kurikulum pendidikan akhlak di SD Muhamm

1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin pesat,
menyebabkan terjadinya globalisasi yang tidak dapat dihindari. Produk iptek
yang berupa teknologi industri, sarana transportasi, teknologi informasi dan
komunikasi, dan sebagainya, berdampak pada pesatnya perubahan kehidupan
masyarakat menjadi semakin terbuka, semakin mudah dan instant, serba
teknologi, dan bersifat global.
Derasnya arus perubahan dan perkembangan masyarakat tersebut
berakibat pada besarnya gelombang modernisasi dan globalisasi yang
melahirkan kompleksitas dalam segala aspek kehidupan. Hal ini pada
gilirannya membawa dampak pada perubahan orientasi kehidupan manusia
modern yang semakin materialistik, individualistik, hedonistik, bahkan
menjadi semakin permissif terhadap nilai-nilai di masyarakat. Orientasi pola
hidup yang demikian ini tidak sedikit membawa konsekuensi pada
termarginalkannya nilai-nilai moral dalam berbagai aspek kehidupan
manusia.

Sungguh menjadi suatu ironi, Indonesia yang berpenduduk muslim
terbesar di dunia ternyata memiliki problem krisis moral yang begitu
kompleks. Padahal, ajaran Islam selalu menjunjung tinggi nilai-nilai moralitas

2

(akhlak) yang sempurna sebagaimana risalah Rasulullah s.a.w yang
memproklamirkan misi penyempurnaan akhlak.
Penyimpangan terhadap nilai-nilai moral ini menghinggapi hampir
seluruh golongan masyarakat. Di dunia internasional, Indonesia termasuk
salah satu negara terkorup. Praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme seakan
menjadi hal yang sangat biasa, semuanya dilakukan tanpa malu-malu lagi.
Belum lagi pertikaian antar etnis ataupun penganut agama yang tak kunjung
berakhir. Bahkan dekadensi moral ini juga menjangkiti kaum muda, yang
mayoritas adalah pelajar dan mahasiswa. Hal ini dapat dilihat dari maraknya
penggunaan narkoba, tawuran antar pelajar, seks bebas, pornografi dan
pornoaksi, pembunuhan, dan lain-lain yang sampai saat ini belum dapat
diatasi secara tuntas.
Realitas ini secara langsung ataupun tidak, sangat mempengaruhi
kinerja dunia pendidikan. Tudingan masyarakat seringkali diarahkan kepada

dunia pendidikan sebagai pihak yang bertanggung jawab atas masalah ini.
Dunia pendidikan Indonesia dianggap belum berhasil menjalankan peran
mendasar dalam membentuk budi pekerti peserta didik, sebagaimana
diamanatkan dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional yang salah
satu tujuannya adalah mendidik manusia agar berakhlak mulia.1
Fenomena kemerosotan moral tersebut mengindikasikan dua hal yang
saling berkaitan. Pertama, adalah pertanda bahwa dunia pendidikan kita
1

UU Sisdiknas nomor 20 tahun 2003 Bab II Pasal 3. Kalimat lengkapnya adalah “Pendidikan
Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa
yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya
potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang
demokratis serta bertanggung jawab.

3

belum mampu membina peserta didiknya dengan kualitas berpikir yang
andal. Kedua, pendidikan moral dan etika belum mendapat porsi yang

selayaknya atau belum dilakukan dengan metode pembinaan yang efektif dan
bermakna.2
Merespon hal tersebut, salah satu upaya yang harus dilakukan sekolah
adalah dengan meningkatkan kualitas pendidikan, khususnya pada aspek
pendidikan moral yang seringkali terabaikan. Karena sesungguhnya, fungsi
pendidikan tidak hanya untuk transfer pengetahuan, tetapi juga transfer nilai
(moral).

Pendidikan adalah kegiatan yang dilakukan dengan sengaja,

seksama, terencana, dan bertujuan yang dilaksanakan oleh orang dewasa
dalam arti memiliki bekal ilmu pengetahuan menyampaikannya kepada anak
didik secara bertahap.3
Faktanya, pendidikan moral yang selama ini dilaksanakan dalam
sistem pendidikan di Indonesia dinilai belum berhasil memperbaiki dan
meningkatkan moralitas peserta didik. Hal ini bisa dimaklumi karena materi
pendidikan moral atau pendidikan akhlak yang diselipkan dalam mata
pelajaran PPKN, agama, atau budi pekerti, pengajarannya hanya sebatas teori
tanpa adanya refleksi dari nilai-nilai pendidikan tersebut. Contohnya dapat
kita lihat dari teks soal-soal ujian yang lebih banyak menekankan pada aspek

kognitif, kemampuan hafalan siswa, tanpa mencerminkan aspek afektif dan
psikomotorik. Sehingga siswa hanya memiliki hafalan teori-teori akhlak tanpa
memiliki penghayatan, sikap, dan ketrampilan merefleksikan nilai-nilai moral
2

H.A.R. Tilaar, Agenda Reformasi Pendidikan Nasional, (Magelang: Tera Indonesia, 1999), 94.
Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam 1, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), 10.

3

4

yang mereka butuhkan untuk menghadapi realita kehidupan di luar pagar
sekolah yang sangat kompleks.
Padahal, di era globalisasi, ketika segala sesuatu bisa berubah dengan
begitu cepat, dunia pendidikan dituntut untuk tampil lebih cepat dan tanggap
dalam merespon dan memecahkan berbagai tantangan baru yang timbul dari
perubahan tersebut. Ini berarti bahwa sekolah mempunyai tanggungjawab
untuk melawan pengaruh-pengaruh negatif terhadap siswa yang timbul dari
masyarakat dan memberikan pengalaman belajar yang edukatif, bukan

eksploitatif.4 Hal yang demikian adalah logis mengingat dunia pendidikan
adalah salah satu pranata yang terlibat langsung dalam mempersiapkan masa
depan umat manusia. Oleh karena itu pendidikan harus terus mengembangkan
strategi dan rencana yang lebih baik untuk mengimbangi arus perubahan pola
kehidupan masyarakat, demi memperbaiki moralitas bangsa ini.
Sedangkan dalam Islam, moral sering merupakan terjemahan dari kata
akhlak. Akhlak adalah berasal dari bahasa Arab “Akhla>q” merupakan
jamak dari “khuluq” yang berarti adat kebiasaan (al-‘a>dah), perangai,
tabiat, watak, adab atau sopan santun dan agama. Menurut ulama Salaf,
akhlak adalah kemampuan jiwa untuk melahirkan suatu perbuatan secara
spontan, tanpa pemikiran atau paksaan. Sering pula yang dimaksud akhlak
adalah semua perbuatan yang lahir atas dorongan jiwa berupa perbuatan baik
atau buruk.5 Sedangkan menurut al-Syaibany, akhlak adalah kebiasaan atau

4

Daniel Tanner and Laurel Tanner, Curriculum Development, (New Jersey: Prentice Hall, Inc.,
1995), 257.
5
Suwito, Filsafat Pendidikan Akhlak Ibn Miskawaih, (Yogyakarta:Belukar, 2004), 31.


