipil tidak berusaha menampilkan seluruh kepentingan
pribadi atau komunitas. Hal ini terkadang yang membuat bias konsep masyarakat sipil itu
sendiri, karena dalam aplikasinya dapat bersifat lintas ruang di luar fokus organisasi. Kelima,
masyarakat sipil harus dibedakan dengan konsep komunitas.

6

B. Konsepsi Masyarakat Sipil dan Demokrasi
W.A

Bonger

menyatakan

bahwa

demokrasi

bukan

semata-mata

bentuk

ketatanegaraan saja tetapi juga merupakan bentuk kegiatan organisasi diluar ketatanegaraan,
misalnya yang terdapat dalam dunia perkumpulan yang merdeka. Demokrasi dalam
perkumpulan di luar ketatanegaraan adalah suatu bentuk pimpinan, suatu kolektivitas tanpa
mempersoalkan apakah itu suatu pergaulan hidup paksaan seperti negara atau suatu
perkumpulan yang merdeka. Sedangkan demokrasi dalam ketatanegaraan adalah suatu bentuk
pemerintahan. Dalam hal tersebut dapat diartikan demokrasi bukan hanya mengenai sistem
ketatanegaraan namun juga organisasi di luar ketatanegaraan seperti organisasi masyarakat
sipil. Sedangkan Pericles, seorang pengembang demokrasi menyatakan prinsip-prinsip pokok
demokrasi : kesetaran warga negara, kemerdekaan, penghormatan terhadap hukum dan
keadilan serta kebijakan bersama.
Pergerakan dari konsolidasi demokrasi sejalan dengan kemunculan “elit yang bersatu
secara konsensual”. Yang bermakna satu komitmen bersama terhadap aturan main demokrasi,
seperangkat norma tentang aturan tingkah laku politik, dan struktur interaksi yang memupuk
keakraban dan kepercayaan antar pribadi. Tak diragukan lagi bahwa para elit politik yang
juga sebagai politisi merupakan aktor penting dalam upaya membangun stabilitas dan
efektifitas negara demokrasi baru, terkhusus pada waktu-waktu dimana keadaan sebuah
negara sedang labil seperti halnya pada masa transisi kepemimpinan. Dalam sistem
demokrasi politisi ataupun elit politik bukanlah segala-galanya, seperti apa yang pernah
dikemukakan oleh Josep Schumpeter yang pada intinya mengatakan bahwa peran rakyat
sangatlah

penting

dalam

sistem

demokrasi

seperti

berpendapat,

berorganisasi,

berdemonstrasi, berkumpul, dan publikasi yang bertujuan untuk mempengaruhi kebijakan
dan mengawasi kinerja dari negara.
Ada yang berbeda dengan negara demokrasi gelombang ketiga, yaitu pemilu yang
cukup kompetitif tetapi justru tidak menjamin kebebasan, tanggung jawab, dan juga rule of
law. Adaya kekacauan yang melanggar hak asasi manusia seperti diskriminasi etnis, kaum

marjinal, dan kaum minoritas lainnya yang disebabkan sentralisasi kekuasaan yang dipegang
oleh eksekutif. Dalam situasi semacam ini, sangat dibutuhkan para elit yang berani
merealisasikan sebuah reformasi sejati yang bukan hanya teori belaka, tetapi membutuhkan
massa besar yang dapat menciptakan tekanan politik terhadap rezim yang berkuasa. Ini lah

7

yang menjadi alasan mengapa massa memiliki andil yang sangat penting bagi demokratisasi
sebuah negara.
Jika dikaitkan dengan transisi demokrasi, peran masyarakat sipil dapat dibagi menjadi
dua (Diamond, 2003) yaitu pertama, membantu melaksanakan transisi dari pemerintahan
yang otoriter ke pemerintahan yang lebih demokratis. sedangkan peran yang kedua, sebagai
aktor yang membantu dalam proses konsolidaasi demokrasi. Banyak rujukan dari realita
sejarah yang membuktikan betapa pentingnya peran masyarakat sipil dalam mengkonsolidasi
serta memobilisasi ‘publik’ dalam gelombang demokratisasi ketiga. Dalam melaksanakan
perannya, masyarakat sipil juga memiliki fusngsi-fungsi khusus yang mendorong untuk
melaksanakan peran dari masyarakat sipil sebagai pengembang serta pengkonsolidasian
demokrasi.
Fungsi yang paling awal berguna dalam masa transisi demokrasi yaitu fungsi
pengawasan serta pembatasan kekuasaan negara, hal ini perlu dilaksanakan oleh masyarakat
sipil karena keinginan masyarakat untuk mencegah dan mengontrol kasus-kasus seperti
korupsi, kolusi, dan nepotisme. Tidak hanya berhenti pada mencegah dan mengontrol praktik
KKN yang rawan dilakukan oleh para politisi maupun birokrat, masyarakat sipil juga
mengembangkan sayapnya hingga ke penilaian kinerja para pejabat negara seperti menteri,
birokrat, hingga wakil rakyat yang dinilai secara individu. Hal ini dilakukan oleh masyarakat
sipil untuk mengawasi penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan yang rawan terjadi.
Selain sebagai pengawas dan pembatas kekuasaan negara, masyarakat sipil juga
memiliki fungsi sebagai pembangun demokrasi, maksudnya yaitu membantu kinerja partai
politik untuk merangsang partisipasi publik dalam misi menggiring warga negara menuju
demokratis yang kreatif dan paham hak serta kewajibannya (Diamond, 2003). Fungsi
selanjutnya yaitu memberikan pendidikan demokrasi terhadap warga negara, agar warga
negara tidak hanya menjalankan fungsinya yang mengawasi, mengkritisi, hingga menolak
negara tetapi juga masyarakat sipil dalam fungsi ini diharapkan mampu memberikan
pendidikan politik kepada warga negara agar berani memperbaiki negara serta meningkatkan
legitimasi demokrasi dan efektivitasnya.
Dibeberapa negara, demokrasi masih belum dirasakan secara merata oleh seluruh
warga negara karena masih banyak kepentingan-kepentingan warga negara yang belum
terpenuhi secara menyeluruh, seperti yang kita kenal dengan istilah kaum marginal atau
kaum pinggiran yang biasanya dihuni oleh kelompok ras tertentu, minoritas, dan tidak
8