5

sikap yang mendalam dalam jiwa dari mana timbul perbuatan-perbuatan
dengan mudah dan gampang.6
Upaya peningkatan kualitas pendidikan akhlak sangat perlu dilakukan
mengingat beberapa hal, pertama, bahwa siswa adalah generasi penerus yang
akan memimpin bangsa dan negara, jika krisis akhlak ini tidak segera diatasi,
maka kehancuran bangsa dan Negara bukanlah hal yang mustahil. Kedua,
bahwa pembinaan akhlak adalah inti ajaran Islam. Ketiga, bahwa akhlak
mulia tidaklah terjadi dengan sendirinya, melainkan dipengaruhi oleh
berbagai faktor, terutama lingkungan keluarga, pendidikan dan masyarakat
pada umumnya. Dan keempat, pembinaan akhlak terhadap siswa, yang berada
pada usia remaja, amat penting dilakukan mengingat secara psikologis usia
remaja merupakan usia yang mudah terpengaruh dan goncang sebagai akibat
dari keadaan dirinya yang belum memiliki pengetahuan, mental, dan
pengalaman yang cukup, sehingga mudah sekali terpengaruh oleh
lingkungan7.
Salah satu langkah meningkatkan kualitas pendidikan akhlak adalah
dengan terus menerus mengembangkan kurikulum pendidikan akhlak sesuai

kondisi dan kebutuhan masyarakat. Kurikulum adalah aktivitas dan kegiatan
belajar yang direncanakan, diprogramkan bagi peserta didik di bawah
bimbingan sekolah, baik di dalam maupun di luar sekolah. 8 Sedangkan
Ronald Doll mengartikan kurikulum ……all the experiences which are

6

Omar Mohammad al-Toumy al-Syaibany, Falsafah Pendidikan Islam, terj. Hasan Langgulung,
(Jakarta: Bulan Bintang, t.t.), 319.
7
Abuddin Nata, Manajemen Pendidikan, (Jakarta: Kencana, 2007), 215-217.
8
Subandijah, Pengembangan Inovasi Kurikulum, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996), 2.

6

offered to learner under the auspices or direction of the school.9 Sedangkan
pengembangan kurikulum adalah proses di mana dirancang di dalamnya
pengalaman-pengalaman belajar bagi siswa dan dilaksanakan melalui
aktivitas-aktivitas yang terkoordinir.10 Hal ini berarti bahwa kurikulum bukan

hanya berupa materi yang disampaikan di kelas, melainkan juga mencakup
berbagai pengalaman belajar dan aktivitas-aktivitas yang dirancang bagi
siswa, baik di dalam maupun di luar sekolah, dengan pengawasan dari
sekolah untuk mencapai tujuan tertentu. Misalnya dalam hal ini adalah untuk
tujuan pendidikan akhlak.
Kurikulum sebagai rancangan pendidikan mempunyai kedudukan yang
cukup sentral dalam proses pendidikan di mana kurikulum merupakan salah
satu sarana terwujudnya proses pendidikan, sehingga kurikulum sebagai alat
hendaknya mampu menjamin tercapainya tujuan pendidikan yang telah
ditetapkan. Oleh karena itu, kurikulum harus bersifat dinamis dan selalu
berkembang agar dapat merespon tuntutan perubahan di masyarakat dan
mampu mengatasi segala persoalan yang dihadapi masa sekarang dan masa
yang akan datang.11
Penelitian ini akan dilakukan di SD Muhammadiyah 1 Sidoarjo
sebagai salah satu sekolah dasar yang berlandaskan kepada nilai-nilai Islam.
Sehingga pendidikan akhlak merupakan kurikulum yang harus diterapkan di
sekolah tersebut. Sebagai salah satu sekolah unggul di Kabupaten Sidoarjo,
9

Ronald Doll, Curriculum Improvement Decision Making and Processes, (t.tp.: Ally and Bacon,

1974), 22.
10
Jon Wiles and Joseph Bondi, Curriculum Development A Guide to Practice, (New Jersey:
Pearson Education, Inc., 2002), 19.
11
Oemar Hamalik, Dasar-Dasar Pengembangan Kurikulum, (Bandung: Remaja Rosdakarya,
2007), 90.

7

selayaknya terus digali hal-hal positif yang bisa diterapkan bagi sekolah lain,
terutama pada aspek pendidikan akhlak.

B. Identifikasi dan Batasan Masalah
Pendidikan akhlak merupakan kebutuhan mendesak di era globalisasi.
Hal ini disebabkan semakin merosotnya akhlak setiap individu bangsa
Indonesia mulai dari anak-anak sampai orang dewasa dalam berbagai jabatan,
kedudukan, dan profesinya. Nilai-nilai kejujuran, kebenaran, keadilan, tolong
menolong dan kasih sayang sudah tertutup oleh penyelewengan, penipuan,
penindasan, dan saling menjegal, dan perbuatan-perbuatan maksiat lainnya.12

Yang paling mengkhawatirkan adalah kemerosotan akhlak tersebut
telah menjangkiti kalangan pelajar sebagai generasi penerus bangsa. Hal ini
tentu saja mencoreng kredibilitas dunia pendidikan. Para pelajar yang
seharusnya menunjukkan akhlak yang baik sebagai hasil didikan itu, justru
menunjukkan tingkah laku yang buruk. Sehingga kemudian patut
dipertanyakan di manakah letak fungsi dan peranan sekolah sebagai salah
satu penyelenggara dan penanggungjawab pendidikan – di samping keluarga
dan masyarakat - dalam meningkatkan akhlak bangsa?
Dunia pendidikan Indonesia terus berupaya meningkatkan kualitas
peserta didik, dalam hal ini mencakup kualitas moral atau akhlak.
Diantaranya melalui Undang-undang RI Nomor 20 tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional yang mengamanatkan penyusunan kurikulum
dengan memperhatikan aspek peningkatan akhlak mulia. Namun pada
12

Abuddin Nata, Manajemen Pendidikan, 189.

8

implementasinya, pendidikan akhlak tidak mendapat perhatian yang

selayaknya. Kurikulum pendidikan agama yang di dalamnya mencakup
pendidikan akhlak, selama ini dianggap tidak berhasil, karena pengajarannya
hanya sebatas teori tanpa adanya refleksi dari nilai-nilai pendidikan tersebut.
Pendidikan akhlak terlalu banyak menekankan aspek kognitif anak didik -hal
ini dapat dilihat dari contoh soal mata pelajaran agama untuk tes-tes di
sekolah- dan kurang memberikan tekanan pada aspek afektif dan
psikomotorik.13
Kegagalan pendidikan dalam membentuk moralitas peserta didik harus
segera diperbaiki dengan terus mengembangkan kurikulum pendidikan
akhlak. Kurikulum sebagai rancangan pendidikan mempunyai kedudukan
yang cukup sentral dalam proses pendidikan di mana kurikulum merupakan
salah satu sarana terwujudnya proses pendidikan. Untuk itu yang perlu segera
dipikirkan dan dirumuskan sebagai langkah kongkrit dalam mengatasi dan
mengantisipasi masalah moralitas di era globalisasi adalah bagaimana
mengisi dan memberi muatan kurikulum pendidikan akhlak dan bagaimana
metode yang efektif untuk mengimplementasikan kurikulum tersebut. Hal ini
mengingat bahwa derasnya arus perubahan di masyarakat menuntut setiap
individu memiliki kapasitas yang memadai untuk menyikapi dan menfilter
efek negatif yang ditimbulkannya. Sehingga diperlukan muatan pendidikan
akhlak serta metode pembelajaran yang efektif, yang dapat mengantarkan
peserta didik agar tidak mudah terkontaminasi oleh budaya global.
13

M. Amin Abdullah, Pendidikan Agama Era Multikultural Multireligius, (Jakarta: PSAP
Muhammadiyah, 2005), 79.

9

Berdasarkan identifikasi masalah di atas maka penelitian ini akan
dibatasi pada hal-hal yang menyangkut proses pengembangan kurikulum
pendidikan akhlak, muatan kurikulum pendidikan akhlak serta metode yang
digunakan dalam implementasi kurikulum pendidikan akhlak.

C. Rumusan Masalah
Berpijak dari latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah:
1. Bagaimana proses pengembangan kurikulum pendidikan akhlak di SD
Muhammadiyah 1 Sidoarjo?
2. Apa saja muatan kurikulum pendidikan akhlak di SD Muhammadiyah 1
Sidoarjo?
3. Bagaimana cara mengimplementasikan kurikulum pendidikan akhlak yang
telah dikembangkan?

D. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah, maka tujuan penelitian adalah sebagai
berikut:
1. untuk mengetahui proses pengembangan kurikulum pendidikan akhlak di
SD Muhammadiyah 1 Sidoarjo
2. untuk mengetahui muatan kurikulum pendidikan akhlak di SD
Muhammadiyah 1 Sidoarjo

10

3. untuk mengetahui cara mengimplementasikan kurikulum pendidikan
akhlak yang telah dikembangkan

E. Kegunaan Penelitian
Adapun manfaat penelitian ini adalah:
1. Memberikan

sumbangan

pemikiran

kepada

pihak-pihak

yang

berkecimpung di bidang pendidikan
2. Memberikan alternatif model pengembangan kurikulum pendidikan akhlak
bagi institusi pendidikan yang lain

F. Penelitian Terdahulu
Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan, sampai saat ini tidak
ada satupun penelitian baik dalam bentuk buku, skripsi, tesis, maupun
disertasi yang menfokuskan pada pengembangan kurikulum pendidikan
akhlak bagi siswa tingkat Sekolah Dasar. Demikian halnya belum pernah
dilakukan penelitian mengenai kurikulum Pendidikan Islam di SD
Muhammadiyah 1 Sidoarjo.

G. Metode Penelitian
1.

Jenis Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian lapangan (field research). Guna
memperoleh hasil yang optimal, peneliti mengadakan interaksi dengan

11

pihak lembaga pendidikan yang menjadi obyek penelitian, guru, siswa,
dan orang tua siswa, dengan harapan dapat memperoleh informasi yang
kongkrit. Dengan demikian, data dan konsep yang telah ada di
lingkungan pendidikan dapat segera diketahui.
Adapun metode penelitian yang digunakan adalah metode
deskriptif kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Deskriptif adalah
suatu metode dalam meneliti suatu kelompok manusia, obyek, sistem
pemikiran, ataupun suatu kasus peristiwa pada masa sekarang, bertujuan
untuk membuat gambaran secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai
fakta-fakta, sifat-sifat, serta hubungan antar fenomena yang diselidiki. 14
Data yang dikumpulkan lebih banyak merupakan data kualitatif, yaitu
data yang disajikan dalam bentuk kata-kata verbal, bukan dalam bentuk
angka.15

2.

Obyek Penelitian
Obyek penelitian ini adalah kurikulum pendidikan akhlak di SD
Muhammadiyah 1 Sidoarjo dan perkembangannya dengan mengambil
beberapa informan yang terkait dengan permasalahan penelitian.

3. Metode Pengumpulan Data
a.

Wawancara
Data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah data primer dan data
sekunder.

14

Data

primer

diambil

melalui

wawancara

dengan

Moh. Nazir, Metode Penelitian, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988), 63.
Robert L. Bogelan dan Sari Knoop Biklen, Qualitative Research for Education: An Introduction
to Theory and Methods, (Boston: Allyn and Bacon, 1982), 2.
15

12

menggunakan daftar pertanyaan terstruktur dan semi terbuka.
Wawancara dilakukan dengan tatap muka agar setiap pertanyaan semi
terbuka dapat disampaikan dan memperoleh jawaban atau data secara
langsung.
b.

Observasi
Observasi yaitu kegiatan mengamati gejala-gejala obyektif yang
terkait langsung dengan penelitian, di mana peneliti terlibat langsung
dalam observasi tersebut. Metode ini digunakan peneliti untuk
mengamati model kurikulum yang diterapkan di SD Muhammadiyah
1 Sidoarjo

c.

Dokumentasi
Metode pengumpulan data ini digunakan peneliti dalam upaya
menghimpun data yang bersumber dari tulisan (naskah), seperti buku,
majalah, peraturan, dokumen sekolah, bank data, dan sebagainya.
Data-data yang terkait dengan hal tersebut adalah mengenai sejarah
dan profil SD Muhammadiyah 1 Sidoarjo, sarana pembelajaran dan
fasilitas

lain

yang

berhubungan

langsung

dengan

usaha

pengembangan kurikulum.

4.

Metode Analisis Data
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Dengan demikian,
analisis data yang digunakan oleh peneliti mengacu pada 3 langkah

13

sebagaimana metode yang diketengahkan oleh Miles and Huberman16,
yaitu:
a.

Reduksi Data
Reduksi

data

berkenaan

dengan

proses

penyeleksian,

pemfokusan, penyederhanaan, dan perubahan data kasar yang
terdapat dalam bentuk tulisan hasil dari catatan lapangan. Reduksi
data dilakukan secara terus menerus selama pelaksanaan penelitian
yang mengarah pada rancangan penelitian.
b.

Display Data
Display data adalah suatu proses pengorganisasian data. Proses
ini dilakukan dengan cara membuat matriks, diagram, atau grafik.
Penyusunan display data membantu peneliti dalam memahami data
dan menganalisisnya, sehingga peneliti dapat dengan mudah
menguasai data dan tidak tenggelam dalam tumpukan data yang
banyak.

c.

Penarikan Kesimpulan dan Verifikasi
Langkah ini dimulai dengan mencari pola, hubungan, hal-hal
yang sering muncul, dan sebagainya yang mengarah pada konsep
pengembangan kurikulum pendidikan akhlak di SD Muhammadiyah
1 Sidoarjo, kemudian diakhiri dengan menarik kesimpulan sebagai
hasil dari temuan di lapang.

16

Mathew B. Miles and A. Michael Huberman, Qualitative Data Analysis, (London: Sage
Publications, 1984), 21.