mampu, kepentingan-kepentingan kelompok minoritas seperti ini biasanya masih belum bisa
terpenuhi dengan baik oleh negara. Dalam kasus demikian, masyarakat sipil berfungsi
sebagai penyalur kepentingan-kepentingan mereka agar kepentingan tersebut segera
terealisasikan baik itu dengan melakukannya secara mandiri ataupun bekerja sama dengan
pihak pemerintah. Kelompok-kelompok minoritas ini rawan dengan tindakan diskriminasi
dan juga tekanan-tekanan politik dari para penguasa lokal mereka seperti tuan tanah, bos,
juragan, dll yang men-Tuhan-kan uang sehingga para kelompok minoritas tersebut seperti
petani, ras tertentu, dll diberi imbalan khusus agar mereka patuh dan bisa dikontrol oleh para
penguasa. Menjunjung tinggi nilai-nilai hak asasi manusia, merupakan salah satu nilai yang
dikantongi oleh masyarakat sipil untuk membebaskan keterikatan para kelompok minoritas
tersebut dengan para penguasanya dengan cara bergerak menggunakan organisasi-organisasi
kepentingan. Namun sebenarnya, masyarakat sipil sendiri sudah cukup mengambil peran
untuk mendorong terciptanya konsolidasi demokrasi. Semakin besar peran masyarakat sipil,
semakin besar pula kemungkinan sistem demokrasi tumbuh dan kekal.
C. Perspektif tentang Disabilitas
Huber & Gillapsy (1998) menyebutkan bahwa disabilitas dan pengetahuannya
menjadi eksis bagi realitas sosial kita. Dan disabilitas ini juga bisa dipandang dalam berbagai
perspektif baik aspek pembangunan manusia, kebijakan publik, hukum, budaya, masyarakat,
etika, filsafat, maupun teknologi. Sedangkan berbagai penelitian mengenai disabilitas sendiri
menghasilkan berbagai perspektif teoritis yang dapat digunakan untuk menjelaskan makna
disabilitas itu sendiri dalam masyarakat. Perspektif itu meliputi (Salim, 2015) :
1. Perspektif medis : Silvers (1998) menekankan bahwa disabilitas terkait dengan
“fungsi biologis” dan “fisiologis” dalam diri seseorang. Dan mereka juga memandang
bahwa disabilitas bersumber dalam diri individu itu sendiri terlepas dari lingkup sosial
maupun disabilitas sebagai masalah biologis. Namun adanya perspektif ini kemudian
malah memandang disabilitas sebagai suatu “kecacatan”

dan justru mendorong

konotasi negatif bagi para penyandang difabel.
2. Perspektif sosial : dalam perspektif ini lebih ditujukan kepada promosi kepada dunia
sosial agar penerimaan terhadap kaum difabel lebih membuat kehidupan manusia
menjadi inklusif. Silvers (1998, 2000) memandang disabilitas lebih dari sekedar
perspekif medis, tidak melulu soal “kecacatan” maupun fungsi biologis semata.
3. Perspektif ekonomi : perspektif ini memandang bahwa kaum penyandang difabel
memiliki nilai ekonomi yang paling rendah dibandingkan dengan masyarakat lainnya.
9

Akibatnya seolah-olah disabilitas dipandang sebagai pekerja rendah yang justru
memberikan kendala dalam bekerja akibat ketidakutuhan fisik yang dimiliki. Dan
dianggap tidak dapat beradaptasi dengan dunia ekonomi yang saat ini sudah
merambat
4. Persepektif post-modernisme : menurut Shakespare (1994) perspektif ini biasanya
memandang pada “nilai yang mencoba untuk membuat teori disabilitas” karena
pengalaman manusia yang beragam.
Dari berbagai persepktif dan sudut pandang yang ada itu kemudian menjadi salah satu
indikator bagaimana negara dan lingkungan masyarakat memandang difabel. Semua sikap
dan keputusan pemerintah juga akan didasarkan pada cara pandang yang berbeda.

10

BAB III
METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian
Penelitian ini dirangkai dalam jenis penelitian kualitatif. Jenis penelitian ini
memungkinkan untuk memahami realitas dari pengalaman pemberi informasi Invalid source
specified.. Penelitian ini menitikberatkan pada penyelidikan suatu masalah dengan data
kualitatif. Digunakan untuk memahami suatu masalah bukan mengukur suatu masalah.
Sumber data dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer
merupakan data yang didapat langsung dari pengetahuan informan. Sedangkan data sekunder
merupakan data yang berasal dari dokumen guna mendapatkan informasi umum untuk
menambah data primer. Pengumpulan data dilakukan dengan cara berikut:


Wawancara mendalam

Wawancara adalah suatu proses percakapan dimana terdapat penanya yang
mengajukan beberapa pertanyaan kepada narasumber untuk mendapat jawaban, pertanyaan
yang diajukan dengan tujuan pertanyaan – pertanyaan yang diberikan dan kemudian dijawab
oleh narasumber dapat menjawab pertanyaan besar yang diangkat oleh peneliti dalam
penelitiannya. Dalam penelitian ini, data diperoleh peneliti melalui wawancara mendalam
dengan dua orang narasumber dari pengurus SIGAB yaitu Mbak Purwanti/Ipung dan Mas
Ishak Salim. Wawancara dilakukan pada tanggal 12 Mei 2017 dan 15 Mei 2017 berlokasi di
Kantor SIGAB Yogyakarta (Jl. Wonosari KM 8, Dusun Sendangtirto, Berbah, Sleman,
Yogyakarta). Dan juga wawancara dengan Mbak Rani, salah seorang pengurus di KPU Kota
Yogyakarta yang berhasil kami temui pada tanggal 23 Mei 2017 di Kantor KPU Kota
Yogyakarta (Jl. Magelang No. 41 , Kricak, Tegalrejo, Kota Yogyakarta).
Dalam penelitian ini wawancara dilakukan dengan menggunakan pedoman
wawancara bebas terpimpin. Wawancara bebas terpimpin dilakukan dengan mengajukan
pertanyaan yang dikemukakan secara bebas, artinya pertanyaan tidak terpaku pada pedoman
wawancara tentang masalah-masalah pokok dalam penelitian kemudian dapat dikembangkan
11

sesuai dengan kondisi di lapangan. Dalam melakukan wawancara ini, pewawancara
membawa pedoman yang hanya berisi garis besar tentang hal-hal yang akan ditanyakan.


Kajian pustaka

Untuk data sekunder dilakukan pencarian melalui kajian pustaka.

Data yang

dipeoleh bersumber dari buku, jurnal, laporan, literature dan dokumen lain yang
berhubungan dengan masalah penelitian.
B. Teknik Analisa Data
Teknik analisa data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu pendekatan kualitatif
dengan metode studi kasus. Dalam menggunakan teknik kualitatif penulis melibatkan empat
proses penting. Keempat proses tersebut meliputi: pengumpulan data, penyajian data, reduksi
data, dan verifikasi atau penarikan kesimpulan. Keempat proses tersebut bisa dilakukan
secara tidak urut karena dalam metode kualitatif analisa data tidak harus dilakukan pada saat
penelitian telah berakhir. Kemudian data yang telah terkumpul dideskripsikan sebagaimana
adanya.
C. Kredibilitas Data
Uji kredibilitas atau kebenaran data sehingga dapat dijadikan dasar yang dapat
dipercaya dalam melakukan analisis terhadap kasus yang diteliti dapat dilakukan dengan
beberapa cara. Untuk kasus yang diteliti oleh kelompok ini, uji kredibilitas yang dilakukan
adalah diantaranya:
1. Triangulasi Sumber
Triangulasi sendiri adalah upaya pengecekan data dari berbagai sumber,
beberapa teknik dan waktu yang berbeda. Triangulasi sumber adalah upaya
pengecekan data kepada beberapa sumber data yang berbeda. Untuk kasus yang
diangkat oleh kelompok ini, triangulasi sumber dapat dilakukan dengan melakukan
wawancara dengan pihak advokasi difabel, KPU, masyarakat umum yang peduli
difabel serta sumber lain yang dirasa mungkin, data yang didapat melalui wawancara
dapat di crosscheck melalui wawancara dengan narasumber lain untuk mengetahui
kebenarannya dan jika ternyata terdapat kesalahan data, peneliti dapat mencari tahu
apa kesalahannya dan mengapa kesalahan tersebut terjadi.
2. Analisis kasus negatif
12

Adalah upaya mencari kasus serupa dengan fakta yang berbeda. Dengan
melakukan analisis kasus negatif peneliti akan menemukan kebenaran dari data yang
didapatkannya jika dari analisis kasus negatif ditemukan data yang bertentangan maka
peneliti dapat mencari tahu penyebab perbedaan tersebut dan menjabarkan
pejelasannya, jika tidak ditemukan data yang berbeda berarti data yang diperoleh
peneliti adalah kredibel.
3. Membercheck

Adalah proses konfirmasi data antara peneliti dengan sumber data. Peneliti
akan mengkonfirmasi sejauh mana data yang sesuai antara apa yang didapat peneliti
dengan yang diberikan oleh sumber data. Karena penelitian ini juga adalah penelitian
kelompok, maka akan ada diskusi didalam kelompok dengan tujuan menyamakan
data yang diperoleh, menyamakan perspektif dan hasil analisis terhadap kasus.
Selain uji kredibilitas diatas, kelompok ini juga akan memastikan dilakukannya
penelitian lapangan yang cukup dalam segi kualitas dan kuantitas agar data yang diperoleh
cukup kuat dan banyak, kemudian akan ada upaya dokumentasi dan pengumpulan referensi
yang sekiranya diperlukan baik selama wawancara ataupun sesudah wawancara seperti
rekaman, foto ataupun video agar semua proses dapat terekam dan ditinjau kembali untuk
menghindari kesalahan.

13

BAB IV
PEMBAHASAN DAN ANALISA DATA

A. Profil SIGAB (Sasana Integrasi dan Advokasi Difabel)
Informasi ini kami dapatkan dari website resmi SIGAB Yogyakarta yang dapat
diakses melalui : www.sigab.or.id

Legalitas Lembaga
Lembaga ini secara resmi tercatat dengan Akta Notaris: Anhar Rusli, S.H. No. 13/2003,
tanggal 15 Mei 2003.

Sejarah dan Aktor Dibalik SIGAB
SIGAB didirikan di Yogyakarta pada tanggal 5 Mei 2003. Awalnya SIGAB didirikan
oleh 4 orang, 3 diantaranya adalah difabel. SIGAB didirikan karena belum ada organisasi
difabel yang menampung semuanya. Organisasi difabel masih tersegmen-segmen. Organisasi
untuk tuna netra sendiri, tuna daksa sendiri, tuna rungu sendiri, belum ada yang bisa
menyatukan mereka semua dalam satu payung organisasi yang sama.
Namun jauh sebelum itu berdirinya SIGAB tidak bisa lepas dari peran seorang Setya
Adi Purwanta yang kala itu memiliki organisasi difabel juga bernama Dria Manunggal. Setya
Adi Purwanta ini pada suatu hari bertemu dengan sosok Mansur Fakih yang juga seorang
aktifis difabel yang banyak memberikan pengetahuan baru tentang perspektif difabel. Pada
tahun 1995/1996 sempat diadakan pertemuan organisasi penyandang cacat se-Jawa
Pertemuan ini untuk merumuskan pokok-pokok pikiran untuk RUU penyandang cacat yang
juga sedang disusun pemerintah. Hingga kemudian mantan pegawai Dria Manunggal yaitu 4
orang tokoh (Haris, Anto, Neneng, dan Suharto) bertemu dengan Joni pada tahun 2003. Lalu
mereka membentuk organisasi SIGAB pada Mei 2003. Dari sinilah SIGAB mulai
menyatukan para difabel untuk sama-sama berjuang untuk mendapatkan hak-haknya dan
kesetaraan.
SIGAB didirikan karena sampai saat ini kehidupan warga difabel masih
dimarginalkan, baik secara struktural maupun kultural. Hak-hak warga difabel seperti hak
pendidikan, pekerjaan, kesehatan, jaminan sosial, perlindungan hukum, akses terhadap
14