14

H. Sistematika Bahasan
Penelitian ini akan disusun dengan sistematika sebagai berikut:
Bab I mengungkapkan Latar Belakang Masalah, Identifikasi dan
Batasan Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Kegunaan
Penelitian, Penelitian Terdahulu, Metode Penelitian, dan Sistematika
Bahasan.
Bab II memuat landasan teori yang mencakup 2 sub bab, pertama
adalah mengenai Pengembangan Kurikulum yang terdiri dari Pengertian
Kurikulum dan Pengembangan Kurikulum, Jenis-Jenis Kurikulum,
Landasan Pengembangan Kurikulum, Prinsip Pengembangan Kurikulum,
dan Model Pengembangan Kurikulum, Implementasi Kurikulum, dan
Evaluasi Kurikulum. Kedua, adalah mengenai Pendidikan Akhlak yang
terdiri dari Pengertian Pendidikan Akhlak, Materi Pendidikan Akhlak,
dan Metode Pendidikan Akhlak.
Bab III memberikan gambaran umum profil SD Muhamadiyah 1
Sidoarjo yang memuat Sejarah Singkat, Visi Misi dan Filosofi
Pendidikan, Keadaan Siswa, Keadaan Tenaga Pendidik, Keadaan Sarana
dan Prasarana yang dimiliki, Struktur Organisasi Sekolah, Kurikulum
Sekolah, Kegiatan Pembelajaran, Kegiatan Penunjang, serta Prestasiprestasi Siswa.
Bab IV adalah Penyajian dan Analisis Data, yang memuat Tujuan
Pendidikan, Struktur Program dan Materi Kurikulum Pendidikan Akhlak,
Strategi dan Proses Pembelajaran Akhlak, Evaluasi Kurikulum dan

15

Pembelajaran Pendidikan Akhlak, Pengembangan Kurikulum Pendidikan
Akhlak, Analisis Data secara keseluruhan.
Bab V memuat Kesimpulan dan Saran dari penelitian yang telah
dilakukan.

16

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengembangan Kurikulum
1. Pengertian Kurikulum dan Pengembangan Kurikulum
Kurikulum sebagai subject matter atau bahan belajar adalah
gambaran kurikulum paling tradisional yang menggambarkan suatu
kurikulum sebagai kombinasi bahan untuk membentuk kerangka isi materi
(content) yang diajarkan.17 Konsep inilah yang dipahami oleh kebanyakan
guru ketika ditanya tentang kurikulum sekolah, yaitu sejumlah mata
pelajaran atau bahan belajar yang yang diajarkan untuk anak didik.
Kurikulum juga dipahami sebagai seperangkat pengalaman yang
telah direncanakan secara khusus dengan cara penulisan. 18 Namun, pada
prakteknya, banyak pengalaman yang didapatkan anak didik dari proses
belajar yang belum atau tidak direncanakan dalam kurikulum tertulis.
Kurikulum inilah yang disebut hidden curriculum.
Salah satu karakteristik kurikulum yang menerima dukungan
adalah pendapat bahwa kurikulum sebagai alat reproduksi kultural yakni
harus merefleksikan suatu budaya masyarakat tertentu.19 Peranan sekolah
dalam hal ini adalah menyampaikan pengetahuan dan nilai-nilai yang
penting untuk digunakan oleh suatu generasi ke arah generasi yang sukses.

17

Abdullah Idi, Pengembangan Kurikulum, (Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2007), 45.
Ibid., 46.
19
Ibid., 47.
18

17

Karakteristik kurikulum yang berkembang akhir-akhir ini adalah
kurikulum sebagai currere, yang diartikan running of the race, yaitu jarak
yang harus ditempuh oleh seorang pelari. Berbagai penafsiran yang
berbeda-beda mengenai kurikulum muncul dari para ahli pendidikan.
Namun, dari perbedaan tersebut terdapat kesamaan makna yang mengarah
pada kurikulum sebagai suatu usaha untuk mengembangkan peserta didik
sesuai dengan tujuan pendidikan yang ingin dicapai.
Fungsi kurikulum dalam proses pendidikan adalah sebagai alat
mencapai tujuan pendidikan. Oleh karena itu, kurikulum mempunyai
komponen-komponen penunjang yang saling mendukung satu sama lain.
Komponen utama kurikulum adalah tujuan, isi atau materi, organisasi atau
strategi, media, dan proses pembelajaran. Sedangkan komponen
penunjangnya adalah sistem atau administrasi dan supervisi, pelayanan
bimbingan dan penyuluhan, dan sistem evaluasi.20
Komponen tujuan merupakan hal yang paling penting dalam proses
pendidikan, yakni hal yang ingin dicapai secara keseluruhan yang meliputi
tujuan domain kognitif, domain afektif, dan domain psikomotorik.21
Kurikulum bukan hanya diharapkan dapat mengembangkan kemampuan
intelektual atau kecerdasan saja, akan tetapi juga harus dapat membentuk
sikap sesuai dengan sistem nilai yang berlaku di masyarakat, serta dapat
memberikan ketrampilan untuk dapat hidup di lingkungan masyarakatnya.

20

Subandijah, Pengembangan Inovasi, 4.
Abdullah Idi, Pengembangan Kurikulum, 52.

21

18

Komponen isi dan struktur program atau materi adalah materi yang
diprogramkan untuk mencapai tujuan pendidikan yang telah ditetapkan. Isi
atau materi yang dimaksud biasanya berupa bidang-bidang studi yang
disesuaikan dengan jenis, jenjang, dan jalur pendidikan yang ada.22
Komponen media merupakan sarana dalam proses pembelajaran
untuk memudahkan dalam mengaplikasikan isi kurikulum agar lebih
mudah dimengerti oleh anak didik. Ketepatan memilih alat atau media
merupakan suatu hal yang dituntut bagi seorang pendidik agar materi yang
ditransfernya bisa berjalan sebagaimana mestinya, dan tujuan pendidikan
dari proses belajar mengajar diharapkan bisa tercapai dengan baik.
Dalam proses belajar mengajar, seorang pendidik perlu memahami
suatu strategi. Strategi menunjuk pada suatu pendekatan (approach),
metode (method), dan peralatan mengajar yang diperlukan dalam
pembelajaran. Strategi pembelajaran lebih lanjut dapat dipahami sebagai
cara yang dimiliki oleh seorang pendidik dalam proses pembelajaran.
Dengan menggunakan strategi yang tepat, diharapkan hasil yang diperoleh
dalam proses pembelajaran dapat memuaskan baik bagi pendidik maupun
bagi anak didik. Namun, penggunaan strategi yang tepat dan akurat sangat
ditentukan oleh tingkat kompetensi pendidik.
Untuk melihat sejauh mana keberhasilan dalam pelaksanaan
kurikulum, diperlukan evaluasi. Komponen evaluasi berhubungan erat
dengan komponen lainnya, sehingga cara penilaian atau evaluasi ini akan

22

Abdullah Idi, Pengembangan Kurikulum, 55.

19

menentukan tujuan kurikulum, materi atau bahan, serta proses belajar
mengajar.
Dalam

mengevaluasi,

biasanya

seorang

pendidik

akan

mengevaluasi anak didik dengan materi atau bahan yang telah diajarkan,
atau paling tidak, ada kaitannya dengan yang telah diajarkan. Hal ini
sangat penting mengingat hasil penilaian tidak jarang menjadi barometer
atas keberhasilan proses pendidikan. Lebih lanjut, evaluasi tidak hanya
berfungsi untuk mengukur prestasi anak didik, tetapi juga sebagai sumber
input bagi perbaikan dan pengembangan kurikulum.23
Sebagai program pendidikan yang telah direncanakan secara
sistematis, kurikulum mengemban peranan yang sangat penting bagi
pendidikan siswa. Diantara peranan tersebut adalah peranan konservatif,
peranan kritis dan evaluatif, dan peranan kreatif. Ketiga peranan tersebut
sama pentingnya dan saling berkaitan yang dilaksanakan secara
berkesinambungan.24
Pada

peranan

konservatif,

kurikulum

bertanggung

jawab

mentransmisikan dan menafsirkan warisan sosial pada generasi muda.
Sekolah sebagai sebuah lembaga sosial dapat memengaruhi dan membina
tingkah laku siswa sesuai dengan berbagai nilai sosial yang ada dalam
masyarakat. Hal ini seiring dengan hakekat pendidikan yang berfungsi
sebagai jembatan antara para siswa selaku anak didik dengan orang