informasi dan komunikasi sampai pada penggunaan fasilitas publik tidak pernah diterima
secara layak. Dengan kata lain, telah terjadi diskriminasi terhadap warga difabel.
Pandangan tentang “Kecacatan”
Sebagai organisasi yang konsisten melawan segala bentuk diskriminasi, SIGAB
menolak penggunaan istilah penyandang cacat karena dalam kultur bangsa Indonesia sebutan
itu sangat merendahkan derajat manusia dan anti kesetaraan. Oleh karena itu, SIGAB
memilih untuk menggunakan kata difabel yang dirasa lebih adil dan mengangkat derajat
manusia. Difabel merupakan kata yang diserap dari bahasa Inggris “diffable”, akronim dari
“differently able people” yang berarti orang yang mampu dengan cara yang berbeda akibat
kelainan fisik dan/atau mental.
Disability (ketidakmampuan) itu sendiri oleh SIGAB dipandang sebagai sebuah

realitas yang terjadi atas kegagalan lingkungan, pemerintah, masyarakat, maupun tatanan
serta sistem dalam merespon fakta difabilitas. Seorang yang tak mempunyai kedua kaki
misalnya, hanya mampu bermobilitas dengan menggunakan kursi roda dan di lingkungan
yang tak berundak. Hal ini berbeda dengan orang kebanyakan yang bermobilitas dengan cara
berjalan kaki. Ini adalah fakta difabilitas. Namun demikin, hidup di lingkungan yang tak
memperhatikan realitas difabilitasnya membuat ia harus terkurung oleh tidak tersedianya
kursi roda, jalan dan bangunan yang berundak, sarana transportasi yang tak ramah sehingga
dalam situasi itu, ia telah ditidak mampukan oleh lingkungan yang ada.
Perjuangan penghapusan diskriminasi terhadap difabel harus dimulai dari menggeser
ideologi dominan yang telah lama bersarang dalam benak para birokrat, masyarakat, dan
bahkan difabel sendiri. Dengan alasan itulah SIGAB secara resmi menggunakan istilah
difabel. Penggantian istilah ini bermuatan ideologis dan menggambarkan cara pandang
SIGAB terhadap pemanfaat programnya.

Visi dan Misi
a.Visi
Terwujudnya masyarakat inklusi yang menjunjung tinggi harkat dan martabat kaum
difabel untuk hidup setara dan berkeadilan di bidang ekonomi, sosial, budaya, politik, hukum
serta teknologi dan pelayanan publik.
b.Misi
Sebagai sasana utama gerakan komunitas difabel yang bermartabat, progresif dan
kreatif untuk terwujudnya revolusi menuju masyarakat inklusif di Indonesia, melalui:

15

penelitian dan pemutakhiran data dan informasi difabilitas, kampanye dan pendidikan publik,
advokasi kebijakan, aksi kolektif yang massif.

Struktur Pengurus Harian & Staf SIGAB
Direktur Eksekutif : M. Joni Yulianto
Wakil Direktur : Haris Munandar
Manajer administrasi dan keuangan : Nur Widya Hening Handayani
Koordinator Advokasi dan Jaringan : Purwanti
Koordinator Penelitian : Muhammad Syafi’ie
Koordinator Desa Inklusi & Pendidikan Politik : Rohmanu Solikin
Koordinator Media : M. Ismail
Koordinator Data dan Informasi : Brita Putri Utami
Koordinator Teknologi Informasi : Ananto Sulistyo
Staf Peneliti : Ishak Salim
Asisten Keuangan : Muhammad Syamsudin & Wantiyah
Asisten Administrasi : Tri Murniati
B. Perjuangan Advokasi oleh SIGAB
1. Advokasi Pemilu
Berdasarkan temuan Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) yang
tergabung dalam General Election for Disability AGENDA, Indonesia tidak memiliki data
pemilih difabel. (Salim, Ishak. dkk, 2014) Hal tersebut tentunya cukuplah miris mengingat
Indonesia yang sudah beberapa kali menggelar pemilu. Tidak adanya data tentang pemilih
difabel merupakan hal yang cukup serius. Dengan tidak adanya data pemilih difabel, tentunya
menyulitkan para difabel untuk mendapatkan kesetaraan dan aksesibilitasnya dalam pemilu.
Misalnya, Pemilih tuna rungu tidak tahu pada saat urutanya mencoblos dipanggil karena
mereka tidak bisa mendengar dan panitia KPPS dari TPS juga tidak tahu bahwa pemilih itu
tuna rungu. Padahal ketika ada datanya bahwa pemilih itu tuna rungu panitia KPPS akan
memanggil tidak menggunakan pengeras suara tapi dengan mencari orangnya. Selain itu bagi
tuna daksa lokasi TPS yang kurang aksesibel misalnya ada tangganya dan tidak adanya jalan
khusus untuk kursi roda, ataupun bilik suara yang kecil dan meja yang tinggi tidak
memungkinkan pemilih berkursi roda bisa ikut kesana sehingga membuat para difabel ini
menolak untuk datang ke TPS. Hal ini tentunya sangat mengecewakan karena satu suara
sangatlah berarti.
16