23

Abdullah Idi, Pengembangan Kurikulum, 57.
Oemar Hamalik, Dasar-Dasar Pengembangan Kurikulum, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
2008), 11.
24

20

dewasa dalam suatu proses pembudayaan yang semakin berkembang
menjadi semakin kompleks.
Namun di sisi lain, sekolah tidak hanya mewariskan kebudayaan
yang ada, melainkan juga menilai dan memilih berbagai unsur kebudayaan
yang akan diwariskan. Dalam hal ini, kurikulum harus berperan kritis dan
evaluatif dengan turut aktif berpartisipasi dalam kontrol sosial dan
menghilangkan, memodifikasi, atau memperbaiki nilai-nilai sosial yang
telah ada agar sesuai dengan keadaan di masa mendatang.
Kurikulum berperan dalam melakukan berbagai kegiatan kreatif
dan konstruktif, dalam artian menciptakan dan menyusun hal yang baru
sesuai dengan kebutuhan masyarakat di masa sekarang dan yang akan
datang. Untuk membantu setiap individu dalam mengembangkan semua
potensi yang ada padanya, maka kurikulum menciptakan pelajaran,
pengalaman, cara berpikir, kemampuan, dan ketrampilan baru yang
memberikan manfaat bagi masyarakat.25
Pengembangan kurikulum adalah proses perencanaan kurikulum
agar menghasilkan rencana kurikulum yang luas dan spesifik. Proses ini
berhubungan dengan seleksi dan pengorganisasian berbagai komponen
situasi belajar mengajar, antara lain penetapan jadwal pengorganisasian
kurikulum dan spesifikasi tujuan yang disarankan, mata pelajaran,
kegiatan, sumber dan alat pengukur pengembangan kurikulum.
Kegiatan pengembangan kurikulum dapat dilakukan pada berbagai
kondisi, mulai dari tingkat kelas sampai dengan tingkat nasional. Kondisi25

Ibid., 12.

21

kondisi itu meliputi pengembangan kurikulum oleh seorang guru kelas,
pengembangan kurikulum oleh kelompok guru dalam satu sekolah,
pengembangan

kurikulum

melalui

pusat

guru

(teachers

center),

pengembangan kurikulum pada tingkat daerah, dan pengembangan
kurikulum dalam/melalui proyek nasional.26
Dalam mengembangkan suatu kurikulum, banyak pihak yang turut
berpartisipasi, yaitu administrator pendidikan, ahli pendidikan, ahli
kurikulum, ahli bidang ilmu pengetahuan, guru-guru, dan orang tua murid
serta tokoh-tokoh masyarakat. Dari pihak-pihak tersebut yang secara terus
menerus

turut

terlibat

dalam

pengembangan

kurikulum

adalah

administrator, guru, dan orang tua.
Administrator pendidikan terdiri dari direktur bidang pendidikan,
pusat pengembangan kurikulum, kepala kantor wilayah, kepala kantor
kabupaten dan kecamatan serta kepala sekolah. Kepala sekolah
mempunyai wewenang dalam membuat operasionalisasi sistem pendidikan
pada masing-masing sekolah. Kepala sekolah ini yang sesungguhnya
secara terus menerus terlibat dalam pengembangan dan implementasi
kurikulum, memberikan dorongan dan bimbingan kepada guru-guru.
Walaupun guru dapat mengembangkan kurikulum sendiri, tetapi
dalam pelaksanaannya sering harus didorong dan dibantu oleh para
administrator.27 Administrator lokal harus bekerjasama dengan kepala
sekolah dan guru dalam mengembangkan kurikulum yang sesuai dengan
26

Oemar Hamalik, Evaluasi Kurikulum, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1993), 183.
Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
2008), 155
27

22

kebutuhan masyarakat, mengkomunikasikan sistem pendidikan kepada
masyarakat, serta mendorong pelaksanaan kurikulum oleh guru-guru di
kelas.
Peranan

kepala

sekolah

lebih

banyak

berkenaan

dengan

implementasi kurikulum di sekolahnya. Kepala sekolah juga mempunyai
peranan kunci dalam menciptakan kondisi untuk pengembangan
kurikulum di sekolahnya. Ia merupakan figur kunci di sekolah,
kepemimpinan kepala sekolah sangat mempengaruhi suasana sekolah dan
pengembangan kurikulum.28
Guru memegang peranan yang cukup penting baik di dalam
perencanaan maupun pelaksanaan kurikulum. Dia adalah perencana,
pelaksana, dan pengembang kurikulum bagi kelasnya. Sekalipun ia tidak
mencetuskan sendiri konsep-konsep tentang kurikulum, guru merupakan
penerjemah kurikulum yang datang dari atas. Dialah yang mengolah,
meramu kembali kurikulum dari pusat untuk disajikan di kelasnya. Karena
guru juga merupakan barisan terdepan pengembang kurikulum maka guru
pulalah yang selalu melakukan evaluasi dan penyempurnaan terhadap
kurikulum. Peranan guru bukan hanya menilai perilaku dan prestasi belajar
muridnya, tetapi juga menilai implementasi kurikulum dalam lingkup yang
lebih luas. Hasil penilaian yang demikian akan sangat membantu
pengembangan kurikulum, untuk memahami hambatan-hambatan dalam
implementasi kurikulum.29
28

Ibid, 156
Ibid, 157

29

23

Orang tua juga mempunyai peranan dalam pengembangan
kurikulum. Peranan mereka berkenaan dengan dua hal: pertama, dalam
penyusunan kurikulum, kedua, dalam pelaksanaan kurikulum. Dalam
penyusunan kurikulum, mungkin tidak semua orang tua dapat ikut serta,
hanya terbatas pada beberapa orang saja yang cukup waktu dan
mempunyai latar belakang yang memadai. Peranan orangtua lebih besar
dalam pelaksanaan kurikulum. Dalam pelaksanaan kurikulum diperlukan
kerjasama yang erat antara guru atau sekolah dengan para orang tua murid.
Partisipasi orangtua dapat berupa pengamatan yang mereka lakukan
terhadap kegiatan belajar anak, dan melaporkan perkembangannya ke
sekolah, serta aktif dalam kegiatan yang diadakan oleh sekolah. Peranan
orangtua murid seperti ini akan memberikan umpan balik bagi
penyempurnaan dan pengembangan kurikulum.