Hal lain yang masih krusial adalah tidak adanya template braile untuk para tuna netra.
Banyak TPS yang tidak menyediakan template braile, dengan alasan tidak ada mandate dari
KPU Pusat untuk menyediakannya. Hal ini benar-benar terjadi di beberapa TPS pada saat
pemilukada putaran pertama DKI Jakarta, KPU setempat sama sekali tidak menyediakan
template braile untuk tuna netra. (Salim, Ishak. dkk, 2014) Di beberapa tempat, solusi yang

ditawarkan oleh KPPS untuk para pemilih difabel pun tidak terlalu bagus. Untuk difabel tuna
daksa, KPPS memilih mendatangi rumah-rumah para difabel dan melakukan pemungutan
suara dirumah mereka. Namun, tidak ada kerahasiaan disitu. Kertas suara dibuka begitu saja,
dan petugas ataupun anggota keluarga melihat pada saat proses pencoblosan. Hal ini tentunya
amat bertentangan dengan prinsip utama pemilu yaitu langsung, umum, bebas, rahasia.
Melihat kondisi-kondisi tersebut, Pemilu Indonesia masih digambarkan memiliki banyak
kelemahan dalam mengkoordinasikan kepentingan dan hak memilih seluruh rakyatnya.
Rakyat yang memiliki banyak karakteristik, khususnya untuk para difabel.
Beberapa kendala untuk pemilih difabel adalah : (Salim, Ishak. dkk, 2014)



Indonesia tidak memiliki data pemilih difabel



Lokasi TPS menyulitkan pemilih difabel



tidak terdaftar sebagai pemilih





Kurang tersedianya alat bantu memilih di TPS
Masih banyak yang menganggap difabel adalah aib, dan ‘warga kelas dua’ sehingga

Sosialisasi pemilu bagi difabel tidaklah massif dan dengan media yang tidak aksesibel
Kerahasiaan pilihan kurang terjamin karena pemilih difabel biasanya didampingi di
bilik suara
Dari kendala-kendala diatas SIGAB dan beberapa aktivis difabel lainnya tergerak

untuk mendorong pemerintah khususnya KPU. Untuk memberikan aksesibilitas pemilu
kepada difabel. Pemilu yang aksesibel menurut SIGAB adalah pemilu yang memungkinkan
setiap warga negara bisa memenuhi hak pilihnya secara bebas dan rahasia. Dalam pemilu
yang aksesibel penyandang disabilitas bisa memenuhi hak pilihnya tanpa hambatan. (Salim,
Ishak. dkk, 2014) Untuk membuat pemilu yang aksesibel, haruslah ada kerangka hukum yang
memastikan bahwa setiap aspek aksesibilitas pemilu terpenuhi. Hukum tersebut mengatur
pengadaan fasilitas untuk menciptakan pemilu yang aksesibel dan bentuk sangsinya jika
terjadi pelanggaran. Selain adanya aturan, anggaran untuk pengadaan akses juga perlu
dialokasikan oleh KPU.
17

Perjuangan difabel dimulai pada Januari 2014 sejumlah aktifis organisasi difabel
termasuk perwakilan dari SIGAB di kota Balikpapan dan Samarinda mendatangi kantor KPU
Provinsi Kalimantan Timur untuk memberi masukan soal pemilu inklusif atau pemilu akses.
Dari kantor KPU sendiri sudah tidak aksesibel, padahal banyak dari para aktivis yang
menggunakan kruk, kursi roda dan tongkat. Untuk mencapai ruangan yang berada di lantai
dua beberapa diantara mereka haruslah dipapah karena tidak adanya lift hanya ada tangga
biasa. Padahal bagi mereka berjalan dengan dipapah merupakan salah satu bentuk
ketidakberdayaan dan hal tersebut menunjukkan betapa lingkungan memang telah
mendiskriminasikan mereka. Pada pertemuan itu para aktivis memprotes buruknya desain
template braille yang membingungkan para difabel netra, pemilih tuna rungu pun mengkritik

penyebaran informasi pemilu dan kampanye yang tidak akses dengan bahasa isyarat.
Tidak berbeda jauh dengan yang ada di Kalimantan, di Yogyakarta hingga hari
pencoblosan tanggal 9 April 2014 kertas suara untuk pemilih difabel baik untuk DPR-RI,
DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota tidak disediakan oleh KPU. Alasan yang
dilontarkan oleh pihak KPU adalah rumit secara teknisnya. Padahal di provinsi DI
Yogyakarta, KPU Provinsi bersama KPU kota Yogyakarta bekerja sama dengan organisasi
difabel CIQAL (Center for Improving Qualified Activity in Live of People with Disabilities)
di Yogyakarta menyediakan template braille. (Salim, Difabel Merebut Bilik Suara, 2015)
Walaupun sudah ada kerja sama tersebut namun di lapangan-lapangan KPPS belum bisa
menyediakan kertas itu di TPS-TPS sungguh sayang bukan. Hal ini menunjukkan bahwa
penyelenggara pemilu di Indonesia pada umumnya memang masih memiliki kelemahan
dalam mengakomodir kepentingan seluruh rakyat terutama kaum difabel.
Berkaca dari kejadian-kejadian tersebutlah sejumlah aktivis difabel mulai aktif masuk
kedalam ruang-ruang fungsional dalam pemilu untuk berdialog dengan penyelenggara pemilu
di tingkat daerah. (Salim, Difabel Merebut Bilik Suara, 2015). Dengan tujuan agar
mengajarkan kepada masyarakat betapa prespektif disabilitas amat penting dihadirkan dalam
pemilu. Penting karena prespektif ini berisi “sisi manusiawi” dari sebuah sistem pemilihan
secara lebih luas (Salim, Difabel Merebut Bilik Suara, 2015). Jika prespektif ini berhasil
ditanamkan kepada penyelenggara setempat dan disosialisasikan kepada seluruh masyarakat
maka pemilu akan menjadi lebih aksesibel baik untuk difabel dan untuk seluruh masyarakat.
Sejumlah permasalahan dalam pemilu ditemukan dan diupayakan penyeselesaiannya
secara aktif oleh difabel. Serangkaian aktifitas kelompok difabel terkoordinir oleh SIGAB.
18

Dimulai dari tahap awal sampai akhir pemilu, hal-hal yang dilakukan SIGAB berupa
pendidikan politik untuk aktivis difabel, dialog publik organisasi difabel tingkat daerah,
penelitian dengan metode survei tentang persepsi calon legislator terkait isu-isu difabilitas di
4 daerah, dialog organisasi difabel dengan KPU dan Panwaslu.
Yang sangat disayangkan adalah semua perjuangan dari aktivis-aktivis difabel ini
kadang kurang diapresiasi oleh masyarakat awam. Padahal sejak awal yang mendorong
aksesibilitas pemilu adalah pihak difabel khususnya SIGAB. SIGAB meminta KPU
Yogyakarta untu mengadakan alat bantu TPS untuk para difabel. Dan perjuangan ini tidaklah
mudah. Berkali-kali mengadakan dialog dengan KPU Yogyakarta dan pemerintah tentang
pengadaan template braille, TPS yang aksesibel untuk para pemakai kursi roda, dan
pendataan terkait pemilih difabel. Awalnya tidak ada anggaran untuk menyediakan alat bantu
berupa template braille untuk TPS di Yogyakarta. Hingga dalam beberapa kali diskusi dan
negosiasi akhirnya disediakan anggaran dengan memotong anggaran di bagian lain. Dan
dibuatlah template braille oleh SIGAB dan dilakukannya pendataan terkait pemilih difabel
dari tiap-tiap TPS. Semua itu diperjuangkan oleh aktivis difabel, namun yang mendapat nama
baiknya adalah KPU Yogyakarta yang menjadi salah satu penyelenggara pemilu yang paling
aksesibel. Padahal tanpa perjuangan dan dorongan aktivis difabel hal itu tidak akan terjadi
karena memang tidak ada inisiatif khusus dari KPU.
2. Advokasi Hukum
Sampai saat ini SIGAB bekerja sama dengan AIPJ guna menjalankan Disability and
Legal Information Program. Yang mana salah satu capaian paling signifikan adalah
terbentuknya Jaringan Advokasi Disabikitas Indonesia (JADI) dalam workshop organisasi
difabel dan organisasi bantuan hukum di Yogyakarta pada 20-22 Mei 2014. Dimana melalui
jaringan 28 organisasi difabel dan organisasi bantuan hukum yang tersebar di 11 provinsi,
jaringan ini akan berkolaborasi untuk memberikan pendampingan dan advokasi bagi warga
negara difabel. Selain itu juga diadakan kegiatan pembuatan dan pengelolaan website pusat
informasi hukum dan difabilitas http://www.solider.or.id. Juga mengadakan kampanye publik
dan penguatan jaringan bantuan hukum untuk difabel dalam berhadapan dengan hukum serta
melakukan advokasi sistem peradilan yang berpihak pada difabel.
3. Advokasi Fisik
Advokasi fisik yang dilakukan oleh SIGAB meliputi serangkaian advokasi dalam
rangka mewujudkan lingkungan yang aksesibel. Misalnya saja dalam pengadaan lantai bantu
19

tunanetra di area publik. Ternyata dalam penerapannya tidak hanya penyandang tunanetra
yang merasakan manfaat dari adanya lantai bantu bertekstur tersebut namun juga menurut
narasumber yang kami wawancarai, lantai batu tersebut juga digunakan oleh masyarakat luas
karena dinilai lebih aman dan anti licin. Selain itu juga SIGAB melakukan advokasi fisik
dalam bentuk pengadaan bilik suara pada pemilu yang aksesibel bagi pengguna kursi roda.
Dimana tentu dibutuhkan bilik suara yang lebih lebar. Dengan adanya bilik suara khusus
tersebut tidak hanya membantu pengguna kursi roda namun juga ibu-ibu yang membawa
anak. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa advokasi fisik yang dilakukan SIGAB dalam
rangka mewujudkan fasilitas publik yang lebih aksesibel tidak hanya membantu kaum
difabilitas namun juga membantu masyarakat luas.
4. Advokasi pendidikan dan pekerjaan
Selama ini persoalan mengenai difabel masih sering dipandang sebagai permasalahan
yang charity. Sehingga dalam pendidikan difabel, faktor pendidikan khusus saat ini masih
diunggul-unggulkan, yaitu yang terkait dengan latihan keterampilan. Padahal SIGAB
memandang bahwa persoalannya bukan hanya sekedar bantuan modal, bukan hanya khusus
keterampilan. Tapi bagaimana para difabel bisa bersaing dalam pendidikan-pendidikan
formal. SIGAB juga memandang bahwa selama ini SLB hanyalah suatu pembohongan
publik. Karena dinilai bahwa selama ini sekolah luar biasa ini justru mengkotak-kotakkan
para difabel.
Salah satu advokasi yang telah berhasil dilakukan SIGAB adalah menolak
diskriminasi dalam persyaratan Ujian masuk UGM (kerja sama dengan Front Nasional Anti
Diskriminasi) tahun 2007. Kegiatan yang dilakukan adalah, antara lain aksi protes ke UGM,
aksi protes di perempatan kantor POS Besar Yogyakarta, pengiriman surat aduan ke Komnas
HAM, Presiden, Mendiknas, Talkshow di beberapa radio dan saluran TV lokal. Hasilnya
UGM mencabut persyaratan “tidak mempunyai cacat tubuh dan kedifabelan lain yang dapat
menganggu proses belajar mengajar pada program studi pilihannya.” Selian itu SIGAB juga
melakukan pendampingan proses pembelajaran anak difabel di beberapa sekolah regular
(kerja sama dengan HERMUS Fond 2004-2006). Hasilnya adalah tumbuhnya positive image
terhadap difabel di kalangan guru dan orang tua murid sehingga mereka mampu memberikan
perlakuan yang konstruktif serta agar anak difabel dapat mengikuti proses belajar mengajar
dengan baik di sekolah umum.