2. Jenis-jenis kurikulum
Dalam menyusun kurikulum, sangatlah tergantung pada asas
organisatoris, yakni bentuk penyajian bahan pelajaran atau organisasi
kurikulum. Ada tiga pola organisasi kurikulum yang dikenal juga dengan
sebutan jenis-jenis kurikulum. Pertama, adalah separated subject
curriculum. Kurikulum ini dipahami sebagai kurikulum mata pelajaran
yang terpisah satu sama lain. Kurikulum ini terdiri dari mata pelajaranmata pelajaran terpisah yang harus dikuasai oleh anak didik dari tiap mata
pelajaran secara logis, sistematis, dan mendalam. Kurikulum mata

24

pelajaran dapat menetapkan syarat-syarat minimum yang harus dikuasai
anak didik untuk bisa naik kelas. Biasanya, bahan pelajaran dan textbook
merupakan alat dan sumber utama pelajaran.
Kedua, correlated curriculum, dimana sejumlah mata pelajaran
dihubungkan antara satu dengan yang lain sehingga ruang lingkup bahan
yang tercakup semakin luas. Misalnya, pada pelajaran shalat dapat
dihubungkan dengan pelajaran al-Qur’an atau hadits yang berhubungan
dengan shalat.
Ketiga, adalah broad fields curriculum atau kadang-kadang disebut
kurikulum fusi. Kurikulum ini menghapuskan batas-batas dan menyatukan
mata pelajaran yang berhubungan erat. Sebagai contoh, mata pelajaran
sejarah, geografi, ilmu ekonomi, dan ilmu politik disatukan menjadi Ilmu
Pengetahuan Sosial (IPS).30
Jenis kurikulum lainnya adalah kurikulum terpadu (integrated
curriculum) yang merupakan suatu produk dari upaya pengitegrasian
bahan pelajaran dari berbagai macam pelajaran. Integrasi diciptakan
dengan memusatkan pelajaran pada masalah tertentu yang memerlukan
solusinya dengan materi atau bahan dari berbagai disiplin ilmu atau mata
pelajaran.
Kurikulum jenis ini membuka kesempatan yang lebih banyak
untuk melakukan kerja kelompok, menjadikan masyarakat dan lingkungan
sebagai sumber belajar sehingga berpengaruh terhadap integrasi pribadi
anak didik dan lingkungannya, mementingkan perbedaan individual anak
30

Abdullah Idi, Pengembangan Kurikulum, 144.

25

didik, dan melibatkan anak didik dalam perencanaan pelajaran. Kurikulum
terpadu sangat mengutamakan agar anak didik dapat memiliki sejumlah
pengetahuan secara fungsional, yaitu mampu memecahkan masalah yang
ada, dan mengutamakan proses belajarnya.31
Integrated curriculum mempunyai ciri yang sangat fleksibel dan
tidak menghendaki hasil belajar yang sama dari semua anak didik. Guru,
orangtua, dan anak didik merupakan komponen yang bertanggung jawab
dalam proses pengembangannya. Di sisi lain, kurikulum ini mengalami
kesulitan bagi anak didik, terutama ketika anak didik mengikuti ujian akhir
atau tes masuk yang uniform.

3. Landasan Pengembangan Kurikulum
Kurikulum sebagai rancangan pendidikan mempunyai kedudukan
yang cukup sentral dalam seluruh kegiatan pendidikan, menentukan proses
pelaksanaan, dan hasil pendidikan. Mengingat pentingnya peranan
kurikulum di dalam pendidikan dan dalam perkembangan kehidupan
manusia, penyusunan kurikulum tidak dapat dilakukan sembarangan.
Penyusunan

kurikulum

membutuhkan

landasan

yang

kuat,

yang

didasarkan atas hasil pemikiran dan penelitian yang mendalam.
Ada beberapa landasan utama dalam pengembangan suatu
kurikulum yaitu landasan filosofis, landasan psikologis, landasan sosial
budaya, dan landasan perkembangan ilmu dan teknologi.
a. Landasan filosofis
31

Ibid., 147.

26

Filsafat berasal dari bahasa Yunani kuno, yaitu dari kata philos
(cinta yang mendalam) dan sophia (kearifan). Dengan demikian, secara
harfiah, filsafat diartikan sebagai cinta yang mendalam akan kearifan. 32
Dalam batasan modern, filsafat diartikan sebagai ilmu yang berusaha
memahami semua hal yang muncul di dalam keseluruhan lingkup
pengalaman manusia, yang berharap agar manusia dapat mengerti dan
mempunyai pandangan yang menyeluruh dan sistematis mengenai alam
semesta dan tempat manusia di dalamnya. Sedangkan dalam istilah
yang lebih populer, filsafat sering diartikan pandangan hidup individu
atau masyarakat.
Sebagai

induk

dari

semua

pengetahuan,

filsafat

dapat

dirumuskan sebagai kajian tentang metafisika, yaitu studi tentang
hakikat realitas, epistemologi, yaitu studi tentang hakikat pengetahuan,
aksiologi, yaitu studi tentang nilai, etika, yaitu studi tentang hakikat
kebaikan, estetika, yaitu studi tentang hakikat keindahan, dan logika,
yaitu studi tentang hakikat penalaran.33
Apabila diamati item-item tersebut, tampak filsafat mempunyai
jangkauan kajian yang sangat luas. Namun demikian, seseorang tidak
perlu mendalami semua bidang filsafat dalam mengembangkan
kurikulum. Para pengembang hanya perlu memperhatikan falsafah yang
dianut di mana lembaga pendidikan berada, yakni mencakup falsafah

32

Wina Sanjaya, Kurikulum dan Pembelajaran, (Jakarta: Kencana, 2008), 42.
Abdullah Idi, Pengembangan Kurikulum, 68.

33

27

bangsa Indonesia, yaitu falsafah Pancasila, dan falsafah lembaga
pendidikan itu sendiri.
b. Landasan psikologis
Kondisi

psikologis

merupakan

karakteristik

psiko-fisik

seseorang sebagai individu, yang dinyatakan dalam berbagai bentuk
perilaku dalam interaksi dengan lingkungannya.34 Perilaku tersebut
merupakan manifestasi dari ciri-ciri kehidupannya, baik yang tampak
maupun yang tidak tampak.
Kondisi psikologis setiap individu berbeda karena perbedaan
tahap perkembangannya, latar belakang sosial budaya, juga karena
perbedaan faktor yang dibawa dari kelahirannya. Kondisi inipun
berbeda pula bergantung pada konteks, peranan, dan status individu di
antara individu lainnya. Interaksi yang tercipta dalam situasi pendidikan
harus sesuai dengan kondisi psikologis para peserta didik maupun
kondisi pendidiknya. Interaksi pendidikan di rumah berbeda dengan
interaksi pendidikan di sekolah, interaksi antara siswa dan guru pada
sekolah dasar berbeda dengan sekolah lanjutan pertama dan lanjutan
atas.
Peserta didik adalah individu yang sedang berada dalam proses
perkembangannya.

Tugas

utama

pendidikan

adalah

membantu

perkembangan peserta didik secara optimal. Apa yang dididikkan dan
bagaimana

cara

mendidiknya,

perlu

perkembangan anak.
34

Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum, 45.

disesuaikan

dengan

pola

28

c. Landasan sosial budaya
Pendidikan bukan hanya berfungsi untuk transfer pengetahuan
kepada anak didik, lebih dari itu, pendidikan diharapkan mampu
memberikan bekal ketrampilan dan nilai-nilai kehidupan yang
dibutuhkan anak ketika berbaur dalam masyarakatnya. Anak-anak
berasal dari masyarakat, memperoleh pendidikan baik formal maupun
non formal dari lingkungan masyarakatnya dan akan diarahkan bagi
kehidupan dalam masyarakat pula.
Tujuan umum pendidikan sering dirumuskan untuk menyiapkan
generasi muda menjadi orang dewasa anggota masyarakat yang mandiri
dan produktif. Hal itu merefleksikan konsep adanya tuntutan individual
dan sosial dari orang dewasa kepada generasi muda. Tuntutan
individual merupakan harapan orang dewasa agar generasi muda dapat
mengembangkan pribadinya sendiri, mengembangkan segala potensi
dan kemampuan yang dimilikinya. Tuntutan sosial adalah harapan
orang dewasa agar anak mampu bertingkahlaku, berbuat dan hidup
dengan baik dalam berbagai situasi dan lingkungan masyarakat.
Setiap masyarakat masing-masing memiliki sistem sosial
budaya yang berbeda ditinjau dari ruang dan waktu. Salah satu aspek
yang cukup penting dalam sistem sosial budaya adalah tatanan nilai.
Tatanan nilai merupakan seperangkat ketentuan, peraturan, hukum,
moral yang mengatur cara berkehidupan dan berperilaku para warga
masyarakat. Nilai-nilai tersebut bersumber dari agama, budaya,