20

Terkait dengan pekerjaan juga SIGAB telah berusaha mengadvokasikan kasus difabel
netra yang ditolak mengikuti tes CPNS (kerja sama dengan Front Nasional Anti
Diskriminasi) untuk membela hak difabel dalam seleksi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS)
di Kabupaten Sleman, DIY tahun 2004. Hasilnya adalah adanya surat dari Sekretaris
Mankokesra yang menajnjikan bahwa pada masa selanjutnya difabel akan mendapat
kesempatan yang sama dalam mendaftarkan sebagai CPNS dan mendapatkan aksesibilitas
yang memadai.
5. Advokasi Kesehatan
Menurut SIGAB yang dikutip dari Antaranews.com, sampai akhir tahun 2013 masih
terdapat 2.098 penyandang difabel yang belum memiliki jaminan kesehatan, baik berupa
jaminan kesehatan masyarakat maupun jaminan kesehatan sosial. Oleh karenanya pada
kesempatan audiensi yang dilakukan antara SIGAB dan Ombudsman Republik Indonesia
(ORI) Perwakilan DIY – Jawa Tengah, SIGAB secara tegas mengusulkan untuk memasukkan
penyandang difabel sebagai penerima bantuan iuran dalam Jaminan Kesehatan Nasional
(JKN). Karena faktanya dilapangan, selama ini warga negara difabel juga masih disulitkan
dalam alur pelayanan jaminan kesehatan nasional yang kini ditangani oleh BPJS. Selain itu,
melalui beberapa program SIGAB, lembaga ini berusaha melakukan advokasi pada
pelayanan kesehatan agar lebih ramah dengan para pasien difabel baik di rumah sakit maupun
tempat pelayanan kesehatan lain.
6. Pendidikan Politik
Pendidikan politik yang dilakukan oleh SIGAB antara lain melakukan hearing,
audiensi, negosiasi, penelitian, juga research kepada calon-calon yang akan ikut dalam
pemilu. Bagaimana pandangan para calon wakil rakyat mereka terhadap politik, terkait
difabel, apakah mereka memiliki visi misi terkait difabel. Yang mana selama ini belum
dilihat oleh partai politik. Audiensi publik dilakukan untuk melihat bagaimana harapan para
pemilih difabel terkait calon wakil rakyat yang akan mereka pilih, bagaimana partai-partai
peserta pemilu dalam menjalankan visinya dan juga mendesak kawan-kawan difabel menjadi
relawan demokrasi. Juga pendidikan terkait mekanisme pemilihan umum, kinerja KPU,
pemungutan suara, kebijakan terkait dengan TPS serta sosialisasi pelaksanaan pemilu di
kalangan pemilih difabel. Meskipun tidak mempunyai kewenangan untuk membuat
kebijakan, tetapi mereka memiliki hak untuk berpendapat sebagai warga negara dan sebagai
peserta pemilu.

21

Melalui beberapa program yang telah dijalankan, SIGAB telah memfasilitasi embrio
pemilih kritis difabel di 4 provinsi (Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, Jawa Timur, dan
Daerah Istimewa Yogyakarta). Selain menghasilkan dokumentasi hasil pemantauan
aksesibilitas Pemilu 2014, program yang didukung AIESP The Asia Foundation ini juga telah
menghasilkan sebuah survey perspektif difabilitas di kalangan calon legislator 2014, buku
“Pemilu dan Gerakan Politik Kaum Difabel”, serta kampanye perspektif difabel dan
penguatan pasrtisipasi difabel dan penguatan pasrtisipasi difabel dalam Pemilu 2014. Dan
juga SIGAB telah melakukan pendidikan politik untuk meningkatkan kekuatan tawar difabel
dalam Pemilu 2009 di Kabupaten Sleman dan Kulonprogo, Provinsi DIY.
7. Desa Inklusi
Program desa inklusi yang kemudian oleh SIGAB dinamakan sebagai RINDI
(Rintisan Desa Inklusi) merupakan upaya yang dilakukan untuk menghilangkan adnya
diskriminasi terhadap difabel khususnya di level desa. Harapannya bahwa “inklusi” menjadi
prinsip bagi pembangunan desa sebagai perwujudan dari inklusi sosial bagi difabel. Program
ini telah dilaksanakan di 8 desa di 2 kabupaten, antara lain Kabupaten Sleman (Desa
Sendangadi dan Desa Sendangtirto), Kabupaten Kulon Progo (Desa Sidorejo, Desa Gulurejo,
Desa Ngantekrejo, Desa Jatirejo, Desa Bumirejo, dan Desa Wahyuharjo).
Fokus dari program RINDI ini antara lain :



Mendorong pemerintah kabupaten dan desa untuk memahami dan mendukung
program desa inklusi.
Difabel di area program mempunyai posisi tawar dan mampu mengaspirasikan
kepentingan mereka dan berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan di level



desa



sosial difabel.



Pemerintah dan masyarakat memiliki pemahaman yang positif terkait dengan inklusi

Pemerintah desa mampu melaksanakan pembangunan desa yang inklusi.
Adanya pembelajaran yang dapat direplikasi oleh berbagai pihak dari pengalaman
implementasi piloting desa inklusi.
Program dari RINDI ini juga mendapatkan dukungan dari Kementerian Pembangunan

Manusia dan Kebudayaan Republik Indonesia.