29

kehidupan politik, maupun dari segi-segi kehidupan lainnya. 35 Sejalan
dengan perkembangan masyarakat maka nilai-nilai yang ada dalam
masyarakat juga ikut berkembang.
Konsep pendidikan bersifat universal, tetapi pelaksanaan
pendidikan bersifat lokal, disesuaikan dengan situasi dan kondisi
masyarakat setempat. Karena itulah dalam mengambil suatu keputusan
mengenai kurikulum, para pengembang mesti merujuk pada lingkungan
atau dunia di mana mereka tinggal, merespon berbagai kebutuhan yang
dilontarkan atau diusulkan oleh beragam golongan dalam masyarakat,
dan memahami pencantuman nilai-nilai falsafah pendidikan bangsa dan
falsafah pendidikan yang berlaku di sekolah.
d. Landasan perkembangan ilmu dan teknologi
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai hasil
kemampuan berpikir manusia telah membawa umat manusia pada
keadaan yang tidak pernah terbayang sebelumnya. Terciptanya produkproduk teknologi, seperti teknologi komunikasi, transportasi, industri,
dan lain-lain, membawa pengaruh yang sangat besar pada semua aspek
kehidupan manusia. Di satu sisi, manusia memperoleh banyak
kemudahan dan kenyamanan dengan hadirnya teknologi tersebut.
Namun di sisi lain, berbagai efek negatif muncul yang justru sangat
mencemaskan manusia itu sendiri, seperti masalah kriminalitas, ataupun
gesekan antar budaya, bahkan perubahan tatanan nilai di masyarakat.

35

Ibid., 59.

30

Munculnya permasalahan baru ini menyebabkan kompleksitas
tugas pendidikan yang diemban oleh sekolah. Sekolah bukan hanya
bertugas menanamkan dan mewariskan ilmu pengetahuan, akan tetapi
juga harus memberi ketrampilan tertentu serta menanamkan nilai dan
budi pekerti.
Sesuai dengan perubahan yang sangat cepat itu, maka kurikulum
yang berfungsi sebagai alat pendidikan, harus terus menerus diperbarui
menyesuaikan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi,
agar menjadi nilai yang positif bagi siswa, dan masyarakat pada
umumnya.

4. Prinsip Pengembangan Kurikulum
Kurikulum merupakan rancangan pendidikan yang merangkum
semua pengalaman belajar yang disediakan bagi siswa di sekolah. Dalam
kurikulum terintegrasi filsafat, nilai-nilai, pengetahuan, dan perbuatan
pendidikan. Suatu kurikulum diharapkan memberikan landasan, isi, dan
menjadi pedoman bagi pengembangan kemampuan siswa secara optimal
sesuai dengan tuntutan dan tantangan perkembangan masyarakat. Untuk
itulah perlu diperhatikan prinsip-prinsip umum dalam pengembangan
kurikulum.
a. Prinsip relevansi
Ada dua macam relevansi yang harus dimiliki kurikulum yaitu
relevan ke dalam dan relevan ke luar. Relevansi ke luar maksudnya

31

tujuan, isi, dan proses belajar yang tercakup dalam kurikulum
hendaknya relevan dengan tuntutan, kebutuhan, dan perkembangan
masyarakat.
Kurikulum menyiapkan siswa untuk bisa hidup dan bekerja
dalam masyarakat. Apa yang tertuang dalam kurikulum hendaknya
mempersiapkan siswa untuk tugas tersebut. Kurikulum bukan hanya
menyiapkan anak untuk kehidupannya sekarang tetapi juga yang akan
datang.
Kurikulum juga harus memiliki relevansi di dalam yaitu ada
kesesuaian atau konsistensi antara komponen-komponen kurikulum,
yaitu antara tujuan, isi, proses penyampaian, dan penilaian. Relevansi
internal ini menunjukkan suatu keterpaduan kurikulum.
b. Prinsip Fleksibilitas
Kurikulum hendaknya memiliki sifat lentur atau fleksibel.
Kurikulum mempersiapkan anak untuk kehidupan sekarang dan yang
akan datang, di sini dan di tempat lain, bagi anak yang memiliki latar
belakang dan kemampuan yang berbeda.
Suatu kurikulum yang baik adalah kurikulum yang berisi hal-hal
yang solid, tetapi dalam pelaksanaannya memungkinkan terjadinya
penyesuaian-penyesuaian berdasarkan kondisi daerah, waktu maupun
kemampuan, dan latar belakang anak.
c. Prinsip kontinuitas

32

Prinsip

kontinuitas

Perkembangan

dan proses

adalah
balajar

prinsip
anak

kesinambungan.

berlangsung secara

berkesinambungan, tidak terputus-putus atau berhenti-henti. Oleh
karena itu, pengalaman belajar yang disediakan kurikulum juga
hendaknya berkesinambungan antara satu tingkat kelas, dengan kelas
lainnya, antara satu jenjang pendidikan dengan jenjang lainnya, juga
antara jenjang pendidikan dengan pekerjaan.
Pengembangan kurikulum perlu dilakukan serempak bersamasama, perlu selalu ada komunikasi antara para pengembang kurikulum
sekolah dasar dengan SMP, SMA, dan Perguruan Tinggi.
d. Prinsip Praktis
Maksudnya adalah bahwa kurikulum harus mudah dilaksanakan,
menggunakan alat-alat sederhana dan biayanya juga murah. Prinsip ini
juga disebut prinsip efisiensi. Betapa pun bagus dan idealnya suatu
kurikulum, kalau menuntut keahlian dan peralatan yang sangat khusus
dan mahal, maka kurikulum tersebut tidak praktis dan sukar
dilaksanakan. Kurikulum dan pendidikan selalu dilaksanakan dalam
keterbatasan-keterbatasan, baik keterbatasan waktu, biaya, alat, maupun
personalia.
e. Prinsip efektivitas
Walaupun kurikulum harus murah dan sederhana, tetapi
keberhasilannya tetap harus diperhatikan, dari sisi kualitatif dan
kuantitatif. Pengembangan suatu kurikulum tidak dapat dilepaskan dan

33

merupakan penjabaran dari perencanaan pendidikan. Keberhasilan
kurikulum akan mempengaruhi keberhasilan pendidikan.36

5. Model Pengembangan Kurikulum
Banyak model yang dapat digunakan dalam pengembangan
kurikulum. Pemilihan suatu model pengembangan kurikulum bukan saja
didasarkan atas kelebihan dan kebaikannya serta kemungkinan pencapaian
hasil yang optimal, tetapi juga perlu disesuaikan dengan sistem pendidikan
dan sistem pengelolaan pendidikan yang dianut serta model konsep
pendidikan yang digunakan. Model pengembangan kurikulum dalam
sistem pendidikan dan pengelolaan yang sifatnya sentralisasi berbeda
dengan yang desentralisasi. Model pengembangan dalam kurikulum yang
sifatnya subjek akademis berbeda dengan kurikulum humanistik,
teknologis, dan rekonstruksi sosial.

a. Model Tyler
Model pengembangan kurikulum Tyler, dalam bukunya yang
berjudul Basic Principles of Curriculum and Instruction, adalah lebih
bersifat bagaimana merancang suatu kurikulum sesuai dengan tujuan
dan misi suatu institusi pendidikan. Dia menekankan pentingnya upaya
pengembangan kurikulum dilakukan secara rasional dan sistematis.37

36

Ibid., 151.
Abdullah Idi, Pengembangan Kurikulum, 154.

37

34

Proses pengembangan kurikulum menurut Tyler ada 4, yaitu
pertama, menentukan tujuan pendidikan yang ingin dicapai; kedua,
menentukan pengalaman belajar yang akan diberikan kepada siswa
untuk mencapai tujuan tersebut; ketiga, mengorganisasi pengalaman
belajar; dan keempat, evaluasi untuk mengetahui tingkat ketercapaian
tujuan yang telah ditetapkan.38
b. Model Taba
Berbeda dengan model yang dikembangkan Tyler, model Taba
lebih menitikberatkan pada bagaimana mengembangkan kurikulum
sebagai suatu proses perbaikan dan penyempurnaan. Tahapan-tahapan
pengembangan kurikulum yang ditawarkan Taba adalah bersifat
induktif yaitu diawali dengan mendiagnosis kebutuhan. Hal ini
dilakukan agar pengembang kurikulum mempunyai informasi (input)
yang cukup pada setiap proses pengembangan kurikulum.
Model pengembangan yang ditawarkan Taba sebenarnya
memodifikasi model dasar Tyler agar lebih representatif terhadap
pengembangan kurikulum di tingkat sekolah. Menurutnya, ada 7
langkah utama yang harus dilakukan dalam pengembangan kurikulum,
yaitu mendiagnosis kebutuhan, menformulasikan tujuan, memilih isi,
mengorganisasi isi, memilih pengalaman belajar, mengorganisasi
pengalaman

belajar,

menentukan

alat

keseimbangan isi kurikulum.39
38

Wina Sanjaya, Kurikulum, 82-87.
Jon Wiles and Joseph Bondi, Curriculum Development, 34.

39

evaluasi

dan

menguji

35

Hal yang perlu diperhatikan dalam mendiagnosis kebutuhan
adalah diperlukannya data-data yang bersumber dari tuntutan
masyarakat di mana siswa akan memanfaatkan hasil pendidikannya,
kebutuhan perkembangan siswa yang dilihat dari perkembangan mental
dan pengalaman yang telah dimiliki siswa, dan isi bahan pelajaran yang
mencakup materi dan metode pembelajaran.40
Langkah-langkah tersebut dilakukan sebagai unit percobaan.
Jika eksperimen dinilai layak digunakan maka kurikulum yang telah
teruji akan diimplementasikan. Pada tahap ini perlu dipersiapkan
kemampuan guru-guru melalui penataran, lokakarya dan lain-lain, serta
mempersiapkan

fasilitas

dan

alat-alat

sesuai

dengan

tuntutan

kurikulum.41

c. Model Beauchamp
Model ini dikembangkan oleh seorang ahli kurikulum
Beauchamp. Dia mengemukakan lima hal dalam pengembangan suatu
kurikulum.
Pertama, menetapkan arena atau lingkup wilayah yang akan
dicakup oleh kurikulum tersebut, apakah suatu sekolah, kecamatan,
kabupaten, propinsi, atau negara. Pentahapan arena ini ditentukan oleh
40

Daniel Tanner dan Laurel Tanner, Curriculum Development, (New Jersey: Prentice Hall, Inc.,
1995), 232.
41
Wina Sanjaya, Kurikulum, 88-89.

36

wewenang yang dimiliki oleh pengambil kebijaksanaan dalam
pengembangan kurikulum.
Kedua, menetapkan personalia, yaitu siapa-siapa yang turut serta
terlibat dalam pengembangan kurikulum. Ada empat kategori orang
yang turut berpartisipasi dalam pengembangan kurikulum, yaitu 1) ahli
pendidikan/kurikulum yang ada pada pusat pengembangan kurikulum
dan ahli bidang ilmu dari luar, 2) ahli pendidikan/kurikulum dari
perguruan tinggi atau sekolah dan guru-guru terpilih, 3) para
profesional dalam sistem pendidikan, 4) profesional lain dan tokohtokoh masyarakat.
Ketiga, organisasi dan prosedur pengembangan kurikulum.
Langkah ini berkenaan dengan prosedur yang harus ditempuh dalam
merumuskan tujuan umum dan tujuan khusus, memilih isi dan
pengalaman belajar, serta kegiatan evaluasi, dan dalam menentukan
keseluruhan desain kurikulum. Beauchamp membagi keseluruhan
kegiatan ini dalam lima langkah, yaitu 1) membentuk tim pengembang
kurikulum, 2) mengadakan penilaian atau penelitian terhadap
kurikulum yang ada yang sedang digunakan, 3) studi penjajagan
tentang kemungkinan penyusunan kurikulum baru, 4) merumuskan
kriteria-kriteria bagi penentuan kurikulum baru, 5) penyusunan dan
penulisan kurikulum baru.
Keempat, implementasi kurikulum. Langkah ini membutuhkan
kesiapan yang menyeluruh, baik kesiapan guru-guru, siswa, fasilitas,

37

bahan, maupun biaya, serta kesiapan manajerial dari pimpinan sekolah
atau administrator setempat.
Langkah yang kelima adalah evaluasi kurikulum. Langkah ini
minimal mencakup empat hal, yaitu 1) evaluasi tentang pelaksanaan
kurikulum oleh guru-guru, 2) evaluasi desain kurikulum, 3) evaluasi
hasil belajar siswa, 4) evaluasi keseluruhan sistem kurikulum. Data
yang diperoleh dari evaluasi kemudian digunakan bagi penyempurnaan
sistem, desain kurikulum, dan prinsip pelaksanaannya.42
d. Model Wheeler
Menurut Wheeler, pengembangan kurikulum merupakan proses
yang membentuk lingkaran. Ini berarti bahwa pengembangan
kurikulum terjadi secara terus menerus, sistematis atau berurutan, dan
tanpa ujung.43 Karena penekanannya terhadap hakikat lingkaran (cycle)
dari elemen-elemen kurikulum maka model ini disebut juga dengan
cycle models.
Elemen-elemen pengembangan kurikulum yang dimaksud
terdiri dari 5 langkah, yaitu pertama, seleksi maksud, tujuan, dan
sasaran; kedua, seleksi pengalaman belajar; ketiga, menentukan isi atau
materi

pembelajaran;

keempat,

mengorganisasikan

dan

mengintegrasikan pengalaman dan materi pembelajaran; kelima,
melakukan evaluasi setiap fase pengembangan dan pencapaian tujuan.44
e. Model Nicholls
42

Nana Syaodih, Pengembangan Kurikulum, 163-165.
Wina Sanjaya, Kurikulum, 94.
44
Abdullah Idi, Pengembangan Kurikulum,163.
43

38

Model

pengembangan

kurikulum

Nicholls

menggunakan

pendekatan siklus seperti model Wheeler. Model Nicholls digunakan
apabila ingin menyusun kurikulum baru