22

C. Konsepsi Masyarakat Sipil dan Demokrasi dalam SIGAB
Masyarakat sipil bisa dibilang berperan sebagai jembatan antara negara dengan
masyarakat. Mereka berusaha menampung berbagai kritik dan aspirasi dari masyarakat yang
kemudian kritik dan aspirasi tersebut ‘diperjuangkan’ oleh masyarakat sipil untuk sampai ke
pemerintah sehingga hal ini menunjukkan bahwa masyarakat sipil merupakan bagian dari
penjunjung nilai-nilai demokrasi. Masyarakat sipil juga mendorong individu-individu untuk
melakukan kegiatan secara kolektif dan mendidik orang-orang untuk sama-sama
memperjuangkan kepentingannya. Mereka cenderung bersifat independen dan tidak
bergantung pada pemerintah. Konsep masyarakat sipil sendiri lebih berbentuk suatu jaringan
kerja (working network) yang tidak hanya terdiri dari civil society organization, namun
melibatkan partai politik, lembaga-lembaga agama, pranata adat, dan aktor-aktor individual,
seperti para pemimpin informal dan tokoh-tokoh agama (Widjajanto, 2007).
Disini SIGAB hadir sebagai simbol representasi dari difabel, berusaha terus untuk
memperjuangkan dan mengadvokasikan hak-hak difabel. Agar difabel yang selama ini di
nomor duakan, dianggap sebagai kaum maginal, bisa menjadi kelompok yang diperhitungkan
oleh negara dan setara dengan warga negara lainnya.
Contohnya, melalui advokasi pemilu SIGAB sebagai masyarakat sipil hadir sebagai
aktor penengah antara negara dan individu yang dalam hal ini merupakan warga negara
difabel. Mereka berusaha memasukkan perspektif difabel ke dalam pemilihan umum agar
pelaksanaannya lebih inkulisf dan warga negara difabel bisa turut serta menggunakan hak
pilihnya. SIGAB memberikan tekanan kepada negara khususnya KPU agar membuat pemilu
yang aksesibel. Selain itu SIGAB juga memastikan negara menjamin hak-hak warga negara
khususnya hak memilih yang dimiliki oleh difabel. Begitu juga dengan kegiatan advokasi lain
yang berupa advokasi kesehatan, pendidikan dan pekerjaan, advokasi fisik, politik, hukum,
dan lain sebagainya. SIGAB berusaha untuk merepresentasikan kepentingan-kepentigan para
difabel agar haknya dipenuhi di setiap bidang advokasi itu.
Oleh karenanya, penelitian ini membuktikan hipotesis awal kami adalah benar
adanya. Bahwa SIGAB sebagai bagian dari masyarakat sipil telah berhasil mewujudkan nilainilai demokrasi melalaui kegiatan advokasi yang dilakukannya. Dan SIGAB sedang dan akan
terus memperjuangan hak-hak difabel guna menciptakan lingkungan yang inklusi sampai
negara benar-benar memperhitungkan keberadaan warga negara difabel.

23

BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
SIGAB sebagai bagian dari masyarakat sipil yang turut serta merepresentasikan
kepentingan para difabel hadir untuk mewujudkan nilai-nilai demokrasi melalui berbagai
kegiatan advokasinya. Terdapat dua level advokasi yang dilakukan oleh SIGAB. Pertama,
merupakan advokasi yang bersifat responsif. Yang mana ini merupakan reaksi dari kasuskasus ketidakadilan yang dihadapi oleh para difabel. Kedua, advokasi yang lebih sistemik,
yang mana diharapkan agar dapat mempengaruhi hingga ke level kebijakan.
Dalam hal ini kemunculan SIGAB tentu mencerminakan demokrasi di luar
ketatanegaraan dengan mendirikan organisasi yang mengurus urusannya sendiri demi
tercapainya kesetaraan warga negara. Dalam kemunculannya SIGAB tetap menghormati
hukum yang ada dan berusaha melakukan upaya-upaya dalam advokasi demi lebih baiknya
kebijakan bersama.
B. Saran
Sebagai suatu gerakan masyarakat, SIGAB tidak terlepas dari beberapa kendala yang
dialami. Seperti kendala keuangan, kendala dalam mengorganisasi massa secara massif di
situasi-situasi tertentu, dan lain sebagainya. Dan sampai saat ini pun, basecamp (basis
kumpul) dari SIGAB masih berpindah-pindah kantornya. Belum memiliki kantor tetap dan
masih sistem mengontrak. Mengingat eksistensi dari SIGAB sekiranya hal ini perlu
dipertimbangkan.

24

DAFTAR PUSTAKA

Admin. (t.thn.). LSM Sigab Usulkan Difabel Masuk PBI BPJS. Dipetik Juni 4, 2017, dari
Antaranews.com: www.antaryogya.com/print/319615/lsm-sigab-usulkan-difabel-masuk-pbibpjs
Diamond, L. (2003). Developing democracy: Toward consolidation. Yogyakarta: IRE Press.
Hikam, M. A. (2000). Islam, Demokratisasi dan Pemberdayaan Civil Society. Jakarta:
Erlangga.
McClelland, J. (1996). A History of Western Political Thought. New York: Routledge.
Salim, I. (2015). Difabel Merebut Bilik Suara. (I. Salim, Penyunt.) Sleman, Yogyakarta:
SIGAB.
Salim, I. (2015). Perspektif Disabilitas dalam Pemilu 2014 dan Kontribusi Gerakan Difabel
Indonesiabagi Terbangunnya Pemilu Inklusif di Indonesia. Journal The Politics Vol 1 No 2 ,
127-155.
Salim, Ishak. dkk. (2014). Memahami Pemilihan Umum dan Gerakan Politik Kaum Difabel.
Sleman: SIGAB.
Sudardja, E. (1986). Politik Ketatanegaraan. Jakarta: Karunika.
Triananda, K. (2013). Yogyakarta Kota Teramah Bagi Penyandang Disabilitas dalam
Pemilu. Dipetik April 18, 2017, dari Beritasatu.com: www.beritasatu.com/nasional/129036-

yogyakrta-kota-teramah-bagi-penyandang-disabilitas-dalam-pemilu.html.
Widjajanto, A. (2007). Transnasionalisasi Masyarakat Sipil. Yogyakarta: PT. LKiS Pelangi
Aksara.
Website resmi SIGAB Yogyakarta : www.sigab.or.id

25

Data Narasumber :
Kantor SIGAB
Narasumber :
1. Ishak Salim (Staf Peneliti SIGAB)
2. Mbak Purwanti/Ipung (Pengurus SIGAB)
Lokasi Wawancara

: Kantor SIGAB (Jl. Wonosari KM 8, Dusun Sendangtirto, Berbah,

Sleman, Yogyakarta)
Waktu Wawancara

: 12 Mei 2017 & 15 Mei 2017

Kantor KPU Kota Yogyakarta
Narasumber

: Mbak Rani (Pengurus KPU Kota Yogyakarta)

Lokasi Wawancara

: Jl. Magelang No. 41 , Kricak, Tegalrejo, Kota Yogyakarta

Waktu Wawancara

: 23 Mei 2017

26